Upload
truongdan
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup
manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan
ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itulah, hukum
mengenal adanya adagium “Ubi Societas Ibi Ius”. Adagium ini
muncul karena hukum ada karena adanya masyarakat dan hubungan
antar individu dalam bermasyarakat. Hubungan antar individu dalam
bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai kodrat
manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah
makhluk polis, makhluk yang bermasyarakat (Zoon Politicon).1
Dalam sistem hukum sekarang ini dapat dilihat berbagai
macam sanksi yang ada dan sebagai alat untuk menimbulkan efek
jera bagi setiap orang yang melakukan tindak kejahatan atau
pencegahan setiap orang ingin melakukan kejahatan dan bentuk
sanksi yang paling berat yang bisa sebagai sarana pencegahan
kejahatan adalah hukuman mati. Namun hukuman mati tidak lepas
dari pro dan kontra karena menimbulkan problema di Indonesia yang
1Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm.
73.
2
disebabkan oleh prepensi hukuman mati dipengaruhi oleh latar
belakang budaya, pandangan hidup bangsa, dan nilai-nilai budaya
yang ada di masyarakat itu.2 Pidana mati merupakan jenis pidana
yang paling berat dibandingkan dengan jenis pidana lainnya. Dengan
dijatuhkannya pidana mati dan dilakukan eksekusi nyawa manusia
maka berakhir pula hidupnya yang merupakan hak asasinya paling
fundamental. Sedangkan yang tidak setuju dengan pidana mati
menyatakan hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia.
Sejalan dengan itu masih banyak peraturan perundang-
undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati dalam hukum
positif diantaranya : UU No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata api, UU
No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No.15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No. No.35
Tahun 2009 tentang Narkotika. Secara formal, keberadaan hukuman
mati itu sendiri telah dilarang oleh Instrumen Hukum Internasional
misalnya; Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The
Abolition of The Death Penalty tahun 1990 dan juga International
2 J.E.Sahetapy,suatu study khusus mengenai ancaman pidana mati,Jakarta:Rajawali
press 1982,hal 19
3
Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) juga secara eksplisit
mengatur tentang hukuman mati.
Persoalan pidana mati sudah berlangsung begitu lama yang
pasang surutnya selalu bersama dengan perkembangan hukum di
Indonesia. Terutama mengenai waktu tunggu eksekusi pidana mati
yang begitu lama, bahkan ada yang menunggu sampai bertahun-
tahun. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini belum ada ketentuan
khusus yang mengatur tentang batas waktu pelaksanaan pidana mati
yang sudah berkekuatan tetap, sehingga nasib para terpidana mati
tersebut berada ditengah ketidakpastian hukum. Seperti dalam kasus
Raheem Agbaje Salami (Jamiu Owolabi Abashin) warga negara
Nigeria misalnya, ia ditangkap pada tanggal 2 September 1998 dan
dijatuhi hukuman mati atas perkara narkoba pada tahun 1999 oleh
MA dan dieksekusi mati pada tanggal 29 April 2015.3 Demikian pula
terhadap Serge Atlaoui, warga negara Prancis yang divonis mati di
Indonesia terkait kasus pabrik ekstasi, Ia ditangkap kepolisian
Indonesia pada tahun 2005 lalu divonis di Pengadilan Negeri
Tangerang pada 2006 dan Pengadilan Tinggi Banten 2007, yang
menyatakan Atlaoui harus menjalani hukuman penjara seumur hidup.
3 https://www.amnesty.org/download/.../ASA2124342015INDONESIAN.Pdf...
diunduh tanggal 18 April 2016
4
Namun diputus hukuman mati pada tahun 2007 oleh Mahkamah
Agung. Ia mengalami penundaan hampir 8 tahun. Lalu terpidana
mati kasus narkoba Namaona Denis (atau Solomon Chibuke Okafer)
berusia 48 tahun Ketika dia dieksekusi mati. Awalnya dia dihukum
dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri
Tangerang karena mengimpor heroin ke Indonesia. Dia kemudian
dipidana dan dijatuhi hukuman mati atas kasus perdagangan narkoba
pada tahun 2001. Dia dieksekusi mati pada 18 Januari 2015.4
Kasus serupa juga terjadi pada terpidana Kusni Kasdut,
dimana dia divonis mati pada tahun 1954 namun baru dieksekusi
tahun 1980. Dalam kasus Mahar bin Matar, pria asal Riau ini harus
menanggung derita tak terkira. Mahar dijatuhi hukuman mati melalui
keputusan Pengadilan Negeri Tembilahan Indragiri Hilir pada 5
Maret 1970. Namun hingga 37 tahun berselang, ia belum dieksekusi
dan akhirnya meninggal dunia karena sakit. Ini sesuatu yang tidak
adil. Dia harus menjalani tiga hukuman yakni hukuman mati,
hukuman penjara selama 37 tahun, dan hukuman psikologis.5
Terpidana Robot Gedek alias siswanto divonis hukuman mati pada
tanggal 27 Mei 1997 tetapi meninggal sebelum dieksekusi pada
4 http://icjr.or.id/icjr-calon-tereksekusi-mati-telah-alami-trauma-akibat-penundaan-
eksekusi-yang-berkepanjangan-death-row-phenomenon ( diakses 18 April 2016) 5 http://www.academia.edu/14745606/ Kontroversi_Hukuman_Mati_Di_Indonesia
(diakses 7 Mei 2016).
5
tanggal 26 Maret 2007. Hal ini berbanding terbalik dengan kasus
eksekusi mati lainnya, seperti kasus Tibo Cs, Amrosi cs dan kasus
terpidana mati narkoba Tran thi bich hanh yang tergolong cepat.
Padahal peraturan hukum mengenai pidana mati sama namun dalam
pelaksanaaan pidana mati tersebut ada yang tergolong cepat dan
adapula ada yang tergolong lama, sampai-sampai ada yang
menunggu lebih dari sepuluh tahun.
Dari kasus diatas dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan
eksekusi yang menunggu waktu begitu lama ini disebabkan karena
tidak adanya aturan hukum yang mengatur secara jelas tentang waktu
menyangkut upaya hukum grasi yang diajukan oleh terpidana
tersebut apakah diterima atau ditolak oleh Presiden dan juga
mengenai upaya hukum peninjauan kembali. Sebelumnya batasan
pengajuan mengenai Grasi tidak diatur secara jelas, tetapi sejak
berlakunya UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi sudah terdapat
aturan tersebut yaitu dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi :
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
putusan memperoleh kekuatan hukum tetap 6 tetapi pasal tersebut
sudah dibatalkan melalui Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015,
6 Lihat UU GRASI NO 5 Tahun 2010
6
dikatakan bahwa pembatasan jangka waktu pengajuan permohonan
grasi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No 5 Tahun
2010 ternyata potensial menghilangkan hak konstitusional terpidana
khususnya terpidana mati untuk mengajukan permohonan grasi.
Pembatasan demikian juga menghilangkan hak Pemohon jika hendak
mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) yang
persyaratannya salah satunya ada novum, sedangkan ditemukannya
novum itu sendiri tidak dapat dipastikan jangka waktunya 7. Namun
demikian yang menjadi masalah dalam pembahasan penulisan ini
adalah mengenai tenggang waktu pengajuan peninjauan kembali. Hal
ini karena putusan upaya hukum peninjauan kembli sebagai upaya
hukum luar biasa dicabut terlebih dahulu dengan Putusan PK No
34/PUU-XI/2013 sebelum Grasi. Peninjauan Kembali sebagai upaya
hukum luar biasa tidak ada batas waktu yang mengatur secara jelas
dalam KUHAP dan juga belum adanya ketentuan tentang batas waktu
eksekusi setelah jaksa menerima salinan putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap .
Untuk diketahui pula aturan mengenai peninjaun kembali
yang diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP menyatakan :
7 Mk Batalkan batasan waktu pengajuan grasi, dilihat di :
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=13178&menu=2#.
WD1Q8eaLTIU, diakses 29-11-2016
7
“permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya
dapat diajukan satu kali saja”. Namun dalam perkembangannya,
pengajuan peninjauan kembali yang hanya dapat diajukan satu kali
dalam pasal tersebut telah diajukan pengujian materil di Mahkamah
Konstitusi yang diajukan oleh Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty, serta
Ajeng Oktarifka Antasariputri, dimana Mahkamah Konstitusi
memberikan putusan mengabulkan permohonan tersebut
sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013
sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Para pemohon :
1) Pasal 268 ayat (3) Undang-undang No.8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945);
2) Pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.8
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan membuka
kemungkinan PK diajukan lebih dari 1 (satu) kali. Terpidana yang
8http://ipi.Unbra.ac.id/188264/dian puspita.pdf.,, diakses 17 April 2016
8
pernah ditolak PK-nya tentu dapat lagi mengajukan PK,
kemungkinan PK yang dapat diajukan lebih dari satu kali ini malah
memperpanjang waktu tunggu eksekusinya serta bertentangan juga
dengan asas kepastian hukum. Sistem hukuman mati di Indonesia
akan dilaksanakan jika segala upaya hukum telah ditolak, namun hal
ini berbanding terbalik karena banyak terpidana yang sudah dijatuhi
hukuman mati dan segala upaya hukum telah ditolak tetapi belum
juga dieksekusi bahkan ada yang menunggu sampai bertahun-tahun
walaupun pengajuan PK seharusnya tidak menunda eksekusi.
Kemudian dalam masa tunggu tersebut ada terpidana yang
telah menunjukkan perubahan yang signifikan namun tetap
dieksekusi. Misalnya dalam kasus bali nine yaitu dua terpidana mati
asal Australia yaitu Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Dalam
mengajukan permohonan PK, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan
menitikberatkan pada perubahan sikap yang signifikan telah berubah
dalam kurun waktu 10 tahun, selain tidak pernah mengulangi
kejahatannya, mereka juga membantu petugas Lapas Krobokan
dalam menjalankan tugasnya dengan cara melakukan berbagai
kegiatan dan pelatihan kepada sesama terpidana atas inisiatif mereka
sendiri, namun Mahkmah Agung secara resmi menolak permohonan
peninjauan kembali (PK) yang diajukan kedua kalinya oleh Myuran
9
Sukumaran dan Andrew Chan pada tanggal 4 Februari 2015.9 Maka
upaya hukum yang dimiliki kedua terpidana kelompok Bali Nine ini
sudah tidak ada sehingga tetap harus dilakukan eksekusi mati.
Sama halnya dalam kasus yang menimpa Sumiarsih dan
Sugeng yang telah menjalani 20 tahun kehidupan penjara untuk
menanti waktu eksekusi. Selama proses penantian panjang itu mereka
menunjukkan kelakuan baik namun tidak satupun upaya negara untuk
mengurangi vonis mati mereka. Secara psikologis mereka juga telah
mengalami penderitaan yang luar biasa mengingat kemungkinan
setiap waktu mereka akan di eksekusi. Akan tetapi negara pada
akhirnya merampas nyawa mereka.10
Jika memang kendala utama penetapan waktu eksekusi pidana
mati adalah menunggu peninjauan kembali mulai dari banding,
kasasi, dan permintaan grasi, tetapi tidak perlu menunggu waktu yang
ditempuh selama ini, karena penundaan ini melanggar hak asasi
manusia. Pelanggaran hak asasi yang dimaksud adalah hak kebebasan
yaitu bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang
9 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d233ff6ffe0/pk-kedua-terpidana-
kasus-bali-nine-kandas diunduh tgl 17 April 2016 10
lama.elsam.or.id/downloads/710098_ASASI_Edisi_Nov-Des_2014.pdf (diakses
6 Juni 2016)
10
kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaannya.11
Pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksaanaan pidana mati
diatur juga dalam Pasal 90 RUU KUHP tahun 2015 menyatakan
bahwa :
“Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati
tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena
terpidana melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah
menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan Presiden”
Sedangkan dalam Pasal 89 ayat (1) RUU KUHP juga
menyatakan bahwa Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan
masa percobaan selama 10 tahun, Jika:
a) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
b) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan
untuk diperbaiki;
c) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana
tidak terlalu penting; dan,
d) ada alasan yang meringankan.
11
Pasal 33 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 ttg HAM
11
Kemudian dalam Pasal 89 ayat (3) menegaskan bahwa “ Jika
terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksudkan pada
ayat (1) tidak menunjukan sikap dan perbuatan yang terpuji serta
tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat
dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung”.12
Pada prinsipnya Negara
memiliki tanggung jawab dan kewajiban dalam hal memberikan
perlindungan terhadap warga negaranya, apabila negara tidak
melakukan hal tersebut maka negara dapat dikatakan telah melakukan
pelanggaran hak asasi warganya. Ada beberapa kemajuan dalam
RUU ini, seperti adanya pertimbangan akhir lewat evaluasi yang
cukup lama untuk mempersulit eksekusi mati bagi seorang terpidana.
Namun yang menjadi pertanyaan apakah penundaan eksekusi yang
berkepanjangan (death row phenomenon) terhadap seorang
narapidana sesuai dengan hukum kontemporer.
Berkaitan dengan itu maka menurut ahli hukum pidana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rudi Satrio Mukantardjo,
bahwa :
Dalam praktek meskipun semua upaya hukum sudah ditempuh dan
berkekuatan hukum tetap, aparat tidak langsung mengeksekusi. Yang
menjadi masalah adalah terlampau lamanya seseorang terpidana
menunggu eksekusi mati tersebut. Hal ini antara lain disebabkan oleh
birokrasi hukum yang berbelit-belit. Meskipun Mahkamah agung
sudah menjatuhkan vonis mati di tingkat kasasi, pelaksanaannya
12 Lihat RUU KUHP
12
selalu memakan waktu lama. Masih ada upaya hukum peninjauan
kembali (PK) dan grasi. Bahkan ada yang dua kali mengajukan grasi
ke Presiden. Grasi ditolak bukan menjadi jaminan eksekusi segera
dilaksanakan. Sehingga perlunya pembatasan masa penantian
eksekusi bagi seorang terpidana mati.13
Di negara-negara bagian Amerika Serikat, penundaan pidana
mati atau moratorium dimaksudkan sebagai penundaan/penghentian
sementara waktu penjatuhan pidana mati sambil menunggu kajian
yang lebih mendalam dan tuntas mengenai pembaharuan sistem
pidana mati yang ada.14
Penundaan pidana mati ini ada yang
berdasarkan putusan Mahkamah Agung, ada yang dengan “executive
order” dari gubernur dan ada yang melalui badan legislatif. Berbeda
dengan di Amerika, penundaan pidana mati di Cina lebih merupakan
bentuk modifikasi pelaksanaan pidana (strafmodus/mode of sanction)
yang ditunda bukan penjatuhan atau penerapan pidana matinya,
melainkan pelaksanaannya sehingga lebih tepat disebut “penundaan
pelaksanaan pidana mati” atau “pidana mati tertunda” (suspended
death sentence/penalty).15
Sehingga penundaan pidana mati di Amerika dan China ini
mempunyai perbedaan. Di china lebih mempermasalahkan
pelaksanaan atau yang berhubungan dengan waktu dilakukannya
13
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10913/masa-penantian-eksekusi-
mati-perlu-dibatasi , diakses tgl 3 Mei 2016. 14
Barda nawawi, kapita selekta hukum pidana cetakan ke-3, Bandung: PT citra
aditya bakti, 2013, hal.227 15
Ibid, hal 230
13
eksekusi mati bukan sanksi atau hukuman matinya. Sedangkan di
Amerika lebih mempermasalahkan kearah pemberian sanksi berupa
hukuman matinya. Adanya ketentuan “pembekuan pelaksanaan
pidana mati” ini, terlihat juga dalam Resolusi Komisi HAM PBB
1999/61 yang menghimbau negara-negara yang masih
mempertahankan pidana mati untuk menetapkan “pembekuan
eksekusi pidana mati” atau “a moratorium on executions, with a
view to completely abolishing the death penalty.
Dalam kasus Soering melibatkan ancaman ekstradisi dari
Inggris ke Amerika dimana individu tersebut akan dieksekusi, bukan
hukuman matinya yang dipermasalahkan oleh European Court Of
Human Right sebagai pelanggaran atas European Convention on
Human Right tetapi “death row phenomenon” yang menjadi
pelanggaran, dimana terpidana harus menunggu datangnya
kematiannya selama bertahun-tahun dalam kondisi yang tersiksa,
baik secara fisik maupun psikologi.16
Eksekusi pidana mati yang terlalu lama, apalagi tidak jelas
kapan akan dilaksanakan eksekusi, pada dasarnya merupakan suatu
kekejaman tersendiri. Dimana yang bersangkutan sudah dinyatakan
oleh pengadilan bahwa ia akan dipidana mati dan semua perjuangan
16
http://repository.usu.ac.id/bitstream/.../Chapter%20III-V.pdf, diunduh 17 April
2016
14
melalui upaya hukum yaitu banding dan kasasi serta grasi sudah
ditempuh tanpa hasil. Akan tetapi kapan akan dieksekusi atau
dijalankan pidana mati? Entahlah.17
Sebab jika terpidana mati dibiarkan tanpa kepastian dalam
tenggang waktu yang lama sekali berkaitan dengan dilaksanakan atau
tidak dieksekusi pidana mati, sesungguhnya telah direkayasa
semacam penganiayaan rohani dan penyiksaan psikis serta
penggebukan mental.18
Sehingga bukan saja yang berkaitan dengan
pidana mati berpolemik dalam arti pro dan kontra sampai masa kini,
melainkan juga berkaitan dengan kapan waktunya yang tepat pidana
mati harus dilaksanakan tetap merupakan suatu problematika yang
belum dapat dipecahkan dengan memuaskan para pihak yang
berpolemik.
Suatu eksekusi pidana mati meskipun tidak diatur secara
khusus kapan dilaksanakan, berdasarkan pertimbangan bukan saja
ada kemungkinan terjadi suatu kekeliruan yuridis, melainkan perlu
waktu yang tepat dengan segala persiapan yang diperlukan dalam
rangka menjalankan eksekusi pidana mati. Pelaksanaan hukuman
mati memerlukan kehati-hatian, tetapi dalam kehati-hatian itu harus
17
J.E.Sahetapy, Pidana mati dalam negara pancasila, Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, 2007 18
ibid
15
tetap dibatasi waktunya sehingga tidak terlalu lama, tidak berlarut-
larut dan ada kepastian hukum.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi
isu hukum dalam penulisan ini yaitu :
1. Apakah lamanya waktu tunggu pelaksanaan pidana mati dapat
digolongkan sebagai pelanggaran HAM?
2. Apakah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-
XI/2013 tentang Peninjauan Kembali potensial
memperpanjang waktu tunggu eksekusi pidana mati?
B. Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan dalam penulisan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui waktu tunggu eksekusi pidana mati dapat
digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia
2. Untuk mengetahui putusan Mahkamah Konstitusi
No.34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali potensial
memperpanjang waktu tunggu eksekusi pidana mati.
C. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, dalam penulisan karya ilmiah ini diharapkan
dapat menambah dan memperkaya wawasan ilmiah bagi para
16
akademika mengenai Pelanggaran HAM khususnya yang
berkaitan dengan waktu tunggu eksekusi pidana mati.
Secara praktis, memberikan masukan kepada para penegak
hukum dalam hal ini lembaga legislatif dan eksekutif agar bisa
dilakukan pembaharuan hukum terhadap peraturan mengenai
eksekusi pidana mati sehingga bisa terjaminnya asas kepastian
hukum.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian Hukum yang dilakukan adalah Penelitian Hukum
Normatif karena penulis ingin menganalisis tentang Konsep
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam hal ini yang berkaitan
dengan waktu tunggu eksekusi pidana mati dan Putusan
Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 tentang
permohonan pembatalan Peninjauan Kembali. Penelitian
hukum ini menggunakan pendekatan statue approach, dengan
mengkaji permasalahan dari segi hukum dan sumbernya
berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku,
teori-teori hukum maupun doktrin-doktrin hukum untuk
menjawab permasalahan yang dihadapi.
17
2. Sumber bahan penelitian
a. Bahan hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang
terdiri dari aturan-aturan hukum di Indonesia dan
ketentuan hukum internasional, Seperti; UUD 1945, UU
No. 39 Tahun 2009 tentang HAM, UU No. 5 Tahun 2010
tentang Grasi, KUHAP, RUU KUHP, DUHAM, ICCPR
(International Covenant on Civil and Political Rights),
Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The
Abolition of The Death Penalty tahun 1990 serta Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tentang
permohonan pembatalan Peninjaun Kembali.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
diperoleh melalui study kepustakaan seperti buku-buku
hukum, artikel-artikel hukum dan tesis yang relevan
dengan judul tersebut.
3. Unit Pengamatan
Dalam penelitian ini unit pengamatan yang diamati yaitu
bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pelaksanaan pidana mati dan juga
18
bahan hukum sekunder berupa jurnal hukum, buku-buku
hukum mengenai pelaksanaan pidana mati.
4. Analisis Bahan Hukum
Unit Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah mendeskripsikan, interpretasi, evaluasi dan
argumentasi. Teknik deskripsi, yaitu suatu teknik analisis
dalam penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran
secara mendalam mengenai perumusan tentang waktu tunggu
pelaksanaan pidana mati di Indonesia. Berkaitan dengan jenis
penelitian yang akan dilakukan maka analisa bahan hukum
yang akan dilakukan adalah menganalisis waktu tunggu
pelaksanaan pidana mati berdasarkan Putusan MK No.
34/PUU-XI/2013 tentang Pembatalan Upaya Hukum
Peninjauan Kembali dan juga lamanya waktu tunggu eksekusi
pidana mati terhadap pelanggaran HAM. Kemudian
dihubungkan sedemikian rupa sehingga disajikan dalam
penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan.
5. Keaslian Penelitian
Dalam penulisan tesis ini ditulis sendiri oleh penulis dengan
melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur-
19
literatur yang dihimpun dari berbagai buku-buku hukum,
jurnal hukum, peraturan perundang-undangan serta melalui
media elektronik (internet) yang berkaitan dengan judul tesis
ini. Sebelumnya topik mengenai Eksekusi Mati juga ditulis
oleh Mahasiswa Sarjana Hukum atas nama Abraham
Jomangatas, SH, dengan judul Problematika Eksekusi Pidana
Mati dalam Hukum Acara Pidana, dimana pembahasannya
mengarah pada pengaturan eksekusi pidana mati dalam
peraturan perundang-undangan. Sedangkan penulis dalam
pembahasannya lebih mengarah pada waktu tunggu
pelaksanaan pidana mati yang dikaitkan dengan pelanggaran
hak asasi manusia.