39
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Media memiliki pengaruh yang besar terhadap penyebaran informasi, baik media cetak maupun elektronik. Media massa sebagai bagian dalam kehidupan manusia memiliki peran yang penting dalam menyalurkan dan mengekspos isu- isu publik yang sedang merebak di kalangan masyarakat. McQuail (1994: 3) memaparkan bahwasanya media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan. Media pada umumnya memiliki 2 (dua) bentuk, yaitu media cetak dan media elekteronik. Media cetak seperti koran, majalah, tabloid, dan surat kabar, kemudian media elektronik sendiri berupa internet. Era modern sekarang ini memiliki sumbangsih yang besar terhadap perkembangan internet, masyarakat semakin pintar dalam mengakses internet sebagai sumber informasi, referensi, dan sumber lain yang dibutuhkan untuk mendukung dan membantu dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Media sosial semakin berkembang, baik dari segi fungsi maupun dari segi bentuknya. Jejaring sosial sebagai bagian dari media sosial, menjadi salah satu bukti perkembangan media sosial. Hal tersebut juga dikuatkan dengan pendapat Putra (2014: 4-6) bahwa berbagai situs jejaring sosial itu memudahkan pengguna untuk berbagi ide, saran, pandangan, aktivitas, informasi, acara, ajakan dan ketertarikan di dalamnya. Adapun definisi dari jejaring sosial merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN · informasi dengan pengguna yang lain. Para pemuda di dunia Arab ... dari pengaruh cara mendidik antara laki ... seperti faktor sosial, masyarakat,

  • Upload
    vudien

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Media memiliki pengaruh yang besar terhadap penyebaran informasi, baik

media cetak maupun elektronik. Media massa sebagai bagian dalam kehidupan

manusia memiliki peran yang penting dalam menyalurkan dan mengekspos isu-

isu publik yang sedang merebak di kalangan masyarakat. McQuail (1994: 3)

memaparkan bahwasanya media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi

individu untuk memperoleh gambaran dan realitas sosial, tetapi juga bagi

masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan

penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.

Media pada umumnya memiliki 2 (dua) bentuk, yaitu media cetak dan

media elekteronik. Media cetak seperti koran, majalah, tabloid, dan surat kabar,

kemudian media elektronik sendiri berupa internet. Era modern sekarang ini

memiliki sumbangsih yang besar terhadap perkembangan internet, masyarakat

semakin pintar dalam mengakses internet sebagai sumber informasi, referensi, dan

sumber lain yang dibutuhkan untuk mendukung dan membantu dalam

menjalankan kehidupan sehari-hari.

Media sosial semakin berkembang, baik dari segi fungsi maupun dari segi

bentuknya. Jejaring sosial sebagai bagian dari media sosial, menjadi salah satu

bukti perkembangan media sosial. Hal tersebut juga dikuatkan dengan pendapat

Putra (2014: 4-6) bahwa berbagai situs jejaring sosial itu memudahkan pengguna

untuk berbagi ide, saran, pandangan, aktivitas, informasi, acara, ajakan dan

ketertarikan di dalamnya. Adapun definisi dari jejaring sosial merupakan sarana

2

pemersatu antara individu satu dengan individu yang lain sehingga menjadi

sebuah interaksi sosial yang saling berkaitan satu sama lain (Putra, 2014: 6).

Situs-situs yang dihasilkan oleh internet sebagai suatu media macamnya,

seperti website, blog, jejaring sosial dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak

macam situs yang dihasilkan internet tersebut, jejaring sosial dianggap paling

banyak digemari dan diminati oleh masyarakat. Selain bentuknya yang beragam,

fungsi dari jejaring sosial ini memang banyak, salah satunya sebagai media

eksplorasi diri, komunikasi, informasi, bahkan untuk berwirausaha. Beberapa

jejaring sosial yang marak digunakan oleh masyarakat dewasa ini adalah facebook,

twitter, path, dan instagram.

Facebook memiliki peringkat pertama sebagai jejaring sosial yang paling

banyak digunakan oleh manusia di seluruh dunia. Selain karena aksesnya yang

mudah, facebook juga sangat beragam fungsi dan fitur-fiturnya. Tomy (2013: 4)

berpendapat bahwa facebook lahir dan menjadi jejaring sosial nomor satu di dunia,

bahkan sampai saat ini facebook masih bisa bertahan, hal tersebut ditandai dengan

masih banyaknya peminat yang menggunakan jejaring sosial ini. Seirama dengan

pendapat Tomy, Putra (2014: 9-10) juga mengungkapkan bahwa jejaring sosial

facebook sangat populer karena penggunaannya yang terhitung mudah dan

sangat efisien. Tidak hanya itu, facebook merupakan situs jejaring sosial paling

populer saat ini dengan 900 (sembilan ratus) juta pengunjung berbeda setiap

bulan.

Kepopuleran Facebook dan WhatsApp sebagai jejaring sosial tidak hanya

di Negara barat saja, tetapi juga di Negara timur. Berikut ini data statistik

penggunaan facebook ( Arab Social Media Influencers Summit, 2015: 4):

3

Gambar 1. Data Statistik Pegguna Facebook

Gambar data statistik di atas menunjukkan beberapa negara di Timur

Tengah yang banyak menggunakan facebook sebagai sarana komunikasi sosial

mereka. Tercatat facebook memiliki angka perolehan yang cukup tinggi yaitu

87%. Hal tersebut juga dikuatkan dengan laporan dari Arab Social Media

Influencers Summit tahun 2015 bahwa whatsApp dan facebook merupakan

jejaring sosial yang paling banyak digunakan di dunia Arab, facebook sendiri

merupakan jejaring sosial yang memiliki peringkat tertinggi untuk pengguna

terbanyak di 10 (sepuluh) negara Arab, yaitu UEA, Qatar, Oman, Yordania,

Palestina, Irak, Yaman, Libya, Mesir dan Maroko. Pada urutan pertama negara

yang banyak menggunakan whatsApp dan facebook adalah Mesir dan Maroko

(Arab Social Media Influencers Summit, 2015: 24).

Perkembangan media sosial yang semakin meningkat, membuat pengguna

internet di dunia Arab semakin cepat dalam meraih teknologi baru, dan semua

fitur-fitur di media sosial yang menawarkan koneksi, komunikasi, serta berbagi

informasi dengan pengguna yang lain. Para pemuda di dunia Arab merupakan

4

pengguna terbanyak dalam penggunaan media sosial (Arab Social Media

Influencers Summit, 2015: 8).

Selanjutnya, fokus penelitian ini adalah membahas karakteristik bahasa

laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan pengalaman, cerita, masalah

hidup, gaya hidup, pendapat, sikap maupun kehidupan sosialnya dalam jejaring

sosial melalui status facebook.

Berbicara mengenai laki-laki dan perempuan, tidak terlepas dari adanya

perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal berbicara maupun menulis. Salah

satu faktor yang memengaruhi perbedaan gaya berbicara maupun menulis yaitu

gender. Laki-laki dan perempuan memiliki karakter tersendiri dalam

berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Gender sebagai salah satu hal yang

memengaruhi perbedaan karakter tersebut membuat banyak peneliti ingin

mengkaji masalah ini, yaitu ciri khas dari masing-masing laki-laki dan perempuan

dalam menuangkan isi pikirannya ke dalam sebuah pembicaraan dan tulisan.

Fakih (2013: 8) menjelaskan bahwasanya gender yaitu suatu sifat yang

melekat pada laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial maupun

kultural. Perbedaan sifat itu berkaitan erat dengan status, posisi, serta peran laki-

laki dan perempuan dalam masyarakat. Laki-laki dan perempuan telah memiliki

perannya masing-masing dalam masyarakat, baik laki-laki yang cenderung di

artikan sebagai makhluk kuat, rasional, jantan, dan perkasa, ataupun perempuan

yang dianggap memiliki sifat lemah lembut, keibuan, dan emosional. Hal tersebut

sudah terbentuk secara alami dalam kehidupan. Sudah bukan hal tabu jika laki-

laki dan perempuan memang memiliki status dan posisi yang berbeda namun

saling melengkapi. Dengan begitu, jelaslah bahwa perbedaan gender dipengaruhi

5

oleh sosial dan budaya masyarakat, baik pengaruh lingkungan maupun dari

pengaruh cara mendidik antara laki-laki dan perempuan.

Studi bahasa dan gender memusatkan perhatian pada pengaruh gender

terhadap pemakaian bahasa. Holmes (2013: 159) menekankan bahwa perempuan

dan laki-laki berbeda dalam berbicara dan menulis. Perbedaan penggunaan bahasa

tidak hanya terbatas pada gaya bahasa lisan saja, tetapi juga pada gaya tulisan,

baik berupa pemilihan verba, topik, maupun dalam penyusunan kalimat.

Gaya tulisan perempuan cenderung lebih mudah dipahami daripada laki-

laki. Seperti penjelasan Broadbridge (2003: 3) bahwa gaya bicara pada tulisan

perempuan memiliki bobot yang lebih ringan untuk dianalisis daripada laki-laki.

Kemudian, perempuan memiliki perbedaan dalam bertutur seperti yang

dikemukakan oleh Jespersen (dalam Broadbridge, 2003: 3) bahwa perempuan

lebih halus dalam berbicara, menggunakan ekspresi yang tidak kasar, dan

membosankan.

Penelitian mengenai bahasa dan gender telah dilakukan oleh beberapa

peneliti. Berikut merupakan penelitian yang serupa baik berkaitan secara langsung

maupun tidak, yaitu tesis Niswatin Nurul Hidayati (2015) yang berjudul

Karakteristik Kebahasaan Tuturan Laki-laki dan Perempuan dalam Film Anak:

Studi Kasus Cars dan Barbie and 12 Dancing Princesses. Penelitian ini

menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan menggunakan karakteristik

kebahasaan yang dikemukakan oleh Lakoff (1975), yaitu empty adjectives,

hedge, intensifier, hypercorrect grammar, super polite form, tag question, serta

emphatic stress, namun dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya penggunaan

karakteristik color words dan question intonation. Karakteristik kebahasaan yang

6

menunjukkan perbedaan paling mencolok adalah hypercorrect grammar, yaitu

laki-laki menggunakan tuturan informal dalam frekuensi tinggi. Kemudian, faktor

sosial yang melingkupi penggunaan tuturan adalah partisipan. Untuk temuan

terakhir, dua film anak yang telah disebutkan menunjukkan representasi laki-laki

dan perempuan yang sesuai dan tidak sesuai dengan stereotip yang berkembang di

masyarakat, namun secara umum laki-laki dan perempuan digambarkan secara

positif di dalam dua film tersebut.

Penelitian dari Ahmad Mohammad Ahmad Al-Harasheh (2014) yang

berjudul Language and Gender Differences in Jordanian Spoken Arabic: A

Sociolinguistics Perspective menunjukkan bahwa tujuan dari penelitiannya adalah

untuk mengkaji perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan Yordania dalam

berbahasa Arab. Objek yang dikaji dalam penelitian ini dianalisis menggunakan

teori gaya berbicara dan variasi fonologi. Penelitian ini menganalisis percakapan

dan teori kesopanan. Hasil penelitian ini adalah ditemukan bahwasanya laki-laki

dan perempuan Yordania memiliki gaya lingustik atau linguistics styles yang

berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang seperti faktor sosial,

masyarakat, dan pendidikan. Kemudian dalam penelitian ditemukan bahwasanya

perempuan lebih disiplin dalam penggunaan bahasa daripada laki-laki.

Penelitian selanjutnya adalah tesis dari Wahyuni (2014), dalam tesisnya

yang berjudul Fitur-fitur Tuturan yang Digunakan Margaret Thatcher dalam

Wawancara TV, menunjukkan bahwa Margaret Thatcher menggunakan beberapa

fitur bahasa perempuan, misalnya lexical hedges, tag questions, rising intonation

on declaratives, empty adjectives, precise color terms, intensifiers, super polite

forms, avoidance of strong swear words, dan emphatic stress. Kemudian, terdapat

7

dua fungsi dari fitur-fitur yang ditemukan tersebut, yaitu fungsi melemahkan dan

fungsi menguatkan. Kesimpulan terakhir adalah bahwa Margaret Thatcher

menggunakan beberapa bentuk fitur tuturan laki-laki, berupa direct forms dan

swear words.

Skripsi Marshelina Fatin (2014) yang berjudul The Differences Between

Men and Women Language Styles in Writing Twitter Updates, menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan dalam menulis status update laki-laki dan perempuan

pengguna twitter. Rata-rata laki-laki dan perempuan menulis mengenai konteks

bahasa yang sama. Penggunaan kalimat direktif, ekspresif, penggunaan emotikon,

kata tabu dan kata-kata hiperbola. Topik yang diangkat tidak jauh dari gaya hidup,

permasalahan kehidupan, dan interaksi sosial. Tapi, tipe bahasa dan aspek yang

dibicarakan oleh laki-laki dan perempuan benar-benar berbeda. Laki-laki dan

perempuan punya pemilihan kata yang berbeda. Format bahasa laki-laki

cenderung lebih kasar sedangkan format bahasa perempuan cenderung lemah dan

lebih sopan. Itu berarti bahwa gaya bahasa laki-laki dan perempuan tetap berbeda.

Dalam tujuan berkomunikasi, analisis menunjukkan bahwa laki-laki dan

perempuan cenderung berkomunikasi atau menulis status di twitter untuk

menyatakan perasaan dan pendapat dari pada tujuan komunikasi yang lainnya

seperti memberitahukan fakta, mengatasi masalah, membangun dan menjaga

hubungan.

Penelitian Sameer Hamdan (2011) yang berjudul Identifying the Linguistic

Genderlects of the Style of Writing of Arab Male and Female Novelists,

menunjukkan adanya beberapa perbedaan linguistik berdasarkan gaya penulisan

oleh novelis Arab laki-laki dan perempuan. Beberapa ciri-ciri dari leksikal dan

8

sintaksis diidentifikasi berdasarkan spesifikasi gender seorang penulis. Ditemukan

dalam penelitian perbedaan yang cukup signifikan pada ciri yang sering

digunakan seperti warna, kata kerja, slang (caci maki, atau ungkapan populer),

larangan dan istilah eufimisme. Pada penelitian Hamdan ditemukan bahwa laki-

laki lebih cenderung untuk menggunakan banyak nomina pada awal paragraf

sedangkan perempuan lebih sedikit menggunakan nomina. Perempuan lebih

sederhana dalam penggunaan kata yang terkait dengan gender, baik implisit

maupun eksplisit.

Penelitian Rahayu Surtiati Hidayat (2004) yang berjudul Penulisan dan

Gender, menunjukkan adanya perbedaan antara penulis laki-laki dan penulis

perempuan dalam penggunaan bahasa Indonesia. Penelitian tersebut menemukan

fakta bahwasanya perempuan dan laki-laki menggunakan bahasa Indonesia secara

berbeda baik dalam pembentukan kalimat maupun pilihan penggunaan konjungsi.

Temuan ini meunjukkan bahwasanya penutur perempuan dan penutur laki-laki

kaitannya dengan penggunaan bahasa itu berbeda, hal tersebut dikarenakan oleh

pola pengasuhan yang mensosialisasikan kedudukan dan peran setiap jenis

kelamin yang berbeda.

Dari beberapa penelitian di atas, maka alasan peneliti mengambil judul

“Penggunaan Bahasa Tulis Perempuan dan Laki-laki Mesir pada Status

Facebook”, karena kajian mengenai bahasa dan gender selalu menjadi topik

hangat di kalangan akademisi, penggiat gender, dan masyarakat. Penulis merasa

bahwa penggunaan fitur-fitur kebahasaan yang ada dalam status facebook

perempuan dan laki-laki Mesir jika diangkat sebagai bahan penelitian dalam

bidang bahasa dan gender akan mampu menjadi suatu penelitian yang menarik,

9

karena ciri kebahasaan perempuan dan laki-laki secara tulisan masih belum

banyak dikaji, khususnya tulisan yang berasal dari status facebook perempuan dan

laki-laki Mesir. Sebelumnya juga belum pernah dilakukan penelitian mengenai

bahasa dan gender dalam media sosial oleh mahasiswa sastra Arab, khususnya

prodi sastra Arab UNS.

Dengan demikian, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat,

baik manfaat teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan

mampu memberikan sumbangsih terhadap kemajuan di bidang lingusitik

khususnya sosiolingustik, bahasa dan gender. Selain itu, dengan melihat fitur-

fitur kebahasaan dalam status facebook perempuan dan laki-laki Mesir melalui

sudut pandang teori karakteristik kebahasaan, diharapkan menjadi sesuatu yang

nantinya mampu lebih dikembangkan dan didalami melalui penelitian berikutnya.

Penelitian ini juga diharapkan mampu menambah wawasan keilmuan semua

pihak yang tertarik baik yang berkepentingan dalam bidang studi bahasa dan

gender maupun bagi khalayak umum.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi dorongan bagi para

peneliti sosiolinguistik yang tertarik dan berminat dalam bidang bahasa dan

gender, khususnya dengan objek kajian bahasa tulis dalam jejaring sosial.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan ulasan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah di

bawah ini.

1. Bagaimana bentuk-bentuk penggunaan bahasa perempuan dan laki-laki

Mesir dalam menulis status facebook?

10

2. Apa saja topik-topik pembahasan perempuan dan laki-laki Mesir dalam

menulis status facebook?

3. Apa saja fungsi dari status facebook yang dibuat oleh perempuan dan

laki-laki Mesir?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk bahasa perempuan dan laki-laki Mesir

dalam menulis status facebook.

2. Mendeskripsikan topik-topik bahasan perempuan dan laki-laki Mesir

dalam menulis status facebook.

3. Mendeskripsikan fungsi dari status facebook yang dibuat oleh

perempuan dan laki-laki Mesir.

D. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah sangat diperlukan dalam suatu penelitian, mengingat

luasnya permasalahan yang dapat dikaji serta keterbatasan kemampuan peneliti.

Pembatasan masalah juga dilakukan untuk membatasi penelitian agar lebih

mendalam dan terarah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Penelitian ini

mengkaji serta membahas kaitannya dengan studi sosiolinguistik pada

pembahasan bahasa dan gender. Pembatasan masalah pada penelitian ini yaitu:

1. Data yang dianalisis berupa 120 (seratus dua puluh) status facebook

mahasiswa Mesir yang berbahasa Arab Fuscha>, perempuan dan laki-laki.

Data diambil secara acak dari bulan Januari s.d. Juli 2016.

11

2. Bentuk-bentuk penggunaan bahasa perempuan dan laki-laki pada status

facebook berupa penemuan fitur-fitur linguistik berdasarkan teori Lakoff

(1975).

3. Fungsi bahasa berdasarkan teori Janet Holmes (2013).

E. Landasan Teori

Teori merupakan suatu landasan untuk menentukan metode dan teknik

dari penelitian (Subroto, 1992: 32). Berikut merupakan teori-teori yang digunakan

dalam penelitian ini:

1. Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan kajian linguistik antardisiplin, yaitu sosiologi

dan linguistik. Sosiologi pada dasarnya merupakan sebuah kajian yang objektif

dan ilmiah terkait manusia dalam ranah masyarakat, lembaga-lembaga, dan

proses sosial yang terjadi di dalam masyarakat (Chaer dan Leoni Agustina,

2011: 2). Dengan mempelajari proses sosial manusia dalam kehidupan

bermasyarakat, maka akan diketahui tabiat manusia dalam usaha untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungannya, yaitu proses komunikasi, sosialisasi,

dan bersikap dalam masyarakat.

Disiplin kedua yang melekat pada kajian sosiolinguistik adalah linguistik.

Chaer dan Leonie Agustina (2011: 2) mengungkapkan bahwa linguistik

merupakan sebuah kajian ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu

yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Holmes (2013: 1) juga

menjelaskan bahwa kajian sosiolinguistik itu mempelajari hubungan antara

bahasa dengan masyarakat sosial. Dalam hal ini, sosiolinguistik lebih tertarik

12

dalam menjelaskan alasan manusia berkomunikasi secara berbeda dalam situasi

sosial yang berbeda pula. Sosiolinguistik juga mengkaji dengan mengenali

fungsi sosial dari suatu bahasa dan cara bahasa tersebut digunakan untuk

menyampaikan pesan.

Peneliti yang berasal dari Timur Tengah, Barhu>mah (2002: 9) berpendapat

bahwasanya hal yang mendorong perkembangan ilmu sosiolinguistik adalah

fenomena bahasa yang sangat beragam cabang kajiannya, yaitu bentuk

strukturnya, fonologi, morfologi, leksikal, dan sistem-sistem lain yang terdapat

di dalamnya. Karena bahasa dalam pelaksanaan umumnya terealisasi dengan

melafalkan dan mendengar. Bahasa merupakan fenomena sosial yang

menyebar dalam struktur masyarakat. Lalu, bahasa mengarahkan jalan untuk

mempelajari perkembangan kata-kata, hubungan kosakata, susunan-susunan

terkait faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, dan agama.

Dalam bahasa Arab, Al-Khuli (1982: 261) menyepadankan sosiolinguistik

dengan istilah /‘Ilmul-lughah Al-ijtima‘>i>/, yaitu salah satu ilmu

bahasa terapan yang mempelajari kaitannya dengan berbagai dialek geografis,

dialek sosial, dan bahasa-bahasa yang hampir sama, serta pengaruhnya yang

saling berkesinambungan dengan bahasa masyarakat/sosial.

Holmes (2013: 162) memaparkan mengenai gender dalam bukunya

Introduction to Sociolinguistics bahwa perbedaan gender pada ilmu bahasa

sering menjadi salah satu perbedaan aspek linguistik yang lebih persuasif di

lingkungan masyarakat sebagai bentuk refleksi dari perbedaan status sosial dan

kekuasaan. Misalnya, suatu kelompok yang sangat hirarkis dan di dalam setiap

tingkatan hirarkinya, laki-laki lebih berkuasa dibanding perempuan maka

13

perbedaan linguistik antara ujaran perempuan dan laki-laki hanyalah satu

dimensi saja dibandingkan perbedaan yang mewakili keseluruhan hirarki

tersebut.

Holmes (2013: 167-169) juga menjelaskan bahwa terdapat tiga penjelasan

perempuan lebih sering menggunakan bahasa standar. Yang pertama, yaitu

adanya kesadaran status sosial dan juga latar belakang kelas sosial pada

perempuan. Yang kedua, cara masyarakat yang cenderung mengharapkan

perilaku ‘lebih baik’ dari perempuan daripada laki-laki. Yang ketiga yaitu

orang-orang bawahan harus lebih sopan. Perempuan sebagai kelompok yang di

bawah berpendapat bahwa mereka harus menghindari menyinggung laki-laki

dan juga mereka harus berbicara dengan hati-hati dan sopan.

2. Bahasa dan Gender

Fakih (1996: 23) mendefinisikan gender sebagai sifat yang melekat pada

laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari konstruksi sosial dan kultural.

Seperti anggapan bahwa perempuan dianggap lemah lembut, emosional,

keibuan dan laki-laki dianggap rasional, kuat, jantan, dan perkasa. Anggapan

tersebut adalah ciri atau sifat yang tidak permanen dan bisa dipertukarkan atau

sifat-sifat tersebut bisa jadi berada pada diri laki-laki maupun perempuan.

Seperti halnya dengan Fakih, Holmes (2013: 161) juga mengatakan bahwa

masyarakat membentuk laki-laki dan perempuan dengan cara yang berbeda.

Laki-laki dan perempuan tidak hanya berbeda secara biologis, namun laki-laki

dan perempuan juga berbeda secara sosial. Perbedaan secara sosial tersebut

berdampak pada penggunaan bahasa sehingga laki-laki dan perempuan

menggunakan bahasa dengan cara yang berbeda .

14

Holmes (2013: 167) menjelaskan bahwa dalam berbahasa perempuan

menggunakan bahasa yang lebih standar daripada laki-laki. Hal itu disebabkan

oleh status sosial dan peran perempuan dalam masyarakat. Kecenderungan

perempuan untuk menggunakan bahasa yang lebih standar disebabkan

perempuan lebih menyadari bahwa cara seseorang berbahasa berkaitan dengan

peran perempuan dalam masyarakat. Ada sebuah kecenderungan bahwa

perempuan diharapkan untuk berperilaku lebih baik daripada laki-laki (Holmes,

2013: 168).

Connell (2002: 51) menjelaskan bahwasanya kategori perbedaan bahasa

dan gender bukan merupakan kategori yang tetap. Ini disebabkan karena

adanya perbedaan spesifik dan situasional yang terkadang muncul dalam

komunikasi antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan itu bisa saja

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain gender seperti suasana berkomunikasi

dan tingkat status sosial dari pembicara.

Kaitannya dengan bahasa standar, hal tersebut justru tidak sesuai dengan

situasi di negara-negara Timur Tengah. Tugas perempuan umumnya adalah

mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak, sedangkan dalam lingkup

sosial dia memiliki batasan. Perempuan dianggap cukup dengan dialek yang

diucapkan sebagai pelaksanaan berbahasa. Adapun laki-laki, mereka memiliki

ruang lingkup yang luas, beberapa dari mereka ditempatkan di bidang politik,

ekonomi, ulama, tenaga pendidik, tentara, administrator, dan lain sebagainya,

sehingga kesempatan mereka menggunakan bahasa standar/baku lebih besar

(Barhu>mah, 2002: 16).

15

Perbedaan peran dalam ranah sosial adalah yang dipercaya mampu

memengaruhi gaya penulisan pada laki-laki dan perempuan. Ketika pada

kenyataannya perempuan-perempuan Arab banyak menggunakan dialek dan

cenderung beraktivitas di dalam rumah, maka tidak heran jika perempuan

dalam menulis banyak menggunakan pola kalimat yang sama. Begitu pula

ketika kita melihat peran laki-laki dalam lingkup sosial yang sangat beragam

dalam pekerjaan maupun pergaulan, para lelaki akan sangat mungkin untuk

memiliki variasi bahasa yang cukup dan lebih beragam dibandingkan dengan

perempuan. Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Broadbridge (2003: 3) bahwa

gaya bicara pada tulisan perempuan memiliki bobot yang lebih ringan untuk

dianalisis daripada laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam bertutur.

Sebelumnya juga mengenai perbedaan ini, Holmes (2013: 160)

menekankan bahwa perempuan dan laki-laki berbeda dalam berbicara dan

menulis. Perbedaan penggunaan bahasa tidak hanya terbatas pada gaya bahasa

lisan saja, tetapi juga pada gaya tulisan, baik berupa pemilihan verba, topik,

maupun dalam penyusunan kalimat.

Para ahli bahasa menduga bahwa pemantauan perilaku bahasa berdasarkan

gender itu melibatkan hubungan antara faktor-faktor sosial dan perilaku bahasa.

Pada hakikatnya perbedaan-perbedaan yang ada di antara laki-laki dan

perempuan tidak berlawanan dalam hal biologis dan perilakunya, akan tetapi

kembali pada sosial dan budayanya (Barhu>mah, 2002: 21). Mungkin adanya

pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal itu kebanyakan

dalam hal pemikiran dan budaya (Barhu>mah, 2002: 43).

16

Lakoff (dalam Haas, 1979: 253) mengatakan bahwa berdasarkan penelitian,

bentuk kalimat panjang itu lebih banyak digunakan oleh perempuan daripada

laki-laki, dan hal tersebut memberi kesan bahwa perempuan itu banyak

berbicara. Contohnya, perempuan akan cenderung membuat kalimat Will you

help me with the groceries, please, ‘maukah anda membantu saya

membawakan bahan makanan ini’ kalimat tersebut lebih merefleksikan

karakter perempuan, daripada hanya berucap help me ‘tolong saya’ ataupun

please help me with the groceries ‘tolong bantu saya membawa bahan

makanan ini’. Bagaimanapun juga, terdapat bukti empiris yang menyatakan

bahwa setidaknya pada kondisi tertentu kalimat perempuan lebih pendek

daripada laki-laki. Contohnya, pada suatu seminar atau konferensi, pada saat

mengajukan pertanyaan, perempuan tidak memakan banyak waktu

dibandingkan dengan laki-laki.

Wood (dalam Haas, 1979: 619) mengatakan bahwa laki-laki cenderung

menggunakan kata-kata lebih banyak daripada perempuan dalam menanggapi

stimulus yang diberikan kepadanya. Singkatnya, stereotip jelas menunjukkan

bahwa perempuan lebih banyak berbicara yang tidak penting (verbose)

daripada laki-laki. Bukti empiris telah bercampur. Seorang gadis tampaknya

berbicara agak lebih banyak daripada laki-laki, tetapi perempuan dewasa,

terutama yang berada atau bekerja di perusahaan yang didominasi oleh pekerja

laki-laki, ditemukan bahwa perempuan lebih sedikit berbicara daripada teman-

teman laki-lakinya.

Perempuan dan laki-laki pada setiap percakapannya atau interaksi terhadap

sesama pastilah memiliki sebuah topik untuk dibahas. Topik mengacu pada

17

subjek ucapan lisan, atau mengenai sesuatu yang ada dalam percakapan (Haas,

1979: 619). Kramer (dalam Haas, 1973: 619) mengatakan bahwa dia

menemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik bahasan laki-

laki dan perempuan berdasarkan penelitiannya pada kartun New Yorker.

Hasil penelitian dari Kramer tersebut mengungkapkan bahwasanya laki-

laki berbicara dengan topik bahasan seperti bisnis, politik, pajak, usia,

peralatan rumah tangga, elektronik, asmara, olahraga, dan interaksi sosial.

Wanita berbicara mengenai kehidupan sosial, buku, makanan dan minuman,

masalah hidup, pekerjaan, suami, umur, dan gaya hidup. Terlihat bahwa topik

yang dibicarakan oleh laki-laki dan perempuan cenderung berbeda.

Perempuan tidak membahas topik yang berkaitan dengan olahraga, bisnis, dan

politik, sedangkan laki-laki tidak membahas sesuatu yang berkaitan dengan

makanan, minuman, masalah hidup, dan gaya hidup. Dalam hal ini terlihat

bahwa laki-laki dan perempuan memiliki ketertarikan yang berbeda dalam

membicarakan sesuatu.

Lakoff (1975: 8-19) mengemukakan teori mengenai ciri bahasa perempuan

dalam bukunya yang berjudul Language and the Women’s Place, berikut

merupakan ciri-ciri bahasa perempuan.

a. Color Words ‘Istilah Warna’

Lakoff (1973: 49) berpendapat bahwa secara singkat, teori ini

menguraikan bahwa ada perbedaan dalam penyebutan warna yang

digunakan oleh perempuan dan tidak digunakan oleh laki-laki. Perempuan

mempunyai kosakata warna yang lebih banyak, contohnya warna ungu,

perempuan menggunakan lavender atau mauve untuk menyebutkan warna

18

lain yang sama dengan ungu. Kosakata tersebut lebih sering digunakan

oleh perempuan daripada laki-laki.

Barhu>mah (2002: 132) dalam bukunya yang berjudul Al-lughah

wal-jins juga menjelaskan bahwa perempuan memberikan karakteristik

pada warna lebih mendalam daripada laki-laki, contohnya warna merah,

coklat kekuningan, ungu, merah marun, nilam pink. Adapun laki-laki lebih

cenderung pada warna-warna putih, biru, hijau, hitam, biru tua, dan coklat.

Al-Khuli (1982: 46) mengatakan dengan istilah color words dengan istilah

mufrada>tul-alwa>n (color lexicon), yaitu kosakata yang menunjukkan pada

warna-warna dalam suatu bahasa.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perempuan

mempunyai bahasa tersendiri dalam penggunaan kosakata warna yang

memang tidak sering digunakan oleh laki-laki. Dengan kata lain, kosakata

untuk warna tersebut hanya dimiliki oleh perempuan.

b. ‘Empty’ Adjectives ‘Adjektiva Kosong’

Mengenai hal ini, Lakoff (1973: 51) mengatakan bahwa terdapat

kelompok kata sifat, yang mempunyai makna spesifik dan literal, juga

menunjukkan persetujuan dan kekaguman penutur terhadap sesuatu. Kata

sifat ini disebut empty adjective atau adjektiva kosong, yang berarti bahwa

kata tersebut tidak memiliki informasi khusus hanya sekedar ekspresi

emosional tanpa makna oleh penutur. Sebagian besar kata sifat ini netral,

artinya laki-laki maupun perempuan diperbolehkan untuk

menggunakannya. Adapun kata sifat yang netral yaitu great dan neat.

Namun terdapat beberapa kata sifat yang memberi kesan hanya dapat

19

digunakan oleh perempuan saja. Contoh kata sifat yang memiliki kesan

hanya digunakan oleh perempuan yaitu adorable, charming, sweet, lovely,

divine, gorgeous, dan cute.

Hal tersebut selaras dengan pendapat Barhu>mah (2002: 128) bahwa

perempuan lebih banyak menggunakan kalimat-kalimat ta‘ajjub

(ungkapan kekaguman), pengecualian, dan partikel dibandingkan dengan

laki-laki. Al-Khuli (1982: 89) menjelaskan bahwa jumlah ta‘ajjubiyyah

yaitu kalimat yang berfungsi untuk mengungkapkan kekaguman yang

disertai dengan informasi. Contoh:

/Chaqqa>n, shidqa>n, fi‘la>n, fi‘liyya>n, ma> arwa‘ahu !, ma> ajmalaha>!, ma>

aladz-dzaha>/

‘Benar, sungguh, sebenarnya, betapa baiknya!, betapa indahnya!, betapa

lezatnya!’

c. Question Intonation/Intonational Pattern ‘Intonasi Kalimat’

Dalam hal ini Lakoff (1973: 55) mengatakan bahwa ia menemukan

pola intonasi yang khas yang hanya dimiliki oleh perempuan dalam bahasa

Inggris, seperti bentuk jawaban deklaratif yang ditampilkan dengan

intonasi seperti sedang bertanya khususnya pada pertanyaan ya-tidak, serta

terdengar ragu-ragu. Efeknya adalah seolah-olah sedang mencari

konfirmasi, meskipun pada saat yang sama pembicara mungkin satu-

satunya orang yang memiliki informasi yang diperlukan.

Barhu>mah (2002: 121) dalam pendapat yang sama juga

mengatakan bahwa perempuan mempunyai kemampuan yang besar/tinggi

dalam menggunakan intonasi atau ragam bunyi. Jadi kemampuan ini

seringkali diikuti oleh ungkapan atau ekspresi emosional yang dimiliki

20

perempuan, seperti pertanyaan pada akhir kalimat. Al-Khuli (1982: 138)

meyepadankan istilah intonational pattern dengan istilah namathu’t-

tanghi>m.

d. Lexical Hedges

Lexical hedges adalah fitur linguistik yang umumnya berfungsi

mengurangi kekuatan sebuah tuturan dan melemahkan efek dari sebuah

pernyataan (Wahyuni, 2014: 18).

Holmes (2013: 304) juga menambahkan mengenai teori Lakoff

tersebut bahwasanya hedges dan boosters memperlihatkan kurangnya

kepercayaan diri perempuan. Coates (dalam Wahyuni, 2015: 18) juga

menguatkan bahwa dengan hedges, perempuan cenderung menggunakan

frase-frase seperti sort a/sort of, like, you know, well, kind a, I guess, dan it

seems like.

Hal tersebut selaras dengan pendapat Barhu>mah (2002: 127) bahwa

tuturan perempuan konstruksinya banyak terbentuk dari modal yang

menunjukkan pada keanekaragaman tuturan, kemungkinan-kemungkinan

dan keraguan pada perkataannya, misal:

/Azhunnu, yatahayya’u li>, atashawwaru/

‘Aku kira, tampak olehku, aku pikir’

Sering sekali perempuan menggunakan konstruksi seperti ini, dan

hal tersebut menunjukkan ketidakpastian dan lemahnya perempuan dalam

hal menentukan atau memutuskan. Barhu>mah (2002: 127) menyebut

bentuk-bentuk contoh di atas dengan istilah syakliyyatul-ichtima>la>t yang

21

artinya bentuk kemungkinan. Jadi sesuatu yang masih diragukan, atau

belum pasti.

e. Intensifiers

Intensifier seperti so, just, very, dan quite lebih mencerminkan

karakteristik bahasa perempuan daripada laki-laki. So dinyatakan

mempunyai sisi feminin (Jespersen, 1922: 250).

Lakoff (1973: 54) mengatakan bahwa intensifier so, digunakan

untuk mempertegas superlatif mutlak seperti very, relly, utterly.

tampaknya lebih tepat menjadi ciri bahasa perempuan daripada laki-laki.

Perhatikanlah kalimat berikut ini:

1) I feel so unhappy

‘Aku merasa tidak bahagia’

2) That movie made me so sick

‘Film itu membuatku sangat sedih’

Al-Khuli (1982: 134) menyepadankan fitur intensifiers (adverb of

degree) dengan istilah zharfu’d-darajah, yaitu zharf yang menunjukkan

tingkatan sifat, keadaan, atau cara. Contohnya too, so, very yang

kesemuanya memiliki arti ‘sangat’. Sedangkan Barhu>mah (2002: 128)

menyebutnya dengan istilah al-alfa>zhu al-muda‘amah wal-muba>laghah.

Barhu>mah (2002: 128) mengatakan bahwa perempuan dalam

percakapannya cenderung menggunakan kata-kata penegas dan melebih-

lebihkan (hiperbola) dan semua itu dimaksudkan untuk menegaskan

makna yang dimaksud, seperti:

22

/ra’i‘un katsi>run, kabi>run, abadan, jiddan, muthlaqan, ha>’ilun, tama>man/

‘tinggi sekali, besar, selalu, sekali, pasti, sulit, tepat.’

f. ‘Hypercorrect’ Grammar

Hypercorrect grammar adalah penggunaan bahasa yang sesuai

dengan bentuk standar suatu bahasa, hal yang sama dikemukakan oleh

Hidayati (2015: 18) bahwa hypercorrect grammar dapat merujuk pada

penggunaan bahasa Inggris yang sesuai dengan tata aturan baku. Hal

tersebut meliputi menghindari bahasa kasar, lebih sering meminta maaf,

dan penggunaan bentuk paling sopan. Dengan kata lain, perempuan

berbicara sebisa mungkin mendekati bentuk baku bahasa Inggris

(Wahyuni, 2014: 29).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa

peneliti, ditemukan bahwa perempuan lebih memiliki kecenderungan

untuk menggunakan bentuk bahasa baku daripada laki-laki. Misalnya,

Holmes (2013: 164) menyatakan bahwa bentuk-bentuk linguistis yang

digunakan oleh perempuan dan laki-laki berbeda pada tingkatan yang

berbeda pada masing-masing lingkungan tuturan. Ia menambahkan bahwa

terdapat anggapan perempuan memiliki tuturan yang lebih sopan

dibandingkan laki-laki.

Lakoff (2004: 80) mengatakan bahwa perempuan tidak seharusnya

berbicara tidak sopan atau kasar. Berdasarkan pendapat Lakoff tersebut

dapat disimpulkan bahwa perempuan seyogyanya berbicara dengan halus

23

dan sopan menggunakan bahasa standar pada bicaranya, sehingga

membuat kalimat tersebut terdengar lebih sopan.

Contoh:

I would be very appreciative if you could show me the way.

‘Saya akan sangat berterima kasih jika anda berkenan menunjukkan saya

jalannya.’

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa menggunakan bahasa

baku yang sesuai standar berarti menggunakan bahasa sesuai dengan tata

aturan dan kaidah bahasa tertentu, hal ini juga berlaku untuk bahasa Arab.

Penggunaan bahasa Arab yang sesuai standar berarti menggunakan bahasa

sesuai dengan kaidah dan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya.

Versteegh (dalam Setiawati, 2011: 43) mengatakan bahwa kaidah-kaidah

bahasa dalam bahasa Arab standar dipakai secara konsisten, atau dengan

kata lain tidak melanggar kaidah bahasa yang ada. Al-Khuli (1982: 197)

menyebutkan hal semacam ini dengan istilah tashchi>chun mufrithun

(overcorrection/hypercorrection), yaitu perubahan kata atau kalimat secara

gramatikal lisan maupun tulisan yang sesuai dengan kaidah bahasa.

g. Super Polite Form ‘Bentuk Tuturan yang Sangat Santun’

Penggunaan bentuk tuturan yang sangat santun (super polite form)

dianggap sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya dilakukan oleh

perempuan. Perempuan juga diharapkan sering menggunakan ungkapan

seperti please dan thank you untuk tetap menjaga konvensi sosial (Lakoff,

1975: 55).

Lakoff (1973: 57) mengatakan ketika sebuah kata memiliki

konotasi buruk atau berkaitan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan

24

atau memalukan, seseorang mungkin akan mencari kata pengganti yang

lebih santun. Sikap seperti ini dalam ilmu sosiolinguistik disebut

eufemisme. Eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-

ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-

ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin

dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu

yang tidak menyenangkan (Keraf, 2000: 132).

Al-Khuli (1982: 219) menyebut istilah polite form/honorific form

dengan istilah shighatul-ichtira>m, yaitu bentuk gramatikal yang

menunjukkan kesopanan penutur kepada lawan tutur. Barhuma>h (2002:

219) menyebutnya dengan istilah al-uslu>b al-muaddab, yaitu gaya bahasa

yang sopan. Sependapat dengan Lakoff, Barhu>mah (2002: 127)

menjelaskan bahwa perempuan menghindari penggunaan kalimat perintah

dan lebih banyak menggunakan kalimat lain yang lebih santun dengan

menyandarkan pada kepekaan mitra tutur, misalnya kalimat di bawah ini:

/Idza> takarramta aghliq al-ba>ba/

‘Jika anda tidak keberatan, tutuplah pintu itu.’

Perempuan juga menggunakan sapaan yang baik kepada mitra

tuturnya yang dianggap dekat (Barhu>mah, 2002: 127), misal:

/Ya> ‘azi>zati>, ya> chabi>bi>, ya> nu>ra ‘aini>, ya> ru>chi>/

‘Wahai sayangku, wahai cintaku, wahai cahaya mataku, wahai jiwaku.’

25

h. Tag Question

Crystal (dalam Hidayati, 2015: 18) menyebutkan bahwa tag question

adalah suatu ungkapan yang terdapat di akhir kalimat untuk memberikan

penekanan, biasanya hal ini digunakan untuk mendapat persetujuan atau

untuk memastikan informasi. Crystal (2008: 476) memiliki penjelasan

yang seirama, yaitu dalam kamusnya yang berjudul A Dictionary of

Linguistics and Phonetics bahwa tag question adalah istilah dalam suatu

tata bahasa untuk menyebut struktur pertanyaan yang biasanya terdiri dari

kata kerja bantu dan kata ganti, serta melekat pada akhir pernyataan untuk

menyampaikan konfirmasi negatif atau positif.

Lakoff (1975: 15) menambahkan seperti ini, seorang perempuan

membuat sebuah pernyataan ketika ia percaya dengan pengetahuannya dan

yakin bahwa pernyataannya akan dipercayai. Seseorang akan bertanya

ketika ia tidak memiliki pengetahuan akan sesuatu dan mempunyai alasan

bahwa ketidaktahuannya dapat dijawab oleh lawan bicaranya. Misalnya Is

John here? ‘Apakah John disini?’ jika seseorang menanyakan hal tersebut,

dia mungkin tidak akan terkejut jika jawabannya ‘tidak’. Akan tetapi jika

ia bertanya seperti ini John is here, isn’t he? ‘John disini, kan?’ maka akan

berbeda responnya. Salah satu alasannya adalah bahwa lawan bicara telah

dipengaruhi jawaban positif dan penutur hanya ingin sebuah konfirmasi

dari lawan bicara. Sama halnya dengan pertanyaan ya-tidak. Dengan

demikian tag question dapat dipahami sebagai sebuah pernyataan

deklaratif tanpa asumsi bahwa pernyataan tersebut harus dipercayai oleh

lawan bicara dengan sebuah pertanyaan. Dengan kata lain, tag question

26

memberikan lawan bicara kebebasan, tidak mendesaknya untuk

sependapat dengan pandangan penutur.

Terkadang, tag question digunakan ketika penutur dan lawan tutur

mengetahui jawaban yang semestinya, dan tidak membutuhkan konfirmasi

seperti contoh di bawah ini:

Sure is hot here, isn’t it?

‘Sungguh di sini panas sekali, iya kan?’

Menurut Lakoff (1975: 16) jenis tag question ini lebih tepat

digunakan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Hal tersebut karena

kalimat ini menyediakan sarana sehingga seorang penutur dapat

menghindari keterlibatan dirinya dan menghindari perselisihan dengan

lawan tutur. Permasalahannya adalah bahwa penutur mungkin juga

memberikan kesan bahwa dirinya tidak begitu yakin karena ia hanya

mencari konfirmasi dari lawan tutur dan tidak mempunyai pandangannya

sendiri.

Lakoff (1975: 61) menyebutkan bahwa tag question merupakan

simbol dari ketidakpercayaan diri, dan biasanya digunakan oleh seseorang

yang mencari konfirmasi akan suatu informasi.

Holmes (2013: 318-319) juga menambahkan bahwa tag question

merupakan salah satu cara yang digunakan seseorang sebagai alat untuk

kesantunan. Kemudian, Holmes juga membagi dan menjelaskan fungsi

dari tag question menjadi 4 (empat), yang pertama yaitu expressing

uncertainty ‘menunjukkan ketidakyakinan’, yang kedua positive politeness

device ‘alat kesopanan positif’, yang ketiga soften a directive/a criticism

27

‘memperhalus tuturan direktif/kritik’, dan yang keempat yaitu

confrontial/coercive device ‘alat untuk memaksa’.

Sehubungan dengan tag question, Barhum>ah (2002: 126) juga

berpendapat yang sama mengenai tag question bahwa pola kalimat dan

pertanyaan perempuan cenderung pendek ketika ia hendak menekankan

pada suatu hal. Barhum>ah (2002: 126) menyebutnya dengan istilah as-sua>l

al-qashi>r . Contohnya.

؟

/Alaisa kadzalik? Hal tuwa>fiquni>?/

‘Bukankah seperti itu? Apakah kau sepakat denganku?’

Perempuan juga dominan menggunakan pola tag question untuk

menyampaikan maksud dengan menghindari resiko perselisihan yang

besar. Penggunaan tag question dengan intonasi nada naik merupakan

indikator kesantunan bahasa perempuan.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

tag question adalah bentuk pertanyaan singkat yang didahului oleh kalimat

deklaratif atau pernyataan dengan tujuan diantaranya digunakan untuk

menggambarkan ketidakyakinan, untuk menegaskan, dan memastikan

sesuatu.

i. Avoidance of Strong Swear Words ‘Menghindari Umpatan’

Kata makian adalah jenis kata seru yang dapat mengekspresikan

kemarahan dengan sangat ekstrim dan telah dianggap sebagai ekspresi

yang sangat kuat (Eckert dan Ginet, 2003: 181).

28

Strong swear words disini diartikan sebagai umpatan yang kuat,

seperti yang dikatakan oleh Lakoff (1973: 50), perbedaan antara antara shit

dan damn dengan oh dear, atau godness, atau oh fudge, terletak pada

penegasan seseorang dalam berkata dan merasakan. Pemilihan partikel

adalah sebuah fungsi dari seberapa kuatnya seseorang memungkinkan

dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu, sehingga kekuatan emosi

disampaikan dalam bentuk kalimat sesuai degan kekuatan partikel tersebut.

Perempuan lebih sering menggunakan oh dear sedangkan laki-laki

menggunakan shit. Lakoff (1975: 10) memberikan contoh di bawah ini:

1) Oh dear, you’ve put the peanut butter in the refrigerator again.

‘Astaga, kamu meletakkan selai kacang di lemari es lagi’

2) Shit, you’ve put the peanut butter in the refrigerator again.

‘Sial, kamu meletakkan selai kacang di lemari es lagi.’

Tuturan nomor 1) dianggap sebagai tuturan yang lebih banyak

digunakan oleh perempuan sedangkan nomor 2) dianggap lebih sering

digunakan oleh laki-laki. Laki-laki dan perempuan memiliki bentuk

ungkapan yang berbeda terhadap sesuatu hal. Misalnya shit, hell, damn,

bloody hell, dsb. lebih banyak digunakan oleh laki-laki, sedangkan

perempuan akan menggunakan good heavens, oh my goodness, my

goodness, oh dear, my dear, dsb. Sebagai tambahan Lakoff (2004: 80)

juga mengatakan bahwa perempuan tidak seharusnya berbicara kasar.

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri bahasa

perempuan yaitu menghindari umpatan dan berbicara kasar.

29

j. Emphatic Stress

Lakoff (1975: 56) mendefinisikan emphatic stress sebagai

ungkapan ketidakyakinan dengan menggunakan ekspresi dari penutur

sendiri, meskipun ungkapan ini dapat terlihat sebaliknya. Yang dimaksud

Lakoff adalah bahwa emphatic stress memiliki fungsi untuk memberikan

penekanan terhadap suatu tuturan ketika penutur merasa tidak yakin

terhadap tuturannya, sehingga lawan tutur akan merasa yakin dengan apa

yang penutur sampaikan. Sebagai contoh it was a briliant performance!.

Kata briliant merupakan emphatic stress yang digunakan untuk

menekankan kata performance. Al-Khuli (1982: 84) menyebutkan

penekanan seperti itu dengan istilah taukid, yaitu meninggikan suara pada

sebuah kata atau kalimat dengan maksud memberi penekanan bahwa

sesuatu itu penting. Al-Khuli (1982: 84) juga menyebutkan hal semacam

ini dengan istilah kalimah taukidiyyah yaitu kata yang berfungsi sebagai

penekanan, dan kata tersebut kembali pada pembahasan sebelumnya.

Berikut di atas merupakan fitur-fitur kebahasaan perempuan. Tidak

dijelaskan secara langsung dalam beberapa penelitian bahwa laki-laki juga

memiliki fitur-fitur kebahasaan seperti perempuan sehingga dalam

penelitian ini digunakan fitur yang sama untuk mengulas penggunaan

bahasa oleh laki-laki dengan fitur kebahasaan Lakoff (1975).

3. Jenis-jenis Kalimat dalam Bahasa Arab

Kalimat merupakan unsur terbesar dalam tataran sintaksis. Digunakan

dalam penelitian ini jenis kalimat dalam bahasa Arab. Kaidah bahasa

Indonesia menjelaskan bahwa kalimat adalah, 1) satuan bahasa yang secara

30

relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun

potensial terdiri dari klausa; 2) klausa bebas yang menjadi bagian kognitif

percakapan; satuan proposisi yang merupakan satu klausa atau merupakan

gabungan klausa, yang membentuk satuan bebas; jawaban minimal, seruan,

salam, dsb.; 3) konstruksi gramatikal yang terdiri atas satu atau lebih klausa

yang ditata menurut pola tertentu, dan dapat berdiri sendiri sebagai satu satuan

(Kridalaksana, 2011:103).

Al-Khuli (1982: 253) menyepadankan kalimat dengan istilah jumlah.

Kalimat (jumlah) adalah satuan terbesar yang lazim dijelaskan dalam ilmu

nahwu (sintaksis), baik dalam bentuk sederhana, bertautan atau bertingkat.

Kalimat dapat berupa berita, pertanyaan, permintaan, atau bentuk kekaguman.

Terdapat dua jenis kalimat dalam bahasa Arab yang digunakan dalam

penelitian ini, yaitu jumlah ismiyyah dan jumlah fi‘liyyah. Berikut penjelasan

selengkapanya.

a. Jumlah Ismiyyah

Jumlah ismiyyah adalah suatu kalimat yang diawali dengan sebuah

jenis ism (Bawani, 1987: 38). Ni’mah (1988: 19) mengungkapkan

bahwasanya jumlah ismiyyah adalah kalimat dalam bahasa Arab yang di

mulai dengan ism atau dhami>r.

Bawani (1987: 39) berpendapat bahwa jumlah ismiyyah pada

pokoknya terdiri dari kata pertama (yang diterangkan) harus termasuk

jenis ism dan kata kedua (yang menerangkan) tidak ada ketentuan, dalam

arti boleh dari jenis ism dan bisa pula dari jenis fi‘l. Kata pertama yang

diterangkan disebut dengan mubtada’ atau sama dengan pokok kalimat

31

sedangkan kata yang kedua yang menerangkan disebut khabar atau sama

dengan predikat dalam tata bahasa Indonesia.

Mubtada’ sendiri yaitu kata jenis ism yang terletak pada permulaan

kalimat. Antara mubtadaʹ dengan kata sesudahnya harus terdiri dari bentuk

yang sederajat, maksudnya mudzakkar dengan mudzakkar, muannats

dengan muannats, begitu pula dalam hal mufrad, mutsanna, dan jamaknya

masing-masing (Bawani, 1987: 236-237). Kemudian khabar, dalam tata

bahasa Arab, yang dimaksud dengan khabar ialah suatu kata yang bertugas

menerangkan keadaan, sifat, dan hal-ihwal kata sebelumnya. Khabar,

harus mengikuti keadaan mubtada’ dalam hal tunggal, dual, jamak, baik

jenis mudzakkar maupun muannats nya (Bawani, 1987: 238).

b. Jumlah Fi‘liyyah

Ni’mah (1988: 19) memaparkan bahwasanya jumlah fi‘liyyah adalah

kalimat yang dimulai oleh fi‘l. Bawani (1987: 39) juga mengungkapkan

hal yang sama bahwa jumlah fi‘liyyah adalah suatu kalimat yang diawali

dengan sebuah fi‘l, kemudian diikuti oleh pelaku pekerjaan tersebut dalam

tata bahasa Arab disebut dengan fa‘il. Jumlah fi’liyyah terdiri dari fi‘l,

fa‘il, dan maf‘ul, tetapi terkadang juga hanya terdiri dari fi‘l dan fa‘il saja

dan tidak membutuhkan maf‘ul.

Fi‘l adalah jenis kata yang menunjukkan terjadinya pekerjaan atau

peristiwa, baik waktu lampau, sekarang, maupun yang akan datang

(Bawani, 1987: 66), atau singkatnya Ni‘mah (1988: 18) menyebutkan

bahwa fi‘l adalah semua kata yang menunjukkan kala tertentu.

32

Fa‘il adalah ism dalam keadaan rafa‘ (marfu>‘un) yang didahului oleh

fi‘l dan menunjukkan pihak yang melakukan pekerjaan (Bawani, 1987:

239).

4. Fungsi Bahasa

Hidayat (2014: 26) menjelaskan bahwasanya salah satu aspek penting

dalam sebuah bahasa adalah fungsi bahasa. Secara umum, fungsi bahasa

adalah sebagai alat komunikasi, bahkan hal tersebut dianggap sebagai fungsi

utama dari bahasa.

Melihat definisi sosiolinguistik yang dipaparkan oleh Wardhaugh (2006:

13) bahwa sosiolinguistik diartikan sebagai ilmu yang meneliti hubungan

antara bahasa dengan masyarakat yang menggunakan bahasa. Hal tersebut

dengan tujuan agar masyarakat lebih memahami susunan bahasa dan kegunaan

fungsi bahasa ketika dipakai untuk berkomunikasi.

Holmes (2013: 275) dalam bukunya yang berjudul An Introduction to

Sociolinguistics menjabarkan 6 (enam) fungsi tuturan. Holmes mengatakan

bahwasanya fungsi tuturan tersebut sudah terbukti bermanfaat dalam

penelitian sosiolinguistik. Di bawah ini merupakan 6 (enam) fungsi tuturan

menurut Holmes.

a. Expressive ‘Ekspresif’

Ungkapan yang berfungsi untuk mengekspresikan perasaan penutur,

seperti senang maupun sedih (Holmes, 2013: 275). Finocchiaro (dalam

Hidayat 2014: 28) juga berpendapat yang sama meskipun demikian dia

menyebut fungsi ekspresif ini dengan istilah fungsi personal. Fungsi

personal menurutnya merupakan ujaran untuk menyatakan emosi,

33

kebutuhan, pikiran, hasrat, sikap, perasaan. Al-Khuli (1982: 91)

menjelaskan bahwa fungsi ekspresif adalah salah satu fungsi bahasa dalam

penggunaan suatu bahasa sebagai pengungkapan dari pikiran dan perasaan

dalam bentuk ucapan maupun lisan. Dengan begitu, dapat disimpulkan

bahwa fungsi ekspresif digunakan untuk menunjukkan atau

mengungkapkan perasaan ataupun pikiran seseorang dalam bentuk ucapan

maupun tulisan, baik senang, sedih, takut, dan kagum.

Contoh:

I’m feeling great today

‘Aku merasa senang hari ini.’

b. Directive ‘Direktif’

Ungkapan yang berfungsi untuk meminta seseorang agar melakukan

sesuatu (Holmes, 2013: 275). Finocchiaro (dalam Hidayat, 2014: 28) juga

berpendapat yang sama fungsi direktif yaitu ujaran untuk mengendalikan

orang lain dengan saran, nasihat, perhatian, permohonan, dan sebagainya.

Jadi, fungsi ini digunakan untuk meminta atau memerintah seseorang

untuk melakukan sesuatu, baik dalam bentuk ungkapan perintah, saran,

nasihat, dan permohonan.

Contoh:

Clear the table.

‘Bersihkan meja itu.’

c. Referential ‘Referensial’

Ungkapan yang berfungsi untuk memberikan informasi (Holmes,

2013: 275). Halliday (dalam Djojosuroto, 2007: 76) mengemukakan

34

bahwa bahasa itu berfungsi referensial/representasional. Hal ini berarti

bahwa bahasa berfungsi untuk membuat pernyataan-pernyataan,

menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan, atau

melaporkan realitas yang sebenarnya sebagaimana yang dilihat atau

dialami orang. Jadi, kegunaan inti dari fungsi referential ini adalah utuk

menyampaikan informasi.

Contoh:

At the third stroke it will be three o’clock precisely.

‘Pukulan ketiga akan terjadi pada pukul tiga tepat.’

d. Metalinguistic ’Metalinguistik’

Ungkapan yang berfungsi untuk memberikan ulasan atau komentar

terhadap bahasa itu sendiri (Holmes, 2013: 275). Lazimnya bahasa

digunakan untuk membicarakan masalah politik, ekonomi, pertanian dll.

Namun berdasarkan fungsi metalinguistic ini, bahasa digunakan untuk

membahas atau membicarakan bahasa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat

pada proses pembelajaran bahasa. Bahasa digunakan untuk menjelaskan

bahasa, seperti tata bahasa, kaidah, atau aturan-aturan yang terdapat dalam

suatu bahasa. Contoh lain terlihat pada kamus ekabahasa, yaitu kamus

yang menjelaskan makna suatu istilah bahasa menggunakan bahasa yang

sama. Kamus yang disusun dengan menggunakan satu bahasa.

Contoh:

‘Hegemony’ is not a common word.

‘Hegemoni’ bukan kata biasa/umum.’

35

e. Poetic ‘Puitik’

Fungsi yang satu ini fokus pada hal estetis suatu bahasa seperti puisi,

motto, dan sajak (Holmes, 2013: 275). Jakobson (dalam Hidayat, 2014: 27)

juga memaparkan hal yang sama bahwa fungsi poetic merupakan ujaran

yang dipakai dalam bentuk tersendiri dengan mengutamakan nilai-nilai

estetikanya.

f. Phatic ‘Fatis’

Holmes (2013: 275) menjelaskan bahwa phatic merupakan ungkapan

yang berfungsi untuk mengekspresikan solidaritas dan empati terhadap

orang lain. Komunikasi phatic itu digunakan untuk menyampaikan pesan

afektif atau pesan sosial (Holmes, 2013: 275). Salah satu pandangan dari

seorang ahli sosiolinguistik mengatakan bahwa bahasa tidak hanya

digunakan untuk menyampaikan informasi, tetapi juga digunakan untuk

mengungkapkan informasi tentang hubungan sosial (Holmes, 2013: 275).

Fungsi phatic dalam bahasa menurut Halliday (dalam Djojosuroto, 2007:

91) sama dengan fungsi interaksional, yaitu fungsinya untuk menjalin

hubungan dan memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial.

Jakobson (dalam Hidayat, 2014: 27) juga mengungkapkan hal yang sama

bahwa fungsi phatic berfungsi untuk memelihara hubungan sosial.

Contoh;

Hi, how are you, nice day isn’t it!

‘Hai, apa kabar, hari yang cerah ya!

36

F. Data dan Sumber Data

Sudaryanto (1988: 10) menyebutkan bahwa data pada hakikatnya adalah

objek penelitian beserta dengan konteksnya, dia juga mengatakan bahwa data

adalah fenomena lingual khusus yang mengandung dan berkaitan langsung

dengan masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 2015: 6). Subroto (192: 34) juga

menambahkan bahwa data sebagai objek penelitian secara umum adalah

informasi atau bahan yang disediakan oleh alam yang dicari atau dikumpulkan

dan dipilih oleh peneliti. Data dalam penelitian ini berupa 120 (seratus dua puluh)

status facebook yang berasal dari 58 (lima puluh delapan) akun facebook

mahasiwa Mesir, 27 (dua puluh tujuh) akun perempuan dan 31 (tiga puluh satu)

akun facebook laki-laki. Data diambil secara acak pada bulan Januari s.d. Juli

2016.

Sumber data merupakan sumber atau asal data penelitian diperoleh (Subroto,

1992: 34). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari jejaring

sosial facebook, berupa status facebook perempuan dan laki-laki Mesir. Alasan

pemilihan data dan sumber data adalah karena peneliti merasa penelitian tentang

bahasa dan gender pada objek yang berasal dari jejaring sosial masih jarang

ditemukan, dan data berupa tulisan dirasa sangat menarik untuk dikaji lebih

serius dalam kajian bahasa dan gender.

G. Metode dan Teknik Penelitian

Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai

maksud (dalam ilmu pengetahuan, dsb.); cara kerja yang bersistem untuk

memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang

37

ditentukan (Djajasudarma, 2010: 1). Sudaryanto (2015: 9) menguatkan bahwa

metode adalah cara yang harus dilakukan atau diterapkan, sedangkan teknik

adalah cara melaksanakan atau menerapkan metode.

Penelitian ini melalui tiga tahapan, yaitu tahap penyediaan data, tahap

analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data.

1. Tahap Penyediaan Data

Tahap penyediaan data merupakan upaya sang peneliti menyediakan data

secukupnya (Sudaryanto, 2015: 6). Data penelitian ini berupa status facebook

laki-laki dan perempuan Mesir. Pemilihan status tersebut dilakukan secara

acak dari bulan Januari 2016 sampai Juli 2016. Pada tahap ini peneliti

menggunakan metode simak. Disebut metode simak atau penyimakan,

karena metode ini dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa.

(Sudaryanto, 1988: 2). Peneliti menyimak penggunaan bahasa tulis

perempuan dan laki-laki pada status facebook yang menjadi data penelitian.

Kemudian untuk teknik dasarnya peneliti menggunakan teknik sadap,

yaitu peneliti menyadap penggunaan bahasa dalam data (Sudaryanto, 1988:

2). Teknik lanjutan yang digunakan oleh peneliti dalam tahap penyediaan

data adalah teknik catat. Teknik catat yaitu teknik lanjutan yang digunakan

untuk mencatat data yang dilanjutkan dengan klasifikasi data (Sudryanto,

1988: 5).

2. Tahap Analisis Data

Metode yang digunakan untuk melakukan analisis data yang sudah

terkumpul adalah menggunakan metode content analysis atau document

analysis. Ari dkk (dalam Wahyuni, 2014: 16) menyebutkan bahwa content

38

analysis adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti materi

tertulis dengan tujuan untuk melihat karakteristik dari materi tersebut.

Analisis isi sering juga disebut analisis konten. Menurut Barelson (dalam

Zuchdi, 1993: 11), analisis konten adalah suatu teknik penelitian untuk

menghasilkan deskripsi yang objektif dan sistematik mengenai isi yang

terkandung dalam media komunikasi. Analisis konten juga dimaknai sebagai

teknik yang sistematis untuk menganalisis makna pesan dan cara

mengungkapkan pesan.

Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan

mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media

massa (Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, 2009: 145). Karena status data

penelitian ini merupakan data tertulis maka metode ini dirasa cocok untuk

digunakan. Kemudian, langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis

data:

a. Mengklasifikasikan data berupa status facebook dari perempuan dan

laki-laki Mesir berdasarkan 10 (sepuluh) fitur kebahasaan Lakoff (1975).

Kemudian penulis membandingkan bentuk bahasa perempuan dan laki-

laki dalam status facebook. Selanjutnya penulis menyimpulkan

persamaan dan perbedaan penggunaan bahasa Arab pada status facebook

tersebut.

b. Mendeskripsikan topik-topik yang menjadi latar belakang penulisan

status perempuan dan laki-laki Mesir.

c. Mendeskripsikan fungsi bahasa berdasarkan status perempuan dan laki-

laki Mesir.

39

d. Menarik kesimpulan dari seluruh analisis yang telah dilakukan dalam

penelitian ini.

3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

Peneliti menggunakan metode penyajian informal. Metode penyajian

informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan

terminologi yang teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993: 145). Penyajian hasil

secara informal ditunjukkan dengan penggunaan kata-kata biasa untuk

mendeskripsikan hasil analisis data. Penyajian data secara informal ini juga

disertai dengan contoh-contoh yang relevan untuk memperoleh hasil analisis

yang menyeluruh atas yang telah dibuat sebelumnya.

H. Sistematika Penyajian

Sistematika penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab 1

merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, pembatasan masalah, landasan teori, data dan sumber data,

metode dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi pembahasan dan analisis mengenai bentuk-bentuk bahasa

perempuan dan laki-laki Mesir, pembahasan dan analisis topik-topik bahasan

yang terdapat dalam status facebook perempuan dan laki-laki Mesir, selanjutnya

pembahasan dan analisis mengenai fungsi dari status facebook yang dibuat oleh

perempuan dan laki-laki Mesir.

Bab III merupakan bab akhir atau penutup yang meliputi simpulan dan

saran dari hal-hal yang sudah dibahas pada bab-bab sebelumnya.