Upload
trankhuong
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Tato dikenal oleh masyarakat umum dengan cara yang berbeda-beda, ada
yang menganggap sebagai seni, ada yang menganggap sebagai bentuk
premanisme. Biasanya makna tato yang dimaksud tersebut ialah yang berasosiasi
dengan kelas sosial, yakni kelas sosial bawah yang menggunakan tato, contohnya
pelaku kriminal yang menggunakannya sebagai identitas preman. Sementara, ada
kalangan lain yang menganggap sebagai tanda “kemachoan”, yang secara
sederhana dapat dipahami merujuk kepada penampilan seorang pria yang
menampakkan kejantanan dan kegagahannya dengan cara-cara tertentu, ada juga
kalangan perempuan ekonomi atas yang menganggapnya sebagai sesuatu yang
seksi bagi pemilik maupun penafsirnya. Apapun maknanya, tato difahami sebagai
sesuatu yang mempunyai nilai dan tujuan. Ada yang tujuannya sekedar sebagai
ekspresi kejiwaan, misalnya “kejantanan”, hingga bentuk pengukuhan identitas
seseorang sebagai bagian dari kelompok tertentu. Bertolak dari konsep
pemaknaan-pemaknaan itu, penelitian ini bermaksud mengungkap dimensi power
yang tercipta melalui tato, yakni konsekuensi kuasa terhadap pemakainya.
Singkatnya, penelitian ini ingin mengidentifikasi bagaimana tato yang hanya
sekedar gambar di tubuh, bisa terkait dengan kekuasaan.
2 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Membicarakan soal tato sama dengan membicarakan soal tubuh. Bukan
saja karena tato merupakan hasil “obsesi” pemilik tubuh, namun juga karena di
dalam tato terkandung refleksi tentang relasi pemilik tubuh dengan kuasa. Lewat
tato, pemilik tubuh dapat memperkokoh dan menawarkan dirinya ke berbagai
posisi di dalam realitas sosial kehidupannya. Seperti telah dikemukakan,
penelitian ini ingin menunjukkan bahwa tato lebih dari sekedar coretan di atas
tubuh. Ia merupakan entitas simbolik yang berhubungan dengan kekuasaan.
Dengan kata lain, melalui tato kita dapat memahami operasi kekuasaan yang
menggunakan arena tubuh manusia. Tato menjadi terkait dengan kekuasaan,
karena ia menjadi simbol penanda yang spesifik, misalnya simbol kekerasan
premanisme, atau simbol kelompok penguasa wilayah.
Menarik untuk dicatat, dalam hal ini rupanya perkembangan ragam
variasi makna tato turut berpengaruh pada perubahan fungsi tato. Misalkan, di
satu sisi tato dilihat sebagai simbol kuasa pada suku atau kelompok tertentu
dengan motif dan corak yang telah disepakati, sementara di sisi lain tato juga
dilihat secara utuh, bahwa dengan corak dan motif apapun, tato mampu
memancarkan energinya sebagai sebuah entitas kuasa.
Kalau memang demikian, lalu bagaimana cara tato tersebut bekerja untuk
kekuasaan? Mengapa tato begitu penting bagi kelompok tertentu untuk
memperoleh dan melanggengkan kuasanya? Kajian mengenai kuasa berbasis tato
inilah merupakan persoalan utama yang ingin dibahas dalam penelitian ini.
3 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Dalam khazanah seni budaya, tato dikenal sebagai gambar, corak, atau
simbol pada kulit tubuh yang diukir dengan menggunakan alat sejenis jarum.
Biasanya, tato dihias dengan pigmen berwarna-warni. Istilah tato berasal dari kata
tatau (bahasa Tahiti), yang berarti tanda atau gambar pada kulit seseorang yang
dibuat dengan cara menusuk, menggores atau pun melukai dengan suatu alat yang
telah dicelupkan ke dalam zat warna, sehingga tidak akan hilang seumur hidup1.
Sementara itu, kata tato juga merupakan adaptasi dari bahasa Inggris, yaitu Tattoo
yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen pada
kulit2. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tato diartikan secara harfiah sebagai
lukisan pada kulit tubuh3.
Di sini, tato juga dapat dipahami sebagai coretan yang bermuatan simbol
yakni, sesuatu yang digunakan dengan sengaja untuk maksud sesuatu yang lain.
Seperti yang dikatakan Mulyana (2000) dalam Gumilar (2005), bahwa simbol
atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lain,
berdasarkan kesepakatan sekelompok orang4. Artinya, pilihan corak dan tempat
yang dipilih pada bagian tubuh pemakai tato adalah bagian dari ungkapkan suatu
nilai yang dianut. Ia tidak mewakili langsung dari apa yang ditunjukkan melalui
gambar atau lukisan tato tersebut, melainkan atas apa yang sedang dikonstruksi
oleh si pemilik tato.
1 Anggraini, Kilas Balik Budaya Tato, Tato dan Secangkir Diskusi, Yogyakarta, 2003. Lihat juga
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 9, PT Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1990, hal.216. 2 Oxford: Learner‟s Pocket Dictionary, Fourth Edition, Oxford University Press, New York,
2008. 3 Kamus besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-4, 2008. 4 Gumgum Gumilar, Makna Komunikasi Simbolik di Kalangan Pengguna Tato Kota Bandung,
Meidator, Vol.9. No.1. Juni 2008, hal.53. Lebih detailnya dapat juga dilihat Deddy, Mulyana,
Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal.84.
4 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Mengingat tato merupakan perwujudan “obsesi” yang tergambar di atas
tubuh manusia, yang sifatnya intim dan langsung, maka ia lebih mewakili aspek-
aspek yang esensial dan krusial dari diri si pemilik tubuh. Misalkan saja terkait
dengan kepentingan subjektif mereka. Dengan kata lain, tato berfungsi sebagai
alat pencapai tujuan5. Jadi, seseorang pergi untuk mentato tubuhnya dengan
kesadaran dan harapan bahwa ia akan memperoleh dan mendapatkan sesuatu yang
diinginkannya. Ini artinya, ketika sekelompok masyarakat menjadikan tubuhnya
sebagai alat untuk menempatkan tato, dia melakukan politisasi atas tubuhnya
sendiri.
Jika kita mau menengok sebentar sejarah tato di Indonesia, maka kita
akan menemukan cerita yang berbeda. Mereka yang bertato, pernah dihebohkan
oleh sebuah peristiwa kelam. Pemasangan tato, sempat membuat mereka
dikategorikan sebagai preman dan penumpasan premanisme yang menggunakan
tato sebagai penanda, membuat mereka menjadi korban. Hal ini terjadi dalam
kasus PETRUS6, singkatan dari penembakan misterius, di tahun 1983-1985
7. Pada
waktu itu orang-orang yang bertato keberadaannya sangat tidak diinginkan oleh
pemerintah yang sedang berkuasa. Mereka yang bertato, ditangkap lalu ditembak
mati. Pada titik ini, tubuh bertato dipolitisir untuk dijadikan alasan pemerintah
sebagai alat kendali yang berkaitan dengan stabilitas negara.
5 Tentu saja yang dimaksud ialah motivasi dibalik individu mengenakan tato tersebut dan
pengaruhnya secara politis dan ekonomi. 6 Istilah Petrus diberikan pada kasus pembinasaan “tersembunyi” yang berlangsung dari awal
1983 hingga awal 1985 di masa Orde Baru, dalam kasus ini konon katanya telah menelan lebih
dari 10.000 jiwa korban. Orang-orang yang diidentikan dengan premanisme adalah mereka
yang bertato. Mereka ditangkap lalu ditembak mati, kegiatan ini dianggap sebagi “upaya”
pemerintah masa itu dalam memerangi kejahatan. Lihat Seno Gumira Ajidarrma,
Penembakan Misterius, Galang Press, Yogyakarta, 2007, hal.185. 7 Hatib Abdul Kadir Olong, Tato, Lkis, Yogyakarta, 2006, hal.242.
5 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Untuk mengekang ruang gerak mereka yang bertato, dengan langkah
represif dan politis (penguasa Orde Baru) akhirnya terciptalah stigma negatif di
tengah masyarakat luas pada masa itu terkait keberadaan orang-orang bertato,
mereka lalu dianggap sebagai bagian dari kriminalitas. Itu sebabnya, persoalan ini
kemudian muncul sebagai persoalan politik.
Di era seperti sekarang ini, hal yang setara lalu bisa berulang, namun
dengan posisi terbalik. Pemerintah justru sering membenturkan para pengunjuk
rasa dengan “preman-premannya” yang notabene bertato. Dengan cara ini, mereka
terhindar dari jeratan hukum, ketika bentrok harus dilakukan sebagai jalan satu-
satunya untuk mengakhiri aksi demonstrasi. Dalam kondisi itulah, mereka yang
bertato kemudian lebih dikenal sebagai aktor keamanan yang khas. Di sisi lain,
ternyata hal itu telah memberikan pandangan terbalik dari apa yg selama ini
dibayangkan oleh masyarakat akan keberadaan mereka. Ringkas kata, tato kini
tidak lagi diidentikan dengan simbol kejahatan dan kriminalitas.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa lunturnya stereotyping tato
sebagai sebuah simbol “premanisme”8 telah menciptakan ruang sosial baru bagi
pemiliknya, baik di domain ekonomi maupun politik. Itulah sebabnya, tato kini
tidak hanya hadir di kalangan sosial bawah seperti yang selalu diidentikan di masa
rezim Soeharto, melainkan ia telah bertransformasi menjadi sesuatu yang
prestigious untuk dimiliki oleh kalangan seniman hingga kelas sosial atas
8 Tergambar juga dalam potongan kalimat yang terdapat di artikel koran pikiran rakyat oleh Soni
Farid Maulana yang berjudul Tato, berikut penggalan kalimatnya; “Dulu, ya dulu, Tato
memang simbol napi. Tapi sekarang lain maknanya. Ia sumber keindahan, semacam aksesoris,
semacam tanda, Postmodern di akhir abad 20”. Dalam www.oocities.org/tattoosind/seni-
tattoo.htm, 04 Juli 2002, diunduh pada 1 Juli 2013.
6 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
sekalipun, ambil saja contoh fenomena menjamurnya tato di kalangan publik figur
pada tahun 2000-an.
Sekalipun demikian, perlu diketahui sebelumnya bahwa bukan berarti
pemakai tato dari masyarakat sosial bawah ikut hilang. Kalau mengaca pada
realitas yang ada, justru kelompok-kelompok bertato yang diidentikan dengan
kalangan marginal9 tersebut kemudian muncul sebagai penguasa-penguasa
informal di tengah realitas kehidupan masyarakatnya. Ini ditunjukkan dengan kian
gencarnya mereka saling berebut otoritas untuk menguasai sumber daya strategis.
Itu bisa dilihat dari bagaimana mereka begitu jelas menampilkan diri dalam
mengajukan klaim kewilayahan, baik sebagai penguasa wilayah perparkiran,
pemungutan “retribusi” (beaya keamanan), tim sukses kandidat, bahkan menjadi
kandidat Pemilu. Pada kondisi semacam inilah orang-orang bertato menunjukan
eksistensi dan kuasanya.
Artinya, dalam kenyataan sosial, sosok orang-orang bertato selalu
menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Itu sebabnya secara sepintas, mereka
dengan kehidupan sosial masyarakat dapat diartikan sebagai dua sisi mata uang
yang sulit untuk dipisahkan. Lihat saja, orang bertato kini muncul menjadi
kekuatan tersendiri dalam ruang sosial masyarakat. Bahkan terkadang mereka
memegang kendali atas kehidupan sosial, politik, ekonomi masyarakat di sekitar
mereka hidup. Hal ini terjadi karena mereka telah hadir sebagai elit sosial baru.
Sehingga jangan heran, apabila seseorang yang bertato lalu diposisikan layaknya
9 Tato yang dimiliki oleh kelompok-kelompok marginal, biasanya cenderung berbeda dengan
apa yang dibuat oleh kelompok seniman dan lainnya. Corak Tato mereka lebih cenderung
sederhana dan terlihat kasar.
7 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
orang kuat lokal yang ditakuti dan dihormati. Fenomena ini muncul hampir di
semua kota besar, tidak terkecuali di Bali. Bisa dibilang ini bagian dari bentuk
euforia orang-orang bertato pasca teralienasi di bawah rezim Soeharto.
Bali yang saat ini berhasil menjadikan dirinya sebagai salah satu daerah
tujuan wisata terkenal di dunia, tak pelak menciptakan intensitas kontak antara
kebudayaan asli setempat dengan kebudayaan luar meningkat secara dramatik
dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini. Semakin meningkatnya dunia
kepariwisataan Bali dengan berbagai implikasinya, sedikit banyak memberi
pengaruh pada perubahan masyarakat Bali, termasuk pula keberadaan orang-orang
bertato disana. Nyatanya, telah pula kita ketahui bersama bahwa jumlah orang-
orang bertato di kota-kota besar seperti Bali dari tahun ke tahun kian meningkat.
Atas hal itu, selaras dengan apa yang ditulis oleh Kadir (2006), bahwa
baginya; semakin membanjirnya wisatawan mancanegara di Bali yang
kebanyakan menggunakan tato di bagian-bagian tubuh terbuka, telah menjadi
bentuk konkret gaya wisatawan yang “superordinat” ditiru keberadaannya oleh
masyarakat setempat10
. Proses itu kemudian semakin lama semakin tidak terasa
atau bahkan terlembagakan, tato yang dulunya sekedar coretan “kotor” di atas
tubuh sekarang menjadi sesuatu yang begitu mapan dan terpelihara.
Berangkat dari paparan singkat di atas, terlihat bahwa memang di
wilayah yang sering disebut sebagai pulau seribu pura, tato semakin penting
keberadaannya. Hal ini tampak pula dari menjamurnya ormas-ormas di Bali yang
10 Hatib Abdul Kadir Olong, Tato, Op,Cit, hal.236.
8 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
dibarengi dengan persyaratan ketat, yang mengharuskan anggotanya untuk
terlebih dahulu bertato.
Berbicara mengenai tato di Bali, tato dalam masyarakat Bali
sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tabu. Sebagai suatu bentuk pembedaan
sosial, tato di Bali sudah sejak lama hadir bersamaan dengan nilai-nilai budaya
yang ada, pada awal perkembangannya ia hanya digemari oleh kalangan elit. Hal
ini dikarenakan corak maupun motif tato pada zaman itu berbaur dengan nilai-
nilai magis, religius dan budaya. Namun, ketika militer Jepang menginvasi Bali,
tato mengalami demistifikasi, karena penjahat, pembunuh dan perampok pada
masa itu ditandai dengan tato. Lalu, pada tahun 1970-an, di Bali tato kemudian
hadir sebagai bentuk identitas dan solidaritas antar sesama, terutama di kalangan
pemuda. Kharisma tato di Bali pada waktu itu mampu mengentalkan perasaan
yang bersifat komunal. Simbolisasi tato di Bali pada masa itu semakin terasa
ketika arah penggunaannya ditunjukkan dengan sebuah maskulinitas
(kejantanan)11
. Sehingga, tidak jarang juga dalam menghadapi sesuatu yang dari
luar kelompok mereka, cara kekerasan menjadi satu keniscayaan.
Dalam kondisi itulah, tak mengherankan bila maskulinitas menjadi
sebuah entitas yang tak bisa terelakan dari pemilik tato di Bali hari ini, ia hadir
bersamaan dengan perilaku orang-orang bertato di berbagai tempat. Seperti halnya
di beberapa daerah, tato mampu menempatkan pemiliknya ke dalam sebuah relitas
sosial, dimana mereka hadir sebagai sosok yang “menakutkan” bagi orang lain.
Sehingga, sepertinya sudah sangat layak bila penulis mengatakan wajar, bahwa
11 Ibid, hal.231-237.
9 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
mereka sebagai “pecinta” tato, telah memanfaatkan kondisi ini untuk
mempolitisasi resources, baik dalam domain ekonomi maupun politik. Tujuannya
satu, menempatkan mereka sebagai penguasa informal.
Penggalan sejarah dan empirisitas di atas, telah mempertegas bahwa tato
sebagai entitas simbolik mampu mereproduksi kekuasaan. Logikanya sederhana,
tato dianggap sebagai sebuah medium untuk menunjukkan bahwa pemakainya
memiliki power tertentu. Dimensi kuasa yang muncul dalam tato, bukan karena
dia berada dalam sebuah struktur formal yang sedang berkuasa, tetapi karena
modal simbolis yang dimiliki tato itu sendiri. Di sini, tato lalu dibayangkan bukan
hanya sekedar sebagai coretan kotor di atas tubuh, melainkan sebagai media
konstruksi sosial, kultural, ekonomi dan politik bagi pemiliknya.
Terusik dengan perkembangannya seperti itu, maka persoalan tato
sebagai entitas yang mampu memberi konsekuensi kuasa pada pemiliknya
menarik untuk dikaji secara politik. Fungsi sosial tato yang pada awalnya
dianggap sebagai sebuah tanda ekslusivisme, dilanjutkan dengan sejarah kelam
(baca: “dipolitisasi”) di bawah rezim otoriter, dan pada akhirnya hadir sebagai
aktor penting dalam domain ekonomi maupun politik, tentu akan dapat
merepresentasikan realitas relasi antara tato dan kekuasaan di dalam kajian ilmu
politik secara komperhensif. Untuk itu, kajian mengenai keberadaan orang-orang
bertato di Bali bagi penulis penting untuk diteliti. Apalagi, penulis menganggap
beberapa kajian tentang kuasa simbol, baik tato sebagai instrumennya ataupun
dengan berbagai instrumen lainnya, masih melihat kuasa simbol dari aspek
struktul dan fungsional saja.
10 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Sejauh pembacaan penulis atas beberapa literatur mengenai hal ini,
belum ada yang secara khusus membahas tato dalam konteks politik. Terlebih
lagi, penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan tato, belum ada
pendekatan atau perspektif yang memberikan perhatiannya pada proses konstruksi
sosial yang digunakan untuk mempresepsi, memikirkan dan menkonstruksi
struktur-struktur tersebut. Hal ini menandakan adanya kekurangpekaan para
pengkaji sebelumnya, tekait dengan perhatian atas pemahaman bahwa makna tato
bisa berubah-ubah sebagai sebuah hasil konstruksi, baik lewat tampilan maupun
perilaku si pemiliknya. Adapun limitasi lainnya, yakni belum ada metodologi
yang ditawarkan oleh pakar-pakar sebelumnya dalam menjelaskan bagaimana
orang bisa memahami makna secara baik. Karena dengan mengajukan pertanyaan
tentang „makna‟ suatu simbol, orang bisa mempunyai “pikiran yang bukan-
bukan”. Bukan soal seseorang mendukung atau melawan makna dari simbol
tersebut, tetapi apakah setiap orang bisa mengerti makna yang tersembunyi di
balik simbol itu tanpa ada kegiatan “konstruksi makna” sebelumnya. Karena
sebuah simbol tentu berbeda dengan tanda, bahwa dalam simbol subjek dituntun
memahami objek (Objek aktif), disitulah konstruksi makna yang penulis maksud
akan berlaku.
Berdasarkan uraian di atas, tentu akan menarik jika mengkaji orang-
orang bertato dari sisi subjek pemakai tato itu sendiri, untuk dapat
menggambarkan apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan, dan apa
yang mereka lakukan. Sehingga relasi kuasa yang ada di balik tato dapat
terjelaskan dengan cara yang lebih obyektif.
11 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
1.2. Rumusan Masalah
Penelitian ini bermaksud mengungkap peran tato dalam praktik kuasa.
berdasarkan uraian tersebut, maka pertanyaan umum yang digunakan dalam
penelitian ini yakni: Bagaimana tato bertransformasi menjadi simbolic power di
Bali? Lalu, dalam rangka menggali jawaban terhadap pertanyaan tersebut, ada
sejumlah pertanyaan yang sifatnya lebih operasional yakni:
(1) Bagaimana orang-orang bertato di Bali mengkonstruksi realitas sosial mereka?
Konstruksi realitas menurut pemakai tato di Bali. Yakni, meliputi proses
pemakai tato yang nantinya akan mengungkapkan alasan mereka pertama kali
mentato tubuhnya, motif apa yang mendorong mereka memilih menggunakan tato
dalam sebuah realitas sosial dan konsep diri yang mereka pahami sehubungan
dengan kepemilikan tato di tubuhnya.
(2) Bagaimana domain ekonomi maupun politik di tempat mereka hidup
berpengaruh terhadap si pengguna tato di Bali?
Bahwa dalam realitas sosial kehidupan orang-orang bertato di Bali saat
ini, dibentuk/dipengaruhi oleh struktur-struktur ekonomi dan politik bisnis jasa
keamanan. Hal ini meliputi, apa yang dibentuk dan bagaimana proses
pembentukannya sehingga orang-orang bertato di Bali mempunyai perilaku,
penampilan dan kuasa yang khas.
(3) Bagaimana relasi antar pemakai Tato dalam domain ekonomi dan politik
Bali?
12 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Strategi pengelolaan modal mereka gunakan untuk memantapkan
posisinya dalam domain ekonomi maupun politik. Pola strategi tersebut akan
tampak ketika penelitian ini mampu menelusuri “apa yang mereka lakukan dalam
upayanya menunjukkan tato yang dimilikinya sebagai modal tawar dalam realitas
sosial mereka hidup, berdasarkan sudut pandang mereka sendiri” dan “bagaimana
upaya mereka dalam mepertahankan dominasi terhadap kelompok/orang bertato
lainnya”.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah Pertama, penelitian ini ingin menjelaskan
relasi tato dan kekuasaan. Kedua, ingin menjelaskan bagaimana kuasa tato bekerja
dalam menciptakan relasi-relasi kuasanya, melalui entitas yang bermakna kuasa
maupun tidak, tetapi ia tetap terlibat dalam reproduksi kekuasaan. Selain itu, hasil
penelitian ini sekiranya ingin memepertegas penelitian-penelitian yang sudah ada
sebelumnya, yakni untuk mengkoreksi teori dan konsep kekuasaan yang selama
ini telah lama menjadi konstruksi berfikir ilmu politik, bahwa kekuasaan tidak
hanya bicara negara dan struktur formal sebagai pemegang kekuasaan.
1.4. Literature Review
Dari uraian tujuan penelitian, berlangsungnya relasi antara tato dan kuasa
memiliki daya tarik tersendiri. Tatkala tato dianggap mampu mereproduksi
kekuasaan, maka terjadilah perubahan dan perluasan kajian politik. Lebih jauh
lagi, hal ini juga dapat menjadi landasan penegasan redefinisi konsep kekuasaan
oleh pengkaji-pengkaji sebelumnya. Sebagaimana mulanya, kekuasaan selalu
13 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
dikonstruksikan sebagai hal yang aktual kemudian bergeser menjadi sesuatu yang
difahami sebagai hal yang potensial. Pemahaman ini kemudian menjadi bukti
bahwa kehadiran kekuasaan tidak lagi dipahami hanya melalui kepemilikan
sesuatu, melainkan lewat titik dominasi tertentu di dalam kehidupan
bermasyarakat maupun negara. Singkat kata, kekuasaan mulai dilihat sebagai
wujud ekspresi politik sehari-hari di dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti
yang diungkapkan oleh Foucault, bahwa menurutnya dimensi kuasa itu menyebar,
terpencar dan hadir dimana-mana di aras kehidupan masyarakat12
.
Berbicara mengenai tato, maka kemudian kita tidak bisa memisahkannya
dengan konsep kesimbolan. Tato sebagai entitas yang mewakili makna tertentu
dikategorikan ke dalam sebuah simbol, karena ia merupakan ekspresi suatu hal
yang tidak dapat ditandai dengan tanda yang tepat. Ia juga memiliki beragam
pemaknaan atas bentukannya. Selain itu, tato tidak mempunyai hubungan khusus
dengan apa yang disimbolkannya. Oleh karena itu, terdapat perbedaan antara
simbolisasi dan tanda-tanda, keduanya memiliki makna, seperti pada bangunan
simbol, ia dapat memberikan makna yang beragam, tapi tanda tidak dapat
memiliki makna yang beragam, tanda hanya akan memiliki sebuah makna. Secara
konseptual itulah, tato dikategorikan sebagai sebuah simbol.
Adapun yang membedakan kadar simbolisme antara isyarat, tanda dan
simbol dapat dilihat dari konsep yang dipetakan oleh Budiono dalam tabel berikut
ini:
12 Haryatmoko, “Kekuasaan melahirkan Antikekuasaan. Menelanjangi Mekanisme dan Teknik
Kekuasaan Bersama Foucault” dalam BASIS nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari
2002, hal.12.
14 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Tabel.1.1. Perbedaan antara isyarat, tanda, dan lambang/simbol.
NO. ISYARAT TANDA LAMBANG/SIMBOL
1.
Diberitahukan oleh
subjek, kepada objek
(subjek aktif)
Subjek diberitahu oleh
objek (subjek pasif)
Subjek dituntun
memahami objek
(objek aktif)
2. Mempunyai satu arti Hanya memuat dua arti Mempunyai lebih banyak
arti (sedikitnya dua arti)
3.
Dibertiahukan oleh
subjek kepada objek
secara langsung
(berlaku satu kali)
Subjek diberitahu
objek terus menerus
Mempunyai lebih banyak
arti
4. Abstrak Bentuknya konkret,
bisa abstrak
Berbentuk konkret/
abstrak
5.
Dikenal diketahui
oleh manusia dan
binatang secara
langsung
Dikenal diketahui oleh
manusia setelah
diajarkan
Hanya manusia yang
memahaminya
6.
Yang dipakai untuk
isyarat tidak ada
hubungan khusus
dengan yang
diisyaratkan
Yang dipakai untuk
tanda selalu punya
hubungan khusus
dengan yang ditandai
Yang dipakai untuk simbol
tidak mempunyai
hubungan khusus dengan
yang disimbolkan
7. Diciptakan manusia
dan binatang
Diciptakan manusia,
alam dan binatang
untuk binatang dan
manusia
Diciptakan manusia untuk
manusia
Sumber: Budiono Herusatoto. 2000. Simbolisme dalam Budaya Jawa13
.
13 Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, PT Hanindita Graha Widya, Yogyakarta,
2000, hal.29.
15 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Sementara itu, perlu diketahui, kajian mengenai kuasa simbol bukanlah
hal baru, akan tetapi jumlahnya masih terbatas. Untuk lebih memberikan
pemahaman terhadap penelitian ini, penulis akan terlebih dahulu membeberkan
beberapa kajian tentang kuasa simbol yang selama ini sudah dilakukan oleh para
pengkaji-pengkaji sebelumnya.
Secara filosofis, ada empat tokoh yang pada gilirannya pemikiran mereka
menjadi suatu ilham tersendiri bagi terciptanya konsep kesimbolan. Salah satunya
oleh pemikiran C.S Peirce, baginya sebuah simbol lahir dari konvensi (perjanjian)
dalam masyarakat, secara resmi ataupun tidak resmi. Karenanya, kesepakatan atau
seringkali “keterpaksaan” adalah inheren dalam sebuah simbol14
. Adapun konsep
lainnya yakni, mengenai teori kekuatan simbolisme yang ada di dalam buku
Dillistone (2002) memiliki nuansa yang hampir sama dalam melakukan
pemahaman terhadap kekuatan simbol. Di dalam buku tersebut, Ia menyebutkan,
simbol ialah sebagai suatu kata atau benda atau tindakan yang mewakili dan
menggambarkan sesuatu yang lebih besar; sebagai sebuah makna, suatu cita-cita,
nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, dan realitas. Itu semua baginya
adalah refren15
.
Hal ini bagi penulis juga tidak jauh berbeda dengan nalar berpikir
Whitehead (1928), yang dalam gagasannya tersebut Whitehead menuturkan,
bahwa kekuatan simbol akan berfungsi apabila beberapa komponen pengalaman
dalam simbol tersebut mampu menggugah sebuah kesadaran, kepercayaan,
14 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2009, hal.42. 15 F.W.Dillistone, The Power Of Symbols, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal.20.
16 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
perasaan mengenai komponen-komponen lain dalam pengalamannya itu.
Perangkat komponen terdahulu baginya adalah simbol-simbol dan perangkat
komponen demikian yang membentuk makna simbolik. Bahkan, Tillich dalam
buku yang sama menyebutkan bahwa sebuah simbol memiliki daya kekuatan yang
telah melekat padanya16
.
Namun, kalau disimak lebih jauh lagi, dari semua konsep yang
dipaparkan di atas tentunya memiliki perbedaan dengan sumbangan teoritik
mengenai bekerjanya simbol yang ditawarkan oleh Eriich Heller (1961). Bagi
Heller kekuatan simbol tidak selamanya hidup, dan bisa saja sewaktu-waktu
simbol tersebut tanpa makna17
. Justifikasi itu diberikannya dengan didasarkan
contoh temuan dalam kajiannya. Menurut Heller, dahulu tanda salib yang
menjulang di puncak gereja dapat membangkitkan semangat para jemaat untuk
berpikir tentang surga. Tetapi seiring dengan pertumbuhan industrialisasi,
munculnya gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di atasnya,
simbol-simbol industri lebih menarik orang-orang untuk berpikir tentang
kemakmuran duniawi. Mungkin demikian juga nasibnya dengan tempat ibadah
yang lain, masjid misalnya, atau pure, kuil maupun tempat-tempat ibadah lainnya.
Sedikit memberi telaah untuk hal ini, penulis menganggap bahwa sesungguhnya,
meskipun berbeda, gagasan Heller tersebut sedikit banyak memiliki kemiripan
cara berfikir dengan kesemua konsep kajian yang disebutkan sebelumnya, ia
masih berkutat pada bagaimana kekuatan simbol itu dilihat dari aspek fungsional
dan strukturalnya saja.
16 Ibid, hal.127. 17 Ibid, hal.207.
17 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Jika mau disederhanakan berdasarkan pesan teoritik yang tersirat di
dalam ketiga literature tersebut, penulis menemui adanya perbedaan dengan nalar
berpikir Raymond Firth, menurutnya simbol memang mempunyai peranan
penting dalam urusan-urusan manusia di kehidupan sosial maupun politik yaitu
dengan menegakan tatanan sosial atau untuk menggugah kepatuhan-kepatuhan
sosial. Bahkan, baginya simbol juga dapat memenuhi fungsi yang lebih privat dan
individual, dalam hal ini kepentingan. Akan tetapi tidak mudah untuk mengakui
adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak mempunyai suatu acuan kepada
pengalaman sosial yang lebih luas18
.
Di tengah-tengah kajian yang saling melengkapi tersebut, bagi penulis
kesemuanya masih memiliki keterbatasan teori. Hal ini disebabkan kurang
pekanya kajian-kajian yang ada sebelumnya untuk mengkaji kuasa simbol dalam
konteks kekuasaan secara mendalam, ditambah belum adanya kajian yang melihat
kuasa simbol melalui aspek keterlibatan aktor atau agen yang aktif (dalam
produksi kuasa) yakni yang berpengaruh dalam medan politik, kemudian
menjelaskan bagaimana pengetahuan, keterikatan dan perilaku mereka dalam
praktek kuasa simbol tersebut. Maka, berdasarkan catatan di atas tampaknya ada
tiga hal yang perlu diperhatikan terkait limitasi ketiga materi literatur tersebut;
Pertama, sejauh pengamatan penulis bahwa kajian tentang simbol selama ini
masih berfokus pada sesuatu yang fixed, jelas bisa diterima sebagai simbol,
dengan makna yang spesifik. Tato yang dalam hal ini menjadi instrumen
penelitian, tidak berada dalam real kejelasan tersebut. Kedua, adanya
18 Ibid, hal.103.
18 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
ketidakjelasan dan ketidaktegasan makna simbol tersebut, diiringi dengan dampak
yang tidak jelas secara sosial politik. Ketiga, bagaimana simbol-simbol yang tidak
jelas itu dapat dikaitkan dengan politik. Lebih lanjut, kesimpulan yang bisa
didapat dari telaah terhadap beberapa kajian yang telah dilakukan oleh beberapa
pakar yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa sesungguhnya sudah cukup
banyak penelitian yang memberikan perhatiannya pada kajian simbol. Namun dari
sekian banyak kajian tersebut, kesemua kajian belum menjelaskan secara utuh
bagaimana bekerjanya sebuah simbol bisa dipolitisasi oleh pemiliknya, hingga
menjadi sebuah realitas sosial. Yakni, dengan merubah simbol yang tidak bernilai
kuasa menjadi bernilai kuasa. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengisi celah
keterbatasan tersebut.
Adapun beberapa pandangan mengenai simbol yang diperbincangkan di
atas, dijadikan penulis sebagai pijakan awal dalam melihat tato sebagai bagian
dari kajian simbol itu sendiri. Disini tato tidak hanya dilihat dari sisi kesimbolan
yang dipancarkan oleh coraknya, tetapi lebih jauh lagi, bahwa tato sebagai sebuah
simbol bisa dikonstruksi dan dipolitisasi oleh pemiliknya. Maka hal terpenting
lainnya yang perlu dilakukan penulis selanjutnya adalah untuk juga mencermati
kepustakaan yang khusus membahas mengenai tato. Ini dianggap perlu, sebagai
upaya mendukung penelitian ini dalam misinya menguak tabir persoalan kuasa
tato.
Pada tahap ini, ketika kita menelusuri kajian mengenai tato, maka yang
kita temui adalah adanya dua perspektif yang berbeda. Pertama dari kalangan
semiotika, yang dalam penelitiannya hanya berupaya memberi arti dan makna
19 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
pada setiap bentuk, corak atau desain tato yang akan ditelitinya. Lalu, dari
perspektif yang kedua yakni dari kalangan fenomenologis. Berbeda dari perspektif
yang pertama, kalangan ini lebih melihat pada bagaimana dampak tato yang
dipakai oleh si pemakai dalam kehidupan sosialnya, yakni sejauhmana tato yang
digunakannya mampu berimplikasi luas pada setiap interaksinya dengan
kehidupan sekitar, dalam domain budaya, sosial, ekonomi, hingga politik.
Jelasnya, tato digunakan oleh pemiliknya untuk menampakkan diri.
Kenyataannya, dari sekian banyak kajian yang meneliti tentang tato,
banyak penelitian yang mengungkapkan tato dari perspektif yang pertama.
Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Tri Handoko (2010) tentang
“Perkembangan Makna, Motif dan Fungsi Tato di Kalangan Narapidana di
Yogyakarta”. Ia menjelaskan ada motif-motif tato tertentu yang diklaimnya
memiliki nilai kuasa, seperti contoh motif harimau, naga, dan rajawali yang
dipercaya mampu menempatkan pemakainya sebagai penguasa-penguasa baru
dalam kelompok masyarakat, atau penelitian Restituta Driyanti (2011) yang
datang dengan membawa tesisnya yang berjudul “Makna Simbolik Tato Bagi
Manusia Dayak Dalam Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur”, yang di dalam
tulisannya mengatakan gambar atau tanda tato merupakan simbol yang mewakili
nilai-nilai tertentu, bahwa ada ciri khas motif tertentu yang menggambarkan
adanya pola kuasa dalam tato. Kemudian, penelitian Ernawati, Arni (2011)
tentang Makna Tato Anggota Bikers Motor Antique Club Indonesia (MACI) Di
Yogyakarta. Sementara, contoh penelitian lain mengenai simbol yang memiliki
kesamaan nalar pikir dengan ketiganya ialah dalam tulisan Rias Fitriani Indriyati
20 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
(2011) mengenai Grafiti dan politik, baginya relasi kuasa itu bekerja pada kata-
kata yang tersurat dalam corak grafiti tersebut. Artinya suatu grafiti baru bisa
dikatakan sebagai simbol bernilai politik atau kuasa ketika grafiti tersebut
sebentuk tulisan atau corak yang bernilai politis pula.
Adapun penelitian yang lebih menunjukkan adanya keterlibatan dari si
pemakai tato dalam mengkonstruksi makna tato yang dimilikinya ialah penelitian
yang dilakukan oleh Medhy Aginta Hidayat (2002) tentang Makna Tato Dalam
Konstruksi Identitas Mahasiswa Bertato di Yogyakarta, atau Rizki Agustin
tentang Body Image Of Teenagers With Tattoos dan Peneliti lain seperti Gumgum
Gumilar (2008) tentang Makna Komunikasi Simbolik di Kalangan Pengguna Tato
Kota Bandung.
Dalam konteks ini jelas, bahwa semua kajian dan penelitian yang telah
disebutkan di atas tadi, lebih banyak menyorot bagaimana tato difungsikan
sebagai tanda atau identitas pemakainya. Dengan kata lain, para peneliti tersebut
pada umumnya terfokus ingin menegaskan bahwasanya ada relasi positif yang
dibangun oleh tato terhadap identitas individu maupun identitas sosial si pemakai.
Pada konteks ini, tato diposisikan sebagai pemberi tanda. Padahal seperti yang
kita ketahui bersama, tidak semua tato bisa diberi arti secara langsung, contoh
misalkan tato yang bercorak tribal yang terkesan tak bermakna dan asal-asalan.
Selain itu, sebuah tato dengan gambar atau corak yang sama belum tentu
dimaknai sama pula oleh pemiliknya. Artinya, tidak terlalu signifikan jika melihat
tato hanya dari wujudnya saja, melainkan perlu adanya sebuah analisis mendalam
21 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
mengenai adanya fungsi sosial tato yang berbasis pada konstruksi makna (lewat
perilaku, tampilan dan gaya) oleh pemilik maupun “penikmatnya”.
Jika ingin melihat lebih jauh mengenai penelitian Handoko, ia
menggambarkan bahwa sebuah corak atau desain tato akan memiliki watak
politis, dengan catatan sebelumnya telah ada kesepakatan dan kemampuan
manusia dalam memaknai tato dengan keberagaman motif yang dimilikinya.
Kaitannya dengan bagaimana fungsi sosial tato bagi pemakainya, pada tahap ini
Handoko menyebutkan, bahwa tato di kalangan narapidana Yogyakarta berfungsi
sebagai ekspresi religiositas, daya tarik seks, keamanan diri, lambang kelompok
hingga sebagai sarana sosialisasi dan menumbuhkan rasa percaya diri individu
dalam kelompok19
.
Dari hasil pembacaan terhadap penelitian tersebut, penulis
menyimpulkan bahwa Ia tidak menangkap fenomena lain, seperti adanya
penjelasan bahwa motif tato apapun yang melekat pada tubuh orang bertato telah
membentuk maindset dan persepsi di masyarakat, berupa ketakutan dan
“kepatuhan” pada orang bertato yang mereka temui. Hal ini berangkat dari
pemikiran penulis, karena bagi penulis tentu tidak mudah untuk semua orang bisa
mengartikan makna tato yang melekat pada mereka, apakah itu bernilai kuasa atau
tidak. Terlebih, fenomena yang ditunjukkan selama ini tato dengan berbagai
bentuknya telah menciptakan kesan tersendiri, bahwa ia memiliki nilai kuasa,
19 Tri Handoko, Perkembangan Motif, Makna, Dan Fungsi Tato di Kalangan Narapidana dan
Tahanan Di Yogyakarta, Makara, Sosial Humaniora, VOL. 14, NO. 2, Desember, 2010:114-
115.
22 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
kekuatan dan kekerasan, yang akhirnya memunculkan rasa takut bagi yang
melihatnya.
Selain penelitian yang dilakukan Handoko, penelitian lain yang memiliki
kesamaan nalar dengannya ialah penelitian yang dilakukan oleh Driyanti dengan
judul Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam Kajian Hermeneutika
Paul Ricoeur. Dalam tulisannya tersebut terlihat, ia berupaya menjelaskan makna
dari setiap masing-masing bentuk dan corak tato yang ada di dalam suku Dayak.
Lebih jauh lagi, ia menemukan adanya unsur kuasa dalam salah satu corak tato
yang ada di sana20
.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Arni, seperti yang sempat
disinggung dimuka. Dalam penelitiannya ia mencoba melihat, bagaimana tato
dimaknai oleh pemakainya dalam komunitas motor antik di Yogyakarta. Dengan
responden penelitian yang terfokus pada satu komunitas tertentu, ia menekankan
bahwa tato yang ada di komunitas tersebut bukanlah bagian dari peneguhan
seseorang untuk menunjukkan dirinya sebagai bagian dalam kelompok tertentu,
melainkan bentuk representasi dari individu di masing-masing anggota21
. Adapun
dari temuannya itu, ia belum melihat sejauh mana tato memiliki pengaruh
terhadap kehidupan sosial, ekonomi maupun politik bagi pemiliknya.
Secara garis besar, bisa dibilang dari ke tiga penelitian di atas jelas
menunjukkan adanya kesamaan fokus penelitian. Yakni, bagaimana ketiganya
20 Restituta, Driyanti, Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam Kajian Hermeneutika
Paul Ricoeur, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, hal.42-45. 21 Ernawati, Arni, Makna Tato Anggota Bikers Motor Antique Club Indonesia (MACI) Di
Yogyakarta, Airlangga University Library, Surabaya, 2011.
23 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
sama-sama menggunakan semiotika sebagai pisau analisis dalam melihat tato,
yakni tato yang diberi arti tertentu. Dengan demikian, ketiga peneliti telah nyata
menghiraukkan adanya fenomena sosial lain, yakni implikasi keberadaan tato
terhadap pemiliknya.
Beberapa penelitian lain yang juga mengkaji tentang tato, adalah
penelitian-penelitian yang juga sudah sempat disinggung di atas yakni oleh
Hidayat, Agustin dan Gumilar22
. Meskipun ketiganya memiliki judul dan lokasi
penelitian yang berbeda, namun bisa dikatakan dari kesemua penelitian yang
dilakukan mereka telah menghasilkan temuan yang hampir sama, yakni mereka
berhasil mengungkapkan lebih banyak mengenai apa sebenarnya pengaruh tato
bagi pemiliknya. Hanya saja, fokus penelitiannya belum menegaskan adanya
proses dimana pemakai tato mampu mengkonstruksi makna tato yang dimilikinya,
sehingga fungsi sosial yang terdapat dalam tato tersebut bisa menghasilkan sebuah
dominasi kuasa di domain-domain tertentu.
Dengan demikian itu, ketiga peneliti tersebut dianggap tidak melihat
lebih jauh atas apa pengaruh hadirnya tato bagi pemiliknya di saat ia berinteraksi
dengan sistem sosial sekitarnya, terutama dalam domain ekonomi maupun politik.
Lebih khusus lagi, penelitian di atas belum melihat dimensi kuasa secara utuh atas
apa yang ditemuinya melalui tato. Oleh karenanya, dalam menanggapi perbedaan
masing-masing penelitian tersebut, penulis berpendapat bahwa sebuah simbol
akan bernilai kuasa atau tidak tergantung pada siapa yang memiliki dan memakai
22 Lihat, Medhy, Aginta Hidayat, Makna Tato Dalam Konstruksi Identitas Mahasiswa Bertato
di Yogyakarta, UGM, Yogyakarta, 2002. Lihat juga, Rizki, Agustin, Body Image Of Teenagers
With Tattoos, Gunadarma University, 2008. dan Gumgum, Gumilar, Op.Cit.
24 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
simbol tersebut. Dalam hal ini, ia akan bernilai kuasa bukan karena tato tersebut
bercorak yang melambangkan kuasanya, tetapi dengan berbagai bentukannya, tato
akan bernilai kuasa atau tidak tergantung pada bagaimana pemilik tato tersebut
mewacanakan tato yang dimilikinya, dan bagaimana pula “penikmat” tato bisa
memahami secara baik makna apa yang ingin disampaikan. Hal itu tentu berlaku
tidak terbatas pada sekat ruang dan waktu tertentu saja. Artinya, bahwa energi
kuasa dalam sebuah simbol tidaklah muncul seketika atas ide dari bentuk dan
coraknya, tetapi melalui proses konstruksi makna dan wacana oleh pemilik
maupun penikmatnya. Singkat kata, ada sebuah konstruksi makna tertentu (lewat
tampilan, perilaku, modal penggunanya) yang digunakan sebagai basis reproduksi
kekuasaan oleh tato selama ini.
Tidak cukup hanya itu saja, dalam penelitian ini penulis mencoba
menegaskan bahwa simbol yang berlambang atau berpesan kuasa bukanlah satu-
satunya simbol yang bisa diakui sebagai kuasa simbol. Karena, untuk memahami
berbagai simbol-simbol yang ada di dunia ini, seseorang membutuhkan kejelian,
interpretasi dan keleluasaan wawasan. Sehingga, tidak semua orang yang
memiliki prasyarat di atas mampu memaknai berbagai simbol yang ada dengan
utuh. Contohnya, tato tribal yang sejatinya tidak memiliki makna kuasa atau
dimensi yang menggambarkan kekuatan sekalipun, ternyata tetap bisa benilai
kuasa bagi pemiliknya. Hal ini semakin membuktikan, bahwa suatu makna kuasa
bukan hanya timbul dari simbol-simbol fisik yang menjadi instrumen nostalgia
akan kejayaan orang-orang bertato, tetapi perilaku sosial dari masyarakat (masa
kini) yang mendukungnya juga harus diperhitungkan dalam menentukan makna
25 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
tersebut. Sebab, dalam praktek sosial, mereka juga turut terlibat dalam proses
konstruksi kuasa yang dimaksud.
Selain itu, adanya sumber-sumber kekuatan lain yang menopang posisi
orang bertato di dalam struktur masyarakat menjadi fokus tersendiri untuk
menguak kuasa orang-orang bertato. Berdasar atas nalar pikir tersebut, penulis
akan menggunakan gagasan Bourdieu tentang Habitus, Capital dan Field, seorang
penganut poststruktural yang memberikan pandangan baru mengenai dialektika
antar agen dan struktur, yang hemat penulis dapat mengurai praktik kuasa orang-
orang bertato di Bali.
Dari sini menarik untuk dilihat bagaimana penelitian ini nantinya
diharapkan dapat memberikan sumbangsih keilmuan terhadap kebaharuan ilmu
politik, melalui pemahaman terhadap relasi yang kuat antara tato, pemilik tato,
dan kuasa. Di samping itu juga, dengan demikian penelitian ini akan memberikan
pijakan yang kokoh bagi penelitian mengenai tato, bahwa kajian tato yang selama
ini didominasi oleh ilmu budaya ternyata bisa dianalisis melalui ilmu-ilmu yang
lain, yang dalam konteks ini melalui kajian ilmu politik.
1.5. Kerangka Teori
Seperangkat teori yang digunakan oleh penulis disini dijelaskan sebagai
suatu bentuk pedoman dan arahan untuk dapat mengungkapkan fenomena yang
akan diteliti oleh penulis. Hal ini dilakukan, agar penelitian ini lebih terarah dan
lebih fokus. Secara konseptual, sejatinya peneliti yang dalam penelitiannya
menggunakan pendekatan kualitatif harus melepaskan dirinya dari tawanan suatu
26 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
teori23
. Ini artinya fokus atau masalah penelitian berkembang menyesuaikan
dengan apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Secara keseluruhan, pemilihan teori yang dipakai dalam penelitian ini
bagi penulis sudah cukup relevan untuk dapat menjelaskan fenomena, konteks dan
fokus penelitian tentang kuasa berbasis tato pejantan Bali. Teori Bourdieu
mengenai Praktik sosial yang gagasannya terdiri atas habitus, capital dan field
dianggap penulis bisa membantu dalam mengarahkan penulis untuk meneropong
fenomena yang dimaksud.
Dalam tahapan ini, melalui konsep Bourdieu, aktivitas orang-orang
bertato tidak sekedar dilihat dari makna yang terpancar melalui tato yang
dikenakannya, melainkan bersifat kaya dimensi. Namun ironisnya, sejauh ini
perilaku orang-orang bertato masih saja dilihat dari bentuk dan corak tato seperti
apa yang digunakannya, bahkan hanya sebatas memberi anggapan bahwa mereka
adalah orang yang tidak memiliki masa depan, “brandal” dan berbagai macam
konotasi negatif lainnya. Pandangan seperti ini muncul lebih dipengaruhi oleh
asumsi konvensional yang mengandaikan tato sekedar sebagai coretan kotor di
atas tubuh. Terkait hal itu penulis beranggapan, bahwa untuk memahami orang-
orang bertato tentunya tidak cukup rasanya hanya diukur melalui interpretasi
subjektif terhadap makna tato yang dilihat dan diberi arti.
Dalam analisis mengenai perilaku yang kaitannya dengan aktivitas
orang-orang bertato, Bourdieu datang dengan menawarkan rumus generatif
23 Kamanto, Sunarto, Pengantar sosiologi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta,
1993, hal.6-7.
27 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
mengenai sebuah praktik sosial, yakni hubungan dialektis antara struktur dan agen
yang dilalui oleh seorang individu, dalam hal ini si pemilik tato. Di dalam
rumusan generatif tersebut, Bourdieu menjelaskan mengenai keterkaitan antara
habitus, capital, field yang bersifat langsung. Hubungan keseluruhan konsep
tersebut yang saling bertautan langsung satu sama lainnya, sangat membantu
penelitian ini untuk menerangkan bagaimana praktik kuasa orang-orang bertato di
tengah realitas sosialnya.
Pada dasarnya, alur logis teori Bourdieu ini diharapkan dapat
menjelaskan dan memetakan agen-agen (baca: orang bertato) yang berpengaruh
dalam medan politik, berikut dengan perilaku mereka dalam praktik kuasanya.
Seiring dengan hal itu, maka akan juga turut jelas terbaca bagaimana agen-agen
tersebut bertarung dan berstrategi memperebutkan posisi dominan dalam politik
pengamanan di Bali.
Kiranya perlu ditegaskan, bahwa Bourdieu menyusun teorinya tersebut
ke dalam rumus (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik24
. Rumus ini mengganti
setiap relasi antar individu (aktor) dan struktur melalui relasi yang dibentuknya
atas dasar habitus dan field yang dimiliki dengan melibatkan capital yang ada
pada dirinya. Ini artinya nilai yang diberikan capital dihubungkan dengan
berbagai karakteristik sosial dan cultural habitus si pemakai tato, lalu disesuaikan
dengan kondisi field dimana ia berada, dan akhirnya terjadilah sebuah praktik
sosial.
24 Richard Harker dkk, (habitus x modal) + ranah = Praktik, Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal.
xxi.
28 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Dalam lingkup teorinya tersebut, arena (field) diartikan sebagai bentuk
relasi-relasi yang melingkupi kehidupan seseorang. Ini artinya, arena tidak dapat
dipisahkan dari ruang sosial dimana orang bertato tersebut berada. Disini arena
diartikan sebagai tempat perjuangan sosial yang mengacu pada realitas sosial dan
struktur di mana si pemakai tato tinggal. Secara analitis, arena bisa juga diartikan
sebagai sebuah metafora untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang
terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya. Arena inilah yang
mengisi ruang sosial. Selanjutnya, ruang sosial individu itu dikaitkan melalui
waktu dengan serangkaian arena, dimana orang-orang berebut berbagai bentuk
capital (modal). Hal lain yang perlu diperhatikan, bahwa di dalam arena, individu
dengan habitus nya masing-masing akan berhubungan dengan individu lain yang
nantinya menghasilkan tindakan-tindakan ataupun sifat-sifat yang sesuai dengan
arena dan modal yang dimilikinya25
.
Field (arena) sendiri dipahami oleh Bourdieu sebagai:
Suatu jaringan atau suatu konfigurasi hubungan-hubungan objektif
antar berbagai posisi. Posisi secara objektif didefinisikan dalam
keberadaannya dan dalam determinasi-determinasi yang
dipaksakannya kepada mereka yang menempatinya, yakni agen atau
lembaga oleh suatu aktual dan situasi potensial (situs) dalam struktur
pembagian kekuasaan (atau modal) di mana kepemilikan atas
kekuasaan (atau modal) itu membuka akses ke dalam suatu
keuntungan yan menjadi taruhan di dalam arena. Dia pun juga
didefinisikan oleh relasi objektifnya dengan posisi-posisi lain
(dominasi, subordinasi, homoligi, dan lain sebagainya)26
.
25 Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2012, hal. xviii. 26 Pierre Bourdieu dan Loic J.D. Wacquant, An Innovation to Reflexive Sociology, Polity Press,
Cambridge, 1992, hal.97.
29 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Menggunakan perspektif tersebut, konsep arena milik Bourdieu ini
mampu menjangkau pembahasan tentang bagaimana modal yang dimiliki orang-
orang bertato bertarung, dan berebut kekuasaan. Baginya, ada jaringan relasi antar
posisi objektif di dalamnya. Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran
dan kehendak individu.
Poin penting dari gagasannya mengenai sesuatu yang disebutnya tadi
sebagi ruang sosial ialah: Pertama, arena kekuatan sebagai upaya sebuah
perjuangan untuk memperoleh dan memperebutkan sumber daya atau modal dan
juga untuk mendapatkan akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan;
Kedua, sebentuk hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-
posisi individu maupun kelompok dalam sebuah tatanan masyarakat. Dalam hal
ini, arena juga dapat dikatakan sebagai sebuah konsep yang sangat dinamis, yaitu
saat posisi agen berubah, maka struktur arena yang ada juga ikut berubah. Ini
artinya ruang sosial merupakan suatu entitas yang di dalamnya terdiri dari
beragam arena dan memiliki aturan-aturan tersendiri di tiap arenanya. Secara
singkat, teori arena Bourdieu ini meliputi kondisi-kondisi sosial produksi,
sirkulasi dan konsumsi barang-barang simbolik.
Terkait hal itu, dalam upaya perjuangan perebutan kekuasaan di dalam
field (arena), Bourdieu membedakan tiga jenis strategi yang dipakai oleh para
agen. Berikut strategi yang ia maksud:
Bourdieu in fact speaks of three different types of field stratcgies:
conservation, succession, subversion. Conservation strategies tend to
be pursued by those who hold dominant positions and enjoy seniority
in the field. Strategies of succession are attempts to gain access to
30 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
dominant positions in a field and are generally pursued by the new
entrants. Finally, strategies of subversion are pursued by those who
expect to gain little from the dominant groups. These strategies take
the form of a more or less radical rupture with the dominant group by
challenging its legitimacy to define the standards of the field27
.
Secara detail maksud dari ketiga strategi yang ditawarkan Bourdieu itu
ialah Pertama, conservation, yaitu strategi yang biasa dipakai oleh pemegang
posisi dominan dan senior dalam sebuah arena. Kedua, succession, yaitu strategi
yang bertujuan untuk mendapatkan akses terhadap posisi-posisi dominan di dalam
arena. Posisi dominan tersebut biasanya dikejar oleh para agen pendatang baru.
Ketiga, subversion, yaitu strategi yang dipakai oleh mereka yang mengharapkan
mendapat bagian kecil saja dari kelompok-kelompok dominan. Jika strategi
conversation akan lebih banyak dipakai oleh kelompok-kelompok dominan dalam
sebuah masyarakat, maka strategi succession dan subversion lebih banyak
menjadi pilihan mereka yang tersubordinat.
Dalam konteks ini, untuk menuju pembahasan tentang makna kuasa
orang bertato, konsep arena yang dipaparkan di atas dapat digunakan dalam
rangka menejelaskan bagaimana modal yang dimiliki oleh orang-orang bertato
bertarung. Ide modal yang digunakan oleh Bourdieu ini nyatanya dapat
memetakan hubungan-hubungan kekuasaan antar pemilik tato, yakni
kemampuannya atas pembacaan terhadap modal-modal apa yang digunakan oleh
para pengguna tato di Bali dalam upayanya memperoleh dan mempertahankan
dominasi (kuasanya) di arena politik pengamanan Bali.
27 David Swartz, Culture And Power: The Sociology Of Pierre Bourdieu, The University Of
Chicago Press, London, 1997, hal.125.
31 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Yang kemudian penting dalam gagasannya kali ini adalah Bourdieu
mengkonsepsikan bahwa sebuah kekuasaan selalu berada dan beroperasi dalam
suatu arena (field). Ia juga menegaskan bahwa di dalam arena ada proses
akumulasi dan negosiasi oleh para agen yang memiliki modal, baik itu modal
sosial, ekonomi, kultural, maupun simbolik. Akumulasi dari kepemilikan modal
inilah yang nantinya menentukan siapa yang berada di posisi mendominasi dan
siapa yang didominasi. Sehingga, tujuan akhir dari penguasaan modal tersebut
baginya ialah untuk mendapatkan pengakuan bahwa diri atau kelompoknyalah
yang berpengaruh, dan memiliki otoritas untuk menentukan kebenaran yang
paling berhak diikuti28
. Itu sebabnya Bourdieu memberikan catatan pada kita,
bahwa kekuasaan tidaklah berada diluar sana dan berjarak dengan kita atau dalam
hubungan state-society. Ia hadir dekat dengan kita dan menyebar dalam setiap
arena sosial (social field) melalui praktik sosial.
Dalam ungkapan yang lebih tegas lagi atas penjelasannya, Bourdieu
menyebut; perwujudan kekuasaan yang dominan memerlukan perangkat-
perangkat simbolik untuk melegitimasi kekuasaan tersebut. Artinya, dominasi
kekuasaan tidak akan bisa terbentuk tanpa adanya akumulasi modal. Dalam
konteks ini, arena/ranah/field secara mudah bisa dibayangkan seperti sebuah
permainan, di mana setiap permainan mempunyai norma dan logikanya sendiri.
Jadi, konsep modal yang dijelaskannya sebagai suatu kekuatan yang
spesifik beroperasi di dalam sebuah arena, telah menegaskan poin penting bahwa
28 Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu,
Juxtapose Kerja Sama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan UMY, Yogyakarta, 2007, hal.3.
32 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
setiap arena menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat
secara baik dan terus menerus bertahan di dalamnya. Melihat definisi dasar
Bourdieu atas modal, modal dapat digolongkan menjadi empat29
. Pertama, modal
ekonomi (economy capital). Modal ekonomi baginya merupakan suatu hal yang
mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-
benda), dan uang yang dengan mudah digunakan dengan segala tujuan serta
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua, modal budaya
(cultural capital) yakni, keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi,
baik melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Yang termasuk di
dalam modal budaya antara lain, kemampuan menampilkan diri di depan publik,
pemilikan benda/kode budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu
dari hasil pendidikan, dan sertifikat (gelar kesarjanahan). Ketiga, modal sosial
(social capital), yang menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (baik
individu maupun kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang
memiliki kuasa. Keempat, modal simbolik (symbolic capital) yang menurutnya
adalah segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi.
Perlu diperhatikan, disini penekanan diberikan pada kenyataan bahwa
dalam pandangan antropologi Bourdieu mengenai capital ini didominasi oleh
analisis mekanisme reproduksi hierarki sosial. Ia tampak sekali bertentangan
dengan analisis Marxis, dimana ia juga mengkritik diterminisme faktor ekonomi,
yang mana ia menegaskan bahwa kapasitas aktor sosial untuk secara aktif terlibat
memaksakan dalam produksi budaya mereka dan sistem simbol memainkan peran
29 Pierre Bourdieu dan Loic J.D. Wacquant, An Innovation to Reflexive Sociology, Op.Cit, hal.119.
33 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
penting dalam reproduksi struktur sosial dominasi itu sendiri. Itu sebabnya, modal
dipandangnya sebagai sebuah basis dominasi.
Lebih jauh lagi, dari paparannya tersebut, di antara ke empat modal yang
disebutkan, modal simbolik (misalnya, prestise, kehormatan, perhatian) baginya
merupakan sumber penting dari kekuasaan. Dalam penjelasannya itu, modal
simbolik menurutnya merupakan jenis modal yang dirasakan melalui skema
klasifikasi sosial yang ditanamkan. Derajat akumulasi prestise, ketersohoran, atau
kehormatan dibangun atas dialektika pengetahuan dan pengenalan. Konsep ini
bisa dikembangkan pada kekuasaan simbolis berdasarkan bentuk-bentuk modal
yang tidak bisa direduksi dalam bentuk modal ekonomi. Misalnya, jabatan, mobil
mewah, kantor, prestise, gengsi sosial, gelar, status tinggi, nama besar keluarga
termasuk juga fungsi sosial yang ditunjukan tato, pada dasarnya merupakan
bentuk pengakuan sosial oleh kelompok, ia secara institusional maupun informal
merupakan sumber daya dalam posisi sosial, akumulasi modal atau efektivitas
wacana dan tindakan pemiliknya30
. Itu sebabnya, banyak sedikitnya modal, sangat
menentukan peneguhan dan peningkatan posisi seorang agen pada arena yang
diisinya.
Menggunakan konsepsi Bourdieu mengenai modal, penelitian ini
nantinya diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan, seperti; bagaimana
agen (orang-orang bertato) menggunakan modal-modal yang dimilikinya untuk
menentukan posisi mereka dalam realitas sosial dan modal-modal apa saja yang
30 Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2010, hal.18.
34 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
digunakannya dalam berebut kuasa. Artinya, konsep ini bisa dipinjam sebagai alat
ukur untuk melihat modal apa saja yang dimiliki dan sejauhmana modal-modal
tersebut berperan dalam mengharumkan nama mereka di politik pengamanan Bali.
Akhirnya, kehadiran orang-orang bertato di domain politik pengamanan
Bali memberikan kita pada pemahaman awal bahwa modal yang dimiliki mereka
sangat kuat. Cerita mengenai kesuksesan orang-orang bertato lepas dari belenggu
marginalisasi oleh rezim terdahulu dan perlahan-lahan hadir di ranah yang lebih
prestigious adalah salah satu langkah awal untuk mengetahui karakteristik modal
seperti apa yang mereka miliki dan mereka gunakan dalam mencapai suatu titik
dominasi kuasanya.
Sementara itu, selain arena dan modal, perkakas teoritik Bourdieu
lainnya yang tak kalah penting ialah soal habitus. Telah dibahas sebelumnya,
bahwa arena memiliki keterkaitan erat dengan yang namanya habitus. Bourdieu
dalam pandangan Granfell dan James (1998)31
menjelaskan bahwa konsep
habitus baginya dianggap sebagai struktur kognitif yang memperantai individu
dan realitas. Sekedar ingin memberikan pemahaman yang lebih utuh, secara
komperhensif, habitus menurut Bourdieu adalah:
“suatu sistem disposisi yang bertahan lama, dan dapat di ubah-ubah,
struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai
penstruktur struktur-struktur (structured structured predisposed to
function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang
menghasilkan dan mengatur praktik dan gambaran-gambaran yang
dapat disesuaikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa
mensyaratkan suatu kesadaran akan tujuan-tujuan tertentu atau
31 Lihat, Michal, Branfell dan David James, Bourdieu and Education:Acts of Practical Theory,
Falmer Press, London, 1998, hal.14-15.
35 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
penguasaan khusus atas operasi-operasi yang diperlukan untuk
mencapai tujuan tersebut. Karena sifatnya “berkala” dan “teratur”
secara objektif, tanpa harus menjadi hasil dari kepatuhan terhadap
aturan-aturan, secara kolektif prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan
tanpa menjadi hasil dari perorganisasian tindakan oleh sang pelaku”32
.
Artinya habitus bukanlah seperti pengetahuan bawaan, ia bukan kategori
seperti dalam pengertian Immanuel Kant, bukan juga ide-ide bawaan dari dunia
seperti yang dimaksud Plato dan kaum rasionalis, tetapi habitus adalah sejarah
yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam
ruang dan waktu tertentu, yang juga menghasilkan pola perilaku tertentu pula.
Fashri (2007) dalam bukunya juga mengatakan habitus adalah kebiasaan-
kebiasaan, sesuatu yang merupakan hasil pembelajaran secara halus, tak disadari
dan tampil sebagai hal yang wajar sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah,
seakan-akan diberi oleh alam, atau ‟sudah dari sananya‟33
. Artinya, habitus
memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan tanpa
disadari dan melakukan interaksi dengan pihak lain di luar dirinya.
Apa yang ditegaskan dan dikemukakan di atas, sebenarnya sudah cukup
untuk menyederhanakan gagasan dasar soal habitus. Yakni, sebuah perangkat
sosial yang terbentuk dari pengalaman hidup aktor. Ia telah ditanamkan sudah
sejak lahir, lalu berkembang seiring dengan pertumbuhan dirinya. Sehingga
kemudian, dari kerangka Bourdieuan ini akan dilihat bagaimana fenomena-
fenomena yang terjadi di kalangan orang-orang bertato di Bali. Dikebanyakan
orang di sana, kini tato berfungsi sebagai presentasi reproduksi kuasa. Fenomena-
32 Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, Cambride University Press, USA, 1977,
hal.72 33 Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu,
Op.Cit, hal.83.
36 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
fenomena yang dimaksud ialah: Pertama, Perjuangan politik rekognisi (konstruksi
sosial) di masa Orde Baru hingga masa kini oleh pamakai tato di Bali. Kedua,
kemunculan orang-orang bertato dalam penguasaan wilayah-wilayah ekonomi
strategis di Bali. Ketiga, penggunaan orang-orang bertato dalam pengamanan
yang digunakan oleh swasta maupun negara (pemerintah Bali).
Logika ini akan mengantarkan kita pada sebuah pemahaman, bahwa
fenomena di atas akan dilihat tidak hanya sebatas bukti dari meningkatnya
ekspresi orang-orang bertato sebagai sebuah identitas, tetapi lebih dari itu, yakni
yang disebut Bourdieu sebagai praktek sosial, adanya proses integrasi antara
habitus dikalikan modal dan ditambah arena, yang secara perlahan pemanfaatan
akan keberadaan ketiga konsep tersebut kemudian memberikan kemampuan bagi
pemakai tato untuk melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah
struktur, dan sampai pada peneguhan terbentuknya sebuah identitas kelas baru
orang-orang bertato dalam relasi kuasa di kehidupan sosialnya.
Kiranya dari ulasan di atas dapat dipetik sebuah kesimpulan, bahwa
identitas orang-orang bertato sebagai orang yang dibayangkan memiliki kekuatan
dan kuasa telah tersosialisasi ke dalam masyarakat luas, yang kemudian
menempatkan mereka pada ruang-ruang kuasa tertentu dalam realitas sosial.
Ketika masuk ke dalam ruang kuasa itulah tato telah bermakna lain, bukan hanya
ekspresi seni atau coretan tanpa arti semata, tetapi secara sosial berfungsi sebagai
peneguhan identitas (affirmative identity) dan kekuasaan.
37 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Hal inilah yang agaknya kemudian, tato kini berperan efektif dalam
proses kesadaran pembentukan orang-orang bertato dalam ruang kuasa, ini
disebabkan karena ia berfungsi sebagai apa yang disebut Bourdieu tadi dengan
„habitus‟. Habitus baginya juga bisa disebut sebagai “sistem pengulangan ekspresi
penampilan (disposisi) yang kemudian berkembang menjadi sebuah struktur sosial
yang berfungsi menstrukturkan struktur-struktur baru. Sistem pengulangan itu
kemudian menggenerasi menstruksturkan praktek-praktek representasi yang
secara obyektif terus berlangsung”34
.
Habitus (orang) bertato yang „berbau” simbol kekuatan dan kekuasaan,
di dalam prakteknya dikenalkan secara terus-menerus, dimanapun dan kapanpun
(penguasa wilayah, pengaman daerah bisnis tertentu, pengaman pemerintah dalam
demonstrasi, dan alat mobilisasi masa sewaktu Pemilu) sehingga setelah berproses
dalam jangka waktu yang cukup lama, ia membentuk sebuah kesadaran terhadap
kelompok masyarakat lainnya. Kesadaran untuk menerima orang-orang bertato
dalam domain penguasaan ekonomi maupun politik.
Sebagai prinsip-prinsip generatif yang berulang terus-menerus, habitus
kemudian memproduksi dan mereproduksi struktur-struktur baru. Ketika
kelompok yang tersadarkan itu adalah orang-orang bertato yang membutuhkan
pekerjaan, maka tato kemudian menjadi identitas sebuah kelompok yaitu
kelompok penguasa. Individu-individu yang mengenakan tato, “do not know what
they are doing that what they do has more meaning than they know”35
. Dengan
34 Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, Op,Cit, hal.77. 35 Ibid, hal.79.
38 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
membiasakan menggunakan tato dalam ruang kuasa tertentu secara terus-menerus,
itu secara tidak langsung juga akan mengkonstruksi dunia sosial mereka melalui
praktek kehidupan sehari-hari (berperilaku, berpenampilan) dan kemudian
mengisinya dengan makna baru. Setidaknya, pada tahap ini saya sekali lagi ingin
menegaskan bahwa; bertato di realitas sosial kini lebih dari sekedar soal ekspresi
diri atau peneguhan identitas, yakni sebagai sebuah proses imajinasi pembentukan
kelas baru, berupa kelas penguasa informal.
Di dalam penjelasan mengenai habitus, gagasan lain yang tidak bisa
dilepaskan dari keberadaan habitus itu sendiri ialah yang disebut Bourdieu
sebagai doxa, yang pengertiannya menyerupai semacam suatu ideologi. Ia
menyatakan doxa sebagai:
Kesamaan struktur objektif dan struktur yang terinternalisasi yang
memerlukan ilusi pemahaman segera, karakteristik pengalaman
praksis dari dunia yang tak asing lagi dan pada saat yang sama tidak
menyertakan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dapat dikenakan
terhadap pengalaman itu36
.
Artinya, doxa bisa diartikan sebagai suatu kepercayaan dan nilai-nilai tak
sadar, yang berakar mendalam, mendasar, lalu dipelajari (learned), kemudian
dianggap sebagai universal-universal yang terbukti dengan sendirinya (self-
evident), yang pada akhirnya menginformasikan tindakan-tindakan dan pikiran-
pikiran seorang agen dalam arena (fields) tertentu. Dalam hal ini, doxa cenderung
mendukung pengaturan sosial tertentu pada arena tersebut, dengan demikian ia
mengistimewakan pihak yang dominan dan menganggap posisi dominan tersebut
sebagai yang terbukti dengan sendirinya (self-evident) dan lebih disukai secara
36 Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, Polity Press, Cambridge, 1990, hal.20.
39 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
universal (universally favorable). Doxa bisa diartikan lebih jauh sebagai tatanan
sosial dalam diri individu, yang stabil dan terikat pada tradisi, serta terdapat
kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan sudah tidak dipertanyakan lagi.
Di dalam gagasannya mengenai doxa, ada yang disebutnya dengan
seperangkat nilai dan wacana, yang demikian itu dianggapnya sebagai sebuah
prinsip-prisnsip fundamental bagi arena, dimana menurutnya ada sebuah
kebenaran yang terkandung di dalamnya. Doxic attitude (sikap) telah membuat
tubuh dan ketidaksadaran menerima kondisi-kondisi yang sebenarnya tidak masuk
akal dan sifatnya mengikat. Doxa beroperasi seolah-olah sebagai kebenaran
obyektif secara keseluruhan di ruang sosial. Doxa merupakan habitus-spesific,
sehingga apa yang menjadi doxa bagi individu atau sekelompok orang dari
habitus tertentu, tidak berarti menjadi doxa bagi sekelompok orang dengan
habitus yang lainnya37
. Dengan demikian, doxa dapat dimaknai sebagai suatu
bentuk kebenaran obyektif yang diterima dalam lintas ruang sosial, dari suatu
praktik dan persepsi individu menjadi praktik dan persepsi yang diterima
kelompok atau institusi lainnya. Artinya sebuah doxa dapat menciptakan dan
memproduksi legitimasi bagi wacana dominan yang dilakukan oleh agen yang ada
dalam struktur di realitas sosial. Inilah yang disebut Bayo dalam tesisnya bahwa
Doxa menggambarkan adanya kesesuaian antara struktur mental dan objektif38
.
37 Rohit Chopra, Neoliberalism as Doxa: Bourdieu‟s Theory Of The State And The Contemporary
Indian Discourse On Globalization And Liberalization, Cultural Studies, 17 3/4/2003, hal.
419–444. 38 Longgina Novadona Bayo, Kuasa Adat atas Gereja dan Negara di Adonara, Tesis, UGM,
2010, hal.22.
40 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Di dalam doxa, agen yang profesional akan menempati kedudukan
penguasa cenderung mengembangkan dan melestarikan orthodoxa, yaitu dimana
wacana yang mendukung keberadaan wacana dominan yang dianggap absah
(doxa) dalam arena. Sedangkan agen yang menempati kedudukan marginal
cenderung mengembangkan dan melestarikan heterodoxa, yaitu yang
dimaksudnya sebagai wacana yang menentang keberadaan suatu doxa39
.
Dalam konteks relasi tato dan kuasa, hadirnya penguasa-penguasa
informal dalam domain ekonomi maupun politik merupakan bagian dari
konstruksi yang dibangun secara terus menerus melalui keberadaan efek “kuasa”
yang hadir melalui tato yang mereka pakai. Kepercayaan terhadap hal itu yang
diterima secara langsung dan sebagai sesuatu kebenaran, yang kemudian
terpelihara dengan baik dalam pikiran orang bertato maupun masyarakat setempat,
yang akhirnya telah melegitimasi posisi mereka hingga hari ini di ruang sosial
politik Bali. Oleh karena itu, penting kiranya gagasan Bourdieu di atas, baik
habitus maupun doxa digunakan sebagai alat untuk mengkaji fenomena tersebut.
Dengan demikian, apa yang ditawarkan Bourdieu melalui berbagai
konsepnya tersebut telah memberikan penjelasan, bahwa praktik kuasa yang
melekat pada fungsi (politis) tato tercipta atas aktifitas akumulasi modal dan
habitus oleh pemiliknya yang berupaya membentuk pengakuan atas
keberadaannya dalam ruang-ruang kuasa informal. Itu sebabnya, disini penulis
menyebut bahwa praktik kuasa oleh pemilik tato tidak bisa lepas dari faktor
habitus, yaitu kebiasaan-kebiasaan (perilaku dan penampilan si pengguna tato)
39 Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, Op,cit, hal.159-171.
41 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
yang terjadi sudah sejak lama, yang merupakan hasil pembelajaran secara halus,
kepercayaan terhadap kebenaran tato sebagai sumber legitimasi “kuasa” menjadi
alasannya.
Adapun kepemilikan dan penguasaan modal sosial, maupun modal
simbolik oleh pemakai tato menjadi faktor lain dalam memperkokoh dan
mempertahankan keberadaan mereka sebagai penguasa informal di setiap arena
yang dimaksud dalam penelitian ini. Dari paparan di atas tampak nyata, ada
perkembangan bahwa tato di Bali yang selama ini identik dengan sebuah
kebudayaan, kemudian direduksi oleh masing-masing pemiliknya menjadi basis
legitimasi kuasa. Hal itu tentu bisa saja terjadi, dikarenakan adanya pengelolan
integrasi ketiga konsep habitus, capital, dan field yang dilakukan oleh orang-
orang bertato dalam upayanya untuk mendominasi kelompok lain di luar mereka,
atau bahkan sesama mereka.
Atas hal itu, dalam penelitian kali ini penulis kembali ingin menegaskan
bahwa tato sebagai sebuah modal simbolik yang dimiliki oleh individual, ternyata
tanpa diakui dan dikenali apakah ia bernilai kuasa atau tidak, kekuasaan itu tetap
bekerja dengan habitus dan arena yang dimilikinya. Artinya sebelumnya memang
sudah ada konstruksi “kuasa” terhadap tato secara terus menerus, sehingga secara
tidak sadar simbol tato tersebut tetaplah bernilai kuasa yang memberi efek pada
pemiliknya.
42 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
1.6. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif40
, yakni untuk
mengungkapkan realitas sosial, seperti fenomena orang-orang bertato yang
menekankan bagaimana reproduksi kuasa dilakukan melalui konstruksi sosial oleh
masing-masing pengguna tato. Penelitian ini akan mempelajari mengenai
bagaimana tato bekerja dalam relasi-relasi kuasa di dalam realitas sosial, yakni
perlu mengidentifikasi berbagai macam variabel yang tidak bisa „diukur‟ secara
kuantitatif. Terlebih, penelitian mengenai isu ini membutuhkan pemahaman yang
kompleks dan detail. Detail ini hanya dapat direngkuh dengan cara berbicara
secara langsung dengan informan, menyambangi rumah maupun tempat kerja
mereka, membaca perilaku mereka dalam segala hal kegiatannya dan
mengizinkan mereka untuk menceritakan kisah mereka tanpa harus dibebani
dengan apa yang kita harapkan. Dalam kehidupan orang-orang bertato, realitas
sosial mereka bukan saja ditampakkan melalui fenomena lambang atau corak tato
yang mereka gunakan, melainkan melalui relasi kuasa di antara mereka sesama
yang bertato maupun antara mereka dengan orang-orang di luar kelompok
mereka.
Penelitian ini akan menggali suatu fenomena tertentu dalam suatu waktu
dan kegiatan (program, event, proses, atau kelompok sosial) dan mengumpulkan
informasi secara terinci dan mendalam dengan menggunakan berbagai prosedur
pengumpulan data selama periode tertentu. Dalam penelitian ini, untuk
optimalisasi pengumpulan data di lapangan, terutama ketika harus „masuk‟ ke
40 David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode Penelitian Ilmu Politik, Nusa Media,
Bandung, 2011, hal.240.
43 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
dalam sebuah kehidupan sosial orang-orang bertato yang memiliki nilai dan cara
interaksi yang sangat spesifik, maka peneliti merasa perlu untuk „meminjam‟
teknik kualitatif fenomenologi sebagai metode teknik penelitiannya. Sedangkan
dalam tradisi berpikir, penulisan ini menggunakan interpretif yang mencoba
menjawab pertanyaan besar penelitian tentang bagaimana relasi antara kuasa dan
tato41
. Adapun dalam tradisi ini, fenomena yang terlihat nantinya tidak eksis
secara independen atau terlepas dari interpretasi kita tentang mereka; melainkan
pemahaman/interpretasi terhadap fenomena inilah yang nantinya mempengaruhi
hasil penelitian42
.
Jelasnya, dengan menggunakan metode fenomenologi, penelitian ini
menempatkan individu pemakai tato sebagai “pemberi” makna. Pemaknaan yang
berbuntut pada tindakan ini didasari oleh pengalaman sosial yang bersifat
intensional43
. Secara umum, riset dengan menggunakan metode fenomenologi ini
bertujuan untuk menjelaskan situasi yang dialami oleh pribadi individu dalam
kehidupan sehari-hari. Yakni, membantu menjelaskan makna pengalaman hidup
orang-orang bertato tentang suatu konsep atau gejala “kuasa” yang dialaminya
atas pandangan dan pendapat mereka sendiri. Fenomenologi tidak mencoba
mereduksi suatu gejala menjadi variabel-variabel yang bisa diidentifikasi dan
mengontrol konteks dimana gejala itu hendak dikaji, melainkan bertujuan untuk
41 Donny, G, A, Pengantar Fenomenologi, Penerbit Koekoesan,Jakarta, 2010, hal.4. 42 David Marsh, dan Gerry Stoker, Op.Cit, hal.32. 43 Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, UGM Press, Yogyakarta, 2012, hal.285.
44 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
sebisa mungkin tetap selaras dengan gejala itu dan dengan konteks dimana gejala
itu muncul44
.
Di dalam aplikasinya, fenomenologi sebagai pendekatan di dalam kajian
ilmu-ilmu sosial–kemanusiaan ditekankan pada hal-hal berikut: 1) Fenomenologi
terfokus pada penampakan sesuatu. 2) Fenomenologi concern terhadap
keseluruhan, dengan menguji sebuah entitas dalam berbagai sudut pandang,
anggel dan perspektif sehingga unifikasi visinya didapatkan. 3) Fenomenologi
mencari makna dari penampakan, sehingga didapatkan esensinya melalui intuisi
dan refleksi atas tindakan berkesadaran dari pengalaman, ide, konsep, putusan dan
pemahaman. 4) Fenomenologi berkomitmen dengan deskripsi pengalaman, bukan
penjelasan atau analisis. 5) Fenomenologi berakar di dalam pertanyaan yang
memberi arah dan berfokus pada makna. 6) Subjek dan objek terintegrasi atau
tidak ada pemilahan subjek objek. 7) Pada keseluruhan penyelidikan realitas
intersubjektif adalah bagian dari proses. 8) Data tentang pengalaman, pikiran,
intuisi, refleksi, dan putusan dijadikan sebagai kejadian-kejadian primer dari
penyelidikan ilmiah. 9) Pertanyaan penelitian difokuskan, diarahkan dan
dirumuskan secara hati-hati45
.
Melalui gambaran singkat di atas, jelas, pendekatan ini dapat
diimplementasikan untuk kajian pemakai tato di Bali. Keterkaitan tato dan kuasa
di Bali, sesungguhnya adalah fenomena yang menarik untuk dikaji melalui
pendekatan ini. Maka yang akan digali melalui metode ini ialah situasi dimana
44 Jonathan A, Smith, Psikologi Kualitatif, Sage Publication, New Delhi, 2006, hal.36. 45 Nur Syam, Tarekat Petani, Lkis, Yogyakarta, 2013, hal.35.
45 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
para pemakai tato mengalami sendiri pengalaman mereka sehingga bisa
menggambarkan/menjelaskan seperti apa sebenarnya realitas yang terjadi dalam
kehidupan mereka, ini bertujuan untuk menangkap secermat mungkin bagaimana
gejala itu dialami oleh pemakai tato sebagai objek yang diteliti.
Teknik kualitatif fenomenologi ini akan diwujudkan melalui keterlibatan
peneliti dalam waktu 3-4 bulan di lokasi penelitian, dengan intensitas tinggi dan
tanpa interupsi46
. Metode ini menjadi penting bagi peneliti untuk dapat
mengombinasikan yang diucapkan dengan apa yang dilakukan. Karena apa yang
dijawab oleh informan/narasumber bisa jadi sifatnya normatif, sehingga perlu
untuk melihat lebih lanjut bagaimana informan menafsirkan yang dikatakan dalam
perilakunya.
1.6.1. Tahapan-tahapan prosedur pengumpulan data
Dalam penelitian ini, peneliti akan memperoleh data dari informan
langsung. Data-data yang diperoleh melalui beberapa proses yakni seperti
wawancara dan observasi, selain itu juga didukung dengan rujukan data sekunder
berupa beberapa literatur dan sumber data penunjang, seperti buku, media massa,
laporan penelitian, jurnal, majalah dan sebagainya. Kemudian, karena penelitian
ini menggunakan pendekatan fenomenologi, maka penelitian ini akan dilengkapi
dengan mengamati perilaku mereka secara langsung, diharapkan dengan
menggunakan teknik-teknik ini satu dengan lainnya akan saling melengkapi.
Selanjutnya peneliti melakukan aktivitas tahapan penelitian dengan mengacu pada
46 Engkus Kuswarno, Fenomenologi, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hal.61.
46 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
aktivitas pengumpulan data dari Creswell, yang disebutnya sebagai lingkaran
pengumpulan data47
.
Berikut pola prosedurnya:
Gambar.1.1. Lingkaran Tahapan Pengumpulan data
Berdasarkan bagan di atas, pola lingkaran pengumpulan data dimulai dari
locating site/individual, gaining access and making, purposefully sampling,
collecting data, recording information, resolving field issues, dan diakhiri dengan
storing data. Setelah prosedur ini dilewati, Creswell menyarankan agar peneliti
memulainya pada penentuan tempat atau individu siapa yang akan menjadi
informan penelitian ini.
47 John W, Creswell. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition,
Sage Publication, USA, 1998, hal.110.
Storing
Data
Gaining Access
and Making
Rapport
Locating
Site/Individu
al
Collecting
data
Recording
Information
Purposefully
Sampling Resolving
Field Issues
47 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
1.6.2. Lokasi Penelitian dan Informan
Lokasi penelitian dalam sebuah tradisi studi fenomenologi bisa satu
tempat atau tersebar, dengan memperhatikan pada orang-orang yang akan menjadi
informan dapat memberikan penjelasan dengan baik, dengan jumlah informan
sebanyak 3-10 orang48
.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan lebih dari itu, hanya
saja yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini sebanyak 8-10 orang, sama
seperti yang disarankan oleh Creswell. Selain itu, penelitian ini dipilih lokasi yang
tersebar di seluruh wilayah Bali, dengan memperhatikan beberapa aspek seperti:
Pengamatan langsung terhadap hadirnya orang-orang bertato dalam arena politik
pengamanan Bali, misal ambil contoh objek wisata pantai Kuta, hingga hadirnya
mereka dalam sebuah kelompok organisasi masyarakat di Bali. Adapun kelompok
yang dijadikan informan yakni Laskar Bali, Baladika dan Pecalang. Pendekatan
yang digunakan dalam membaca keberadaan orang-orang bertato dari kelompok
tersebut ialah dengan menggunakan keempat konsep Bourdieu yakni habitus,
capital, field, dan practice yang dimiliki oleh masing-masing kelompok dengan
keberadaan mereka di domain-domain tertentu.
Adapun pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara
komprehensif yakni seleksi berdasarkan kasus, kejadian (event), dan unsur yang
48 Ibid, hal.122.
48 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
relevan49
. Dari pertimbangan tersebut, berikut rencana daftar informan yang akan
dijadikan penulis sebagai sumber informasi dalam penelitian ini:
1. Petinggi Laskar Bali, Baladika, dan Pecalang
2. Delapan sampai sepuluh orang yang memiliki peranan penting dalam
kelompok tersebut
3. Beberapa anggota dalam kelompok tersebut yang hadir sebagai aktor di
lapangan dalam kegiatannya di domain ekonomi maupun politik
pengamanan
4. Anggota di ketiga kelompok yang tidak terlibat di dalam domain-domain
tersebut
1.6.3. Gaining Acces and Making Rapport ( Proses Pendekatan Informan)
Karena informan yang digunakan dalam penelitian ini bukanlah informan
yang seperti “biasanya”. Misalkan, sulitnya mereka menerima pihak asing serta
menaruh kecurigaan yang tinggi terhadap riset ini, maka untuk melakukan
wawancara mendalam terhadap mereka tidaklah mudah. Untuk itu, perlu beberapa
strategi yang digunakan dalam upayannya mencapai kedalaman hasil wawancara.
Pertama, memanfaatkan tokoh penting yang kaitannya dengan kelompok yang
akan diteliti. Kedua, menciptakan pertemuan yang kesannya tidak disengaja.
49 Agus Salim, Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006,
hal.12-13.
49 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Setelah mendapatkan akses, maka yang dilakukan ialah
menindaklanjutinya dengan membangun kedekatan dengan informan. Ini
ditujukkan untuk mendapatkan informasi yang lebih detail dan sesuai dengan
harapan.
1.6.4. Strategi Pemilihan Informan
Memilih informan yang dianggap mampu menjelaskan pengalaman
hidupnya dan mampu memberi pandangannya mengenai sesuatu yang nantinya
akan dipertanyakan. Dalam proses penentuan orang-orang bertato seperti apa yang
akan menjadi informan bukanlah perkara mudah, perlu ketelatenan dan
pemahaman terhadap posisi mereka di dalam fenomena yang akan dilihat.
Memilih orang-orang bertato yang bisa mewakili keberadaan kelompoknya dan
mewakili mereka sendiri secara individu, penting dilakukan untuk mendapatkan
informasi yang luas dengan waktu yang singkat. Untuk itu, memilih para anggota
maupun petinggi di ketiga kelompok tersebut yang dianggap memenuhi
persyaratan seperti yang disebutkan di atas, sudah cukup tepat.
1.6.5. Teknik Pengumpulan Data
Asumsi dasar yang dibangun adalah bahwa bentuk sosial dan praktik
sosial orang-orang bertato tersebut dianggap merupakan susunan yang ada dalam
pikiran (mind) orang-orang bertato, dan tugas peneliti adalah mengoreknya keluar
dari pikiran mereka sehingga membutuhkan hubungan yang tidak berjarak antara
peneliti dengan subjek penelitian. Untuk merealisasikan hal-hal tersebut, maka
peneliti akan melakukan 4 teknik yang berbeda dalam melakukan penelitian.
50 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Seperti apa yang disebutkan oleh Creswell bahwa dalam studi kualitatif
terdapat beberapa teknik dalam melakuan pengumpulan data50
, yakni: Pertama,
Observasi: observasi kualitatif, di dalamnya peneliti langsung turun ke lapangan
untuk mengamati dan mengikuti keseharian informan dengan melihat perilaku dan
aktifitasnya di dalam lokasi penelitian. Dalam pengamatan seperti ini, peneliti
dituntut untuk merekam atau mencatat dengan cara terstruktur atau semistruktur51
.
Observasi dilakukan melalui beberapa tahap, tahap pertama ialah pemilihan
setting. Terdapat berbagai observasi yang masing-masing menyangkut beberapa
isu, yakni:52
1. Tingkat keterlibatan periset, 2. Fokus yang diamati, 3. Sikap
periset, 4. Lama pengamatan.
Selain itu, observasi dilakukan secara netral, artinya peneliti hanya
menemani informan dalam melakukan aktivitasnya. Adapula sesekali peneliti
melakukan penelitian ini tanpa diketahui informan, yakni dengan menjaga jarak
dengannya, ini dimaksudkan untuk mengamati perilaku mereka agar perilaku atau
pengalaman yang mereka munculkan tidak terganggu atau bahkan dikhawatirkan
akan menjadi tidak natural oleh adanya kehadiran peneliti dalam setiap
aktifitasnya. Tujuan dari observasi ini ialah peneliti mendapatkan pengalaman
langsung dari informan, peneliti juga dapat langsung merekam ketika ada
informasi yang muncul. Ini tentu membantu peneliti dalam menemukan data-data
yang diharapkan. Kedua, seperti yang telah disebutkan dalam prosedur
50 John W, Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition,
Op,Cit, hal.120. 51 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif Dan Mixed, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2012, hal.267. 52 Agus Salim, Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial, Op,Cit, hal.15.
51 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
pengumpulan data wawancara secara langsung dilakukan secara mendalam.
Peneliti dapat melakukan face to face interview53
. Proses ini tentu saja
membutuhkan pertanyaan-pertanyaan. Hanya saja, pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan tidak terstruktur dan lebih cair. Ini dilakukan untuk menghilangkan
kondisi formalitas untuk menyesuaikan keadaan orang-orang bertato. Selanjutnya,
dalam wawancara ini perekam audio maupun video digunakan untuk
mendokumentasikan percakapan antara peneliti dan informan. Proses wawancara
ini penting bagi peneliti, ketika peneliti tidak bisa mengobservasi secara langsung
semua informan.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, wawancara dalam penelitian
ini dilakukan secara khusus yakni dilakukan dengan cara informal dan terbuka.
Oleh karena itu, wawancara dalam penelitan ini meliputi pertanyaan yang bersifat
fenomenologis:
Pertama, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada
orang-orang bertato terkait Field:
Adakah tempat-tempat tertentu untuk bertemunya anda dan teman-teman
sesama orang-orang yang bertato?
Pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan anda bersama teman-teman?
Bagaimana tanggapan anda terhadap larangan orang-orang bertato kerja
di tempat yang formal? sejauhmana anda menyikapinya?
53 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif Dan Mixed, Op,Cit.
52 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Apa perasaan yang muncul ketika anda hadir dalam arena-arena
tertentu?
Kedua, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada
orang-orang bertato terkait Capital:
Apa alasan anda untuk mengenakan tato di tubuh anda?
Mengapa motif atau corak tato ini yang anda pilih?
Apa yang anda pikirkan berkaitan dengan tato yang anda kenakan?
Adakah pengaruh pada diri anda setelah mengenakan tato (positif-
negatif)?
Ketiga, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada
orang-orang bertato terkait Habitus:
Dapatkan Anda menceritakan pengalaman anda mengenai proses pertama
kali anda bertato?
Bagaimana anda berkomunikasi dengan lingkungan anda? Adakah
perbedaan cara ketika anda berhadapan dengan orang-orang yang
sesama bertato dan orang yang tidak bertato?
Bagaimana pengalaman anda selama bekerja?
Adakah perubahan yang anda rasakan ketika bertato dan sebelum
bertato? Dan perubahan apa yang anda rasakan?
Apakah menurut anda ada pengaruh tato yang anda kenakan terhadap
rasa hormat orang untuk tetap percaya menempatkan anda sebagai
“pekerja-pekerjanya”?
53 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Keempat, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada
orang-orang bertato terkait practice social:
Anda mungkin memiliki pengalaman khusus ketika berinteraksi dengan
masyarakat di sekitar tempat tinggal maupun tempat kerja anda.
Dapatkah anda berbagi mengenai pengalaman tersebut?
Bagaimana cara anda dan teman-teman membuat orang percaya akan
kemampuan kalian ketika hadir sebagai pengamanan di domain ekonomi
dan pemangamanan di domain politik?
Bagaimana peristiwa yang anda alami dalam mempengaruhi orang lain di
sekitar anda?
Lalu, hal penting lain yang harus digunakan peneliti untuk melengkapi
data yang diperoleh langsung dari informan ialah menggunakan teknik
dokumentasi, yaitu mengambil data-data tertulis seperti; buku, media massa,
laporan penelitian, jurnal, majalah dan sebagainya. Terakhir, menggunakan
Audio-visual seperti; foto, film, video. Hal ini dilakukan untuk membantu peneliti
untuk menyajikan data yang berbobot, dapat diakses kapan saja dan menghemat
waktu peneliti dalam proses penelitian.
Selanjutnya, untuk memelihara rangkaian antar bukti apa yang didapat di
lapangan melaui masing-masing teknik, maka penulis meminjam cara Creswell,
dalam menjelaskan pengumpulan data melalui matriks sumber informasi. Matriks
ini mengandung berbagai tipe data: wawancara, observasi, dokumen, materi
audio-visual beserta bentuk spesifik dari informasi serta berupa rincian dari
54 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
tempat di mana fenomena-fenomena yang relevan dengan fokus penelitian ini
terjadi54
. Penyampaian data melalui matriks ini ditujukan untuk melihat
kedalaman dan banyaknya bentuk dari pengumpulan data sehingga menunjukkan
kompleksitas dari kasus.
Tabel. 1.2. Matrix Pengumpulan Data
Instrumen
yang akan
diteliti
Catatan
observasi
lapangan
Catatan dan
trakskrip
wawancara
Dokumentasi Audio-Visual
Laskar Bali,
Baladika dan
Pecalang di
politik
pengamanan
Bali
Karena data yang dikumpulkan juga bukan hanya dari hasil wawancara
ataupun pengamatan langsung, namun juga dokumen-dokumen yang terkait
dengan aktivitas orang-orang bertato di Bali. Maka, berikut ini adalah rincian
berbagai data yang dibutuhkan berdasarkan konsep kunci, sumber data, dan juga
teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini:
54 Ibid, hal.268-270.
55 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Tabel.1.3. Pemetaan Proses Pengumpulan Data
Konsep Kunci Data yang dicari Sumber Data Teknik
pengumpulan
data yang dipakai
Napak Tilas
keberadaan tato di
Pulau Seribu Pura
(Bab II)
Membaca keberadaan
tato di Pulau Seribu
Pura beserta
kemunculan ormas-
ormas di Bali yang
terkait dengan
kepemilikan tato para
anggotanya
- Informan Utama
- Dokumentasi
- Foto
- Wawancara
- Studi
Dokumentasi
- Audio Visual
Konstruksi relasi
kuasa dan identitas
orang bertato:
Menegaskan
Kejantanan,
Meneguhkan
Kekuasaan
(Bab III)
- Alasan dan proses
membuat tato oleh
pemiliknya.
- Justifikasi makna
Tato oleh
pemiliknya
- Perilaku yang
tampak dari orang-
orang bertato.
- Informan Utama
- Informan
Pendukung
- Dokumentasi
- Foto, Video
- Wawancara
- Pengamatan
Langsung
- Studi
Dokumentasi
- Audio Visual
Politik
pengamanan Bali
sebagai arena
pejantan Bali
bererbut kuasa
(Bab IV)
- Memahami arena
“pelanggengan”
dominasi orang-
orang bertato di
Bali Beserta modal
permainannya.
- Modal apa saja
yang terlacak dari
pemakai tato
- Dinamika yang
- Informan Utama
- Informan
Pendukung
- Dokumentasi
- Foto, Video
- Wawancara
- Pengamatan
Langsung
- Studi
Dokumentasi
- Audio Visual
56 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Konsep Kunci Data yang dicari Sumber Data Teknik
pengumpulan
data yang dipakai
terjadi di ketiga
kelompok tersebut
- Bagaimana
Interaksi antara
orang-orang bertato
dengan dunia
luarnya
Strategi kuasa
pemilik tato di Bali
(Bab V)
- Strategi berebut dan
bertahan dalam
kuasa politik
pengamanan Bali
- Strategi
menciptakan
kepercayaan akan
posisi mereka
sebagai penguasa
informal.
- Informan Utama
- Informan
Pendukung
- Dokumentasi
- Foto, video
- Wawancara
- Pengamatan
langsung
- Studi
Dokumentasi
- Audio-Visual
Penggunaan matriks ini akan bermanfaat apabila diterapkan dalam suatu
penelitian yang kaya informasi seperti dalam penelitian ini. Selain itu, matrix
tersebut membantu peneliti dalam mengoperasionalkan masing-masing konsep
kunci di dalam penelitiannya. Paling tidak, gambaran awal yang bisa dilakukan
untuk mengoperasionalkan kesemuanya ialah seperti sebegai berikut:
Field: Merekam jejak orang-orang bertato di tempat-tempat tertentu dalam
memainkan habitus dan capital yang dimilikinya. Mulai dari sini, maka konsep
lainnya akan bisa terekam. Seperti yang dikatakan oleh Bourdieu, bahwa arena
57 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
akan mengkondisikan habitus dan arena terus menuntut agen untuk memiliki
capital khusus sebagai alat untuk mempertahankan dominasinya. Untuk
sementara, hadirnya orang-orang bertato di Bali yang terkait dengan kekuasaan
terlihat pada domain politik pengamanan di Bali.
Capital: Kekuasaan itu abstrak, hanya saja konsekuensi dari kekuasaan itu
tampak nyata. Hal itu dapat dilihat dari capital pemilik “kuasa”.
- Modal simbolik orang-orang bertato: Penghormatan terhadap mereka
yang bertato dalam peristiwa-peristiwa sosial. Ini dibuktikan dengan
dipercayanya mereka dalam memberikan pengamanan yang baik pada
lokasi-lokasi strategis.
- Modal sosial orang-orang bertato: Sejaumana jejaring yang dibangun
orang-orang bertato. Ini terbukti dari kuatnya jejaring orang-orang
bertato di Bali, baik antar sesama mereka yang bertato maupun dengan
orang di luar mereka, termasuk penguasa formal di Bali seperti
Gubernur.
Habitus: Merekam segala disposisi / karakteristik / kebiasaan orang-orang
bertato di setiap peristiwa sosial yang dilaluinya.
- Preman: Adanya kepercayaan orang-orang terhadap kemampuan orang
bertato dalam memberikan pengamanan yang baik pada tempat-tempat
usahanya (memberi rasa takut pada orang yang membuat onar pada
tempat usaha tersebut). Ini muncul seiring sejarah tato yang dulunya
diidentikan dengan kriminalitas.
58 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
- Maskulinitas: Konsep diri orang-orang bertato, terkait dengan persepsi
tentang diri sendiri yang relatif menetap setelah mengenakan tato,
biasanya mereka identikan dengan kejantanan dan kekuatan.
- Kekar, sangar dan melanggar / Gagah, wibawa dan profesional: “Gaya”
dalam berpenampilan agar bisa diterima sebagai aktor pengamanan di
Bali.
Practice: Merekam segala bentuk aktivitas orang-orang bertato, yang
kaitannya dengan pengelolaan habitus dan capital oleh orang-orang bertato, di
setiap arena dalam upayanya melestarikan dominasi kuasanya.
1.6.6. Prosedur Pencatatan Data
Yang dimaksud prosedur pencatatan data disini ialah proses pencatatan
hasil wawancara, Creswell menyarankan 4 cara dalam proses ini, yakni:
1. Gunakan Judul untuk mencatat informasi penting dan sebagai
pengingat tujuan wawancara dilakukan.
2. Tempatkan jarak di antara pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada
lembaran khusus
3. Ingatlah pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk memperkecil
kehilangan kontak mata.
59 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
4. Catatlah komentar-komentar penutup yang menyatakan ucapan
terimakasih kepada narasumber, dan mintalah informasi lanjut jika
diperlukan wawancara di kemudian hari kepada informan55
.
1.6.7. Isu-isu Lapangan
Ini dimaksudkan untuk merekam beberapa kejadian dalam sebuah
penelitian yang terkait dengan peristiwa-peristiwa di luar kebiasaanya. Artinya,
bagaimana kondisi-kondisi yang terjadi selama pengamatan dipengaruhi oleh
beberapa aktifitas yang berkaitan dengan isu penelitian. Misalkan, hadirnya polisi
dalam ruang kerja mereka pada arena politik keamanan wisata. Maka, yang
diamati ialah bagaimana interaksi yang terlihat di antara mereka.
1.6.8. Proses Penyimpanan data
Proses akhir dari pengumpulan data yakni penyimpanan data (storing
data). Seluruh bentuk data atau informasi yang didapat, baik melalui observasi
ataupun wawancara dikumpulkan ke dalam kategorinya masing-masing untuk
disimpan ke dalam komputer, hardisk, cd maupun ke tempat lainnya yang bisa
“membackup” seluruh data penelitian yang didapat. Bagi creswell56
ini dilakukan
bertujuan untuk melindungi dan mempermudah peneliti dalam proses pengolahan
data nantinya.
55 John W, Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition,
Op,Cit, hal.109-126. 56 Ibid, hal.134.
60 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
1.6.9. Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan bagaimana
pergulatan praktik sosial orang-orang bertato menjadi penguasa informal serta
bagaimana proses konstruksi makna yang dibangun orang-orang bertato. Setelah
data yang telah dikumpulkan terkumpul, maka akan dianalisis dengan
menggunakan beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan seperti yang
dianjurkan oleh Creswell, diantaranya 57
:
1. Menyiapkan dan mengorganisasikan data
Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui pengamatan
langsung maupun wawancara mendalam (in-depth interview), dimana data
tersebut direkam dengan tape recorder dibantu alat tulis lainnya. Lalu data di
sortir dan dirangkai ke dalam tipe-tipe yang berbeda. Ada proses dimana peneliti
mengkategorikan data-data penelitian yang diperolehnya. Ini dilakukan agar
memudahkannya dalam membaca dan memahami informasi yang dapat diperoleh
dari data tersebut.
Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data,
perhatian yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa
yang ingin digali.
2. Membaca seluruh data
Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang secara utuh, agar penulis
mengerti benar atas data dan hasil yang telah didapatkan. Selain itu, proses ini
57 John, W, Creswell, Research Design:Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches.
Sage Publication, London, 2009, hal.185-189.
61 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
dapat membantu peneliti dalam menemukan genereal sense dari informasi untuk
bisa merefleksikan semuanya ke dalam penjelasan yang utuh.
3. Mendetailkan proses analisis dengan menggunakan coding.
Berdasarkan kerangka teori, pedoman wawancara dan pedoman
observasi, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan
pedoman dalam melakukan coding. Data yang telah dikelompokan tersebut oleh
peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting
serta kata kuncinya. Sehingga peneliti dapat menangkap pengalaman,
permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada subjek. Sebelum masuk ke step 4,
peneliti harus melewati proses coding. Pertama, peneliti harus memiliki sense dari
semuanya, yakni dengan membaca semua transkip secara datail. Kedua, ambil
dokumen yang dianggap paling menarik. Ketiga, membuat list dari semua topik
data. Keempat, kemudian buatlah list dan kembali ke data. Kelima, temukan kata
yang paling mendiskripsikan topik penelitian dan kembalikan ke kategori data.
Keenam, buatlah keputusan akhir pada inti data dari masing-masing kategori dan
kodenya disusun berdasarkan alpabeth. Ketujuh, memasang dan mengumpulkan
material data kepada masing-masing kategori dalam satu tempat. Kedelapan,
lakukan analisis sementara terhadap data.
4. Menggunakan proses coding untuk menghasilkan deskripsi dari informan
sebagaimana tema atau kategori yang telah disusun untuk sebuah analisis.
5. Kembangkan bagaimana deskripsi dan tema itu dapat di representasikan ke
dalam narasi kualitatif.
62 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
Proses ini dilakukan untuk menyampaikan kesimpulan dari analisis
terhadap data yang diperoleh.
6. Menulis hasil penelitian lewat interpretasi dari data tersebut.
Penulisan data subjek yang telah berhasil dikumpulkan merupakan suatu
hal yang membantu penulis unntuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang
dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakai adalah
presentase data yang didapat yaitu, penulisan data-data hasil penelitian
berdasarkan wawancara mendalam dan observasi. Selanjutnya dilakukan
interprestasi secara keseluruhan, dimana di dalamnya mencangkup keseluruhan
kesimpulan dari hasil penelitian dan dibandingkan dengan literatur ataupun teori
yang digunakan.
1.7. Sistematika Penulisan:
Bab I Pendahuluan
Latar belakang, rumusan masalah, literature review, beserta kerangka
teori, dan metode penelitian yang terkandung di dalamnya bertujuan untuk
mengungkapkan suatu landasan pemikiran dan bagaimana cara bekerjanya. Yang
bertujuan untuk memberi pemahaman kepada pembaca tentang pokok
permasalahan di dalam penelitian ini.
Bab II Napak Tilas Keberadaan Tato di Pulau Seribu Pura
Bagaimana sejarah perkembangan tato di Indonesia dan kaitannya
dengan kekuasaan? Berbicara mengenai sejarah kehadiran tato di Indonesia,
sekaligus dengan berbagai asosiasinya. Bagaimana tato dimaknai dan kaitannya
63 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i
dengan praktik-praktik kekuasaan secara umum di Indonesia dan di Bali pada
khususnya. Tujuan bab ini memahami kuasa orang bertato di Bali hari ini lewat
pemaknaan sejarah tato itu sendiri.
Bab III Konstruksi Relasi Kuasa dan Identitas Orang Bertato: Menegaskan
Kejantanan, Meneguhkan Kekuasaan
Bagaimana proses pembentukan habitus orang-orang bertato di tengah-
tengah masyarakat? Menjelaskan bagaimana tato secara terus menerus diproduksi
keberadaannya sebagai sebuah entitas kuasa. Bagaimana pemakai tato di Bali
mempolitisasi tatonya untuk hadir sebagai penguasa di arena ekonomi hingga
politik (sudut pandang pemakai tato). Apa yang melatarbelakangi pembuatan tato
oleh pemakainya? Fungsi dan makna tato dalam perspektif pemakai tato.
Bab IV Politik Pengamanan Bali sebagai Arena Pejantan Bali Berebut Kuasa
Bagaimana orang-orang bertato hadir di ruang sosialnya yang baru, yakni
politik pengamanan Bali? politik pengamanan Bali disini didefinisikan sebagai
arena perjuangan merebut dan merawat kuasa antar orang bertato.
Bab V Srategi Kuasa Pemilik Tato Di Bali
Bagaimana strategi orang bertato dalam mendominasi arena politik
pengamanan Bali? Bab ini akan menjelaskan bagaimana strategi dominasi oleh
pemilik tato, dilihat dari kumpulan peristiwa yang dilewati oleh masing-masing
penggunanya.
Bab VI Penutup: Temuan, kesimpulan dan Catatan Akhir