Upload
phamdan
View
244
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi seorang muslim, dakwah merupakan kewajiban yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Kewajiban dakwah merupakan suatu yang tidak mungkin
dihindarkan dari kehidupannya, bersama dengan pengakuan dirinya sebagai
seorang yang mengidentifikasi diri sebagai seorang penganut Islam. Sehingga
orang yang mengaku diri sebagai seorang muslim, maka secara otomatis pula
dia itu menjadi seorang juru dakwah.1
Dakwah merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan
seorang muslim, bahkan tidak berlebihan apabila kita katakan bahwa tidak
sempurna seseorang itu muslim, apabila dia menghindari tanggung jawabnya
sebagai seorang juru dakwah.
Dalam berdakwah, seringkali langkah yang ditempuh tidak mulus,
akan tetapi banyak mengalami hambatan dan rintangan selalu menyertai
usaha berdakwah. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan ataupun
ganjalan yang akan muncul, maka diperlukan siasat cermat dan strategi jitu
harus segera diambil.
Untuk menunjang dalam mencapai sukses atau keberhasilan dakwah,
perlu diusahakan usaha-usaha yang tepat dan konkrit, baik dalam bentuk
metode atau alat yang akan dipakai untuk berdakwah. Salah satu usaha
memenuhi harapan itu, yang perlu diperhatikan yaitu semakin lajunya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula dakwah
dalam menyebarluaskan agama Islam, juga perlu memperhatikan
hal tersebut. Di mana untuk mencapai tujuan ini, medialah yang harus kita
pakai dengan tidak melupakan situasi dan kondisi.2
Walisongo atau Wali Sembilan merupakan pelopor masuknya Islam di
Jawa. Mereka dalam berdakwah menggunakan media yang di antaranya
yaitu: Kebudayaan Jawa-Hindu, lengkap dengan seni suara, seni karawitan,
1 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997, hlm. 32 2 Bambang Sugito, Dakwah Islam Melalui Media Wayang Kulit, Aneka, Solo, 1992, hlm. 11
1
2
seni wayang, seni tari, seni tulis dan lain-lain. Media tersebut tidak digunakan
secara mentah-mentah begitu saja, melainkan setelah dibesut lebih dahulu,
sehingga menjadi lebih indah dan menarik hati segala sesuatunya. Isi
maknawi wejangannya ialah gagasan-gagasan serba ajaran agama Islam,
pengganti yang serba Hindu dan atau animisme, malahan membangkitkan
pengertian dan kecenderungan batin para penganut Hindu kepada Islam.3
Adalah Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari Walisongo. Pada
waktu muda bernama Raden Said atau Jaka Said, putera Tumenggung
Wilatikta, Adipati Tuban. Sedangkan tahun kelahiran Sunan Kalijaga belum
dapat dipastikan, hanya diperkirakan sekitar tahun ± 1450 M.4
Sunan Kalijaga adalah salah satu dari Walisongo yang namanya
paling tenar di kalangan masyarakat, karena beliau sangat pandai bergaul di
segala lapisan masyarakat dan toleransinya yang sangat tinggi. Sunan
Kalijaga sangat berjasa bagi perkembangan agama Islam dan perkembangan
kebudayaan bangsa Indonesia, terutama kebudayaan wayang.
Sejarah perkembangan wayang tidak lepas dari peranan Sunan
Kalijaga. Wayang di dalam masyarakat Jawa sebelum agama Islam
berkembang telah menjadi sebagian dari hidupnya, dan di dalam dakwah,
Sunan Kalijaga menjadikan wayang ini sebagai alat atau media demi
suksesnya dakwah Islam.5
Sunan Kalijaga terhadap kesenian wayang dipandang sebagai tokoh
yang telah menghasilkan kreasi baru yaitu dengan adanya wayang kulit
dengan segala perangkat gamelannya. Wayang kulit merupakan
pengembangan baru dari wayang beber yang memang sudah ada sejak zaman
Erlangga. Di antara wayang ciptaan Sunan Kalijaga bersama Sunan Bonang
dan Sunan Giri adalah wayang Punakawan Pandawa yang terdiri dari : Semar,
Petruk, Gareng dan Bagong.6
3 K.M.A. Machfoedl, Filsafat Dakwah, Ilmu Dakwah dan Penerapannya, Bulan Bintang,
Jakarta, 1975, hlm. 14 4 Ridin Sofwan, Wasit, Mundiri, Islamisasi di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000,
hlm. 83-84 5 Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, Menara Kudus, Kudus, 1974, hlm. 24 6 Ridin Sofwan, Wasit, Mundiri, Op. Cit., hlm. 121
3
Wayang mengandung makna lebih jauh dan mendalam, karena
mengungkapkan gambaran hidup semesta. Wayang dapat memberikan
gambaran lakon kehidupan umat manusia dengan segala masalahnya. Dalam
dunia pewayangan tersimpan nilai-nilai pandangan hidup Jawa dalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan dan kesulitan hidup.
Wayang sebagai titik temu nilai budaya Jawa dan Islam adalah suatu
momentum yang sangat berharga bagi perkembangan kahasanah budaya
Jawa.7 Wayang sebagai seni budaya klasik tradisional telah banyak berubah
sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Dapat berbentuk
pagelaran wayang kulit, wayang golek ataupun wayang orang yang
pementasannya tidak terlepas dari unsur-unsur multidimensional. Dalam
pentas yang berbentuk pagelaran wayang kulit hanya pagelaran wayang kulit
Purwa (Jawa) saja yang masih menonjol, sedang wayang Beber, wayang
Menak serta wayang Gedong telah lama ditinggalkan.8
Wayang bagi masyarakat Jawa tidak hanya sekedar hiburan, tetapi
juga merupakan alat komunikasi yang mampu menghubungkan kehendak
dalang lewat alur cerita, sehingga dapat menginformasikan pendidikan dan
penerangan. Termasuk di dalamnya juga dapat digunakan sebagai media
Pengembangan Agama Islam (dakwah Islamiyah). Memperhatikan keunikan
wayang serta hikmah dari Sunan Kalijaga sebagai seorang da’i yang lebih
suka memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah,
maka penulis tertarik untuk mengambil judul : “Wayang Sebagai Media
Dakwah Sunan Kalijaga dan Efektivitasnya Pada Masa Kini”.
B. Penegasan Istilah
Untuk memperjelas pengertian dari judul skripsi ini, agar tidak
menimbulkan presepsi yang berbeda, di sini penulis akan menyampaikan
beberapa penegasan istilah. Adapun beberapa istilah tersebut adalah sebagai
berikut :
7 H. M. Darori Amin, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000,
hlm.183 8 S. Haryanto, Bayang-bayang Adiluhung, Dahara Prize, Semarang, 1992, hlm. 22
4
1. Wayang
Wayang adalah sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) asli yang
berarti “bayang” atau bayang-bayang yang berasal dari akar kata “yang”
dengan mendapat awalan “wa” menjadi kata wayang.9
Wayang menurut Amir Mertosedono S.H. adalah : dalam bahasa
Jawa perkataan wayang berarti wayangan (layangan). Dalam bahasa
Indonesia berarti bayang-bayang, samar-samar, dan tidak jelas. Dalam
bahasa Aceh berarti bayang artinya wayangan. Sedangkan dalam bahasa
Bugis berarti wayang atau bayang-bayang.10
Sedangkan yang dimaksud wayang disini adalah wayang kulit
yaitu bayangan yang bergerak-gerak dan kadang-kadang juga menakutkan
yang dibuat dari kulit yang diukir.11
2. Media Dakwah
Media adalah alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah,
radio, televisi, film, poster dan spanduk.12
Dakwah secara etimologis berasal dari bahasa Arab
yang berarti seruan, panggilan, dan ajakan.13 دعوة - يدعو -دعا
Dakwah adalah mengajak manusia kepada jalan kebaikan dan
meninggalkan keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).
Media dakwah adalah alat yang dipakai sebagai perantara untuk
melaksanakan kegiatan dakwah.14
Menurut penulis media dakwah adalah suatu alat yang dipakai
untuk memberikan pesan dari da’i kepada mad’u, dalam rangka
melaksanakan kegiatan dakwah, supaya tercapai tujuan dakwah.
3. Sunan Kalijaga
9 Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang, Gunung Agung, Jakarta, 1983, hlm. 53
10 Amir Mertosedono, Sejarah Wayang, Dahara, Prize, Semarang, 1993, hlm. 28 11 Ibid., hlm. 32 12 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1990, hlm 569. 13M. Aminuddin Sanwar, Pengantar Studi Ilmu Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo, Semarang, 1984, hlm. 77-78 14 Ibid., hlm. 77
5
Sunan Kalijaga adalah salah satu dari Walisongo yang dalam
sejarah dakwahnya dipandang sukses dalam penyebaran agama Islam di
Pulau Jawa pada umumnya, dan Jawa Tengah pada khususnya.
4. Efektifitas
Efektifitas berarti kegunaan, hasil guna dan menunjang tujuan 15.
Efektivitas akan diukur melalui tanggapan para ahli dan para pecinta
wayang kulit.
5. Masa Kini
Masa kini berarti waktu yang terbaru atau saat yang terakhir.16
Sedangkan yang dimaksud masa kini pada penelitian ini adalah pandangan
masyarakat (para ahli dibidang wayang serta masyarakat pecinta
pertunjukan wayang) tentang efektifitas wayang digunakan sebagai media
dakwah pada masa kini atau pada waktu sekarang. Dengan adanya
kemajuan teknologipun wayang sebagai media dakwah pada masa kini
masih efektif, dimana manusia dengan mudah mendapatkan informasi
dalam berbagai bentuk termasuk dalam hal informasi hiburan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang wayang digunakan sebagai media dakwah?
2. Siapa pencipta-pencipta wayang dan apakah filsafat yang terkandung
dalam wayang?
3. Bagaimana wayang digunakan dalam dakwah Sunan Kalijaga?
4. Bagaimana pandangan masyarakat tentang efektivitas wayang digunakan
sebagai media dakwah pada masa kini?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
15 Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 1994, hlm. 128. 16 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit., hlm. 561.
6
1. Menggambarkan latar belakang wayang digunakan sebagai media dakwah.
2. Mendeskripsikan pencipta-pencipta wayang dan filsafat yang terkandung
dalam wayang.
3. Mengetahui bagaimana wayang digunakan dalam dakwah Sunan Kalijaga.
4. Mengumpulkan pandangan masyarakat tentang efektivitas wayang
digunakan sebagai media dakwah pada masa kini.
E. Telaah Pustaka
Untuk menghindari kesamaan skripsi ini, maka penulis
memberikan tiga karya skripsi yang pernah dibuat. Karya-karya itu antara
lain :
1. Keberadaan Pandawa Lima dalam Wayang Purwa Ditinjau dari Segi
Dakwah Islamiyah, oleh Suharto tahun 1995, antara lain berisi tentang :
Bahwa keberadaan Pandawa Lima dalam wayang Purwa jika ditinjau dari
segi dakwah Islam, maka mengandung makna yang dapat dipakai sebagai
media dakwah Islam. Tetapi, ada juga hal-hal yang perlu ditinggalkan,
terutama mengenai kepercayaan yang bersifat pholitheisme, yaitu
kepercayaan terhadap beberapa dewa. Oleh karena itu bagi para dalang
supaya lebih hati-hati serta bersikap bijaksana.
2. Pagelaran Wayang Purwo sebagai Media Dakwah di Kecamatan Karang
Anom Kabupaten Klaten oleh Siti Muti’atun tahun 1991. Adapun hasil
dari penelitian tersebut adalah : dalam memasukkan ajaran Islam, dalang
dapat menyisipkan misi Islam melalui suluk, syair tembang ataupun saat
punokawan beraksi (goro-goro). Pagelaran wayang purwo di karang anom
mendapat tanggapan positif, baik dikalangan pelajar maupun masyarakat.
Hal ini dapat dibuktikan pada sebuah pelajaran wayang, yang mengambil
lakon “Wahyu Tirto Nadi”.
3. Eksistensi Wayang Golek sebagai Media Dakwah bagi Masyarakat
Kecamatan Mirit Kabupaten Kebumen oleh Gunawan tahun 1992. Hasil
dari penelitian tersebut antara lain adalah : wayang golek merupakan salah
satu bentuk kesenian yang telah mendapat tempat di hati masyarakat.
7
Wayang golek sangat cocok untuk dijadikan sebagai media penyampaian
dakwah Islamiyah karena dilihat dari sumber cerita bertumpu dari negeri
Arab.
Dengan demikian penulis berasumsi bahwa judul yang penulis
angkat adalah baru, sebenarnya banyak buku-buku rujukan dan karya ilmiah
yang berbicara masalah media dakwah, akan tetapi obyek kajian yang kami
teliti berbeda, baik tokoh maupun isi dakwahnya. Oleh karena itu, melalui
kajian skripsi ini penulis hendak sedikit mengisi kekurangan tersebut.
F. Kerangka Teori
1. Pengertian wayang kulit.
Wayang kulit yaitu suatu bentuk pertunjukan tradisional yang
disajikan oleh seorang dalang dengan menggunakan gambar, boneka atau
semacamnya dari kulit, sebagai alat pertunjukan dengan diiingi musik
yang telah ditentukan.17 Wayang merupakan suatu budaya manusia yang
didalamnya terkandung seni estetis. Wayang berfungsi sebagai tontonan
dan juga berfungsi sebagai tuntunan kehidupan.
Dalam pertumbuhannya, fungsi wayang juga telah mengalami
beberapa perubahan yaitu sejak dari fungsi sebagai alat suatu upacara
yang ada hubungannya dengan kepercayaan hingga menjadi alat
pendidikan yang bersifat didaktis dan sebagai alat penerangan, lalu
menjadi kesenian daerah dan kemudian menjadi obyek ilmiah.18
2. Wayang kulit sebagai media dakwah
Sunan Kalijaga merupakan tokoh yang telah berhasil
menghasilkan kreasi baru yaitu adanya wayang kulit dengan segala
perangkat gamelannya. Wayang sebagai media dakwah itu selalu
dipergunakan sunan Kalijaga dalam media dakwah diberbagai daerah dan
ternyata wayang ini merupakan media yang efektif untuk berdakwah.19
17 Bambang Sugito, Op.Cit. hlm. 31 18 Sri Mulyono, Wayang Asal usul Filsafat dan Masa Depannya, Gunung Agung,
Jakarta, 1982, hlm. 2 19 Ridin Sofwan, Wasit, Mundiri, Op.Cit., Hlm. 122.
8
Wayang kulit sebagai media dakwah yang bersifat auditif,
visual, atau audio visual. Menurut sudut pandang mana kita melihatnya.
Wayang kulit sebagai media, juga dapat digunakan alat untuk mencapai
tujuan tertentu dalam bentuknya pagelaran. Wayang bagi masyarakat
jawa tidak hanya sebagai hiburan atau tontonan tetapi juga sebagai media
pendidikan bahkan sudah menjadi media dakwah.
3. Filsafat wayang
Wayang sebagai pertunjukan adalah ungkapan dan peragaan
religius yang terdapat bermacam-macam unsur lambang seperti bahasa,
gerak, suara, warna, dan rupa. Didalam wayang terdapat religius kuno
yang masih terdapat adanya mitos dan ritual. Dalam sejarah religius jawa
wayang tidak lepas dari pengaruh agama-agama Hindu, Budha, dan Islam
beserta mistiknya.20
Membicarakan wayang tak ubahnya membicarakan filsafat jawa.
Menurut dunia pewayangan hidup harus senantiasa berdasarkan
kebenaran, dan kebenaran sejati hanya dapat diperoleh dari Tuhan.21
Bagi orang jawa filsafat jawa mempelajari alam mistik dan tidak
rasional. Sehingga alam mistik dan filsafat menjadi satu secara fiosofis
dan religius. Inti dari filsafat wayang itu adalah berpusat pada pakem
(lakon)nya.
4. Pandangan-pandangan masyarakat tentang wayang.
Bagi orang jawa, dunia pewayangan merupakan dunianya
sendiri, dunia kejawen. Karena orang jawa menilai bahwa wayang
mengandung filsafat yang dalam dan memberi peluang untuk melakukan
pengajian filsafat dan mistik religius.22
Bagi masyarakat jawa wayang merupakan sesuatu yang tampak
langgeng, karena budaya tersebut tetap populer sejak jaman Hindu, Islam
penjajahan Belanda ataupun Jepang serta pada jaman revolusi
kemerdekaan maupun di zaman pembangunan sekarang ini. Sedangkan
20 S. Haryanto, Op.Cit., hlm. 153. 21 H.M. Darori Amin, dkk., Op.Cit.,hlm. 178. 22 S. Haryanto, Op.Cit., hlm.20
9
pandangan masyarakat yang dimaksud adalah tanggapan para ahli
dibidang wayang serta masyarakat pecinta pertunjukan wayang kulit.
G. Metode Penulisan Skripsi
Untuk memperoleh data yang valid, maka penulis menggunakan
metode-metode antara lain:
1. Metode Pengumpulan Data, antara lain :
a. Library Research (penyelidikan kepustakaan) yaitu teknik
pengumpulan data melalui perpustakaan.23 Metode ini digunakan
dalam rangka memperoleh data yang bersifat teori sebagai landasan
ilmiah yakni memilih literatur yang ada relevansinya dengan
penelitian, baik itu dari buku, koran, majalah, buletin, dan lain
sebagainya.
b. Wawancara yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab.24 Wawancara ini digunakan untuk
memperoleh informasi mengenai pandangan masyarakat dan para ahli
tentang efektifitas wayang digunakan sebagai media dakwah pada
masa kini. Jumlah responden tidak dibatasi, namun brhenti sampai
ditemukan jawaban yang berulang-ulang dari masyaakat umum baik
dari para ahli dibidang wayang maupun para pecinta wayang.
2. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul maka perlu dianalisis untuk mendapatkan
kesimpulan data penelitian ini. Dalam analisis data ini penulis
menggunakan analisis reflektif, induktif dan komparatif .
Analisis reflerif yaitu analisis yang lebih mengedepankan kerangka
pikiran ide dan perhatian dari peneliti.25 Analisis ini digunakan untuk
memahami isi-isi literatur tentang wayang digunakan sebagai media
dakwah Sunan Kalijaga dan juga untuk memehami hubungan antar ide,
23 Winarno Surahmad, Paper Skripsi Tesis Desertasi, Tarsito, Bandung, l97l, hlm. 60. 24 Moh. Nasir, Metode Penelitian, Ghalis Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 234. 25 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi III, Penerbit Rake Sarasim,
Yogyakarta, 1998, hlm. 102.
10
sehingga dapat ditemukan ide-ide yang merupakan kesimpulan dari
hubungan tersebut.
Untuk menganalisa pandangan masyarakat dengan para ahli
tentang efektifitas wayang akan digunakan metode induktif dan
komparatif. Analisis induktif yaitu analisis atas data spesifik dari lapangan
menjadi unit-unit yang dilanjutkan dengan kategorisasi.26 Sedangkan
analisis komparatif yaitu analisis yang lebih menggunakan logika
perbandingan dan juga dapat membuat generalisasi.27 Dengan analisis ini
diharapkan didapatkan pendapat yang merupakan generalisasi dari para
individu baik dari para ahli wayang maupun dari masyarakat pecinta
wayang.
H. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan gambaran umum tentang skripsi ini, perlu
kiranya penulis kemukakan sistematika penulisan sebagai berikut:
Pertama, merupakan bab pendahuluan, yang terdiri atas, latar
belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
telaah pustaka, kerangka teori, metode penulisan skripsi dan sistematika
penulisan skripsi.
Kedua, merupakan bab yang memuat landasan teori yakni tinjauan
kepustakaan yang menjadi sudut pandang penelitian. Ini akan diuraikan
menjadi dua sub bab. Sub bab pertama pengertian dakwah, dasar kewajiban
dakwah dan unsur-unsur dakwah. Sub bab kedua masalah wayang kulit, yang
meliputi : pengertian wayang kulit, sejarah dan perkembangan wayang kulit,
pencpta-pencipta wayang dan filsafat yang terkandung didalam wayang dan
latar belakang wayang digunakan sebagai media dakwah.
Ketiga, mengenal Sunan Kalijaga yang meliputi: silsilah dan asal-
usul sunan Kalijaga, perjalanan spiritual/menjadi wali, karya dan jasa sunan
Kalijaga, metode dakwah sunan Kalijaga, dan dakwah sunan Kalijaga dengan
menggunakan media wayang.
26 Ibid., hlm 123. 27 Ibid., hlm. 88
11
Keempat, efektivitas wayang sebagai media dakwah pada masa kini,
meliputi: peran dalang dalam kehidupan masyarakat, manfaat nonton
pergelaran wayang kulit dan pandangan masyarakat (para ahli wayang dan
pecinta wayang) tentang keberadaan wayang sekarang ini.
Kelima, merupakan bab analisis yang berisi: analisis tentang wayang
digunakan dalam dakwah Sunan Kalijaga dan analisis tentang efektifitas
wayang sebagai media dakwah pada masa kini.
Keenam, merupakan bab penutup yang memuat tentang kesimpulan
yang dapat ditarik dari bab-bab sebelumnya dan diakhiri dengan saran-saran
serta penutup.
12
12
BAB II
DAKWAH DAN WAYANG KULIT
A. Pengertian Dakwah, Dasar Kewajiban Dakwah Dan Unsur-Unsur
Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Pengenalan orang terhadap suatu istilah tidak selalu menjadi
jaminan bahwa pengertian dan pengetahuan tentang istilah sudah bisa
dipahami. Begitu juga dengan istilah dakwah. Meski istilah dakwah di
Indonesia bukan hal baru, akan tetapi belum tentu setiap orang
mengetahui dan memahami pengertian dakwah dengan segala seluk
beluknya. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila penulis dalam
membahas tentang dakwah, terlebih dahulu memaparkan pengertian
dakwah.
Pemaparan pengertian dakwah ini bukan berarti dengan
mengumpulkan dakwah berdasarkan definisi secara keseluruhan, namun
penulis menganggap cukup dengan mengemukakan beberapa definisi
yang sifatnya saling melengkapi untuk dipedomani pengertian-
pengertian itu antara lain :
Secara bahasa, “Dakwah” berasal dari kata Arab دعوة -دعا -
yang berarti: “ajakan, seruan, panggilan, undangan”.28 يدعو
Sedang menurut pakar, pengertian dakwah sebagai berikut:
Dr. Hamzah Ya’kub mendefinisikan dakwah ialah mengajak umat
manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk
Allah dan rasul-Nya.29
Drs. Barmawi Umari menambahkan bahwa dakwah mengajak orang
kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar
memperoleh kebahagiaan dimasa sekarang dan yang akan datang.30
28 Hamzah Ya’kub, Publisistik Islam, Penerbit Diponegoro, Bandung, 1981, hlm., 13 29 Ibid.,hlm 13. 30 Barmawi Umari, Azas-azas Ilmu Dakwah, Ramadhani, Sala, 1969, hlm.,52.
13
Setelah kita mengetahui pendapat-pendapat dari beberapa
pakar mengenai dakwah ini, kita dapat mengetahui adanya persamaan-
persamaan unsur tertentu, antara lain:
a. Unsur mengajak ke jalan yang benar menurut garis-garis dan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam agama Islam.
b. Unsur amar ma’ruf nahi munkar, yakni menyuruh manusia untuk
melakukan amal kebajikan serta melarang manusia untuk berbuat
kurang baik.
c. Unsur tujuan hidup manusia, yakni untuk memperolah kemaslahatan
dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Melihat persamaan-persamaan tersebut maka penulis akan
mengambil kesimpulan tentang pengertian dakwah yaitu mengajak dan
sebagainya kepada manusia lain baik perorangan maupun kelompok
agar melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sesuai ajaran Islam secara
penuh guna memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2. Dasar Kewajiban Dakwah
Dasar dari kewajiban dakwah ialah Al Qur’an surat Al-Imron
ayat 104:
ولتكن منكم امة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن
.المنكر واولئك هم المفلحون
Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang
yang beruntung”.31
Kemudian pada surat An-Nahl ayat 125, Allah menegaskan:
ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هى
. ضل عن سبيله وهو اعلم بالمهتديناحسن ان ربك هو اعلم بمن
31 Depag. RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989, hlm. 113.
14
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.32
Meskipun seorang muslim mendapat perintah Allah untuk
menyerukan manusia, memperbaiki kehidupan sesuai jalan Allah, akan
tetapi dalam prakteknya Islam memberi kebebasan manusia untuk
menentukan agamanya. Firman Allah dalam surat Al Baqarah: 256.
.الاآره فىالدين قد تبين الرشد من الغي
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan
yang Salah....”33
3. Unsur-unsur Dakwah
Suatu aktifitas bila berjalan sebagaimana mestinya pastilah ada
unsur-unsur yang saling mendukung satu sama lain. Begitu juga dengan
aktivitas dakwah, terdapat unsur-unsur yang saling mempengaruhi.
Dakwah ini memiliki lima unsur pokok yaitu:
a. Subyek (da’i)
Da’i merupakan pelaksana kegiatan dakwah, baik secara
individu maupun secara kelompok (organisasi). Da’i merupakan
Salah satu unsur dari dakwah. Dakwah tidak mungkin terselenggara
walaupun unsur-unsur yang lainnya terpenuhi dengan sempurna.
Da’i adalah seorang muslim yang memiliki syarat-syarat
dengan kemampuan tertentu yang dapat melaksanakan dakwah
32 Ibid, hlm. 421. 33 Ibid, hlm. 63.
15
dengan baik. Da’i biasa juga disebut dengan mubaligh yang
merupakan pelaksana dakwah serta juru dakwah.34
Adapun syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi
seorang da’i menurut Hafi Anshari antara lain:
1. Persyaratan jasmani (fisik)
Kesehatan jasmani menjadi faktor yang penting dalam
memperlancar dakwah disamping itu juga kondisi jasmani dan
penampilan fisik seorang da’i akan menjadi kebanggaan bagi
mad’u. Persyaratan yang dimaksud meliputi: kesehatan jasmani
secara umum, keadaan tubuh bagian dalam dan keadaan tubuh
mengenai cacat atau tidak
2. Persyaratan ilmu pengetahuan
Persyaratan ilmu pengetahuan ini berkaitan dengan pemahaman
da’i terhadap unsur-unsur dakwah yang ada seperti mad’u,
materi, media serta tujuan dakwah.
3. Persyaratan kepribadian
Sebagai pemimpin yang akan menjadi panutan, sudah barang
tentu haruslah mempunyai kewibawaan, sedangkan kewibawaan
itu terwujud ditentukan oleh faktor kemampuan da’i untuk
memulai dari dirinya lebih dahulu sebagai contoh dan
keteladanan.
Seorang da’i haruslah mempunyai kepribadian yang baik, watak
dan sikapnya menyenangkan, perlakunya baik dan bisa dijadikan
contoh, perkataannya selalu benar, sedangkan sifat-sifatnya
mulia dan terpuji, akhlaknya juga baik, yang kesemuanya itu
tercermin didalam kepribadian Rasulullah SAW.35
b. Obyek (mad’u)
Masyarakat sebagai penerima dakwah, sasaran dakwah atau
kepada siapa dakwah itu ditujukan. Karena penerima dakwah adalah
34 Hamzah Ya’kub, Op.Cit., hlm. 36 35 HM. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Al Ikhlas, Surabaya,
1993, hlm. 105-106.
16
individu ataupun masyarakat, tentu akan dijumpai mad’u yang latar
belakangnya berbeda-beda. Untuk menghadapi ini da’i atau
mubaligh melengkapi dirinya dengan pengetahuan ilmu jiwa
(psikologi), sosiologi, ilmu politik, ilmu sejarah, antropologi dan
lain sebagainya.
Dalam menghadapi mad’u yang latar belakangnya berbeda-
beda seperti jenis kelamin, tingkat umur, tingkat pendidikan, sosial
ekonomi, dan lain-lain maka da’i harus membekali diri dengan
disiplin ilmu yang mendukung. Oleh sebab itu mad’u memiliki
keunikan individu artinya setiap individu memiliki karakteristik,
sifat, kebutuhan dan sebagainya yang berbeda-beda.
c. Materi dakwah
Materi dakwah kadang-kadang disebut dengan ideologi
dakwah yaitu ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam berpangkal pada
dua pokok yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.36 Kedua
hal tersebut menjadi landasan da’i dalam menyampaikan pesannya.
Ia tidak boleh menyimpang dan harus selalu belajar dan menggali
ajaran Islam guna menambah wawasan keIslaman, yang nantinya
diharapkan menjadi modal da’i untuk lebih menguatkan mad’u
dalam memahami Islam.
Adapun materi dakwah itu sendiri dapat diklasifikasikan
menjadi tiga hal pokok yaitu:
1. Akidah, yaitu menyangkut sistem keimanan/kepercayaan
terhadap Allah SWT.
2. Syariah, yaitu serangkaian ajaran yang menyangkut aktifitas
manusia muslim didalam semua aspek hidup dan kehidupannya,
mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, mana
yang halal dan haram dan lain sebagainya
36 Ibid.,hlm 29.
17
3. Akhlak, yaitu menyangkut tata cara berhubungan dengan Allah
maupun sesama makhluk dan seluruh makhluk-makhluk Allah.37
d. Media dakwah
Media dakwah adalah alat yang dipakai sebagai perantara
untuk melaksanakan kegiatan dakwah. Adapun alat-alat tersebut
antara lain:
1. Dakwah melalui saluran lisan
Yang dimaksud dakwah secara lisan adalah dakwah secara
langsung dimana da’i menyampaikan ajakan dakwahnya kepada
mad’u.
2. Dakwah melalui saluran tertulis
Dakwah dengan saluran tertulis adalah kegiatan dakwah yang
dilakukan melalui tulisan-tulisan. Kegiatan dakwah tertulis ini
dapat dilakukan melalui surat-surat kabar, majalah, buku-buku,
buletin dan lain sebagainya.
3. Dakwah melalui alat-alat audio visual
Alat audio visual adalah peralatan yang dipakai untuk
menyampaikan pesan dakwah yang dapat dinikmati dengan
mendengar dan melihat. Peralatan audio visual ini antara lain:
TV, seni drama, wayang kulit, video cassete dan lain
sebagainya.
4. Dakwah melalui keteladanan.
Dakwah yang paling efektif adalah bentuk penyampaian pesan
dakwah melalui bentuk percontohan atau keteladanan dari da’i.
Dengan demikian akan menampakkan adanya bentuk yang
konsekuen antara pernyataan dan pelaksanaan. 38
e. Tujuan dakwah
37 Hafi Anshari, Op.Cit., hlm 146. 38 M. Aminudin Sanwar, Op.Cit.,hlm. 77.
18
Dalam hidup orientasi manusia mencari kebahagiaan seperti
makan, minum, bergaul, menempuh pendidikan, bekerja dan
sebagainya adalah contoh-contoh keseharian. Namun menurut
Islam, kebahagiaan yang hakiki hanyalah mengingat Allah. Jadi
bukan sebab tingginya jabatan status sosial seseorang maupun harta
berlimpah, manusia mencapai derajat kebahagiaan yang
sesungguhnya.
Firman Allah dalam surat Ar-Ra’du ayat 28:
.الذين امنوا وتطمئن قلوبهم بذآراهللا االبذآراهللا تطمئن القلوب Artinya: “(yaitu) orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tentram”.39
Lebih lanjut Abdur Rasyid Saleh mengatakan bahwa usaha
dakwah baik dalam bentuk menyeru atau mengajak umat manusia
agar bersedia menerima dan memeluk Islam, maupun dalam bentuk
amar ma’ruf nahi munkar, tujuannya dalam terwujudnya
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang
diridloi Allah SWT.40
B. Pengertian Wayang Kulit, Sejarah dan Perkembangan Wayang Kulit
1. Pengertian wayang kulit
Menurut Amir Mertosedono wayang kulit biasa disebut juga
dengan wayang purwa yaitu bayangan yang bergerak-gerak dan
kadang-kadang juga menakutkan yang dibuat dari kulit yang diukir,
yang jatuh pada kelir putih, biasanya tepi kelir berwarna merah.
Wayang purwa merupakan wayang yang tertua.41
39 Depag. RI, Op.Cit.,hlm 373 40 Abdur Rasyid Saleh, Op.Cit., hlm.21-22. 41 Amir Mertosedono, Op.Cit., hlm. 32
19
Sedangkan menurut Bambang Sugito, wayang kulit yaitu suatu
bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang
dengan menggunakan gambar boneka atau semacamnya dari kulit
sebagai alat sebagai alat pertunjukan dengan diiringi musik yang telah
ditentukan.42
Wayang merupakan warisan kebudayaan leluhur, yang telah
mampu bertahan dan berkembang berabad-abad. Dengan mengalami
perubahan dan perkembangan sampai mencapai bentuknya yang
sekarang ini. Wayang juga dikenal dan didukung oleh sebagian besar
masyarakat jawa, yang memiliki corak yang bentuk yang khusus dan
bermutu tinggi sehingga dapat disebut kebudayaan nasional.
Wayang kulit merupakan seni kebudayaan nasional untuk
melaksanakan dakwah agama yang dibungkus dalam seni kata-kata
yang digunakan untuk nama-nama, tokoh-tokoh, kejadian-kejadian dan
sebagainya. Tidak mengherankan apabila dalam seni wayang terdengar
nama-nama yang baru pada saat itu, bahkan banyak yang diberi nama
dan peranan yang baru.
2. Sejarah dan perkembangan wayang kulit
Wayang telah dikenal sejak zaman purba yang merupakan
perwujudan dari bayang-bayang nenek moyang. Dalam kepercayaan
animisme dan dinamisme suatu kepercayaan yang dianut masyarakat
pada zaman itu berkaitan dengan roh nenek moyang yang telah lama
mati menjadi pelindung bagi manusia yang masih hidup. Roh tersebut
tinggal di bukit-bukit, gunung-gunung, pohon besar dan benda-benda
lainnya.
Menurut Dr. Hazeu, wayang telah ada sejak zaman airlangga
(950 caka = 1028 M permulaan abad XI Sesudah Masehi) didalam
kerajaan Kediri yang makmur. Pertunjukan bayang-bayang (wayang)
42 Bambang Sugito, Op.Cit., hlm. 31.
20
mempergunakan boneka dari kulit (walulang inukir), dan bayang-
bayangnya diproyeksikan pada tabir (kelir).43
Kemudian pada tahun 1443 Sunan Kalijaga membuat wayang
dijadikan satu-satu, tiap wayang satu dibuat pada kulit satu lembar, jadi
penggunaan kulit kambing sebagai wayang adalah oleh Sunan Kalijaga
pula.44
Bahkan lebih jauh dari itu Ir. Sri Mulyono memberikan
penjelasan bahwa wayang kulit purwa itu merupakan bentuk kesenian
klasik tradisional yang timbul kurang lebih pada tahun 1500 SM. Jadi
hingga sekarang sudah berusia 35 abad.45
Perkembangan wayang kulit menurut Sunarto diketahui ada
dua macam teori yang cukup dikenal dalam dunia pewayangan.
Pertama, perkembangan wayang yang berkaitan dengan maSalah
morfologi wayang. Teori ini menjelaskan tentang asal usul wayang
yang bermula dari gambar relief candi kemudian dipindah pada
lembaran kertas yang disebut wayang beber. Perkembangan selanjutnya
wayang beber dipisah-pisahkan, sehingga dapat digerak-gerakkan dan
dibuat dari kulit kerbau yang selanjutnya disebut wayang kulit. Kedua,
teori perkembangan wayang berdasarkan perkembangan sejarah atau
sumber-sumber sejarah yang lebih dapat dipercaya kebenarannya.46
Dr. Hazeu mengupas secara ilmiah tentang pertunjukan
wayang kulit dan menyelidiki istilah-istilah sarana pertunjukan wayang
kulit yaitu: wayang, blencong, kepyak, dalang, kotak, istilah tersebut
diatas hanya terdapat dipulau jawa. Jadi bahasa jawa asli.47
Jadi jelaslah kini bahwa wayang merupakan budaya asli
Indonesia bukan budaya Hindu atau Budha. Yang harus kita garis
bawahi adalah meskipun begitu lamanya namun pewayangan hingga
43 Sri Mulyono, Op.Cit.,hlm. 21. 44 Umar Hasyim, Op.Cit., hlm. 25 45 Sri Mulyono, Op.Cit., hlm. 3. 46 Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit, Dahara Prize, Semarang, 1997, hlm. 16. 47 Sri Mulyono, Op.Cit., hlm. 8
21
kini masih saja digemari. Hal itu dikarenakan di dalam pewayangan
terdapat berbagai macam unsur-unsur: hiburan, seni, pendidikan,
dakwah, musik, vokal, ukir dan sebagainya.
C. Pencipta-pencipta Wayang dan Filsafat yang Terkandung dalam
Wayang
1. Pencipta-pencipta wayang
Dr. Hazeu mengatakan bahwa wayang telah ada sejak zaman
kahuripan, malahan dalam kedaton Erlangga telah diadakan pertunjukan
wayang. Zaman sang Prabu Jayabaya, dan seterusnya sampai zaman
Majapahit, wayang dinamakan wayang beber. Karena wayang digambar
diatas kertas yang lebar maka dikatakan wayang beber.48
Sejak zaman timbulnya wayang, wayang telah mengalami
perubahan dan perkembangan. Sehingga sampai sekarang terdapat
bermacam-macam wayang. Menurut K.P.A. Kusumodilogo jenis
wayang beserta penciptanya yaitu:
a. Wayang purwo rontal. Pada tahun 939 M atau 861 C dengan
cronogram/sengkalan gambaring wayang wolu, prabu Jayabaya
membuat wayang purwo pada daun rontal.
b. Wayang kertas. Pada tahun 1244 M. atau 1166 C. dengan
sengkalan/kronogram wayang diperbesar dan digambar diatas kertas
jawa oleh Raden Kudalaleyan/Prabu Surya Hamiluhur di Padjajaran.
c. Wayang beber. Pada tahun 1361 M. atau 1283 C. dengang
sengkalang/ kronogram Prabu Bratono di kerajaan Majapahit
membuat wayang beber untuk ruwatan, lengkap dengan sesajen dan
kemenyan.
d. Wayang demak. Pada tahun 1518 M. atau 1440 C. Sultan Alam
Akbar/Raden Patah di kerajaan Demak menyempurnakan
pertunjukan wayang agar tidak bertentangan dengan agama, dan
48 Umar Hasim, Op.Cit., hlm. 24
22
sebelumnya pada tahun 1511 M. atau 1433 C. mengangkut semua
wayang beber beserta gamelan dan perlengkapannya ke Demak.
e. Wayang semalam suntuk. Pada tahun 1521 M. atau 1443 C. para
wali (Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijogo dan Sunan Kudus)
menyempurnakan pertunjukan wayang dengan kelir, debog,
blencong dan lain sebagainya untuk pertunjukan wayang semalam
suntuk.
f. Wayang gedog. Tahun 1556 M. atau 1478 (saliro dwija dadi raja)
sinuwun tunggul ing Giri membuat wayang kidang kencana dengan
prada.dan pada tahun 1563 M. atau 1485 (gegamaning naga
kinaryeng dewa) sinuwun tunggul ing Giri juga membuat wayang
gedog cerita panji.
g. Wayang beber gedog. Pada tahun 1393 M. atau 1315 dan tahun
1565 M. atau 1486 (wayang wolu kinarya tunggal) sunan Bonang
membuat wayang beber gedog.
h. Wayang purwo gedog. Tahun 1583 M. atau 1505 (panca boma
marga tunggal) Raden Joko Tingkir yang memerintah pada tahun
1568 – 1586 M. dikerajaan Pajang membuat wayang Purwo Gedog.
i. Wayang golek. Diciptakan oleh Sunan Kudus pada tahun 1584 M.
atau 1506 (wayang sirna gumulunging wisma).
j. Wayang krucil. Tahun 1648 M. atau 1571 (waktu tunggangane buta
widadari) Prabu Hamangkurab Tegal Arum membangun kembali
wayang gedog. Pada waktu itu juga Raden Pekik di Surabaya
membuat wayang Krucil.
k. Wayang Sabrana. Pada tahun 1703 M. atau 1625 (buta nembah ratu
tunggal) Paku Buwono I (1704 – 1719) di Kartasura membuat
wayang sabrangan memakai baju.
l. Wayang pramukanya. Pada tahun 1733 M atau 1655 (buta lima
ngoyak jagat) Prabu Paku Buwono II (1719-1744) di Kartasura
membuat wayang Kyai Pramukanyo.
23
m. Wayang kyai banjed. Pada tahun 1731 m atau 1656 (wayang misik
rasaning midodari) Sinuwun Paku Buwono II juga membuat
wayang Kyai Banjet.
n. Wayang wong. Tahun 1761 M atau 1687 (warasta wayaning jalma)
Mangkunegara I (1757-1795) membuat wayang wong.
o. Wayang kyai mangu dan kyai kanyut diciptakan oleh Pangeran
Adipati Anom II. Pada tahun 1771 M atau 1697 (resi truska wayang
tunggal).
p. Wayang Pramukanyo kadipaten diciptakan oleh Pangeran Adipati
Anom. Pada tahun 1774 M atau 1700 (tanpa mukswa pandita
praja).49
Menurut kesusasteraan jawa II oleh S. Patmosukotjo yaitu:
a. Wayang purwa tahun 939 M, Sri Jaya Baya, raja Kediri memulai
membuat wayang purwa, berujud rontal. Kemudian dibangun
kembali oleh Raden Panji di Jenggal pada tahun 1223 M. Waktu itu
suluknya masih menggunakan bahasa kawi, bahannya masih dari
rontal.
b. Wayang kertas tahun1244 M. Lembuamiluhur dari Pajajaran, putra
dari Raden Panji memulai membuat wayang dari kertas dan juga
mengguanakan gamelan slendro.
c. Wayang beber tahun 1283 M. wayang yang dibuat dari kertas
dinamakan wayang beber. Sang Prabu Brawijaya memulai gemar
memberi warna pada wayang mulai zaman Sunan Giri memberikan
sumbangan wayang berujud raksasa yang diberi dua biji mata.
d. Pada tahun 1400 lebih Raden Patah membuat gunungan wayang
purwa makin menanjak sedang wayang beber kalah terkenal.50
Sedangkan menurut Drs. Bambang Sugito macam-macam
wayang yaitu:
49 Sri Mulyono, Op. Cit., hlm. 35-38. 50 Amir Merto Sedhana, Op. Cit., hlm. 18.
24
a. Wayang purwa (dahulu) diciptakan oleh Prabu Jaya Baya dari Kediri
yang pokok ceritanya dari kitab Mahabarata. Cerita wayang ini
semula diujudkan sebagi lukisan pada daun rontal. Kemudian
mengalami perubahan pada zaman Majapahit dan Demak, bentuk dan
bahannya sehingga berujud wayang kulit.
b. Wayang madya (zaman tengah). Ceritanya merupakan lanjutan dari
wayang purwa. Wayang ini diciptakan oleh Mangkunegara di
Surakarta.
c. Wayang gedog (kedok = topeng). Ceritanya adalah lanjutan wayang
madya sedangkan yang menciptakan wayang ini adalah Sunan Giri.
d. Wayang dupara. Wayang ini diciptakan oleh Susuhunan Paku
Buwono ke-X Surakarta. Ceritanya menggambarkan kerajaan
Demak, Pajang Mataram sampai Kartasura.
e. Wayang jawa. Penciptanya Dutadilaga di Solo. Isi ceritanya sejarah
kerajaan Demak sampai dengan Mataram habis.
f. Wayang menak. Penciptanya Trunadipa K. Dukun di Bateuretna,
Solo. Isinya menggambarkan khusus riwayat menak.
g. Wayang kancil. Pencptanya Mbah Bo Liem, seorang Tiong Ho, pada
tahun 1925 di Solo. Isi ceritanya dongeng kancil dan binatang untuk
dipertunjukkan terutama pada anak-anak.
h. Wayang perjuangan atau wayang sandiwara. Isi ceritanya tentang
penjajahan Belanda dan Jepang hingga zaman kemerdekaan.
Penciptanya R.M Sayed Solo tahun 1944 dan jawatan penerangan R.I
menamakan wayang suluh, karena untuk suluh penerangan.
i. Wayang beber (benteng). Diciptakan pada zaman Majapahit. Isi
ceritanya adalah wayang purwa.
j. Wayang wong. Diciptakan sejak Mangkunegara IV Surakarta. Isi
cerita seperti wayang purwa. Hanya tokoh-tokoh pelakunya
25
dimainkan di panggung dengan dekor-dekor semacam sandiwara,
tetapi masih menggunakan dalang.51
Demikianlah macam-macam (jenis) wayang beserta pencipta-
penciptanya menurut perubahan dan perkembangannya wayang
merupakan budaya masyarakat Indonesia yang cukup unik, satu sama
lainnya mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri.
Dari sekian macam-macam wayang yang ada yang mendapat
tempat dan digemari oleh masyarakat sampai sekarang dalam berbagai
lapisan adalah wayang kulit. Disamping itu wayang kulit telah
mencapai bentuk yang sempurna sehingga mempunyai kesan tersendiri
setelah menontonnya.
2. Filsafat yang terkandung dalam wayang
Membicarakan tentang wayang dan pewayangan selalu
menaikkannya dengan kata-kata filsafat. Kata filsafat itu sendiri berasal
dari bahasa Yunani Philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan
sedang yang melakukannya disebut filsuf yang berasal dari kata Yunani
Philosophos. Kedua kata tersebut dipakai sejak abad ke-5 sebelum
masehi Socrates dan Plato, seorang filsuf berarti seorang pecinta
kebijaksanaan. Apa bila seseorang telah mencapai kebijaksanaan berarti
orang tersebut telah mencapai adi manusiawi.52
Berfilsafat yaitu berfikir dengan menggunakan akal budi
sedalam-dalamnya dengan penuh tanggungjawab, mengikuti metode
dan sistem yang teratur dan tertib untuk mengungkapkan misteri
permasalahan yang ingin kita pecahkan. Setelah itu dicari kesimpulan
yang umum dan universal.53
Dr, Hazim Amir berpendapat bahwa wayang menawarkan
ajaran-ajaran filosofis yang pada dasarnya bersumber pada ajaran-
ajaran religius. Dalam penjabarannya sehari-hari ajaran-ajaran tersebut
51 Bambang Sugito TH, Op.Cit., hlm. 33-34. 52 Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Gunung Agung, Jakarta,
1983, hlm. 16. 53 Budiono Heru Santoso, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, PT. Hanindita Graha
Widya, Yogyakarta, 2000, hlm. 61.
26
termaktub dalam suatu konsep etika tradisional yang lengkap dan
semua itu di ekspresikan dalam suatu karya seni yang amat tinggi nilai
estetisnya. Dengan demikian wayang merupakan bukti bahwa filsafat,
etika dan estetika tidak perubahan dipisahkan dari yang lain.54
Dalam filsafat Jawa bagi orang-orang yang membahas dunia
pewayangan tidak pernah ditemukan kesamaan pendirian dan pendapat.
Karena titik tolaknya berlainan. Hal tersebut tidak perlu
dipermasalahkan karena justru sangat diperlukan karena perbedaan
tersebut akan bersifat saling melengkapi satu dengan lainnya.
Wayang sebagai pertunjukan merupakan ungkapan dan
peragaan pengalaman religius yang merangkum bermacam-macam
unsur lambang seperti bahasa,gerak (tari), suara (sastra), warna dan
rupa. Dalam wayang terekam ungkapan pengalaman religius kuna,
masih berperannya mitos dan ritus yang terdapat dalam lakon ruwat.
Dalam sejarah kehidupan religius jawa kesusasteraan dan wayang
saling mendukung dan menghidupkan, perumusan pengalaman religius
jawa dalam sejarahnya tidak lepas dari pengaruh agama-agama Hindu,
Budha dan Islam beserta mistiknya.55
Dalang dan wayang lebih baik bagi masyarakat jawa tengah
memegang peranan penting dalam pengembangan kebudayaan daerah.
Wayang bukanlah sekedar pagelaran episode-episode tertentu. Dari
kisah Ramayana ataupun Mahabarata. Meskipun termasuk bahan
mentah yang amat baik, tetapi kenikmatan rasa dan intisari filsafat
wayang hanya dapat kita resapi melalui bumbu khas jawa yang bernama
sanggit itu, yaitu kemampuan dalang yang lahir dari kedalaman filsafat
dan kemahiran penguasaan bahasa sehingga dapat menghidupkan dan
mendramatisir setiap adegan dan dialog untuk menyampaikan pesan
dan kesan tertentu sesuai dan embanan (mission) yang dipikulnya.56
54 Hazim Amir, Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997,
hlm.14. 55 S. Haryanto, Op.cit., hlm. 153 56 Sujatmo, Sabda Pandita Ratu, Dahara Prize, Semarang, 1993, hlm.126-126
27
Pewayangan sesungguhnya dunianya orang jawa. Karena
pewayangan bagi orang jawa merupakan dunia kejawen. Bagi dunia
kejawen pengajian kebenaran dilakukan melalui rasio dan indera batin
yang memegang peranana utama.
Jawa dan kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari
beberapa ajaran yang berkembang di tanah jawa, semasa zaman
Hinduisme dan Budhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran Islam
di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang
melibatkan aspek kejawen sebagai jalur penyerantara Islam di tanah
Jawa. Unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan dalam budaya-
budaya Jawa semacam pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu
jawa, ular-ular (petuah yang berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga
upacara-upacara tradisi yang dikembangkan.57
Wayang sebagai produk budaya Indonesia sebelum zaman
Hindu merupakan visualisasi perwatakan serta perilaku individual
maupun sosial bangsa Indonesia sejalan dengan masuknya agama Islam
di Indonesia kesempurnaan wayang turut berkembang dalam segala
aspeknya terutama dalam bidang seni rupa dan falsafahnya. Khusus
dalam bidang falsafah pewayangan tampaklah penggambaran sifat-sifat
atau perilaku-perilaku yang sangat mendasar pada para tokoh yang
diteladankan. Sifat-sifat tersebut sangat relevan bahkan sesuaidengan
falsafah hidup bangsa Indonesia pada zaman apapun.58
Pertunjukan wayang kulit purwa tidak hanya merupakan suatu
kesenian semata, tetapi telah menjadi kesenian sakral atau kesenian
sakti yang etap merupakan sebagian dari kebudayaan Jawa.
Wayang tidak sekedar seni pertunjukan .wayang adalah
ekspresi nilai-nilai masyarakat, khususnya Jawa. Wayang lokus di mana
semua teori-teori umum dipatahkan. Dalam wayang kita ditawari
57 http://joewono.tripod.com/moch djoko yuwono/id6.html 23 Juli 2003 58 S. Haryanto, Op.Cit., hlm. 157
28
kemungkinan-kemungkinan hidup manusia. Kemungkinan bukan
kepastian. Wayang membangun sebuah filosofi yang paling manusiawi.
Filsafat wayang adalah filsafat yang kompleks, karena ia adalah filsafat
moral yang kongkrit. Pada prinsipnya, wayang menawarkan jawaban
yang simpel tentang hidup.59
Pandangan hidup orang Jawa lazim disebut kejawen atau yang
dalam kesusasteraan jawa dinamakan ilmu kesempurnaan jawa/jiwa.
Ilmu kesempurnaan jiwa ini termasuk ilmu kebatinan dan dalam filsafat
Islam disebut tasawuf atau orang jawa menyebutkan suluk atau mistik.
Kejawen atau agama jawa, sebenarnya bukan agama, tetapi
kepercayaan. Disana ada ajaran-ajaran yang berlandaskan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Lebih tepat disebut pandangan hidup
atau falsafat hidup orang jawa.60
Filsafat hidup orang jawa ini terbentuk karena perkembangan
kebudayaan jawa akibat pengaruh filsafat Hindu atau filsata Islam.
Orang hindu datang ke Jawa menyebarkan agama Hindu seraya
membawa filsafatnya. Demikian juga saat orang-orang gujarat datang
ke Jawa, tidak hanya menyebarkan agama Islam, tetapi
mengembangkan alam pemikiran Islam. Akhirnya tradisi Jawa, Hindu,
tasawuf Islam dan agama melebur menjadi satu, dalam pikiran orang
Jawa.
Orang Jawa mengatakan bahwa wayang dan pewayangan
mengandung filsafat yang dalam dan dapat memberi peluang untuk
melakukan pengkajian filsafati dan mistis sekaligus. Gejala yang
tampak pada dunia filsafat menurut versi kejawen bermunculan dalam
bentuk yang serba lambang, serba simbolis yang dulu istilah Jawa
disebut pasemon banyak terdapat pada dunia pewayangan.61
Setiap orang mempunyai perasaan, anggapan, pandangan hidup
yang berbeda dan berfilsafat yang berbeda pula. Namun uniknya dalam
59 http://wayang.1-2.co.id/arsip/menantangwayang.htm 23 Juli 2003 60 Budiono Herususanto, Op.Cit., hlm.65 61 S. Haryanto, Op.Cit.,hlm.158
29
dunia kejawen umumnya atau dunia pewayangan khususnya perbedaan
pendapat tersebut belum pernah diperdebatkan ataupun dipolemikkan.
Agaknya para penggemar wayang dan pewayangan dikalangan orang
Jawa cukup arif, dan beranggapan bahwa tidak adanya suatu anggapan
yang mutlak benar dan mutlak Salah. Pada umumnya mereka
mempunyai sikap toleransi. Sikap toleransi ini terungkap dalam selogan
yang sangat populer yakni aja dumeh (jangan mentang-mentang) dan
aja nggugu benere dewe (jangan menuruh kebenaran sendiri).
Membicarakan wayang tak ubahnya membicarakan falsafah
jawa. Karena wayang adalah sebagai simbol filsafat jawa.menurut
dunia pewayangan hidup harus senantiasa berdasarkan kebenaran, dan
kebenaran sejati hanya dapat diperoleh dari Tuhan. Untuk memperoleh
kebenaran sejati harus terlebih dahulu mencapai kesadaran sejati harus
memiliki ilmu-ilmu sejati, untuk mendapatkan ilmu sejati harus
mendapatkan kenyataan sejati dan selanjutnya manusia harus tahu
tentang apa sejatining urip. Agar dapat melihat sejatining urip manusia
harus melakukan dua hal yaitu:
1. Menyiapkan jiwa raganya agar menjadi manusia yang kuat dan suci
ing pambudi.
2. Manusia harus senantiasa mohon berkah pada Sang Hyang Tunggal
agar dirinya tinarbuko artinya ada kesedian menerima kebaikan dan
kebenaran yang datangnya dari manapun.62 Dalam kehidupan
umumpun ada falsafah Jawa yang menjelaskan tentang ajining diri
saka pucuke lathi, ajining raga saka busana. Artinya harga diri
seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaliknya seseorang dapat
menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Sehingga
tak heran jika seorang yang karena ucapan dan pandai menempatkan
dirinya akan dihargai oleh orang lain.
D. Latar Belakang Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah
62 H.M Darori Amin, dkk., Op.Cit., hlm.178
30
Sejarah Islam Indonesia terutama di Jawa, berhutang besar
terhadap kearifan para wali dizaman walisongo. Betapa tidak keluesan
tabiat manusia jawa yakni alergi terhadap hal-hal baru, dapat dimanfaatkan
dengan baik oleh walisongo dengan menebarkan Islam ala Jawa, yakni
Islam yang tidak bertabrakan dengan Hindhu dan Budha.
Wayang kulit berasal dari Jawa dikemukakan oleh Hazeu. Hazeu
berpendapat bahwa orang Jawa pada zaman dahulu mempunyai
kepercayaan menyembah roh nenek moyang/leluhur yang telah meninggal,
sebab menurut kepercayaannya roh dari nenek moyang itu dapat
menampakkan didunia sebagai bayangan. Oleh karena itu orang Jawa untuk
menghormati nenek moyangnya dengan cara membuat lukisan yang
menyerupai bayangan nenek moyang dan gambar-gambar tersebut
dijatuhkan pada kelir atau gedhek/tembok. Sehingga menurut Hazeu
wayang berasal dari upacara penyembahan roh nenek moyang.63
Wayang memang kesenian tradisional milik kita yang sah.
Kesenian ini diciptakan oleh para wali untuk syiar agama Islam sekali gus
mengumandangkan rasa persaudaran antara agama khususnya Islam dan
Hindhu. Suluk-suluk dan tembangnya disadur dari ayat-ayat suci Al
Qur’an. Gamelan atau musiknya dikembangkan dari karawitan yang ada
dilengkapkan menjadi seperti sekarang, yaitu slendro dan pelog. Setiap
komponen diberi makna sesuai tuntunan hidup dalam agama Islam.
Sedangkan ceritanya disadur dari kisah Mahabarata dan Ramayana.64
Sunan kalijaga yang merupakan Salah satu dari walisongo
mempunyai pandangan bahwa dakwah itu harus disesuaikan dengan situasi
dan kondisi. Adat istiadat rakyat yang berbau Hindhu dan Budha jangan
langsung diberantas, akan tetapi diperlihara dan dihormati sebagai suatu
kenyataan. Adapun cara mengubahnya dengan sedikit demi sedikit
memberi warna baru kepada budaya yang lama (Hindhu dan Budha)
63 Sutarno, Wayang Kulit Jawa, Cendrawasih, Surakarta, t.t, hlm.5 64 http://www.indosiar.com/welcome/forum/topic.asp?TOPIC_ID=1729 tanggal 24
April 2003.
31
mengikuti sambil mempengaruhi dan mengisinya dengan jiwa Islam, maka
dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.
Sunan Kalijaga merupakan wali yang suka berdakwah dengan
menggunakan sarana kesenian dan kebudayaan. Sunan Kalijaga merupakan
tokoh walisongo yang suka menggunakan wayang kulit untuk berdakwah.
Dalam buku Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang digubah pada
tahun1984 oleh Iman Anom, Salah seorang keturunan dekat Sunan kalijaga
yang berisi:
“Badarina dipun kadi wayang, kinudang aneng enggone, padhange blincongipun, ngibarate panggunggireki, damare ditya wulan, kelir alam suwung, ingkang nenggo cipta keboh bumi tetepe adege ringgit, sinangga maring nanggap”. Artinya: anggaplah ragamu wayang digerakkan ditempatnya, terangnya blencong itu, ibarat panggung kehidupanmu, lampunya bulan purnama, layar ibarat alam jagat raya yang sepi kosong yang selalu menunggu-nunggu buah pikir/kreasi manusia, batang pisang ibarat bumi tempat mukimnya wayang/manusia, hidupnya ditunjang oleh yang nanggap.65
Dari pernyataan di atas dapat di gambarkan bahwa Sunan Kalijaga
dalam berdakwah mengemukakan bahwa raga manusia itu dianggap
sebagai wayang, sedangkan panggung kehidupan diibartakan seperti
blencong atau lampu. Sedangkan layar diibaratkan sebagai alam yang
selalu menunggu kreasi manusia supaya tidak sepi dan kosong. Batang
pisang yang fungsinya untuk menancapkan wayang diibaratkan bumi
tempat tinggal manusia. Yang mengatur seluruh hidup manusia adalah
Allah SWT.
Sunan Kalijaga memanfaatkan pagelaran wayang sebagai media
dakwah untuk penyebaran agama/kepercayaan Islam. Sebagai dalang beliau
terkenal dengan sebutan “Kidalang sang Kuncoro Purwo”. Ini berarti
dizaman itu wayang sudah merupakan media informasi dan komunikasi
yang efektif, edukatif dan persuatif.66
65 Imam Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga, Terj. Muhammad Khafidz Basri ,
dkk., Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 61-61. 66 http://wayang.i-2.co.id/sejarah wayanggolek.htm tanggal 15 Maret 2003
32
Disamping itu media wayang yang dipergunakan pengislaman
wayang (yang waktu itu menganut agama Hindhu dan Budha) yang konon
dilakukan oleh sunan kalijaga pada saat pertunjukan akan diadakan dengan
cara setiap pengunjung membaca kalimat sahadat sebagai “Tanggapannya”
(menurut bahasa cirebon tanggapan berarti pembayaran untuk dapat
menonton suatu pertunjukan).67
Berhasil tidaknya dakwah itu diantaranya tergantung pada da’i,
sedangkan dakwah dengan menggunakan media wayang itu berhasil
tidaknya tergantung pada dalangnya dalam memainkan wayang dan
menyisipkan ajaran-ajaran Islam. Peran dalang sangat penting dalam
pertunjukan wayang. Karena pertunjukan wayang itu tidak mungkin ada
tanpa adanya dalang.
Bagi masyarakat jawa, wayang tidaklah hanya sekedar tontonan
tetapi juga sebagai tuntunan. Wayang bukan hanya sekedar sebagai saran
hiburan, akan tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan,
media pendidikan dan juga bisa digunakan sebagai media dakwah.
Kwalitas pertunjukan wayang, baik fungsinya sebagai tontonan
maupun sebagai tuntunan, memang sangat ditentukan oleh sang Dalang.
Akan tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa peranan anggota yang lain seperti
wiraswara, pesinden atau swarawati itu hanyalah sebagai timun wungkuk
jaga imbuh atau sebagai embel-embel yang tidak berarti. Khususnya dilihat
dari aspek wayang sebagai peran dalang.iringan karawitan baik dilengkapi
dengan wiraswara dan swarawati yang baik dan dapat merupakan
kemestian yang bersifat tan keno ora. Namun dalang yang pada hakekatnya
merupakan dirigen dan sekaligus sutradara terhadap pertunjukan wayang
seutuhnya itu, tetaplah sebagai pengendali dan penentu keberhasilan
pertunjukan wayang.68
Dilihat dari aspek wayang sebagai tuntunan, peranan dalang
hampir-hampir sangat mutlak. Untuk bisa memberikan tuntunan kepada
67 Ibid. 68 Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Dahara Prize, Semarang, 1992, hlm.28
33
masyarakat, khususnya para penonton, seorang dalang harus menguasai
hampir segala hal. Dalam istilah Jawa ia harus mumpuni. Seorang dalang
memang seharusnya memiliki kwalitas diri yang melampaui anggota
masyarakat lainnya. Seorang dalang itu bukan saja hanya sebagai
penghibur tetapi juga sebagai komunikator, sebagai penyuluh, sebagai
penutur, pendidik atau guru bagi masyarakat dan juga diharapkan
rohaniawan yang selalu berkewajiban mengajak masyarakat untuk berbuat
kebaikan dan melarang kejahatan, menanamkan kepada masyarakat
semangat amar ma’ruf nahi munkar, sesuai dengan ajaran agama.
Adapun lakon-lakon yang ditayangkan oleh para wali dari lakon
karangan Mahabarta dan Ramayana yang diambil tokoh-tokohnya sebagai
pelaku. Ditambahkan pula tokoh-tokoh karangan sendiri yaitu figur
punokawan antara lain semar, nala gareng, petruk, dan bagong, bukan
merupakan sebutan bahasa jawa kuno, tetapi berasal dari bahasa arab yaitu:
Semar yang berasal dari Ismaar
Nala gareng berasal dari Naala qariin
Petruk berasal dari Fatruk
Bagong berasal dari Baghaa.69
Adegan punokawan (goro-goro) memang banyak diminati
penonton disetiap pertunjukan. Humor, kritik merupakan isi adegan ini,
jadi sangat tepat apabila pesan Islam masuk goro-goro.
Sedangkan lakon pertama yang ditayangkan oleh sunan Kalijaga
adalah Bhimo suci. Lakon ini menggambarkan bagaimana seseoarang
mendapat godaan dalam menuntut keimanan. Keimanan sepeti pusaka atau
jimat yang adanya di samudra minang kalbu. Artinya didalam hati sanubari
yang bagaikan lautan luas tuhan itu berwujud Hyang Nawa Ruci yang mirip
diri sendiri dan keluar cahaya dari dada sendiri. Maksudnya tuhan itu ada
di setiap diri makhluknya, lebih dekat dari urat nadi kita. Lantas Bhima
disuruh masuk kelubang telinga. Artinya dengarkan dakwah meskipun ruci
69 M. Darori Amin, dkk., Op.Cit., hlm. 179-180.
34
hanya sebesar kelingking, tetapi dalam ruci. Ruci ternyata memuat alam
semesta, artinya kekuasaan tuhan tak terbatas.70
Dalam perkembangannya banyak wujud wayang kulit dalam
kreasi baru yang dintaranya adalah wayang sadat. Wayang sadat ini
berdasarkan pada paham (ajaran) Islam yang berfungsi sebagai sarana
dakwah. Wujud wayang sadat masih masih berdasasr pada wayang kulit
purwa, baik atribut maupun stilasinya. Hanya saja bagian muka dan tangan
serta irah-irahan (ikat kepala) mendapat beberapa gubahan. Cerita wayang
sadat berkisar pada masa penyebaran ajaran Islam di Jawa (pada masa
dikenalnya para wali di Demak) hingga pada masa berdirinya berdirinya
kerjaaan mataram.71
Sesuai dengan misinya wayang sadat disamping wujud wayang
yang bercorak Islam, sarana lainnya juga disesuaikan dengan Islam. Baik
dalang maupun niyaga memakai memakai serban, serta anggota
lainnyapun memakai busana muslim. Awal pertunjukan wayang sadat
biasanya dimulai dengan pemukulan beduk yang kemudian dibuka dengan
Salam.
70 http://www.indosiar.com/welcome/forum/topic.asp?TOPIC_ID=1729 tanggal 24
April 2003 71 Sunarto, Op.Cit., hlm. 141.
35
BAB III UPAYA SUNAN KALIJAGA DALAM MEMANFAATKAN WAYANG
KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH
Silsilah dan Asal-usul Sunan Kalijaga
Nama asli Sunan Kalijaga adalah Raden Syahid atau disebut pula dengan Syaikh Melaya karena beliau adalah putera Tumenggung Melayakusuma di Jepara. Tumenggung Melayakusuma semula berasal dari seberang, keturunan Adipati Tuban oleh Sri Prabu Brawijaya, sehingga ia berganti nama dengan Tumenggung Wilatikta. (Majapahit). Kemungkinan besar Tumengung Melayakusuma adalah seorang imigran Jawa pada koloni Jawa di Malaka yang setelah memeluk agama Islam di Malaka, kemungkinan dia kembali lagi dan seterusnya menetap di Jawa.72
Mengenai kapan hari kelahiran dan wafat Sunan Kalijaga tidak di ketahui dengan pasti, hanya diperkirakan ia mencapai usia lanjut. Diperkirakan lahir kira-kira 1450 M. berdasarkan atas suatu sumber yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga kawin dengan putri Sunan Ampel pada usia kira-kira 20 tahun. Yakni pada tahun 1470 M. Sunan Kalijaga diperkirakan hidup lebih dari 100 tahun lamanya, yakni sejak pertengahan abad ke-15 sampai dengan akhir abad ke-16.73
Sedangkan menurut Umar Hayim Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, dan mendapatkan 3 orang putera yaitu Raden Umar said yang kemudian bergelar Sunan Muria, Dewi Rukayah dan Dewi sofiah.74
Masa hidupnya Sunan Kalijaga mengalami 3 masa pemerintahan yaitu masa akhir Majapahit (Kerajaaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M.), zaman Kasultanan Demak (berdiri pada tahun 1481-1546 M.) dan kesultanan Pajang (diperkirakan berakhir pada tahun 1568 M.) Dengan demikian Sunan Kalijaga diperkirakan hidup lebih dari 100 tahun lamanya yakni sejak pertengahan abad ke-15 sampai akhir abad ke-16.75
Tentang asal usul keturunannya ada beberapa pendapat bahwa Sunan Kalijaga kelahiran Arab asli, keturunan Cina dan ada pula yang menyatakan keturunan Jawa asli. Masing-masing pendapat mempunyai sumber-sumber yang berbeda.
Menurut buku “De Hedramaut et les colonies Arabies danS’l Archipel Indien” Karya Mr. CL.N. Van den Berg, Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab asli. Tidak hanya sunan Kalijaga akan tetapi semua wali yang ada di Jawa adalah keturunan Arab.
72 Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 30 73 Ridin S. dkk, Op.Cit, hlm. 84. 74 Umar Hasyim, Op.Cit., hlm. 12. 75 Ridin S. dkk, Op.Cit., hlm. 85.
34
36
Menurut buku tersebut silsilah Sunan Kalijaga adalah sebagai berikut: Abdul Muthalib (kakek Nabi Muhammad), berputera Abbas, berputera Abdul Wakhid, berputera Abdullah, berputera Madro’uf, berputera Arifin, berputera Abbas, berputera Kourames, berputera Abdur Rakhim (Ario Tejo, Bupati Tuban), berputera Tejo Laku (Bupati Majapahit), berputera Lembu Kusuma (Bupati Tuban), berputera Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban) berputera Raden Syahid (Sunan Kalijaga).76
Kemudian yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga keturunan Cina adalah didasarkan pada buku “kumpulan ceritera lama dari kota wali (Demak)” yang ditulis oleh S. Wardi dan diterbitkan oleh “Wahyu” menuturkan bahwa Sunan Kalijaga sewaktu kecil bernama Said. Dia adalah keturunan Cina bernama Oei Tik Too yang mempunyai putera bernama Wilatikta (Bupati Tuban). Bupati Wilatikta ini mempunyai anak laki-laki bernama Oei Sam Ik, dan terakhir dipanggil Said.77
Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga berdarah Jawa asli, didasarkan atas sumber keterangan yang berasal dari keturunan dari sunan Kalijaga sendiri. Silsilah menurut pendapat yang ketiga ini menyatakan bahwa moyang Kalijaga adalah seorang panglima Raden Wijaya, raja pertama Majapahit, yakni Ronggolawe yang kemudian diangkat menjadi Bupati/Adipati Tuban. Seterusnya Adipati Ronggolawe berputera Aria Teja I (Bupati Tuban), berputera Aria Teja II (Bupati Tuban) berputera Aria Teja III (bupati Tuban) berputera Raden Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban), berputera Raden Mas Said (Sunan Kalijaga). Menurut keterangan Aria Teja I dan II masih memeluk agama Shiwa. Hal ini terbukti dari makamnya yang berada di Tuban yang memakai tanda Syiwa. Sedangkan Aria Teja III sudah memeluk agama Islam.78
Perjalanan Spiritual/Menjadi Wali
Sunan Kalijaga adalah seorang berandal yang terkenal dengan
sebutan Lokajaya. Raden Syahid setelah meninggalkan Kadipaten Tuban
terkenal sebagai pengadu ayam dan juga sebagai penyamun/perampok. Suatu
hari Lokajaya bertemu dengan seorang ulama (yang tidak lain adalah Sunan
Bonang) dengan pakaian yang nampak serba indah dan serba mahal harganya.
Lokajaya segera menghentikannya dan meminta mereka dan semua yang
dibawa, kalau berani menolak maka akan dibunuh. Lokajaya terkejut ketika
orang setengah baya tersebut menyebut namanya dan meminta supaya Sunan
76 Umar Hasyim, Op.Cit., hlm.4 77 Ibid. 78 Ibid., hlm. 5
37
Kalijaga melihat pohon aren. Alangkah terkejutnya Lokajaya melihat buah
kolang kaling itu adalah emas. Tampak pada pandangan Lokajaya semua
tirisan kolang kaling tersebut adalah emas yang berkilau indah dalam sinar
matahari. Kemudian / seketika Lokajaya berjongkok kepada orang tersebut
sambil meminta maaf dan minta supaya diterima sebagai muridnya.79
Berkat dakwahnya Sunan Bonang, berandal Lokajaya bertobat
kejalan yang benar bahkan menjadi ulama yang berhak mendapat kehormatan
yaitu menjadi wali penutup dan wali pusat.80 Kemudian berandal Lokajaya
atau Raden Syahid bergelar dengan sebutan Sunan Kalijaga.
Tentang asal usul Sunan Kalijaga berasal dari perkataan Jaga Kali.
Sunan Bonang yang merupakan guru Raden Syahid (Sunan Kalijaga)
kemudian mengujinya untuk menunggu kali atau bertapa. Setelah lama
dipendam di kali Sunan Bonang baru teringat tentang Raden Syahid.
Kemudian Sunan Bonang beserta sahabatnya pergi ke tempat Raden Syahid
dipendam untuk mengeluarkannya. Raden Syahid telah menjadi mayat, akan
tetapi tubuhnya tidak membusuk hanya tinggal tulang dan kulit. Kemudian
mayat Raden Syahid dibawa ke Ngampel Gading untuk dikembalikan
kekuatannya. Semua wali ikut mengembalikan kakuatan Raden Syahid.
Sedikit demi sedikit kekuatannya kembali seperti semula. Dan kemudian oleh
para wali Raden Syahid diangkat menjadi wali dengan sebutan Sunan
Kalijaga.81
Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali dan faham yang mendalami
segala pergerakan aliran atau agama yang hidup dikalangan rakyat. Sunan
Kalijaga sangat terkenal disegala lapisan masyarakat Jawa. Beliaulah yang
banyak mendekati rakyat baik itu dari kalangan raja-raja, para penguasa dan
juga dari kalangan rakyat jelata dan orang-orang kecil didesa-desa.
79 Ridin S. dkk., Op.Cit., hlm. 105 80 Widji Saksono, Op.Cit., hlm. 30 81 Ridin S., dkk., Op.Cit., hlm. 92
38
Karya dan Jasa Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga dalam berdakwah lebih memilih menggunakan
sarana kesenian dan kebudayaan. Sebagai mubaligh beliau sangat terkenal,
sebagai seorang wali yang berjiwa besar, serang pemimpin, muballigh,
pujangga dan filosofi daerah operasinya tidak terbatas. Oleh karena itu Sunan
Kalijaga terkenal sebagai muballigh keliling. Karena dalam berdakwah beliau
tidak hanya di kota-kota saja, akan tetapi sampai kepelosok desa-desa.
Sunan Kalijaga tenar disegala kalangan, baik dikalangan bawah karena bisa menyesuaikan diri dengan rakyat jelata dan bisa menyelami kehidupan rakyat kecil. Sunan Kalijaga juga pandai bergaul dikalangan atas, karena sangat kritis terhadap segala sesuatu hal dan mempunyai toleransi yang besar terhadap semua golongan dan segala hal.
Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau,
karena caranya menyiarkan agama Islam yang disesuaikan dengan aliran
zaman beliau adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dalam
pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan semasa hidupnya.
Sunan Kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani, beliau
terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita
wayang yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam, dengan perkatan lain
dalam cerita-cerita wayang itu dimasukkan sebanyak mungkin unsure
keislaman. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa
pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hindu dan Budha atau
Syiwa Budha, atau dengan kata lain masyarakat masih memegang teguh
tradisi-tradisi atau adat lama.82
Sunan Kalijaga selain sebagai seorang muballigh juga sebagai
budayawan. Perkembangan kebudayaan Indonesia terutama mengenai
kebudayaan daerah (jawa) tidak bisa lapas dari peranan Sunan Kalijaga dan
juga para wali lainnya. Peranan yang dimainkan sebagai muballigh yang
menyiarkan agama dikalangan masyarakat luas dan berbagai lapisan dan
golongan masyarakat yang telah mempunyai bentuk-bentuk kebudayaan dan
82 http://mujarobat.tripod.com/index6.html tanggal 23 Juli 2003
39
kepercayaan serta pola hidup tertentu, sangat besar artinya bagi sejarah
perkembangan kebudayaan Indonesia.
Masyarakat pada waktu itu masih suka pertunjukan wayang, gemar
pada gemelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang
mendorong Sunan Kalijaga untuk mengatur siasat yaitu dengan cara
menempuh jalan mengawinkan atau menggabungkan adat istiadat lama
(Hindu dan Budha) dengan ajaran-ajaran Islam yang biasa disebut dengan
asimilasi kebudayaan. Jalan dan cara tersebut berdasarkan atas kebijaksanaan
para walisongo dalam menggabungkan ajaran agama Islam.83
Diantara karya dan jasa Sunan Kalijaga dalam menyiarkan agama di
kalangan masyarakat yang mempunyai efek dan sikap hidup disegala bidang
kehidupan atau mempunyai akibat yang luas dalam bidang hidup dan
kebudayaan yang mendapat pengaruh darinya yaitu:
1. Seni pakaian
Sunan Kalijaga yang menciptakan seni batik yang bermotifkan ilustrasi
gambar burung diberbagai macam bentuk. Beliau juga menciptakan baju
taqwa. Nama tersebut berasal dari bahasa Arab yang artinya taat dan
berbakti kepada Allah.
2. Seni suara
Mencipta lagu jawa dandang gula dan lagu dandang gula semarangan
adalah Sunan Kalijaga. Suatu nada toleransi antar melodi Arab dan jawa.
Adapun para wali yang lainnya juga turut menciptakan lagu seperti sunan
Giri menciptakan lagu asmara dana dan Pucung, Sunan Bonang
menciptakan lagu Mas Kumambang dan Mijil. Sunan Muria menciptakan
lagi sinom dan kinanti. Sunan Drajat menciptakan lagu pangkur.
3. Seni ukir
Seni ukir yang berbentuk manusia dan binatang yang telah ada pada
zaman sebelum Islam tidak dikembangkan oleh para wali, hanya
mengembangkan menjadi seni ukir berbentuk dedaunan, bentuk gayau
83 Ibid.
40
atau alat menggantungkan gamelan, bentuk ukiran rumah-rumah adat di
Kudus, Demak dan bentuk yang lainnya.
4. Seni gamelan
Sunan Kalijaga adalah yang menciptakan gamelan, diantaranya gong
sekaten yang menurut nama aslinya sewaktu diciptakan dahulu oleh Sunan
adalah shahadatain, yaitu dua shahadat. Asal mulanya adalah gong ini
ditabuh pada perayaan mauludan di halaman masjid Demak, untuk
mengundang orang-orang supaya berbondong-bondong datang untuk di
beri ceramah. Adapun falsafah dari gamelan adalah:
a. Kenong, bunyinya nong, nong, nong. Sekarang ditambah dengan saron
berbunyi ning, ning.
b. Kempul, suaranya peng, pung, pung.
c. Kendang, tak ndang, tak nang, tak ndang.
d. Genjur, berbunyi nggur.
Kesemuanya dari bunyi gamelan itu bila diselaraskan bunyinya sebagai
berikut: ningnong, nong kono nang kene (disana, disitu, disini), pung pung
mumpung-mumpung (mumpung masih ada waktu) yang dihubungkan
dengan pul pul, kumpul-kumpul, ndang ndang (cepat-cepat) dan terakhir
berbunyi nggur artinya supaya lekas njegur atau masuk kedalam masjid.
5. Seni kentong dan bedug
Sunan Kalijaga memerintahkan Sunan Pandanaran yaitu mantan Bupati
Semarang supaya membuat bedug untuk mengundang orang-orang agar
berkumpul di masjid atau langgar untuk sholat berjamaah. Falsafah bedug
menurut para ahli otak atik adalah sesuai dengan bunyinya, deng-deng
artinya masih sedang atau masih muat yaitu dalam masjid masih muat
untuk sholat berjamaah. Dan kentongan berbunyi tong tong artinya masih
kosong atau kotong.
6. Grebeg maulud
Setiap setahun sekali pada bulan maulud di halaman masjid Demak
diselenggarakan tabligh akbar oleh para wali atas prakarsa oleh Sunan
41
Kalijaga. Tabligh ini adalah dalam rangka memperingati maulud Nabi
Muhammad SAW. dan waktu itu sekaligus sebagai musyawarah para wali.
Orang yang ingin melihat harus melewati gapura atau pintu gerbang yang
dikatakan sebagai pintu pengampun (ghofuura artinya memberi ampun).
Orang yang masuk hendaknya membaca kalimat syahadat artinya sudah
masuk Islam.
7. Wayang
Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu jalan untuk
mendekatkan dan menarik simpati rakyat, atau untuk menyambung antara
pengertian agama dengan rakyat yaitu dengan menggunakan media. Maka
dari itu jasa beliau terhadap wayang tidak sedikit.84
Dalam perkembangan selanjutya sang wali juga menyebarkan lagu-
lagu yang bernuansa simbolisasi yang kuat. Yang terkenal dari karangan
Kalijaga adalah ilir-ilir. Tidak semua syair menimbulkan suatu ajaran Islam,
mengingat diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang sebuah lagu.
Metode Dakwah Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga merupakan salah satu wali yang senang
menggunakan kesenian dan kebuadayaan. Diantara yang digunakan sunan
Kalijaga adalah Al Hikmah, Al Mujadalah billati hiya ahsan, dan
pembentukan dan penanaman kader serta penyebaran juru dakwah ke berbagai
daerah.85
Metode Al Hikmah sebagai sistem dan cara para wali merupakan
jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara popular, atraktif dan
sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat
awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyrakat awam itu mereka
hadapi secara massal. Dalam rangka metode ini sunan Kalijaga dengan
gamelan sekatennya. Maka dibuatlah keramaian dengan gamelan sekatenan
(dua kalimah persaksian kunci keislaman). Yang diadakan di masjid agung
dengan memukul gamelan yang sangat unik dalam hal langgaman lagu
84 Umar Hasyim, Umar Hasyim, Menara Kudus, Kudus, 1974, hlm. 16-24. 85 Ridin S., dkk, Op.Cit., hlm. 268-270
42
maupun komposisi instrumental yang lazim pada waktu itu. Karawitan
diadakan menjelang peringatan hari maulud Nabi Muhammad saw.86
Sekaten berasal dari kata arab syahadatain, artinya dua syahadat,
yakni nama dua buah gamelan yang diciptakan oleh sunan Kalijaga dan
ditabuh pada hari tertentu atau pada perayaan maulid nabi di masjid Demak
itu. Masing-masing namanya gamelan tersebut adalah kanjeng kyai
Nagawilaga dan kanjeng kyai Guntur Madu, yang kemudian sampai sekarang
disebut Nyai Sekati dan Kyai Sekati. Gamelan itu ditabuh umpamanya pada
malam jum’at atau perayaan hari besar Islam dan karena rakyat senang pada
gamelan tersebut, maka berkumpullah mereka kemudian diberi ceramah.87
Menurut adat istiadat kebiasaan pada setiap tahun, diserambi masjid
Demak diadakan perayaan maulid nabi yang diaramaikan rebana menurut
irama seni Arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan
pengertian disesuaikan dengan alam pikiran masyarakat jawa, maka gamelan
itupun ditempatkan di halaman masjid Demak dengan dihiasi bermacam-
macam bunga-bungaan yang indah. Gapura masjid juga dihiasi sehingga
banyaklah masyarakat yang tertarik untuk berkunjung kesana. Gamelan itupun
kemudian dipukul bertalu-talu tanpa henti-hentinya.
Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah kedepan podium
bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-
nasehatnya, uaraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang sangat
menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertarik untuk masuk
kedalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang ditabuh, dan mereka
diperbolehkan masuk ke dalam masjid. Akan tetapi terlebih dahulu harus
mengambil air wudlu di kolah masjid melalui pintu gapura. Upacara yang
demikian itu mengandung simbolik yang diartikan bahwa barang siapa telah
mengucapkan dua kalmah syahadat kemudian masuk kedalam masjid melalui
86 Ibid. 87 Umar Hasyim, Op.Cit., hlm.23
43
gapura (dari bahasa arab Ghafura) maka berarti bahwa sejak dosanya sudah
diampuni oleh Tuhan.88
Perayaan sekaten dipusatkan di alun-alun ibukota kerajaan Islam di
Demak, yang dapat dinikmati bersama rakyat jelata beserta khalayak ramai
pada umumnya. Perayaan sekaten ini dimulai tujuh hari sebelum tiba
peringatan Maulid Nabi saw. Yang tepat jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awal.
Sekaten di akhiri dengan upacara garebeg, yaitu upacara yang berpuncak pada
pembacaan siratun nabi (riwayat hidup Nabi saw.) dan sedekah selatan, yakni
membagi-bagikan makanan hadiah dari Sultan di masjid Besar. Acara ini
dihadiri oleh sultan dan pembesar-pembesar kerajaan. Sekaten ini merupakan
satu-satunya upacara dan perayaan terbesar karena pergelarannya merupakan
upacara memperingati hari lahir Nabi Besar Muhammad saw.89 Selain
menggunakan gamelan sekatenan, dalam berdakwah Sunan Kalijaga juga
mengarang lakon wayang baru dan menyelenggarakan pagelaran-pagelaran
wayang.
Metode selanjutnya yang digunakan Sunan Kalijaga adalah al
Mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang baik). Cara ini
diterapkan terhadap tokoh yang secara terang-terangan menunjukkan kurang
simpati dan kurang setuju terhadap dakwah Islam. Cara ini digunakan Sunan
Kalijaga ketika mengajak Adipati Pandanaran di Semarang untuk masuk
Islam. Pada mulanya terjadi perdebatan seru, tetapi perdebatan itu berakhir
dengan rasa tunduk sang Adipati untuk masuk Islam. Bahkan ketika cerita-
cerita tradisional, sampai-sampai adipati ini rela mengorbankan pangkat dan
meninggalkan kemewahan dunia dan keluarganya demi untuk syarat-syarat
yang diminta oleh sunan Kalijaga untuk dapat diterima sebagai murid dalam
berguru ilmu keIslaman.90
Sedangkan metode yang lainnya ialah dengan pembentukan dan
penanaman kader, serta penyebaran juru dakwah keberbagai daerah. Tempat
yang dituju ialah daerah-daerah yang sama sekali kosong dari penghuni
88 http://mujarobat.tripod.com/index6,html 23 Juli 2003 89 Ridin S, Op.Cit., hlm.278 90 Ibid.,hlm. 268
44
ataupun kosong dari penghuni ataupun kosong dari penghuni Islam. Sunan
Kalijaga mengkader Kyai Gede Adipati Pandanaran yang kemudian dikenal
dengan debutan Sunan Tembayat. Selain itu Sunan Kalijaga juga mendidik ki
Cakrajaya dari Purworejo dan setelah menjadi wali naubah dianjurkan untuk
pindah ke lowanu agar mengislamkan masyarakat disekitar daerah itu.91
Metode dakwah tersebut pada waktu itu sangat efektif. Sebagian
besar Adipati di jawa memeluk Islam melelui Sunan Kalijaga. Diantaranya
adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas serta Pajang
(yang sekarang Kotagede Yogyakarta)
Dakwah Sunan Kalijaga dengan Menggunakan Media Wayang
Sejarah perkembangan wayang tidak bisa lepas dari peranan Sunan Kalijaga. Wayang di dalam masyarakat jawa sebelum agama Islam telah berkembang menjadi sebagian dari hidup mereka, dan kemudian Sunan Kalijaga dalam berdakwah menjadikan wayang sebagai media atau alat demi suksesnya dakwah Islam.
Pengaruh adat atau kebiasaan dari kebudayaan Majapahit atau Syiwa
Budha terhadap masyarakat sangat besar. Maka seni wayang termasuk
rangkaiannya seperti gamelan dan sebagainya sangat diagungkan oleh rakyat.
Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu jalan untuk
mendekatkan dengan rakyat dan juga untuk menarik simpati rakyat.92 Karena
pada waktu itu masyarakat lebih suka dengan keramaian, maka sangat cocok
apabila Sunan Kalijaga dalam berdakwah dengan menggunakan wayang yang
diiringi dengan musik gamelan.
Jasa Sunan Kalijaga terhadap perkembangan wayang yang sekarang
ini sangat besar. Diantaranya Sunan Kalijaga melengkapi pementasan wayang
dengan menciptakan debog (pohon pisang) yang gunanya untuk menancapkan
wayang, layar atau geber sebagai sandaran wayang dan blencong yang
diletakkan di atas ki dalang. Juga bala tentara kera, binatang-binatang gajah,
91 Ibid., hlm. 270 92 Umar Hasyim, Op.Cit., hlm.24
45
kuda, celeng atau babi, rampogan dan senjata-senjatanya dan gunungan adalah
tambahan pada zaman Sunan Kalijaga.93
Sunan Kalijaga adalah pengarang dari kitab-kitab cerita wayang
yang dramatis serta diberi jiwa agama, banyak cerita-cerita yang dibuatnya
yang isinya menggambarkan etnik keislaman, kesusilaan dalam hidup
sepanjang tuntunan dan ajaran Islam, hanya diselipkan ke dalam cerita
kewayangan. Karena Sunan Kalijaga mengetahui bahwa pada waktu itu
keadaan masyarakat menghendaki yang sedemikian, maka taktik perjuangan
beliaupun disesuaikannya pula dengan keadaan ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agam syiwa Budha
yang fanatik terhadap ajaran agamanya maka akan berbahaya sekali kiranya
apabila dalam menyairkan agama Islam selanjutnya tidak dilakukan dengan
cara yang bijaksana. Para wali termasuk didalamnya Sunan Kalijaga
mengetahui bahwa rakyat masih lekat/suka sekali kebudayaan kesenian dan
kebudayaan mereka, diantaranya masih gemar kepada gamelan dan
keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa-Budha.
Para wali kemudian musyawarah dan dapat ditemukan suatu cara
yang lebih supel, dengan maksud untuk mengislamkan orang-orang yang
belum masuk Islam. Cara ini ditemukan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang
yang berjiwa besar dan berpandangan jauh, berfikiran tajam, serta berasal dari
suku Jawa asli. Disamping itu berliau juga ahli dan faham pula gamelan serta
gending (lagu-lagunya).94
Sunan Kalijaga juga dipandang sebagai tokoh yang menghasilkan
kreasi baru yaitu dengan adanya wayang kulit dengan segala seperangkat
gamelannya. Wayang kulit ini merupakan pengembangan baru dari wayang
beber yang memang sudah ada sejak zaman Erlangga. Diantara wayang
ciptaan Sunan Kalijaga beserta Sunan Bonang dan Sunan Giri adalah wayang
Punakawan pandawa yang terdiri dari semar, petruk, gareng dan bagong.
93 Ibid. 94 http://mujarobat.tripod.com/index6.html , 23 Juli 2003.
46
Adapun falsafah dari arti nama keempat punakawan pandawa itu
adalah sebagai berikut:
1. Semar, berasal dari bahasa Arab Ismar yang artinya paku berfungsi
sebagai pengokoh yang goyah. Ibarat ajaran agama Islam yang
didakwahkan para walisongo diseluruh kerajaan Majapahit, yang pada
waktu itu sedang dalam pergolakan dengan awal didirikannya kerajaaan
Demak oleh Raden Patah. Hal senada sesuai dengan hadist Al Islami
Ismaraddunya yang berarti Islam adalah pengokoh (paku pengokoh)
keselamatan dunia.
2. Gareng, dari bahasa Arab Naal Qariin oleh orang jawa menjadi naala
gareng yang berarti memperoleh banyak teman, dan tugas konsepsional
para walisongo sebagai juru dakwah (da’i) ialah untuk memperoleh
sebanyak-banyaknya kawan untuk kembali kejalan tuhan dengan sikap arif
dan harapan yang baik.
3. Petruk, berasal dari bahasa Arab Fatruk oleh pengucapan lidah jawa
menjadi petruk. Kata tersebut merupakan kata pangkal kalimat pendek dari
sebuah wejangan tasawuf tinggi yang berbunyi. Fat-ruk kulla man
siwallahi, yang artinya tinggalkan apapun selain Allah. Wejangan tersebut
kemudian menjadi watak pribadi para wali danmuballigh pendidikan pada
waktu itu.
4. Bagong, dari bahasa Arab Baghaa oleh orang jawa menjadi bagong yang
berarti berontak, yaitu berontak terhadap kebatilan atau kemungkaran
kesalahan. Dlamversi lain berasal dari kata baqa’ (arab) yang berarti
kekal. Menurut versi lain lagi bagong berasal dari kata Bahar (arab) yang
berarti bumbu. Betapa gayengnya ki dalang mementaskan tokoh bagong
sebagai bumbu penyedap lakon. Dia dikenal sebagai punakawan yang
kritis, blokosuto, dan tidak segan-segan mengkritik dan menyindir keadaan
yang dipandang tidak pas.95
Ditinjau dari makna serta isi dari seni wayang, jelas bahwa
punakawan adalah bentuk atau lambing atau visualisasi dari ide masyarakat
95 H.M. Darori Amin, dkk., Op.Cit., hlm. 180-181.
47
jawa. Masyarakat gemar wayang menyadari bahwa manusia sebetulnya
memerlukan pamomong dalam perjalanaan hidup. 96
Dalam berdakwah dengan media wayang Sunan Kalijaga terkenal
sebagai dalang dengan sebutan/julukan Ki Dalang Sang Kancara Purwa.
Kemampuannya dalam mendalang (memainkan wayang) begitu memikat,
sehingga terkenallah berbagai nama samaran baginya. Jika menalang di
berbagai daerah seperti di pajajaran dikenal dengan nama Kidalang Sida
Brangti, bila mendalang didaerah Tegal dengan nama Ki Dalang Bengkok,
tetapi bila mendalang didaerah Purbalingga terkenal dengan sebutan Ki
Dalang Kumendung.97
Di zaman Pajang terkenal seorang tukang kendang bernama Kyai
Pengulu Dipaningrat. Konon pada zaman Sunan Kalijaga orang yang bertugas
menabuh gamelan dan dalangnya tidak boleh menanggung hadast, yakni harus
selalu suci, abadi wudlunya, karena hal ini memang dianggap sebagai tugas
suci agama.98
Dalam pertunjukan wayang kulit cerita yang paling terkenal adalah
cerita tentang Surat Kalimasada (lembaran yang berisi mantera/sesuatu yang
sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala keangkaramurkaan dimuka
bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa sipembawa surat ini akan menjadi
keangkaramurkaan di muka bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa
sipembawa surat ini akan menjadi sakti mandraguna. Tidak ada yang tahu apa
isi surat ini. Namun akhir cerita, isi dari surat itupun dibeberkan oleh dalang.
Isi surat kalimasada berbunyi “aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku
bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya”. Isi ini tak lain adalah kalimat
syahadat.
Sunan Kalijaga hingga kini namanya masih tetap harum serta
dikenang oleh seluruh lapisan masyarakat dari yang atas sampai yang bawah.
Hal ini merupakan suatu fungsi bahwa beliau itu benar-benar manusia yang
besar jiwanya. Sebagai pujangga telah banyak mengarang berbagai cerita yang
96 Ibid. 97 Ridin S., dkk., Op.Cit., hlm. 122 98 Ibid.4
48
mengandung filsafat serta berjiwa agama. Seni lukis yang bernafaskan Islam,
seni suara yang berjiwakan taukhid. Disamping itu beliau berjasa pula bagi
perkembangan dari kehidupan wayang yang sekarang ini.
49
BAB IV EFEKTIFITAS WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH
PADA MASA KINI
Peran Dalang dalam Kehidupan Bermasyarakat
Penjelasan wayang adalah suatu bentuk kesenian yang bersifat hiburan yang mellibatkan banyak orang sebagai pendukung, baik penabuh gamelan atau biasa disebut niyaga. Walaupun yang mengiring lagu (pesinden), yang dipimpin oleh seorang dengan memainkan wayang yang tebentuk dari kulit. Sedangkan lakon ceritanya diambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata yang aslinya berasal dari India, namun sudah digubah kedalam kebudayaan Indonesia.
Dalam pagelaran wayang seorang dalang mempunyai wewenang
untuk mengatur segala sesuatunya dalam pertunjukan itu. Sebagai tokoh
sentral ia mengatur pembagian tugas dan mengkoordinasikan niyaga dan
pesinden supaya mencapai tujuan yang telah ditentukan. Berhasil tidaknya
dalam pertunjukan wayang ditentukan oleh dalang. Seorang dalang dapat
bertindak sebagai produser dengan menyuguhkan permainan sesuai dengan
keinginan penonton ataupun pendengarnya. Pesan-pesan yang disampaikan
banyak berupa simbol yang bisa dimengerti atau dipahami oleh penonton.
Penonton wayang dapat bertemu dengan sejumlah besar pribadi yang
beraneka ragam yang ditampilkan oleh sang dalang melalui tokoh-tokoh
wayang seperti raksasa, dewa, ksatria, punakawan dan lain-lain. Dalam
pertunjukan wayang selain penonton memperoleh hiburan juga mendapat
pendidikan moral yang sangat berharga dalam hidupnya.
Dalam penjelasan wayang, dalang mempunyai peranan penting
dalam melaksanakan upacara yang bersifat religius sejak dulu hingga
sekarang. Misalnya upacara bersih desa, ruwatan anak, khitanan, perkawinan,
tujuh bulanan, dan peringaran ‘Assyura. Untuk peringatan bersih desa dan
ruwatan anak biasanya dilaksanakan anak biasanya dilaksanakan oleh dalang
ruwat.99
99 Kanti Waluyo, Dunia Wayang¸Pustaka Palajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 71.
48
50
Pertunjukan wayang untuk menolak bala nampak antara lain dalam
acaranya “ngruwat”. Ngruwat mungkin dari kata nguduri ruwet, maksudnya
menolak bahaya yang mengancam atau mengatasi keruwetan batin.
Pertunjukan wayang untuk kepentingan ngruwat biasanya diambil cerita
tertentu yang berisi piwulang, pameling, atau ajaran tertentu yang tersirat
didalam cerita. Pertunjukan wayang yang disajikan dalam bentuk seni itu
sekaligus untuk menghibur orang yang sedang ruwet batinnya.100
Pada zaman yang serba maju saat ini yang ditandai dengan majunya
ilmu pengetahuan dan teknologi yang serba canggih namun dikalangan
masyarakat jawa kebiasaan dan keyakinan pembersih dosa orang yang
nandang sukerta masih dilakukan antara lain dengan cara menyelenggarakan
pertunjukan wayang kulit. Kata Sukerta berasal dari kata suker yang artinya
gangguan, mala, balak, kerawanan dan sebagainya. Dalam kondisi jiwa yang
keberadaanya nandang sukerta harus diruwat. Oleh karena itu harus diruwat
petaka itu yang diistilahkan dengan ruwatan atau ngruwat.101
Upacara ruwatan merupakan suatu upacara yang lekat agami jawi
yang dimaksudkan untuk melindungi anak-anak terhadap bahaya-bahaya gaib
yang dilambangkan oleh Bathara Kala, yakni dewa kehancuran. Berbagai
jenis kombinasi dalam satu keluarga yang dianggap berbahaya menyebabkan
bahwa anak-anak tersebut mudah terkena bahaya penyakit dan kematian
karena mereka menjadi mangsanya Bathara Kala.
Dalam upacara ruwatan dengan pertunjukan wayang dalang ruwat merupakan tokoh yang bertanggungjawab secara spiritual apapun yang terjadi terhadap pelaksanaan upacara ruwatan. untuk itu dalang yang diperbolehkan melaksanakan ruwatan menurut tradisi para dalang adalah mereka yang telah lanjut usia, atau setidak-tidaknya dalang yang sudah mengawinkan anaknya. Dalam arti mereka yang telah matang pengetahuannya dalam hal ruwatan.
Kehidupan teknologi yang dari hari kehari makin canggih, ternyata
mempengaruhi bentuk dari kebudayaan maupun kesenian. Upacara ruwatan
dengan pertunjukan wayang juga tidak luput dari pengaruh tersebut. Dalam
100 Suwaji Bastomi, Gemar Wayang, Dahara Prize, Semarang, 1995, hlm. 17. 101 Sutarno, Wayang Kulit Jawa, Cendrawasih, Solo, t.t., hlm. 58.
51
hal ini mempengaruhi penyajian, pandangan hidup masyarakat serta sikap
dalam ruwat.
Pandangan hidup masyarakat jawa seperti “anak nggawa rejeki”
(ada anak ada rejeki) serta “mangan ora mangan kumpul” (makan tidak
makan asal kumpul) tentunya tidak sesuai dengan zaman sekarang. Orang
tidak menginginkan anak banyak tidak dapat memenuhi kebutuhannya
sehingga hanya akan mencetak “kere” (orang miskin). Oleh karena itu kita
harus mengindahkan anjuran pemerintah yaitu dua anak saja cukup, sehingga
dapat menciptakan keluarga bahagia. Demikian juga dengan sekarang karena
terbatasnya lapangan kerja maka konsep yang sesuai dengan situasi sekarang
adalah ngumpul ora ngumpul asal mangan (berkumpul tidak berkumpul asal
makan).
Pertunjukan wayang untuk keperluan ruwatan dewasa ini ada
kecenderungan yang befungsi sebagai setengah ritual dan setengah tontonan.
Akhirnya tehnik penyajiannya mengalami perubahan. Misalnya tahun 1950 –
1960 pertunjukan penuh dengan keseriusan, dengan suasana sakralnya sangat
kuat. Namun sekarang wujud penyajiannya diselingi dengan humor (dagelan)
pada adegan tertentu seperti pakeliran semalam suntuk. Setiap dalang ruwat
yang melakukan pertunjukan wayang adalah setengah ritual dan setengah
tontonan. Oleh karena itu tidak ingin kehilangan pekerjaan.102
Dalang dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang sakti, yang
memenuhi kekuatan gaib yang mempunyai tuah yang bermanfaat bagi
masyarakat. Anggapan masyarakat seperti itu dihubungkan dengan
kepercayaan bahwa wayang adalah bayangan roh nenek moyang. Oleh karena
itu sering diadakan pertunjukan wayang sebagai pemujaan atau penolak bala
untuk meluhurkan nenek moyang. Dengan bersih desa itu dimaksudkan agar
ki dalang dapat mengusir roh jahat. Dalam hal ini setan atau roh halus yang
tidak berbaik budi terhadap penduduk desa yang bersangkutan.103
102 Ibid., hlm. 64. 103 Suwaji Bastomi, Op. Cit., hlm. 17.
52
Upacara bersih desa masih sering diadakan didesa-desa sehabis
panen. Mereka menganggap wayang untuk membersihkan desanya dari unsur-
unsur yang mengganggunya. Dalam hal ini adalah arwah-arwah serta roh-roh
halus yang tidak berbuat baik (berbuat jahat) terhadap masyarakat tersebut.
Pada masa pemerintah kolonial Inggris (1923) membahas peranan
dalang dalam upacara-upacara yang ada hubungannya dengan pertanian,
misalnya mencegah terjadinya hama tanaman dan mencegah kegagalan panen.
Masyarakat petani di daerah Jawa tengah khususnya didesa Kalirejo,
Kecamatan Karang Gayam Kabupaten Kebumen. Setiap tahun mengadakan
ruwatan bumi untuk mencari keselamatan bagi warga desa dan supaya
tanaman yang ditanam oleh petani tersebut tidak mengalami gangguan.104
Seorang dalang dalam setiap pergelaran wayang selalu membeberkan
nilai-nilai baik dan buruk yang disajikan dalam berbagai dilema dan konflik
yang dapat menyentuh hati nurani. Pada akhirnya nilai yang baik akan
mengalahkan nilai-nilai yang buruk, sekalipun untuk mencapai dengan cara
yang sulit.
Serorang dalang itu perlu mempunyai pengetahuan umum yang luas
yang dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal. Seorang
dalang juga harus memiliki kelebihan pengetahuan tentang kenegaraan,
pandangan hidup, filasafat, kesusilaan dan lain-lain. Sehingga ia dapat
diterima sebagai pemimpin dan guru dalam masyarakat yang menonton.
Selain itu juga seorang dalang bertindak sebagai produser dengan
memberikan permainan sesuai dengan keinginan penonton. Pesan-pesan yang
disampaikan oleh dalang banyak yang berupa simbol-simbol yang bisa
dipahami oleh penontonnya. Dalam cerita pewayangan dalang menggunakan
simbol-simbol dalam bentuk cerita terutama dalam ajaran budi pekerti,
misalnya cerita Dewaruci adalah gambaran seseorang yang mencari tujuan
hidup sebenarnya.
Media wayang kulit sudah lama berakar pada masyarakat, sehingga
dalang mempunyai pendekatan dalam berkomunikasi dan juga dalam
104 Kanti Wakuyo, Op.Cit., hlm. 103.
53
berdakwah dengan penonton tersebut dibandingkan dengan media yang lain
seperti surat kabar, televisi dan film. Kelebihan media wayang jika
dibandingkan dengan media yang lain adalah antara dalang dengan penonton
bisa langsung bertatap muka.
Mahalnya biaya pergelaran wayang kulit dengan menghadirkan
dalang yang kondang atau terkenal membuat makin sedikit warga desa yang
dapat kesempatan untuk menonton wayang kulit yang bagus di desa.
Masyarakat lebih akrab dengan pementasan wayang kulit lewat siaran radio
maupun televisi ataupun lewat media yang lain seperti kaset-kaset rekaman
pada pesta sunatan dan perkawinan wayang kulit bagi masyarakat didesa
menjadi wahana yang tepat untuk mengikat masyarakat.
Peran dalang dalam pementasan wayang sangat penting karena kalau
tidak ada dalang maka pementasan wayangpun tidak aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan tidak ada dalang maka pementasan wayangpun tidak akan ada.
Dalang adalah manusia utama dan manusia inti dalam pergelaran wayang.
Ditinjau secara tehnis, dalanglah yang memantau dan mewakili pembicaraan
tokoh-tokoh wayang. Dalang harus menguasai perangai watak dan perilaku
manusia seperti yang dilambangkan dalam tiap-tiap boneka wayang. Dalang
harus pandai memerankan beberapa watak seperti, pemarah peramah,
pengecut dan lain-lain. Dengan kata lain dalanglah yang memberi jiwa kepada
boneka wayang sehingga boneka-boneka wayang yang menjadi tokoh yang
hidup. Dalanglah yang berperan menghayati kehidupan manusia melalui
kehidupan tokoh-tokoh wayang.105
Seorang dalang juga bisa berperan sebagai seorang juru dakwah. Ki
Manteb Sudarsono selain seorang dalang ia juga sudah dikenal oleh
masyarakat sebagai salah satu muballigh yang sering diundang untuk
memberikan ceramah keagamaan. Dalam hal menjalankan peranannya sebagai
juru dakwah itu. Ki Manteb juga menggunakan idiom-idiom jawa seperti
tembang macapat Dandang Gula untuk menyampaikan pesan-pesan
Qur’aniah seperti dalam kutipan dibawah ini.
105 Suwaji Bastomi, Op.Cit., hlm. 15.
54
I. Rukun Islam kinitung memanis Pangeran kang limang prakoro
Mungguh merdine mangkene
Syahadat kang lumuwun
Shalat iku kang ongko kalih
Ramadhan wulan pasa iku kang kaping telu
Kaping pat zakat fitrah
Yen sembada kaping lima munggah kaji ing tanah suci mekkah.
Yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
Rukun Islam ada lima peraturan
Adapun peraturan itu artinya seperti ini
Pertama membaca syahadat
Kedua menegakkan shalat
Ketiga menjalankan puasa pada bulan ramadhan
Keempat membayar zakat fitrah
Kelima menunaikan haji bagi yang mampu.106
Sedangkan metode yang digunakan oleh Ki Manteb dalam
berdakwah lebih mengandalkan penyampaian materi melalui simbol-simbol
kehidupan yang nyata. Sebab dalam pandangan Ki Manteb hampir semua
orang sekarang ini rata-rata sudah menguasai tentang Islam, jadi tidak lagi
diberikan arahan yang bersifat menggurui.107
Tugas seorang dalang lambat laun dalam bidang keagamaan makin
berkurang lebih-lebih pada masa sekarang. Namun seorang dalang tetap
menyandang tugas mulia karena dalang berperan sebagai pendidik, juru
penerang, penghibur dan juga sebagai ahli dalam seni pertunjukan. Ditinjau
dari sudut profesinya, kedudukan dalam tengah-tengah masyarakat dahulu
maupun sekarang sama atau sederajat sebagai guru.
Kedudukan sebagai guru berarti sebagai pendidik. Dalang menjadi panutan atau sebagai penuntun masyarakat karena yang diajarkan oleh
106 Won Purnomo, dkk., Menjadikan Wayang Enak Dipandang, Yayasan Dwara
Budaya, Solo, 2000, hlm. 81-82. 107 Ibid., hlm. 83.
55
dalang akan dianut dan menjadi petunjuk bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat memberi sebutan Ki Pada dalang yang artinya adalah guru atau orang tua yang tidak terpuji apabila dalang pada saat memperjelaskan pertunjukan wayang mengungkapkan hal-hal yang kotor dan juga kata-kata yang jorok.
Peran dalang menjadi sangat penting dalam pergelaran wayang
karena dalang menjadi sumber dari ajaran kehidupan sebagai guru, juru
dakwah, tauladan, dan juga menjadi panutan atau penuntun. Dengan demikian
akan sangat tidak terpuji apabila dalang pada saat memperjelas pertunjukan
wayang mengungkapkan hal-hal yang kotor dan juga kata-kata yang jorok.
Peran dalang menjadi sangat penting dalam pergelaran wayang
karena dalang menjadi sumber dari ajaran kehidupan, sebagi guru, juru
dakwah, tauladan dan juga menjadi panutan masyarakat. Keberadaan dalang
dan kehidupan masyarakat keduanya saling meneladani
Manfaat Nonton Pagelaran Wayang Kulit
Wayang kulit merupakan salah satu jenis kesenian tradisional yang dikenal di Indonesia. Wayang itu sudah lama dikenal oleh masyarakat di Indonesia terutama masyarakat di Jawa sunda dan Bali. Di daerah-daerah pedesaan di jawa tengah maupun di Jawa Timur, sejak kecil anak-anak telah mengenal wayang.
Wayang kulit ini masih memiliki banyak penggemar sehingga dapat
lestari sejak hidup dalam masyarakat. Hal ini, tidak mengherankan karena
wayang kulit memiliki banyak nilai-nilai yang sesuai dan dibutuhkan oleh
anggota masyarakat.
Hampir seluruh lakon yang dibawakan oleh dalang dalam wayang
berasal dari kitab Mahabarata dan Ramayana yang aslinya berasal dari India,
namun telah dirubah menjadi budaya Indonesia. Cerita-cerita wayang banyak
mengandung masalah budi pekerti yang sangat bermanfaat bagi penonton.
Dalang kondang Ki Manteb Sudarsono mengatakan, bahwa wayang
itu merupakan sebuah hiburan, yang di dalamnya berisisebuah ajaran moral.
Wayang disebut sebagai budaya yang adiluhurnya karena memang isinya
ajaran moralnya yang luhur.108
108 http://groups.Yahoo.com/group/Padepokan/message/240, tgl 20 Agustus 2003.
56
Dalam cerita wayang, pekerti yang jahat akan kalah dengan pekerti
yang baik. Misalkan saja dalam cerita Barathayuda yaitu perang saudara
antara kurawa dengan pandawa. Meskipun kurawa berjumlah 100 orang tetapi
kalah dengan pendawa yang hanya 5 orang. Hal ini desebabkan oleh para
kurawa suka berbuat kejahatan dan juga perbuatannya tersebut tidak disukai
oleh para dewata. Sedangkan pandawa walaupun Cuma lima orang akan tetapi
mereka suka berbuat kebaikan seperti senang mencari ilmu dengan bertapa
sehingga mereka memperoleh ketangkasan. Kebaikan hati merekalah yang
membuat para dewa untuk selalu melindunginya.
Dari contoh diatas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa segala
sesuatu perbuatan yang jahat yang tidak diridloi olah Allah itu akan selalu
kalah dengan perbuatan yang baik walaupun tidak secara langsung. Akan
tetapi sedikit demi sedikit perbuatan yang jahat itu akan kalah. Orang yang
suka berbuat kebajikan akan selalu di lindungi oleh Allah.
Sebagian orang yang tidak suka dengan wayang berpendapat bahwa
menonton wayang itu menghabiskan waktu dan membosankan. Mereka juga
berpendapat bahwa wayang itu dipandang tidak mengandung dan membawa
ajaran Islam. Akan tetapi berbeda dengan orang yang suka wayang baik itu
kaum muda maupun kaum tua menganggap menonton wayang itu adalah
sesuatu hal yang sangat menyenangkan dan bisa menghibur hati seseorang
yang sedang gundah. Salah seorang pecinta wayang, Musthofa mengatakan
bahwa menonton/mendengar dan juga mengikuti alur cerita wayang itu
gayeng dan mengasyikkan.109
Masyarakat pada umumnya dalam penerimaan terhadap wayang itu
masih bersifat adat istiadat maksudnya masih berdasarkan kebisaaan yang
masih berlaku, hanya terdapat pada masyarakat yang penerimaannya
disesuaikan dengan ajarannya yakni seperti ajaran agama Islam. Disamping
penerimaan mereka ada yang masih terikat dengan dengan hal-hal yang
ditentukan oleh orang tua (pinisepuh, sesepuh) atau orang yang dipandang tua
109 Wawancara dengan Musthofa di Desa Bageng, Gembong, Pati, tanggal 29 Juli
2003.
57
dan juga lebih tahu dalam hal ini, termasik dalang juga ikut
menentukannya.110
Pertunjukan wayang masih banyak penggemarnya. Hal ini terbukti
setiap ada pertunjukan wayang di desa Bageng Kecamatan Gembong
Kabupaten Pati apakah itu acara sedekah bumi atau yang diadakan setiap
tahun sekali, khitanan, perkawinan, memperingati hari 17 Agustus ataupun
acara yang lainnya selalu penuh oleh pengunjung.
Bagi kaum tua sajian wayang kulit dianggap tidak pernah menggurui
akan tetapi lebih banyak mempersilahkan penonton untuk mencari sendiri
yang terkandung dalam pertunjukan wayang kulit tersebut.
Bagi sebagian orang yang suka dengan wayang pertunjukan wayang
berpendapat bahwa wayang itu dapat menambah pengetahuan seseorang.
Menurut Riyono salah satu pecinta wayang mengatakan bahwa menonton
pertunjukan wayang itu dapat menambah pengetahuan seseorang diantaranya
tentang filsafat ketuhanan, akhlak/etika/budi pekerti, bidang sosial, politik dan
juga agama.111
Wayang juga dapat merubah sikap sesorang, dalam arti merubah
sikap seseorang menjadi baik. Maksum menambahkan bahwa wayang itu
dapat merubah sikap seseorang selam orang yang menonton wayang tersebut
memperhatikan serta mengambil hikmah yang ada didalam wayang
tersebut.112
Wayang kulit memberikan hiburan yang sehat bagi penontonnya.
Didalamnya terdapat unsur-unsur tragedi, komedi dan juga tragikomedi. Ada
percintaan yang mengharukan, ada dilema-dilema yang berat, pengorbanan
yang berat, pengorbanan yang besar, dan juga hiburan yang berupa
lawakan.113
110 Bambang Sugito TH., Op.Cit., hlm. 47. 111 Wawancara dengan Riyono, di Desa Bageng Kecamatan Gembong Kabupaten
Pati,. tanggal 29 Juli 2003. 112 Wawancara dengan Ma’sum di Desa Bageng Kecamatan Gembong Kabupaten
Pati, tanggal 30 Juli 2003. 113 Kanti Waluyo, Op.Cit., hlm. 55.
58
Menurut Herbert Mead masyarakat mempunyai kesadaran sendiri
dan tahu bahwa apa yang ditontonnya adalah dirinya sendiri lebih lanjut
dijelaskan bahwa apa yang ditonton dari teater akan menggambarkan
kehidupan manusia itu sendiri. Apabila dikaitkan dengan pergelaran wayang
kulit penonton akan menentukan sendiri penjelasan dari dalang siapa yang
akan ia tonton. Selama delapan jam pertunjukan wayang banayak hal yang
bisa diambil oleh penonton sebagai pendidikan budi pekerti.114
Manfaat menonton wayang kulit bagi penonton selain mendapatkan
ajaran moral (budi pekerti) yang bernilai tinggi, juga mendapatkan yang
disampaikan oleh ki dalang. Pesan-pesan dari pemerintah seperti KB,
pembangunan desa dan koperasi. Sedangkan pesan yang dari agama adalah
mengajak untuk berbuat kebaikan dan menjauhi segala larangan Allah. Dalang
sebagai seorang komunikator sekaligus sebagai seorang da’i dapat
menyampaikan pesan dari pemerintah dan juga ajaran dari agama kepada
masyarakat penonton.
Pesan dari pemerintah dan juga dalam berdakwah seorang dalang
dalam menyampaikan pesan bisa dalam bentuk dialog, tembang dan juga
lawak melalui adegan goro-goro ini dianggap oleh para dalang sebagai adegan
yang paling mbeling untuk bisa membicarakan apa saja, baik itu pesan dari
pemerintah maupun dari agama. Pasan yang disampaikan melalui goro-goro
tidak akan merusak keindahan ataupun merusak pakem (lakon) dalam
pertunjukan wayang.
Lakon apapun dalam wayang sebenarnya sebuah ajaran moral yang
sekaligus disampaikan dengan bentuk hiburan. Hal itu menjadi lebih pas
disampaikan daripada mengunakan media lain. Walisongo saat itu memang
melihat efektifitas wayang ini sebagai media dakwah.115
Pergelaran wayang kulit semalam suntuk sampai sekarang tetap menarik perhatian penonton terutama dari masyarakat desa, walaupun lakon-lakonnya sudah seringkali didengar maupun ditonton akan tetapi
114 Ibid., hlm. 16. 115 Http://groups.Yahoo.com/group/padepokan/message/240, tanggal 20 Agustus
2003.
59
tidak membuat bosan bagi pecinta wayang. Didalam pertunjukan wayang ada pesan-pesan moral yang dapat diserap penonton yang sangat bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat.
Pandangan Ahli Wayang (Para Ahli Wayang dan Pecinta Wayang) tentang
Keberadaan Wayang Sekarang Ini.
Dalam menggali dan mengembangkan budaya asal sesuai dengan wawasan nusantara serta ketahanan nasional menuju kejayaan bangsa dan menjamin keutuhan manusia Indonesia dunia pewayangan sangat meyakinkan sebagai sumber pendidikan budi pekerti bangsa Indonesia.116
Wayang merupakan salah satu warisan budaya yang mempunyai kelangsungan hidup, khususnya dimasyarakat Jawa sebagai hasil kebudayaan, wayang mempunyai nilai hiburan yang mengandung cerita pokok dan juga sebagai media komunikasi dan dakwah. Wayang dijadikan sebagai media dakwah pertama kali adalah oleh para wali untuk penyebaran agama Islam di pulau Jawa.
Pada masa penyebaran agama Islam di Jawa walisongo bahkan menggunakan media wayang kulit yaitu suatu seni pertunjukan yang lekat dengan ajaran Hindu untuk dakwah Islam. Istilah-istilah baru diciptakan dan cerita sampiran (larangan) juga dihadirkan dalam format besar Mahabharata itu. Ini membuktikan bahwa sejak lama dakwah dikalangan Islam begitu kreatif mengambil media pertunjukan dan diwariskan sampai kini.117
Wayang merupakan tradisi budaya warisan leluhur dan kita perlu mempertahankan dan melestarikannya. Namun kita harus mengetahui bahwa budaya Jawa yang menjadi pendukung eksistensi wayang sedang mengalami perubahan. Tradisi itu perlu dihargai dan dihormati tetapi jangan sampai menyebabkan kita bersikap tradisionalisme. Dengan kata lain kita perlu mengembangkan tradisi tanpa harus bersikap tradisionalisme. Dengan kata lain perlu membangun tradisi tanpa harus bersikap tradisional.
Dengan berpegang pada sikap yang demikian maka kita dengan besar hati akan mengakui; pertama, wayang tidak akan lagi hidup secara utuh seperti dahulu, baik dari bentuk seninya, fungsinya maupun penggemarnya. Kedua, wayang hanya merupakan dalam satu alternatif dan memiliki derajat yang sama dengan karya-karya seni lainnya yang datang dari luar. Dengan demikian tindakan yang dapat diambil adalah merubah merefisi dan memodifikasi wayang supaya tetap dapat melanjutkan kehidupannya didalam budaya masyarakat yang sedang berubah.118
116 S. Haryanto, Op.Cit.,hlm. 175. 117 Http://www.geocities.com/hidurditya/budaya/bud_43.htm, tanggal 20 Agustus
2003 . 118 Kanti Waluyo, M.Si., Op.Cit., hlm.11.
60
Wayang sampai sekarang masih digemari oleh masyarakat di pedesaan yang menganggap wayang itu adalah kesenian tradisional yang sudah menyatu dengan masyarakat terutama suku jawa. Apalagi pergelaran wayang tersebut didukung oleh dalang kondang dan juga lihai dalam memainkan boneka wayang.
Wayang merupakan salah satu media yang digunakan dalam berdakwah. Yang pertama kali mempelopori dakwah dengan media wayang adalah para wali. Diantara walisongo yang lebih suka berdakwah dengan menggunakan kesenian wayang adalah Sunan Kalijaga. Dalam rangka menyebarluaskan agama Islam Sunan Kalijaga bertindak sebagai juru penerang dengan menggunakan wayang sebagai medianya. Oleh karena itu pada waktu itu Sunan Kalijaga bertugas sebagai seorang dalang.
Seorang dalang bisa juga disebut sebagai mass media (alat penyambung lidah) pemerintah atau kelompok tertentu kepada rakyat, maka seorang dalang dibekali dengan hal-hal yang berhubungan dengan program pemerintah sperti dalam bidang pembangunan desa, termasuk juga dalam usaha pemanfaatan dakwah islamiyah. Wayang kulit sebagai alat dakwah, dari sekian jumlah dalang yang ada itu dapat kita jumpai yang berusaha untuk memanfaatkan wayang sebagai alat dakwah dalam praktek pementasan. Sebut saja Ki Manteb Sudarsono seorang dalang kondang. Selain sebagai seorang dalang Ki Mateb juga berperan sebagai juru dakwah. Tidak saja secara verbal dalam sisipan-sisipan pesan melalui tokoh punakawan, tetapi pengaruh akidah islami ini juga memantau dalam menterjemahkan posisi dan sikap tokoh-tokoh wayang dalam lakon yang disajikan.119
Adapun yang menjadi dorongan berjalannya pemanfaatan wayang sebagai media dakwah adalah sebagai berikut:
a. Mereka melaksanakan dakwah, karena terdorong ingin mencoba
menyampaikan ajaran yang dimilikinya kepada para penggemarnya.
b. Sebenarnya banyak cerita-cerita wayang itu yang mengandung ajaran-
ajaran budi pekerti dan agama.
c. Hal itu telah dilakukan ternyata mendapat perhatian pula dari para
penggemarnya sehingga pernah mendalang dilingkungan kaum (para
santri).120
Wayang dahulu berfungsi sebagai penggambaran roh (arwah) nenek moyang untuk keperluan upacara-upacara atau persembahan yang bersifat ritual, sehingga keberadaan wayang sangat berkaitan dengan kegiatan upacara. Kemudian oleh para wali yang didukung para wali yang
119 Wan Punomo, dkk., Op.Cit., hlm. 80. 120 Bambang Sugito TH., Op.Cit., hlm. 49.
61
didukung oleh para raja yang berkuasa pada waktu itu yaitu Raden Patah (1476-1518) dan Pangeran Sabrang Lor (1520-1521) mengadakan penyerbuan dan perubahan bentuk wayang kulit purwa yang berasal dari Majapahit, sehingga tidak bertentangan dengan ajaran ajaran Islam.121
Prof. Ki. M.A. Machfoed seorang Guru Besar Filsasat Agama di IAIN dan Universitas Gajahmada mengajak kita untuk tidak mengharamkan wayang ditempatkan kembali seperti pada zaman wali yaitu sebagai media dakwah islamiyah.122
Keberadaan wayang sampai sekarang digunakan sebagai media dakwah menurut Dra. Misbah Zulfah Elizabeth bahwa pada saat sekarang ini wayang masih bisa digunakan untuk dakwah islamiyah, karena seni pertunjukan wayang itu sangat familier bagi masyarakat Jawa, yang didalamnya mengandung ide-ide apa saja termasuk ide-ide yang bernilai Islami.123
Drs. Muzakki juga mengatakan bahwa wayang itu masih bisa digunakan untuk dakwah islamiyah pada masa sekarang ini, karena masih banyak para penggemar wayang terutama di daerah pedesaan. Wayang kulit juga merupakan budaya jiwa peninggalan dari para walisongo yang perlu dilestarikan.124
Para pecinta wayang suka dengan wayang itu mulai kecil yaitu ketika sudah dapat membedakan yang baik dan yang buruk (mumayiz). Mereka dapat menonton wayang dari tanggapan masyarakat dan juga dari televisi. Mustofa seorang pecinta wayang mengatakan bahwa setiap ada tontonan wayang selalu disempatkan untuk menonton. Misalkan dari orang punya kerja, setiap ada wayang peringatan tanggal 1 Muharram dan juga dari TV. Menonton wayang / mendengarkan wayang dalam 1 bulan rata-rata 3 kali.125
Dari pihak keluarga para pecinta wayang, juga banyak yang suka dengan wayang. Banyak pecinta wayang suka menonton pada saat adegan goro-goro. Selain adegan goro-goro juga ada yang suka secara keseluruhan dari tahap pementasan wayang. Zein Darmadi sebagai pecinta wayang mengatakan bahwa di dalam adegan goro-goro itu banyak mengandung etika (yaitu antara hamba dan tuhan).126 Sedangkan menurut Maksum bahwa suka dengan adegan wayang secara keseluruhan dari tahap
121 Ibid., hlm. 77. 122 Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Gunung Agung, Jakarta,
1983. hlm. 72 123 Wawancara dengan Dra. Misbah Zulfa Elizabeth di kampus Dakwah IAIN
Walisongo Semarang, tanggal 25 Agustus 2003. 124 Wawancara dengan Drs. A. Muzakki, Da’i, di Kecamatan Gembong Kabupaten
Pati, tanggal 23 Agustus 2003. 125 Wawancara dengan Mustofa, di desa Bageng Kecamatan Gembong Kabupaten
Pati, tanggal 29 Juli 2003. 126 Wawancara dengan Zein Darmadi, di desa Bageng Kecamatan Gembong
Kabupaten Pati, tanggal 30 Juli 2003.
62
pementasan, tergantung kelihaian dalangnya dalam memerankan wayang.127
Dari hasil pengamatan dan wawancara yang dilalui penulis bahwa banyak yang tidak setuju kalau wayang dihilangkan, karena wayang merupakan budaya nasional. Wayang juga tidak menentang ajaran agama negara. Wayang justru sudah dimasuki unsur-unsur keagamaan serta falsafah ketuhanan.
Sedangkan menurut para pecinta/penggemar wayang bahwa wayang itu merupakan tontonan yang menyenangkan karena wayang dapat menambah pengetahuan seseorang dan juga bisa merubah sikap seseorang. Surawi menambahkan bahwa menonton wayang itu dapat menambah pengetahuan seseorang tentang cerita rakyat dan juga pengetahuan tentang moral (budi pekerti).128
Bagi kelompok yang suka/menerima wayang berpendapat bahwa wayang kulit itu merupakan hiburan yang meriah karena semalam suntuk dapat dinikmati dan juga ada yang mengatakan paling meriah karena berjalan atau berlangsung sehari semalam. Selain itu juga wayang banyak mengandung tuntunan, manambah pengetahuan dan juga filasafat kehidupan yang dalam terutama bagi bangsa Indonesia.
Bagi kelompok yang tidak suka dengan wayang berpendapat bahwa menonton wayang kulit semalam suntuk itu menghabiskan waktu, selain itu mereka juga berpendapat bahwa di dalam wayang itu tidak mengandung ajaran-ajaran Islam.
Perkembangan teknologi yang semakin maju membuat para penggemar wayang dapat menikmati wayang tidak harus menonton wayang secara langsung dapat menikmati wayang tidak harus menonton secara langsung seperti melalui orang yang menanggap wayang dalam acara sunatan, perkawinan dan lain-lain. Akan tetapi merka bisa menikmati wayang lewat televisi, radio ataupun kaset-kaset pertunjukan wayang.
Wayang dianggap mendukung dalam dakwah menurut salah satu ahli wayang oleh Dra. Misbah Zulfa Elizabeth yaitu dalam hal materi-materinya yang mempunyai nilai-nilai kebaikan religius baik dalam muatan isinya maupun karakteristik dari tokoh-tokohnya. Selain menonon secara langsung, wayang dapat dinikmati melalui media audio, video maupun media audio video.129
127 Wawancara dengan Maksum, di desa Bageng Kecamatan Gembong Kabupaten
Pati, tanggal 30 Juli 2003. 128 Wawancara dengan Surawi, di desa Bageng Kecamatan Gembong Kabupaten Pati,
tanggal 29 Juli 2003. 129 Wawancara dengan Dra. Misbah Zulfa Elizabeth, Dosen Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang, tanggal 25 Agustus 2003.
63
Wayang kulit pada dasarnya diterima oleh masyarakat, walaupun cara dalang menyampaikan cerita berupa bimbingan penyuluhan atau dakwah, mereka tetap menikmatinya sampai pertunjukan selesai sebagaimana biasanya.
Dalam pelaksanaan pewayangan yang berisi dakwah itu sebenarnya tidak diadakan perubahan dalam seni pedalangannya. Disamping sulit (tidak mudah) juga akan mempunyai resiko yang tidak kecil hanya menyajikan cerita-cerita banyak, disana-sini dapat diselipkan atau dimasukkan tentang ajaran tauhid kepada Tuhan Yang Maha Esa, ibadah, shalat, mua’amalat, dan akhlak.130
Dakwah dengan menggunakan media wayang juga mempunyai kendala-kendala, diantaranya menurut para ahli wayang yaitu waktu pergelaran wayang yang biasanya malam hari, bahkan bisa juga semalam suntuk, sedangkan waktu malam adalah untuk istirahat. Untuk itu waktu pergelaran wayang bisa dirubah tidak harus malam hari.
Sedangkan menurut para pecinta wayang, kendala dakwah dengan mengunakan media wayang adalah dalam hal bahasa. Bahasa yang merupakan alat untuk komunikasi, didalam pertunjukan wayang biasanya seorang dalang yang merupakan tokoh utama dalam pertunjukan wayang menggunakan bahasa jawa kuno yang sulit dipahami oleh masyarakat, lebih-lebih masyarakat zaman sekarang. Kalau penontonnya bukan dari orang jawa asli seperti orang Sunda, maka akan sulit untuk bisa memahami isi dari cerita pertunjukan tersebut. Maka dari itu sedikit demi sedikit bahasa bisa diganti sehingga pergelaran wayang tersebut dapat dipahami oleh masyarakat umum.
Contoh cerita yang dapat dan banyak mengandung atau diisikan ajaran-ajaran agama (Islam) adalah sebagai berikut:
a. Jimat Kalimasada menceritakan tentang keampuhan dari kalimat tauhid
yakni dua kalimat sahadat sebagai sebagai kalimat Tayyibah yang
dipertahankan oleh para pendawa sampai titik darah penghabisan.
Dalam cerita itu dari berbagai rongrongan pihak musuh yang berusaha
menghancurkannya.
b. Petruk dadi ratu (petruk jadi ratu), ini menceritakan siapa saja orang
yang senantiasa berpegang kuat pada kalimat tauhid, akan jaya.
Digambarkan segala apa yang dikehendaki berkat rakhmat dan petunjuk
Allah akan terlaksana. Demikian Petruk yang memegang kuat jimat
kalimasada bisa menjadi raja yang tak terkalahkan.
130 Bambang Sugito, Op.Cit., hlm. 53.
64
c. Cerita Syekh Siti Jenar (disebutnya Syekh Lemah Abang, Syekh Jali-
jali) dalam usahanya menyelewengkan ajaran Islam, yang kemudian
pada akhir ceritanya mati terbunuh, oleh para pandawa sebagai penegak
ajaran agama Islam atas perintah Sunan Kalijaga.131
Sukses tidaknya dakwah penyelenggaraannya menjadi tangungjawab da’i sebagai subyek dakwah. Begitu pula dengan wayang, dalang sebagai faktor primer yang menyampaikan ajaran-ajaran, hidup tidaknya dalam sebuah pewayangan terletak tanggugjawab yang pertama.
Dakwah dengan menggunakan media wayang juga mempunyai kendala-kendala diantaranya menurut para ahli wayang yaitu waktu pergelaran yang biasanya malam hari, bahkan bisa semalam suntuk. Sedangkan waktu malam untuk istirahat. Untuk itu waktu pergelaran bisa diubah tidak harus malam hari.
Sedangkan menurut para pecinta wayang kendala dakwah dengan menggunakan media wayang adalah bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi. Dalam pertunjukan wayang biasanya seorang dalang yang merupakan tokoh utama dalam pertunjukan wayang menggunakan bahasa jawa kuno yang sulit dipahami oleh masyarakat awam, lebih-lebih masyarkat jaman sekarang. Kalau penontonnya bukan orang jawa asli seperti orang sunda, maka akan sulit untuk bisa memahami isi dari cerita pertunjukan tersebut maka dari itu sedikit demi sedikit bahasa bisa diganti sehingga pagelaran wayang tersebut dapat dipahami oleh masyarakat umum.
Dimasa kinipun wayang hendaknya lebih difungsikan sebagai media dakwah islamiyah, mengingat mayoritas penonton beragama Islam. Sedangkan didalam agama Islam itu sendiri menyuruh umatnya untuk saling menasehati antar satu dengan yang lainnya dengan kebenaran dan sabar.
131 Ibid., hlm. 54.
65
BAB V
EFEKTIFITAS WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH PADA MASA
SUNAN KALIJAGA DAN MASA KINI
A. Analisis Efektifitas Wayang Sebagai Media Dakwah Pada Masa Sunan
Kalijaga
Wayang pertama kali muncul berfungsi sebagai penggambaran roh
(arwah) nenek moyang untuk keperluan upacara-upacara atau persembahan
yang bersifat ritual, sehingga keberadaan wayang sangat berkaitan dengan
kegiatan upacara-upacara keagamaan.
Kemudian wayang digunakan sebagai sarana penyebaran atau
kepercayaan, pada masa masuknya agama Hindu. Oleh karena itu banyak
cerita kepahlawanan yang menjadi pedoman dalam pergelaran wayang. Pada
zaman madya (masa islam di jawa), fungsi wayang masih berperan sebagai
sarana dakwah atau penyebaran agama, namun pada masa ini banyak hal yang
diberlakukan terhadap wayang kulit, terutama menyangkut bentuk, misi,
materi dan sebagainya.
Sehubungan dengan bentuk wayang kulit purwa, seperti yang dapat
dilihat pada masa sekarang ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari
puncak perkembangan pada zaman madya itu, sehingga dapat ditentukan
bentuk kesempurnaannya. Oleh karena itu wayang kulit purwa temasuk dalam
seni yang disebut klasik. Bila dicermati dari bentuknya, dalam bentuk puncak
menuju kesempurnannya itu tidak terlepas dari berbagai pengaruh
sekelilingnya. Salah satu budaya yang berperan dalam penyempurnaan wujud
wayang kulit purwa dan banyakmemberi warna serta penampilan adalah
budaya Islam. Oleh karena itu Islam memiliki arti penting dalam
perkembangan wayang kulit purwa, khususnya di Jawa.
Walisongo sebagai kelompok pemuka pengembangan/penyebaran
Islam di Jawa meletakkan dasar-dasar penyebaran Islam dan
pengembangannya, utamanya dalam struktur politik dan budaya. Dalam
66
66
spektrum yang terakhir yaitu budaya, walisongo mengedepankan corak
tasawuf yang fleksibel, lentur dan inklusif menjadi wacana. Dalam kaitannya
dengan wayang, watak fleksibel, lentur dan dan inklusif meniscayakan
pemanfaatan wayang sebagai salah satu media dakwahnya.132
Para wali dalam penyebaran agama Islam selalu melihat kondisi
masyarakat pada waktu itu baik dari adat istiadat maupun dari budaya yang
berkembang saat ini. Sunana Kalijaga yang merupakan salah satu dari
walisongo yang dibantu oleh wali yang lain menggunakan media wayang
untuk berdakwah, karena wayang merupakan suatu media wayang untuk
berdakwah, karena wayang meruapakan suatu media yang efektif untuk
menyampaikan emisi ini. Sebab masyarakat pada waktu itu masih suka
dengan keramaian.
Sunan Kalijaga memandang bahwa cerita wayang diusung dari
asalnya yaitu India ternyata banyak yang berbau Hindu, animisme dan
dinamisme. Sunan Kalijaga juga melihat bahwa pakem (lakon) wayang India
tersebut kurang komunikatif. Masyarakat hanya diminta duduk diam melihat
sang dalang memainkan lakonnya. Tentu tidak semua orang main untuk
menikmati adegan demi adegan senacam ini dalam waktu semalam suntuk.
Maka Sunan Kalijaga dengan wali yang lain menciptakan suatu tokoh yaitu
punakawan yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng. Semar yang sekiranya
mampu berkomunikasi dengan penonton, lebih fleksibel, mampu menampung
aspirasi penonton, lucu dan juga yang terpenting, dalam memainkan para
tokoh punakawan ini sang dalang dapat lebih bebas menyampaikan misinya
karena tidak harus terlalu terikat pada pakem.
Adapun lakon yang disajikan dari cerita Ramayana dan Mahabaratha
yang telah digubah dalam sedemikian rupa oleh Sunan Kalijaga, sehingga
penonton seakan-akan kisah tersebut benar-benar terjadi di pulau Jawa.
Penampilan tokoh Rama dan para pandawa dalam pergelaran seolah-olah
132 HM. Nafis, Dewaruci(Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa) Edisi 5 tahun
2002, IAIN Walisongo Semarang.
67
merupakan pemunculan kembali para leluhur yang sengaja memberi tuntunan
hidup kepada anak cucunya, agar berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
menegakkan keadilan dan kebenaran serta menghindari kepalsuan dan
kemungkaran.
Sunan Kalijaga merupakan seorang ahli taktik didalam
menyampaikan seruannya kepada umat dan menjaga masyarakat kepada
agama Islam, kesemuanya itu dengan menggunakan taktik dan strategi yang
bijaksana pada saat itu, sesuai dengan situasi dan kondisi, pada waktu itu
masyarakat masih lekat sekali dengan kesenian dan kebudayaan mereka, yaitu
gemar kepada gamelan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan
Syiwa Budha. Oleh Sunan Kalijaga adat itu tidak di lenyapkan akan tetapi
dibiarkan dan memasuki dengan unsur-unsur keIslaman.
Pengaruh adat atau kebiasaan dari kebudayaan Syiwa Budha
terhadap masyarakat sangat besar. Maka seni wayang termasuk rangkaiannya
seperti gamelan dan sebagainya sangat diagungkan oleh rakyat. Dalam hal ini
Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu jalan untuk
mendekatkan dan menarik simpati rakyat, atau jelasnya untuk menyambung
antara pengertian agama dengan rakyat, sedangkan wayang sebagai medianya.
Sistem dakwah yang dilakukakan oleh walisongo bukan merupakan
perubahan atau perubahan kebudayaan Hindu Budha dan diganti dengan
kebudayaan Islam, melainkan melakukan penyelarasan penggabungan dengan
kebudayaan tradisional yang ada kemudian terjadilah sinkronisasi keagamaan
yang dikenal hingga sekarang adalah Islam kajawaan.133
Toleransi yang tinggi terhadap semua aliran dan juga tidak
memperlihatkan sikap antipati atau bahkan seakan-akan menimbulkan
adaptasi, asimilasi, dan juga akulturasi terhadap segala adat dan kepercayaan
dalam masyarakat. Didalam hal ini Sunan Kalijaga sangat pandai dalam
meyakinkan kepada masyarakat atas kebenaran agama Islam dengan berbagai
jalan, antar lain dengan menggunakan wayang.
133 S. Haryanto, Op.Cit., hlm., 179.
68
Sunan Kalijaga dalam menjalankan syiar Islam dengan
menggunakan media wayang tetap menggunakan bahasa wayang, tetapi
dengan mempelajari dengan sungguh-sungguh sistematika Islami supaya
dapat diterima oleh masyarakat luas sebagai dasar penalaran yang digunakan
untuk menjalankan nilai-nilai moral, dan norma-norma sosial yang menjadi
dalam muatan yang menjadi pakelirannya.134
Sedangkan maksud yang ingin dicapai dalam pertunjukan wayang itu
adalah untuk melestarikan dan mengembalikan khittah wayang pemerintahan
Raden Patah di Kerajaan Demak dapat disebut sebagai simbol modernisasi
kebudayaan yang dihasilkan oleh sentuhan ajaran Islam dalam proses interaksi
kebudayaan.
Di Jawa wayang kulit oleh Sunan Kalijaga dipergunakan sebagai
media dakwah dan juga syiar agama, memperolehkan inovasi yang cukup
pelik dan merubah makna hirarkhis struktur lakon itu sendiri, sehingga
menentukan fenomena lakon baru, yakni dengan ditambahnya unsur Semar
dan jajaran punakawan dalam hirarkhis lakon.135
Prof. K.M.A. Machfoeld menerangkan bahwa Semar, Petruk,
Nalagareng dan Bagong kelompok figur wayang dan nama-namanya itu sama
sekali tidak terdapat dalam cerita Hindu sebagai sumber cerita wayang aslinya.
Segala sesuatunya berasal dari kelompok figur punakawan itu adalah kreasi
wali sanget tinelon untuk memperagakan dan mengabdikan diri sebagai
fungsi, watak, tugas konsepsionil walisongo oleh para muballigh Islam.136
Sistem dakwah yang dilakukan oleh walisongo bukan merupakan
perombakan kebudayaan Hindu dan Budha dan kemudian diganti dengan
kebudayaan Islam, melainkan melakukan penyelarasan atau penggabungan
134 Wan Purnomo, Op.Cit., hlm. 84. 135 Ibid., hlm. 84. 136 Sri Mulyono, Apa dan Siapa Semar, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989, hlm 80.
69
dengan kebudayaan tradisionil yang ada. Kemudian terjadilah sinkronisasi
keagamaan yang dikenal hingga sekarang yaitu Islam kejawaan.137
Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari walisongo berpendirian
bahwa rakyat akan lari bila terus begitu saja dan diserang pendiriannya.
Dakwah harus sesuai dengan keadaan, yaitu harus sesuai dengan situasi dan
kondisi. Adat istiadat yang ada jangan terus diberantas, tetapi hendaknya terus
dipelihara dan dihormati oleh suatu kenyatan.
Oleh karena itu dakwah haruslah diselaraskan/disesuaikan dengan
kepercayaan lama. Adapun cara merubahnya sedikit demi sedikit dengan
memberi warna baru kepada yang lain dan juga mengikuti sambil
mempengaruhi, yang nantinya bila masyarakat telah mengerti yang tidak
perlu, merombak atau menghilangkan sendiri nama yang tidak sesuai dengan
agama.
Sunan Kalijaga dalam pewayangan mempunyai jasa paling besar
dengan membuat perlengkapan seperti kelir (layar). Layar secara simbolis
melambangkan langit serta alam semesta, debog (batang pisang yang
berfungsi untuk menancapkan wayang) melambangkan bumi, serta blencong
(pelita besar/lampu) yang melambangkan matahari. Sunan Kalijaga juga yang
telah memberi karakter pemeran utama wayang agar tidak menyalahi aturan
Islam. Kesenian wayang itu dalam proses berdakwah oleh para wali bukan
dihapus akan tetapi justru digunakan semaksimal mungkin menjadi alat
pendukung dan menyebarkan agama Islam.138
Sunan Kalijaga sebagai seorang wali mengikuti dari belakang sambil
mempengaruhi (tut wuri handayani) atau mengikuti kebudayaan lama sambil
mengisi dengan kebudayaan yang baru yaitu dengan jiwa Islam (tut wuri
hangi seni).139
137 S. Haryanto, Op.Cit., hlm. 277-278 138 Ridin S., dkk., Op.Cit., hlm. 277-278. 139 Umar Hasyim, Op.Cit., hlm 81.
70
Kebijaksanaan Sunan Kalijaga dalam berdakwah yaitu dengan
menggunakan metode yang benar-benar sesuai pada waktu itu. Metode itu
ialah tidak sekaligus melaksanakan ajaran-ajaran Islam dengan radikal tetapi
dengan hikmah kebijaksanaan yaitu yang sesuai dengan situasi dan kondisi
orang jawa yang pada saat itu masih teguh memegang kepercayaan-
kepercayaan lama. Berkat dakwah Sunan Kalijaga yang dapat menyesuaikan
diri didalam dakwahnya kepada masyarakat, ternyata yang paling berhasil
pada saat itu.
Sunan Kalijaga adalah orang yang bijaksana dan mempunyai
pandangan yang luas serta jauh kedepan. Maka pada dasarnya kebijaksanaan
dakwah menurut Sunan Kalijaga adalah hal-hal yang sangat menyolok
disingkirkan sementara dari perkara-perkara yang sudah menjadi adat
kebiasaan rakyat dibiarkan berjalan begitu saja, hanya cukup diubah dengan
cara yang bijaksana tanpa kekerasan.
Wayang dipergunakan sebagai dakwah islamiyah oleh walisongo
berfungsi tut wuri sarwi ngiseni yaitu ikut serta dibelakang sambil mengisi
dapat kita benarkan juga. Namun pendapat yang menyatakan bahwa wayang
merupakan satu-satunya fungsi sebagai dakwah tidak dapat kita benarkan,
yang benar adalah wayang sebagai salah satu fungsinya adalah sebagai
dakwah.140
Wayang digunakan sebagai media dakwah pada waktu itu sangat
efektif, karena pada waktu itu masyarakat sangat menyukai kesenian wayang
termasuk gamelan dan lain sebagainya. Dan kemudian oleh Sunan Kalijaga
wayang digunakan sebagai media dakwah dengan menyisipkan pesan-pesan
tentang agama Islam dengan cara sedikit demi sedikit. Dan juga menciptakan
tokoh baru yaitu punakawan yang teridiri dari Semar, Gareng, Bagong dan
Petruk.
140 Srimulyono, Op.Cit., hlm. 81.
71
B. Analisis Efektifitas Wayang Sebagai Media Dakwah Pada Masa Kini
Kesenian merupakan bagian dari kebudayaan dan selalu
mempunyai peranan tertentu dalam masyarakat yang menjadi ajangnya.
Salah satu diantaranya adalah kesenian wayang kulit.
Wayang merupakanm warisan kebudayaan leluhur bangsa
Indonesia yang mempu bertahan berabad-abad lamanya dengan mengalami
berbagai macam perubahan dan perkembangan, sehingga akhirnya
berbentuk seperti yang kita lihat sekarang ini. Wayang, baik sebagai boneka
maupun sebagai seni pertujukan tradisional yang disajikan oleh seorang
dalang, mempunyai fungsi dan peranan dalam kehidupan sebagaian
masyarakat Indonesia dan karena keberadaannya yang didukung oleh
mereka dan memiliki sifat dan corak yang khas serta bermutu tinggi,
wayang dapat dianggap sebagai salah satu kebudayaan nasional.
Wayang dalam perjalanan hidupnya dari zaman kezaman telah
mengalami berbagai macam perubahan akibat adanya perubahan dalam
pemerintahan, politik, sosial budaya dan kepercayaan, sesuai dengan
perubahan yang terjadi dalam pikiran manusia serta kemajuan teknologi
yang mendorong manusia untuk lebih maju dan kreatif lagi.
Daya tahan wayang yang luar biasa membuktikan bahwa wayang
mempunyai fungsi dan peranan dalam kehidupan masyarakat. Fungsi dan
peranan wayang tidaklah tetap, tergantung pada kebutuhan, tuntutan dan
penggarapan masyarakat pendukungnya. Fungsi dan pernaan wayang akhir-
akhir ini tidak lagi di fokuskan pada upacara-upacara ritual dan keagamaan,
namun telah beralih ke hiburan dengan mengutamakan inti cerita dan
berbagai macam pengetahuan, filsafat hidup, nilai-nilai budaya dan berbagai
unsur seni yang terpadu dalam pedalangan.
Dunia pedalangan ikut serta mendewasakan masyarakat dengan
jalan membekalinya dengan konsepsi-konsepsi yang mudah dihayati dan
diresapkan dalam mengahadapi persoalan hidup. Filsafat pewayangan
membuat para pendukungnya merenungkan hakekat hidup, asal dan tujuan
72
hidup, manunggaling kawulo gusti (hubungan gaib antara dirinya dengan
Tuhan), kedudukan manusia dan alam semesta, dan sangkan parning
dumadi (kembali ke asal), yang dilambangkan dengan tancep kayon oleh
sang dalang pada akhir pergelaran.141
Seni pedalangan juga memberi santapan rohani, kesegaran jiwa
dan meningkatkan kesadaran budi para penggemarnya. Dunia pewayangan
merupakan khazanah budaya dan merupakan sumber yang tiada habis-
habisnya bagi yang mau menggalinya, menyerap suri tauladannya,
menghayati dalam rangka pembentukan pribadinya. Pertunjukan wayang
sejak dari pembukaannya hingga berakhirnya pergelaran, banyak
mempunyai kandungan filosofis Jawa. Wayang bukan saja sudah melekat
dihati masyarakat penggemarnya namun juga telah mempengaruhi sikap
hidup dan perilaku mereka.
Wayang supaya tetap hidup dan menjadi tradisi budaya Jawa harus
ditempatkan dalam konteks budaya, khususnya budaya Jawa. Wayang
disosialisasikan secara turun temurun dari generasi ke generasi maka
wayang akan tetap hidup dan menjadi tradisi budaya Jawa.142
Di dalam pergelaran wayang lebih banyak cerita yang membuka
persoalan hidup, bukan kepastian hidup. Ajaran-ajaran wayang tidak
menghadapkan pada teori-teori yang pasti, melainkan model-model tentang
hidup dan kelakuan manusia.
Moral wayang memberikan gambaran keaneka ragaman hidup
manusia tentang beratnya tanggungjawab yang terdapat dalam setiap
pengambilan keputusan, tetapi tidak memutuskan sesuatu. Masyarakat
penonton wayang itu sendiri yang harus menemukan apa yang menjadi
tugas, hak dan kewajiban masing-masing serta harus siap
mempertanggungjawabkan.
141 S. Haryanto, Seni Kriya Wayang Kulit, PT Pusaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991,
hlm. 1-2. 142 Kanthi Waluyo, Op.Cit., hlm. 6.
73
Wayang yang merupakan seni yang komprehensif, yang memiliki
fungsi, estetika, hiburan, sarat dengan nilai sakralitas, serta berisikan ajaran
agama dan misi hidup yang cenderung membuka persoalan hidup dari pada
kepastian hidup.143 Wayang merupakan tradisi budaya warisan leluhur dan
kita perlu mempertahankan dan melestarikan.
Wayang akan tetap menjadi budaya Jawa apabila budaya Jawa itu
sendiri belum banyak mengalami perubahan. Sementara saat ini telah
banyak unsur budaya jawa yang berubah akibat dari tekanan yang cukup
kuat dari unsur-unsur budaya itu berubah secara total, masih tampak adanya
unsur budaya Jawa yang masih tetap hidup dan bertahan. Dengan demikian
wayang masih menampakkan kehidupannya, masih ada unsur-unsur dan
wilayah budaya yang menampung dan memberi dukungan pada keberadaan
wayang ini.
Di desa-desa pertunjukan wayang sampai sekarang masih
merupakan bagian yang terpenting dari kehidupan budaya masyarakatnya.
Mengadakan pertunjukan wayang kulit di desa menarik perhatian semua
golongan, mulai dari anak kecil, anak muda sampai orang tua.
Dikalangan masyarakat dewasa ini minat dan kegemaran akan
pertunjukan wayang kulit tampak sangat meningkat, terutama dimasyarakat
pedesaan. Kemajuan teknologi modern juga sangat besar peranannya dalam
sejarah perkembangan wayang. Penggunaan alat-alat seperti pengeras suara,
alat-alat pemancar radio, televisi, tape recorder, dan kaset-kaset, semuanya
sangat membantu pergelaran wayang, sehingga para penggemar bertambah
menjadi lebih banyak karena tidak harus menonton secara langsung lewat
tanggapan para masyarakat.
Padahal dulu, sebelum ada alat-alat yang serba modern, jumlah
penonton pertunjukan wayang kulit sangat terbatas/sedikit sekali jumlahnya.
Karena suara dalang tidak dapat mencapai jaarak yang lebih jauh dan juga
sinar blencong (lampu minyak untuk pertunjukan wayang kulit) terbatas
143 Ibid., hlm. 10.
74
kemampuannya untuk menerangi layar. Apalagi wayang jika dilihat dari
tempat yang agak jauh, wayang yang ditampilkan dan bayangan yang
ditampilkan wayang kurang jelas hanya tampak remang-remang, sehingga
kurang mendapat perhatian dari penonton.
Karena sifat dari hiburannya, pertunjukan wayang sering menyerap
banyak penonton. Unsur-unsur hiburan yang terkandung dalam pertunjukan
wayang tersebut merupakan lagu-lagu kegemaran penonton, tehnik
memainkan wayang oleh dalang, dan yang paling menonjol daya tariknya
adalah lawakannya dalang, baik melalui tokoh punakawan maupun tokoh-
tokoh lainnya.
Dewasa ini sering kita saksikan tokoh-tokoh wayang yang
seriuspun digunakan untuk membawakan lawakan. Pada saat adegan yang
seharusnya penuh dengan suasana keagungan, seringkali disisipi dengan
lawakan-lawakan. Menurut seni pedalangan tradisional hal tersebut
dianggap sebagai pelanggaran yang memerosotkan seni, namun beberapa
dalang yang sudah kenamaan/terkenal sekalipun sulit memegang teguh
persyaratan pedalangan, karena pertimbangan komersial sering lebih
diutamakan dari pertimbangan mutu.144
Para penonton sering memberikan reaksi mendukung kepada
dalang yang mengadakan penyimpangan tapi dapat menggembirakan
hatinya daripada kepada dalang yang patuh pada seni pedalangan, yang
terlalu serius. Seorang dalang sering dihadapkan pada dilema, lebih
mementingkan seni atau keinginan para penonton.
Wayang bagi masyarakat Jawa, merupakan sesuatu yang langgeng,
dan juga abadi karena kesenian tersebut tetap popular pada segala zaman,
mulai pada zaman Hindu, zaman Islam, zaman penjajahan Belanda dan
Jepang, zaman revolusi kemerdekaan, zaman pembangunan maupun pada
zaman reformasi sekarang ini. Penggemarnya sekarang bahkan lebih banyak
bila dibandingkan dengan zaman dahulu. Karena adanya perlengkapan
144 S. Haryanto, Op.Cit., hlm. 4.
75
pergelaran yang modern seperti televisi, radio, dan juga banyak beredarnya
kaset-kaset pewayangan.
Wayang merupakan inti dari kebudayaan masyarakat yang
diwariskan secara turun temurun. Pada cerita dan watak tokoh-tokoh
wayang, kita dapat melihat inti dan tujuan hidup manusia. Dan secara
filosofis, wayang adalah pencerminan dari watak manusia, tingkah laku dan
juga kehidupannya.
Wayang purwo yang merupakan salah satu dari wayang yang ada
di Indonesia umurnya sudah ribuan tahun, akan tetapi hingga saat ini
khususnya wayang kulit masih dapat bertahan dan berfungsi dengan baik.
Padahal jenis kesenian lain yang senafas banyak yang telah punah atau
terdesak oleh perkembangan zaman yang semakin modern.
Walaupun demikian harus diakui frekuensi para pemakai jasa
sudah jauh berkurang apabila dibandingkan dengan enam atau tahun
puluhan yang lalu. Tak berlebihan kiranya apabila waktu itu wayang tampil
sebagai primadona diantara jenis kesenian yang ada. Dikota wayang
ditanggap, di desa semarak dan juga disukai oleh berbagai kalangan mulai
dari anak-anak kecil sampai orang-orang dewasa. Katakanlah bahwa waktu
itu orang nanggap wayang seolah-olah sudah menjadi keharusan tradisi yang
tidak pernah terlewatkan dalam setiap hajatan.
Surutnya para pemakai jasa wayang dapat dimaklumi mengingat
arus modernisasi telah demikian melanda kehidupan, terutama dikota-kota
besar seperti Jakarta. Wajah kota telah berubah menjadi ajang kehidupan
yang serba glamour, ditunjang dengan berbagai fasilitas yang serba mewah,
dan juga jenis hiburan yang serba modern terdapat hampir disetiap sudut
kehidupan kota.
Namun sekali lagi ditengah gemerlapnya kehidupan yang serba
wah itu, akan tetapi wayang masih tetap disenangi dan masyarakat masih
76
dapat menikmati indahnya kisah Ramayana dan Mahabarata, diiringi bunyi
gamelan dan juga olah kata dalang dan juga suara lembut dari para pesinden.
Maka tidak disangsikan lagi masih bertahannya wayang di abad
modern ini menunjukkan bahwa betapa canggihnya nilai-nilai budaya yang
menjadi dasar ketahanan dirinya selama ini.
Hal lain yang menyebabkan bahwa wayang tetap masih disukai
karena sifatnya tidak khusus bagi golongan tertentu saja, melainkan terbuaka
bagi semua golongan, mulai dari golongan kecil, golongan menengah
sampai kaum elite.
Wayang bukan sekedar bentuk yang indah dan menyenangkan,
tetapi mempunyai nilai khusus bagi bangsa Indonesia umumnya dan
masyarakat Jawa pada khususnya, atau mengandung maksud-maksud yang
lebih mendalam, yaitu memberikan suatu gambaran tentang hidup dan
kehidupan. Wayang merupakan karya seni rupa yang mempunyai makna
atau merupakan lambang, simbol bagi falsafah hidup bagi anggota-anggota
masyarakat pendukungnya.
Wayang selain sebagai media hiburan juga bisa dipergunakan
sebagai media dakwah. Dalam memaksimalkan wayang sebagai media
dakwah islamiyah tidaklah mudah. Memang disatu sisi dapat
memaksimalkan wayang sebagai sarana dakwah adalah sumber kemajuan.
Namun disisi lain pengalaman dan pengetahuan tentang keislaman para
dalang kurang bahkan minim.
Dalang sebagai sosok pendidik masyarakat punya tanggungjawab
moral terhadap khalayak, sebab dalang merupakan orang yang banyak
memberi wejangan. Dari kondisi ini apakah mungkin, seorang pemberi
wejangan tetapi sikap dan perilakunya tidak sesuai dengan yang
diwejangkan? Berpijak dari ini kembali kepada agama adalah keniscayaan.
Karena hanya agamalah yang bisa mengantarkan manusia untuk mencapai
derajat kehidupan yang lebih mulia.
77
Membandingkan pemanfaatan wayang kulit sebagai media dakwah
di zaman wali dengan kondisi sekarang tidaklah bijaksana. Di zaman
tersebut, wayang kulit begitu menyatu dengan dakwah islamiyah dan juga
merupakan media yang efektif pada waktu itu, sebabwalisongo sengaja
menggunakan media wayang kulit untuk mengajak manusia kepada Islam.
Memang idealnya seseorang yang akan berdakwah, haruslah
mumpuni baik dalam pengetahuan ke Islaman maupun pengalaman. Dalam
hal ini keimanan dan ketakwaannya tidak diragukan. Ini diutamakan oleh
karena, ia dalam membawa misi dakwahnya diharuskan terlebih dahulu
dirinya sendiri dapat memerangi hawa nafsunya. Bila hal ini ditekankan,
dakwah tidak sebatas jarkoni atau biso ngajar ora biso nglakoni alias bisa
mendidik tapi tidak bisa melakukannya sendiri.
Terhadap dalang dimasa kini yang tampaknya mulai sadar
memanfaatkan wayang sebagai media dakwah islamiyah, meski dengan
kemampuan terbatas khususnya materi dakwah, menyikapi hal ini kita tidak
perlu sentimen atas usaha orang lain. Bahkan kita patut bersyukur dan
berkhusnuzdlon terhadap usaha para dalang.
Menurut penulis seorang dalang sebagai sosok panutan bisa juga
dikatakan dengan guru, mereka (para dalang) harus terus belajar dan
mendalami hal-hal yang berkaitan dengan materi keIslaman. Minimal untuk
membenahi diri sebelum membenahi orang lain.
Ki Manteb Sudarsono yang merupakan dalang kondang, dalam
menyisipkan materi dakwah dengan tidak memberikan arahan yang bersifat
menggurui secara verbal, akan tetapi memanfaatkan tokoh-tokoh wayang
yang ada.145 Menurut penulis bagi penonton khususnya masyarakat yang
awam terhadap agama akan lebih akrab untuk menyimaknya.
Wayang sampai sekarang masih bisa digunakan untuk berdakwah
menurut para ahli wayang dan para pecinta wayang. Hal ini karena wayang
145 Won Poerwono, dkk., Op.Cit., hlm. 83.
78
merupakan media wayang yang sampai sekarang masih banyak digemari
oleh masyarakat dan merupakan budaya nasional yang perlu dilestarikan.
Pertunjukan wayang rupanya masih dianggap sebagai media yang
efektif untuk berdakwah. Penyebaran agama Islam yang sangat berkembang
di tanah Jawa sejak ratusan tahun yang lalu dan tidak bisa lepas dari peran
para wali yaitu Sunan Kalijaga dan juga dibantu oleh para wali yang lain
dengan memanfaatkan wayang sebagai media dakwah.
Bertolak dari sana Lembaga Dakwah Nahdlotul Ulama (LDNU)
berbuat hal serupa, yaitu dengan melakukan napak tilas lewat pertunjukan
wayang kulit dengan dalang mbeling yaitu Ki Enthus Susmono di lapangan
Tugu Api Pancasila, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta pada hari
Jum’at, 4 Juli 2003 mulai pukul 19.30 WIB. Dalam pergelaran wayang itu
Ki Enthus yang asal Tegal (Jawa Tengah) dengan menampilkan lakon
Babad Alas Metropolis yang mengacu pada etos Mahabarata Babad Alas
Hutani.146
Dalam pergelaran tersebut Ki Enthus bakal mencoba menyisipkan
dakwah dalam lakon Babad Alas Metropolis. Akan tetapi tanpa
mengesampingkan unsur hiburannya. Supaya tidak membuat penonton
bosan unsur hiburan merupakan pengikat, penyampaian nilai-nilai agama
dan moral bisa lewat pertunjukan wayang akan lebih mudah diterima oleh
masyarakat awam.
Pementasan wayang dengan dalang dalang tunggal, sudah kita
jumpai. Bahkan pentas wayang dengan dalang lebih dari satu juga sudah
biasa. Namun pentas dua dalang yang dikolaborasikan dengan seorang da’i,
bisa jadi merupakan acara yang belum pernah kita jumpai.
Pergelaran wayang kulit dengan kolaborasi dakwah itu diadakan
dilapangan Tegalsari, Sidorejo, Cilacap, Minggu (3 Agustus 2003), mulai
pukul 20.00 WIB. Pentas tersebut menampilkan kolaborasi dakwah dan
146 Http://www.Kompas.com/gayahidup/news/0307/04/115311.htm, tgl 9 September 2003.
79
wayang kulit dengan lakon Gatotkaca Nagih Janji, sedangkan dua dalang
yang akan tampil adalah Ki Enthus (Tegal) dan Sugino Siswo Carito
(Banyumas) sedangkan yang akan di kolaborasikan adalah da’i remaja dari
Madiun Kharisma Yogi Noviana.147
Pergelaran tersebut diadakan bertujuan untuk melestarikan
kebudayaan yang telah ada, memberikan hiburan, selain itu juga sebagai
media untuk meningkatkan iman dan taqwa. Dari dua contoh pergelaran
wayang yang baru-baru ini ditampilkan membuktikan bahwa selain sebagai
hiburan wayang pada saat ini juga masih efektif digunakan sebagai media
dakwah, ditambah lagi banyaknya dalang yang menggunakan wayang
sebagai media dakwah.
Dalang merupakan sosok yang terpenting atau utama dalam
pergelaran wayang. Seorang dalang yang menggunakan wayang sebagai
media dakwah bisa memunculkan nilai-nilai religius/Islam. Dari Islam,
wayang juga menyerap nilai-nilai yang lengkap tentang bagaimana manusia
harus hidup. Islam percaya bahwasannya manusia itu dilahirkan untuk
menjadi wakil tuhan diatas bumi (Khalifah Fil Ardli) dengan tugas khusus
mengatur tata tertib kehidupan didunia. Untuk itu manusia harus
menjalankan semua perintah Tuhan dan menjauhi semua larangan-Nya
dengan menjalankan semua itu manusia harus memiliki iman yang kuat,
menjalankan seluruh syariat atau peraturan tentang peribadatan dan juga
melakukan diri sendiri, manusia yang lain dan alam menurut peraturan yang
sudah ditetapkan.
Selain sebagai suatu sumber pencarian nilai-nilai yang amat
diperlukan bagi kelangsungan hidup bangsa, akan tetapi wayang juga
merupakan salah satu wahana atau alat pendidikan watak yang baik sekali.
Pertunjukan wayang itu sendiri merupakan alat pendidikan watak yang
menawarkan metode pendidikan yang amat menarik. Wayang mengajarkan
ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang baik, akan tetapi semua itu terserah kepada
147 http://www.suaramerdeka.com/harian/0308/01/bud2.htm , 9 September 2003.
80
penonton (masyarakat dan individu-individunya) untuk menafsirkannya dan
juga bebas untuk menilai dan memilih mana ajaran dan nilai-nilai dengan
pribadi masing-masing.
Wayang mengajarkan nilai-nilai dan ajaran tersebut tidak secara
teoritis saja malainkan secara konkrit dengan menghadirkan kehidupan
tokoh-tokohnya sebagai teladan. Wayang selain mengajak penonton untuk
berpikir juga mendidik penonton melalui hati/rasanya dengan jalan adegan-
adegan lucu, adegan mengharukan atau menyentuh hati, membikin hati
geram dan lain-lain.
Wayang digunakan sebagai media dakwah pada masa kini menurut
pandangan masyarakat, baik dari para ahli wayang maupun para pecinta
wayang, masih efektif. Karena wayang merupakan salah satu media yang
masih banyak penggemarnya. Keefektifan wayang digunakan sebagai media
dakwah terletak pada dalang. Karena dalang merupakan faktor yang utama
dalam pertunjukan wayang. Oleh karena itu seorang dalang haruslah
menguasai ilmu-ilmu agama yang mumpuni untuk berdakwah. Seorang
dalang juga bisa sebagai guru yang bisa menjadi panutan masyarakat. Untuk
itu seorang dalang haruslah mempunyai banyak ilmu pengetahuan, baik itu
ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu agama, maupun ilmu-ilmu yang lain.
Di Indonesia khususnya di Jawa wayang bukan hanya sudah
melekat dihati masyarakat penggemarnya, akan tetapi juga telah
mempengaruhi pola hidup dan perilaku mereka. Disamping itu wayang juga
sebagai sarana hiburan, media pendidikan maupun sebagai media dakwah.
Menggunakan wayang sebagai media dakwah cukup dilematis.
Disatu sisi wayang identik dengan hal-hal yang syirik, sementara disisi lain
wayang kulit sebagai wayang kesenian yang cukup menarik. Maka
seyogyanyalah dimanfaatkan sebagai media dakwah sebab salah satu fungsi
wayang adalah sebagai pendidikan bagi masyarakat. Dan peminat wayang
itu mayoritas beragama Islam maka sudah sepantasnya mendapatkan
pendidikan tentang keIslaman melalui media wayang.
81
BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan dalam uraian dibawah ini.
Dakwah adalah mengajak (dan sebagainya) kepada manusia baik
perorangan maupun kelompok agar melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar sesuai ajaran agama Islam secara penuh guna memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Sunan Kalijaga dalam berdakwah lebih memilih menggunakan
kesenian dan kebudayaan. Ia sangat toleran pada budaya lokal dan
berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika di serang pendiriannya.
Maka mereka harus didekati secara bertahap dengan mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami
dengan sendirinya kebisaan yang lama akan hilang.
Sunan Kalijaga dipandang sebagai tokoh yang telah
menghasilkan kreasi baru yaitu dengan adanya wayang kulit dan segala
perangkat gamelannya. Wayang kulit ini merupakan perkembangan baru
dari wayang keber yang memang sudah ada sejak zaman Erlangga. Sunan
Kalijaga beserta Sunan Bonang dan Sunan Giri menciptakan wayang
Punakawan Pandawa yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng dan Bagong.
Dalam rangka menggunakan wayang sebagai alat dakwah, Sunan
Kalijaga beserta para wali lainnya membuat beberapa cerita atau lakon
buatan sendiri, dalam artian cerita wayang itu tidak bersumber dari kitab
Mahabarata atau dari kitab Ramayana. Diantara cerita karangannnya
adalah cerita Dewa Ruci, Jimat Kalimasada (kalimat syahadat, Petruk jadi
raja dan lain-lain).
Bagi orang Jawa, dunia pewayangan merupakan dunianya sendiri
yaitu dunia kejawen. Karena orang Jawa menilai bahwa wayang
mengandung filsafat yang dalam dan memberi peluang untuk melakukan
81
82
suatu pengajian filsafat dan mistik. Sedangkan inti dari filsafat wayang
adalah berpusat pada pakem (lakon)nya.
Wayang mengandung makna yang lebih jauh dan mendalam
karena mengungkapkan gambaran hidup semesta, memberikan gambaran
lahan kehidupan umat manusia dengan segala masalahnya dan juga
mengandung nilai-nilai pandangan hidup Jawa dalam menghadapi dan
mengatasi segala tantangan dan kesulitan hidup. Bagi orang Jawa wayang
tidak hanya sekedar sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media
pendidikan maupun media dakwah.
Menurut pandangan masyarakat (para ahli wayang dan para
pecinta wayang) wayang digunakan sebagai media dakwah pada masa
sekarang ini masih efektif, karena wayang merupakan seni pertunjukan
yang sangat familiar bagi masyarakat Jawa. Komunitas-komunitasnya
masih menganggap bahwa wayang masih bisa digunakan sebagai media
dakwah. Wayang didalamnya mengandung ide apa saja, termasuk ide-ide
yang barnilai Islam.
Menurut para ahli wayang bahwa dakwah dengan menggunakan
media wayang mempunyai kendala-kendala diantaranya adalah waktunya
pergelaran wayang yang biasanya malam hari, bahkan bisa semalam
suntuk sedangkan waktu malam untuk istirahat. Oleh karena itu waktunya
bisa diganti tidak harus malam hari.
Menurut para pecinta wayang, kendala dalam berdakwah dengan
menggunakan media wayang itu diantaranya dalam hal bahasa yang
merupakan alat komunikasi. Didalam pertunjukan wayang seorang dalang
biasanya menggunakan bahasa jawa kuno yang sulit dipahami oleh
masyarakat umum lebih-lebih masyarakat jaman sekarang. Kalau
penontonnya bukan dari orang jawa asli, maka akan sulit untuk bisa
memahami isi dari cerita pertunjukan tersebut.
Kendala dakwah dengan menggunakan media wayang menurut
penulis pada masa sekarang ini adalah karena semakin majunya teknologi
dan ilmu pengetahuan membuat banyak hiburan sehingga para penonton
83
wayang menjadi berkurang. Anak kecil dan juga para pemuda yang
seharusnya menjadi penerus untuk melestarikan budaya wayang ternyata
lebih suka memilih hiburan yang lain, dan juga semakin mahalnya biaya
untuk mengadakan pertunjukan wayang membuat masyarakat jadi enggan
untuk mengadakan pertunjukan wayang.
Saran-saran
Ki dalang sebagai seorang da’i hendaknya membawa perubahan
dalam pementasannya dengan tetap mempertahankan nilai-nilai moral
yang selama ini terpatri kuat, dalam budaya jawa yang penuh kehalusan
budi pekerti.
Kidalang sebagai subyek dakwah hendaknya meningkatkan
pengetahuan keagamaannya, disamping selalu memajukan tehnik pentas
dan ilmu pengetahuan.
Pergeseran budaya menuju wayang sebagai alat hiburan semata,
hendaknya selalu kita sikapi, agar nantinya wayang tidak merupakan
pertunjukan yang hampa dari nilai-nilai moral (budi pekerti).
Masyarakat hendaknya mau memperhatikan dan
mempertahankan seni wayang dengan seksama, bukan hanya sebagai
sarana hiburan semata dan mengenalkan pada generasi berikutnya, agar
seni yang penuh dengan nilai budi pekerti itu tidak hilang dari langit dan
masyarakat yang kita cintai ini.
Seorang dalang dalam pertunjukan wayang hendaknya
menyesuaikan garapannya sesuai dengan tuntutan zaman dan
menyesuaikan pula dengan tingkat kemampuan apresiasi penonton.
Wayang digunakan sebagai media dakwah perlu diusahakan
materi-materi yang mempunyai nilai-nilai kebaikan religius/Islami. Dan
juga dikembangkan lebih baik lagi dalam rangka untuk melestarikan
kesenian tradisional klasik yang adi luhung itu
84
Wayang supaya lebih efektif digunakan sebagai media dakwah
adalah perlu diperbaiki. Perbaikan yang pokok adalah terletak pada
dalang. Karena dalang merupakan pelaku utama dalam wayang maka
seorang dalang dalam pergelaran wayang perlu memunculkan nilai-nilai
yang religius/Islami.
Penutup
Demikian hasil penelitian yang telah penulis lakukan dengan
judul: “WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH SUNAN KALIJAGA
DAN EFEKTIVITASNYA PADA MASA KINI”. Hanya demikian yang
dapat penulis pesembahkan, yang tentunya masih jauh dari harapan para
pembaca sekalian.
Oleh karena itu demi kesempurnaan penelitian ini kritik dan
saran selalu penulis harapkan sehingga akan dapat menjadi masukan
yang positif bagi penulis dan akan menjadikan koreksi untuk penulis
dimasa mendatang.
Sebagai insan biasa yang tidak luput dari kesalahan penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya, semoga apa yang dapat penulis
berikan ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi
para pembaca pada umumnya, amin.
85
DAFTAR PUSTAKA
Amir Mertosedono, Sejarah Wayang, Dahara, Prize, Semarang, 1993.
Bambang Sugito, Dakwah Islam Melalui Media Wayang Kulit, Aneka, Solo, 1992.
Barmawi Umari, Azas-azas Ilmu Dakwah, Ramadhani, Sala, 1969.
Budiono Heru Santoso, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta, 2000.
Darori Amin, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000.
Depag. RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989.
Hamzah Ya’kub, Publisistik Islam, Penerbit Diponegoro, Bandung, 1981.
Hazim Amir, Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.
HM. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Al Ikhlas, Surabaya, 1993.
HM. Nafis, Dewaruci(Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa) Edisi 5 tahun 2002, IAIN Walisongo Semarang.
Http://groups.Yahoo.com/group/padepokan/message/240, tanggal 20 Agustus 2003.
Http://Joewono.Tripod.Com/Moch Djoko Yuwono/Id6.Html 23 Juli 2003
Http://Mujarobat.Tripod.Com/Index6.Html , 23 Juli 2003.
Http://Mujarobat.Tripod.Com/Index6.Html tanggal 23 Juli 2003
86
Http://Wayang.1-2.Co.Id/Arsip/Menantangwayang.Htm 23 Juli 2003
Http://Wayang.I-2.Co.Id/Sejarah Wayanggolek.Htm tanggal 15 Maret 2003
Http://www.geocities.com/hidurditya/budaya/bud_43.htm, tanggal 20 Agustus 2003 .
Http://Www.Indosiar.Com/Welcome/Forum/Topic.Asp?Topic_Id=1729 tanggal 24 April 2003.
Http://www.Kompas.com/gayahidup/news/0307/04/115311.htm, tgl 9 September 2003.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0308/01/bud2.htm, 9 September 2003.
Imam Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga, Terj. Muhammad Khafidz Basri , dkk., Balai Pustaka, Jakarta, 1993.
Kanti Waluyo, Dunia Wayang¸Pustaka Palajar, Yogyakarta, 2000.
M. Aminuddin Sanwar, Pengantar Studi Ilmu Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, 1984.
Machfoedl, Filsafat Dakwah, Ilmu Dakwah dan Penerapannya, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.
Moh. Nasir, Metode Penelitian, Ghalis Indonesia, Jakarta, 1999.
Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi III, Penerbit Rake Sarasim, Yogyakarta, 1998.
Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 1994.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
87
Ridin Sofwan, Wasit, Mundiri, Islamisasi di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
S. Haryanto, Bayang-bayang Adiluhung, Dahara Prize, Semarang, 1992, hlm. 22
_________, Seni Kriya Wayang Kulit, PT Pusaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991.
Sri Mulyono, Apa dan Siapa Semar, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989.
___________, Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang, Gunung Agung, Jakarta, 1983.
___________, Wayang Asal usul Filsafat dan Masa Depannya, Gunung Agung, Jakarta, 1982.
Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Dahara Prize, Semarang, 1992.
Sujatmo, Sabda Pandita Ratu, Dahara Prize, Semarang, 1993.
Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit, Dahara Prize, Semarang, 1997.
Sutarno, Wayang Kulit Jawa, Cendrawasih, Solo, t.t.
Suwaji Bastomi, Gemar Wayang, Dahara Prize, Semarang, 1995.
Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997.
Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, Menara Kudus, Kudus, 1974.
Wawancara dengan Dra. Misbah Zulfa Elizabeth di kampus Dakwah IAIN Walisongo Semarang, tanggal 25 Agustus 2003.
Wawancara dengan Drs. A. Muzakki, Da’i, di Kecamatan Gembong Kabupaten Pati, tanggal 23 Agustus 2003.
88
Wawancara dengan Ma’sum di Desa Bageng Kecamatan Gembong Kabupaten Pati, tanggal 30 Juli 2003.
Wawancara dengan Musthofa di Desa Bageng, Gembong, Pati, tanggal 29 Juli 2003.
Wawancara dengan Riyono, di Desa Bageng Kecamatan Gembong Kabupaten Pati,. tanggal 29 Juli 2003.
Wawancara dengan Surawi, di desa Bageng Kecamatan Gembong Kabupaten Pati, tanggal 29 Juli 2003.
Wawancara dengan Zein Darmadi, di desa Bageng Kecamatan Gembong Kabupaten Pati, tanggal 30 Juli 2003.
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 30
Winarno Surahmad, Paper Skripsi Tesis Desertasi, Tarsito, Bandung, l97l.
Won Purnomo, dkk., Menjadikan Wayang Enak Dipandang, Yayasan Dwara Budaya, Solo, 2000.