25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah bersih desa Masyarakat di Dusun Mangurejo menyebutnya dengan dhekahan dhusun. Dalam tradisi dhekahan dhusun seluruh dusun Mangurejo ikut terlibat. Dhekahan dhusun dilakukan sekali dalam setahun. Dalam melakukan dhekahan dhusun seluruh masyarakat desa membersihkan diri dari kejahatan, dosa dan segala yang menyebabkan kesengsaraan. Hal ini tercermin dari berbagai aspek perayaan yang diselenggarakan dengan upacara yang mengandung unsur- unsur simbolik untuk memelihara kerukunan warga masyarakat. Perayaan ini juga menandakan adanya penghormatan terhadap roh nenek moyang. Tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo, Desa Guli, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali merupakan tradisi yang dilakukan setiap tahun dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang hingga sekarang. Tradisi dhekahan dhusun dilaksanakan setelah panen raya yang terakhir pada hari Jumat Pon pukul 13.00-15.00 WIB dan untuk bulannya tidak ditentukan, yang menjadi patokan adalah sakbubare panen yen gabah wis ning senthonge dhewe-dhewe „setelah panen jika padi sudah dilumbungnya sendiri-sendiri‟. Tempat untuk pelaksanaan upacara tradisi dhekahan dhusun di rumah salah satu warga dusun Mangurejo yaitu bapak Sudar. Dalam pelaksanaan dhekahan dhusun, ada beberapa sesaji yang harus disiapkan, di antaranya ambeng, panggang, sambel goreng, krupuk, tahu, tempe, 1 1

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah · Istilah bersih desa Masyarakat di Dusun Mangurejo menyebutnya dengan ... mendoakan para ahli waris yang ... Menurut peneliti,

  • Upload
    hacong

  • View
    238

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah bersih desa Masyarakat di Dusun Mangurejo menyebutnya dengan

dhekahan dhusun. Dalam tradisi dhekahan dhusun seluruh dusun Mangurejo ikut

terlibat. Dhekahan dhusun dilakukan sekali dalam setahun. Dalam melakukan

dhekahan dhusun seluruh masyarakat desa membersihkan diri dari kejahatan, dosa

dan segala yang menyebabkan kesengsaraan. Hal ini tercermin dari berbagai

aspek perayaan yang diselenggarakan dengan upacara yang mengandung unsur-

unsur simbolik untuk memelihara kerukunan warga masyarakat. Perayaan ini juga

menandakan adanya penghormatan terhadap roh nenek moyang.

Tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo, Desa Guli, Kecamatan

Nogosari, Kabupaten Boyolali merupakan tradisi yang dilakukan setiap tahun dan

dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang hingga sekarang. Tradisi

dhekahan dhusun dilaksanakan setelah panen raya yang terakhir pada hari Jumat

Pon pukul 13.00-15.00 WIB dan untuk bulannya tidak ditentukan, yang menjadi

patokan adalah sakbubare panen yen gabah wis ning senthonge dhewe-dhewe

„setelah panen jika padi sudah dilumbungnya sendiri-sendiri‟. Tempat untuk

pelaksanaan upacara tradisi dhekahan dhusun di rumah salah satu warga dusun

Mangurejo yaitu bapak Sudar.

Dalam pelaksanaan dhekahan dhusun, ada beberapa sesaji yang harus

disiapkan, di antaranya ambeng, panggang, sambel goreng, krupuk, tahu, tempe,

1

1

2

gedhang raja, jajan pasar, kembang setaman, wajib, sega asahan, dan lain

sebagainya.

Tradisi dhekahan dhusun diadakan dengan berbagai tujuan di antaranya,

(1) sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas keberhasilan

panen tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, (2) mendoakan para ahli waris yang

telah meninggal dunia agar diampuni segala dosanya, (3) menumbuhkan rasa

solidaritas sehingga dapat terjalin kerukunan dan rasa kepedulian terhadap

lingkungan, (4) melestarikan warisan nenek moyang dalam bentuk upacara adat

yang tidak bertentangan dengan kebudayaan bangsa.

Menurut peneliti, dalam tradisi dhekahan dhusun terdapat simbol-simbol

dan nilai-nilai budaya yang dapat diangkat sebagai kekayaan budaya lokal

sehingga menambah pengetahuan. Dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo

memiliki kekhasan upacara tradisional yang berbeda dengan dusun lain. oleh

karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut, dengan alasan, (1) dapat

menambah ilmu pengetahuan tentang kebudayaan Jawa khususnya tradisi

dhekahan dhusun, (2) peneliti ingin melestarikan budaya dalam masyarakat agar

tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari

Kabupaten Boyolali tetap diadakan secara turun-temurun sampai anak cucu nanti,

(3) peneliti ingin meneliti Istilah-istilah Sesaji dalam Tradisi Dhekahan dhusun Di

Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali, melalui

makna kultural sesuai dengan budaya yang berlaku di masyarakat setempat, (4)

tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo memiliki keunikan tersendiri yaitu

rayahan „berebut‟ sega asahan dan jajanan pasar yang mungkin didaerah lain

tidak ada. Jajan pasar yang direbutkan bukan jajanan pasar ciki jaman sekarang,

3

tetapi jajan pasar yang berupa buah-buahan. Sega asahan yang direbutkan nasi

yang lengkap dengan lauknya. Mereka berebut karena ingin mendapatkan berkah

yang banyak.

Etnolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari tentang hal yang

berkaitan dengan masyarakat dan budaya yang mempunyai perbedaan atau

pembeda yang berupa leksikon antara masyarakat yang satu dengan masyarakat

yang lain. Masyarakat bahasa adalah masyarakat yang hidup berdampingan dan

menggunakan bahasa yang sama dalam berkomunikasi atau setidak-tidaknya

dapat dipahami antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, mempelajari tentang

makna kata secara leksikal dan makna secara kultural.

Makna leksikal adalah makna sebuah kata yang sebenarnya atau makna

yang semua orang memiliki pandangan yang sama tentang kata tersebut. Makna

secara kultural adalah makna hanya dimengerti suatu lingkup terbatas yang

memiliki suatu pandangan tertentu tentang suatu kata, atau makna dari sebuah

kata atau sesuatu yang hanya ada dalam keyakinan mereka yang telah mendarah

daging secara turun temurun. Maka kultural ini yang dapat membedakan

masyarakat antar pelaku bahasa dan budaya disetiap daerah. Pada setiap wilayah

memiliki suatu ciri yang menjadi pembeda dengan lainnya, entah berupa apapun

itu. Makna leksikal dan makna kultural dalam tradisi dhekahan dhusun misalnya

ambeng. Makna leksikal dari kata ambeng adalah sega sarampadane kang

dikepoeng ing nalikane slametan (Poerwadarminta, 1939:8) „nasi seisinya yang

dikepung ketika selamatan. Makna kultural dari ambeng [amb|G] bagi masyarakat

Dusun Mangurejo adalah nasi yang berbentuk gunungan atau setengah lingkaran

yang ditaruh diatas tampah, ambeng sebagai simbol kerukunan antar warga Dusun

4

Mangurejo yang digambarkan seperti nasi yang nglumpuk dadi siji „berkumpul

menjadi satu‟ tanpa membedakan status sosial.

Etnolinguistik merupakan bagian dari bidang linguistik yang sangat

penting artinya. Maksudnya untuk mengetahui hubungan kebudayaan dengan

masalah bahasa alami maupun proses kreatif dari para pendukung kebudayaan itu

sendiri. Adapun penelitian sejenis yang pernah diteliti antara lain, (1) skripsi

Hidha Watari, 2008, yang berjudul “Istilah Unsur-unsur Sesaji dalam Tradisi

Bersih Desa di Desa Gondang Kabupaten Sragen (Suatu Tinjauan

Etnolinguistik)”, yang mengkaji bentuk dan makna dari istilah-unsur-unsur sesaji

dalam tradisi bersih desa di Desa Gondang Kabupaten Sragen, (2) skripsi Iswati,

2004, yang berjudul “Istilah Unsur-unsur Sesaji dalam Upacara Nyadran di

Makam Sewu Desa Wiji Rejo Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul”, yang

mengkaji tentang bentuk dan makna dari istilah unsur-unsur sesaji dalam upacara

nyadran di Makam Sewu Desa Wiji Rejo Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul,

(3) skripsi Andina Dyah Sitaresmi, 2009, yang berjudul “Istilah Perlengkapan

Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Kraton Surakarta Hadiningrat (Suatu

Kajian Etnolinguistik)”, yang mengkaji tentang bentuk dan makna dari istilah

unsur-unsur sesaji dalam jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Kraton Surakarta

Hadiningrat, (4) skripsi Witdayati, 2009, yang berjudul “Istilah-istilah Kesenian

Reog di Kabupaten Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik)”, yang mengkaji

tentang istilah dan makna dari istilah-istilah Kesenian Reog di Kabupaten

Boyolali. Keempat penelitian tersebut, dipakai peneliti sebagai bahan acuan

penulisan dan pembanding untuk mencari kekhasan dalam penelitian dhekahan

dhusun.

5

Berdasarkan empat penelitian di atas, tradisi dhekahan dhusun di Dusun

Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali berbeda dari

dhekahan dhusun di dusun yang lain. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk

mengkaji: Istilah-istilah Sesaji dalam Tradisi Dhekahan Dhusun di Dusun

Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk istilah-istilah sesaji yang terdapat dalam tradisi

dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari

Kabupaten Boyolali?

2. Bagaimanakah makna leksikal dan makna kultural bentuk sesaji dalam tradisi

dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari

Kabupaten Boyolali?

3. Apakah fungsi tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli

Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk istilah-istilah sesaji yang terdapat dalam tradisi

dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari

Kabupaten Boyolali.

6

2. Mendeskripsikan makna leksikal dan makna kultural bentuk sesaji dalam

tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari

Kabupaten Boyolali.

3. Mendeskripsikan fungsi tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa

Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan

manfaat praktis.

1. Manfaat teoretis

Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada teori

linguistik, terutama teori etnolinguistik yang hubungannya dengan bahasa dan

budaya masyarakat, khususnya yang terkait dengan upacara tradisi dhekahan

dhusun.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

a. Sebagai usaha pelestarian budaya Jawa.

b. Memberi tambahan materi pengajaran bahasa dan budaya Jawa.

c. Menambah ilmu pengetahuan tentang dhekahan dhusun.

d. Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

7

E. Landasan Teori

1. Istilah

Istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat

mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang

tertentu (Kridalaksana, 1982:67). Di samping itu, dalam Poerwadarminta

(1976:388) menjelaskan bahwa istilah adalah perkataan yang khusus mengandung

arti tertentu di lingkungan suatu ilmu pengetahuan, pekerjaan atau kesenian.

Istilah adalah kata atau frasa yang mengandung arti tertentu dalam suatu

lingkup bahasan, serta dapat mengungkapkan konsep dan proses yang menjadi

kekhasan dalam bidang tertentu, yang dapat dibandingkan dalam makna di dalam

kosa kata umum. Dalam dhekahan dhusun, istilah digunakan untuk menyebutkan

setiap detail kata yang digunakan dalam tradisi dhekahan dhusun, terutama sesaji

yang digunakan.

2. Sesaji

Menurut Suyono (1985: 358) sesaji/sajian adalah suatu rangkaian

makanan kecil, benda-benda kecil, bunga-bunga serta barang hiasan yang

tentunya disusun menuruti konsepsi keagamaan sehingga merupakan lambang

(simbol) yang mengandung arti. Dengan mempersembahkan sesaji itu kepada

Tuhan, dewa, atau makhluk halus penghuni alam gaib lainnya manusia bermaksud

berkomunikasi dengan makhluk-makhluk halus.

Sesaji merupakan aktualitas dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku

untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesaji juga merupakan wahana

simbol yang digunakan sebagai sarana untuk spiritual kepada hal-hal gaib.

8

Dengan pemberian makan secara simbolis kepada roh halus, diharapkan roh

tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia (Endraswara, 2006: 245).

Sesaji dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak

mengganggu manusia.

Pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sesaji (sajen)

merupakan implementasi hubungan antara manusia dengan makhluk halus,

dengan diberi sesaji makhluk halus akan merasa senang sehingga tidak

mengganggu kehidupan manusia/hidup manusia akan nyaman dan tentram.

Apabila sesaji tersebut tidak diberikan, dipercaya akan menimbulkan bencana atau

malapetaka. Adapun sesaji dapat berupa makanan kecil (yang sering dikonsumsi

oleh manusia), bunga setaman, dan lain-lain. Setiap sesaji tersebut mengandung

makna sendiri-sendiri tergantung dari tujuannya.

Sesaji yang digunakan oleh masyarakat Jawa selalu memiliki makna di

dalamnya, maka sesaji oleh masyarakat satu tempat dan tempat lain berbeda-beda

tergantung kesepakatan yang sudah ada secara turun-temurun atau yang disebut

makna kultural.

Dalam pelaksanaan tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa

Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali, memiliki sesaji yang telah

disepakati untuk makna masing-masing sesaji. Sehingga sesaji dalam tradisi

dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo adalah segala sesuatu yang disajikan

berupa makanan, bunga setaman, wajib dan beberapa jenis yang diambil dari hasil

alam desa setempat, yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar diberi

kelancaran dalam pelaksanaan upacara tradisi dhekahan dhusun dan persembahan

kepada dhanyang dusun agar desanya dijaga supaya tetap aman dan tenteram.

9

3. Tradisi

Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah

sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan

suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau

agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi

yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan,

karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

Menurut Suyono (1985: 125) dijelaskan pengertian tradisi adalah

kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang

meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma hukum kemudian menjadi suatu sistem

atau peraturan tradisional.

Dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah kebiasaan

yang bersifat religius pada suatu masyarakat yang berjalan turun-temurun dari

generasi ke generasi yang bersifat terus-menerus (kontinue).

4. Dhekahan Dhusun di Dusun Mangurejo

Dhekahan dhusun istilah lain yang dipakai masyarakat Dusun Mangurejo

Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali, untuk menyebut istilah

umumnya yaitu bersih desa. Upacara tradisi bersih desa ini masih melekat dalam

jiwa masyarakat Dusun Mangurejo untuk menunjukkan rasa syukur mereka

terhadap Tuhan Yang Mahaesa, melestarikan budaya nenek moyang masyarakat

setempat, dan untuk memberi penghormatan kepada penunggu Dusun Mangurejo

yang mereka sebut dhanyang dusun.

10

Upacara tradisi dhekahan dhusun ini dilakukan setiap tahun sekali secara

turun-temurun, karena masyarakat dusun setempat menganggap bahwa dhekahan

dhusun merupakan naluri dari nenek moyang mereka yang harus tetap lestari.

Naluri sendiri bagi masyarakat Dusun Mangurejo memiliki kepanjangan yaitu

nalar sing wus kawuri yang artinya sebuah nalar yang sudah melekat dalam benak

masyarakat Dusun Mangurejo. Karena itu dianggap sebagai naluri, maka tradisi

dhekahan dhusun itu harus tetap lestari, sebab mereka memiliki keyakinan bahwa

jika tidak dilaksanakan atau dilaksanakan namun tidak sesuai dengan

pelaksanaannya, maka akan ada musibah dalam dusun, baik masyarakatnya

ataupun keadaan alamnya.

Tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo ini dilaksanakan pada

waktu masyarakat usai panen raya. Tidak bergantung pada bulan apa, yang pasti

setelah panen raya dan dilaksanakan pada hari Jumat Pon pukul 13.00-1500 WIB.

Kelancaran upacara tradisi dhekahan dhusun ini juga tidak lepas dari dana yang

didapat dari warga setempat.

5. Bahasa dan Budaya

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia

untuk saling berkomunikasi atau berinteraksi, baik melalui tulisan, lisan, ataupun

gerakan (bahasa sikap), dengan tujuan menyampaikan maksud dari hati atau

kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Setiap anggota masyarakat dan

komunitas selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai

komunikator (pembicara/penulis) maupun sebagai komunikan (mitra bicara,

penyimak, pendengar, atau pembaca) (Sumarlam, 2005: 1). Suatu kebudayaan

dapat diidentifikasikan dengan menggunakan bahasa yang dipakai.

11

Berkomunikasi dengan masyarakat akan dapat diketahui kebudayaan masyarakat

tersebut. Budaya tidak akan hidup tanpa komunikasi, dan komunikasi tidak akan

hidup tanpa budaya (Mulyana, 2000: 34). Kebudayaan adalah seluruh gagasan

manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi

dan karyanya (Koentjaraningrat, 1987: 9). Setiap bangsa memiliki kebudayaan

sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa lainnya yang membuktikan

bahwa peradaban suatu bangsa tidak akan sama antara bangsa yang satu dengan

bangsa lainnya. Begitu erat hubungan manusia dengan kebudayaannya, sehingga

manusia pada hakikatnya disebut makhluk budaya, demikian yang pernah

dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara (Herusatoto, 2008:11)

Menurut Koentjaraningrat (1987: 186) wujud kebudayaan ada tiga yaitu

(1) wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, norma-

morma, nilai-nilai, peraturan dan sebagainya; wujud ini berada pada alam pikiran

dari warga masyarakat atau dapat pula berupa tulisan-tulisan, karangan-karangan

warga masyarakat yang bersangkutan (2) wujud kebudayaan sebagai suatu

komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, wujud ini

berupa sistem sosial dalam masyarakat yang bersangkutan (3) wujud kebudayaan

sebagai benda-benda hasil karya manusia, ia berupa kebudayaan fisik yang

berbentuk nyata yang merupakan hasil karya masyarakat yang bersangkutan.

Wujud kebudayaan sebagai aktivitas akan membentuk suatu tradisi

tertentu dalam masyarakat. Tradisi adalah kebiasaan yang diwariskan secara turun

temurun dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu tradisi Jawa yang

sampai sekarang masih hidup dan dilestarikan keberadaannya adalah tradisi bersih

12

desa menurut Alwi (2002: 142) berarti membersihkan desa dari gangguan alam

dan sebagainya dengan upacara adat.

6. Etnolinguistik

a. Pengertian Etnolinguistik

Etnolinguistik berasal dari kata etnologi dan linguistik, yang lahir

karena penggabungan antara pendekatan yang bisa dilakukan oleh para

etnologi (sekarang antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik

(Ahimsa, 1997: 3). Etnolinguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang

hal yang berkaitan dengan masyarakat dan budaya yang mempunyai

perbedaan atau pembeda yang berupa leksikon antara masyarakat yang

satu dengan yang lain.

Menurut Sumarlam (2007: 64), hubungan antara bahasa dan

kebudayaan sangat erat. Bahkan sering sulit diidentifikasi karena

hubungan keduanya saling mempengaruhi, saling mengisi, dan berjalan

berdampingan. Bahasa berfungsi sebagai (1) sarana perkembangan

budaya,(2) jalur penerus kebudayaan, dan (3) inventaris ciri-ciri

kebudayaan.

Bahasa memiliki fungsi budaya, berarti bahasa selain membawa

pesan sekaligus juga merupakan pesan itu sendiri. Artinya bentuk bahasa

tertentu mengekspresikan masyarakat pemakainya (Sumarlam, 2007: 94).

13

b. Kajian Etnolinguistik

1) Linguistik untuk etnologi

Kajian tentang bahasa dengan maksud untuk mengetahui lebih

dalam kebudayaan suatu masyarakat yang tersimpan maka diperlukan

bahasa untuk mengungkapkannya. Salah satu kajian yang dapat

dilakukan adalah tentang studi pandangan hidup suatu masyarakat

adalah sebagaimana tercermin dari bahasa mereka. Bahasa dan

pandangan hidup masyarakat dapat dilihat dari ciri bahasa yang

mereka ucapkan.

2) Etnologi untuk linguistik

Salah satu bidang penting dalam studi bahasa adalah semantik

atau studi mengenai makna-makna yang ada dalam sebuah bahasa.

Para ahli bahasa seringkali mampu menyusun suatu kamus yang berisi

kata bahasa asing-nasional maupun lokal dengan lengkap, tetapi tidak

banyak yang mampu menyusun suatu kamus dengan kata-kata dan

makna yang lengkap karena suatu kata seringkali mempunyai makna

yang berbeda-beda, yang ditentukan oleh konteks dimana kata tersebut

muncul dengan konteks sosial budaya masyarakat pemilik bahasa

tersebut, sangat beraneka ragam, dan ahli bahasa tidak selalu mampu

menggali berbagai dimensi semantis karena memerlukan penelitian

lapangan dengan waktu yang cukup lama. Dalam konteks ini etnologi

dapat memberikan sumbangan pada linguistik (Ahimsa, 1997:1-15).

14

7. Makna

Makna adalah maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan

pada suatu bentuk kebahasaan (Alwi, 2002:703). Dalam penelitian ini, makna atau

arti dibedakan menjadi dua yaitu makna secara leksikal dan makna secara

kultural. Makna leksikal adalah sebuah kata yang sebenarnya atau makna yang

semua orang memiliki pandangan yang sama tentang kata tersebut. Makna

kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya

dengan budaya tertentu (Wakit, 1999: 3). Makna kultural ini yang dapat

membedakan masyarakat di satu daerah dengan daerah lain. Pada setiap daerah

memiliki suatu ciri yang menjadi pembeda dengan daerah lain, entah berupa

apapun itu. Dari makna leksikal dan makna kultural kita dapat mengetahui makna

daribentuk sesaji dalam tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli

Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Misalnya kata panggang [paGgaG]

makna leksikalnya adalah panggang. Makna kultural panggang [paGgaG] bagi

masyarakat Dusun Mangurejo adalah sebagai rasa syukur kepada Tuhan karena

telah memberi perlindungan dan kemakmuran bagi masyarakat desa. Dengan kata

lain panggang digunakan sebagai persembahan pada Tuhan yang telah

memberikan perlindungan dan kemakmuran selama hidup bermasyarakat.

Masyarakat percaya dengan memberikan sesaji panggang akan jauh dari

marabahaya dan musibah. Panggang iku ngalap gegadhuhipun raja kaya

maksudnya panggang itu sebagi korban persembahan kepada Tuhan Yang

Mahaesa. Panggang juga menjadi simbol bagi orang Jawa yakni dalam menjalani

kehidupan kita harus pasrah, pada saat keadaan diatas maupun dibawah.

13

15

8. Bentuk

a. Monomorfemis

Monomorfemis terjadi dari suatu morfem. Morfem (morpheme),

merupakan satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan yang

tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil, misalnya, (tulis,

jalan). Menurut Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan

menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal bebas yang

terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri

dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempunyai makna yang kategori jelas,

sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis.

Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan polimorfemis adalah

menggolongkan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata.

Pada dasarnya, semua kata yang tergolong pada kata dasar dapat

dikatakan morfem bebas dengan pengertian bahwa morfem itu dapat berdiri

sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati imbuhan. Dengan kata lain,

subyeknya belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat

tambahan apapun, belum diulang dan belum digabungkan atau dibentuk

menjadi kata majemuk.

b. Polimorfemis

Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang

berupa perangkaian morfem. Proses morfologis meliputi (a) pengimbuhan atau

afiksasi (penambahan afiks). Penambahan afiks dapat dilakukan di depan, di

tengah, dan di belakang morfem dasar. Afiks yang ditambah di depan disebut

16

awalan atau prefiks, yang di tengah disebut sisipan atau infiks, yang di

belakang disebut akhiran atau sufiks, yang di depan dan di belakang disebut

sirkumfiks atau konfiks. (b) pengulangan atau reduplikasi, reduplikasi

(reduplication) adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat

fonologis atau gramatikal, dan (c) pemajemukan atau komposisi yaitu proses

morfologis yang membentuk satu kata dari dua (atau lebih dari dua) morfem

dasar atau proses pembentukan dua kata baru dengan jalan menggabungkan

dua kata yang telah ada sehingga melahirkan makna baru. Arti yang

terkandung dalam kata majemuk adalah arti keseluruhan bukan menuruti arti

yang terkandung pada masing-masing kata yang mendukungnya.

c. Frasa

Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua

kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk

klausa (Kentjono, 1982: 57). Frasa seperti dengan kata, frasa dapat berdiri

sendiri. Frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya, baik

semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya, disebut frasa endosentrik,

dan frasa yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya

disebut frasa eksosentris (Ramlan, 2001: 141).

F. MetodePenelitian

Metode adalah keseluruhan jalan yang ditempuh sejak penulis

merumuskan kerangka pikirannya mengenai bahasa atau mengenai segi tertentu

dari bahasa (Subroto, 1996: 5).

17

Metode penelitian adalah cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih

dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati dan

menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan

dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan hipotesis atau

perumusan masalah, penentuan populasi, penentuan sampel, data, teknik

pemerolehan data, dan analisis data (Subroto, 1992: 31).

Dalam metode penelitian akan dijelaskan mengenai tujuh hal, yaitu: (1)

jenis penelitian, (2) lokasi penelitian, (3) data dan sumber data, (4) alat penelitian,

(5) metode pengumpulan data, (6) metode analisis data, dan (7) metode penyajian

hasil analisis data.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Jenis penelitian ini adalah

deskriptif kualitatif. Pemakaian penelitian deskriptif kulitatif supaya dapat

mengumpulkan segala aspek kebahasaan yang dipakai oleh masyarakat.

Pemakaian metode deskriptif kualitatif, akan dapat diketahui tentang segala

keadaan dan fenomena-fenomena yang ada dalam objek tersebut.

Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan secara

sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai

bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situasi dan kejadian.

Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud

mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari

implikasi. Contoh penelitian deskriptif yang paling popular adalah penelitian

survey (Azwar, 2007: 7).

18

Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang data-datanya berupa

kata-kata bukan angka. Deskriptif merupakan penggambaran yang nyata tentang

keadaan yang sebenarnya dari suatu peristiwa yang benar-benar terjadi. Kualitatif

merupakan penelitian yang nyata dan tanpa adanya rekayasa ataupun

menggunakan cara-cara seperti dalam statistik.

Jenis penelitian deskriptif kualitatif merupakan salah satu jenis penelitian

yang digunakan dalam penelitian lapangan, datanya konkret berupa kata-kata.

Pemakaian jenis penelitian ini, peneliti dapat menyajikan data yang mudah

dipahami oleh pembaca dalam situasi aslinya, yaitu situasi ketika tradisi dhekahan

dhusun berlangsung di Dusun Mangurejo.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau objek penelitian. Adapun lokasi

penelitian ini ada di wilayah Boyolali, yaitu lebih tepatnya di Dusun Mangurejo

Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Penulis mengambil lokasi

ini sebagai lokasi objek penelitian karena merupakan salah satu wilayah Jawa

yang masih melestarikan kebudayaan Jawa, terutama di bidang tradisi dhekahan

dhusun. Sehingga secara pasti pemilihan lokasi yang tepat juga sangat mendukung

dalam proses penelitian.

3. Data dan Sumber Data

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990: 3). Data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data lisan sebagai data utama yang akan diteliti, dan

data tulis sebagai data pembanding. Data lisan diperoleh dari informan, sedangkan

19

data tulis diperoleh dari buku-buku yang ada kaitannya dengan dhekahan dhusun

atau bersih desa.

Sumber data lisan dalam penelitian ini berasal dari informan terpilih yang

memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Sumber yang berasal dari informan

berupa tuturan dan peristiwa penting yang mengandung perangkat sesaji yang

dipakai dalam dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan

Nogosari Kabupaten Boyolali. Adapun kriteria informan yang terpilih yaitu, (1)

penduduk asli Dusun Mangurejo, (2) mengerti betul tentang tradisi dekahan desa,

(3) mengerti betul tentang Dhusun Mangurejo, (4) usia informan 30 sampai 60

tahun, (5) sehat jasmani dan rohani, (6) memiliki alat ucap yang lengkap, (7)

memiliki waktu yang cukup untuk wawancara, (8) bisa berbahasa indonesia

secara aktif, (9) alat pendengaran yang normal. Adapun informan yang dimaksud

yaitu bapak Samlani (pemimpin doa), bapak Wakidi (sesepuh Dusun Mangurejo),

bapak Suyatno (petani), bapak Sutar (pedagang), bapak Jumadi (pedagang), ibu

Semi (ibu rumah tangga), ibu wartini (ibu rumah tangga).

4. Alat Penelitian

Alat penelitian dalam penelitian ini adalah semua barang yang digunaka

untuk mendukung penelitian, yang berguna dalam membantu pengumpulan data.

Alat penelitian dalam penelitian lapangan etnolinguistik ini yang utama adalah

peneliti sendiri. Peneliti dibantu dengan alat rekam dan kamera digital untuk

memudahkan peneliti dalam menganalisis data yang akan dirangkum dalam

sebuah tulisan, disertai pula alat tulis yang berupa buku dan bolpoin.

20

5. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisa, dan

menjelaskan suatu fenomena. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan metode simak atau penyimakan atau metode pengumpulan data

dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Teknik dasarnya

menggunakan teknik sadap yaitu menyadap tuturan informan yang mengandung

perangkat sesaji dalam dhekahan desa. Teknik lanjutannya berupa teknik rekam

dan catat. Teknik rekam yaitu merekam tuturan informan yang menjelaskan

tentang tradisi dhekahan dhusun, menggunakan alat rekam. Teknik catat yaitu

mencatat apa yang dituturkan informan mengenai tradisi dhekahan dhusun,

menggunakan alat tulis. Data yang berupa rekaman ditranskripsikan dan

dikumpulkan dengan data hasil mencatat, kemudian diklasifikasikan untuk

dianalisis.

6. Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara yang digunakan untuk

menyelidiki suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Metode

analisis data yang digunakan dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif ini

menggunakan metode distribusional dan metode padan.

a. Metode Distribusional

Teknik yang digunakan adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL).

Teknik ini digunakan untuk membagi satuan bagian yang langsung membentuk

satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Teknik Bagi Unsur

Langsung (BUL) digunakan untuk menganalisis bentuk perangkat sesaji dalam

21

tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari

Kabupaten Boyolali, apakah berbentuk monomorfemis, polimorfemis, atau frase.

Contoh penerapan metode distribusional:

a) Panggang [paGgaG]

Panggang [paGgaG] „ayam yang dipanggang‟ panggang merupakan bentuk

monomorfemis, berkatagori nomina (N).

b) Gedhang raja [g|DaG rOjO]

Merupakan pemajemukan dari kata gedhang „pisang‟ + raja gedhang

raja „jenis pisang yang rasanya paling enak dan bentuknya tidak terlalu

panjang.‟

gedhang raja merupakan kategori Nomina.

c) Jadah [jadah]

22

Jadah [jadah] „makanan yang terbuat dari beras ketan‟ jadah merupakan

monomorfemis berkategori nomina (N).

b. Metode Padan

Metode padan adalah metode analisis data yang penentunya di luar,

terlepas dan tidak menjadi bagian yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13).

Metode ini dipakai untuk menganalisis makna. Dalam penelitian ini analisis data

bersifat konstektual yaitu analisis data dengan mempertimbangkan konteks sosial

yang melatar belakangi penggunaan bahasa yaitu mengenai perangkat sesaji

dalam tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Kecamatan Nogosari

Kabupaten Boyolali.

Contoh penerapan metode padan:

1) Makna Leksikal:

a) Panggang [paGgaG] adalah panggang.

b) Gedhang raja [g|DaG rOjO] adalah pisang raja.

c) Jadah [jadah] adalah jadah.

2) Makna Kultural

d) Panggang [paGgaG] satu ekor ayam yang disembelih dan

dibersihkan bulunya serta kotoran yang ada didalamnya, bagian

dada ayam dibelah kemudian bagian tengahnya ditusuk

menggunakan kayu. Setelah itu dipanggang diatas mawa tanpa

dikasih bumbu. Bagi masyarakat Dusun Mangurejo adalah sebagai

rasa syukur kepada Tuhan karena telah memberi perlindungan dan

kemakmuran bagi masyarakat. Dengan kata lain panggang

23

digunakan sebagai persembahan pada Tuhan yang telah

memberikan perlindungan dan kemakmuran selama hidup

bermasyarakat. Masyarakat percaya dengan memberikan sesaji

panggang akan jauh dari marabahaya dan musibah. Panggang iku

ngalap gegadhuhipun raja kaya maksudnya panggang itu sebagi

korban persembahan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Panggang juga

menjadi simbol bagi orang Jawa yakni dalam menjalani kehidupan

kita harus pasrah, terkadang dibawah terkadang diatas.

a) Gedhang raja [g|DaG rOjO] jenis pisang yang sering digunakan

dalam sesajian. Pisang raja ini berwarna kuning dan rasanya paling

enak diantara pisang yang lain bentuknya tidak terlalu panjang.

Bagi masyarakat Dusun Mangurejo adalah sebagai simbol agar

pemimpin (raja) didukung oleh seluruh rakyatnya. Suatu

masyarakat akan hidup tentram dan bahagia jika antara pemimpin

dan rakyatnya akan saling mendukung dan saling melengkapi.

Pemimpin (raja) tidak semena-mena pada rakyatnya tetapi ngayomi

pada rakyatnya, sehingga kehidupan akan tentram, makmur, dan

bahagia.

b) Jadah [jadah] sejenis makanan yang terbuat dari beras ketan yang

di masak dengan cara dikukus (didang) yang dicampur dengan

parutan kelapa dan garam kemudian ditumbuk sampai halus,

rasanya gurih dan biasanya ditaruh dijajan pasar. Jadah bagi

masyarakat Dusun Mangurejo mempunyai simbol sebagai lambang

kebenaran dan kesucian untuk menjauhkan diri dari gangguan alam

24

gaib. Lambang kebenaran dan kesucian diambil dari warna jadah

yang putih. Makna sesuai cara membuatnya yaitu dalam

menumbuk harus sungguh-sungguh supaya hasilnya lembut, begitu

pula dalam memohon sesuatu keinginan harus mantap „madhep

mantep‟ dan dalam memohon harus bersungguh-sungguh supaya

keinginan dapat terkabulkan.

7. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif

formal dan informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya

berdasarkan fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hidup

pada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993: 62)

Metode informal yaitu metode penyajian hasil analisis data yang

menggunakan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah dipahami. Analisis

metode informal dalam penelitian ini agar mempermudah pemahaman terhadap

setiap hasil penelitian. Metode formal yaitu metode penelitian data dengan

menggunakan dokumen tentang data yang dipergunakan sebagai lampiran.

Lampiran tersebut dapat berupa gambar-gambar, bagan, tabel, grafik, dan

sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan lampiran gambar yaitu gambar

dokumentasi foto.

G. Sistematika Penulisan

Sehubungan dengan penelitian ini, sistematika penulisan meliputi tiga bab.

Ketiga bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

25

Bab I Pendahuluan, bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian

dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II Hasil analisis data, dan pembahasannya, bab ini merupakan hasil

analisis dari pembahasan bentuk dan makna dari istilah-istilah dalam tradisi

dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari

Kabupaten Boyolali serta fungsinya.

Bab III Penutup, bab ini berisi kesimpulan dan saran.