25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan keleluasaan daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Otonomi daerah telah memberikan kewenangan begitu besar kepada daerah dan menuntut daerah untuk mandiri di dalam menyelenggarakan pemerintahannya sendiri membuat kebanyakan daerah belum mampu dan belum siap untuk dapat melaksanakan otonomi secara menyeluruh. Hal ini disebabkan karena selama sistem pemerintahan yang sentralistis telah membuat pemerintah pusat begitu dominan sehingga menjadikan pemerintah daerah sangat tergantung pada pemerintah pusat dan akibatnya kemampuan- kemampuan strategis yang ada dan dimiliki oleh daerah sangat lemah. Kehadiran otonomi daerah telah menggeser paradigma di dalam sistem pemerintahan dari sentralististik menjadi desentralisasi. Menurut Rondinelli dan Cheema (1983) (dalam Dwiyanto 2005, h. 47) desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam pemerintahan dari tingkat nasional ke daerah. Bentuk desentralisasi yang tengah digaungkan adalah governance decentralization yang berarti tidak sekedar melibatkan negara dalam proses transfer kewenangan namun juga melibatkan masyarakat dan aktor lainnya. Adapun tujuan dari diberlakukannya otonomi daerah (dalam Satuhu 2005, h. 2), yaitu : - meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat; - mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan;

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77106/potongan/S1-2014...Kulon Progo no. 16 Tahun 2008 yang ... Pemerintah Kabupaten Kulon Progo menerbitkan

  • Upload
    vananh

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otonomi daerah merupakan keleluasaan daerah dalam mengatur rumah

tangganya sendiri. Otonomi daerah telah memberikan kewenangan begitu besar

kepada daerah dan menuntut daerah untuk mandiri di dalam menyelenggarakan

pemerintahannya sendiri membuat kebanyakan daerah belum mampu dan

belum siap untuk dapat melaksanakan otonomi secara menyeluruh. Hal ini

disebabkan karena selama sistem pemerintahan yang sentralistis telah membuat

pemerintah pusat begitu dominan sehingga menjadikan pemerintah daerah

sangat tergantung pada pemerintah pusat dan akibatnya kemampuan-

kemampuan strategis yang ada dan dimiliki oleh daerah sangat lemah.

Kehadiran otonomi daerah telah menggeser paradigma di dalam sistem

pemerintahan dari sentralististik menjadi desentralisasi. Menurut Rondinelli

dan Cheema (1983) (dalam Dwiyanto 2005, h. 47) desentralisasi merupakan

pelimpahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam pemerintahan dari

tingkat nasional ke daerah. Bentuk desentralisasi yang tengah digaungkan

adalah governance decentralization yang berarti tidak sekedar melibatkan

negara dalam proses transfer kewenangan namun juga melibatkan masyarakat

dan aktor lainnya. Adapun tujuan dari diberlakukannya otonomi daerah (dalam

Satuhu 2005, h. 2), yaitu :

- meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat;

- mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan;

2

- mewujudkan good governance (transparansi, akuntabilitas, responsivitas,

law enforcement, dan adanya kemitraan diantara pemerintah, sektor

privat, dan civil society ).

Strategi untuk dapat menjawab tujuan otonomi daerah yang diterapkan

oleh pemerintah yaitu melalui capacity building. Penguatan kapasitas

kelembagaan (capacity building) menurut Grindle 1997 (dalam Nurhaeni 2009,

h. 335) memfokuskan pada dimensi pengembangan sumber daya manusia,

penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan. Strategi pemerintah daerah

dalam menghadapi otonomi daerah salah satunya dilakukan dengan cara

meningkatkan kapasitas kelembagaan melalui perubahan status desa menjadi

kelurahan (Satuhu 2005, h.6). Dengan diberlakukannya Undang-undang

Nomor 22 Tahun 1999 telah jelas bahwa desa-desa yang berada di wilayah

Kotamadya, Kotamadya Administratif, dan Kota Administratif berubah

statusnya menjadi kelurahan. Begitupun yang tertera pada Perda Kabupaten

Kulon Progo no. 16 Tahun 2008 yang kemudian digantikan dengan Perda no. 9

Tahun 2009 yang menerangkan perubahan status Desa Wates menjadi

kelurahan. Dalam kurun waktu 2005 hingga 2010, Desa Wates telah lolos

pengkajian yang merubah status desa menjadi kelurahan dan merupakan satu-

satunya kelurahan di Kabupaten Kulon Progo hingga tahun 2014 ini. Sebagai

tindak lanjut dari Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 17 Tahun 2008 Pasal 6

ayat (3), Pemerintah Kabupaten Kulon Progo menerbitkan peraturan Bupati

Kulon Progo Nomor 56 Tahun 2010 tentang uraian Tugas Unsur Organisasi

Terendah pada Kelurahan.

3

Berubahnya status desa menjadi kelurahan yang sesuai dengan tujuan

otonomi daerah berupa peningkatan pelayanan perlu dibuktikan dengan melihat

perbedaan pada penyelenggaraan pelayanan publik di desa dan kelurahan.

Perlu diketahui bahwa pelayanan publik adalah hak dasar warga negara yang

harus dipenuhi negara.

Pada umumnya pelayanan kewarganegaraan merupakan hak dasar warga

negara yang harus dipenuhi oleh negara. Salah satu bentuk pelayanan

kewarganegaraan adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pelayanan

kewarganegaraan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh negara dan

masyarakat. Pada satu sisi negara membutuhkan pendataan penduduknya

melalui pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan disisi yang lain

masyarakat membutuhkan pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk

dapat mengakses pelayanan yang diselenggarakan oleh negara. Selain

dipilihnya civil service yang erat dengan pelayanan yang dilakukan pada

pemerintahan desa atau kelurahan, pelayanan pemerintahan desa atau

kelurahan juga berhadapan langsung dengan masyarakat atau dalam pelayanan

publik diposisikan sebagai frontline services provider.

Berangkat dari isu perubahan status desa menjadi kelurahan yang

dikaitkan dengan perkembangan konsep pelayanan publik tersebut, peneliti

akan melihat “Bagaimana implikasi perubahan status desa menjadi

kelurahan terhadap pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di

Kelurahan Wates Kecamatan Wates Kabupaten Kulon Progo?” Dalam

penelitian ini peneliti akan menelisik kesesuaian konsep New Public Services

dengan pelayanan yang diberikan oleh kelurahan.

4

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat

dirumuskan suatu permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

“Bagaimana implikasi perubahan status desa menjadi kelurahan terhadap

pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Kelurahan Wates Kecamatan

Wates Kabupaten Kulon Progo?”

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui implikasi perubahan status desa menjadi Kelurahan

terhadap pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Kelurahan Wates

Kecamatan Wates Kabupaten Kulon Progo.

D. Manfaat Penelitian

1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa telah

berubahnya status desa berimplikasi terhadap pelayanan KTP di kelurahan.

2. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuwan

mengenai implikasi perubahan status desa menjadi kelurahan terhadap

pelayanan KTP di Kelurahan.

E. Literature Review

Penelitian terkait perubahan status desa menjadi kelurahan pernah

dilakukan oleh Dewi Kurniasih (2012) yang berjudul Perubahan Status Desa

menjadi kelurahan di Kabupaten Bandung dan Ongky Asep Satuhu (2005)

yang berjudul Dampak Perubahan Status Desa menjadi kelurahan di Kota

Kediri. Temuan dari kedua penelitian tersebut kemudian dibandingkan dengan

penelitian yang akan peneliti lakukan di Kabupaten Kulon Progo dengan judul

Implikasi Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan terhadap Pelayanan Kartu

5

Tanda Penduduk di Kelurahan Wates Kecamatan Wates Kabupaten Kulon

Progo. Berikut perbandingan ketiga penelitian tersebut dengan melihat dari

beberapa aspek.

Tabel 1.1 Perbedaan penelitian sekarang dan sebelumnya

Judul

Penelitian

Aspek

Penelitian

Perubahan Status

Desa Menjadi

Kelurahan di

Kabupaten

Bandung

Dampak

Perubahan Status

Desa Menjadi

Kelurahan di

Kota Kediri

Implikasi

Perubahan

Status Desa

Menjadi

Kelurahan

Terhadap

Pelayanan KTP

di Kelurahan

Wates

Lokus

Penelitian

Lima Desa (Desa

Cingcin, Desa

Sadu, Desa

Sekarwangi, Desa

Soreang, Desa

Parung Serab) di

Kabupaten

Bandung

Desa-desa di

Kabupaten Kediri

Desa Wates

merupakan desa

satu-satunya di

Kabupaten Kulon

Progo yang

berubah statusnya

menjadi

kelurahan.

Tujuan

penelitian

Untuk menguji

kelayakan lima

Desa yang telah

dirubah statusnya

menjadi kelurahan

Untuk mengetahui

dampak- dampak

dari perubahan

status desa menjadi

kelurahan.

Untuk

mengetahui

implikasi

perubahan status

desa menjadi

kelurahan

terhadap

pelayanan KTP di

kelurahan

Latar belakang

perubahan

status desa

Peningkatan

pelayanan publik

pada level

pemerintahan desa

dimana

masyarakatnya

sudah mengalami

perubahan.

Strategi pemerintah

Daerah dalam

merespon otonomi

Daerah melalui

capacity building.

Strategi

pemerintah

Daerah dalam

merespon tujuan

otonomi Daerah

yang salah

satunya tentang

peningkatan

pelayanan publik

6

melalui capacity

building.

Hasil

Penelitian

Tiga desa dianggap

belum layak

menjadi kelurahan

karena sarana dan

prasarana belum

memadai.

Dampak perubahan

status desa meliputi

peningkatan pada

pelayanan dan

sistem

organisasional.

Perubahan

pelayanan KTP

ditingkat

Kelurahan.

Perubahan

pelayanan

Tidak dijelaskan Perbaikan waktu

pelayanan dan cara

mendapatkan

pelayanan serta

menimbulkan pola

perilaku baru yaitu,

menuntut peran

serta dan partisipasi

aktif dari

masyarakat dalam

kegiatan

keorganisasian

maupun

pembangunan

Mengalami

perubahan

pelayanan

kewarganegaraan

(civil service)

khususnya

pelayanan KTP di

kelurahan

Latar belakang

keilmuwan/

perspektif

keilmuwan

Administrasi Administrasi Politik (relasi

antara pengguna

layanan dan

penyelenggara

layanan)

Berdasarkan tabel 1.1 dapat diamati perbedaan penelitian terkait

perubahan status desa yang akan dilakukan di Kulon Progo dengan kedua

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Menarik untuk dilakukan

penelitian lebih lanjut bagaimana perubahan pelayanan publik yang selama ini

menjadi tujuan dari perubahan status desa menjadi kelurahan. Terlebih

penelitian yang akan dilakukan ini mengambil lokus pada Desa Wates yang

kini telah berubah menjadi kelurahan dan satu-satunya desa yang dirubah

statusnya di Kabupaten Kulon Progo. Kedua penelitian sebelumnya abai dalam

7

melihat perubahan pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Oleh karena itu,

penelitian ini akan melihat peningkatan pelayanan publik dari desa ke

kelurahan dengan melihat implementasi NPS pada Kelurahan Wates.

F. Kerangka Teori

1. Perubahan desa menjadi kelurahan

a. Desa

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

kewenangan otonom berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat

yang sudah dimiliki sejak dulu kala dan melekat dalam masyarakat desa

bersangkutan (Nurcholis 2007, h. 37). Istilah desa adalah pembagian

wilayah administratif dibawah kecamatan, yang dipimpin oleh kepala

desa. Pemerintahan desa yang semula merupakan unit pemerintahan

terendah di bawah Camat, berubah menjadi sebuah “self governing

community” yang mempunyai kebebasan untuk mengurus kepentingan

masyarakat setempat dan mempertanggung jawabkannya pada

masyarakat setempat pula. Berbeda dengan masa orde baru dimana setiap

desa di seluruh Indonesia diseragamkan dengan mengacu pada desa yang

berada dipulau Jawa. Padahal kenyataannya setiap desa memiliki

karakteristik budaya, sejarah, dan pengelolaan pemerintah yang berbeda.

Namun ketika lahirnya otonomi desa selepas runtuhnya orde baru maka

kini setiap desa memiliki kewenangan mengurusi pemerintahan desanya

sendiri. Pada masa penjajahan Inggris, belum ada konsep negara yang

dimasukkan kedalam desa. Namun berawal dari masa kolonial hadir

sebutan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (Eko 2005, h.444).

8

Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berarti mempunyai

otonomi didasarkan atas adat istiadat setempat maka otonomi desa

disebut otonomi adat. Berbeda dengan pemerintahan Provinsi,

Kabupaten, atau Kota yang mempunyai otonomi formal yang didasarkan

pada undang-undang. Hal ini ditegaskan oleh Nurcholis (2007, h. 234)

dalam bagan gambar 1.1.

Gambar 1.1 Bagan Otonomi Pemerintahan Kabupaten/kota dan Desa

(Nurcholis 2007, h.234)

Berdasarkan bagan diatas telah jelas bahwa desa berhak mengatur

urusan-urusan yang secara adat telah diatur dan diakui oleh undang-

undang. Desa dalam menjalankan tugasnya berdasarkan bagan diatas

tidak lagi dibawah kecamatan, tetapi dibawah Kabupaten. Hal ini telah

ditegaskan dalam UU No. 22/ 1999 dan UU No. 32/ 2004. Kecamatan

yang tidak lagi sebagai suatu wilayah yang membawahi desa, berarti

camat hanyalah staf daerah kabupaten yang mengurusi desa-desa.

Pemerintahan desa terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa,

Kepala Urusan, Pelaksana Urusan, Kepala Dusun, dan BPD (Badan

Permusyawaratan Desa). Kepala Desa yang merupakan kepala

pemerintahan desa memiliki tugas dan kewajiban meliputi:

1. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa

Otonomi

Formal

Otonomi

Adat Desa Desa Desa Desa

Pemerintahan Kabupaten/ Kota

9

2. Membina kehidupan masyarakat desa

3. Membina perekonomian desa

4. Membina Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat desa

5. Mendamaikan perselisihan masyarakat di desa

6. Mewakili desanya didalam dan luar pengadilan dan dapat

menunjuk kuasa hukumnya.

Kepala Desa akan dibantu oleh sekretaris desa dalam bidang

pembinaan administrasi dan memberikan pelayanan teknis kepada

seluruh perangkat pemerintahan desa. Jika kepala desa dipilih langsung

oleh masyarakat melalui pemilihan langsung, lain halnya dengan

sekretaris Desa yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah

memenuhi syarat sebagai Kepala Desa. Sekretaris Desa adalah satu-

satunya perangkat desa yang berstatus sebagai PNS. Sekretaris Desa ini

akan dibantu oleh Kepala Urusan. Perangkat desa lainnya adalah

Pelaksana Urusan bertugas melaksanakan urusan teknis dilapangan yang

bertanggungjawab kepada Kepala Desa. Sama halnya dengan Pelaksana

Urusan, perangkat desa berikutnya adalah Kepala Dusun yang juga

bertanggungjawab kepada Kepala Desa dalam menjalankan tugas di

wilayah kerjanya. Perangkat pemerintahan desa berikutnya adalah BPD

(Badan Permusyawaratan Desa) yang merupakan bagian dari penyalur

aspirasi masyarakat, anggotanya terdiri dari Ketua RT/RW, pemangku

adat, dan tokoh masyarakat.

Seluruh aparatur pemerintahan desa digaji melalui PADes

(Pendapatan Asli Desa). Adanya otonomi desa membebaskan desa untuk

10

mencari sumber pembiayaan sendiri. Sumber pendapatan desa dikelola

melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD

dengan berpedoman pada APBDes yang ditetapkan Bupati. Dengan

demikian pada dasarnya, Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat

desa. Kepala Desa harus menyampaikan pokok-pokok

pertanggungjawabannya. Namun PADes bukanlah sumber pembiayaan

utama desa, karena dalam perjalanannya PADes memiliki keterbatasan.

ADD (Alokasi Dana Desa) menjadi sumber pembiayaan utama Desa

karena terbatasnya PADes. Untuk itulah dalam PP 72/2005 telah

mengatur sumber pembiayaan bagi desa dalam rangka memberikan

pelayanan pada masyarakat antara lain dari sumber-sumber Pendapatan

Asli Desa, adanya kewajiban bagi Pemerintah dari pusat sampai dengan

Kabupaten/Kota untuk memberikan transfer dana bagi Desa, hibah

ataupun donasi. Salah satu bentuk transfer dana dari pemerintah adalah

Alokasi Dana Desa (ADD) yang telah ditetapkan sebesar 10% dari dana

perimbangan pemerintahan pusat dan daerah yang diterima masing–

masing Pemerintah Kabupaten/Kota. Ketentuan formal yang mengatur

ADD secara lebih jelas sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah

tersebut ada dalam Permendagri 37/2007 pada Bab IX. Dalam

Permendagri tersebut telah cukup dijelaskan mulai tujuan ADD, tata cara

penghitungan besaran anggaran per desa, mekanisme penyaluran,

penggunaan dana sampai dengan pertanggungjawabannya.

11

b. Kelurahan

Kelurahan menurut Nurcholis (2007, h. 232) adalah wilayah kerja

Lurah sebagai perangkat daerah Kabupaten/ Kota dibawah kecamatan

yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. Kelurahan yang dipimpin oleh

seorang Lurah yang diangkat dari Pegawai Negeri Sipil oleh Bupati/

Walikota atas usul Camat. Lurah melalui Camat bertanggungjawab

kepada Bupati/ Walikota. Tugas Lurah meliputi : penerimaan sebagian

pelimpahan kewenangan dari Bupati/ Walikota, pelaksanaan kegiatan

pemerintahan kelurahan, pemberdayaan masyarakat, pelayanan

masyarakat, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, dan

pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.

Pelaksanaan pemerintah kelurahan akan terlaksana secara optimal

apabila diikuti dengan pemberian sumber-sumber keuangan yang

besarnya diselaraskan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan

tuntutan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu dana merupakan faktor

penunjang dalam pengembangan kelurahan. Pelaksanaan alokasi dana

kelurahan membutuhkan persepsi dari pimpinan dan masyarakat

kelurahan untuk melihat sejauh mana pelaksanaan dari alokasi dana

kelurahan tersebut mengingat maksud dari alokasi dan kelurahan tersebut

oleh pemerintah kabupaten ialah untuk membiayai program Pemerintah

Kelurahan dalam melaksanakan pemerintahan dan pemberdayaan

masyarakat. Dengan demikian pembiayaan penyelenggaraan kelurahan

menjadi beban Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sesuai

dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004.

12

c. Perubahan dan perbedaan

Berubahnya status desa menjadi kelurahan sebagai jawaban dari

otonomi daerah yang dilakukan dengan strategi capacity building

(penguatan kapasitas kelembagaan). Menurut Rayanto (2009, h. 87)

penguatan kapasitas kelembagaan dapat dilihat dari pendekatan individu,

sistem, maupun kelembagaan. Dalam kasus perubahan status desa

menjadi kelurahan untuk melihat dampaknya terhadap proses

penyelenggaraan pelayanan publik kita dapat melihat dari pendekatan

individu yakni Sumber Daya Manusia (SDM) yang berada sebagai

perangkat desa dan kelurahan.

Perubahan status desa menjadi kelurahan telah turut merubah SDM

sebagai penyelenggara pelayanan publik dari yang sebelumnya diisi oleh

pegawai bukan PNS (Pegawai Negeri Sipil) kemudian diisi oleh PNS. Ini

dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 pada Bab

XI Pasal 103 ayat 3, yakni:

Sekretaris Desa yang ada selama ini yang bukan Pegawai Negeri

Sipil secara bertahap diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil yang

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

Kemudian Mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999

dalam Pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa:

“Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara

yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam

penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan

pembangunan”.

Sebagai penyelenggara pelayanan publik dengan adanya perubahan

status desa menjadi kelurahan telah menjadikan Sekretaris Desa diangkat

13

sebagai PNS, namun tidak untuk Kepala Desa. Kepala Desa hanya

berganti menjadi Lurah seiring dengan status desa yang berubah menjadi

kelurahan. Posisi perangkat desa setelah menjadi kelurahan akan diisi

oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) atas rekomendasi Pemerintah Daerah

Kabupaten.

Perubahan status desa menjadi kelurahan selain merubah aparatur

pemerintahan juga turut merubah sumber pembiayaan. Kekayaan dan

sumber-sumber pendapatan yang menjadi aset desa berubah menjadi aset

pemerintah Kota/Kabupaten. Dengan demikian pembiayaan

penyelenggaraan kelurahan menjadi beban Anggaran Pendapatan Belanja

Daerah (APBD) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

dalam Pasal 4:

(1) Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka

pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tersebut

kelurahan yang didanai oleh APBD salah satu tujuannya untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat. Adanya dana APBD yang

diterima oleh setiap kelurahan akan disesuaikan dengan kebutuhan dan

jumlah penduduk di kelurahan.

2. Pelayanan Publik

a. Definisi pelayanan publik

Pelayanan publik pada umumnya kerap dikaitkan dengan fungsi

pemerintah. Pemerintah sebagai aktor dari negara dituntut mampu

menjalankan fungsi pelayanan publik demi terpenuhinya hak dasar warga

14

negara. Dalam Kamus Umum Besar Indonesia yang dimaksud dengan

pelayanan adalah usaha untuk melayani kebutuhan orang lain, sedangkan

yang dimaksud dengan publik adalah umum. Menurut Moenir (dalam

Anggraeni 2007, h. 13) pelayanan umum tidak terlepas dari segala yang

menyangkut kepentingan orang banyak/ masyarakat. Kepentingan umum

tersebut haruslah tidak bertentangan dengan norma dan aturan yang

bersumber dari kebutuhan (hajat hidup) orang banyak/masyarakat dan

bersifat kolektif maupun individual.

Pelayanan publik dan barang publik adalah satu kesatuan yang

menjadi tuntutan masyarakat terhadap pemerintah. Pelayanan adalah cara

dan barang publik adalah bentuk dari pemberian pelayanan. Menurut

Nurcholis (2007, h. 290) barang publik (public goods) adalah barang-

barang yang dapat digunakan secara bersama oleh semua orang tanpa

seorangpun dikecualikan dalam menggunakannya (non excludable) dan

tidak ada persaingan (non rivalry).

Pelayanan publik berdasarkan Keputusan Menteri PAN Nomor

63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan

Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan

oleh penyelenggara publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan

penerima layanan maupun pelaksanakan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Telah dijelaskan pula dalam Keputusan Menteri PAN tersebut

bahwa kelompok pelayanan terdiri dari kelompok pelayanan barang,

kelompok pelayan jasa, dan kelompok pelayanan administrasi.

Herdyansyah (dalam Nursalim 2014, h.26) menyebutkan faktor-

15

faktor yang memengaruhi pelayanan publik meliputi 3 unsur penting

yaitu: Unsur pertama, organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan

yaitu Pemerintah/Pemerintah Daerah, unsur kedua, adalah penerima

layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang

berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan atau

diterima oleh penerima layanan (pelanggan).

Berdasarkan konsep pelayanan publik yang telah dijelaskan, dalam

penelitian ini pelayanan publik yang dimaksud adalah pelayanan yang

ditujukkan pada kepentingan umum yang tidak ada persaingan

didalamnya. Pelayanan publik akan difokuskan pada Kelompok

Pelayanan Administrasif. Kelompok pelayanan administrasi yang

dimaksud yaitu pelayanan yang menghasilkan dokumen resmi yang

dibutuhkan oleh publik, misalnya : KTP, Akte Kelahiran, IMB, dan

sebagainya. Karena pada dasarnya pelayanan administrasi ini tidak

terlepas dari tugas dan fungsi negara.

b. Jenis pelayanan publik

Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 dalam (Yable

2012, h.10) pelayanan publik dikelompokkan kedalam tiga jenis

pelayanan, yaitu:

1) Kelompok pelayanan barang

Pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang

yang digunakan oleh publik, seperti: jaringan telepon, penyediaan

tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.

16

2) Kelompok pelayanan jasa

Pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang

dibutuhkan oleh publik, seperti: pendidikan, penyelenggaraan

transportasi, pos, dan sebagainya.

3) Kelompok pelayanan administrasi

Pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi,

seperti: Status Kewarganegaraan (KTP), Sertifikat Kompetensi

(SIM), Kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan

sebagainya.

Soedjatmo (dalam Anggraeni 2007, h. 13) menjelaskan bahwa

pelayanan administratif/pelayanan kewarganegaraan (civil service) yang

sebenarnya bukan merupakan bentuk pelayanan murni melainkan lebih

sebagai instrumen pengontrol pemerintah terhadap rakyat. Aini pun

mengemukakan (dalam Anggraeni 2007, h.13) Civil service merupakan

pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sebagai warga negara tanpa

pandang kelas dan besarnya imbalan. Misal seseorang yang mengurus

surat jalan harus dilayani sama dengan orang lain yang mempunyai

kedudukan tinggi.

Berdasarkan paparan jenis pelayanan publik diatas, yang menjadi

fokus penelitian adalah jenis pelayanan publik civil service (pelayanan

kewarganegaraan). Dipilihnya civil service mengingat bahwa pelayanan

jenis ini identik dengan pelayanan yang diberikan oleh kelurahan sebagai

front line service provider.

17

G. Definisi Konseptual

Berdasarkan kerangka konseptual tersebut, ditentukan definisi konseptual

sebagai berikut :

1. Perubahan status desa menjadi kelurahan menurut penelitian ini adalah

perubahan sumber daya dan sumber pembiayaan pada kelurahan setelah

berubah status.

2. Pelayanan publik menurut penelitian ini ditujukkan pada jenis pelayanan

kewarganegaraan yakni pelayanan KTP yang mengalami perubahan setelah

desa berubah status menjadi Kelurahan.

H. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan suatu cara atau alat atau petunjuk

bagaimana mengukur suatu variabel melalui suatu indikator-indikator untuk

mempermudah pengukuran. Secara operasional, perubahan status desa menjadi

kelurahan berdampak terhadap pelayanan KTP di Kelurahan, meliputi:

1. Pengelolaan pelayanan KTP oleh pemerintah daerah

2. Pengelolaan pelayanan KTP oleh pemerintah kelurahan

H. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini maka

penggunaan metode penelitian kualitatif dianggap dapat menjelaskan

permasalahan dalam penelitian ini karena penelitian kualitatif bermaksud

untuk memahami fenomena yang berkaitan dengan implementasi NPS di

kelurahan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada

suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai

18

metode alamiah. Ditegaskan dalam Moleong (2001, h.3) oleh Bogdan dan

Taylor yang mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Selain itu, dalam penelitian ini

dipilih pendekatan studi kasus dengan alasan mencoba untuk mencermati

individu atau sebuah unit secara mendalam. Surakhmad (1982, h. 143)

mengatakan, studi kasus memusatkan penelitian pada suatu kasus secara

intensif dan mendetail. Termasuk di dalam perhatian peneliti itu adalah

segala sesuatu yang mempunyai arti dalam riwayat kasus, misalnya

peristiwa terjadinya, perkembangannya, dan perubahan-perubahannya

dengan perubahan pelayanan Kartu Tanda Penduduk sebagai unit

analisisnya. Penelitian ini akan secara tegas mencari seberapa besar

pengaruh antar variabel yakni variabel implikasi perubahan status desa

menjadi kelurahan dengan variabel pelayanan Kartu Tanda Penduduk di

kelurahan.

2. Informan penelitian

Dalam penelitian ini penentuan informan dimaksudkan untuk mencari

informasi sedalam mungkin. Menurut Satuhu (2007, h. 36) penentuan

informan penelitian bertujuan untuk menentukan obyek yang diteliti. Karena

dengan adanya obyek penelitian, peneliti mendapatkan informasi dari

informan yang menguasai dan mengetahui secara mendalam tentang proses

implementasi dan dampak dari kebijakan (key person). Penentuan informan

dilakukan secara purposive (bertujuan) karena dengan cara ini pengambilan

19

informan bisa berkembang di lapangan. Proses ini berhenti sampai pada titik

dimana informasi yang didapat mencapai kejenuhan.

Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah pemerintah dan

masyarakat. Pada level pemerintah yang akan menjadi informan adalah

pemerintah Kelurahan Wates sebagai penyelenggara layananan. Peneliti

akan mewawancarai Kepala Kelurahan, Sekretaris Kelurahan, dan aparatur

Kelurahan Wates lainnya bila dirasa data belum memadai. Selain pegawai

kelurahan, perlu digali informasi pula mengenai pelayanan dari level

RT/RW. Karena pelayanan dimulai dari pengantar yang dibuat dari RT/RW.

Selain itu juga diperlukan penggalian data pada Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kabupaten Kulon Progo sebagai triangulasi data terkait

pelayanan di kelurahan.

Menilik yang dikemukakan oleh Saraswati & Widaningsih (2006, h.

13) bahwa penduduk Indonesia memiliki pengertian semua orang yang

tinggal di wilayah negara Indonesia dan telah menetap sekurang-kurangnya

enam bulan disaat pendataan penduduk. Penduduk Indonesia terdiri atas

warga negara Indonesia pribumi dan warga negara Indonesia keturunan

asing. Dipilihnya informan penduduk yakni warga negara pribumi di

kelurahan Wates karena informan ini dapat memberikan informasi

pelayanan kewarganegaraan di Kelurahan Wates. Seperti yang telah

diketahui bahwa penelitian ini fokus terhadap pelayanan Kartu Tanda

Penduduk (KTP) yang pada umumnya diakses oleh penduduk yang berusia

diatas 17 tahun. Untuk itu informan yang dipilih adalah penduduk pribumi

Kelurahan Wates yang telah berusia 17 tahun ke atas. Kemudian pada level

20

masyarakat yang menjadi informan adalah masyarakat yang tercatat sebagai

warga di Kelurahan Wates. Informan masyarakat ini ditunjukkan kepada

masyarakat yang memiliki jarak tempat tinggal terdekat dan terjauh dari

kantor pemerintahan Kelurahan Wates. Masyarakat yang menjadi informan

pertama adalah masyarakat yang bertempat tinggal paling dekat dengan

kantor pemerintahan Kelurahan Wates dan informan masyarakat kedua

ditunjukkan pada masyarakat yang bertempat terjauh jaraknya dari kantor

pemerintahan Kelurahan Wates. Masyarakat terdekat dengan kantor

pemerintahan Kelurahan Wates adalah RT 17/RW 08 dan RT 57/RW 29.

Masyarakat terjauh dengan kantor pemerintahan Kelurahan Wates adalah

RT 01/RW01 dan RT 02/RW 01. Jumlah informan baik dari level

pemerintah maupun masyarakat belum bisa ditentukan, selama data belum

memadai maka penggalian informasi akan terus dilakukan baik terhadap

informan yang sudah ditentukan maupun mencari informan tambahan.

Berikut daftar informan yang telah diwancarai :

Tabel 1.2 Daftar informan yang diwawancarai

No Nama Profesi/ Jabatan

1. R. Sigit Purnomo S.IP Lurah Wates

2. Slamet Nuryana S.IP Sekretaris Kelurahan Wates

3. Mulyono S.IP Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan

Wates

4. Tri Anggoro Staf Kasi Pemerintahan Kelurahan

Wates

5. Diah Pratiwisari S.IP Kepala Seksi Ekonomi dan

pembangunan Kelurahan Wates

6. Dra. Maryati, S.H. Kasi Perkembangan Pendudukan

Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil Kabupaten Kulon Progo

7. Tri Aryani, S.H. Kepala Bidang Data dan TI Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil

21

Kabupaten Kulon Progo

8. Dra. R.R. Arifiati

Nugrahani

Kepala Seksi Pendaftaran Penduduk,

Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil Kabupaten Kulon Progo

9. Sugiatno S.H Ketua RW 08

10. Jumirin Ketua RT 02

11. Agus Hassanudin Warga RT 17/RW 8 Kelurahan Wates,

pedagang warung kopi.

12. Setun Warga RT 57/RW 29 Kelurahan

Wates, pelukis dan penjaga masjid

13. Teguh Warga RT 01/RW 01 Kelurahan

Wates, supir.

14. Suminah Warga RT 02/RW 01 Kelurahan

Wates, buruh.

15. Jumari Warga yang transmigran dari

Kelurahan Wates ke Kelurahan

Pengasih Kecamatan Pengasih

16 Kamisah Warga RT 05/RW 03Kelurahan

Wates, Petani.

17. Suratih Warga RT 06/ RW 03 Kelurahan

Wates, Guru SMP.

18. Indah Warga RT 03/ RW 02 Kelurahan

Wates, Pedagang.

3. Teknik pengumpulan data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini merupakan data

primer dan sekunder. Data primer merupakan kata-kata dan tindakan dari

subjek yang diteliti yang dikumpulkan melalui observasi dan wawancara

mendalam. Observasi dilakukan ketika penulis melakukan pengamatan

perubahan konsep pelayanan publik di Kelurahan Wates. Kemudian untuk

wawancara dilakukan bersamaan dengan observasi di Kelurahan Wates.

Data sekunder diperoleh melalui sumber-sumber tertulis seperti buku-buku,

skripsi, tesis, laporan penelitian, peraturan-peraturan, media cetak, majalah,

jurnal ilmiah, arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi lembaga-lembaga

22

yang terkait dengan penelitian ini serta artikel-artikel dalam internet. Teknik

pengumpulan data dilakukan melalui :

a. Wawancara mendalam

Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan untuk

menggali data dan informasi kualitatif langsung dari responden sebagai

sumber data primer. Dengan wawancara secara mendalam ini terjadi

komunikasi langsung antara peneliti dengan responden dan masing-

masing pihak mengemukakan pendapatnya sehingga diperoleh data dan

informasi langsung dari responden. Dengan demikian peneliti sebagai

instrumen dituntut bagaimana membuat responden lebih terbuka dan

leluasa dalam memberi informasi dan data, untuk mengemukakan

pengetahuan dan pengalamannya terutama yang berkaitan dengan

informasi sebagai jawaban terhadap permasalahan penelitian sehingga

terjadi semacam dikusi, obrolan santai, spontanitas (alamiah) dengan

subjek penelitian sebagai pemecah masalah dan peneliti sebagai

pemancing timbulnya permasalahan agar muncul wacana yang detail.

Wawancara dilakukan pada pihak pemerintah dan masyarakat.

Pada pihak pemerintah selaku backline service provider yang akan

diwawancarai adalah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Kemudian

untuk pihak pemerintah selaku frontline service provider yang akan

diwawancarai adalah Kepala Kelurahan Wates, Sekretaris Kelurahan, dan

aparatur pemerintahan kelurahan lainnya. Kemudian pada responden

masyarakat lokal, yang akan diwawancarai adalah masyarakat yang

tercatat sebagai penduduk di Kelurahan Wates atau warga negara pribumi

di Kelurahan Wates.

23

Usai melakukan wawancara mendalam, guna melakukan

kesesuaian dengan fakta di lapangan maka peneliti melakukan observasi.

Observasi merupakan metode pengumpulan data dengan cara melakukan

pengamatan langsung untuk mengumpulkan data, mencatat segala

informasi, serta hal-hal yang relevan dengan permasalahan yang diangkat

dalam penelitian. Observasi dilakukan dengan peninjauan langsung

terhadap pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berlangsung di

Kelurahan Wates.

b. Sumber data sekunder

Pencarian data Sekunder dilakukan untuk mengumpulkan data dan

informasi yang berupa tulisan atau artikel, data statistik dan bahan-bahan

pustaka yang membahas permasalahan yang sama dengan peneliti. Data-

data yang diperoleh dari pengumpulan dokumentasi kemudian dijadikan

referensi yang menunjang proses penelitian. Sumber data sekunder dapat

peneliti peroleh dari laporan evaluasi pelayanan Kewarganegaraan

berupa pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang diberikan sejak

Wates masih berstatus desa hingga kini berubah status menjadi

kelurahan. Sumber data lain juga dapat diperoleh dari penelitain yang

sudah dilakukan terkait perubahan status Desa Wates menjadi Kelurahan

Wates.

4. Teknik analisis data

Menurut Moleong ( 20001, h. 190) proses analisa data dimulai dengan

menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari hasil

wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan,

24

dokumen pibadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Data dan

informasi yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai

berikut:

a. Data yang dikumpulkan dari hasil wawancara, observasi yang sudah

ditulis dalam catatan lapangan langsung dilakukan analisa. Untuk

selanjutnya dilakukan reduksi data dengan jalan membuat abstrakasi

yang berupa rangkuman inti.

b. Data yang dikumpulkan diseleksi dan dilakukan interpretasi terhadap

data tersebut. Data kemudian disusun dalam satuan-satuan, yaitu

dimasukan kedalam variabel-variabel penelitian yang terdiri dari

implikasi perubahan status desa menjadi kelurahan dan pelayanan Kartu

Tanda Penduduk (KTP). Untuk memudahkan dalam penyusunan data ke

dalam variabel-variabel maka dilakukan kodifikasi atas data yang

terkumpul seperti penandaan jenis responden, penandaan lokasi, dan

penandaan cara pengumpulan data.

c. Tahap terakhir yaitu mengadakan pemeriksaan keabsahan data yang

kemudian dilanjutkan dengan tahap penafsiran data dalam mengolah

hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan metode

triangulasi. Menurut Satuhu (2007, h.41) triangulasi diperlukan untuk

keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data. Cara pengecekan

yang digunakan adalah menggunakan uraian pokok pertanyaan yang

sama dengan sumber (responden) yang berbeda. Responden yang

dimaksud berbeda dengan pertanyaan yang sama dalam penelitian ini

seperti Kepala Kecamatan Wates yang diharapkan dapat memberikan

25

jawaban baik lisan maupun tertulis yang diharapkan dapat menunjang

validasi data.

I. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun atas lima Bab, Bab I berupa Pendahuluan yang

berisi latar belakang masalah yaitu meliputi alasan mengapa topik dipilih,

rumusan masalah dan pertanyaan penelitian. Berdasarkan kerangka teori diatas,

pada Bab II yang akan menjadi pembahasan adalah Profil Pemerintahan

Desa dan Pemerintahan Kelurahan Wates. Didalam pembahasan ini penulis

akan memaparkan gambaran wilayah, kependudukan, sosial ekonomi, dan

struktur pemerintahan Desa Wates dan Pemerintahan Kelurahan Wates.

Kemudian sebagai keberlanjutan dari pembahasan terkait perubahan status,

pada Bab III penulis akan membahas Perubahan Status Desa Wates

Menjadi Kelurahan Wates. Didalam pembahasan tersebut penulis akan

menjelaskan proses perubahan status Desa Wates menjadi Kelurahan Wates.

Kemudian masuk pada inti pembahasan yakni Bab IV yang membahas

Implikasi Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan Terhadap

Pelayanan Kartu Tanda Penduduk. Didalam pembahasan ini yang akan

dijelaskan mengenai layanan KTP yang dikelola oleh pemerintah daerah dan

Kelurahan. Sampailah pada akhir penulisan yakni Bab V Penutup. Pada bab

ini berisi kesimpulan refleksi hasil penelitian terhadap teori pelayanan publik.