27
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bangsa Indonesia pada dasarnya secara filosofis memandang tanah sesuai dengan Pasal 33 ayat(3) UUD 1945 dan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air, ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran tersebut membutuhkan suatu upaya untuk memberikan hasil yang bermanfaat terhadap tanah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebutuhan masyarakat atas tanah diwujudkan dengan adanya penggunaan terhadap tanah tersebutuntuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan, seperti pembangunan permukiman, tempat usaha, lahan pertanian, dan perkebunan. Dalam kaitannya dengan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 yang menyatakan bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, BPN memiliki kewajiban untuk mengembangkan administrasi pertanahan yang meliputi kegiatan pengaturan penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah, pengurusan status hak atas tanah, pemetaan tanah, serta pendaftaran tanah. Diharapkan BPN mampu mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia sehingga mencegah terjadinya sengketa dan konflik di masa yang akan datang, terutama terkait dengan masalah pertanahan. Dalam rangka mewujudkan tertib administrasi pertanahan serta mencegah konflik dan sengketa di bidang pertanahan, dibutuhkan banyak data dan informasi mengenai administrasi pertanahan, termasuk penguasaan tanah. Dengan demikian, dibutuhkan peta tematik penguasaan tanah di kabupaten/kota di seluruh Indonesia, termasuk Kotamadya Salatiga. Hal ini dilakukan agar lebih memudahkan dalam penyampaian informasi tentang penguasaan hak atas tanah. Peta tematik tersebut berbasiskan Sistem Informasi Geografis yang mampu memberikan deskripsi dan

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69999/potongan/S1-2014... · I.5.1.1. Skala peta. Skala adalah perbandingan antara jarak di permukaan

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Bangsa Indonesia pada dasarnya secara filosofis memandang tanah sesuai

dengan Pasal 33 ayat(3) UUD 1945 dan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air,

ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran tersebut

membutuhkan suatu upaya untuk memberikan hasil yang bermanfaat terhadap tanah

untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebutuhan masyarakat atas tanah

diwujudkan dengan adanya penggunaan terhadap tanah tersebutuntuk memenuhi

kebutuhan pangan dan papan, seperti pembangunan permukiman, tempat usaha,

lahan pertanian, dan perkebunan.

Dalam kaitannya dengan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 yang

menyatakan bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan lembaga

pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden,

BPN memiliki kewajiban untuk mengembangkan administrasi pertanahan yang

meliputi kegiatan pengaturan penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah,

pengurusan status hak atas tanah, pemetaan tanah, serta pendaftaran tanah.

Diharapkan BPN mampu mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia

sehingga mencegah terjadinya sengketa dan konflik di masa yang akan datang,

terutama terkait dengan masalah pertanahan.

Dalam rangka mewujudkan tertib administrasi pertanahan serta mencegah

konflik dan sengketa di bidang pertanahan, dibutuhkan banyak data dan informasi

mengenai administrasi pertanahan, termasuk penguasaan tanah. Dengan demikian,

dibutuhkan peta tematik penguasaan tanah di kabupaten/kota di seluruh Indonesia,

termasuk Kotamadya Salatiga. Hal ini dilakukan agar lebih memudahkan dalam

penyampaian informasi tentang penguasaan hak atas tanah. Peta tematik tersebut

berbasiskan Sistem Informasi Geografis yang mampu memberikan deskripsi dan

2

informasi atas bidang tanah, sehingga dapat langsung dimanfaatkan sesuai dengan

keperluan internal maupun eksternal Badan Pertanahan Nasional.

I.2. Tujuan

Membuat peta tematik hasil pembaharuan penguasaan tanah untuk mendukung

kegiatan administrasi pertanahan oleh Badan Pertanahan Nasional dengan

memanfaatkan teknologi SIG.

I.3. Manfaat

Manfaat dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:

1. Menyediakan data terkini mengenai penguasaan hak atas tanah.

2. Memudahkan pengawasan data administrasi penguasaan hak atas tanah.

I.4. Lingkup Kegiatan

Pada kegiatan pembuatan peta penguasaan tanah ini, batasan masalahnya

meliputi:

1. Peta tematik yang dibuat adalah peta penguasaan tanah Kotamadya Salatiga

dengan skala 1 : 15.000.

2. Fitur yang ditampilkan dalam peta tersebut adalah penguasaan tanah skala besar

di Kotamadya Salatiga. Yang dimaksud dengan penguasaan tanah skala besar

adalah bidang tanah yang luasnya lebih dari atau sama dengan 1 Ha.

I.5. Landasan Teori

I.5.1. Peta

Peta merupakan representasi seluruh atau sebagian obyek-obyek di permukaan

bumi dengan ukuran dan posisi yang relatif (Thrower, 1996). Hal ini menunjukkan

bahwa peta dapat dianggap sebagai pencerminan dari dunia nyata. Pickles (1992)

menambahkan bahwa wujud peta adalah berupa rangkaian simbolisasi dengan aturan

tertentu. Tujuan pembuatan peta adalah memberikan informasi terhadap objek yang

bersifat keruangan dalam bentuk pesan dan gambaran dari dunia nyata ke dalam

simbol-simbol tertentu agar dapat dimengerti oleh pembuat dan pemakai peta.

Sedangkan kartografi merupakan suatu seni, ilmu, dan teknik pembuatan peta yang

3

akan melibatkan pelajaran geodesi, fotogrametri, kompilasi, dan reproduksi peta

(Prihandito, 1989). Sukses tidaknya peta dalam menyampaikan informasi sangat

bergantung pada kemampuan kartografer untuk mengatur tampilan peta, mulai dari

simbolisasi, pengaturan skala, hingga pengaturan tata letak (layouting). Pendefinisian

peta tampaknya adalah hal yang mudah. Namun, sesungguhnya peta merupakan

suatu hal yang lebih kompleks karena bagaimana peta dibuat dan siapa yang

membuat peta akan menyebabkan suatu peta berbeda dengan peta yang lain (Karpilo,

2010).

Peta mengandung arti komunikasi yang digunakan untuk menyiapkan

informasi tentang realita. Komunikasi kartografi hanya dapat berhasil jika

kartografer (pembuat peta) membuat tanda/syarat (simbol) yang dapat dimengerti

oleh pemakai peta. Merancang suatu simbol peta merupakan tahapan yang penting

didalam proses komunikasi. Untuk itu kartografer harus merancang simbol (variabel

tampak) secara benar berdasarkan aturan-aturan dalam kartografi (Riyadi, 1994).

I.5.1.1. Skala peta. Skala adalah perbandingan antara jarak di permukaan Bumi

dengan jarak di peta (Chuanxin, 2009). Skala merupakan komponen penting yang

harus ada dalam peta. Tanpanya, pengguna peta tidak dapat menghitung jarak

sesungguhnya antara dua obyek di dalam peta.

Ada tiga jenis penyajian skala di peta. Ketiganya memiliki keunggulan dan

kelemahan masing-masing. Berikut akan dibahas mengenai ketiga jenis penyajian

skala.

1. Direct Statement Scale

Penyajian skala dapat dilakukan dengan kata-kata. Sebagai contoh, 1 cm = 15

km yang berarti jika jarak antara dua obyek di peta adalah 1 cm, maka jaraknya

sesungguhnya adalah 15 km.

2. Representative Fraction Scale

Metode penyajian skala yang kedua adalah dengan menggunakan rasio atau

perbandingan. Yang dirasiokan adalah satu unit di peta dengan satu unit di

dunia nyata. Sebagai contoh adalah 1 : 20.000. Skala tersebut memiliki arti

bahwa satu unit di peta sama dengan 20.000 unit di dunia nyata. Maka, 1 cm di

4

peta sama dengan 20.000 cm (20 meter) di lapangan, atau 1 inch di peta sama

dengan 20.000 inch di lapangan.

3. Linear Scale

Penskalaan dengan metode linear menyajikan skala dengan bentuk garis atau

batang. Panjang garis merepresentasikan ukuran objek di lapangan. Contohnya

adalah seperti pada Gambar I.1 di bawah ini.

Gambar I.1. Contoh linear scale

Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa satu bar menunjukkan jarak

sesungguhnya adalah 0,4 kilometer. Maka, jarak antara dua obyek di peta yang

sepanjang satu bar adalah 0,4 kilometer.

Ditinjau dari skalanya, peta dapat dibagi menjadi:

1. Peta kadaster (sangat besar) adalah peta yang berskala lebih dari 1 : 100 sampai

1 : 5000. Contoh: peta desa.

2. Peta besar adalah peta yang berskala 1: 5000 sampai 1: 250.000. Contoh: peta

kecamatan dan peta kabupaten.

3. Peta sedang adalah peta yang berskala 1: 250.000 sampai 1: 500.000. Contoh:

peta provinsi.

4. Peta kecil adalah peta yang berskala 1: 500.000 sampai 1: 1.000.000. Contoh:

peta negara.

5. Peta geografis (sangat kecil) adalah peta yang berskala > 1: 1.000.000 ke bawah.

Contoh: peta benua/dunia.

I.5.1.2. Simbol kartografi. Simbol adalah suatu tanda gambar menurut penyajian

yang menyatakan obyek tertentu (Riyadi, 1994). Simbol-simbol kartografi

dikelompokkan dan ditempatkan di peta sesuai dengan distribusi geografi dan posisi

planimetrik dari detil yang diwakilinya. Menurut Riyadi (1994) simbol-simbol

kartografi dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut:

5

1. Simbol menurut ciri-cirinya:

a. Simbol titik. Simbol ini digunakan untuk menunjukkan posisi atau lokasi

dan identitas dari unsur yang diwakilinya.

b. Simbol garis. Simbol garis digunakan untuk mewakili obyek yang berupa

garis, seperti jalan, sungai, rel kereta api, dan lain sebagainya.

c. Simbol area. Simbol area digunakan untuk menampilkan unsur-unsur yang

berhubungan dengan suatu luasan.

2. Simbol menurut bentuknya:

a. Simbol piktorial, merupakan simbol yang menggambarkan bentuk atau

keadaan obyek yang diwakilinya, tetapi telah mengalami penyederhanaan.

Gambar I.2. Simbol piktorial

(simbol selector pada ArcGIS 10)

b. Simbol geometrik, merupakan simbol dengan bentuk-bentuk yang teratur

seperti lingkaran, bujur sangkar, segitiga, segienam, dan sebagainya seperti

pada gambar I.2.

Gambar I.3. Simbol geometrik

(simbol selector pada ArcGIS 10)

c. Simbol huruf atau angka, merupakan simbol berbentuk huruf atau angka

yang biasanya mempunyai ciri khas dari unsur yang diwakilinya. Misalnya

karakter dollar untuk simbol bank dan huruf “H” untuk simbol hotel.

Gambar I.4. Simbol huruf/angka

I.5.1.3. Variabel tampak. Salah satu tujuan pembuatan peta adalah

mengkomunikasikan informasi permukaan bumi secara efektif, informatif, dan

$ H

6

komunikatif kepada pemakai peta. Untuk mencapai sasaran yang diinginkan tersebut,

diperlukan suatu desain simbol dimaksudkan untuk mengungkapkan data yang telah

diklasifikasikan, melalui simbol-simbol yang telah ditentukan ke dalam peta setepat

mungkin serta melukiskan keadaan yang diwakili secara benar.

Variabel tampak merupakan basis dasar di dalam pembuatan simbol yang

berperan penting pada proses sistematika dan logika desain simbol. Sebelum

memutuskan pemakaian suatu simbol yang akan mewakili suatu unsur di permukaan

bumi, perlu dipelajari terlebih dahulu masalah variabel tampak yang menyangkut

berbagai bentuk penyajian dengan menggunakan dampak pandang (visual impact),

sebab hal tersebut merupakan sesuatu yang ikut menentukan bentuk simbol atau

penyajian pada suatu peta.

Ada tujuh variabel tampak yang digunakan untuk membentuk simbol, yaitu

posisi (x,y), bentuk, orientasi, warna, tekstur, value, dan size/ukuran (Riyadi, 1994).

Ketujuh variabel tampak tersebut ditunjukkan pada Tabel I.1.

Tabel I.1. Variabel tampak

No. Variabel

Tampak Keterangan

1. Posisi

(x,y)

Memberikan informasi lokasi (posisi X,Y) di peta. Semua simbol

yang ditempatkan di peta menggunakan variabel tampak ini

2. Bentuk

Simbol yang dibuat untuk membedakan obyek, sebab dengan

menggunakan bentuk, perbedaan simbol satu dengan yang lain mudah

digambarkan

3. Orientasi Arah dari suatu simbol

4. Warna

Variabel tampak yang paling kuat dan sering digunakan untuk

merancang simbol. Dengan warna, perbedaan simbol satu dengan

yang lain mudah dilihat dengan jelas

5. Tekstur Digunakan pada variasi dari gambar elemen dengan value yang tetap

6. Value

(nilai)

Menunjukkan besaran derajad keabuan, yang kisarannya dari putih

sampai hitam. Valuemerupakan harga kemampuan dari sesuatu obyek

untuk memantulkan sinar

7. Ukuran Menunjukkan variasi dari besaran suatu simbol

7

I.5.1.4. Pemahaman simbol variabel tampak. Variabel tampak harus mempunyai sifat

pemahaman agar obyek yang ditampilkan dalam peta dapat dimengerti secara cepat

(Riyadi, 1994). Ada empat macam sifat pemahaman dari suatu simbol, yaitu:

1. Pemahaman Asosiatif

Variabel tampak dikatakan mempunyai sifat pemahaman asosiatif, jika

reaksi awal dari mata secara spontan ketika melihat simbol sama pentingnya.

Tidak ada satu simbolpun yang terlihat lebih penting dibandingkan dengan

simbol lainnya.

2. Pemahaman Selektif

Variabel tampak dikatakan mempunyai sifat pemahaman selektif, jika

reaksi awal dari mata ketika melihat simbol dapat membedakan satu dengan

lainnya secara cepat. Simbol yang berbeda tersebut disusun oleh variabel-

variabel ke dalam kelompok yang berbeda.

3. Pemahaman Order

Variabel tampak mempunyai sifat pemahaman order jika semua simbol

dapat dibedakan secara spontan oleh variabel yang ditempatkan ke dalam

tingkatan (tahapan) yang jelas.

4. Pemahaman Kuantitatif

Variabel tampak yang mempunyai sifat pemahaman kuantitatif. Jika

perbedaan semua simbol-simbol secara oleh variabel yang dapat dipisahkan

satu dengan lainnya oleh jumlah yang jelas.

Ringkasan sifat pemahaman dari masing-masing variabel tampak dapat dilihat

pada Tabel I.2 di bawah ini.

Tabel I.2. Variabel tampak dan sifat pemahamannya.

Sifat

Pemahaman Posisi Bentuk Orientasi Warna Tekstur Value Ukuran

Asosiatif + + + + 0 - -

Selektif - - 0 ++ + + +

Order - - - - 0 ++ +

Kuantitatif - - - - - - ++

Keterangan = ++ : Sangat Kuat; + : Kuat; 0 : Cukup; - : Buruk

8

I.5.1.5. Peta Tematik. Peta tematik adalah suatu peta yang memperlihatkan informasi

kualitatif dan/atau kuantitatif pada suatu unsur tertentu. Unsur-unsur tersebut ada

hubungannya dengan detail topografi. Pada peta tematik, keterangan disajikan

dengan gambar, memakai pernyataan dari simbol-simbol yang mempunyai tema

tertentu, atau kumpulan dari tema-tema yang ada hubungannya antara satu dengan

yang lainnya. Simbol-simbol yang digunakan berupa simbol titik, simbol garis, dan

simbol luas. Sedangkan pernyataan yang mewakili data di atas peta tematik pada

dasarnya berhubungan dengan lokasi, posisi, dan luasnya (Prihandito, 1989).

Menurut Prihandito (1989), pemetaan dalam peta tematik ada dua cara yaitu:

1. Cara Kuantitatif

Pemetaan dengan cara kuantitatif adalah suatu penyajian gambar dari

data kuantitatif ke atas peta yang menyatakan identitas dan menunjukkan

jumlah dari unsur yang diwakilinya. Data kuantitatif dapat dipetakan dengan

menggunakan simbol maupun dengan diagram atau grafik. Contoh peta tematik

kuantitatif dapat dilihat pada gambar I.5.

Gambar I.5. Peta tematik kuantitatif

Sumber: Anonim, 2013a

2. Cara Kualitatif

Pemetaan dengan cara kualitatif adalah suatu penyajian gambar dari data

kualitatif ke atas peta, berupa bentuk simbol yang menyatakan identitas serta

melukiskan keadaan dari unsur-unsur yang ada tersebut. Jadi bentuk simbol

selalu dihubungkan dengan kualitas unsur yang diwakilinya. Misalnya adalah

pemetaan suatu daerah tematis tentang jenis-jenis industri yang ada di daerah

tersebut. Industri tekstil digambarkan dalam simbol lingkaran, industri kimia

9

digambarkan dalam simbol persegi, dan seterusnya, sebagaimana dapat dilihat

pada gambar I.6. Hasil dari kegiatan ini termasuk dalam peta tematik kualitatif.

Gambar I.6. Peta tematik kualitatif

Sumber: Anonim, 2013b

I.5.2. Proyeksi Peta

Proyeksi peta adalah metode penyajian permukaan bumi pada suatu bidang

datar dari koordinat geografis pada bola atau koordinat geodetis pada elipsoid.

Permukaan bumi fisis tidak teratur, sehingga dipilih suatu bidang yang teratur yang

mendekati bidang fisis bumi, yaitu bidang elipsoid. Bidang tersebut merupakan suatu

bidang lengkung yang dapat digunakan sebagai bidang referensi hitungan untuk

menyatakan posisi titik-titik di atas permukaan bumi dalam suatu sistem koordinat

geodetis, yaitu lintang (φ) dan bujur (λ) (Prihandito, 2010).

Peta merupakan gambar permukaan bumi pada bidang datar dalam ukuran

yang lebih kecil. Dalam hal ini posisi titik-titik pada peta ditentukan terhadap sistem

siku-siku x dan y, sedang posisi titik-titik pada muka bumi ditentukan oleh lintang

dan bujur (φ dan λ). Di dalam konstruksi suatu proyeksi peta, bumi biasanya

digambarkan sebagai bola (dengan jari-jari R = 6370,283 km). Dalam hal ini volume

ellipsoid sama dengan volume bola. Bidang bola inilah yang nantinya akan diambil

sebagai bentuk matematis dari permukaan bumi untuk mempermudah dalam

perhitungan.

10

Pada dasarnya bentuk bumi tidak datar tapi mendekati bulat maka untuk

menggambarkan sebagian muka bumi untuk kepentingan pembuatan peta, perlu

dilakukan langkah-langkah agar bentuk yang mendekati bulat tersebut dapat

didatarkan dan distorsinya dapat terkontrol, untuk itu dilakukan proyeksi ke bidang

datar.

Secara umum, proyeksi peta merupakan suatu fungsi yang merelasikan

koordinat titik-titik yang terletak di atas permukaan suatu kurva (biasanya berupa

elipsoid atau bola) ke koordinat titik-titik yang terletak di atas bidang datar. Metode

proyeksi peta bertujuan untuk memindahkan pola-pola atau unsur-unsur yang

terdapat di atas suatu permukaan ke permukaan yang lain dengan menggunakan

rumus-rumus matematis tertentu sehingga tercapai kondisi yang diinginkan. Di

bidang geodesi (pemetaan), secara khusus proyeksi peta bertujuan untuk

memindahkan unsur-unsur titik, garis, dan sudut dari permukaan bumi (elipsoid) ke

bidang datar dengan menggunakan rumus-rumus proyeksi peta sehingga tercapai

kondisi yang diinginkan.

I.5.2.1. Proyeksi UTM (Universal Tranverse Mercator). Proyeksi UTM merupakan

proyeksi peta yang banyak dipilih dan digunakan dalam kegiatan pemetaan di

Indonesia karena dinilai memenuhi syarat-syarat ideal yang sesuai dengan bentuk,

letak, dan luas Indonesia (Prahasta, 2001).Ciri-ciri proyeksi UTM adalah sebagai

berikut:

1. Silinder, transversal, secant, konform

2. Memotong bola bumi di dua meridian standar, k = 1

3. Lebar zona 6° sehingga bumi dibagi dalam 60 zona

4. Meridian tengah tiap zona k = 0,9996

5. Absis semu (T) : 500.000 m ± X

6. Ordinat semu (U): 10.000.000 m – Y

7. Elipsoid yang digunakan adalah WGS’84

11

Gambar I.7. Sistem proyeksi UTM

(Prihandito, 2010, Proyeksi Peta, hal.60, Kanisius, Yogyakarta)

Zona nomor 1 dimulai dari daerah yang dibatasi oleh meridian 180° BB dan

174° BB dan dilanjutkan ke arah timur sampai nomor 60. Batas paralel tepi atas pada

84° LU dan tepi bawah pada 80° LS. Setiap zona UTM overlap 40 km sehingga

setiap titik yang berada di daerah overlap mempunyai dua harga koordinat. Setiap

jalur selebar 8° lintang diberi kode huruf, dimulai dari 80° LS - 72° LS diberi huruf

C dan berakhir dengan huruf X pada jalur 72° LU dan 84° LU (huruf I dan O tidak

digunakan).

Gambar I.8. Pembagian zona UTM Grid

(http://www.colorado.edu/geography/gcraft/notes/mapproj/gif/utmzones.gif)

12

Wilayah Indonesia terbagi dalam 9 zona UTM, sepertiyang ditunjukkan pada

Tabel I.3, dimulai dari meridian 90º BT - 144º BT dengan batas paralel 10° LU dan

15° LS serta terbagi menjadiempat satuan daerah, yakni L, M, N, dan P. Setiap zona

berukuran 6° bujur x 8° lintang. Dengan demikian wilayah Indonesia terbentang dari

zona 46 (meridian sentral 93º BT) hingga zona 54 (meridian sentral 141º BT). Daftar

nomor zone dengan bujur meridian pada proyeksi UTM untuk wilayah Indonesia

dapat dilihat pada Tabel I.3.

Tabel I.3. Nomor zone dengan bujur meridian pada proyeksi

UTM untuk wilayah Indonesia

Zone Bujur

46 93°

47 99°

48 105°

49 111°

50 117°

51 123°

52 129°

53 135°

54 141°

(Prihandito, 2010)

I.5.2.2. Proyeksi TM3º. Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Peraturan

Menteri Negara Agraria (PMNA) No.3 tahun 1997 telah menetapkan bahwa untuk

membuat peta dasar pendaftaran dan peta pendaftaran guna penyelenggaraan

pendaftaran tanah digunakan sistem proyeksi Transverse Mercator 3°. Proyeksi

TM3° beracuan pada elipsoid referensi pada datum World Geodetic System 1984

(WGS’84) yang kemudian disebut Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN ’95). Hal ini

dilakukan seiring dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bakosurtanal No.

HK.02.04/II/KA/1996 yang menetapkan bahwa setiap kegiatan survei dan pemetaan

di wilayah Indonesia harus mengacu pada Datum Geodesi Nasional 1995 dengan

spheroid acuan seperti pada datum WGS ’84.

13

Ciri-ciri proyeksi TM 3° adalah sebagai berikut:

1. Secara geometrik hampir sama dengan proyeksi UTM, merupakan proyeksi

silinder transversal konform di mana bidang silinder memotong bumi (secant) di

dua meridian.

Gambar I.9. Silinder transversal yang memotong

(Prihandito, 2010, Proyeksi Peta, hal.70, Kanisius, Yogyakarta)

2. Perbedaannya dengan proyeksi UTM terletak pada penetapan faktor skala di

meridian tengah/sentral dan lebar wilayah cakupan (zona). Pada proyeksi TM 3°,

besarnya faktor skala (k) adalah 0,9999 dan lebar zona = 3°.

3. Proyeksi meridian sentral dan ekuator masing-masing merupakan garis-garis

lurus yang saling tegak lurus. Proyeksi meridian dan paralel lainnya merupakan

kurva-kurva yang saling tegak lurus.

4. Tiap zona mempunyai sistem koordinat sendiri, yaitu:

Sumbu X : Ekuator

Sumbu Y : Meridian sentral

Titik nol : Perpotongan meridian sentral dengan ekuator

Absis semu (T) : 200.000 m pada meridian tengah

Ordinat semu (U) : 1.500.000 m pada ekuator

Koordinat (X,Y) dinamakan koordinat sejati, dan koordinat (T,U) dinamakan

koordinat semu.

5. Wilayah Indonesia terbagi atas 16 zona seperti pada Gambar 1.8, mulai dari

meridian 93° BT – 141° BT dengan batas garis paralel (lintang) 6° LU - 11° LS,

serta tercakup dalam zona nomor 46.2 sampai dengan 54.1.

14

Gambar I.10. Pembagian zona TM3º dan UTM di Indonesia

(Prihandito, 2010, Proyeksi Peta, hal.77, Kanisius, Yogyakarta)

6. Proyeksi TM 3° pada umumnya menunjukkan distorsi jarak yang semakin

membesar ke arah timur maupun ke arah barat dari meridian sentral. Besarnya

faktor skala (k) antara meridian sentral sampai jarak 90.000 m sebelah barat dan

timur meridian sentral mempunyai harga 0,9999 sampai 1. Di luar batas tersebut,

faktor skalanya lebih besar dari 1. Hal inilah yang membatasi lebar wilayah

cakupan (zona) pada proyeksi TM 3°.

7. Proyeksi TM 3° beracuan pada Elipsoid referensi padaDatum World Geodetic

System (WGS ’84). Berikut daftar nomor zone dan nilai meridian sentral pada

proyeksi TM 3° untuk wilayah Indonesia:

Tabel I.4. Nomor zone dan nilai meridian sentral pada

proyeksi TM 3° untuk wilayah Indonesia

No.

Zone Batas Meridian

Meridian

Sentral

46.2 93°-96° 94°30'

47.1 96°-99° 97°30'

47.2 99°-102° 100°30'

48.1 102°-105° 103°30'

48.2 105°-108° 106°30'

49.1 108°-111° 109°30'

49.2 111°-114° 112°30'

50.1 114°-117° 115°30'

No.

Zone Batas Meridian

Meridian

Sentral

50.2 117°-120° 118°30'

51.1 120°-123° 121°30'

51.2 123°-126° 124°30'

52.1 126°-129° 127°30'

52.2 129°-132° 130°30'

53.1 132°-135° 133°30'

53.2 135°-138° 136°30'

54.1 138°-141° 139°30'

15

I.5.3. Transformasi Koordinat

I.5.3.1. Pengertian transformasi koordinat. Transformasi koordinat adalah mengubah

koordinat titik dari suatu sistem koordinat tertentu menjadi sistem koordinat lainnya

dengan aturan tertentu. Untuk mencegah kesalahan interpretasi terhadap koordinat-

koordinat yang digunakan, jenis sistem koordinat suatu peta harus disamakan dengan

jenis sistem koordinat yang menjadi peta dasarnya. Dengan demikian, diperlukan

transformasi koordinat dari suatu sistem proyeksi ke sistem proyeksi peta yang lain.

I.5.3.2. Transformasi koordinat TM3º ke koordinat UTM. Untuk mengubah dari

sistem proyeksi TM3 ke sistem proyeksi UTM, harus dikonversikan atau

ditransformasikan koordinatnya ke dalam koordinat geodetis (φ,λ) terlebih dahulu,

kemudian dikonversikan kembali ke Proyeksi UTM (Muryamto, 1999). Hal tersebut

diilustrasikan pada diagram berikut:

Gambar I.11. Diagram urutan transformasi dari TM3º ke UTM

Konversi tersebut yaitu:

1. Konversi koordinat proyeksi TM 3° (X,Y) ke dalam Koordinat Geodetik (φ,λ).

Koordinat titik pada proyeksi TM 3° (X,Y), dihitung dari koordinat

geodetik (φ,λ). Hubungan koordinat proyeksi dengan koordinat geodetik

digambarkan pada gambar di bawah ini:

Gambar I.12. Konversi koordinat proyeksi TM 3° ke koordinat geodetik

(Prihandito, 2010, Proyeksi Peta, hal.71, Kanisius, Yogyakarta)

Sistem Proyeksi

TM3 (X,Y)

Sistem Koordinat

Geodetis (φ,λ)

Sistem Proyeksi

UTM (X,Y)

16

Berlaku:

Lp = L f + (c2) X2 + (c4) X

4 ....................................................................................... (I.1)

Bp = B 0 + (c1) X + (c3) X3 + E5 ................................................................................ (I.2)

Dalam hal ini :

Bp = bujur geodetik titik P

B0 = bujur geodetik meridian

Lp = lintang geodetik titik P

Lf = lintang geodetik titik kaki Pf

2. Konversi koordinat geodetik (φ,λ) ke dalam koordinat proyeksi UTM (X,Y).

Rumus yang digunakan :

X’ = T’ = [IV] p + [V] p3 + [B5] p5 .............................................................. (I.3)

Y’ = U’= [I] + [II] p2 + [III] p4 + [A6] p6 ..................................................... (I.4)

p = 0,0001 x (λi - Bo)” → tandanya selalu positip

Untuk titik di Utara ekuator : Y = U = U’

Untuk titik di Selatan ekuator : Y = U = 10.000.000 m – U’

Untuk titik di Timur Meridian Tengah : X = T = 500.000 m + T’

Untuk titik di Barat Meridian Tengah : X = T = 500.000 m - T’

I.5.4. Penguasaan Tanah

I.5.4.1. Pengertian penguasaan. Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam arti

fisik, juga dalam arti yuridis. Pengertian tersebut juga beraspek perdata dan beraspek

publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak,

dilindungi oleh hukum, dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang

hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Sebagai contoh, pemilik tanah

mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki dan tidak

diserahkan kepada pihak lain (Mulyadi, 2004).

Dalam penguasaan yuridis, walaupun memberi kewenangan untuk menguasai

tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dapat dilakukan

oleh pihak lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tetapi tidak mempergunakan

tanahnya sendiri, melainkan disewakan kepada pihak lain.Pada kasus tersebut,secara

17

yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah.Namun, secara fisik penguasaan

dilakukan oleh penyewa tanah.

Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk

menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Misalnya, kreditor (bank)

memegang jaminan atas tanah. Kreditor tersebut mempunyai hak penguasaan yuridis

atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), tetapi secara fisik penguasaan tanahnya

tetap ada pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah ini

dipakai dalam aspek privat.Sedangkan penguasaan yuridis yang beraspek publik,

yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004, penguasaan tanah

adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang, atau badan hukum

dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dari definisi tersebut, penguasaan

tanah dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Penguasaan oleh Pemilik

2. Penguasaan bukan Pemilik

3. Penguasaan bukan Pemilik secara legal oleh Perseorangan

4. Penguasaan bukan Pemilik secara legal oleh Badan Hukum

5. Penguasaan bukan Pemilik secara ilegal oleh Perseorangan

6. Penguasaan bukan Pemilik secara ilegal oleh Badan Hukum

7. Tidak ada penguasaan tanah

Data penguasaan tanah dapat disajikan dalam suatu peta yang disebut dengan

peta penguasaan tanah. Peta penguasaan tanah adalah peta yang menggambarkan

kawasan atau bidang-bidang tanah yang belum terdaftar dengan suatu hak atas tanah

yang telah dikuasai oleh pemilik dan/atau bukan pemilik.

I.5.4.2. Pengaturan hak penguasaan atas tanah. Pada setiap hukum tanah, terdapat

pengaturan mengenai berbagai hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya,

diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas

tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita (Mulyadi, 2004), yaitu:

18

1. Hak bangsa Indonesia atas tanah

Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan

meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI.Tanah yang

dimaksudmerupakan tanah bersama, bersifat abadi, dan menjadi induk bagi

hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. Pengaturan ini termuat dalam Pasal 1

ayat (1) - (3) UUPA.

2. Hak menguasai dari negara atas tanah

Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah yang hakikatnya

merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang

mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama ini

dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan seluruh

rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).

3. Hak ulayat masyarakat hukum adat

Hak ini diatur dalam Pasal 3 UUPA. Yang dimaksud dengan hak ulayat

masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu

masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah dan terletak dalam

lingkungan wilayahnya.

4. Hak-hak atas tanah

Hak ini termasuk salah satu hak-hak perseorangan atas tanah. Hak-hak

perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada

pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama,

badan hukum) untuk memakai, menguasai, menggunakan, dan atau mengambil

manfaat dari bidang tanah tertentu. Dasar hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1)

UUPA.

I.5.4.3. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum. Hak penguasaan atas

tanah sebagai lembaga hukum adalah hak penguasaan atas tanah yang belum

dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang

haknya. Sebagai contoh dapat disebut Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa sebagaimanadimaksud dalam Pasal 20 sampai 45

19

UUPA (Mulyadi, 2004).Ketentuan-ketentuan hukum tanah yang mengatur hak-hak

penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum yaitu (Mulyadi, 2004):

1. Memberi nama pada penguasaan hak yang bersangkutan.

2. Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, atau dilarang

untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya.

3. Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang

haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya.

4. Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.

Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret yaitu hak

penguasaan atas tanah yang sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai

objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang

haknya. Sebagai contoh dapat dikemukakan hak-hak atas tanah yang disebut dalam

ketentuan konversi UUPA.

Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas

tanah sebagai hubungan hukum yang konkret yaitu (Mulyadi, 2004):

1. Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum

yang konkret, dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu.

2. Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain.

3. Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain.

4. Mengatur hal-hal mengenai hapusnya hak-hak penguasaan tanah.

5. Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.

I.5.5. Citra satelit IKONOS

Ikonos merupakan satelit dengan resolusi spasial tinggi yang diluncurkan bulan

September 1999. Satelit ini merekam data multispektral 4 kanal pada resolusi 4 m.

Ketinggian orbitnya adalah 681 km. Citra resolusi tinggi sangat cocok untuk analisis

detil, misalnya wilayah perkotaan,tetapi tidak efektif apabila digunakan untuk

analisis yang bersifat regional. Fungsi dari satelit IKONOS adalah untuk pemetaan

topografi dari skala kecil hingga menengah, menghasilkan peta baru, dan

memperbaharui peta topografi yang sudah ada (Sutanto, 1992).

20

Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan

maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut

(Sutanto, 1992). Dalam interpretasi citra, penafsir mengkaji citra dan berupaya

mengenali objek melalui tahapan kegiatan, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis.

Setelah melalui tahapan tersebut, citra dapat diterjemahkan dan digunakan ke dalam

berbagai kepentingan, seperti dalam bidang geografi, geologi, lingkungan hidup, dan

sebagainya.

Ada tiga ciri utama benda yang tergambar pada citra berdasarkan ciri yang

terekam oleh sensor yaitu sebagai berikut :

1. Spektoral

Ciri spektoral ialah ciri yang dihasilkan oleh interaksi antara tenaga

elektromagnetik dan benda yang dinyatakan dengan rona dan warna.

2. Spatial

Ciri spatial ialah ciri yang terkait dengan ruang yang meliputi bentuk, ukuran,

bayangan, pola, tekstur, situs, dan asosiasi.

3. Temporal

Ciri temporal ialah ciri yang terkait dengan umur benda atau saat perekaman.

I.5.6. Sistem Informasi Geografis (SIG)

SIG merupakan sejenis perangkat lunak yang dapat digunakan untuk

pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan, dan keluaran informasi

geografis berikut atribut-atributnya (Prahasta, 2001).

Menurut Aronoff (1989), sistem informasi geografis mempunyai empat

komponen dasar sebagai berikut:

1. Data masukan

Komponen data masukan mengubah data dari keadaannya semula

kesalah satu bentuk yang dapat digunakan oleh SIG. Data yang dimasukan

dalam SIG mempunyai dua tipe, yaitu data spasial dan data atribut.

a. Data Spasial

Data spasial adalah data berupa peta atau gambar lainnya yang

menyajikan informasi aspek keruangan yang tersusun dalam bentuk titik

(point), garis (line), ataupun luasan (poligon).

21

b. Data Non-Spasial atau Data Atribut

Data non-spasial adalah data yang umumnya bersifat tabular yang

menyajikan informasi atau keterangan/atribut pada setiap kenampakan

dari data spasial (titik, garis, dan luasan). Data atribut dapat berupa data

kualitatif (nama, jenis, tipe, dan lain-lain) atau kuantitatif (jumlah,

tingkatan, dan sebagainya).

2. Manajemen data

Komponen manajemen data dalam SIG berisikan fungsi yang diperlukan

untuk menyimpan dan memanggil data.

3. Manipulasi dan analisis data

Fungsi dari manipulasi dan analisis data menentukan informasi apa yang

dapat diperoleh dari SIG.

4. Data keluaran

Data keluaran merupakan prosedur untuk menyajikan informasi dari SIG

dalam bentuk yang diinginkan pemakai. Data keluaran dapat ditampilkan

dalam dua format yaitu format hardcopy dan softcopy atau elektronik.

I.5.6.1. Model data dalam Sistem Informasi Geografis. Dalam Sistem Informasi

Geografis, dikenal dua jenis model data, yaitu model data vektor dan model data

raster.

1. Model data Vektor

Model data vektor menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data

spasial dengan menggunakan titik-titik, garis-garis, atau poligon beserta

atribut-atributnya. Bentuk-bentuk dasar representasi data spasial di dalam

sistem model data vektor didefinisikan oleh sistem koordinat kartesian dua

dimensi (x, y). Di dalam model data spasial vektor, garis-garis atau kurva

merupakan sekumpulan titik-titik terurut yang dihubungkan.Sementara itu,

luasan atau poligon juga disimpan sebagai kumpulan daftar titik-titik, tetapi

dengan catatan bahwa titik awal dan titik akhir poligon memiliki nilai

koordinat yang sama (poligon tertutup sempurna). Contoh model data vektor

dapat dilihat pada Gambar I.13.

22

Gambar I.13. Model data vektor

(rsandgis.com)

2. Model data Raster

Data Raster adalah struktur data yang menampilkan, menempatkan, dan

menyimpan data spasial dengan menggunakan struktur matrik atau piksel-

piksel yang membentuk grid. Lokasi tiap sel atau piksel ditentukan dari nomor

baris dan kolom.Kumpulan sel-sel tersebut disusun dalam bentuk matriks. Nilai

(value) yang diberikan pada tiap sel mengindikasikan nilai atribut yang

diwakilinya.

Gambar I.14. Struktur model data raster

(Arcgisdesktop/10.0/helpHelp\data_integration.chm::/rasterdata.chm::/raster_rat.gif)

23

I.5.6.2. ArcGIS. ArcGIS adalah salah satu software pemetaan yang didesain dan

dimanajemen dengan aplikasi geografis. ArcGIS memiliki kemampuan untuk

memanajemen data-data spasial, melakukan editing data, dan analisis data spasial.

Didalam perangkat lunak ArcGIS, terdapat beberapa aplikasi yang sering digunakan,

yaitu sebagai berikut:

1. ArcMap

ArcMap merupakan salah satu aplikasi dari ArcGIS yang didesain untuk

dapat menampilkan data spasial, melakukan proses editing, melakukan analisis

spasial (overlay,buffering,dan lain-lain), dan menampilkan peta dengan kualitas

yang baik.

2. ArcCatalog

ArcCatalog adalah aplikasi ArcGIS yang sering digunakan untuk

mempermudah akses dan manajemen dari data-data spasial. Pengguna ArcGIS

juga akan lebih mudah melakukan pencarian. Pembuatan metadata

penyimpanan data-data spasial menggunakan ArcCatalog ini.

3. ArcToolbox

ArcToolbox adalah salah satu aplikasi bagian dariArcGIS yang

merupakan kumpulan-kumpulan dari fitur-fitur, dimana fitur-fitur tersebut

digunakan dalam pengolahan data-data spasial, seperti analisis spasial,

pengaturansistem proyeksi,dan pemotongan peta.

I.5.6.3. Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG). Analisis di sistem informasi

geografis terdiri dari analisis spasial dan analisis atribut. Salah satu analisis spasial

adalah proses overlay. Fungsi ini dilakukan dengan menggunakan minimal dua data

spasial sebagai data masukannya. Secara grafis proses overlay harus dilakukan dalam

satu koordinat yang sama, sehingga setiap tema/layer dapat digabungkan menjadi

satu visualisasi.

24

Gambar I.15. Ilustrasi proses overlay

(www.geo.hunter.cuny.edu)

Contoh overlay secara grafis dapat dilihat pada Gambar I.15. Dari gambar

tersebut dapat dijelaskan bahwa proses overlaydapat dilakukan dengan lebih dari satu

layer,baik itu berupa point, line(garis), dan poligon. Hasil dari overlay ini menjadi

satu gabungan tampilan dari layer-layer yang merepresentasikan kenampakan dunia

nyata (real world).

1.5.6.4. Geodatabase. Model penyimpanan geodatabase disusun berdasarkan

basisdata relasional. Tabel-tabel sederhana digunakan untuk menyimpan skema,

aturan, dan data atribut untuk tiap-tiap dataset geografis. Melalui pendekatan ini,

bahasa pemrograman SQL (Structured Query Language) dapat digunakan untuk

membuat dan memodifikasi tabel, serta melakukan pencarian data.

Dalam geodatabase, suatu feature class disimpan sebagai tabel. Tiap baris

dalam tabel tersebut merepresentasikan satu buah feature. Kolom shape menyimpan

data geometri dari feature tersebut. Isi dari tabel ini dapat diakses menggunakan

bahasa pemrograman SQL. ArcGIS melengkapi geodatabase dengan beberapa

fungsi-fungsi khusus, seperti raster datasets, topologi, dan analisis jaringan.

25

Gambar I.16. Contoh tabel geodatabaseuntukfeature bertipe poligon

(ArcGIS 10 Help)

I.5.7. Konsep Basis Data

I.5.7.1. Basis Data. Basis data dapat diartikan sebagai sekumpulan data tentang suatu

benda atau kejadian yang saling berhubungan satu sama lain. Pendefinisian basis

data meliputi spesifikasi tipe data, struktur, dan pembatasan (constraints) dari data

yang harus disimpan dalam basis data. Penyusunan basis data meliputi proses

pemasukan data dalam media penyimpanan data yang harus dikontrol oleh SMBD

(Sistem Manajemen Basis Data). Sedangkan yang termasuk dalam manipulasi basis

data adalah pembuatan pertanyaan (query) dari basis data untuk mendapatkan

informasi tertentu, melakukan pembaruan (updating) data, dan pembuatan laporan

(report generation) dari data dalam basis data (Waljiyanto, 2000).

I.5.7.2. Klasifikasi SMBD. SMBD terutama diklasifikasikan berdasarkan model data

yang digunakan, yaitu model data hirarki, jaringan, relasional, orientasi obyek dan

model data lain (Waljiyanto, 2000).Model basis data yang digunakan dalam

perangkat lunak ArcGIS adalah model data relasional.

Pada model data relasional, tidak terdapat hierarki.Setiap medan data dapat

dijadikan kunci data. Data rekaman disusun dari nilai yang berhubungan yang

disebut baris. Baris-baris yang tersusun membentuk satu tabel, yang biasanya

tersimpan dalam satu berkas. Tabel-tabel ini secara keseluruhan merupakan

penyajian dari atribut data yang saling berhubungan. Dengan menggunakan model

data relasional, pencarian medan atribut dari suatu tabel atau banyak tabel dapat

dilakukan dengan cepat (Waljiyanto, 2000).

26

I.5.8. Tata letak peta (layout)

Tata letak peta merupakan salah satu bagian yang harus diperhatikan pada

pembuatan desain peta. Untuk menghasilkan sebuah tata letak peta yang baik, perlu

diperhatikan lima sasaran yang mempengaruhi penilaian keberhasilan tata letak peta,

yaitu:

1. Kejelasan

Informasi pada suatu peta sebaiknya disajikan dalam keadaan baik, jelas,

serta tidak mempunyai arti yang berbeda antara satu dengan yang lain.

2. Kelayakan

Kelayakan suatu tata letak mengacu pada logika suatu peta, apakah

beberapa elemen peta seperti legenda dan judul peta sudah diletakan sesuai

dengan logik hubungan antara satu elemen dengan elemen lainnya.

3. Keseimbangan visual

Pada peta, setiap elemen yang disajikan dengan pertimbangan agar objek

ditampilkan dengan seimbang dan memudahkan pemakai peta untuk

mengidentifikasikan objek secara maksimal.

4. Kekontrasan

Kekontrasan tata letak peta mengacu kepada perbedaan antara terang dan

gelap dari suatu warna yang digunakan, serta tebal dan tipisnya garis yang

ditampilkan dari elemen yang disajikan.

5. Kesatuan

Kesatuan suatu tata letak peta mengacu kepada hubungan antara

pemilihan dan penempatan huruf, kegunaan peta, skala peta, penyajian simbol,

dan reproduksi.

Tata letak peta dapat dibagi dalam tiga kategori (Riyadi, 1994), yaitu:

1. Frame Map

Tata letak dari tipe ini memiliki outer border line yang mengelilingi

muka peta. Garis batas tepi mempunyai fungsi memisahkan antara muka peta

dengan informasi tepi (marginal information) secara jelas. Peta tipe ini sangat

cocok untuk pemetaan yang berangkai (seri).

27

Gambar I.17. Contoh Frame map

(Riyadi, 1994)

2. Island Map

Yang lebih konvensional dari frame map adalah island map. Neat line

atau batas dari area yang dipetakan berfungsi sebagai frame (batas garis),

sehinggaisland map mempunyai bentuk yang tidak beraturan. Tipe ini

memberikan kebebasan pada kartografer untuk merancang tata letak peta (map

lay-out) yang cocok.

Gambar I.18. Contoh Island map

(Riyadi, 1994)

3. Bleeding Map

Peta jenis ini mempunyai informasi pada batas potongan dari area peta,

atau dengan kata lain tidak mempunyai frame.

Gambar I.19. Contoh Bleeding map

(Riyadi, 1994)