18
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kemajuan teknologi saat ini berpengaruh besar pada bidang survei dan pemetaan. Metode pengumpulan data spasial saat ini tidak hanya dilakukan secara langsung di lapangan menggunakan alat-alat survei terestris tetapi juga dapat dilakukan dengan metode penginderaan jauh. Metode penginderaan jauh untuk survei dan pemetaan sudah diterapkan sejak tahun 1960 yang terbatas pada penelitian dan analisis foto yang diperoleh dengan sensor kamera. Setelah diluncurkannya satelit penginderaan jauh ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) atau yang lebih dikenal sebagai Landsat (land satelite) pada tahun 1972 maka perkembangan ilmu dan teknologi penginderaan jauh terus berkembang pesat hingga hari ini. Perkembangan ini telah melahirkan teknologi pengumpulan data penginderaan jauh yang lebih bervariasi mulai dari sensor kamera, sensor satelit maupun yang saat ini sedang dikembangkan yaitu teknologi LiDAR (Danoedoro, 2012). Dengan adanya perkembangan teknologi penginderaan jauh maka output yang dihasilkan tidak hanya berupa produk dua dimensi (x,y) saja tetapi juga mampu menghasilkan produk tiga dimensi (x,y,z). Salah satu teknologi penginderaan jauh yang dapat menghasilkan produk tiga dimensi ialah teknologi LiDAR dan foto udara. LiDAR merupakan teknologi akuisisi data spasial dari atas permukaan bumi menggunakan sinar (laser). Pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak dari sensor terhadap obyek yang dikenali sehingga data yang diperoleh dari teknologi LiDAR berupa kumpulan titik (points cloud) yang memiliki kooordinat (x,y,z) pada tiap titiknya. LiteMapper 5600 merupakan salah satu alat akuisisi LiDAR yang mampu menghasilkan produk dengan akurasi 0,2 meter (IGI, 2010). Pengumpulan data spasial menggunakan teknologi LiDAR umumnya tidak hanya dilakukan melalui perekaman sensor laser saja, tetapi perlu dikombinasikan dengan beberapa teknologi lain seperti GPS/INS untuk mengetahui posisi sensor yang bereferensi pada suatu bidang tertentu dan juga dikombinasikan dengan kamera sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64897/potongan/S1-2013... · Metode pengumpulan data spasial saat ini tidak hanya dilakukan secara

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kemajuan teknologi saat ini berpengaruh besar pada bidang survei dan

pemetaan. Metode pengumpulan data spasial saat ini tidak hanya dilakukan secara

langsung di lapangan menggunakan alat-alat survei terestris tetapi juga dapat

dilakukan dengan metode penginderaan jauh. Metode penginderaan jauh untuk

survei dan pemetaan sudah diterapkan sejak tahun 1960 yang terbatas pada penelitian

dan analisis foto yang diperoleh dengan sensor kamera. Setelah diluncurkannya

satelit penginderaan jauh ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) atau yang

lebih dikenal sebagai Landsat (land satelite) pada tahun 1972 maka perkembangan

ilmu dan teknologi penginderaan jauh terus berkembang pesat hingga hari ini.

Perkembangan ini telah melahirkan teknologi pengumpulan data penginderaan jauh

yang lebih bervariasi mulai dari sensor kamera, sensor satelit maupun yang saat ini

sedang dikembangkan yaitu teknologi LiDAR (Danoedoro, 2012).

Dengan adanya perkembangan teknologi penginderaan jauh maka output yang

dihasilkan tidak hanya berupa produk dua dimensi (x,y) saja tetapi juga mampu

menghasilkan produk tiga dimensi (x,y,z). Salah satu teknologi penginderaan jauh

yang dapat menghasilkan produk tiga dimensi ialah teknologi LiDAR dan foto udara.

LiDAR merupakan teknologi akuisisi data spasial dari atas permukaan bumi

menggunakan sinar (laser). Pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak dari

sensor terhadap obyek yang dikenali sehingga data yang diperoleh dari teknologi

LiDAR berupa kumpulan titik (points cloud) yang memiliki kooordinat (x,y,z) pada

tiap titiknya. LiteMapper 5600 merupakan salah satu alat akuisisi LiDAR yang

mampu menghasilkan produk dengan akurasi 0,2 meter (IGI, 2010). Pengumpulan

data spasial menggunakan teknologi LiDAR umumnya tidak hanya dilakukan

melalui perekaman sensor laser saja, tetapi perlu dikombinasikan dengan beberapa

teknologi lain seperti GPS/INS untuk mengetahui posisi sensor yang bereferensi

pada suatu bidang tertentu dan juga dikombinasikan dengan kamera sebagai alat

2

2

bantu pengenalan obyek secara visual. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan

model yang terbentuk dari pemrosesan foto udara dengan kamera metrik Rollei 6006

dapat menghasilkan akurasi horizontal 0,5 meter dan akurasi vertikal 1 meter

(warner, 1996). Pembentukan model tiga dimensi menggunakan foto udara analog

dengan menggunakan alat stereoplotter optis diganggap rumit. Seiring

berkembangnya teknologi, pembentukan model dari foto udara sudah dapat

dilakukan secara digital. Sumber data foto maupun cara pemrosesan telah dilakukan

dengan mengguanakan Software tertentu misalnya DAT/EM Summit Evolution.

DAT/EM Summit Evolution merupakan sebuah perangkat lunak fotogrametri digital

yang dapat menghasilkan produk secara tiga dimensi. Pemrosesan data menggunakan

Summit Evolution dapat diintegrasikan dengan Software AutoCAD atau ArcGIS.

Dalam pelaksanaannya metode stereoplotting dengan menggunakan software

digital dapat dilakukan secara otomatis maupun interaktif. Pemilihan metode yang

digunakan dapat disesuaikan dengan tujuan, tenggang waktu pelaksanaan serta biaya

yang dimiliki dalam melakukan suatu pekerjaan. Data foto udara yang dijadikan

input dalam proses stereoplotting dapat berupa foto udara format sedang yang

memiliki ukuran piksel 15 cm x 15 cm. Proses stereoplotting bertujuan untuk

membentuk model tiga dimensi dari permukaan bumi dengan menggunakan foto

udara stereo.

I.2. Tujuan

Tujuan dari proyek ini adalah sebagai berikut:

1. Memperoleh DEM dari data hasil stereoplotting interaktif foto udara

format sedang kamera DigiCam.

2. Mengetahui tingkat akurasi DEM yang dihasilkan dari proses

stereoplotting interaktif foto udara format sedang dengan memanfaatkan

DEM teknologi LiDAR sebagai data pembanding.

I.3. Manfaat

Hasil proyek ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi atau kajian dalam

penentuan metode stereoplotting dalam pengumpulan data dan informasi DEM.

3

3

I.4. Batasan Masalah

Dalam proyek ini ditetapkan beberapa batasan yang berkaitan mengenai obyek,

metode serta software yang digunakan. Beberapa batasan tersebut antaranya:

1. Lokasi proyek berada di kawasan kampus Universitas Gadjah Mada

dengan dengan kondisi topografi yang cukup landai.

2. DEM yang dihasilkan dari teknologi LiDAR digunakan sebagai data

pembanding yang dianggap benar dalam perhitungan akurasi DEM hasil

stereoplotting.

3. Titik kontrol horizontal yang digunakan diperoleh dari data orthofoto

sedangkan titik kontrol vertikal diperoleh dari data DEM teknologi

LiDAR.

I.5. Landasan Teori

I.5.1. Foto udara

Fotogrametri merupakan seni, ilmu pengetahuan dan teknologi untuk

memperoleh suatu informasi yang dapat dipercaya mengenai benda-benda fisik

melalui proses, pencatatan, pengukuran, dan penafsiran gambar fotografi dan pola

energi radiasi elektromagnetik yang terekam (Slama, 1980). Sedangkan foto udara

merupakan foto yang dibuat dari perspektif pesawat udara atau balon udara (Sutanto

1994). Foto yang diasilkan dari pemotretan udara diperoleh dari kamera dengan

detector film yang mengandung suatu emulsi atau lapisan yang sangat pekaan

terhadap cahaya. Dewasa ini detektor film sudah jarang digunakan dan banyak

pekerjaan pemotretan udara dilakukan secara digital dengan menggunakan sensor

berupa CCD (Charge Coupled Device) atau CMOS (Complementary Metal Oxide

Semiconductor). Perekaman diudara dapat dilakukan dengan menggunakan wahana

berupa pesawat udara berawak, pesawat udara tidak berawak, balon udara dan lain

sebagainya. Pemilihan wahana ini perlu disesuaikan dengan tujuan pembuatan peta.

Dalam melakukan pemotretan udara untuk tujuan pemodelan perlu

memperhatikan pertampalan antar foto, karena yang dibutuhkan dalam pemodelan

menggunakan foto adalah berkas sinar yang membentuk foto tersebut. Berkas sinar

tersebut direkonstruksi dengan sebuah foto dan sebuah perspektif. Besarnya

4

4

pertampalan antar foto berpengaruh terhadap pembentukan model. Dalam membuat

satu model diperlukan minimal dua buah foto yang saling bertampalan maka untuk

membuat model dalam satu strip penerbangan perlu memenuhi syarat trilap,

maksudnya terdapat minimal tiga buah foto yang saling bertampalan dalam area

pemodelan dan besarnya pertampalan antar foto sebesar kurang lebih 60%

pertampalan kedepan dan kebelakang antar foto yang berada pada satu jalur terbang

Overlap sebesar 60% ini bertujuan agar tidak terdapat gap saat dibuat model dalam

satu strip penerbangan, seperti yang terlihat pada gambar I.1.(a). Tetapi apabila

besarnya pertampalan antar foto kurang dari 60% dikhawatirkan akan terdapat gap

seperti yang terlihat pada gambar I.1. (b).

(a)

(b)

Gambar I.1. Pertampalan trilap pada satu jalur terbang (a) dan gap yang terjadi

akibat syarat tidak terpenuhi

Pada gambar I.1 diketahui bahwa dengan besarnya pertampalan sebesar 60% maka

pada area foto B dapat dibuat model dengan mengorientasikan foto secara relatif

antara foto A dengan foto B dan foto B dengan foto C, sehingga model akan

terbentuk pada area yang terarsir tetapi apabila besarnya pertampalan antar foto

kurang dari 60% dikhawatirkan akan terdapat gap seperti yang terlihat pada gambar

I.1. Pada gambar I.1. daerah terarsir menunjukkan daerah bertampalan sedangkan

daerah x yang berwarna abu-abu menunjukan kondisi gap yang terjadi jika

pertampalan antar foto kurang dari 60%, seperti yang telah diketahui bahwa wahana

A

B

C

A

B

C X

5

5

terbang akan dipengaruhi oleh angin dan kecepatan pesawat oleh karena itu

diperlukan syarat threelap untuk mengatasi ketidak stabilan wahana.

Tinggi terbang wahana udara terhadap permukaan bumi akan mempengaruhi

skala foto yang dihasilkan. Semakin tinggi wahana udara terbang maka cakupan

rekaman foto yang diperoleh akan semakin luas tetapi detil obyek tidak terlalu

tampak karena skala foto yang diperoleh kecil. Jika pemotretan dilakukan dengan

persyaratan 60% untuk pasangan foto dalam satu jalur maka hasil foto udara adalah

cakupan yang cukup luas dan kenampakan obyek yang cukup detil pula. Penentuan

tinggi terbang pesawat disesuaikan dengan tujuan dari pemotretan foto udara.

I.5.2. Kalibrasi kamera

Pada dasarnya foto udara format sedang merupakan foto udara yang dihasilkan

dari kamera metrik atau non metrik yang khusus dipergunakan untuk pemotretan

udara dengan menggunakan suatu wahana tertentu misalnya pesawat udara. Salah

satu contoh kamera non metrik format sedang ialah kamera DigiCA M–H/39, kamera

ini tersedia dalam beberapa tipe diantaranya 39, 40, 50 dan 60 megapiksel. Pada

kamera DigiCAM–H/39 megapiksel memiliki ukuran film 36 mm x 49 mm dengan

panjang fokus sebesar 35 mm (IGI, 2010). Kamera DigiCA M–H/39 termasuk

kedalam kamera non metrik yang memang dipergunakan dalam pekerjaan

pemotretan udara, kamera ini masih memiliki memiliki distorsi yang nilainya relatif

keci. Bentuk fisik dari kamera DigiCAM dapat dilihat pada gambar I.2.

Gambar I.2. Bentuk fisik kamera DigiCAM (IGI, 2010)

6

6

Untuk mengetahui nilai distorsi dan konstanta optik kamera atau yang sering

disebut dengan orientasi dalam maka perlu dilakukan proses kalibrasi kamera.

Parameter orientasi dalam terdiri dari panjang fokus, distorsi radial, distorsi

tangensial, dan posisi titik utama (principal point) yang diukur terhadap origin

sumbu x dan y sistem koordinat foto/citra (Harintaka dkk, 2009). Terdapat berbagai

macam teknik kalibrasi kamera, secara operasional teknik kalibrasi kamera dilakukan

dengan 3 cara (Harintaka dkk, 2009): in-laboratory, in-field, dan in-flight. Teknik

kalibrasi in-laboratory menggunakan peralatan multikolimator atau goniometer.

I.5.3. Orientasi dalam

Setiap perekam udara mengggunakan foto udara digital akan menghasilkan

foto dalam sistem koordinat piksel (kolom, baris) yang memiliki titik origin pada

pojok kiri atas. Agar dapat menghasilkan model dalam bentuk geometris yang tepat

maka perlu dilakukan proses transformasi dari koordinat piksel menjadi koordinat

foto (x,y) yang memiliki titik origin pada pusat foto. Unsur-unsur yang diperlukan

untuk proses orientasi dalam diantaranya panjang fokus kamera, ukuran negatif film

atau CCD pada kamera digital.

Model matematis yang dapat digunakan untuk proses orientasi dalam yaitu

transformasi Affine 2D (Harnanto,2012):

x = + + ................................................................................... (I.1)

y = + + ............................................................................... (I.2)

Keterangan :

x,y = sistem koordinat foto

u,v = sistem koordinat piksel

, …, = parameter transformasi

Parameter transformasi ( , …, diperoleh dari hasil hitungan rumus (I.1)

dan (I.2) yaitu dengan menentukan koordinat minimal tiga buah tanda tepi kamera

dalam sistem koordinat piksel. Jika diketahui lebih dari tiga tanda tepi maka dapat

dilakukan perhitungan kuadrat terkecil untuk dapat menentukan parameter interior

orientasi kamera.

7

7

I.5.4. Bundle adjusment

Bundle adjusment merupakan proses yang dilakukan untuk menghubungkan

secara langsung sistem koordinat foto menjadi sistem koordinat tanah, tanpa

melakukan proses orientasi relatif dan orientasi absolut. Secara umum bundle

adjusment dapat digambarkan dengan menggunakan persamaan transformasi

sebangun tiga dimensi.

= + .................................................................... (I.3)

Keterangan:

X,Y,Z = posisi titik pada koordinat tanah

= faktor skala

= parameter rotasi

x,y,z = posisi titik pada koordinat foto

x0, y0, z0 = posisi pusat proyeksi kamera

Apabila dilihat secara visual hubungan antara sistem koordinat foto dengan sistem

koordinat tanah dapat dilihat pada gambar I.3.

Gambar I.3. Hubungan koordinat foto dengan koordinat tanah (Harintaka dkk, 2008)

8

8

Dengan mengdistributifkan antara parameter yang berada pada gambar I.2

dengan rumus I.3 maka persamaan konform tiga dimensi dapat dibentuk menjadi

rumus I.4.

= ....................................................... (I.4)

Keterangan:

r11, r12, ……., r33 = parameter rotasi terhadap setiap sumbu

xp, yp, zp = koordinat titik pada sistem koordinat foto

Xp, Yp, Zp = koordinat titik pada sistem koordinat tanah

Xo, Yo, Zo = posisi pusat proyeksi kamera pada tanah

Untuk menunjukkan bahwa posisi sebuah obyek yang berada di foto,

dipermukaan tanah dan pusat proyeksi berada dalam satu garis lurus maka dapat

dibangun sebuah persamaan kolinier atau persamaan kesegarisan, yaitu dengan cara

membagi baris ke-1 dan baris ke-2 dengan baris ke-3, sehingga diperoleh persamaan

I.5 dan I.6.

.......................................... (I.5)

.......................................... (I.6)

Persamaan I.5 dan I.6 merupakan persamaan non linear dan masih memiliki enam

parameter yang belum diketahui nilainya yaitu Xo, Yo , Zo, ω,φ, κ. Karena persamaan

I.5 dan I.6 bukan persamaan linear maka dilakukan proses linearisasi dengan

menggunakan deret tailor yaitu dengan menurunkan persamaan I.5 dan I.6 ke

masing-masing parameter, sehingga diperoleh persamaa I.7 dan I.8.

........................................................................ (I.7)

9

9

........................................................................ (I.8)

Berdasarkan persamaan I.7 dan I.8 maka akan diperoleh parameter eksterior orientasi

yang dapat digunakan untuk membangun model stereo.

I.5.5. Paralaks

Paralaks stereoskopis merupakan perbedaan posisi bayangan sebuah titik pada

dua foto yang bertampalan karena perubahan posisi kamera (Zorn, 1984). Dengan

melihat obyek secara stereo maka suatu obyek dapat dilihat secara simultan dari dua

perspektif yang berbeda, seperti foto udara yang diambil dari kedudukan kamera

yang berbeda untuk memperoleh kesan tiga dimensi. Untutk dapat menghasilkan

ketinggian tepat pada permukaan obyek maka syarat yang harus dipenuhi ialah

besarnya paralaks-X dan paralaks-Y sama dengan nol atau mendekati nol. Kondisi

tersebut dapat terlihat seperti gambar I.4.

Gambar I.4. Kondisi paralaks-X dan paralak-Y mendekati nol

Pada gambar I.4 menunjukan sebuah kondisi ideal perpotangan berkas sinar di titik A

antara foto kanan dan foto kiri sehingga perpotongan sinar tersebut jatuh tepat pada

permukaan obyek A. Kesan ke dalaman pada stereoskopi terjadi karena titik-titik

B

a’

O

1

O

2

a”

A

n1

n2”

N

1

N

2

10

10

tidak berada dalam kedudukan elevasi-elevasi sebenarnya dan telah mengalami

pergeseran secara topografi, kondisi tersebut dapat dilihat seperti gambar I.5.

Gambar I.5. Kondisi yang menunjukan terjadi kesalahan paralaks-X dan paralak-Y

Kondisi pada gambar I.5 menunjukan kondisi yang tidak ideal mengakibatkan

bayangan sinar tidak jatuh tepat pada permukaan obyek sehingga menimbulkan

kesan kedalaman. Selisih pergeseran ini disebut sebagai beda paralaks. Paralaks

mutlak merupakan selisih aljabar, diukur sejajar garis terbang (sumbu x) dan sumbu-

sumbu y yang berkaitan untuk dua gambar dari suatu titik pada sepasang foto udara

yang stereoskopis (Paine, 1993). Beda paralaks ini dapat dieliminir dengan

mengetahui parameter orientasi luar untuk masing-masing foto.

I.5.6. Stereoplotting

Stereoplotting merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara digitasi titik obyek dari foto stereo secara tiga dimensi, sehingga dapat diperoleh

data vektor yang memiliki nilai ketinggian. Pembentukkan model dengan

menggunakan dua buah foto stereo dapat digambarkan seperti pada gambar I.6.

11

11

Gambar I.6. Hubungan antara foto stereo dengan posisi obyek dilapangan (Habib,

2007)

Dari gambar I.6 dapat diketahui bahwa koordinat obyek di lapangan dapat

diperoleh dengan melihat perpotongan sinar dari foto kiri dan foto kanan yang saling

bertampalan. Secara umum plotting dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, plotting

interaktif dan plotting otomatis. Plotting otomatis dilakukan dengan cara

memperoleh posisi titik-titik obyek pada foto secara matetais, proses penentuan titik-

titik obyek dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan intersection linear

model, seperti yang tertulis pada rumus I.9 (Habib, 2007).

= + .............................................................................................................. (I.9)

λ R ( , , ) = + µ R ( , , ) ........................ (I.10)

Keterangan:

Rω Rφ Rκ = parameter rotasi

λ = faktor skala foto kiri

µ = faktor skala foto kanan

xol, yol, zol = posisi pusat proyeksi kamera foto kiri

xor, yor, zor = posisi pusat proyeksi kamera foto kanan

x, y = kordinat titik terhadap pusat proyeksi

xp, yp = selisih kordinat titik terhadap pusat proyeksi dengan

koordinat bayangan

- c = panjang fokus

12

12

Dari persamaan I.10 dapat diperoleh rumusan untuk mendapatkan nilai koordinat

tanah untuk suatu titik, yaitu dengan menggunakan rumus I.11 atau rumus I.12

= + λ R ( , , ) ........................................................ (I.11)

= + µ R ( , , ) ..................................................... (I.12)

Keterangan:

X, Y, Z = koordinat tanah

Rω Rφ Rκ = parameter rotasi

λ , µ = faktor skala

xo, yo, zo = posisi pusat proyeksi kamera

x, y = kordinat titik terhadap pusat proyeksi

xp, yp =selisih kordinat titik terhadap pusat proyeksi dengan

koordinat bayangan

- c = panjang fokus

Plotting interaktif merupakan proses plotting yang dilakukan dengan cara

menentukan sendiri titik-titik obyek yang akan dilakukan digitasi pada ruang tiga

dimensi. Posisi titik dapat ditentukan dengan mengatur posisi x,y kursor plotter serta

ketinggian dari kursor plotter.

Terdapat kelebihan dan kekurangan dari ke dua teknik pengumpulan data foto

stereo. Pada teknik plotting otomatis proses pengumpulan data dapat dilakukan

dalam waktu yang singkat tetapi ketelitian pemilihan obyek yang didigitasi kurang

baik, misalnya obyek yang akan di plot merupakan obyek ground tetapi pada

prosesnya obyek-obyek lain yang bukan katagori ground ikut di plot (bangunan atau

pohon). Sedangkah untuk teknk plotting interaktif proses pelaksanaan membutuhkan

waktu yang lebih lama apabila dibandingkan dengan plotting otomatis, karena

penentuan titik obyek dilakuakan sendiri oleh operator. Hasil plotting yang

dihasilkan dengan menggunakan teknik plotting interaktif memliki ketelitian yang

lebih tinggi apabila dibandingkan dengan teknik plotting otomatis.

13

13

I.5.7. DEM (Digital Elevation Model)

DEM (Digital Elavation Model) umumnya berkaitan dengan representasi

permukaan topografi terhadap suatu bidang referensi tertentu. DEM dapat

digambarkan sebagai peta asli, grid persegi ataupun jaring segitiga yang tidak teratur.

DEM dapat diperoleh melalui survei teristris ataupun secara penginderaan jauh

(Amar, 2013). DEM sudah umum digunakan dalam sistem informasi geografis

misalnya dalam pembuatan peta digital. Data DEM akan lebih mudah diperoleh

dengan metode penginderaan jauh, salah satunya dengan teknologi LiDAR yang

dibantu dengan alat penentuan posisi seperti GPS dan INS. DEM hasil pemrosesan

teknologi LiDAR umumnya memiliki tingkat akurasi yang tinggi.

Teknologi LiDAR mampu menghasilkan data dan informasi obyek-obyek

yang ada dipermukaan bumi. Kemampuan sensor LiDAR yang mampu melewati

celah-celah dedaunan maka teknologi LiDAR mampu menghasilkan data permukaan

bumi berupa DEM (Digital Elevation Model) dan DSM (Digital Surface Model).

DSM merupakan data ketinggian permukaan bumi termasuk obyek-obyek lain yang

berdiri di atasnya seperti bangunan, tumbuhan dan obyek-obyek lainnya. Perbedaan

antara data DEM dan DSM akan lebih terlihat apabila disajikan dalam bentuk

gambar seperti pada gambar 1.7.

Gambar. I.7. Digital Surface Model dan Digital Elavation Model (Istarno, 2009)

14

14

Data DEM umumnya digunakan untuk pekerjaan analisis kondisi permukaan

tanah dan diaplikasikan untuk berbagai kegiatan, analisis daerah aliran sungai,

antisipasi dan penanggulangan daerah bencana, perencanaan perkotaan dan beberapa

pekerjaan lainnya.

I.5.8. Orthophoto

Orthophoto merupakan sebuah produk foto yang terproyeksi secara othogonal .

(Habib 2007). Pada dasarnya sebuah foto memiliki karakteristik tertentu di

antaranya, memiliki proyeksi perspektif, skala tidak seragam pada keseluruhan obyek

yang tergambar, terdapat perbedaan bentuk antara obyek tergambar dengan obyek di

lapangan. Gambaran karakteristik foto dapat dilihat seperti gambar. 1.8.

Gambar.1.8. Proyeksi pada foto (Habib, 2007)

Sedangkan karakteristik peta: terproyeksi secara orthogonal, skala beragam, tidak

adanya perbedaan bentuk antara obyek tergambar dengan obyek dilapangan.

Karakteristik peta dapat dilihat seperti gambar.1.9.

Gambar.1.9. Proyeksi pada peta (Habib, 2007)

15

15

Menurut Habib (2007) dengan dibentuknya orthophoto maka akan diperoleh

beberapa keuntungan dalam pekerjaan yang dilakukan, di antaranya:

1. Hasil orthophoto akan memiliki karakteristik yang sama seperti peta tetapi

dengan lebih banyak fitur.

2. Pengguna dapat menggambar garis dan mengukur jarak tanpa memerlukan

stereo-plotters.

3. Salah satu alternatif pembuatan peta dengan biaya rendah karena othophoto

dapat dilakukan secara otomatis.

Pembuatan orthophoto membutuhkan waktu yang lebih singkat dan biaya yang

lebih murah apabila dibandingkan dengan pembuatan peta vector. Foto yang

dijadikan orthophoto dapat dimanipulasi sehingga kualitas foto dapat ditingkatkan

dengan melakukan perubahan konsistensi, kontras, sharpening, filtering dan lain

sebagainya (Habib 2007). Proses orthophoto lebih dipilih dalam pekerjaan

perencanaan tata ruang dan perkotaan dalam pembentukan sistem geoinformasi.

Dengan melihat gambar 1.10 akan lebih memudahkan dalam memahami perbedaan

perspektif foto normal dengan orthophoto.

Gambar.1.10. Perbedaan persfektif antara foto dengan orthofoto (Habib, 2007)

Dengan menggunakan orthophoto maka proses pengumpulan data dan

informasi mengenai posisi dan bentuk geometrik obyek lapangan dapat lebih mudah

16

16

dilakukan. Hal ini dikarenakan orthophoto dapat memberikan gambaran bentuk

geometrik yang sesuai dengan ukuran obyek yang ada di lapangan

I.5.9. LiDAR (Light Detection And Ranging)

LiDAR atau Light Detection and Ranging, yaitu merupakan metode

pengumpulan data mengenai suatu obyek yang dilakukan dari atas permukaan bumi

dengan menggunakan sinar laser untuk mengukur jarak antara sensor dengan obyek

yang diamat (Harnanto,2012). Sinar laser yang digunakan mampu mengukur hingga

melewati celah-celah dedaunan sehingga dapat digunakan untuk mengukur

permukaan tanah dan dipantulkan kembali untuk ditangkap oleh sensor. Perbedaan

antara waktu pancar dengan waktu terima inilah yang digunakan untuk mengetahui

jarak antara obyek dilapangan dengan sensor, jarak terukur merupakan setengah

waktu pergi-pulang dikalikan dengan kecepatan rambat gelombang laser yang

digunakan. Apabila posisi koordinat sensor diketahui dengan teknologi GPS maka

koordinat obyek dipermukaan bumi terhadap bidang referensi tertentu akan dapat

diketahui.

Dalam sistem Lidar terdapat beberapa komponen penting yang berperan dalam

proses akuisisi data LiDAR, komponen tersebut di antaranya.

1.5.9.1. GPS (Global Positioning System) GPS merupakan sebuah alat yang

digunakan untuk penentuan posisi wahana terbang dalam sistem tiga dimensi

(X,Y,Z). Nilai Z yang ditunjukan oleh alat ini merupakan nilai ketinggan wahana

terhadap satu bidang referensi tertentu. Metode penentuan posisi yang digunakan

dalam proses akuisisi data LiDAR yaitu DGPS yang dilakukan dengan memasang

base station GPS di darat (Istarno dkk, 2009).

1.5.9.2. INS (Inertial Navigation System) INS merupakan suatu sistem yang dapat

dimanfaatkan untuk mendeteksi perubahan kecepatan serta perubahan orientasi

dalam dari suatu benda. Dengan menggunakan INS pada wahana terbang maka dapat

diketahui perubahan sudut orientasi wahaha sumbu x, y dan z, percepatan wahana

terbang. Sehingga posisi tiga dimensional dari wahan terbang dapat diketahui dengan

pasti (Anonim, 2011).

1.5.9.3. Sensor laser Sensor laser pada LiDAR berfungsi untuk mengumpulkan

informasi mengenai posisi obyek-obyek yang terkena laser, sensor ini bekerja dengan

17

17

cara memancarkan dan menangkap kembali pantulan sinar laser dari obyek yang

terukur di lapangan (Anonim, 2011)..

1.5.9.4. Sensor kamera Pada wahana terbang pembawa sistem LiDAR perlu

dilengkapi dengan sensor kamera, hal ini dikarenakan data yang diperoleh dari

proses akuisisi sensor LiDAR hanya berbentuk titik-titik dalam sebuah sistem

koordinat, tetapi identifikasi jenis obyek yang terukur tidak dapat dilakukan, oleh

karena itu agar dapat mengenali obyek-obyek yang terukur dalam sistem LiDAR

diperlukan sebuah data yang dapat menggambarkan kondisi lapangan, salah satunya

dengan foto.

Secara umum sistem LiDAR wahana udara merupakan perpaduan antara LRF

(Laser Range Finder), POS (Positioning and Orientation System) yang

diintegrasikan dengan DGPS (Differential Global Positioning System), IMU (Inertial

Measurement Unit) dan Control Unit. Prinsip kerja LIDAR terhadap GPS dan INS

dapat dilihat pada gambar 1.11.

Gambar 1.11. Prinsip kerja GPS dan INS pada LIDAR (GISTech, 2011)

Komponen-komponen penting yang berperan dalam proses akuisisi data

LiDAR, dipasang pada sebuah wahana terbang seperti pesawat udara. Tinggi dan

jalur terbang pesawat ditentukan berdasarkan tujuan pembuatan peta. Jalur terbang

ini digunakan sebagai jalur perkaman (scanning) sehingga pada saat terbang sensor

akan melakukan perekaman obyek-obyek yang ada di bawahnya dan pada interval

18

18

tertentu akan dilakukan pengukuran posisi dan orientasi dengan menggunakan GPS

dan INS.

Sensor LiDAR memiliki kemampuan dalam pengukuran multiplereturn.

Multiplereturn digunakan untuk menentukan bentuk dari objek atau vegetasi yang

menutupi permukaan tanah. Gelombang yang dipancarkan dan dipantulkan tidak

hanya mengenai permukaan tanah, tetapi juga mengenai objek-objek yang ada di atas

permukaan tanah. Masing-masing pantulan yang dihasilkan diukur intensitasnya,

sehingga diperoleh gambaran atau bentuk dari objek yang menutupi permukaan

tanah tersebut (Anonim, 2011).

Data DEM umumnya digunakan untuk pekerjaan analisis kondisi permukaan

tanah dan diaplikasikan untuk berbagai kegiatan, analisis daerah aliran sungai,

antisipasi dan penanggulangan daerah bencana, perencanaan perkotaan dan beberapa

pekerjaan lainnya.

I.5.10. Evaluasi ketelitian

Akurasi vertikal hasil stereoplotting foto udara format sedang diperoleh dengan

membandingkan nilai elevasi koordinat titik uji hasil stereoplotting dengan elevasi

teknologi LiDAR. Akurasi hasil proses stereoplotting dapat ditentukan berdasarkan

nilai standar deviasi data uji. Standar deviasi ini merupakan, akar kuadrat dari nilai

beda tinggi data uji dengan data pembanding yang dianggap benar, dikurangi rata-

rata beda tinggi, kemudian dibagi jumlah data dikurangi 1. Pernyataan tersebut dapat

dinyatakan dalam rumus matematis I.13.

SD = –

........................................................ (I.13)

Keterangan:

Zdata_i = beda tinggi DEM stereoplotting dengan DEM teknologi LiDAR

pada titik ke-i

Rata-rata = rata-rata beda tinggi stereoplotting dengan DEM teknologi LiDAR

n = Jumlah titik uji