Upload
truongnga
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki bermacam budaya yang terbentang dari Sabang
hingga Merauke. Pada sensus tahun 2000, tercatat lebih dari 1000 grup etnik
dan sub-etnik, yang masing-masing grup mengklaim mempunyai bahasa dan
budaya sendiri.1 Tidak banyak negara seberuntung Indonesia di mana
memiliki kekayaan sosio-kultural yang tidak ternilai. Keadaan yang demikian
membuat Indonesia dikenal sebagai masyarakat multikultural.
J.S. Furnival menyatakan masyarakat multikultural merupakan
masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara
kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang
berbeda-beda satu sama lainnya.2 Dalam masyarakat multikultural, kita akan
menjumpai perbedaan budaya, seperti ras, suku, bahasa, adat istiadat, agama,
dan perbedaan lainnya di masing-masing komunitas. Seperti yang
diungkapkan Parekh (1997) dalam Azra3, just as society with several religions
or languages is multi religious or multi lingual, a society containing several
cultures is multicultural.
Pada keadaan masyarakat yang multikultural akan dijumpai adanya
multikulturalisme di dalamnya. Multikulturalisme merupakan pengakuan
akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan
kebudayaannya masing-masing yang unik.4 Lebih tegasnya, multikulturalisme
merupakan ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
1 Thung Ju Lan. 2011. “Heterogenity, politics of ethnicity, and multiculturalism. What is a viable
framework for Indonesia?”. dalam Wacana Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya : Multiculturalism.
Faculty of Humanities University of Indonesia.Vol.(13).No.2.Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.Hal.280. 2 Terarsip dalam http://www.scribd.com/doc/229626919/Masyarakat-Multikultural-pdf#scribd
(diakses pada 23 Desember 2014) 3 Azyumardi Azra. 2007. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia.Yogyakarta:
Kanisius.Hal.13. 4 Choirul Mahfud. 2006. Pendidikan Multikultural.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Hal.75.
2
kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.5 Dengan
demikian, multikulturalisme mengisyaratkan akan pengakuan terhadap realitas
keragaman kultural, yang mencakup keberagaman ras, suku, etnis, agama,
maupun kebergaman bentuk-bentuk kehidupan yang terus bermunculan di
setiap tahap kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme merupakan cara yang tepat dalam menghadapi
masyarakat multikultural terutama bagi Indonesia.6 Keadaan Indonesia yang
multikultural, membuat Indonesia rentan adanya konflik. Terjadinya konflik
bisa disebabkan karena perbedaan latar belakang budaya. Ketidakmampuan
masyarakat menerima perbedaan yang ada di sekitarnya, menjadi alasan kuat
terjadinya konflik.
Beberapa konflik yang terjadi di Indonesia yang di latar belakangi oleh
perbedaan budaya antara lain konflik yang terjadi di Sampit, Kalimantan
Tengah tahun 2001 serta konflik di Poso, Sulawesi Tengah tahun 1998 dan
2000. Konflik Sampit merupakan konflik antar suku yaitu antara orang Dayak
asli dengan warga migran Madura. Agama pun sering menjadi alasan
terjadinya konflik, seperti yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah tahun 1998
dan 2000 antara agama Islam dan Kristen. Kedua konflik tersebut merupakan
contoh konflik besar yang terjadi Indonesia karena adanya perbedaan budaya.
Oleh karenanya, dalam mengatasi konflik karena adanya perbedaan budaya,
salah satu caranya adalah dengan memahami dan menyebarluaskan
multikulturalisme. Alasannya adalah dalam multikulturalisme, menghargai
dan mengakui budaya lain secara sederajat merupakan hal yang paling pokok.
Masyarakat perlu mengenal multikulturalisme, mengingat pentingnya
multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat yang multikultural.
Pengenalan akan multikulturalisme memerlukan media yang dapat membantu
menyampaikan pesan multikulturalisme pada masyarakat. Salah satunya yaitu
media massa. Sifat media massa yang mampu memberikan informasi secara
5 Pasurdi Suparlan. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Terarsip dalam
http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/viewFile/3448/2729 (Diakses pada 5 September 2014) 6 Ibid
3
luas, dapat mencakup seluruh lapisan masyarakat, menjadikan media massa
sarana yang ampuh untuk menyebarkan paham multikulturalisme.
Pasca Reformasi 1998, media massa di Indonesia mulai berani
menyuguhkan isu-isu mengenai multikulturalisme. Keberanian media massa
Indonesia mengemas isu multikulturalisme muncul ketika kebebasan pers
mulai merajalela di Indonesia. Saat Orde Baru, media massa dikekang oleh
pemerintah sehingga konten yang ada pun tidak terlepas dari propaganda
pemerintah. Isu-isu yang mengandung SARA (suku, agama, ras, dan antar
golongan) sangat tabu dibicarakan pada era Orde Baru dengan tujuan demi
menjaga stabilitas nasional. Konflik-konflik yang mulai muncul ke permukaan
saat tahun 1998, membuat media massa di Indonesia berbondong-bondong
menyoroti masalah multikulturalisme. Seberapa sering pun media massa
mengangkat multikulturalisme, pembicaraan mengenai multikulturalisme
tidak akan pernah selesai, karena keadaan Indonesia sendiri pun negara yang
memiliki beragam budaya.
Salah satu dari media massa yang menyoroti masalah
multikulturalisme adalah film. Berbeda dengan media massa lain (televisi,
koran, radio), film mampu menyuguhkan pesan atau informasi lewat plot
cerita naratif yang didukung oleh gambar visual menarik serta scoring musik
yang mampu membawa audiens seolah-olah berada pada dunia film tersebut.
Singkatnya, film memiliki keunggulan dalam menyampaikan pesan secara
audio visual.
Selain hal tersebut, film sesuai dengan fungsinya, bisa memberikan
hiburan, pendidikan, memberikan informasi, membujuk juga sebagai kontrol
sosial. Artinya, dalam sebuah film orang bisa mengungkapkan berbagai
pandangan terhadap hal-hal yang dianggapnya menyimpang dari aturan yang
diakui oleh masyarakat. Film tidak bisa meninggalkan tanggung jawab
sosialnya sebagai sebuah media massa yang bertugas untuk menyampaikan
berbagai isu dalam masyarakat secara umum, sebab film adalah perpanjangan
tangan masyarakat.
4
Di Indonesia, isu yang sebenarnya cukup menarik diangkat ke dalam
sebuah film adalah mengenai multikulturalisme. Dalam ranah kajian media
dan budaya, media seringkali dilihat sebagai cerminan dari realitas di mana
apa yang tampak dalam media dianggap sebagai kehidupan sesungguhnya
(media equation).7 Indonesia yang pada hakekatnya memiliki keberagaman
budaya seharusnya memiliki banyak isu budaya yang bisa dijadikan ide
pembuatan film. Melalui cerita yang disuguhkan, orang/sineas dapat
menyisipkan pesan mulitikuturalisme pada masyarakat baik secara eksplisit
maupun implisit.
Film Tanda Tanya (2011) karya Hanung Bramantyo merupakan
sebuah film bertema multikulturalisme. Hal ini terlihat dari penokohan
karakter yang berbeda etnis, agama, dan budaya. Pada dasarnya film ini ingin
mengangkat ide tentang toleransi agama, tetapi justru film ini banyak
menerima pencekalan, salah satunya dari Front Pembela Islam (FPI). Film ini
dianggap melecehkan umat Islam. Penelitian yang dilakukan oleh Veronica
Dian Anggraeni mengenai wacana toleransi pada film tersebut, mempertegas
mengapa film ini banyak menuai kotroversi. Dalam penelitiannya, Anggraeni
(2012) menemukan bahwa film Tanda Tanya tidak berhasil memberikan
makna toleransi yang baik, karena adanya sebuah dominasi Islam dan
pencitraan diri dari agama Islam yang dikemas sutradara dengan tema
toleransi.8 Penelitian lain yang mengulas film Tanda Tanya, juga menemukan
citra Islam berkaitan dengan kemiskinan, rasisme, kekerasan dan terorisme,
serta murtad.9
Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (2010) merupakan salah satu film yang
mengangkat multikulturalisme dalam ceritanya. Drama percintaan dua sejoli
7 Byron Reeves dan Clifforde Nass dalam Emory A. Griffin. 2003. A First Look at Communication
Theory. Fifth Edition. Boston: McGraw-Hill.Hal.403. 8 Veronica Dian Anggraeni.2012. Ketika Toleransi Sedang Dipertanyakan? (Analisis Wacana
Kritis pada Film Tanda Tanya “?”)Terarsip dalam
http://repository.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/2729/TI_362008008_Judul.pdf?sequence=
1 (diakses 23 Desember 2014 pukul 11.05) 9 Muhammad Iqbal. Konstruksi Citra Islam Dalam Film “?” (Tanda Tanya). Terarsip dalam
http://repository.uksw.edu/jspui/bitstream/123456789/3842/2/T1_362008093_BAB%20I.pdf
(diakses 23 Desember 2014 pukul 12.32)
5
yang berbeda agama, suku, dan kelas sosial, menjadi tema utama film ini.
Berbeda dengan Tanda Tanya (2011) yang menuai banyak protes, 3 Hati, 2
Dunia, 1 Cinta, diterima dengan baik oleh masyarakat. Sajian ringan yang
berbalut dengan komedi mengenai isu multikulturalisme menjadikan film ini
berhasil mencuri perhatian khalayak. 3 hati, 2 Dunia, 1 Cinta memperoleh 7
penghargaan pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2010, salah satunya
sebagai film terbaik. Hal positif dari film ini adalah adanya nilai-nilai
pendidikan multikultural10
yang terdapat dalam unsur-unsur film tersebut,
antara lain belajar hidup dalam perbedaan, rasa saling percaya, saling
memahami, saling menghargai, berfikir terbuka, apresiasi dan interdependensi,
dan resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.
Berbeda dengan 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta, film Cin(T)a (2009)
merupakan film indie ini juga berkisah seputar cinta yang dibalut dengan isu
di tengah masyarakat Indonesia, yakni masalah suku, agama, ras, dan status
sosial. Film ini mampu menyuguhkan dialog-dialog yang berani oleh dua
tokoh utama mengenai isu multikulturalisme Dialog-dialog dalam film ini
terbilang cukup berani dalam menyampaikan hal-hal yang menjadi perbedaan,
yang sering kali agak canggung atau bahkan tabu bila diutarakan dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu penelitian mengenai film ini adalah
mengenai representasi pesan pluralisme verbal dan nonverbal.11
Hasil dari
penelitian tersebut salah satunya adalah pesan mengenai kerukunan umat
beragama yang ditandai dengan kebebasan beribadah sesuai dengan ajarannya
masing-masing.
Berbeda dengan film mainstream atau komersil, ada pula film pendek
Indonesia yang menyumbangkan gagasan mengenai multikulturalisme. Film
10 Miftahudin.2012. Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Dalam Film Tiga Hati Dua Dunia Satu
Cinta Karya Ben Sohib Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Islam. Terarsip dalam
http://digilib.uin-suka.ac.id/10118/1/BAB%20I,%20IV,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
(diakses 23 Desember 2014 pukul 16.17) 11 Ratih Gema Utami.REPRESENTASI PESAN PLURALISME DALAM FILM CIN(T)A
(Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Representasi Pesan Pluralisme Verbal dan
Nonverbaldalam Film Cin(T)a). Terarsip dalam elib.unikom.ac.id/download.php?id=173132
(diakses 23 Desember 2014 pukul 18.05)
6
pendek mampu menghadirkan kejujuran pembuatnya dalam mengekspresikan
pemikirannya karena tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan
golongan. Ciri utama film pendek adalah durasinya yang kurang dari 50
menit.12
Dengan masa putar yang singkat, para pembuat film pendek dalam
menyiasati bahasa pada film untuk lebih jernih, menggunakan tanda-tanda
yang essential atau simbol-simbol yang secara tidak langsung bisa
menggambarkan suatu keadaan atau cerita.13
Salah satu film pendek yang berjudul Walang Weling Wulang (2010)
karya Yosep Anggi Noen lebih menekankan pada simbol daripada cerita. Film
ini bertutur tentang seorang anak yang bernama Suluh, yang suka menjahili
teman sekelasnya terutama anak perempuan, salah satunya Azizah. Suatu hari,
Suluh terpaksa meminta bantuan Azizah dalam menghafal salah satu surat di
Al Qur’an. Dalam perjalanan meminta bantuan Azizah, Suluh dibantu oleh
Damar temannya yang kristiani. Justru dalam perjalanan itulah, perbedaan
diantara mereka mampu mendekatkan mereka. Walaupun film ini cukup
mampu menghadirkan pesan multikulturalisme lewat simbol-simbol agama
yang kuat, namun dalam penceritaan mengalami kelemahan sehingga film ini
kurang “mendapat perhatian” dari khalayak.
Selain Walang Weling Wulang (2010), film pendek lain yang
mengangkat isu multikulturalisme adalah film yang berjudul Cheng Cheng Po
karya BW Purba Negara. Film pendek yang diproduksi tahun 2007, bercerita
tentang Markus, Tyara, Tohir dan Han yang bersahabat baik walaupun mereka
dari latar belakang etnis, agama, tradisi, dan budaya yang berbeda. Mereka
tulus berteman tanpa memandang perbedaan diantara mereka. Ketulusan
mereka ditandai dengan kesanggupan mereka untuk membantu salah satu
temannya, Han, yang sedang kesulitan.
Menurut Yosep Anggi Noen selaku produser,14
film Cheng Cheng Po
mencoba untuk mengangkat tema multikultur dengan menggunakan sudut
12
Gatot Prakosa. 1997. Film Pinggiran. Jakarta: FATMA PRESS.Hal.25. 13 Ibid.Hal.26. 14
Terarsip dalam http://purbanegara.wordpress.com/author/purbanegara/ (diakses pada 30 Juli
2014 pukul 15.40).
7
pandang anak-anak. Yosep Anggi Noen menambahkan pula, film Cheng
Cheng Po mencoba menyederhanakan persoalan perbedaan dari perspektif
anak-anak. Dengan melihat kepolosan anak-anak dalam film Cheng Cheng Po,
masyarakat dapat melihat bahwa mempermasalahkan perbedaan merupakan
hal yang bisa disebut cheng-cheng po (remeh temeh).
Cara bertutur yang sederhana serta cerita yang menarik mampu
membawa Cheng Cheng Po kepada khalayak melalui screening di Singapore
International Film dan Mumbai Asian Film Festival. Selain itu, Cheng Cheng
Po juga berhasil meraih Piala Citra untuk kategori Film Pendek Terbaik di
ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2008 serta Audiens Award dalam Festival
Film Pendek Konfiden 2007.
Cheng Cheng Po merupakan film fiksi pendek dengan tokoh sentral
anak-anak dan ditujukan untuk anak-anak. Film ini menghadirkan nilai-nilai
multikulturalisme, salah satunya yaitu tentang toleransi beragama. Pesan –
pesan yang dihadirkan pada Cheng Cheng Po, pada dasarnya dapat menyindir
orang dewasa dalam menyikapi sebuah perbedaan. Orang dewasa yang yang
biasanya menganggap masalah perbedaan merupakan hal yang kompleks,
sedangkan bagi anak-anak perbedaan adalah hal yang sederhana. Selain itu,
film pendek ini mengambil tema sentral tentang persahabatan anak-anak yang
berbeda etnis, agama, budaya. Hal ini menjadikan Cheng Cheng Po berbeda
dengan film lain yang mengalas isu multikulturalisme. Sebagian besar film
yang mengangkat isu multikulturalisme lebih berkutat pada masalah
percintaan orang dewasa yang berbalut perbedaan latar belakang budaya.
Pada penjelasan sebelumnya mengenai penelitian muatan
multikulturalisme pada film, muatan teks tertentu apabila tidak diimbangi
dengan pemahaman yang sesuai dengan ideologi negara akan memiliki potensi
untuk memecah belah persatuan bangsa. Hal ini kemudian perlu menjadi
perhatian bersama, ketika muncul muatan teks yang mengarah pada kebijakan-
kebijakan terhadap keragaman kebudayaan yang tidak sesuai dengan ideologi
negara serta menyudutkan pihak-pihak tertentu. Oleh karenanya, peneliti
memiliki minat untuk meneliti kajian multikulturalisme yang berkembang di
8
media, khususnya film pendek. Selain itu, penelitian mengenai
multikulturalisme lebih banyak mengulas pada film panjang dan penelitian
pada film pendek belum banyak dilakukan. Berangkat dari pemikiran tersebut,
peneliti ingin meneliti multikulturalisme dalam film pendek, khususnya film
Cheng Cheng Po melalui analisis semiotik. Dengan analisis semiotik, dapat
melihat representasi multikulturalisme melalui kode-kode yang ditampilkan
pada film.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana multikulturalisme direpresentasikan dalam film pendek
Cheng Cheng Po?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi
multikulturalisme dalam film pendek Cheng Cheng Po.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi kajian ilmu
komunikasi mengenai multikulturalisme dan film.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pada media
massa mengenai pentingnya kesadaran budaya tentang multikulturalisme.
3. Manfaat Sosial
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kesadaran pada masyarakat
untuk berpikir kritis mengenai apa yang mereka lihat dalam film.
E. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah film pendek yang berjudul Cheng
Cheng Po. Cheng Cheng Po merupakan film pendek karya BW Purba Negara
yang diproduksi tahun 2007. Film berdurasi 18 menit ini, diproduksi oleh
9
Limaenam Films. Cheng Cheng Po berhasil meraih Piala Citra untuk kategori
Film Pendek Terbaik di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2008 serta Audiens
Award dalam Festival Film Pendek Konfiden 2007.
F. Kerangka Pemikiran
1. Film sebagai Representasi Sebuah Realitas
Film merupakan bagian dari media massa. Dibandingkan dengan
media massa lain, film memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh media
massa lain. Film mampu menghadirkan plot dan naratif gambar bergerak
hampir tak terbatas yang ditambah dengan score musik mampu menghidupkan
cerita film. Karenanya, film mampu diterima dan dinikmati oleh semua
kalangan sebagai media hiburan.
Kelebihan film yang mampu menjadi media hiburan di semua segmen
masyarakat memiliki potensi besar untuk mempengaruhi masyarakat. Pada
awalnya, hubungan antara film dan masyarakat hanya bersifat linier, di mana
film banyak mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan pesan
yang dibawanya. Dengan kata lain, film hanya sebagai refleksi masyarakatnya
saja karena film merupakan potret masyarakat di mana film itu dibuat.
Kekuatan utama sebuah film adalah mampu menciptakan ilusi realitas.
Sebagai audiens, kita dibawa masuk ke dunia baru dan mempercayai seolah-
olah realitas yang tercipta di dalamnya sungguh nyata. Oleh karena itu, film
menghadirkan kembali sebuah realitas dengan caranya sendiri. Bertolak dari
adanya realitas sejati yang terdapat di balik ilusi yang dibuatnya, film adalah
representasi dari realitas.
Turner mengatakan makna film sebagai representasi dari realitas
masyarakat berbeda dengan film sebagai refleksi realitas.15
Sebagai refleksi
realitas, film hanya memindah realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu.
Sedangkan, film sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan
15 Graeme Turner. 1999. Film as Social Practice. London: Routledge.Hal.41.
10
menghadirkan kembali realitas berdasakan kode-kode, konvensi-konvensi, dan
ideologi dari kebudayaannya.16
Sebagai media massa, film tidak terlepas dari posisinya sebagai produk
budaya di sekelilingnya. Sigfried Kracauer 1974)17
, film suatu bangsa
mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media
artistik lainnya. Ada dua alasan yang dikemukakan Kracauer untuk
mendukung pendapatnya. Pertama, film adalah karya bersama artinya dalam
proses pembuatannya sutradara juga mengakomodasi sumbangan berbagai
pihak. Kedua, film dibuat untuk orang banyak, sehingga film tidak bisa
beranjak jauh dari masyarakat.
Film memiliki dua realitas yaitu realitas film dan realitas kehidupan
sehari-hari. Dalam perkembangannya, realitas kehidupan sehari-hari
ditentukan oleh realitas film, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Film
tidak hanya menciptakan penonton yang dilihat itu sendiri, namun juga
melihat apa yang akan dilihat oleh mata penonton. Film akan menampilkan
gambaran realistik yang tersaji dalam gambaran kamera.18
Film dalam merepresentasikan realitas akan selalu terpengaruh oleh
lingkup sosial, dan ideologi di mana film itu dibuat, dan akan berpengaruh
kembali pada kondisi masyarakatnya. Dalam waktu yang bersamaan film
mengukuhkan satu interaksi reflektif antara representasi sinematik dan
pengalaman kehidupan riil yang terjadi di luar layar.19
Interaksi di sini dengan
kata lain merupakan interaksi antara masyarakat dan film, yaitu masyarakat
dapat belajar dari film, film dapat merepresentasikan kehidupan
16 Budi Irawanto. 1999. Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia.
Yogyakarta: Media Pressindo.Hal.15. 17 Ali Imron.2003 Aktualisasi Film Sastra Sebagai Media Pendidikan Multikultural. Terarsip
dalam
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/2076/2_AKTUALISASI%20FILM%
20SASTRA%20AKADEMIKA%20VOL%201%20NO%201%20APRIL%202003.pdf?sequence=
1 (Diakses 25 Desember 2014 pukul 09.10) 18 Budhi K Zaman. 1998. Masyarakat Sinematik: Laporan Penelitian, Yogyakarta: FISIPOL
UGM.Hal.52-53. 19 Ibid.Hal.38.
11
masyarakatnya. Dengan pemahaman tersebut, film dan masyarakat merupakan
satu kesatuan.
2. Multikulturalisme
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Dalam konteks
pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi
yang disebut multikulturalisme. Akar kata multikulturalisme adalah
kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme terbentuk dari kata multi
(banyak), culture (budaya), dan isme (aliran/paham). Hakekatnya,
multikulturalisme mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup
dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing. Artinya, setiap
individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup
bersama komunitasnya. Dalam masyarakat multikultural, keragaman budaya,
baik besar maupun kecil sama-sama diakui keberadaannya.
Menurut Suparlan, akar kata dari multikulturalisme adalah
kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman
bagi kehidupan manusia.20
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan
sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya.
Suparlan mengatakan multikulturalisme akan menjadi acuan utama bagi
terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai
sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.21
Di mana
kebudayaan dalam hal itu merupakan keseluruhan kompleksyang ada di
dalamnya meliputi pengetahuan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan setiap
kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang sebagai anggota
suatu masyarakat.22
20 Pasurdi Suparlan.2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Terarsip dalam
www.fisip.ui.ac.id/antropologi/httpdocs/jurnal/.../10brt3psu69.pdf (diakses pada 3 Agustus 2014
pukul 11.14) 21
Ibid 22 Alo Lilweri.2003.Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya.Yogyakarta:LkiS.Hal.11.
12
Sebagaimana diungkapkan Gutman (1993) dalam Kymlicka23
,
multikulturalisme memiliki tantangan mampu mengakomodasi perbedaan
kebangsaan dan etnis secara stabil serta dapat dipertahankan secara moral.
Dengan demikian multikulturalisme mengenal dua hal yaitu diversity yang
dipahami sebagai penerimaan dari perbedaan dan yang kedua adalah
bicultural, yaitu orang yang tumbuh dan berkembang dengan lebih dari satu
identitas kultural (misal bahasa sebagai penanda identitas). Manfaat dari
multikulturalisme adalah menerapkan sistem yang lebih adil dan memberi
kesempatan pada setiap orang untuk mengekspresikan diri dalam suatu
kelompok, lebih toleran dan adaptif terhadap isu-isu sosial.
Multikulturalisme sangat perlu diterapkan di Indonesia mengingat
keadaan Indonesia yang multikultural. Kecenderungan seragamisasi budaya
yang diterapkan pada masa Orde Baru lewat kebijakan-kebijakannya,
berakibat hancurnya kearifan lokal masyarakat. Padahal kearifan lokal dalam
suatu masyarakat dapat memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural
masyarakat bersangkutan. Kehancuran kearifan lokal pada akhirnya
mengakibatkan kerentanan dan disintegrasi sosial-budaya lokal serta
kesenjangan sosial. Maraknya konflik sosial yang bernuansa etnis dan agama
akhir-akhir ini, tidak lepas dari adanya kesenjangan sosial yang ada dalam
masyarakat.
Pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena budaya yang
beragam itu tampak dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda
tetapi tetap satu. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang
kuat untuk mengakui perbedaan tapi sekaligus memelihara kesatuan atas dasar
pemeliharaan keragaman, bukan dengan menghapuskannya atau
mengingkarinya. Perbedaan dihargai dan dipahami sebagai realitas kehidupan.
Hal ini adalah asumsi dasar yang juga melandasi paham multikulturalisme.
Bhineka Tunggal Ika dapat dikatakan konsep multikulturalismenya Indonesia.
Namun, dalam kenyataannya, perbedaan di Indonesia, justru kerap menjadi
23 Will Kymlicka.2002. Kewargaan Multikultural. Jakarta : LP3ES.Hal.38.
13
alasan terjadinya konflik sosial. Dengan demikian, masyarakat Indonesia
masih belum sepenuhnya memahami konsep multikulturalisme itu sendiri.
Di beberapa negara yang multikultural, telah diterapkan konsep
multikulturalisme dalam kebijakan politiknya, salah satunya di Kanada.
Kanada menerapkan Official Language Policy bagi penduduknya karena
bahasa dianggap sebagai penghalang dalam sebuah kelompok-kelompok sosial
yang secara kultur memisahkan kelompok-kelompok di Kanada. Penduduk
Kanada bebas memilih bahasa yang dikehendakinya yaitu bahasa Perancis dan
Inggris tanpa mengurangi hak-haknya menjadi warga negara Kanada.24
Berbeda dengan Kanada, penerapan konsep multikulturalisme di
Australia, pemerintah Australia mendirikan dan membiayai beberapa
organisasi/badan yang khusus menangani masalah multikulturalisme.
Contohnya, The Australian Institute of Multicultural Affairs, The Office of
Multicultural Affais, Bureau of Immigration, dan Multicultural and
Population Research.25
Organisasi-organisasi tersebut membantu pemerintah
Australia dalam menerapkan prinsip multikulturalisme. Salah satu kebijakan
yang lahir dari organisasi-organisasi tersebut adalah adanya cultural heritage,
di mana setiap etnik di Australia bebas menyelenggarakan keunikan
budayanya masing-masing lewat festival kebudayaan, hari libur dan perayaan,
juga menerima tradisi dan baju keagamaan di sekolah dan militer.26
Di Malaysia, kebijakan yang berkaitan dengan multikulturalisme
dilakukan dengan cara membuat pemukiman-pemukiman yang ditempati
secara khusus oleh suatu kelompok etnis tertentu, di mana kelompok-
kelompok tersebut diberikan kebebasan untuk menjalankan tradisi-tradisi
kebudayaan dan praktek keagamaan mereka masing-masing.27
Hal ini
ditunjukkan dengan adanya China Town, India Town, Muslim Town, dan
sebagainya.
24 Ju Lan, Op.Cit.Hal.285. 25 Ibid.Hal.288. 26 Ibid.Hal.289. 27 Ibid.Hal.284.
14
Apabila konsep multikulturalisme diterapkan pada kebijakan politik di
Indonesia, mungkin akan sulit. Hal ini dikarenakan, keadaan budaya politik
Indonesia yang bercabang dan memiliki struktur.28
Ketika konsep
multikulturalisme sulit diterapkan dalam kebijakan politik, ada baiknya
konsep multikulturalisme itu sendiri diterapkan oleh masing-masing individu
di tengah kehidupan bermasyarakat.
Konsep dasar multikulturalisme adalah mengakui dan menghagai
perbedaan budaya dalam kesederajatan. Secara konkret, Kent & Taylor (2002)
dalam Kriyantono29
mengatakan kesetaraan terwujud pada rasa empati
(walking in the same shoes) dan mutualitas (semangat kesejajaran &
berkolaborasi). Dengan adanya rasa empati dan mutualitas, adanya perbedaan
budaya di masyarakat dapat mendorong terjadinya persatuan dan mengurangi
konflik. Respek mutual mengisyaratkan keterlibatan, yaitu tindakan
mengambil peran atau posisi dalam aktivitas maupun permasalahan dari orang
atau kelompok lain. Keterlibatan mengarah pada kerjasama, yaitu interaksi
sosial antara individu maupun kelompok yang bersama-sama mewujudkan
kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam memahami konsep multikulturalisme, peran media massa
sangat dibutuhkan. Media massa sebagai pemberi informasi kepada
masyarakat dalam menyajikan konten-konten yang mengarah pada
multikulturalisme haruslah berimbang dan tidak menyudutkan salah satu
pihak. Dengan demikian, masyarakat yang menerima informasi bisa lebih
memahami makna multikulturalisme. Film sebagai bagian dari media massa,
pun diharapkan menyajikan konten yang berimbang mengenai
multikulturalisme, mengingat film dapat mencakup semua kalangan
masyarakat. Film sebagai medium penyampai pesan, dalam menyampaikan
pesan multikulturalisme melalui proses representasi. Proses representasi
multikulturalisme dalam film dapat dilihat melalui penggambaran identitas
28 Ibid.Hal.284 29 Rachmat Kriyantono. 2012. Mem-PR-kan Multikultural Melalui Penyiaran. Terarsip dalam
http://rachmatkriyantono.lecture.ub.ac.id/files/2013/01/RACHMAT-Kuliah-tamu-di-STAIN.pdf
(Diakses 5 September 2014 pukul 13.23)
15
tertentu suatu etnis, simbol budaya, suku, agama, dan kelas sosial, serta
budaya lainnya.
3. Multikulturalisme dalam Film
Multikulturalisme dalam film bisa dilihat dalam berbagai sudut
pandang. Sudut pandang tersebut berkaitan dengan unsur-unsur yang ada
dalam film seperti penokohan, ide cerita, setting, dialog, simbolisasi visual
dan lainnya. Dari unsur tersebut nantinya akan membentuk satu kesatuan
menjadi sebuah gambar visual yang bermuatan multikulturalisme.
Film bertema multikulturalisme merupakan film yang memiliki unsur
budaya suatu komunitas (kelompok) tertentu dalam penyajiannya. Unsur
budaya meliputi ras, suku, agama, tradisi, bahasa, dan sebagainya. Dalam
kaitannya dengan mulitkulturalisme, penyajian unsur budaya tidak hanya dari
satu komunitas saja, tetapi beberapa komunitas yang dirangkum melalui cerita
atau tema dalam film. Dengan kata lain, film bertema multikulturalisme
biasanya terdapat komunikasi antar budaya di dalamnya.
Multikulturalisme dalam film umumnya muncul pada karakterisasi
penokohan dalam film. Dari karakterisasi penokohan, banyak unsur budaya
yang ada di dalamnya. Misalnya saja, kemunculan tokoh utama dari suku Jawa
dan tokoh lain dari suku Batak. Dari situ, dapat dikembangkan lagi, tokoh
utama yang beragam Islam dan tokoh lain beragama Kristen. Kemudian, antar
tokoh saling berkomunikasi dalam ceritanya. Secara singkat,
multikulturalisme dalam film bisa dilihat dari hubungan antar tokoh dalam
film yang berbeda suku, agama, dan mungkin perbedaan lainnya yang
berkaitan dengan kebudayaan.
Selain dari penokohan, multikulturalisme juga bisa dilihat dari setting
dalam film. Multikulturalisme dalam setting di film, biasanya berupa
penggambaran aktivitas masyarakat komunitas tertentu yang hidup saling
berdampingan walaupun berbeda budaya. Misalnya, tokoh dalam film hidup
di lingkungan yang mempunyai beragam etnis, agama, kelas sosial di
lingkungannya. Dari masing-masing etnis tersebut dimunculkan aktivitas
16
sehari-hari yang menjadi ciri khas etnis tersebut. Misalnya etnis Cina yang
umumnya ditampilkan sebagai pedagang dalam aktivitas sehari-harinya.
Orang Katolik yang pergi ke gereja dan membuat tanda salib sebelum berdoa.
Multikulturalisme biasanya juga hadir dalam dialog antar tokoh.
Dialog antar tokoh dapat memuat pesan-pesan yang berkaitan dengan
multikulturalisme. Misalnya, pesan mengenai toleransi antar umat beragama,
perbedaan bukan menjadi halangan untuk bersatu, dan sebagainya. Selain itu,
karena kekuatan film pada audio visualnya, dalam merepresentasikan
multikulturalisme juga bisa hadir dari simbol-simbol keagamaan (patung
Yesus dan Maria bagi orang Kristen), tulisan arab bagi orang Muslim, musik-
musik tradisi khas daerah atau etnis tertentu, dan beberapa hal lainya yang
berkaitan dengan budaya.
Multikulturalisme dalam film ditandai dengan munculnya kelompok-
kelompok etnik dalam kontennya. Kelompok etnik yang dimaksud disini
adalah sekelompok manusia yang memiliki rasa persatuan akan budaya
tertentu yang diikuti dengan adanya kesamaan ras, keyakinan, bahasa, dan asal
usul bangsa tertentu. Kelompok etnik ini memiliki persamaan kebudayaan.
Persamaan kebudayaan dapat dilihat dari unsur-unsurnya, seperti yang
diungkapkan oleh C.Kluckhohn30
. Tujuh unsur kebudayaan tersebut adalah
sistem kepercayaan (religi), sistem pengetahuan, sistem peralatan dan
perlengkapkan hidup manusia, sistem mata pencaharian dan sistem-sistem
ekonomi, sistem organisasi kemasyarakatan, bahasa, dan kesenian.
Representasi budaya tertentu dalam film akan diidentifikasi melalui etnis dan
unsur-unsur budaya yang membentuk kebudayaan tersebut.
G. Kerangka Konsep
1. Representasi
Kata representasi sering merujuk pada penggambaran media (terutama
media massa) atas sebuah realitas masyarakat, objek, peristiwa, hingga
30
Terarsip dalam http://www.scribd.com/doc/113614652/7-Unsur-Kebudayaan-Universal (diakses
14 September 2014 pukul 08.25)
17
identitas budaya.31
Secara sederhana dapat diartikan sebagai pikiran orang-
orang terhadap objek, peristiwa, dan simbol-simbol tertentu. Chris Barker
menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural
studies, representasi sendiri dimaknai sebagaimana dunia dikonstruksikan
secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan
tertentu.32
Menurut Fiske (2004) dalam Christandi33
representasi adalah
sesuatu yang merujuk pada proses menggambarkan realitas dalam komunikasi,
melalui kata-kata, bunyi, citra, gambar atau kombinasi lainnya. Masyarakat
dapat memperoleh gambaran tertentu tentang suatu objek dengan adanya
representasi tersebut. Tak hanya gambaran fisik yang tampak, tapi juga
gambaran lain yang terkait di sekitar objek.
Menurut Stuart Hall, representasi berarti menggunakan bahasa untuk
mengungkapkan sesuatu yang bermakna, atau untuk mewakili, dunia penuh
arti, untuk orang lain.34
Representasi merupakan bagian penting dari sebuah
proses pertukaran makna, di mana makna diproduksi dan dipertukarkan antara
anggota melalui budaya. Bahasa, tanda, dan gambar itu ada untuk
merepresentasikan sesuatu hal.
Hall menyatakan ada dua proses representasi.35
Pertama, representasi
mental (mental representation), yaitu segala konsep yang ada di kepala kita
masing-masing (peta konseptual) mengenai sebuah obyek, orang, kejadian
yang saling berhubungan sehingga konsep yang terbentuk masih abstrak.
Dengan kata lain, representasi mental tergantung dari sistem konseptual dan
imej dari pribadi individu dan setiap individu memiliki persepsi masing-
masing tentang segala hal dalam kehidupannya. Proses representasi yang
31 Terarsip dalam http://yearrypanji.wordpress.com/2009/01/03/film-dan-representasi-budaya/
(diakses 15 September 2014 pukul 20.15) 32 Terarsip dalam http://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/03/17/another-representasi-budaya/
(diakses 15 September 2014 21.00) 33 DB Christandi.2013. Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika
Roland Barthes).Terarsip dalam
http://repository.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/3841/T1_362008082_BAB%20II.pdf?seq
uence=3 (diakses 15 September 2014 pukul 22.45) 34
Stuart Hall.1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practises. London-
Calofornia.New Delhi: Sage Publication.Hal.15. 35 Ibid.Hal.17.
18
kedua adalah bahasa. Bahasa berperan penting dalam proses konstruksi
makna. Peta konseptual yang ada di kepala kita perlu diterjemahkan ke dalam
bahasa yang sama, sehingga manusia mampu mengkorelasikan konsep dan ide
melalui tulisan, ucapan, ataupun image visual. Semua bahasa tulis, lisan
maupun imaji visual oleh hal disebut sebagai tanda.36
Jadi, bahasa merupakan
salah satu elemen yang digunakan sebagai media representasi masyarakat.
Melalui bahasa, dapat dilihat kebudayaan dan tata krama suatu masyarakat.
Proses pemaknaan di dalam sebuah budaya, dilakukan melalui dua
sistem representasi tersebut. Sistem representasi memungkinkan untuk
pemberian makna untuk dunia melalui konstruksi pemikiran dan sistem
konsep dalam peta konsep seseorang. Sistem representasi ini memudahkan
sebuah makna untuk disebarkan dan diekspresikan ke khalayak luas, melalui
bahasa. Hubungan yang terjadi antara benda, konsep, dan tanda akan
memproduksi sebuah makna di dalam bahasa. Proses inilah yang dimaknai
sebagai sebuah proses representasi.
Hall memaparkan tiga pendekatan untuk menerangkan bagaimana
merepresentasikan makna melalui bahasa.37
Pertama, reflective approach
menerangkan bahwa makna dipahami untuk mengelabui objek, seseorang, ide-
ide ataupun kejadian-kejadian dalam kehidupan nyata. Fungsi bahasa sebagai
cerminan untuk merefleksikan kejadian dan makna-makna sebenarnya. Kedua,
intentional approach yang melihat bahwa bahasa dan fenomenanya dipakai
untuk mengatakan maksud dan memiliki pemaknaan atas pribadinya. Ia tidak
merefleksikan, tetapi kata-kata diartikan sebagai pemilik atas apa yang ia
maksud. Ketiga, constructionist approach yang membaca khalayak dan
karakter sosial sebagai bahasa. Dalam pendekatan ini, bahasa dan pengguna
bahasa tidak bisa menetapkan makna dalam bahasa melalui dirinya sendiri,
tetapi harus dihadapkan dengan sesuatu yang lain yang disebut interpretasi.
Representasi dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan teks
media dan realitas. Teks media sebagai objek, tak lepas dari aspek-aspek yang
36 Ibid.Hal.18. 37 Ibid.Hal.24-25.
19
melekat pada teks tersebut. Aspek-aspek tersebut memberi pengaruh dan
dipengaruhi oleh keadaan sekitar di mana teks media itu berada. Melalui
proses representasi ini, aspek-aspek tersebut dapat terlihat.
2. Multikulturalisme dalam Film Indonesia
Film merupakan sebuah media komunikasi yang unik dalam
menyampaikan nilai sosial dan budaya, karena film menjadi cermin dari
sebuah masyarakat yang menciptakan mereka. Sebagai sebuah produk dari
kreativitas, film tidak dapat dipisahkan dari konteks masyarakat yang
memproduksi dan mengkonsumsi film tersebut.
Konten di dalam sebuah film merupakan hasil dari interpretasi sang
sutradara. Keinginan sang sutradara memberikan penggambaran suatu hal
yang ada, film sering disebut sebagai agen yang merepresentasikan suatu hal
melalui gambar, tulisan, dan tutur kata. Konten dari film, sering dimaknai
sebagai bentuk representasi realitas yang ada.
Kriyantono mengungkapkan bahwa media termasuk film sebagai
media massa hendaknya memiliki 3E dalam penyajiannya, yaitu education,
empowerment, dan enlightment.38
Education, hendaknya film memuat konten-
konten yang mengedukasi masyarakat ke arah yang lebih baik. Empowerment,
muatan film diharapkan mampu memberdayakan kelompok marjinal.
Enlightment, film mampu memberikan ide-ide positif pada masyarakat,
sebagai contoh ide mengenai multikulturalisme.
Pembahasan isu mengenai multikulturalisme pada media Indonesia
mulai bermunculan pasca Reformasi 1998, tak terkecuali pada film. Adanya
kebebasan bermedia, para pembuat film mulai berani mengambil tema-tema
yang dahulu tabu untuk dibicarakan pada era Orde Baru, yaitu mengenai
multikulturalisme sehingga film-film mengenai multikulturalisme mulai
banyak bermunculan. Meski demikian, dibandingkan dengan film tema-tema
mainstream seperti percintaan remaja, horror, komedi yang berbalut seks, dan
38 Rachmat Kriyantono. 2012. Mem-PR-kan Multikultural Melalui Penyiaran. Terarsip dalam
http://rachmatkriyantono.lecture.ub.ac.id/files/2013/01/RACHMAT-Kuliah-tamu-di-STAIN.pdf
(Diakses 5 September 2014 pukul 11.10)
20
lain-lain, jumlah produksi film bertema multikulturalisme masih sangat
sedikit.
Kenyataan Indonesia sebagai negara multikultural, belum bisa
dimanfaatkan secara baik oleh pembuat film. Multikulturalisme belum bisa
diterima secara baik oleh masyarakat Indonesia apabila dijadikan tema film.
Tetapi, ada pula film Indonesia mengenai multikulturalisme yang mampu
diterima oleh khalayak seperti film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta. Walaupun pada
dasarnya film ini merupakan film drama komedi percintaan yang berbalut
perbedaan multikultur dua tokoh utama. Film ini mampu meraih 7
penghargaan dalam Festival Film Indonesia 2010.
Film sebagai agen penyalur ide multikulturalisme sebaiknya dapat
mewakili seluruh lapisan masyarakat. Namun, seringkali, ketika sebuah film
dihadapkan pada konten multikulturalisme, muatannya lebih sering bias pada
kelompok budaya tertentu. Sebagai contoh, pengambilan tema seringkali
mengambil budaya mayoritas seperti Jakarta sentris. Dalam hal ini, para
pembuat film lebih menonjolkan budaya mayoritas ketimbang budaya
minoritas, yaitu budaya-budaya lain di berbagai pulau di Indonesia selain
pulau Jawa.
Para pembuat film, juga seringkali terjerumus dalam stereotipe yang
negatif ketika menggambarkan etnis tertentu. Seperti yang terjadi pada film
Tanda Tanya. Dalam film ini, orang Cina merupakan orang yang tidak
menghargai tradisi budaya lain dan hanya mementingkan uang ketika
berbisnis. Disini orang Cina juga diidentikan dengan peran pedagang.
Multikulturalisme dalam film Indonesia masih belum dapat diterima
sepenuhnya oleh masyarakat karena bagi sebagian kalangan isu
multikulturalisme merupakan isu yang sensitif. Belum adanya rasa toleransi
yang tinggi di masyarakat atas perbedaan, seringkali menimbulkan protes pada
saat pemutaran film bertema multikulturalisme. Seperti yang dialami oleh film
Cinta Tapi Beda (2012). Film ini mengangkat isu pernikahan beda agama. Di
Indonesia, isu pernikahan beda agama merupakan isu yang sensitif karena di
21
Indonesia sendiri belum ada hukum yang mensyahkan pernikahan beda
agama.
Dibandingkan dengan jumlah produksi film Indonesia lainnya yang
lebih banyak bertema mainstream (cinta, komedi, horror, dan lainnya), film
bertema multikulturalisme sangat sedikit jumlahnya di Indonesia, walaupun
Indonesia memiliki kekayan multikultural yang banyak. Ada beberapa sebab
mengapa film bertema multikulturlisme di Indonesia masih sedikit.
Pertama, isu mengenai multikulturalisme di Indonesia merupakan isu
yang sensitif. Kesensitifitasan tersebut dikarenakan kebijakan era Orde Baru
yang melarang perbincangan yang menyangkut SARA (suku, agama, ras, dan
antar golongan) sehingga sampai sekarang orang enggan membicarakan isu
tersebut. Kedua, tuntutan pasar penikmat film di Indonesia. Sejak era
bangkitnya perfilman Indonesia lewat Ada Apa Dengan Cinta?, mayoritas
penonton film saat ini adalah remaja. Remaja adalah penonton yang potensial
sehingga para produser film lebih memilih tema-tema film yang dekat dengan
kehidupan remaja dalam memproduksi film, misalnya tentang percintaan.
Ketiga, konsep multikulturalisme sendiri di Indonesia masih sangat asing bagi
masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya protes-protes apabila
ada film yang bermuatan multikulturalisme dibuat. Protes-protes tersebut
biasanya berakibat pemboikotan film oleh kalangan tertentu. Hal ini
menyebabkan sineas film “malas” untuk membuat film-film
multikulturalisme. Beberapa paparan di atas, pada akhirnya, menyebabkan
film Indonesia bertema multikulturalisme masih sangat sulit untuk
berkembang di Indonesia sehingga jumlahnya masih sangat sedikit.
.
3. Semiotika dan teks film
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Dalam
kajian semiotik, Preminger menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat
dan kebudayaan merupakan tanda-tanda.39
Semiotik mempelajari sistem-
sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda
39 Alex Sobur. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.Hal. 96.
22
tersebut mempunyai arti. Tanda merupakan bagian penting dalam kehidupan
manusia. Karena dengan adanya tanda, manusia bisa terhubung dengan
realitas yang ada di sekitarnya. Melalui tanda, manusia dapat berkomunikasi
dengan sesamanya.
Pusat kajian semiotik adalah pada tanda (sign). John Fiske menyatakan
ada tiga area penting dalam studi semiotik:40
1. Tanda itu sendiri (the sign its self). Hal ini meliputi studi tentang variasi
tanda yang berbeda, penyampaian makna, dan cara tanda berhubungan
dengan orang-orang yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem di mana tanda-tanda itu diorganisir (the codes or
system into which sign are organized). Studi ini meliputi cara variasi
kode-kode tersebut dibangun dalam rangka mempertemukannya dengan
kebutuhan masyarakat.
3. Budaya di mana kode-kode dan tanda-tanda tersebut dioperasikan (the
culture within which these codes and signs operate).
Peirce membagi tanda ke dalam tiga tipe yaitu ikon, indeks, dan
simbol.41
Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya
berdasarkan kemiripan yang dapat diketahui oleh pemakainya, misalnya peta
atau lukisan yang merujuk pada objek tertentu. Indeks merupakan tanda yang
memiliki keterikatan fenomenal atau eksistensial diantara representamen dan
objeknya. Berbeda dengan ikon, indeks memiliki hubungan yang nyata. Ikon
berdasarkan kemiripan sedangkan indeks berdasarkan hubungan atau relasi.
Misalnya, kata rokok memiliki indeks asap. Hubungan indeksial antara rokok
dan asap terjadi karena terdapatnya hubungan ciri yang bersifat tetap antara
rokok dan asap. Simbol adalah tanda yang representamennya merujuk pada
objek tertentu. Simbol terbentuk melalui konvensi-konvensi atau kaidah-
kaidah, tanpa adanya kaitan langsung diantara representamen dan objeknya.
Kebanyakan unsur leksikal di dalam kosa kata suatu bahasa adalah simbol.
Misalnya kata sepeda dalam bahasa Indonesia, pit dalam bahasa Jawa, dan
40
Ibid.Hal.94. 41 Kris Budiman.2011. Semiotika Visual Konsep, Isu, dan Problem Ikonsitas.Yogyakarta:
Jalasutra.Hal.19.
23
bicycle dalam bahasa Inggris, adalah simbol karena relasi diantara kata
tersebut sebagai representamen dan sepeda asli yang menjadi objeknya tidak
bermotivassi, semata-mata hanya konvensional. Gerak gerik mata, gerakan
tangan atau jari jemari juga merupakan simbol.
Dalam prakteknya, eksistensi tanda membutuhkan kode untuk dapat
dipahami maknanya. Kode merupakan cara pengombinasian tanda yang
disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan
kepada yang lain. Kode ini terikat pada suatu sistem sosial dan budaya
tertentu. Tanda terangkai dalam kode-kode yang terkait dengan kesepakatan
sosial dan budaya yang berlaku diantara pengguna kode tersebut.
Dalam menganalisis kebudayaan pada kajian semiotika, maka
kebudayaan perlu dilihat sebagai teks, yaitu rangkaian tanda-tanda bermakna,
yang diatur berdasarkan kode atau aturan tertentu.42
Teks adalah suatu wujud
dari tindak penggunaan tanda dan simbol dalam kehidupan sosial, yaitu
berupa kombinasi seperangkat tanda, yang dikombinasikan dengan kode atau
cara tertentu, dalam rangka menghasilkan makna tertentu. Teks yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah teks visual yaitu film.
Sebagai salah satu teks visual serta produk budaya, film dapat
dipahami melalui serangkaian tanda dan simbol yang terikat oleh kode-kode
atau konvensi dari budaya di mana film itu dibuat. Dalam film, pemaknaan
tanda dipahami melalui unsur pokok film yaitu visual film, dalam hal ini
scene dan shot, karakterisasi, alur cerita, serta dialog.
Scene atau adegan menurut Metz terdiri dari satu shot atau lebih dan
sifatnya lebih kronologis, kontinyu, dan linier. Dalam scene sebuah film,
multikulturalisme biasanya akan ditampilkan tanda-tanda budaya tertentu
yang terwakili melalui shot.
Karakterisasi terkait dengan bentuk penampilan dan perilaku
kelompok etnis tertentu baik secara fisik maupun simbolis. Sedangkan, narasi
cerita, berkaitan dengan dialog antartokoh. Dialog antartokoh berkaitan
42
Yasraf Amir Piliang.2010.Semiotika dan Hipersemiotika:Kode, Gaya & Matinya
Makna.Bandung:Matahari.Hal.307.
24
dengan bahasa serta pilihan katanya, apakah dari dialog tersebut
mencerminkan multikulturalisme. Ini dapat dilihat apakah dialognya
mengandung unsur stereotipe atau tidak. Ketiga unsur tersebut dapat
menjadikan film sebagai sebuah teks yang dapat diteliti.
H. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode analisis semiotik. Semiotik merupakan studi tentang
tanda (sign) dan meliputi kegunaan tanda (sign) tersebut. Semiotik dapat
diartikan juga sebagai studi tentang tanda dan segala yang berhubungan
dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda lain,
pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya.43
Tanda (sign) dalam pengertian ini merupakan tanda yang merupakan
basis dari seluruh komunikasi dan menandakan sesuatu selain dirinya
sendiri.44
Dalam kehidupan sosial, wujud penggunaan tanda bisa berupa teks.
Teks merupakan gabungan dari seperangkat tanda yang dikombinasikan
dengan kode tertentu untuk menghasilkan suatu makna. Teks dalam penelitian
ini adalah film.
Penggunaan metode semiotik dalam penelitian ini untuk mendalami
makna tertentu dalam film lewat tanda-tanda yang ada pada film. Selanjutnya
hasil dari penelitian ini akan dipaparkan secara deskriptif sehingga jenis
penelitian ini merupakan penelitian deskriptif.
2. Operasionalisasi Penelitian
a. Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan
mengidentifikasi film Cheng Cheng Po yang akan diamati dengan menonton
film tersebut. Selanjutnya akan memilah scene yang merepresentasikan
43 Rachmat Kriyantono. 2007. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media.Hal.261. 44 Alex Sobur. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.Hal.15.
25
multikulturalisme. Scene adalah kesatuan dramatik yang secara umum
mengambil setting, tempat, waktu dan tokoh yang sama. Sebuah scene terdiri
dari satu atau berapa shot yang saling berkesinambungan. Shot merupakan
bagian terkecil dari penyusunan film, yaitu dari kamera memulai merekam
hingga berhenti merekam. Biasanya terdapat gerak kamera, komposisi (type of
shot), dialog, dan suara dari peristiwa yang ingin disampaikan oleh sutradara.
Aspek-aspek yang diperhatikan saat pengumpulan data berupa
potongan-potongan shot dalam scene adalah hal-hal yang berkaitan dengan
multikulturalisme, yaitu :
shot yang menunjukkan interaksi antaretnis.
shot yang menunjukkan potret etnis tertentu.
shot yang menunjukkan keberagaman agama, etnis, dan tradisi
shot keinginan adanya perenungan kembali multikulturalisme.
dialog yang memotret etnis tertentu.
Dari aspek-aspek tersebut akan terkumpul data berupa gambar yang
didapat dengan melakukan screenshot pada film. Gambar-gambar tersebut
kemudian dipetakan berdasarkan elemen multikulturalisme yang ingin diteliti
untuk memudahkan dalam menganalisis. Pengumpulan data lain juga
dilakukan dengan membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah
yang diteliti, yaitu mengenai representasi, film, dan multikulturalisme.
b. Tahapan Penelitian
Langkah awal yang ditempuh penelitian ini adalah akan dilakukan
pemilahan, pemetaan dan pengumpulan data. Data-data ini kemudian dibagi
kepada instrumen analisis untuk mempermudah dan memperjelas letak setiap
data dalam fungsinya. Data disini berupa scene yang ada dalam film yang
bermuatan multikulturalisme.
Selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap simbol-simbol
yang ada dalam scene tersebut. Peneliti akan membedah data instrumen
analisis yang sudah dipetakan sebelumnya. Proses ini untuk melihat isi yang
dibawa oleh data-data tersebut sebagai suatu bahasa. Data yang dihasilkan
disini adalah berupa data dalam level konotasi.
26
Dalam tahap terakhir penulis akan menganalisis data konotasi yang
didapatkan dengan menghubungkannya pada sebuah level lebih makro. Disini
akan terlihat bagaimana representasi simbol-simbol yang ada dipandang dalam
sebuah wacana yang luas seperti ideologi,atau paham tertentu.
Untuk mempermudah menjelaskan analisis yang akan dipergunakan
dalam penelitian ini, peneliti akan menyajikan unit analisis dan instrumen
penelitian di bawah ini :
1. Unit Analisis
Multikulturalisme
Tema sentral dalam penelitian ini adalah multikulturalisme.
Multikulturalisme merupakan suatu paham atas keberagaman budaya
dengan tidak menghapuskan perbedaan budaya melainkan memberi
ruang diantara perbedaan kebudayaan tersebut. Pada penelitian ini,
multikulturalisme hanya berfokus pada etnis, agama, dan tradisi. Pada
keberagaman budaya pada sisi etnis, terdapat sub kategori lain yaitu
ras dan kelas sosial. Hal ini dikarenakan kedua sub kategori tersebut
melekat pada etnis. Apabila kita membicarakan masalah etnis, kedua
hal tersebut akan muncul dengan sendirinya. Ras dalam pengertian
biologis merupakan sebuah populasi manusia yang diklasifikasikan
atas dasar karakteristik-karakteristik tertentu yang diwariskan
antargenerasi serta membedakannya dari kelompok-kelompok lain.
Pembeda tersebut salah satunya dengan ciri-ciri fisik tertentu, seperti
warna kulit, bentuk wajah, serta asal usul. Kemudian dari sisi
keberagaman tradisi, terdapat sub kategori kesenian dan falsafah
hidup. Kesenian di sini dapat berupa benda bergerak maupun tidak
bergerak. Sedangkan falsafah hidup bisa berupa berbagai cara suatu
kelompok tertentu dalam menjalani hidup dan sudah mendarah daging
di antara mereka. Keberagaman agama disini menyangkut semua aspek
yang berkaitan dengan agama, yaitu tanda-tanda yang melekat pada
agama tertentu.
27
2. Instrumen Penelitian
Teknik Visualisasi
a) Camera Shots
1. Extreme Close Up adalah pengambilan gambar sedekat
mungkin dengan obyek, misalnya hanya mengambil bagian
dari wajah.45
Jenis shot ini untuk menunjukkan kedekatan
hubungan dengan cerita atau pesan film.
2. Close Up adalah pengambilan gambar wajah keseluruhan
obyek. Hal ini menunjukkan keintiman atau bisa juga
menandakan bahwa obyek sebagai inti cerita.
3. Medium Close Up adalah pengambilan gambar dari kepala
hingga dada subyek.
4. Medium Shot adalah pengambilan gambar setengah badan, dari
kepala hingga pinggang. Shot ini menggambarkan personal
antar tokoh dan kompromi yang baik.
5. Long Shot adalah pengambilan gambar jarak jauh di mana ia
menekankan lingkungan atau latar pengambilan gambar. Shot
ini berarti menggambarkan konteks, skop dan jarak publik.
Dengan pengambilan gambar long shot, bisa menimbulkan
suatu suasana yang dapat memperlihatkan arah dan maksud
dari suatu gerakan.
6. Full Shot adalah pengambilan gambar seluruh badan obyek
yang menggambarkan hubungan sosial.
b) Pergerakan Kamera
1. Zoom in atau zoom out adalah pergerakan kamera ke dalam/luar
mendekati/menjauhi obyek. Shot ini menunjukkan kedalaman
pengamatan terhadap obyek.
2. Ped up atau down adalah pengambilan gambar ketika pedestal
dinaikkan dan sebaliknya. Pergerakan ped up, kamera
mengarah ke atas yang bermakna kelemahanan, pengecilan.
45 Arthur Asa Berger.1983. Media Analysis Technique. Beverly Hilss: Sage Publication.Hal.63.
28
Sedangkan ped down, kamera mengarah ke bawah yang
bermakna kekuasaan, kewenangan.
3. Panning adalah pergerakan kamera secara horizontal dan
vertikal tanpa mengubah posisi kamera.
4. Dollying atau Tracking adalah gerakan kamera mengikuti atau
menjauhi obyek. Mendekati obyek disebut dengan Dolly in
sedangkan menjauhi obyek disebut dengan Dolly back. Tujuan
Dolly in untuk meningkatkan titik atau pusat perhatian,rasa
ketegangan dan rasa ingin tahu. Sedangkan Dolly back
sebaliknya.
c) Camera Angle
1. High Angle adalah penempatan kamera lebih tinggi daripada
obyek. Efek dramatis yang timbul adalah berkurangnya
superioritas subyek sekaligus melemahkan kedudukannya.
2. Low Angle adalah pengambilan gambar subyek dari bawah
yang menampakkan subyek memiliki kekuatan dan
menonjolkan kekuasaannya.
3. Straight Angle adalah sudut pengambilan gambar yang normal,
biasanya ketinggian kamera setinggi dada dan sering digunakan
pada acara yang gambarnya tetap.
d) Teknik Editing
1. Cut adalah pergantian gambar secara mendadak dari gambar
satu ke gambar lainnya tanpa ada penumpukkan gambar yang
dapat memberikan perubahan gambar, memendekkan waktu,
membuat variasi sudut pandang dan membangun sebuah ide
atau image.
2. Dissolve adalah perpindahan adegan dari satu adegan ke
adegan lainnya secara perlahan-lahan sehingga pergantian
adegan tersebut halus dan tidak terasa karena ada tumpukan
gambar diantara kedua gambar tersebut.
29
3. Wipe adalah pergantian adegan secara perlahan-lahan dengan
mendorong satu adegan kemudian memunculkan adegan
lainnya, di mana proses pergantiannya terlihat sangat jelas.
Unsur Naratif film
Menurut Himawan dalam Triandini46
unsur naratif berhubungan
dengan aspek cerita atau tema film. Elemen-elemen yang terdapat dalam
unsur naratif ini terdiri dari tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu, dialog,
dan lain-lain. Elemen tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan
satu sama lain untuk membentuk sebuah jalinan peristiwa yang memiliki
maksud dan tujuan. Dialog antar tokoh dalam film dapat memunculkan
karakterisasi tokoh lewat gaya bahasa dan pilihan katanya. Dalam
penelitian ini, akan dicermati kata-kata maupun kalimat yang berkaitan
dengan multikulturalisme, seperti etnis, agama, dan tradisi.
Berikut tabel unit analisis dan unit instrumen penelitian :
Tabel 1.1
Unit Analisis Penelitian
Unit Analisis Kategori Sub Kategori
Multikulturalisme Keberagaman budaya :
Etnis
Agama
Tradisi
- Ras
- Kelas Sosial
- Kesenian
- Falsafah hidup
46 Anintia Triandini. 2010. KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM FILM “GRAN TORINO”
Studi Semiotik Komunikasi Antar Budaya Amerika dan Suku Hmong Dalam
Film “Gran Torino”.Terarsip dalam http://eprints.uns.ac.id/3367/1/175051301201110041.pdf
(diakses 24 Desember 2014)
30
Tabel 1.2
Unit Instrumen Penelitian
Unit Terteliti Unsur Sub Unsur
1. Teknik Visualisasi - Camera Shot Extreme Close Up
Close Up
Medium Close Up
Medium Shots
Long Shots
Full Shot
- Pergerakan kamera Zoom in atau zoom out
Ped up atau down
Panning
Dollying atau Tracking
- Angle High Angle
Low Angle
Straight Angle
- Teknik editing Cut
Dissolve
Wipe
2. Unsur naratif film Tokoh, Masalah, Konflik,
Lokasi, Waktu
Alur cerita
penyelesaian konflik
sekolah
halaman
-Dialog Gaya bahasa
Pilihan kata
c. Metode Analisis
Penelitian ini akan mengkaji simbol-simbol dalam film yang kemudian
akan diberlakukan sebagai bahasa. Penelitian simbol-simbol dalam proses
komunikasi sering kali dilakukan dengan menggunakan analisis semiotik.
31
Menurut Saussure, semotika merupakan ilmu yang mempelajari peran
tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial, menginvestigasi sifat-sifat atau
hakikat tanda dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Semiotik dapat
diartikan pula studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya,
cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda lain, pengirimannya dan
penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya.47
Metode analisis semiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis semiotik Roland Barthes. Metode analisis semiotik Roland Barthes
menggunakan pengertian dasar tanda yang terdiri dari dua unsur, penanda dan
petanda atau signifier dan signified . Penanda atau signifier adalah bentuk
citra atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti
suara, tulisan atau benda. Sedangkan petanda atau signified adalah konsep
abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda.
Roland Barthes menggunakan sistem penandaan bertingkat dalam
menginterpretasi tanda. Sistem penandaan tingkat pertama adalah tingkat/level
denotasi. Pada level denotasi, hubungan antara penanda dan petanda dengan
realitas eksternal bermakna eksplisit atau bermakna sesungguhnya. Sistem
penandaan tingkat kedua adalah tingkat/level konotasi. Pada level konotasi,
hubungan antara penanda dan petanda bermakna implisit/latent. Pada level
konotasi, penanda dan petanda di level denotasi menjadi penanda yang
berkaitan dengan nilai-nilai budaya.
Pada tataran bahasa, yaitu sistem penandaan tingkat pertama, penanda
berhubungan dengan petanda sehingga menghasilkan tanda (sign). Tanda-
tanda pada tataran pertama ini akan menjadi penanda yang berhubungan
dengan petanda pada tataran kedua. Pada tataran kedua inilah terdapat mitos
(myth). Mitos dalam pemahaman semiotika Roland Barthes, adalah
pengkodean makna dan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu yang dianggap
sesuatu yang normal dan alami (natural).
47 Kriyantono.Op.Cit.Hal.261.
32
Tabel 1.3 Peta tanda Roland Barthes
Signifier
(Penanda)
Signified
(Petanda)
Denotatif Sign
(Tanda Denotatif)
Connotative Signifier
(Penanda Konotatif )
Connotative Signified
(Petanda Konotatif)
Connotative Sign
(Tanda Konotatif)
Representasi dapat dianalisis secara tepat apabila dijalankan melalui
praktik penandaan (signfying). Ini semua memerlukan analisis atas tanda-tanda
aktual yang wujudnya dapat berupa simbol, gambar (picture atau motion
picture), narasi, kata-kata (tertulis atau terucap), dan suara. Maka, pada
penelitian ini analisis akan diarahkan pada elemen dan relasi tanda-tanda yang
hadir secara nyata pada multikulturalisme film Cheng Cheng Po.