38
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota-kota besar di dunia kini banyak yang menjadikan sektor pariwisatanya sebagai sumber pemasukan kas daerah mereka. Misalnya saja Kota Paris yang tersohor dengan sebutan city of love yang berhasil menarik banyak pengunjung dari seluruh dunia dengan ciri khasnya sebagai kota romantis (Yananda dan Salamah 2014). Selain Paris, Kota New York juga berhasil bangkit dari keterpurukan dengan melakukan pemasaran kota dalam bentuk kesenian dan pariwisata. Untuk memimpin di pasar global setiap kota harus bisa menarik banyak wisatawan masuk ke kota mereka dan menghibur dengan atraksi yang khas di kota itu. Salah satu cara untuk memiliki daya saing di pasar global adalah dengan mem- brand-kan kota mereka. City branding telah menjadi salah satu taktik komunikasi bagi kota untuk memasarkan kota. Dalam konsep branding, sebuah objek yang telah melalui proses branding seharusnya memiliki pembeda dengan objek yang lainnya. Sama halnya dengan kota yang telah membranding dirinya, selain mampu bersaing, kota tersebut akan memiliki nilai jual yang lebih dibandingkan dengan kota yang belum memiliki insiatif untuk membranding kotanya. Praktik city branding 1 sudah mulai marak di dunia,sejak tahun 1970an. Beberapa kota di dunia terutama kota bisnis, telah menjalankan strategi brand dalam memasarkan kotanya (Greenberg, 2000:230). Selain itu, konsep city brand telah menyentuh ranah akademis sehingga cukup banyak ditemukan jurnal atau buku yang mengulas tentang city brand. Hal ini menandakan bahwa city brand baik secara akademis dan praktis telah menjadi bagian dari pemasaran yang menggabungkan konsep-konsep multidisiplin. City brand menjadi konsep dari studi branding yang berbeda 1 Pada penelitian ini, peneliti akan konsisten menggunakan istilah city brand agar tidak menimbulkan kesalah pahaman.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/104334/potongan/S1-2016... · Masyarakat pada umumnya, dan penduduk pada khususnya, sangat ... Ciri

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kota-kota besar di dunia kini banyak yang menjadikan sektor

pariwisatanya sebagai sumber pemasukan kas daerah mereka. Misalnya

saja Kota Paris yang tersohor dengan sebutan city of love yang berhasil

menarik banyak pengunjung dari seluruh dunia dengan ciri khasnya

sebagai kota romantis (Yananda dan Salamah 2014). Selain Paris, Kota

New York juga berhasil bangkit dari keterpurukan dengan melakukan

pemasaran kota dalam bentuk kesenian dan pariwisata. Untuk memimpin

di pasar global setiap kota harus bisa menarik banyak wisatawan masuk ke

kota mereka dan menghibur dengan atraksi yang khas di kota itu. Salah

satu cara untuk memiliki daya saing di pasar global adalah dengan mem-

brand-kan kota mereka. City branding telah menjadi salah satu taktik

komunikasi bagi kota untuk memasarkan kota. Dalam konsep branding,

sebuah objek yang telah melalui proses branding seharusnya memiliki

pembeda dengan objek yang lainnya. Sama halnya dengan kota yang telah

membranding dirinya, selain mampu bersaing, kota tersebut akan memiliki

nilai jual yang lebih dibandingkan dengan kota yang belum memiliki

insiatif untuk membranding kotanya.

Praktik city branding1 sudah mulai marak di dunia,sejak tahun

1970an. Beberapa kota di dunia terutama kota bisnis, telah menjalankan

strategi brand dalam memasarkan kotanya (Greenberg, 2000:230). Selain

itu, konsep city brand telah menyentuh ranah akademis sehingga cukup

banyak ditemukan jurnal atau buku yang mengulas tentang city brand. Hal

ini menandakan bahwa city brand baik secara akademis dan praktis telah

menjadi bagian dari pemasaran yang menggabungkan konsep-konsep

multidisiplin. City brand menjadi konsep dari studi branding yang berbeda

1 Pada penelitian ini, peneliti akan konsisten menggunakan istilah city brand agar tidak

menimbulkan kesalah pahaman.

2

dan cukup kompleks dibandingkan dengan konsep branding lainnya

seperti produk dan perusahaan. Karena dalam proses city brand, pihak

yang terlibat baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi cukup

banyak dan beragam.

Beberapa kota di dunia yang sudah menggunakan city branding

sebagai strategi promosi untuk menjual potensi pariwisata mereka kepada

dunia. Kota besar di dunia sudah memulai menggunakan strategi city

branding untuk menggali dan menjual potensi kota mereka. Salah satu

kota yang menjadi sorotan dalam implementasi city branding adalah kota

New York, Amerika Serikat. Dalam implementasi city brand di Kota New

York, pemerintah kota setempat melibatkan berbagai unsur masyarakat

yang ada di kota tersebut. Selain itu, warga kota New York memiliki

kepedulian yang tinggi terhadap keadaan kotanya saat itu. Dukungan yang

didapat dari berbagai unsur masyarakat kota New York terhadap citra

kotanya adalah salah satu faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan

city branding Kota New York. Hingga kini, kota New York menjadi kota

yang memiliki image yang cukup kuat di mata dunia.

Bagaimana dengan implementasi city branding di Indonesia?.

Sejak diterapkan Otonomi Daerah, perpindahan kewenangan untuk

mengatur kota-kota yang ada berada ditangan pemerintahan daerah.

Dimana pemerintah daerah harus berlomba-lomba dengan kota yang

lainnya dalam hal strategi untuk menambah pendapatan daerah dengan

mengembangkan sektor-sektor yang berpotensi baik di dalam kota/daerah

tersebut. Pelaksanaan city branding di Indonesia mendapat dukungan yang

sah dari undang-undang dasar yakni UU no.32/2004 tentang Pemerintahan

Daerah, UU no.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional 2005-2025 dan UU no.26/2007 tentang Penataan Ruang

(Yananda dan Salamah, 2014 : 188).

Sektor yang paling banyak dikembangkan hampir di setiap daerah

di Indonesia adalah sektor pariwisata dan ekonomi. Salah satu strategi

pemasaran pariwisata dan ekonomi adalah dengan membuat slogan atau

3

brand untuk kota tersebut agar bisa menarik perhatian pendatang. City

branding tentunya harus sesuai dengan potensi yang ada di dalam daerah

tersebut dan melalui langkah-langkah yang tepat. Selain itu konsistensi

pemerintah setempat dalam pengaplikasian city brand dalam kehidupan

kota sehari-hari perlu dipertahankan agar city brand tidak mati dan

kemudian dilupakan.

Beberapa kota di Indonesia berikut ini yang telah melakukan city

branding yaitu Jakarta dengan Enjoy Jakarta, Surabaya dengan „Sparkling

Surabaya‟, Yogyakarta dengan Jogja Istimewa , Solo dengan The Spirit of

Java, dan beberapa kota lainnya. Tidak semua city branding di kota-kota

di Indonesia ini berjalan dengan lancar dan berkelanjutan. Sebagian besar

kota masih struggling dengan urusan-urusan domestik sehingga urusan

city brand kotanya menjadi terbengkalai. Contoh kasus Jogja sebelum

rebranding menjadi Jogja Istimewa seperti sekarang ini, memiliki city

brand Jogja Never Ending Asia. City brand ini kemudian banyak dikritisi

karena tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat Jogja sehingga nafas

Never Ending Asia tidak terhembus dalam keseharian masyarakat Jogja.

Selain ketidaksesuaian dengan karakteristik masyarakat,

ketidakberlanjutan city brand juga bisa disebabkan oleh rendahnya

awareness masyarakat terhadap brand sebuah kota. Hal ini menandakan

city brand di Yogyakarta kala itu, masih dimaknai sebatas dengan logo

dan slogan saja, bukan sebuah rangkaian proses perencanaan hingga

evaluasi serta usaha untuk membuat brand berkelanjutan.

Pada tahun 2006 Pemerintah Kota Surabaya bersama Surabaya

Tourism Promotion Board (STPB) meluncurkan „Sparkling Surabaya‟

sebagai city brand Kota Surabaya. City brand „Sparkling Surabaya‟

merepresentasikan Surabaya sebagai kota yang berkilau dan penuh dengan

atraksi untuk penduduk maupun pendatang. Dengan „Sparkling Surabaya‟,

Pemerintah Kota Surabaya dan STPB kala itu meluncurkan banyak

kegiatan branding yang melibatkan masyarakat Kota Surabaya.

4

Penelitian ini dilakukan untuk melihat respon masyarakat Kota

Surabaya terhadap proses city branding „Sparkling Surabaya‟ yang telah

diimplementasikan sejak tahun 2006. Pendekatan yang akan digunakan

dalam penelitian ini untuk mengukur respon masyarakat Kota Surabaya

terhadap city brand „Sparkling Surabaya‟ adalah menggunakan pendekatan

konsep city branding untuk menangkap respon penduduk Kota Surabaya

terkait usaha city branding yang dilakukan oleh pemerintah Kota Surabaya.

Sedangkan pendekatan konsep consumer-based brand equity (CBBE)

digunakan untuk melihat persepsi penduduk terkait keberadaan logo dan

slogan „Sparkling Surabaya‟ sebagai unsur penting dalam implementasi

city branding. Batasan penelitian ini adalah melihat sampai sejauh mana

respon penduduk yang menetap di Kota Surabaya terhadap city branding

„Sparkling Surabaya‟ dan brand awareness & brand image logo dan slogan

city brand „Sparkling Surabaya‟. Kajian yang berkaitan dengan city

branding melalui pendekatan brand dirasa akan menjadi kajian yang cukup

penting untuk menjadi referensi bagi penggiat branding tempat di

Indonesia untuk merencanakan, mengimplementasi dan mengevaluasi

brand tempat di Indonesia.

Masyarakat pada umumnya, dan penduduk pada khususnya, sangat

berperan penting dalam implementasi city branding karena dalam

masyarakat tercermin karakteristik yang menjadikan ciri khas suatu kota.

Ciri khas tersebut yang nantinya menentukan citra kota yang akan dibentuk

dan dicitrakan kepada khalayak luas. Selain itu, masyarakat merupakan

elemen penting dari pembuatan city branding karena masyarakat tidak lain

merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam usaha membangun sebuah

brand kota. Maka, keberhasilan city branding akan sangat ditentukan

dengan kepekaan dan pengetahuan masyarakat tentang citra kota mereka.

Penelitian yang berkaitan dengan city branding selama ini, lebih menitik

beratkan pada stakeholder dan para penggagas city branding saja. Peneliti

melihat hal ini sebagai peluang untuk melakukan penelitian mendalam

5

dengan menjadikan masyarakat kota Surabaya sebagai responden dari

penelitian ini.

B. Rumusan masalah :

Bagaimana korelasi antara city branding dan CBBE „Sparkling Surabaya‟

dalam benak penduduk Kota Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui adakah korelasi antara city branding dan CBBE

‘Sparkling Surabaya‟ dalam benak masyarakat Kota Surabaya.

2. Mengetahui adakah korelasi antara konsep city branding dengan

CBBE dari ‘Sparkling Surabaya‟.

3. Mengetahui respon masyarakat terhadap city brand „Sparkling

Surabaya‟ melalui konsep consumer-based brand equity.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari diadakannya penelitian ini adalah untuk memberikan

kontribusi pada kajian branding, khususnya kajian tentang city branding.

E. Kerangka Teori

1. City Branding

Dalam dunia pemasaran yang semakin berkembang dengan pesat

seiring berjalannya waktu, konsep-konsep yang berkaitan dengan

pemasaran pun ikut berkembang dan meluas. Place brand sudah banyak

digunakan dalam berbagai bentuk seperti nation branding, city branding,

region dan branding untuk tujuan wisata. Bahkan place branding telah

memiliki tempat tersendiri dalam ranah studi akademis.

Persaingan di era global, terbukti telah mengubah kebiasaan

pemasaran dunia hingga detik ini. Konsep pemasaran terus berkembang

dan hampir menyentuh seluruh entitas kehidupan masyarakat termasuk

kehidupan kota. Dalam beberapa dekade, praktisi dan akademisi di bidang

6

pemasaran telah mendeteksi peningkatan ketertarikan di bidang brand

management. Terutama dalam konteks pengelolaan tempat. Kini, konsep

branding meluas dan tidak hanya digunakan oleh perusahaan untuk

menjual hasil produksinya. Praktisi pemasaran kini juga menggunakannya

untuk mengelola dan memasarkan sebuah tempat. Branding tempat, tentu

memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda dengan praktik

branding yang digunakan perusahaan untuk ‘menjual’ produk mereka.

Dalam perkembangannya, studi tentang city branding mulai

bermunculan seiring dengan berjalannya waktu. Semakin banyak pihak

yang berkaitan langsung dalam perencanaan kota menyadari pentingnya

city brand. Interest in city branding may be seen as part of a wider

recognition that places of all kinds can benefit from implementing

coherent strategies with regard to managing their resources, reputation

and image (Dinnie, 2011: ). Konsep city brand merupakan konsep yang

multidisiplin yang berasal dari disiplin ilmu tata kota dan pemasaran.

Sehingga praktik city branding atau place branding pada umumnya,

menjadi cukup kompleks. Definisi City Branding menurut Keith Dinnie

merupakan sebuah kajian yang membahas tentang citra sebuah kota untuk

kepentingan ekonomi dan juga sebuah acuan pembuatan kebijakan yang

akan dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan dan masyarakat kota atau

daerah tersebut. Kegiatan City Branding dilakukan untuk membentuk

suatu tatanan kota yang sesuai dengan citra yang hendak ditampakkan.

Menurut Kavaratzis dalam Yananda dan Salamah (2014:57) proses city

branding berkaitan dengan pembentuka identitas kota yag bersifat berbeda

dan mengarahkan bagaimana sebuah kota dipasarkan.

Penggunaan City Brand oleh kota-kota di dunia pada era

globalisasi ini, salah satunya bertujuan untuk membangun diferensiasi dan

memperkuat identitas kota agar mampu bersaing dengan kota lainnya demi

menarik turis, penanam modal, SDM yang handal, industri, serta

meningkatkan kualitas hubungan antara warga dengan kota. Menurut

Yananda dan Salamah (2014:7) kota merupakan fasilitator penting

7

pertumbuhan ekonomi, peningkatan produktivitas, dan peningkatan

pendapatan penduduk di negara berkembang dan negara maju. Sebagai

fasilitator pertumbuhan aspek kehidupan masyarakat, kota tentu memiliki

daya tarik yang disebut potensi. Potensi tersebut tidak akan muncul dan

nampak dengan sendirinya apabila pihak berwenang tidak berusaha

memunculkannya ke khalayak. Maka dibutuhkan suatu perencanaan

strategis untuk menampakkan citra positif kota melalui city brand. Dalam

city branding, pemegang kekuasaan merupakan pihak yang sangat

berperan penting dalam menentukan kebijakan. Keith Dinnie (2011: 15)

dalam bukunya City Branding : Theory and Cases menjelaskan peran

stakeholder sangat penting dalam kesuksesan strategi city branding. Akan

menjadi tantangan tersendiri bagi kota yang ingin menggunakan strategi

City Branding sebagai salah satu usaha untuk memasarkan dan

memberikan pembeda kota dari kota-kota yang lain. City branding sangat

memerlukan banyak sekali usaha dan kesepakatan dari berbagai

stakeholder yang terlibat dalam kehidupan sebuah kota. Perhaps the most

challenging aspect of city branding is to communicate with the multiple

stakeholders or audiences in a way that is relevant, consistent and

coherent (Dinnie, 2011: 11).

Penerapan strategi branding kota yang tepat dan kuat akan mampu

menjadi pembeda dengan kota yang lain. Dengan proses branding, kota

dapat memenangkan persaingan dengan kota lainnya karena mampu

mengarahan preferensi dan pilihan yang dimiliki oleh pemangku

kepentingan kota tersebut. Kota yang menerapkan city brand harus mampu

mencari potensi apa yang dimiliki oleh kota tersebut sehingga dapat

menentukan positioning yang sangat berguna dalam strategi city branding.

Dalam kajian city brand, beberapa tokoh akademisi yang fokus

pada kajian brand tempat khususnya city brand, merumuskan model yang

dapat digunakan untuk membantu pihak terkait untuk membangun

identitas kota melalui pendekatan branding. Anholt merupakan salah satu

akademisi di bidang place brand yang membuat model city brand yang

8

menekankan pada evaluasibrand kota. Model yang dibuat Anholt disebut

city brand hexagon dengan instrumen untuk mengevaluasi efektivitas

branding dan terdiri dari enam aspek yaitu presence yang menjelaskan

seberapa akrab masyarakat dengan kota tersebut. Aspek kedua adalah

place yaitu melihat aspek fisik dari kota. Ketiga adalah aspek potential

yaitu kesempatan apa saja yang tersedia dan ditawarkan oleh kota kepada

masyarakat. Keempat ialah pulse yaitu gaya hidup sebuah kota yang

vibrant. Kelima adalah people atau populasi lokal terkait keterbukaan dan

kehangatan. Aspek terakhir adalah prerequisities yaitu kualitas hidup

standar yang ditawarkan sebuah kota (Yananda dan Salamah, 2014:69-70).

Gambar 1.1

Model City Brand Hexagon

Sumber : Anholt (2011)

Selain Anholt, Graham Hankinson, seorang peneliti bidang

pemasaran dan sosial membuat sebuah model yang dikenal sebagai model

relational network brand. Hankinson pada kerangka model ini

9

menekankan pada brand membentuk hubungan dengan konsumen atau

dalam konteks city brand konsumennya adalah masyarakat dan pemangku

kepentigan kota. Menurut Hankinson, efektivitas city brand tergantung

pada hubungannya dengan konsumen. Berikut ini adalah model yang

dipaparkan oleh Hankinson.

Gambar 1.2

Model Relational Network Brand

Sumber : Hankinson (2007)

Dalam model relational network brand milik Hankinson, terdapat

komponen yang saling berhubungan dalam membangun sebuah inti brand

kota yang efektif. Komponen tersebut adalah primary service relationship

yang berkaitan dengan layanan berupa jasa yang menjadi inti dari

pengalaman sebuah brand. Kedua adalah brand infrastructure relationship

yang merupakan layanan berupa akses,lingkungan serta fasilitas yang

disediakan. Media relationship adalah komunikasi organik yang bertujuan

untuk memasarkan brand seperti publisitas, hubungan masyarakat dan

iklan brand kota. Sedangkan consumer relationship melihat hubungan

10

yang terjalin antar lapisan masyarakat dan bagaimana sikap suportif

konsumen terhadap brand kota (Yananda dan Salamah, 2014: 73-74).

Kavaratzis memiliki fokus pada bagaimana brand kota

berkomunikasi melalui pilihan dan perlakuan yang sesuai. Kavaratzis

menawarkan kerangka kerja yang menggabungkan antara pemasaran kota

dan branding. Berikut model komunikasi citra kota Kavaratzis :

Gambar 1.3

Model Komunikasi Citra Kota

Sumber : Kavaratzis ( 2004)

Dalam model ini, terdapat tiga jenis komunikasi yaitu komunikasi

primer yang menitikberatkan pada potensi pengaruh dari tindakan yang

dilakukan oleh kota. Komunikasi primer berkaitan dengan efek

komunikasi dengan tindakan yang bersifat tidak sengaja. Komunikasi

sekunder terkait dengan aktivitas pemasaran kota yang disengaja dan

terencana. Sedangkan komunikasi tersier merupakan pertukaran pesan

11

yang tidak terkontrol seperti laporan media dan word of mouth (WOM)

(Yananda dan Salamah, 2014:77).

Sebuah kota dalam era kompetisi global seperti saat ini harus

mampu bersaing ketat dengan kota-kota lainnya. Kota juga harus melihat

fungsinya sebagai fasilitator pembangunan terlebih ketika posisi sebuah

kota berada di negara berkembang seperti Indonesia. Kota harus mampu

menarik pengunjung dengan citra yang baik, selain itu, kota harus mampu

menjaga penduduknya untuk tetap tinggal dalam kota yang aman dan

nyaman. Dengan city brand, kota akan mampu menampilkan citra baik

yang diinginkan. Namun, city brand, berbeda dengan konsep branding

lainnya, merupakan konsep yang cukup kompleks dan diperlukan proses

yang lengkap dan berkelanjutan. City brand harus mampu mencangkup

keseluruhan stakeholder yang terlibat dalam pembentukan city brand dan

harus menjaga ekspektasi stakeholder. Strategi city brand tentu

membutuhkan waktu, perencanaan, implementasi dan evaluasi yang

panjang dan berkelanjutan.

2. City Brand Equity

City branding dalam teori dan praktis merupakan konsep yang

cukup kompleks. Para akademisi di bidang city branding beberapa

menyimpulkan city branding merupakan adaptasi dari corporate branding

karena berbagi kesamaan dalam hal kompleksitas pelaksanaan (Ashworth

& Kavaratzis, 2009; Dinnie, 2010, 4). Sebagai konsep yang multidisiplin

dan melibatkan banyak kalangan stakeholder, city branding seharusnya

dimaknai sebagai proses panjang yang membutuhkan pengembangan

jangka panjang. Implementasi city branding juga membutuhkan investasi

keuangan yang cukup besar untuk membangun city brand yang sukses dan

kuat. Pemerintah Kota atau pihak yang berwenang dalam implementasi

city brand harus bisa mencari konsultan pemasaran profesional yang

sesuai dengan kebutuhan kota. Bantuan dari pihak luar sangat dibutuhkan

12

dalam penyusunan strategi city branding, implementasi hingga proses

evaluasi untuk memperkuat usaha city branding dengan baik.

Pada kajian pemasaran, terutama branding, ada sebuah konsep

yang dikenal sebagai ekuitas merek atau brand equity. Akademisi yang

fokus pada konsep city branding mengkaji secara khusus tentang unsur-

unsur branding yang dikaitkan dengan implementasi city branding. Dalam

jurnal berjudul „Unraveling the Complexity of “City Brand Equity”: A

Three-Dimensional Framework‟, Andrea Lucarelli menawarkan tiga

kerangka berpikir city brand equity bagi penggiat city branding di dunia.

Pada literatur branding produk, jasa dan perusahaan secara umum, brand

equity merupakan kesatuan unit analisis bagi kegiatan evaluasi brand.

Menurut Lucarelli, ada tiga konsep utama dari brand equity yaitu konsep

menejerial pemasaran milik Aaker yang berfokus pada definisi properti

brand. Konsep kedua adalah konsep consumer-oriented milik Keller yang

fokus pada atribut dari sebuah brand dan model evaluasi kuantitatif sebuah

brand. Dan konsep yang terakhir adalah model keuangan milik Simon dan

Sullivan yang berfokus pada aspek keuangan sebuah brand (Lucarelli,

2012: 233-234).

Lucarelli menyimpulkan pada jurnalnya bahwa kerangka pemikiran

dari city brand equity terdiri dari tiga dimensi yaitu city brand elements,

city brand measurement dan city brand impact. Pada city brand elements,

Lucarelli menyimpulkan bahwa elemen-elemen seperti aset terlihat dan

tidak terlihat pada kota merupakan brand equity dari sebuah city brand.

Seperti logo, slogan dan desain yang dibuat dan menunjukkan identitas

dari sebuah kota. Selain itu, lokasi sebuah kota secara geografis, politis

dan kebudayaan. Berbagai kegiatan kampanye dan event yang dilakukan

disebuah kota juga merupakan brand equity yang dimiliki kota, termasuk

keadaan sosial-kultural, elemen bersejarah, institusi dan badan

pemerintaha setempat. Elemen kedua adalah city brand measurement yaitu

city brand equity dapat diukur dengan alat ukur ilmiah yang sudah ada

yaitu kuantitatif, kualitatif dan metode campuran yang dilakukan untuk

13

mendapatkan hasil evaluasi pelaksanaan city brand. Hal ini termasuk

pendekatan-pendekatan keilmuan seperti analisis diskursus, etnografi dan

analisis narasi. Dimensi terakhir merupakan dimensi yang berkontribusi

cukup penting dalam kerangka pemikiran yang dibuat oleh Lucarelli, yaitu

city brand impact. Pada city brand impact, Lucarelli menyimpulkan bahwa

usaha city brand yang sedang berlangsug memiliki dampak yang tidak

hanya berkaitan dengan identitas city brand dan persepi dari masyarakat,

tetapi juga berkaitan dengan dampak ekonomi makro, dan keadaan sosial-

politik sebuah kota.

Salah satu aset yang harus diperhatikan dalam implementasi city

brand adalah logo dan slogan. Logo dalam pelaksanaan city branding

menjadi aset branding yang nampak dari sebuah kota. Logo kota

merupakan salah satu cara untuk membentuk image positif yang dapat

menimbulkan kesadaran target pasar terutama penduduk kota, membentuk

pengakuan dan menumbuhkan persepsi city brand. Logo kota pada

implementasi city branding berperan sebagai identitas merek kota yang

menyimbolkan aset-aset kota (Wahyurini, 2012:80). Pada usaha

pemasaran kota dan city branding, pelaku city branding sering terjebak

pada peran logo kota yang digunakan dengan hanya memajang logo kota

sebatas pada kegiatan periklanan dan promosi city brand saja. Padahal

ketika logo kota sebagai salah satu aset penting dalam proses city branding

dimaksimalkan dengan mengikutsertakan logo kota dalam seluruh

kegiatan strategis city branding.

Penelitian ini akan menggunakan kerangka berpikir brand equity

milik Keller yaitu konsep consumer-oriented dari city brand „Sparkling

Surabaya‟ untuk mengukur persepsi penduduk Kota Surabaya terhadap

city brand tersebut. Selain itu, penelitian ini akan berfokus pada kerangka

berpikir city brand equity dengan city brand element untuk fokus pada

elemen-elemen yang dimiliki oleh city brand „Sparkling Surabaya‟.

Terutama pada logo dan slogan city brand „Sparkling Surabaya‟ karena

logo dan slogan tersebut merupakan salah satu tangible asset atau aset

14

yang nampak pada city brand. Pemilihan fokus ini untuk mempermudah

pengukuran dan analisis.

3. Peran Penduduk Kota dalam City Branding

Masyarakat kota memiliki tipologi yang cukup kompleks karena

manusia dari berbagai latar belakang datang dan hidup bersama dalam satu

kawasan. Keberagaman dan kompleksitas kehidupan sosial perkotaan

menjadi salah satu faktor yang dapat membentuk karakteristik setiap kota.

Komposisi masyarakat kota yang terdiri dari berbagai kelompok yang

berbeda memberikan konsekuensi kepada masyarakat untuk dapat hidup

dengan perbedaan. Hal ini mengasah kemampuan individu yang tinggal di

perkotaan dalam konteks hubungan interkultural seperti kesediaan individu

untuk bersinggungan dan berkomunikasi langsung dengan entitas yang

tidak biasa. Kehidupan sosial masyarakat kota yang sangat kompleks, juga

memberikan konsekuensi kepada individu yang tinggal di perkotaan untuk

lebih siap dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sebuah

kota.

Dalam kajian city branding, penduduk kota menjalankan peran

yang cukup penting. Menurut Kavaratzis & Asworth (2008) penduduk

dapat membuat atmosfer kota yang berbeda dengan lainnya. Selain itu,

penduduk kota merupakan kelompok target dari usaha pemasaran dan juga

pemasar tempat yang cukup berpengaruh. Penduduk setempat adalah

masyarakat yang sangat mengenal kotanya dan memiliki peran besar

dalam pembangunan di berbagai aspek kehidupan kota seperti ekonomi,

sosial, kebudayaan dan keseimbangan lingkungan tempat mereka tinggal

(Dinnie, 2011:9). Dengan peran tersebut, penduduk sebuah kota juga

berkontribusi dalam pembentukan identitas sebuah kota.

Implementasi place branding atau lebih spesifik city branding yang

melibatkan penduduk dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap

teori dan praktik dari city branding. Braun, Kavaratzis, dan Zenker (2013)

15

mengidentifikasikan peran penduduk pada praktik place branding sebagai

berikut :

a. Residents as integrated part of a place brand

Peran penduduk sebuah tempat atau kota tidak dapat

dipisahkan dari praktik city branding di kota setempat. Penduduk

melakukan interaksi dengan sesama warga dan warga dari luar kota

akan membentuk sebuah lingkungan sosial yang kondusif untuk

menciptakan interaksi informal. Interaksi informal penduduk

menciptakan sebuah lingkungan yang mendukung implementasi

city brand disebuah kota.

Pelaksanaan place branding atau city branding merupakan

serangkaian proses perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi.

Peran penduduk dalam proses tersebut adalah menjadi faktor

pembeda dengan city brand kota yang lain. Penduduk kota

memiliki karakter tersendiri yang membedakan mereka dengan

daerah yang lainnya. Karakter penduduk yang membedakan dengan

kota lainnya merupakan dasar praktisi city branding untuk

mencitrakan kota berdasarkan karakter yang dimiliki. Pada tahap

evaluasi city branding, penduduk berperan penting sebagai

indikator evaluasi dari pelaksanaan city branding. Beberapa

akademisi city branding menggunakan sikap penduduk terhadap

city brand untuk mengukur keberhasilan implementasi city

branding.

b. Residents as ambassadors for their place brands

Sebagai stakeholder utama sebuah city branding, penduduk

kota berperan sebagai komunikator dari city brand yang

diimplementasikan. Menurut Kavaratzis (2004) ada tiga tipe

komunikasi brand pada konsep place branding atau city branding.

Tipe pertama adalah primary communication yaitu kegiatan

pembangunan atau pelayanan publik yang ditawarkan seperti

penataan kota dan akses fasilitas. Tipe kedua adalah komunikasi

16

formal yang dilakukan melalui kehumasan dan periklanan city

brand yang telah diimplementasikan. Tipe ketiga adalah

komunikasi dengan cara getok tular (word-of-mouth). Penduduk

kota adalah pelaku utama yang diharapkan melakukan komunikasi

getok tular terhadap kota yang mereka tinggali dan ikut berperan

dalam mensukseskan implementasi city branding.

Mengikutsertakan penduduk dalam proses city branding

sangat penting untuk menciptakan perasaan terikat dengan kota

yang mereka tinggali dan memunculkan sikap positif penduduk

terhadap kota mereka. Selain menciptakan keterikatan penduduk

dengan kota, keterlibatan penduduk dalam city branding akan

membangkitkan rasa tanggung jawab penduduk terhadap reputasi

kota mereka. Penduduk yang memiliki kesadaran untuk menjaga

reputasi kota akan membantu praktisi city branding dalam proses

implementasi.

c. Residentsas citizens

Pada praktik city branding peran penduduk sebagai warga

terkadang masih sering diabaikan. Sebagai masyarakat sebuah kota,

penduduk yang memilih tinggal di sebuah kota memiliki kekuatan

politis dan hak untuk diikutsertakan dalam kebijakan yang bersifat

politis dalam kehidupan bermasyarakat sebuah kota. Partisipasi

penduduk dalam kehidupan masyarakat kota merupakan hak dan

kewajiban yang harus dipenuhi baik oleh otoritas pemerintah kota

dan penduduk kota. Dalam hal ini, pemerintah kota sebagai pemilik

otoritas untuk mengatur dalam lingkup kota, harus menjamin

bahwa semua penduduk dilibatkan dalam proses pengambilan

keputusan.

Pada proses city branding, pemerintah setempat harus bisa

menjelaskan bahwa kebijakan city branding yang telah diterapkan

adalah untuk kepentingan bersama yang jauh dari kontrol politik.

17

Selain itu, penduduk sebagai warga kota yang memiliki hak dan

kewajiban dalam partisipasi pengambilan keputusan kebijakan

harus mendukung dan mengawasi implementasi agar city branding

yang dilaksanakan oleh pemerintah kota setempat berjalan dengan

efektif.

Berdasarkan uraian ketiga peran penduduk di atas, dapat

disimpulkan bahwa penduduk sebuah kota memiliki peran yang sangat

vital sebagai target pasar dari sebuah city branding. Peran-peran penduduk

yang sangat penting di atas dapat menjadi acuan bagi pelaku city branding

untuk menjalankan city branding yang sesuai dan efektif. Dengan

memahami peran-peran penduduk kota, pemasar kota dapat memobilisasi

kebanggaan dan sense of belonging penduduk terhadap kota mereka.

Kebanggaan dan sense of belonging terhadap kota sangat penting melihat

peran penduduk sebagai brand ambassador kota mereka sendiri. Dengan

kebanggaan dan rasa kepemilikan yang kuat, penduduk akan dengan

senang hati dan suka rela membantu mengkomunikasikan city brand yang

sudah diimplementasikan.

Hal yang harus diperhatikan oleh pihak yang berwenang dalam

menjalankan city branding adalah peran masyarakat sebagai warga yang

memiliki hak dan kewajiban dalam kontribusi pengambilan keputusan

politis dalam pembangunan kota. Pengelolaan kekuatan politik penduduk

sebaiknya menjadi perhatian pemasar kota karena penduduk juga memiliki

kekuatan untuk mengabaikan kebijakan city branding yang berujung pada

ketidakpedulian penduduk terhadap kebijakan city brand. Hal ini akan

berujung pada kurangnya peran penduduk sebagai brand ambassador dan

komunikator brand dari city brand kota mereka sendiri.

18

4. Consumer Based-Brand Equity (CBBE)

Dalam studi brand yang kian berkembang pesat, berbagai konsep

tentang brand banyak ditawarkan oleh akademisi dan praktisi yang

menggeluti bidang brand. Salah satunya adalah Kevin Lane Keller yang

memusatkan perhatian kajian brand pada konsumen. Dengan Consumer

Based-Brand Equity (CBBE) yang dirumuskan, Keller menjabarkan

konsep-konsep brand yang memiliki kaitan erat dengan konsumen. The

CBBE concept approaches brand equity from the perspective of the

consumer – whether the consumer is an individual or an organization or

an existing or prospective customer (Keller, 2013:68). CBBE dalam

praktik branding membantu praktisi branding untuk melihat bagaimana

konsumen merespon sebuah brand. Dalam membentuk brand equity yang

memberikan efek yang signifikan terhadap brand, praktisi branding harus

memperhatikan beberapa konsep penting dalam CBBE, salah satunya

adalah brand knowledge. Brand knowledge oleh Keller, didefinisikan

sebagai kondisi ketika konsumen memaknai sebuah brand dan makna

tersebut tersimpan dalam memori konsumen.

Brand knowledge sangat penting bagi praktik pemasaran dalam

rangka pembuatan keputusan pembelian bagi konsumen. Memahami

konstruksi dan struktur yang ada dalam brand knowledge akan

memudahkan akademisi dan praktisi branding dan pemasaran untuk

mengetahui apa yang ada dalam pikiran konsumen ketika mereka

memikirkan sebuah brand (Keller, 1993 :2). Keller juga menjelaskan

bahwa konsep brand knowledge adalah ‘as consisiting of a brand node in

memory to which a variety of associations are linked‟ (Keller, 1993:3).

Keller menekankan bahwa konsep brand knowledge berpusat pada aspek

rasional dan emosional yang ada pada pikiran konsumen terhadap sebuah

brand, maka Keller membuat sebuah piramida brand knowledge sebagai

berikut :

19

Gambar 1.4

Piramida Brand Knowledge

Sumber :Chandon, 2003 hal. 1

Piramida brand knowledge diatas menjelaskan tahapan-tahapan sebuah

brand dalam konteks penerimaan di benak konsumen.

Brand knowledge sendiri memilik dua dimensi yang memengaruhi

respon konsumen terhadap sebuah brand yaitu brand awareness dan brand

image.

a. Brand Awareness

Brand awareness merupakan keadaan dimana konsumen dapat

mengenali sebuah brand dalam berbagai kondisi. Brand awareness

terdiri dari dua kondisi yaitu brand recognition yaitu kemampuan

konsumen untuk mengingat sebuah brand ketika diberikan paparan

yang berkaitan dengan brand tersebut, contoh : iklan atau ilustrasi logo.

Kondisi kedua adalah brand recall yaitu kemampuan konsumen untuk

mengingat kembali sebuah brand dalam kategori tertentu dengan tepat.

Menurut Keller, brand awareness sangat penting karena berperan

20

dalam pengambilan keputusan pembelian seorang konsumen terhadap

sebuah brand.

b. Brand Image

Brand image termasuk ke dalam salah satu konsep yang sangat

penting dalam dunia pemasaran. Brand image didefinisikan sebagai

persepsi konsumen tentang sebuah brand yang ditampilkan melalui

asosiasi yang dimiliki oleh brand (Keller, 1993:3). Asosiasi sebuah

brand dapat dilihat melalui tiga dimensi berikut : strength of brand

associations kekuatan sebuah asosiasi brand bergantung pada

bagaimana informasi terkait brand masuk ke dalam benak konsumen,

dan bagaimana asosiasi tersebut menjadi bagian dari citra sebuah brand

(brand image). Dimensi kedua adalah favorability of brand

associations, bagaimana sebuah brand dapat menemui kebutuhan dari

konsumen dengan atribut dan manfaat yang relevan bagi konsumen.

Dimensi ketiga adalah uniqueness of brand associations yaitu

kemampuan sebuah brand untuk menjadi unik dan memiliki perbedaan

ketika disandingkan dengan produk dengan brand lain dari kategori

yang sama.

Dalam brand knowledge kedua dimensi yaitu brand awareness dan

brand image dapat menjadi sebuah pengukuran untuk melakukan evaluasi

pada brand yang berbasis konsumen. Kedua pengukuran ini dirasa cukup

efektif apabila praktisi branding ingin mengetahui sejauh mana brand ada

di benak konsumen.

Seperti yang sudah dijelaskan pada poin logo dan slogan dalam city

brand, bahwa dalam penelitian ini konsep yang digunakan untuk

mengukur brand awareness dan brand image dari komponen logo dan

slogan „Sparkling Surabaya‟. Pengukuran brand equity dalam penelitian

ini memang ditujukan khusus untuk melihat respon penduduk terhadap

logo dan slogan „Sparkling Surabaya‟ sebagai komponen penting dalam

pelaksanaan city branding. Brand equity memang tidak bisa diartikan

21

sempit hanya sebatas logo dan slogan dari sebuah merek atau produk. Pada

penelitian ini, penjabaran tentang proses city branding sudah dilakukan

pada penelitian ini pada konsep city branding untuk menghindari

pengulangan dan dapat menangkap perspektif dari unsur city brand yang

lain maka, peneliti menggunakan pengukuran brand equity logo dan

slogan ‘Sparkling Surabaya‟.

5. Teori Komunikasi Massa : Model S-O-R

Pada kajian ilmu komunikasi, kita mengenal teori-teori yang

membahas dengan detail bagaimana komunikasi sebagai sebuah proses

transfer informasi dilakukan dan bekerja. Salah satu dari teori-teori

tersebut adalah teori komunikasi massa. Teori komunikasi massa

membahas dengan detail proses penyampaian makna dan penerimaan

makna yang terjadi pada institusi media dengan khalayak yang cukup luas.

Teori komunikasi massa juga membahas tentang efek yang disebabkan

oleh proses komunikasi terhadap masyarakat luas. Salah satu hasil

pemikiran tersebut memunculkan sebuah teori dan model yang

mengadaptasi dari kajian psikologi yaitu model S-O-R

a. Sejarah Model S-O-R

Teoris komunikasi seperti DeFleur dan Ball-Rokeach (1989)

membuat skema tentang pergerakan periode dari masa simbol ke masa

percakapan dan bahasa, diteruskan pada masa tulisan dan masa cetak.

Masa-masa sejarah komunikasi tersebut berperan dalam

perkembangan manusia selama ribuan taun. Kemudian datanglah

masa komunikasi masa paska masa komunikasi cetak yang difasilitasi

teknologi cetak dan masa jaya surat kabar yaitu pada abad ke 19.

Dilanjutkan pada tahun 1920-1930an pada saat media cetak,film dan

radio sedang berkembang cukup pesat dan terbukti dapat menjangkau

audiens yang cukup luas, ilmuwan komunikasi tertarik untuk

mempelajari efek media massa.

22

Pada rentang tahun yang sama, di era Perang Dunia pertama

teori stimulus – respon (S-R) berkembang. Teori ini muncul karena

adanya propaganda dari pemerintah kepada masyarakat melalui media

massa saat itu berupa surat kabar, dan radio. Pada masa itu,

propaganda melalui dua media tersebut terbilang sangat efektif. Kedua

media tersebut, pada masa itu dapat dengan efektif membentuk opini

publik setiap individu. Maka, muncul teori magic bullet effect untuk

menjelaskan fenomena efek media pada masa itu. Perkembangan teori

tersebut menekankan pada faktor sosial dan kognitif ketika menelaah

bagaimana sebuah pesan dari media massa, dapat memengaruhi

kebiasaan dan sikap individu (Miller, 2002:250). Fenomena efek

media pada masa PD I ini tidak bertahan lama, sehingga, ilmuwan

komunikasi mulai mencari faktor apa yang dapat mengurangi efek

media pada individu. Model S-R muncul sebagai basis teori psikologis

yang menjelaskan tentang stimulus dan respon, dalam kajian media

massa stimulus adalah pesan yang diberikan oleh komunikator pada

khalayak dan responnya berbentuk sikap, kepercayaan atau kebiasaan

individu. Pada model ini belum ada proses yang mengintervensi

terjadinya kedua proses transfer pesan tersebut.

Perkembangan teori dan model S-R ini terus dilakukan dalam

kajian psikologi dan berkaitan dengan konsep-konsep pada riset

komunikasi massa. Pada periode perkembangan yang terjadi pada

pertengahan abad ke 20 ini, model S-R mendapat tambahan O sebagai

organisme yaitu sebuah faktor yang muncul mendahului respon. Teori

S-O-R ini melihat bahwa pesan yang diberikan oleh komunikator

melalui media, akan menghasilkan respon yang berbeda-beda

bergantung dengan individu yang menerimanya.

b. Model S-O-R

Teori S-O-R merupakan basis dari kajian psikologi yang

berkaitan dengan proses aksi-reaksi yang sederhana. Stimuli (S)

23

merupakan penangkapan objek lingkungan oleh alat indera yang

diubah menjadi sensasi yaitu pola tertentu yang memiliki sifat visual,

pendengaran, rabaan atau rasa. Organism (O) adalah komunikan

berfungsi sebagai pihak yang menerima pesan dalam sebuah proses

komunikasi. Sedangkan, response ( R) adalah efek yang muncul atau

reaksi yang bersifat khusus terhadap stimulus tertentu. Respon dalam

hal ini dapat berupa perubahan sikap, tingkah laku atau cara pandang

individu terhadap sesuatu (Fisher, 1986:194). Pada organism, ada tiga

faktor yang memengaruhi yaitu individual differences, maksudnya

adalah pesan yang dibawa media sebagai stimulus, bisa jadi

memengaruhi individu yang memiliki perbedaan karakter, kebutuhan

atau sudut pandang. Faktor keuda adalah social categories with

subcultures yaitu pesan dari media yang dibuat khusus untuk sub-

kebudayaan tertentu. Apabila individu yang melihat sebuah pesan dari

media bukan merupakan anggota sub-kebudayaan tersebut, maka akan

menghasilkan reaksi yang berbeda. Faktor ketiga adalah social

relationships,yaitu hubungan sosial atau koneksi setiap individu pasti

berbeda. Dari perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan respon.

Berikut ini model teori S-O-R :

Gambar 1.5

Model S-O-R

Sumber : Effendy (2003:255)

Gambar di atas merupakan alur dari sebuah stimulus hingga

respon. Pada response, feedback dihasilkan oleh organisme yaitu individu

yang menerima pesan. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada

komunikan bisa jadi diterima atau bisa tidak diterima bergantung latar

belakang individu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Komunikasi

RESPONSE ORGANISM Perhatian

Pengertian

Penerimaan

STIMULUS

24

yang efektif berlangsung apabila ada perhatian, pengertian dan penerimaan

terhadap stimulus yang diterima oleh komunikan. Perbedaan perhatian,

pengertian dan penerimaan akan menimbulkan perbedaan respon tiap

individu.

Sesuai dengan rumusan masalah dari penelitian ini yaitu melihat

hubungan korelasional antara city branding „Sparkling Surabaya‟ dan

consumer-based brand equity (CBBE) „Sparkling Surabaya‟. Maka dapat

terlihat bahwa ada proses komunikasi yang terjadi yaitu city branding

„Sparkling Surabaya‟ yang dalam penelitian ini dilihat dari pelayanan

publik, komunikasi pemasaran city brand, aksesibilitas fasilitas,

infrastruktur publik, dan respon yang diberikan oleh masyarakat Kota

Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian ini yaitu CBBE

„Sparkling Surabaya‟ yang terdiri dari brand awareness dan brand image

dari city brand „Sparkling Surabaya‟. Organisme dalam penelitian ini

adalah sikap penduduk Kota Surabaya terhadap city brand „Sparkling

Surabaya‟ yang digambarkan dalam perhatian, pengertian dan penerimaan

penduduk terhadap city brand „Sparkling Surabaya‟. Maka, teori dan model

S-O-R digunakan untuk melihat alur hubungan antara stimulus dan respon

masyarakat.

F. Kerangka Konsep

Dengan pemaparan kerangka teori yang sudah dijabarkan

sebelumnya, maka peneliti akan menentukan batasan konsep yang akan

digunakan dalam penelitian ini yaitu karakter masyarakat kota yang dalam

penelitian ini dipersempit menjadi city branding dan Consumer-based

brand equity „Sparkling Surabaya‟.

Konsep city branding yang akan digunakan dalam penelitian ini

menggunakan konsep model milik Hankinson yaitu konsep relational

network brand yang memiliki empat elemen yang mendukung brand inti

yaitu city brand „Sparkling Surabaya‟ dalam konsep ini peneliti hendak

mengetahui pengalaman masyarakat terhadap komponen fisik dan

25

psikologis Kota Surabaya terkait dengan city brand „Sparkling Surabaya‟

yang menjadi core brand dalam konsep ini. Terdapat empat komponen

dalam konsep ini yang akan diturunkan dalam konsep operasional yaitu

consumer relationship , primary service relationshi, media relationship dan

brand infrastructure relationship. Pada konsep ini, peneliti ingin melihat

pengalaman penduduk Kota Surabaya ketika menggunakan fasilitas yang

tersedia di Kota Surabaya dan untuk mengetahui apakah Pemerintah

Surabaya berusaha mencitrakan Sparkling Surabaya melalui penyediaan

fasilitas, kampanye merek dan pembangunan fisik kota.

Selanjutnya, konsep consumer-based brand equity (CBBE)

digunakan untuk mengetahui bagaimana penduduk Kota Surabaya

merespon city brand „Sparkling Surabaya‟ terutama pada logo dan slogan

„Sparkling Surabaya‟. Logo dan slogan seperti yang sudah disebutkan

dalam kerangka teori merupakan salah satu unsur yang penting dalam

implementasi city branding karena logo dan slogan merupakan visualisasi

dari citra yang hendak di munculkan oleh sebuah kota. Pada konsep CBBE

dalam penelitian ini, peneliti lebih berfokus pada logo dan slogan untuk

melihat bagaimana city brand „Sparkling Surabaya‟ diasosiasikan oleh

penduduk Kota Surabaya. Konsep CBBE terdiri dari brand awareness yang

akan mengetahui bagaimana kesadaran merek masyarakat Kota Surabaya

terhadap city brand „Sparkling Surabaya‟. Dan brand image yaitu

bagaimana asosiasi city brand „Sparkling Surabaya‟ dalam benak

masyarakat Kota Surabaya.

Berdasarkan kerangka pemikiran dan teori yang sudah dijabarkan,

berikut merupakan skema penelitian yang akan menggambarkan alur dari

penelitian ini:

26

Gambar 1.6

Kerangka Konsep

Skema penelitian diatas menjelaskan variabel yang akan digunakan

dalam penelitian ini. Terdapat tiga variabel yaitu variabel independen yang

dalam penelitian ini adalah city branding „Sparkling Surabaya‟ , variabel

organisme yang bersifat variabel anteseden yaitu sikap penduduk terhadap

‘Sparkling Surabaya‟ dan variabel dependen yaitu consumer based brand

equity dari city brand „Sparkling Surabaya‟ tersebut. Penjelasan yang lebih

mendetail terkait dengan kerangka konsep dari penelitian ini akan

dijelaskan pada tabel dibawah ini :

STIMULUS

City Branding „Sparkling

Surabaya‟

Consumer groups

relationship

Primary service

relationship

Media and

communication

relationship

Brand infrastructure

relationship

RESPONSE

Consumer-based brand

equity

Brand awareness

Brand image

ORGANISM

Sikap Penduduk terhadap

„Sparkling Surabaya‟

Perhatian

Pengertian

Penerimaan

27

Tabel 1.1

Operasionalisasi Konsep

No Konsep Variabel Dimensi Item Skala

Stimulus

City

Branding

Consumer

Relationship

- Supportive

attitude

Likert

Primary Service

Relationship

- Leisure

organization

service

- Brand value

communication

Likert

Media

Relationship

- Brand marketing

communication

- Brand exposure

Likert

Brand

infrastructure

relationship

- Accessible

facilities within

the city

- Hygiene within

the city

Likert

Organism

Sikap

Penduduk

Kota

Surabaya

Perhatian - Perhatian selektif

- Perhatian terbagi

- Perhatian terus-

menerus

Likert

Pengertian - Minat

- Pengalaman

Likert

Penerimaan - Penerimaan

positif

- Penerimaan

negatif

Likert

Response

Consumer-

Based Brand

Equity

Brand awareness - Brand

recognition

Likert

28

- Brand recall Likert

Brand Image - Types of brand

association

Likert

- Strenghth of

brand association

Likert

- Favorability of

brand association

Likert

- Uniqueness of

brand association

Likert

29

G. Definisi Operasional

Variabel merupakan konsep dalam bentuk konkret dan konsep yang

berada pada tingkat yang dioperasionalkan serta mudah untuk dijadikan acuan

yang mudah diidentifikasi,diurut, diukur, diobservasi dan diklasifikasi (Mayer,

1984:215). Penelitian ini terdiri dari dua variabel yang akan diteliti, berikut

variabel serta dimensi-dimensi yang akan membantu peneliti dalam melakukan

penelitian.

1. Dimensi city branding „Sparkling Surabaya‟ :

Dimensi city branding „Sparkling Surabaya‟ merupakan variabel

independen. Berikut dimensi yang digunakan untuk mengukur variabel

(X2) ini :

a. Consumer groups relationship (X2.1): dimensi ini digunakan

untuk mengetahui sikap suportif aparatur kota Surabaya dengan

membawa nilai-nilai Kota Surabaya dalam pelayanannya

kepada masyarakat Kota Surabaya.

b. Media relationship (X2.3) : dimensi ini digunakan dalam

penelitian untuk mengetahui paparan city brand melalui

kegiatan komunikasi pemasaran city brand kepada masyarakat.

c. Primary service relationship (X2.2): dimensi ini digunakan

untuk mengetahui pendapat masyarakat terkait pelayanan

fasilitas kegiatan waktu senggang masyarakat seperti destinasi

wisata dan fasilitas hiburan di Kota Surabaya.

d. Brand infrastructure relationship (X2.4) : dimensi ini

digunakan untuk mengetahui pendapat masyarakat Kota

Surabaya terkait aksesibilitas infrastruktur kota dan kebersihan

Kota Surabaya.

30

2. Dimensi Sikap penduduk Kota Surabaya terhadap „Sparkling

Surabaya‟

Dimensi ini merupakan variabel anteseden (X1). Variabel

anteseden merupakan variabel yang mendahului hubungan antara

variabel independen (X) dan variabel dependen (Y). Variabel

anteseden dalam penelitian ini merupakan variabel intervening yaitu

variabel yang memediasi hubungan antara variabel independen dan

variabel dependen :

a. Perhatian (X1.1) : merupakan proses secara sadar sejumlah

kecil informasi dari sejumlah besar informasi yang tersedia.

Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan serta proses

kognitif lainnya. Perhatian diukur dengan item : perhatian

selektif, perhatian terbagi dan perhatian terus menerus.

b. Pengertian (X1.2) adalah tahap dimana masyarakat

memahami stimulus yang diberikan yaitu city brand

„Sparkling Surabaya‟ . Pengertian terjadi ketika responden

memberikan perhatian pada stimulus. Pengertian diukur

dengan item : minat dan pengalaman.

c. Penerimaan (X1.3) adalah tahap dimana masyarakat

mengambil kesimpulan pada paparan city brand „Sparkling

Surabaya‟ yang diberikan. Penerimaan diukur dengan item :

penerimaan positif dan penerimaan negatif.

3. Dimensi consumer-based brand equity (CBBE)

Consumer-based brand equity dalam penelitian ini menjadi

variabel dependen. Variabel dependen merupakan variabel yang

diduga sebagai akibat atau yang dipengaruhi oleh variabel yang

mendahuluinya. Pada penelitian ini, dimensi ini mencakup awareness

dan kemampuan masyarakat mengasosiasikan logo dan slogan city

31

brand „Sparkling Surabaya‟ pada kota Surabaya. Seperti yang sudah

dijelaskan pada kerangka teori sebelumnya, bahwa logo dan slogan

merupakan brand identity dari sebuah city branding yang dapat

memunculkan persepsi dari target pasar, dalam penelitian ini yaitu

penduduk Kota Surabaya. Berikut ini beberapa dimensi yang

digunakan dalam mengukur variabel CBBE (Y) :

a. Brand awareness (Y.1): dimensi ini digunakan untuk

mengetahui kepekaan masyarakat Kota Surabaya terhadap city

brand „Sparkling Surabaya‟. Item yang diukur dalam dimensi

ini adalah brand recognition dan brand recall logo dan slogan

city brand „Sparkling Surabaya‟ di benak masyarakat Kota

Surabaya.

b. Brand image (Y.2): dimensi ini digunakan untuk mengetahui

gambaran masyarakat terhadap city brand „Sparkling

Surabaya‟ serta asosiasi-asosiasi dari city brand yang berkaitan

seperti lanskap, destinasi wisata dan atraksi wisata. Selain itu

juga mengetahui kekuatan asosiasi city brand, rasa kepemilikan

masyarakat terhadap city brand dan keunikan city brand. Brand

image memiliki empat item yaitu types of brand association,

strenght of brand association, favorability dan uniqueness of

brand association.

H. Hipotesis

Dari kerangka konsep yang disusun diatas maka, peneliti merumuskan

hipotesis untukpenelitian ini sebagai berikut:

H0 : tidak ada hubungan antara city brand dan consumer-based brand

equitydari city brand „Sparkling Surabaya‟.

32

Ha : terdapat hubungan antara city brand dan consumer-based brand equity

dari city brand „Sparkling Surabaya‟.

I. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode

survei eksplanatif untuk mengetahui situasi atau kondisi tertentu yang sedang

terjadi. (Kriyantono, 2006 : 60). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

survei eksplanatif bersifat asosiatif untuk mengetahui hubungan antara

variabel city branding dan consumer-based brand equity dari „Sparkling

Surabaya‟. Penelitian ini juga melibatkan variabel intervening yaitu sikap

penduduk Kota Surabaya terhadap „Sparkling Surabaya‟

Metode survei peneliti anggap sesuai dengan penelitian ini karena

peneliti ingin mengetahui adakah hubungan antara kedua variabel yang telah

disebutkan. Penelitian ini ingin membuktikan hubungan variabel yang bersifat

asimetris antara disposisi dan respon. Posisi sikap penduduk Kota Surabaya

merupakan disposisi karena berasal dari dalam diri penduduk yang kemudian

memengaruhi variabel respon yaitu brand knowledge mereka terhadap city

brand „Sparkling Surabaya‟

J. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau

subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari, kemudian ditarik kesimpulan

(Sugiyono, 2002:55) . Populasi dalam sebuah penelitian dapat

berbentuk apa saja seperti orang, kata-kata, organisasi, simbol-simbol

dan lainnya.

33

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan populasi

masyarakat Surabaya yang berjumlah 2.950.251 jiwa (Pemkot

Surabaya:2016). Jumlah ini merupakan jumlah masyarakat Surabaya

yang terdaftar menetap di Kota Surabaya. Karena jumlah ini cukup

besar maka peneliti akan mempersempit populasi menjadi sampel

penelitian yang akan dirumuskan sebagai berikut:

b. Sampel

Dengan populasi yang cukup besar untuk melakukan penelitian

ini, sangat sulit bagi peneliti untuk mengambil data dalam lingkup

yang sangat luas. Maka dari itu, peneliti akan menggunakan sampel

yang bersifat representatif dari populasi tersebut. Sampel representatif

merupakan cerminan semua unsur dalam populasi secara proporsional

atau memberikan kesempatan yang sama pada semua unsur populasi

untk dipilih (Kriyantono , 2006:154). Peneliti menggunakan rumus

Slovin dalam menentukan sampel penelitian ini.

n =𝑁

1 + 𝑁𝑒2

Keterangan :

n = Ukuran sampel

N = Ukuran populasi

e = kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan

pengambilan sampel yang dapat ditolerir dalam

penelitian ini adalah 10%

Dengan menggunakan rumus slovin dan tingkat kelonggaran

sebesar 10% dan populasi sebesar 2.950.251 jiwa diperoleh hasil

34

100. Maka, peneliti akan menyebarkan kuesioner kepada 100

orang yang dibagi rata dalam lima wilayah di Kota Surabaya

yaitu Surabaya Pusat, Surabaya Selatan, Surabaya Utara,

Surabaya Timur dan Surabaya Barat.

K. Teknik pengambilan sampel

Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampling purposif

untuk mengambil sampel yang sesuai dengan kriteria penelitian. Teknik

sampling purposif dirasa sesuai untuk penelitian ini karena agar penelitian ini

tetap terarah dan tepat sasaran, peneliti menentukan beberapa kriteria

responden yaitu penduduk Kota Surabaya yang sudah menetap minimal 6

tahun di Kota Surabaya. Kriteria kedua adalah penduduk yang berinteraksi

secara langsung dengan Kota Surabaya, dalam hal ini, baik penduduk yang

memiliki KTP Surabaya dan yang tidak memiliki KTP Surabaya yang

berstatus penduduk komuter yang pulang dan pergi dari dan ke Kota Surabaya.

Kriteria selanjutnya adalah penduduk yang memiliki pengetahuan tentang

branding terutama city brand Kota Surabaya.

L. Data dan Teknik Pengumpulan Data

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden.

Penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan data melalui kuesioner

atau angket. Menurut Arikunto dalam Hamdi (2015:49) angket atau kuesioner

adalah penyelidikan mengenai suatu masalah yang banyak menyangkut

kepentingan banyak orang dilakukan dengan cara mengedarkan suatu daftar

pertanyaan, diajukan secara tertulis kepada sejumlah objek penelitian untuk

mendapat jawaban atau tanggapan tertulis seperlunya.

Sedangkan data sekunder dari penelitian ini diperoleh melalui studi

kepustakaan dengan mengumpulkan informasi mengenai teori dan konsep

35

terkait dengan topik penelitian. Studi pustaka dalam penelitian ini bersumber

dari literatur baik buku, jurnal maupun artikel yang diperoleh melalui internet.

M. Uji Validitas

Uji validitas dimaksudkan untuk menyatakan sejauh mana sebuah

instrumen penelitian mampu mengukur apa yang hendak diukur dalam sebuah

penelitian (Kriyantono, 2006:142). Uji validitas juga menentukan kualitas

instrumen riset melalui kesahihan data yang dikumpulkan saat riset.

Pada riset kuantitatif, uji validitas dikelompokkan dalam beberapa

jenis yaitu: validias konstruk, validitas isi, validitas prediktif, validitas

eksternal dan validitas rupa (Singarimbun & Effendi , 1989 : 124). Penelitian

ini akan menggunakan validitas konstruk untuk menguji sampai sejauh mana

instrumen penelitian ini dapat mengukur konsep yang hendak diukur. Validitas

konstruk dilakukan dengan cara mencari definisi-definisi konsep yang

dikemukakan para ahli yang tertulis dalam literatur (Singarimbun &

Effendi,1989:125).

Uji validitas dilakukan terhadap 30 kuesioner dengan menggunakan

analisis pearson test. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan nilai

angka rhitung dengan nilai korelasi table (rtabel), dimana derajat kebebasan

n-2. Dengan sampel sejumlah 30 responden, maka nilai derajat kebebasan

(dk) = 28. Tingkat keyakinan dalam pengujian ini sebesar 95%, sehingga

pengujian ini memiliki toleransi kesalahan (α) sebesar 5% maka didapatkan

nilai rtabel adalah 0.239. Apabila angka rhitung > 0.239 maka item kuesioner

dinyatakan valid, namun jika, angka rhitung ≤ 0.239 maka item kuesioner

dinyatakan gugur atau tidak valid.

Hasil dari analisa uji validitas yang dapat dilihat pada lembar lampiran

(Lampiran 1) menunjukkan nilai koefisien korelasi setiap item pertanyaan >

0.239, dengan nilai signifikansi. Dengan demikian maka seluruh item

pernyataan dalam kuesioner ini dinyatakan valid.

36

N. Uji realibilitas

Uji realibilitas merupakan kemampuan sebuah instrument penelitian

menunjukkan kestabilan dan konsistensi dalam mengukur konsep. Pengujian

realibiltas kuesioner dalam penelitian ini menggunakan nilai Cronbach

Alpha, dimana ketentuannya jika nilai cronbach alpha > 0.6 maka kuesioner

dinyatakan reliabel. Berikut rumus yang digunakan dalam menghitung nilai

cronbach alpha:

Keterangan:

r = koefisien realibilitas instrument (cronbach alpha)

k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

= total varians butir

= total varians

Dari hasil pengujian realibilitas kuesioner penelitian ini, diperoleh hasil

yang tertera pada tabel berikut :

Tabel 1.2

Uji Realibilitas Kuesioner

Cronbach Alpha Nilai kritis Keterangan

0.751 0.6 Reliabel

Tabel di atas menunjukkan besarnya koefien Cronbach Alpha pada

semua variable penelitian adalah > 0.6 , sehingga dapat disimpulkan bahwa

item-item pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini dinyatakan reliabel.

37

Realibilitas dapat diukur melalui beberapa cara, salah satunya dengan

internal consistencyrealibility yaitu dengan menentukan apakah dua atau lebih

pengukuran atas suatu konsep teoritis yang diambil pada suatu periode waktu

yang sama atas suatu objek akan memberikan hasil yang sama (Rahayu ,

2013:68)

O. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dari penelitian ini menggunakan teknik analisis

statistik. Penelitian ini merupakan penelitian berjenis ekplanatif dengan

mencari hubungan antara dua variabel yang harus diuji. Sehingga analisis data

untuk penelitian ini menggunakan analisis multivariat. Analisis statistik yang

digunakan adalah analisis statistik bivariat untuk mengukur dua variabel yang

menjadi variabel pokok, dan menentukan sifat hubungan dari kedua variabel

tersebut. Dengan kemungkinan bahwa variabel tersebut memiliki hubuan

simetris yaitu variabel yang memiliki hubungan namun tidak saling

memengaruhi satu sama lain (Kriyantono, 2006:168).

Teknik analisis data dari penelitian ini menggunakan teknik analisis

statistik untuk membantu peneliti membuktikan hipotesis yang telah disusun.

Dengan menggunakan analisis hubungan untuk melihat derajat hubungan

diantara dua variabel. Sedangkan rumus statistik yang digunakan dalam

penelitian ini adalah rumus Pearson‟s correlation (product moment). Teknik

ini digunakan tanpa melihat apakah suatu variabel tertentu tergantung pada

variabel lainnya (Kriyantono, 2006:175). Rumus ini dirasa sesuai untuk

analisis data penelitian yang memiliki hubungan variabel yang bersifat

simetris. Selain itu, data yang telah didapat akan diolah dengan analisis regresi

yaitu mencari hubungan antar variabel dari penelitian ini. Perbedaan analisis

pearson dengan regresi adalah jika pearson mencari derajat kekuatan maka

analisis regresi digunakan untuk mencari bentuk hubungan dua variabel atau

lebih dalam bentuk fungsi atau persamaan (Mustikoweni, 2002:1). Penelitian

38

ini juga menggunakan analisis mean untuk mencari rerata jawaban responden,

analisis ini membantu peneliti untuk melihat kecenderungan responden ketika

menjawab pernyataan-pernyataan yang diberikan.

Pengujian variabel intervening juga digunakan dalam penelitian ini

untuk menguji pengaruh variabel anteseden yang ada dalam penelittian ini.

Uji variabel intervening akan menghasilkan analisis jalur yang membantu

peneliti menjelaskan alur hubungan variabel yang ada dalam penelitian ini.

Teknik analisis data yang terakhir digunakan adalah analisis tabulasi silang

untuk melihat hubungan antara dua variabel atau dua item tertentu yang ada

dalam penelitian ini. Semua teknik analisis data tersebut, digunakan untuk

membantu peneliti menganalisis data sehingga didapatkan hasil analisis yang

sesuai dengan tujuan penelitian.