Upload
danghanh
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kota-kota besar di dunia kini banyak yang menjadikan sektor
pariwisatanya sebagai sumber pemasukan kas daerah mereka. Misalnya
saja Kota Paris yang tersohor dengan sebutan city of love yang berhasil
menarik banyak pengunjung dari seluruh dunia dengan ciri khasnya
sebagai kota romantis (Yananda dan Salamah 2014). Selain Paris, Kota
New York juga berhasil bangkit dari keterpurukan dengan melakukan
pemasaran kota dalam bentuk kesenian dan pariwisata. Untuk memimpin
di pasar global setiap kota harus bisa menarik banyak wisatawan masuk ke
kota mereka dan menghibur dengan atraksi yang khas di kota itu. Salah
satu cara untuk memiliki daya saing di pasar global adalah dengan mem-
brand-kan kota mereka. City branding telah menjadi salah satu taktik
komunikasi bagi kota untuk memasarkan kota. Dalam konsep branding,
sebuah objek yang telah melalui proses branding seharusnya memiliki
pembeda dengan objek yang lainnya. Sama halnya dengan kota yang telah
membranding dirinya, selain mampu bersaing, kota tersebut akan memiliki
nilai jual yang lebih dibandingkan dengan kota yang belum memiliki
insiatif untuk membranding kotanya.
Praktik city branding1 sudah mulai marak di dunia,sejak tahun
1970an. Beberapa kota di dunia terutama kota bisnis, telah menjalankan
strategi brand dalam memasarkan kotanya (Greenberg, 2000:230). Selain
itu, konsep city brand telah menyentuh ranah akademis sehingga cukup
banyak ditemukan jurnal atau buku yang mengulas tentang city brand. Hal
ini menandakan bahwa city brand baik secara akademis dan praktis telah
menjadi bagian dari pemasaran yang menggabungkan konsep-konsep
multidisiplin. City brand menjadi konsep dari studi branding yang berbeda
1 Pada penelitian ini, peneliti akan konsisten menggunakan istilah city brand agar tidak
menimbulkan kesalah pahaman.
2
dan cukup kompleks dibandingkan dengan konsep branding lainnya
seperti produk dan perusahaan. Karena dalam proses city brand, pihak
yang terlibat baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi cukup
banyak dan beragam.
Beberapa kota di dunia yang sudah menggunakan city branding
sebagai strategi promosi untuk menjual potensi pariwisata mereka kepada
dunia. Kota besar di dunia sudah memulai menggunakan strategi city
branding untuk menggali dan menjual potensi kota mereka. Salah satu
kota yang menjadi sorotan dalam implementasi city branding adalah kota
New York, Amerika Serikat. Dalam implementasi city brand di Kota New
York, pemerintah kota setempat melibatkan berbagai unsur masyarakat
yang ada di kota tersebut. Selain itu, warga kota New York memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap keadaan kotanya saat itu. Dukungan yang
didapat dari berbagai unsur masyarakat kota New York terhadap citra
kotanya adalah salah satu faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan
city branding Kota New York. Hingga kini, kota New York menjadi kota
yang memiliki image yang cukup kuat di mata dunia.
Bagaimana dengan implementasi city branding di Indonesia?.
Sejak diterapkan Otonomi Daerah, perpindahan kewenangan untuk
mengatur kota-kota yang ada berada ditangan pemerintahan daerah.
Dimana pemerintah daerah harus berlomba-lomba dengan kota yang
lainnya dalam hal strategi untuk menambah pendapatan daerah dengan
mengembangkan sektor-sektor yang berpotensi baik di dalam kota/daerah
tersebut. Pelaksanaan city branding di Indonesia mendapat dukungan yang
sah dari undang-undang dasar yakni UU no.32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, UU no.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025 dan UU no.26/2007 tentang Penataan Ruang
(Yananda dan Salamah, 2014 : 188).
Sektor yang paling banyak dikembangkan hampir di setiap daerah
di Indonesia adalah sektor pariwisata dan ekonomi. Salah satu strategi
pemasaran pariwisata dan ekonomi adalah dengan membuat slogan atau
3
brand untuk kota tersebut agar bisa menarik perhatian pendatang. City
branding tentunya harus sesuai dengan potensi yang ada di dalam daerah
tersebut dan melalui langkah-langkah yang tepat. Selain itu konsistensi
pemerintah setempat dalam pengaplikasian city brand dalam kehidupan
kota sehari-hari perlu dipertahankan agar city brand tidak mati dan
kemudian dilupakan.
Beberapa kota di Indonesia berikut ini yang telah melakukan city
branding yaitu Jakarta dengan Enjoy Jakarta, Surabaya dengan „Sparkling
Surabaya‟, Yogyakarta dengan Jogja Istimewa , Solo dengan The Spirit of
Java, dan beberapa kota lainnya. Tidak semua city branding di kota-kota
di Indonesia ini berjalan dengan lancar dan berkelanjutan. Sebagian besar
kota masih struggling dengan urusan-urusan domestik sehingga urusan
city brand kotanya menjadi terbengkalai. Contoh kasus Jogja sebelum
rebranding menjadi Jogja Istimewa seperti sekarang ini, memiliki city
brand Jogja Never Ending Asia. City brand ini kemudian banyak dikritisi
karena tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat Jogja sehingga nafas
Never Ending Asia tidak terhembus dalam keseharian masyarakat Jogja.
Selain ketidaksesuaian dengan karakteristik masyarakat,
ketidakberlanjutan city brand juga bisa disebabkan oleh rendahnya
awareness masyarakat terhadap brand sebuah kota. Hal ini menandakan
city brand di Yogyakarta kala itu, masih dimaknai sebatas dengan logo
dan slogan saja, bukan sebuah rangkaian proses perencanaan hingga
evaluasi serta usaha untuk membuat brand berkelanjutan.
Pada tahun 2006 Pemerintah Kota Surabaya bersama Surabaya
Tourism Promotion Board (STPB) meluncurkan „Sparkling Surabaya‟
sebagai city brand Kota Surabaya. City brand „Sparkling Surabaya‟
merepresentasikan Surabaya sebagai kota yang berkilau dan penuh dengan
atraksi untuk penduduk maupun pendatang. Dengan „Sparkling Surabaya‟,
Pemerintah Kota Surabaya dan STPB kala itu meluncurkan banyak
kegiatan branding yang melibatkan masyarakat Kota Surabaya.
4
Penelitian ini dilakukan untuk melihat respon masyarakat Kota
Surabaya terhadap proses city branding „Sparkling Surabaya‟ yang telah
diimplementasikan sejak tahun 2006. Pendekatan yang akan digunakan
dalam penelitian ini untuk mengukur respon masyarakat Kota Surabaya
terhadap city brand „Sparkling Surabaya‟ adalah menggunakan pendekatan
konsep city branding untuk menangkap respon penduduk Kota Surabaya
terkait usaha city branding yang dilakukan oleh pemerintah Kota Surabaya.
Sedangkan pendekatan konsep consumer-based brand equity (CBBE)
digunakan untuk melihat persepsi penduduk terkait keberadaan logo dan
slogan „Sparkling Surabaya‟ sebagai unsur penting dalam implementasi
city branding. Batasan penelitian ini adalah melihat sampai sejauh mana
respon penduduk yang menetap di Kota Surabaya terhadap city branding
„Sparkling Surabaya‟ dan brand awareness & brand image logo dan slogan
city brand „Sparkling Surabaya‟. Kajian yang berkaitan dengan city
branding melalui pendekatan brand dirasa akan menjadi kajian yang cukup
penting untuk menjadi referensi bagi penggiat branding tempat di
Indonesia untuk merencanakan, mengimplementasi dan mengevaluasi
brand tempat di Indonesia.
Masyarakat pada umumnya, dan penduduk pada khususnya, sangat
berperan penting dalam implementasi city branding karena dalam
masyarakat tercermin karakteristik yang menjadikan ciri khas suatu kota.
Ciri khas tersebut yang nantinya menentukan citra kota yang akan dibentuk
dan dicitrakan kepada khalayak luas. Selain itu, masyarakat merupakan
elemen penting dari pembuatan city branding karena masyarakat tidak lain
merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam usaha membangun sebuah
brand kota. Maka, keberhasilan city branding akan sangat ditentukan
dengan kepekaan dan pengetahuan masyarakat tentang citra kota mereka.
Penelitian yang berkaitan dengan city branding selama ini, lebih menitik
beratkan pada stakeholder dan para penggagas city branding saja. Peneliti
melihat hal ini sebagai peluang untuk melakukan penelitian mendalam
5
dengan menjadikan masyarakat kota Surabaya sebagai responden dari
penelitian ini.
B. Rumusan masalah :
Bagaimana korelasi antara city branding dan CBBE „Sparkling Surabaya‟
dalam benak penduduk Kota Surabaya?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui adakah korelasi antara city branding dan CBBE
‘Sparkling Surabaya‟ dalam benak masyarakat Kota Surabaya.
2. Mengetahui adakah korelasi antara konsep city branding dengan
CBBE dari ‘Sparkling Surabaya‟.
3. Mengetahui respon masyarakat terhadap city brand „Sparkling
Surabaya‟ melalui konsep consumer-based brand equity.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari diadakannya penelitian ini adalah untuk memberikan
kontribusi pada kajian branding, khususnya kajian tentang city branding.
E. Kerangka Teori
1. City Branding
Dalam dunia pemasaran yang semakin berkembang dengan pesat
seiring berjalannya waktu, konsep-konsep yang berkaitan dengan
pemasaran pun ikut berkembang dan meluas. Place brand sudah banyak
digunakan dalam berbagai bentuk seperti nation branding, city branding,
region dan branding untuk tujuan wisata. Bahkan place branding telah
memiliki tempat tersendiri dalam ranah studi akademis.
Persaingan di era global, terbukti telah mengubah kebiasaan
pemasaran dunia hingga detik ini. Konsep pemasaran terus berkembang
dan hampir menyentuh seluruh entitas kehidupan masyarakat termasuk
kehidupan kota. Dalam beberapa dekade, praktisi dan akademisi di bidang
6
pemasaran telah mendeteksi peningkatan ketertarikan di bidang brand
management. Terutama dalam konteks pengelolaan tempat. Kini, konsep
branding meluas dan tidak hanya digunakan oleh perusahaan untuk
menjual hasil produksinya. Praktisi pemasaran kini juga menggunakannya
untuk mengelola dan memasarkan sebuah tempat. Branding tempat, tentu
memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda dengan praktik
branding yang digunakan perusahaan untuk ‘menjual’ produk mereka.
Dalam perkembangannya, studi tentang city branding mulai
bermunculan seiring dengan berjalannya waktu. Semakin banyak pihak
yang berkaitan langsung dalam perencanaan kota menyadari pentingnya
city brand. Interest in city branding may be seen as part of a wider
recognition that places of all kinds can benefit from implementing
coherent strategies with regard to managing their resources, reputation
and image (Dinnie, 2011: ). Konsep city brand merupakan konsep yang
multidisiplin yang berasal dari disiplin ilmu tata kota dan pemasaran.
Sehingga praktik city branding atau place branding pada umumnya,
menjadi cukup kompleks. Definisi City Branding menurut Keith Dinnie
merupakan sebuah kajian yang membahas tentang citra sebuah kota untuk
kepentingan ekonomi dan juga sebuah acuan pembuatan kebijakan yang
akan dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan dan masyarakat kota atau
daerah tersebut. Kegiatan City Branding dilakukan untuk membentuk
suatu tatanan kota yang sesuai dengan citra yang hendak ditampakkan.
Menurut Kavaratzis dalam Yananda dan Salamah (2014:57) proses city
branding berkaitan dengan pembentuka identitas kota yag bersifat berbeda
dan mengarahkan bagaimana sebuah kota dipasarkan.
Penggunaan City Brand oleh kota-kota di dunia pada era
globalisasi ini, salah satunya bertujuan untuk membangun diferensiasi dan
memperkuat identitas kota agar mampu bersaing dengan kota lainnya demi
menarik turis, penanam modal, SDM yang handal, industri, serta
meningkatkan kualitas hubungan antara warga dengan kota. Menurut
Yananda dan Salamah (2014:7) kota merupakan fasilitator penting
7
pertumbuhan ekonomi, peningkatan produktivitas, dan peningkatan
pendapatan penduduk di negara berkembang dan negara maju. Sebagai
fasilitator pertumbuhan aspek kehidupan masyarakat, kota tentu memiliki
daya tarik yang disebut potensi. Potensi tersebut tidak akan muncul dan
nampak dengan sendirinya apabila pihak berwenang tidak berusaha
memunculkannya ke khalayak. Maka dibutuhkan suatu perencanaan
strategis untuk menampakkan citra positif kota melalui city brand. Dalam
city branding, pemegang kekuasaan merupakan pihak yang sangat
berperan penting dalam menentukan kebijakan. Keith Dinnie (2011: 15)
dalam bukunya City Branding : Theory and Cases menjelaskan peran
stakeholder sangat penting dalam kesuksesan strategi city branding. Akan
menjadi tantangan tersendiri bagi kota yang ingin menggunakan strategi
City Branding sebagai salah satu usaha untuk memasarkan dan
memberikan pembeda kota dari kota-kota yang lain. City branding sangat
memerlukan banyak sekali usaha dan kesepakatan dari berbagai
stakeholder yang terlibat dalam kehidupan sebuah kota. Perhaps the most
challenging aspect of city branding is to communicate with the multiple
stakeholders or audiences in a way that is relevant, consistent and
coherent (Dinnie, 2011: 11).
Penerapan strategi branding kota yang tepat dan kuat akan mampu
menjadi pembeda dengan kota yang lain. Dengan proses branding, kota
dapat memenangkan persaingan dengan kota lainnya karena mampu
mengarahan preferensi dan pilihan yang dimiliki oleh pemangku
kepentingan kota tersebut. Kota yang menerapkan city brand harus mampu
mencari potensi apa yang dimiliki oleh kota tersebut sehingga dapat
menentukan positioning yang sangat berguna dalam strategi city branding.
Dalam kajian city brand, beberapa tokoh akademisi yang fokus
pada kajian brand tempat khususnya city brand, merumuskan model yang
dapat digunakan untuk membantu pihak terkait untuk membangun
identitas kota melalui pendekatan branding. Anholt merupakan salah satu
akademisi di bidang place brand yang membuat model city brand yang
8
menekankan pada evaluasibrand kota. Model yang dibuat Anholt disebut
city brand hexagon dengan instrumen untuk mengevaluasi efektivitas
branding dan terdiri dari enam aspek yaitu presence yang menjelaskan
seberapa akrab masyarakat dengan kota tersebut. Aspek kedua adalah
place yaitu melihat aspek fisik dari kota. Ketiga adalah aspek potential
yaitu kesempatan apa saja yang tersedia dan ditawarkan oleh kota kepada
masyarakat. Keempat ialah pulse yaitu gaya hidup sebuah kota yang
vibrant. Kelima adalah people atau populasi lokal terkait keterbukaan dan
kehangatan. Aspek terakhir adalah prerequisities yaitu kualitas hidup
standar yang ditawarkan sebuah kota (Yananda dan Salamah, 2014:69-70).
Gambar 1.1
Model City Brand Hexagon
Sumber : Anholt (2011)
Selain Anholt, Graham Hankinson, seorang peneliti bidang
pemasaran dan sosial membuat sebuah model yang dikenal sebagai model
relational network brand. Hankinson pada kerangka model ini
9
menekankan pada brand membentuk hubungan dengan konsumen atau
dalam konteks city brand konsumennya adalah masyarakat dan pemangku
kepentigan kota. Menurut Hankinson, efektivitas city brand tergantung
pada hubungannya dengan konsumen. Berikut ini adalah model yang
dipaparkan oleh Hankinson.
Gambar 1.2
Model Relational Network Brand
Sumber : Hankinson (2007)
Dalam model relational network brand milik Hankinson, terdapat
komponen yang saling berhubungan dalam membangun sebuah inti brand
kota yang efektif. Komponen tersebut adalah primary service relationship
yang berkaitan dengan layanan berupa jasa yang menjadi inti dari
pengalaman sebuah brand. Kedua adalah brand infrastructure relationship
yang merupakan layanan berupa akses,lingkungan serta fasilitas yang
disediakan. Media relationship adalah komunikasi organik yang bertujuan
untuk memasarkan brand seperti publisitas, hubungan masyarakat dan
iklan brand kota. Sedangkan consumer relationship melihat hubungan
10
yang terjalin antar lapisan masyarakat dan bagaimana sikap suportif
konsumen terhadap brand kota (Yananda dan Salamah, 2014: 73-74).
Kavaratzis memiliki fokus pada bagaimana brand kota
berkomunikasi melalui pilihan dan perlakuan yang sesuai. Kavaratzis
menawarkan kerangka kerja yang menggabungkan antara pemasaran kota
dan branding. Berikut model komunikasi citra kota Kavaratzis :
Gambar 1.3
Model Komunikasi Citra Kota
Sumber : Kavaratzis ( 2004)
Dalam model ini, terdapat tiga jenis komunikasi yaitu komunikasi
primer yang menitikberatkan pada potensi pengaruh dari tindakan yang
dilakukan oleh kota. Komunikasi primer berkaitan dengan efek
komunikasi dengan tindakan yang bersifat tidak sengaja. Komunikasi
sekunder terkait dengan aktivitas pemasaran kota yang disengaja dan
terencana. Sedangkan komunikasi tersier merupakan pertukaran pesan
11
yang tidak terkontrol seperti laporan media dan word of mouth (WOM)
(Yananda dan Salamah, 2014:77).
Sebuah kota dalam era kompetisi global seperti saat ini harus
mampu bersaing ketat dengan kota-kota lainnya. Kota juga harus melihat
fungsinya sebagai fasilitator pembangunan terlebih ketika posisi sebuah
kota berada di negara berkembang seperti Indonesia. Kota harus mampu
menarik pengunjung dengan citra yang baik, selain itu, kota harus mampu
menjaga penduduknya untuk tetap tinggal dalam kota yang aman dan
nyaman. Dengan city brand, kota akan mampu menampilkan citra baik
yang diinginkan. Namun, city brand, berbeda dengan konsep branding
lainnya, merupakan konsep yang cukup kompleks dan diperlukan proses
yang lengkap dan berkelanjutan. City brand harus mampu mencangkup
keseluruhan stakeholder yang terlibat dalam pembentukan city brand dan
harus menjaga ekspektasi stakeholder. Strategi city brand tentu
membutuhkan waktu, perencanaan, implementasi dan evaluasi yang
panjang dan berkelanjutan.
2. City Brand Equity
City branding dalam teori dan praktis merupakan konsep yang
cukup kompleks. Para akademisi di bidang city branding beberapa
menyimpulkan city branding merupakan adaptasi dari corporate branding
karena berbagi kesamaan dalam hal kompleksitas pelaksanaan (Ashworth
& Kavaratzis, 2009; Dinnie, 2010, 4). Sebagai konsep yang multidisiplin
dan melibatkan banyak kalangan stakeholder, city branding seharusnya
dimaknai sebagai proses panjang yang membutuhkan pengembangan
jangka panjang. Implementasi city branding juga membutuhkan investasi
keuangan yang cukup besar untuk membangun city brand yang sukses dan
kuat. Pemerintah Kota atau pihak yang berwenang dalam implementasi
city brand harus bisa mencari konsultan pemasaran profesional yang
sesuai dengan kebutuhan kota. Bantuan dari pihak luar sangat dibutuhkan
12
dalam penyusunan strategi city branding, implementasi hingga proses
evaluasi untuk memperkuat usaha city branding dengan baik.
Pada kajian pemasaran, terutama branding, ada sebuah konsep
yang dikenal sebagai ekuitas merek atau brand equity. Akademisi yang
fokus pada konsep city branding mengkaji secara khusus tentang unsur-
unsur branding yang dikaitkan dengan implementasi city branding. Dalam
jurnal berjudul „Unraveling the Complexity of “City Brand Equity”: A
Three-Dimensional Framework‟, Andrea Lucarelli menawarkan tiga
kerangka berpikir city brand equity bagi penggiat city branding di dunia.
Pada literatur branding produk, jasa dan perusahaan secara umum, brand
equity merupakan kesatuan unit analisis bagi kegiatan evaluasi brand.
Menurut Lucarelli, ada tiga konsep utama dari brand equity yaitu konsep
menejerial pemasaran milik Aaker yang berfokus pada definisi properti
brand. Konsep kedua adalah konsep consumer-oriented milik Keller yang
fokus pada atribut dari sebuah brand dan model evaluasi kuantitatif sebuah
brand. Dan konsep yang terakhir adalah model keuangan milik Simon dan
Sullivan yang berfokus pada aspek keuangan sebuah brand (Lucarelli,
2012: 233-234).
Lucarelli menyimpulkan pada jurnalnya bahwa kerangka pemikiran
dari city brand equity terdiri dari tiga dimensi yaitu city brand elements,
city brand measurement dan city brand impact. Pada city brand elements,
Lucarelli menyimpulkan bahwa elemen-elemen seperti aset terlihat dan
tidak terlihat pada kota merupakan brand equity dari sebuah city brand.
Seperti logo, slogan dan desain yang dibuat dan menunjukkan identitas
dari sebuah kota. Selain itu, lokasi sebuah kota secara geografis, politis
dan kebudayaan. Berbagai kegiatan kampanye dan event yang dilakukan
disebuah kota juga merupakan brand equity yang dimiliki kota, termasuk
keadaan sosial-kultural, elemen bersejarah, institusi dan badan
pemerintaha setempat. Elemen kedua adalah city brand measurement yaitu
city brand equity dapat diukur dengan alat ukur ilmiah yang sudah ada
yaitu kuantitatif, kualitatif dan metode campuran yang dilakukan untuk
13
mendapatkan hasil evaluasi pelaksanaan city brand. Hal ini termasuk
pendekatan-pendekatan keilmuan seperti analisis diskursus, etnografi dan
analisis narasi. Dimensi terakhir merupakan dimensi yang berkontribusi
cukup penting dalam kerangka pemikiran yang dibuat oleh Lucarelli, yaitu
city brand impact. Pada city brand impact, Lucarelli menyimpulkan bahwa
usaha city brand yang sedang berlangsug memiliki dampak yang tidak
hanya berkaitan dengan identitas city brand dan persepi dari masyarakat,
tetapi juga berkaitan dengan dampak ekonomi makro, dan keadaan sosial-
politik sebuah kota.
Salah satu aset yang harus diperhatikan dalam implementasi city
brand adalah logo dan slogan. Logo dalam pelaksanaan city branding
menjadi aset branding yang nampak dari sebuah kota. Logo kota
merupakan salah satu cara untuk membentuk image positif yang dapat
menimbulkan kesadaran target pasar terutama penduduk kota, membentuk
pengakuan dan menumbuhkan persepsi city brand. Logo kota pada
implementasi city branding berperan sebagai identitas merek kota yang
menyimbolkan aset-aset kota (Wahyurini, 2012:80). Pada usaha
pemasaran kota dan city branding, pelaku city branding sering terjebak
pada peran logo kota yang digunakan dengan hanya memajang logo kota
sebatas pada kegiatan periklanan dan promosi city brand saja. Padahal
ketika logo kota sebagai salah satu aset penting dalam proses city branding
dimaksimalkan dengan mengikutsertakan logo kota dalam seluruh
kegiatan strategis city branding.
Penelitian ini akan menggunakan kerangka berpikir brand equity
milik Keller yaitu konsep consumer-oriented dari city brand „Sparkling
Surabaya‟ untuk mengukur persepsi penduduk Kota Surabaya terhadap
city brand tersebut. Selain itu, penelitian ini akan berfokus pada kerangka
berpikir city brand equity dengan city brand element untuk fokus pada
elemen-elemen yang dimiliki oleh city brand „Sparkling Surabaya‟.
Terutama pada logo dan slogan city brand „Sparkling Surabaya‟ karena
logo dan slogan tersebut merupakan salah satu tangible asset atau aset
14
yang nampak pada city brand. Pemilihan fokus ini untuk mempermudah
pengukuran dan analisis.
3. Peran Penduduk Kota dalam City Branding
Masyarakat kota memiliki tipologi yang cukup kompleks karena
manusia dari berbagai latar belakang datang dan hidup bersama dalam satu
kawasan. Keberagaman dan kompleksitas kehidupan sosial perkotaan
menjadi salah satu faktor yang dapat membentuk karakteristik setiap kota.
Komposisi masyarakat kota yang terdiri dari berbagai kelompok yang
berbeda memberikan konsekuensi kepada masyarakat untuk dapat hidup
dengan perbedaan. Hal ini mengasah kemampuan individu yang tinggal di
perkotaan dalam konteks hubungan interkultural seperti kesediaan individu
untuk bersinggungan dan berkomunikasi langsung dengan entitas yang
tidak biasa. Kehidupan sosial masyarakat kota yang sangat kompleks, juga
memberikan konsekuensi kepada individu yang tinggal di perkotaan untuk
lebih siap dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sebuah
kota.
Dalam kajian city branding, penduduk kota menjalankan peran
yang cukup penting. Menurut Kavaratzis & Asworth (2008) penduduk
dapat membuat atmosfer kota yang berbeda dengan lainnya. Selain itu,
penduduk kota merupakan kelompok target dari usaha pemasaran dan juga
pemasar tempat yang cukup berpengaruh. Penduduk setempat adalah
masyarakat yang sangat mengenal kotanya dan memiliki peran besar
dalam pembangunan di berbagai aspek kehidupan kota seperti ekonomi,
sosial, kebudayaan dan keseimbangan lingkungan tempat mereka tinggal
(Dinnie, 2011:9). Dengan peran tersebut, penduduk sebuah kota juga
berkontribusi dalam pembentukan identitas sebuah kota.
Implementasi place branding atau lebih spesifik city branding yang
melibatkan penduduk dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap
teori dan praktik dari city branding. Braun, Kavaratzis, dan Zenker (2013)
15
mengidentifikasikan peran penduduk pada praktik place branding sebagai
berikut :
a. Residents as integrated part of a place brand
Peran penduduk sebuah tempat atau kota tidak dapat
dipisahkan dari praktik city branding di kota setempat. Penduduk
melakukan interaksi dengan sesama warga dan warga dari luar kota
akan membentuk sebuah lingkungan sosial yang kondusif untuk
menciptakan interaksi informal. Interaksi informal penduduk
menciptakan sebuah lingkungan yang mendukung implementasi
city brand disebuah kota.
Pelaksanaan place branding atau city branding merupakan
serangkaian proses perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi.
Peran penduduk dalam proses tersebut adalah menjadi faktor
pembeda dengan city brand kota yang lain. Penduduk kota
memiliki karakter tersendiri yang membedakan mereka dengan
daerah yang lainnya. Karakter penduduk yang membedakan dengan
kota lainnya merupakan dasar praktisi city branding untuk
mencitrakan kota berdasarkan karakter yang dimiliki. Pada tahap
evaluasi city branding, penduduk berperan penting sebagai
indikator evaluasi dari pelaksanaan city branding. Beberapa
akademisi city branding menggunakan sikap penduduk terhadap
city brand untuk mengukur keberhasilan implementasi city
branding.
b. Residents as ambassadors for their place brands
Sebagai stakeholder utama sebuah city branding, penduduk
kota berperan sebagai komunikator dari city brand yang
diimplementasikan. Menurut Kavaratzis (2004) ada tiga tipe
komunikasi brand pada konsep place branding atau city branding.
Tipe pertama adalah primary communication yaitu kegiatan
pembangunan atau pelayanan publik yang ditawarkan seperti
penataan kota dan akses fasilitas. Tipe kedua adalah komunikasi
16
formal yang dilakukan melalui kehumasan dan periklanan city
brand yang telah diimplementasikan. Tipe ketiga adalah
komunikasi dengan cara getok tular (word-of-mouth). Penduduk
kota adalah pelaku utama yang diharapkan melakukan komunikasi
getok tular terhadap kota yang mereka tinggali dan ikut berperan
dalam mensukseskan implementasi city branding.
Mengikutsertakan penduduk dalam proses city branding
sangat penting untuk menciptakan perasaan terikat dengan kota
yang mereka tinggali dan memunculkan sikap positif penduduk
terhadap kota mereka. Selain menciptakan keterikatan penduduk
dengan kota, keterlibatan penduduk dalam city branding akan
membangkitkan rasa tanggung jawab penduduk terhadap reputasi
kota mereka. Penduduk yang memiliki kesadaran untuk menjaga
reputasi kota akan membantu praktisi city branding dalam proses
implementasi.
c. Residentsas citizens
Pada praktik city branding peran penduduk sebagai warga
terkadang masih sering diabaikan. Sebagai masyarakat sebuah kota,
penduduk yang memilih tinggal di sebuah kota memiliki kekuatan
politis dan hak untuk diikutsertakan dalam kebijakan yang bersifat
politis dalam kehidupan bermasyarakat sebuah kota. Partisipasi
penduduk dalam kehidupan masyarakat kota merupakan hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi baik oleh otoritas pemerintah kota
dan penduduk kota. Dalam hal ini, pemerintah kota sebagai pemilik
otoritas untuk mengatur dalam lingkup kota, harus menjamin
bahwa semua penduduk dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan.
Pada proses city branding, pemerintah setempat harus bisa
menjelaskan bahwa kebijakan city branding yang telah diterapkan
adalah untuk kepentingan bersama yang jauh dari kontrol politik.
17
Selain itu, penduduk sebagai warga kota yang memiliki hak dan
kewajiban dalam partisipasi pengambilan keputusan kebijakan
harus mendukung dan mengawasi implementasi agar city branding
yang dilaksanakan oleh pemerintah kota setempat berjalan dengan
efektif.
Berdasarkan uraian ketiga peran penduduk di atas, dapat
disimpulkan bahwa penduduk sebuah kota memiliki peran yang sangat
vital sebagai target pasar dari sebuah city branding. Peran-peran penduduk
yang sangat penting di atas dapat menjadi acuan bagi pelaku city branding
untuk menjalankan city branding yang sesuai dan efektif. Dengan
memahami peran-peran penduduk kota, pemasar kota dapat memobilisasi
kebanggaan dan sense of belonging penduduk terhadap kota mereka.
Kebanggaan dan sense of belonging terhadap kota sangat penting melihat
peran penduduk sebagai brand ambassador kota mereka sendiri. Dengan
kebanggaan dan rasa kepemilikan yang kuat, penduduk akan dengan
senang hati dan suka rela membantu mengkomunikasikan city brand yang
sudah diimplementasikan.
Hal yang harus diperhatikan oleh pihak yang berwenang dalam
menjalankan city branding adalah peran masyarakat sebagai warga yang
memiliki hak dan kewajiban dalam kontribusi pengambilan keputusan
politis dalam pembangunan kota. Pengelolaan kekuatan politik penduduk
sebaiknya menjadi perhatian pemasar kota karena penduduk juga memiliki
kekuatan untuk mengabaikan kebijakan city branding yang berujung pada
ketidakpedulian penduduk terhadap kebijakan city brand. Hal ini akan
berujung pada kurangnya peran penduduk sebagai brand ambassador dan
komunikator brand dari city brand kota mereka sendiri.
18
4. Consumer Based-Brand Equity (CBBE)
Dalam studi brand yang kian berkembang pesat, berbagai konsep
tentang brand banyak ditawarkan oleh akademisi dan praktisi yang
menggeluti bidang brand. Salah satunya adalah Kevin Lane Keller yang
memusatkan perhatian kajian brand pada konsumen. Dengan Consumer
Based-Brand Equity (CBBE) yang dirumuskan, Keller menjabarkan
konsep-konsep brand yang memiliki kaitan erat dengan konsumen. The
CBBE concept approaches brand equity from the perspective of the
consumer – whether the consumer is an individual or an organization or
an existing or prospective customer (Keller, 2013:68). CBBE dalam
praktik branding membantu praktisi branding untuk melihat bagaimana
konsumen merespon sebuah brand. Dalam membentuk brand equity yang
memberikan efek yang signifikan terhadap brand, praktisi branding harus
memperhatikan beberapa konsep penting dalam CBBE, salah satunya
adalah brand knowledge. Brand knowledge oleh Keller, didefinisikan
sebagai kondisi ketika konsumen memaknai sebuah brand dan makna
tersebut tersimpan dalam memori konsumen.
Brand knowledge sangat penting bagi praktik pemasaran dalam
rangka pembuatan keputusan pembelian bagi konsumen. Memahami
konstruksi dan struktur yang ada dalam brand knowledge akan
memudahkan akademisi dan praktisi branding dan pemasaran untuk
mengetahui apa yang ada dalam pikiran konsumen ketika mereka
memikirkan sebuah brand (Keller, 1993 :2). Keller juga menjelaskan
bahwa konsep brand knowledge adalah ‘as consisiting of a brand node in
memory to which a variety of associations are linked‟ (Keller, 1993:3).
Keller menekankan bahwa konsep brand knowledge berpusat pada aspek
rasional dan emosional yang ada pada pikiran konsumen terhadap sebuah
brand, maka Keller membuat sebuah piramida brand knowledge sebagai
berikut :
19
Gambar 1.4
Piramida Brand Knowledge
Sumber :Chandon, 2003 hal. 1
Piramida brand knowledge diatas menjelaskan tahapan-tahapan sebuah
brand dalam konteks penerimaan di benak konsumen.
Brand knowledge sendiri memilik dua dimensi yang memengaruhi
respon konsumen terhadap sebuah brand yaitu brand awareness dan brand
image.
a. Brand Awareness
Brand awareness merupakan keadaan dimana konsumen dapat
mengenali sebuah brand dalam berbagai kondisi. Brand awareness
terdiri dari dua kondisi yaitu brand recognition yaitu kemampuan
konsumen untuk mengingat sebuah brand ketika diberikan paparan
yang berkaitan dengan brand tersebut, contoh : iklan atau ilustrasi logo.
Kondisi kedua adalah brand recall yaitu kemampuan konsumen untuk
mengingat kembali sebuah brand dalam kategori tertentu dengan tepat.
Menurut Keller, brand awareness sangat penting karena berperan
20
dalam pengambilan keputusan pembelian seorang konsumen terhadap
sebuah brand.
b. Brand Image
Brand image termasuk ke dalam salah satu konsep yang sangat
penting dalam dunia pemasaran. Brand image didefinisikan sebagai
persepsi konsumen tentang sebuah brand yang ditampilkan melalui
asosiasi yang dimiliki oleh brand (Keller, 1993:3). Asosiasi sebuah
brand dapat dilihat melalui tiga dimensi berikut : strength of brand
associations kekuatan sebuah asosiasi brand bergantung pada
bagaimana informasi terkait brand masuk ke dalam benak konsumen,
dan bagaimana asosiasi tersebut menjadi bagian dari citra sebuah brand
(brand image). Dimensi kedua adalah favorability of brand
associations, bagaimana sebuah brand dapat menemui kebutuhan dari
konsumen dengan atribut dan manfaat yang relevan bagi konsumen.
Dimensi ketiga adalah uniqueness of brand associations yaitu
kemampuan sebuah brand untuk menjadi unik dan memiliki perbedaan
ketika disandingkan dengan produk dengan brand lain dari kategori
yang sama.
Dalam brand knowledge kedua dimensi yaitu brand awareness dan
brand image dapat menjadi sebuah pengukuran untuk melakukan evaluasi
pada brand yang berbasis konsumen. Kedua pengukuran ini dirasa cukup
efektif apabila praktisi branding ingin mengetahui sejauh mana brand ada
di benak konsumen.
Seperti yang sudah dijelaskan pada poin logo dan slogan dalam city
brand, bahwa dalam penelitian ini konsep yang digunakan untuk
mengukur brand awareness dan brand image dari komponen logo dan
slogan „Sparkling Surabaya‟. Pengukuran brand equity dalam penelitian
ini memang ditujukan khusus untuk melihat respon penduduk terhadap
logo dan slogan „Sparkling Surabaya‟ sebagai komponen penting dalam
pelaksanaan city branding. Brand equity memang tidak bisa diartikan
21
sempit hanya sebatas logo dan slogan dari sebuah merek atau produk. Pada
penelitian ini, penjabaran tentang proses city branding sudah dilakukan
pada penelitian ini pada konsep city branding untuk menghindari
pengulangan dan dapat menangkap perspektif dari unsur city brand yang
lain maka, peneliti menggunakan pengukuran brand equity logo dan
slogan ‘Sparkling Surabaya‟.
5. Teori Komunikasi Massa : Model S-O-R
Pada kajian ilmu komunikasi, kita mengenal teori-teori yang
membahas dengan detail bagaimana komunikasi sebagai sebuah proses
transfer informasi dilakukan dan bekerja. Salah satu dari teori-teori
tersebut adalah teori komunikasi massa. Teori komunikasi massa
membahas dengan detail proses penyampaian makna dan penerimaan
makna yang terjadi pada institusi media dengan khalayak yang cukup luas.
Teori komunikasi massa juga membahas tentang efek yang disebabkan
oleh proses komunikasi terhadap masyarakat luas. Salah satu hasil
pemikiran tersebut memunculkan sebuah teori dan model yang
mengadaptasi dari kajian psikologi yaitu model S-O-R
a. Sejarah Model S-O-R
Teoris komunikasi seperti DeFleur dan Ball-Rokeach (1989)
membuat skema tentang pergerakan periode dari masa simbol ke masa
percakapan dan bahasa, diteruskan pada masa tulisan dan masa cetak.
Masa-masa sejarah komunikasi tersebut berperan dalam
perkembangan manusia selama ribuan taun. Kemudian datanglah
masa komunikasi masa paska masa komunikasi cetak yang difasilitasi
teknologi cetak dan masa jaya surat kabar yaitu pada abad ke 19.
Dilanjutkan pada tahun 1920-1930an pada saat media cetak,film dan
radio sedang berkembang cukup pesat dan terbukti dapat menjangkau
audiens yang cukup luas, ilmuwan komunikasi tertarik untuk
mempelajari efek media massa.
22
Pada rentang tahun yang sama, di era Perang Dunia pertama
teori stimulus – respon (S-R) berkembang. Teori ini muncul karena
adanya propaganda dari pemerintah kepada masyarakat melalui media
massa saat itu berupa surat kabar, dan radio. Pada masa itu,
propaganda melalui dua media tersebut terbilang sangat efektif. Kedua
media tersebut, pada masa itu dapat dengan efektif membentuk opini
publik setiap individu. Maka, muncul teori magic bullet effect untuk
menjelaskan fenomena efek media pada masa itu. Perkembangan teori
tersebut menekankan pada faktor sosial dan kognitif ketika menelaah
bagaimana sebuah pesan dari media massa, dapat memengaruhi
kebiasaan dan sikap individu (Miller, 2002:250). Fenomena efek
media pada masa PD I ini tidak bertahan lama, sehingga, ilmuwan
komunikasi mulai mencari faktor apa yang dapat mengurangi efek
media pada individu. Model S-R muncul sebagai basis teori psikologis
yang menjelaskan tentang stimulus dan respon, dalam kajian media
massa stimulus adalah pesan yang diberikan oleh komunikator pada
khalayak dan responnya berbentuk sikap, kepercayaan atau kebiasaan
individu. Pada model ini belum ada proses yang mengintervensi
terjadinya kedua proses transfer pesan tersebut.
Perkembangan teori dan model S-R ini terus dilakukan dalam
kajian psikologi dan berkaitan dengan konsep-konsep pada riset
komunikasi massa. Pada periode perkembangan yang terjadi pada
pertengahan abad ke 20 ini, model S-R mendapat tambahan O sebagai
organisme yaitu sebuah faktor yang muncul mendahului respon. Teori
S-O-R ini melihat bahwa pesan yang diberikan oleh komunikator
melalui media, akan menghasilkan respon yang berbeda-beda
bergantung dengan individu yang menerimanya.
b. Model S-O-R
Teori S-O-R merupakan basis dari kajian psikologi yang
berkaitan dengan proses aksi-reaksi yang sederhana. Stimuli (S)
23
merupakan penangkapan objek lingkungan oleh alat indera yang
diubah menjadi sensasi yaitu pola tertentu yang memiliki sifat visual,
pendengaran, rabaan atau rasa. Organism (O) adalah komunikan
berfungsi sebagai pihak yang menerima pesan dalam sebuah proses
komunikasi. Sedangkan, response ( R) adalah efek yang muncul atau
reaksi yang bersifat khusus terhadap stimulus tertentu. Respon dalam
hal ini dapat berupa perubahan sikap, tingkah laku atau cara pandang
individu terhadap sesuatu (Fisher, 1986:194). Pada organism, ada tiga
faktor yang memengaruhi yaitu individual differences, maksudnya
adalah pesan yang dibawa media sebagai stimulus, bisa jadi
memengaruhi individu yang memiliki perbedaan karakter, kebutuhan
atau sudut pandang. Faktor keuda adalah social categories with
subcultures yaitu pesan dari media yang dibuat khusus untuk sub-
kebudayaan tertentu. Apabila individu yang melihat sebuah pesan dari
media bukan merupakan anggota sub-kebudayaan tersebut, maka akan
menghasilkan reaksi yang berbeda. Faktor ketiga adalah social
relationships,yaitu hubungan sosial atau koneksi setiap individu pasti
berbeda. Dari perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan respon.
Berikut ini model teori S-O-R :
Gambar 1.5
Model S-O-R
Sumber : Effendy (2003:255)
Gambar di atas merupakan alur dari sebuah stimulus hingga
respon. Pada response, feedback dihasilkan oleh organisme yaitu individu
yang menerima pesan. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada
komunikan bisa jadi diterima atau bisa tidak diterima bergantung latar
belakang individu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Komunikasi
RESPONSE ORGANISM Perhatian
Pengertian
Penerimaan
STIMULUS
24
yang efektif berlangsung apabila ada perhatian, pengertian dan penerimaan
terhadap stimulus yang diterima oleh komunikan. Perbedaan perhatian,
pengertian dan penerimaan akan menimbulkan perbedaan respon tiap
individu.
Sesuai dengan rumusan masalah dari penelitian ini yaitu melihat
hubungan korelasional antara city branding „Sparkling Surabaya‟ dan
consumer-based brand equity (CBBE) „Sparkling Surabaya‟. Maka dapat
terlihat bahwa ada proses komunikasi yang terjadi yaitu city branding
„Sparkling Surabaya‟ yang dalam penelitian ini dilihat dari pelayanan
publik, komunikasi pemasaran city brand, aksesibilitas fasilitas,
infrastruktur publik, dan respon yang diberikan oleh masyarakat Kota
Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian ini yaitu CBBE
„Sparkling Surabaya‟ yang terdiri dari brand awareness dan brand image
dari city brand „Sparkling Surabaya‟. Organisme dalam penelitian ini
adalah sikap penduduk Kota Surabaya terhadap city brand „Sparkling
Surabaya‟ yang digambarkan dalam perhatian, pengertian dan penerimaan
penduduk terhadap city brand „Sparkling Surabaya‟. Maka, teori dan model
S-O-R digunakan untuk melihat alur hubungan antara stimulus dan respon
masyarakat.
F. Kerangka Konsep
Dengan pemaparan kerangka teori yang sudah dijabarkan
sebelumnya, maka peneliti akan menentukan batasan konsep yang akan
digunakan dalam penelitian ini yaitu karakter masyarakat kota yang dalam
penelitian ini dipersempit menjadi city branding dan Consumer-based
brand equity „Sparkling Surabaya‟.
Konsep city branding yang akan digunakan dalam penelitian ini
menggunakan konsep model milik Hankinson yaitu konsep relational
network brand yang memiliki empat elemen yang mendukung brand inti
yaitu city brand „Sparkling Surabaya‟ dalam konsep ini peneliti hendak
mengetahui pengalaman masyarakat terhadap komponen fisik dan
25
psikologis Kota Surabaya terkait dengan city brand „Sparkling Surabaya‟
yang menjadi core brand dalam konsep ini. Terdapat empat komponen
dalam konsep ini yang akan diturunkan dalam konsep operasional yaitu
consumer relationship , primary service relationshi, media relationship dan
brand infrastructure relationship. Pada konsep ini, peneliti ingin melihat
pengalaman penduduk Kota Surabaya ketika menggunakan fasilitas yang
tersedia di Kota Surabaya dan untuk mengetahui apakah Pemerintah
Surabaya berusaha mencitrakan Sparkling Surabaya melalui penyediaan
fasilitas, kampanye merek dan pembangunan fisik kota.
Selanjutnya, konsep consumer-based brand equity (CBBE)
digunakan untuk mengetahui bagaimana penduduk Kota Surabaya
merespon city brand „Sparkling Surabaya‟ terutama pada logo dan slogan
„Sparkling Surabaya‟. Logo dan slogan seperti yang sudah disebutkan
dalam kerangka teori merupakan salah satu unsur yang penting dalam
implementasi city branding karena logo dan slogan merupakan visualisasi
dari citra yang hendak di munculkan oleh sebuah kota. Pada konsep CBBE
dalam penelitian ini, peneliti lebih berfokus pada logo dan slogan untuk
melihat bagaimana city brand „Sparkling Surabaya‟ diasosiasikan oleh
penduduk Kota Surabaya. Konsep CBBE terdiri dari brand awareness yang
akan mengetahui bagaimana kesadaran merek masyarakat Kota Surabaya
terhadap city brand „Sparkling Surabaya‟. Dan brand image yaitu
bagaimana asosiasi city brand „Sparkling Surabaya‟ dalam benak
masyarakat Kota Surabaya.
Berdasarkan kerangka pemikiran dan teori yang sudah dijabarkan,
berikut merupakan skema penelitian yang akan menggambarkan alur dari
penelitian ini:
26
Gambar 1.6
Kerangka Konsep
Skema penelitian diatas menjelaskan variabel yang akan digunakan
dalam penelitian ini. Terdapat tiga variabel yaitu variabel independen yang
dalam penelitian ini adalah city branding „Sparkling Surabaya‟ , variabel
organisme yang bersifat variabel anteseden yaitu sikap penduduk terhadap
‘Sparkling Surabaya‟ dan variabel dependen yaitu consumer based brand
equity dari city brand „Sparkling Surabaya‟ tersebut. Penjelasan yang lebih
mendetail terkait dengan kerangka konsep dari penelitian ini akan
dijelaskan pada tabel dibawah ini :
STIMULUS
City Branding „Sparkling
Surabaya‟
Consumer groups
relationship
Primary service
relationship
Media and
communication
relationship
Brand infrastructure
relationship
RESPONSE
Consumer-based brand
equity
Brand awareness
Brand image
ORGANISM
Sikap Penduduk terhadap
„Sparkling Surabaya‟
Perhatian
Pengertian
Penerimaan
27
Tabel 1.1
Operasionalisasi Konsep
No Konsep Variabel Dimensi Item Skala
Stimulus
City
Branding
Consumer
Relationship
- Supportive
attitude
Likert
Primary Service
Relationship
- Leisure
organization
service
- Brand value
communication
Likert
Media
Relationship
- Brand marketing
communication
- Brand exposure
Likert
Brand
infrastructure
relationship
- Accessible
facilities within
the city
- Hygiene within
the city
Likert
Organism
Sikap
Penduduk
Kota
Surabaya
Perhatian - Perhatian selektif
- Perhatian terbagi
- Perhatian terus-
menerus
Likert
Pengertian - Minat
- Pengalaman
Likert
Penerimaan - Penerimaan
positif
- Penerimaan
negatif
Likert
Response
Consumer-
Based Brand
Equity
Brand awareness - Brand
recognition
Likert
28
- Brand recall Likert
Brand Image - Types of brand
association
Likert
- Strenghth of
brand association
Likert
- Favorability of
brand association
Likert
- Uniqueness of
brand association
Likert
29
G. Definisi Operasional
Variabel merupakan konsep dalam bentuk konkret dan konsep yang
berada pada tingkat yang dioperasionalkan serta mudah untuk dijadikan acuan
yang mudah diidentifikasi,diurut, diukur, diobservasi dan diklasifikasi (Mayer,
1984:215). Penelitian ini terdiri dari dua variabel yang akan diteliti, berikut
variabel serta dimensi-dimensi yang akan membantu peneliti dalam melakukan
penelitian.
1. Dimensi city branding „Sparkling Surabaya‟ :
Dimensi city branding „Sparkling Surabaya‟ merupakan variabel
independen. Berikut dimensi yang digunakan untuk mengukur variabel
(X2) ini :
a. Consumer groups relationship (X2.1): dimensi ini digunakan
untuk mengetahui sikap suportif aparatur kota Surabaya dengan
membawa nilai-nilai Kota Surabaya dalam pelayanannya
kepada masyarakat Kota Surabaya.
b. Media relationship (X2.3) : dimensi ini digunakan dalam
penelitian untuk mengetahui paparan city brand melalui
kegiatan komunikasi pemasaran city brand kepada masyarakat.
c. Primary service relationship (X2.2): dimensi ini digunakan
untuk mengetahui pendapat masyarakat terkait pelayanan
fasilitas kegiatan waktu senggang masyarakat seperti destinasi
wisata dan fasilitas hiburan di Kota Surabaya.
d. Brand infrastructure relationship (X2.4) : dimensi ini
digunakan untuk mengetahui pendapat masyarakat Kota
Surabaya terkait aksesibilitas infrastruktur kota dan kebersihan
Kota Surabaya.
30
2. Dimensi Sikap penduduk Kota Surabaya terhadap „Sparkling
Surabaya‟
Dimensi ini merupakan variabel anteseden (X1). Variabel
anteseden merupakan variabel yang mendahului hubungan antara
variabel independen (X) dan variabel dependen (Y). Variabel
anteseden dalam penelitian ini merupakan variabel intervening yaitu
variabel yang memediasi hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen :
a. Perhatian (X1.1) : merupakan proses secara sadar sejumlah
kecil informasi dari sejumlah besar informasi yang tersedia.
Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan serta proses
kognitif lainnya. Perhatian diukur dengan item : perhatian
selektif, perhatian terbagi dan perhatian terus menerus.
b. Pengertian (X1.2) adalah tahap dimana masyarakat
memahami stimulus yang diberikan yaitu city brand
„Sparkling Surabaya‟ . Pengertian terjadi ketika responden
memberikan perhatian pada stimulus. Pengertian diukur
dengan item : minat dan pengalaman.
c. Penerimaan (X1.3) adalah tahap dimana masyarakat
mengambil kesimpulan pada paparan city brand „Sparkling
Surabaya‟ yang diberikan. Penerimaan diukur dengan item :
penerimaan positif dan penerimaan negatif.
3. Dimensi consumer-based brand equity (CBBE)
Consumer-based brand equity dalam penelitian ini menjadi
variabel dependen. Variabel dependen merupakan variabel yang
diduga sebagai akibat atau yang dipengaruhi oleh variabel yang
mendahuluinya. Pada penelitian ini, dimensi ini mencakup awareness
dan kemampuan masyarakat mengasosiasikan logo dan slogan city
31
brand „Sparkling Surabaya‟ pada kota Surabaya. Seperti yang sudah
dijelaskan pada kerangka teori sebelumnya, bahwa logo dan slogan
merupakan brand identity dari sebuah city branding yang dapat
memunculkan persepsi dari target pasar, dalam penelitian ini yaitu
penduduk Kota Surabaya. Berikut ini beberapa dimensi yang
digunakan dalam mengukur variabel CBBE (Y) :
a. Brand awareness (Y.1): dimensi ini digunakan untuk
mengetahui kepekaan masyarakat Kota Surabaya terhadap city
brand „Sparkling Surabaya‟. Item yang diukur dalam dimensi
ini adalah brand recognition dan brand recall logo dan slogan
city brand „Sparkling Surabaya‟ di benak masyarakat Kota
Surabaya.
b. Brand image (Y.2): dimensi ini digunakan untuk mengetahui
gambaran masyarakat terhadap city brand „Sparkling
Surabaya‟ serta asosiasi-asosiasi dari city brand yang berkaitan
seperti lanskap, destinasi wisata dan atraksi wisata. Selain itu
juga mengetahui kekuatan asosiasi city brand, rasa kepemilikan
masyarakat terhadap city brand dan keunikan city brand. Brand
image memiliki empat item yaitu types of brand association,
strenght of brand association, favorability dan uniqueness of
brand association.
H. Hipotesis
Dari kerangka konsep yang disusun diatas maka, peneliti merumuskan
hipotesis untukpenelitian ini sebagai berikut:
H0 : tidak ada hubungan antara city brand dan consumer-based brand
equitydari city brand „Sparkling Surabaya‟.
32
Ha : terdapat hubungan antara city brand dan consumer-based brand equity
dari city brand „Sparkling Surabaya‟.
I. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode
survei eksplanatif untuk mengetahui situasi atau kondisi tertentu yang sedang
terjadi. (Kriyantono, 2006 : 60). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
survei eksplanatif bersifat asosiatif untuk mengetahui hubungan antara
variabel city branding dan consumer-based brand equity dari „Sparkling
Surabaya‟. Penelitian ini juga melibatkan variabel intervening yaitu sikap
penduduk Kota Surabaya terhadap „Sparkling Surabaya‟
Metode survei peneliti anggap sesuai dengan penelitian ini karena
peneliti ingin mengetahui adakah hubungan antara kedua variabel yang telah
disebutkan. Penelitian ini ingin membuktikan hubungan variabel yang bersifat
asimetris antara disposisi dan respon. Posisi sikap penduduk Kota Surabaya
merupakan disposisi karena berasal dari dalam diri penduduk yang kemudian
memengaruhi variabel respon yaitu brand knowledge mereka terhadap city
brand „Sparkling Surabaya‟
J. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau
subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari, kemudian ditarik kesimpulan
(Sugiyono, 2002:55) . Populasi dalam sebuah penelitian dapat
berbentuk apa saja seperti orang, kata-kata, organisasi, simbol-simbol
dan lainnya.
33
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan populasi
masyarakat Surabaya yang berjumlah 2.950.251 jiwa (Pemkot
Surabaya:2016). Jumlah ini merupakan jumlah masyarakat Surabaya
yang terdaftar menetap di Kota Surabaya. Karena jumlah ini cukup
besar maka peneliti akan mempersempit populasi menjadi sampel
penelitian yang akan dirumuskan sebagai berikut:
b. Sampel
Dengan populasi yang cukup besar untuk melakukan penelitian
ini, sangat sulit bagi peneliti untuk mengambil data dalam lingkup
yang sangat luas. Maka dari itu, peneliti akan menggunakan sampel
yang bersifat representatif dari populasi tersebut. Sampel representatif
merupakan cerminan semua unsur dalam populasi secara proporsional
atau memberikan kesempatan yang sama pada semua unsur populasi
untk dipilih (Kriyantono , 2006:154). Peneliti menggunakan rumus
Slovin dalam menentukan sampel penelitian ini.
n =𝑁
1 + 𝑁𝑒2
Keterangan :
n = Ukuran sampel
N = Ukuran populasi
e = kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan
pengambilan sampel yang dapat ditolerir dalam
penelitian ini adalah 10%
Dengan menggunakan rumus slovin dan tingkat kelonggaran
sebesar 10% dan populasi sebesar 2.950.251 jiwa diperoleh hasil
34
100. Maka, peneliti akan menyebarkan kuesioner kepada 100
orang yang dibagi rata dalam lima wilayah di Kota Surabaya
yaitu Surabaya Pusat, Surabaya Selatan, Surabaya Utara,
Surabaya Timur dan Surabaya Barat.
K. Teknik pengambilan sampel
Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampling purposif
untuk mengambil sampel yang sesuai dengan kriteria penelitian. Teknik
sampling purposif dirasa sesuai untuk penelitian ini karena agar penelitian ini
tetap terarah dan tepat sasaran, peneliti menentukan beberapa kriteria
responden yaitu penduduk Kota Surabaya yang sudah menetap minimal 6
tahun di Kota Surabaya. Kriteria kedua adalah penduduk yang berinteraksi
secara langsung dengan Kota Surabaya, dalam hal ini, baik penduduk yang
memiliki KTP Surabaya dan yang tidak memiliki KTP Surabaya yang
berstatus penduduk komuter yang pulang dan pergi dari dan ke Kota Surabaya.
Kriteria selanjutnya adalah penduduk yang memiliki pengetahuan tentang
branding terutama city brand Kota Surabaya.
L. Data dan Teknik Pengumpulan Data
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden.
Penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan data melalui kuesioner
atau angket. Menurut Arikunto dalam Hamdi (2015:49) angket atau kuesioner
adalah penyelidikan mengenai suatu masalah yang banyak menyangkut
kepentingan banyak orang dilakukan dengan cara mengedarkan suatu daftar
pertanyaan, diajukan secara tertulis kepada sejumlah objek penelitian untuk
mendapat jawaban atau tanggapan tertulis seperlunya.
Sedangkan data sekunder dari penelitian ini diperoleh melalui studi
kepustakaan dengan mengumpulkan informasi mengenai teori dan konsep
35
terkait dengan topik penelitian. Studi pustaka dalam penelitian ini bersumber
dari literatur baik buku, jurnal maupun artikel yang diperoleh melalui internet.
M. Uji Validitas
Uji validitas dimaksudkan untuk menyatakan sejauh mana sebuah
instrumen penelitian mampu mengukur apa yang hendak diukur dalam sebuah
penelitian (Kriyantono, 2006:142). Uji validitas juga menentukan kualitas
instrumen riset melalui kesahihan data yang dikumpulkan saat riset.
Pada riset kuantitatif, uji validitas dikelompokkan dalam beberapa
jenis yaitu: validias konstruk, validitas isi, validitas prediktif, validitas
eksternal dan validitas rupa (Singarimbun & Effendi , 1989 : 124). Penelitian
ini akan menggunakan validitas konstruk untuk menguji sampai sejauh mana
instrumen penelitian ini dapat mengukur konsep yang hendak diukur. Validitas
konstruk dilakukan dengan cara mencari definisi-definisi konsep yang
dikemukakan para ahli yang tertulis dalam literatur (Singarimbun &
Effendi,1989:125).
Uji validitas dilakukan terhadap 30 kuesioner dengan menggunakan
analisis pearson test. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan nilai
angka rhitung dengan nilai korelasi table (rtabel), dimana derajat kebebasan
n-2. Dengan sampel sejumlah 30 responden, maka nilai derajat kebebasan
(dk) = 28. Tingkat keyakinan dalam pengujian ini sebesar 95%, sehingga
pengujian ini memiliki toleransi kesalahan (α) sebesar 5% maka didapatkan
nilai rtabel adalah 0.239. Apabila angka rhitung > 0.239 maka item kuesioner
dinyatakan valid, namun jika, angka rhitung ≤ 0.239 maka item kuesioner
dinyatakan gugur atau tidak valid.
Hasil dari analisa uji validitas yang dapat dilihat pada lembar lampiran
(Lampiran 1) menunjukkan nilai koefisien korelasi setiap item pertanyaan >
0.239, dengan nilai signifikansi. Dengan demikian maka seluruh item
pernyataan dalam kuesioner ini dinyatakan valid.
36
N. Uji realibilitas
Uji realibilitas merupakan kemampuan sebuah instrument penelitian
menunjukkan kestabilan dan konsistensi dalam mengukur konsep. Pengujian
realibiltas kuesioner dalam penelitian ini menggunakan nilai Cronbach
Alpha, dimana ketentuannya jika nilai cronbach alpha > 0.6 maka kuesioner
dinyatakan reliabel. Berikut rumus yang digunakan dalam menghitung nilai
cronbach alpha:
Keterangan:
r = koefisien realibilitas instrument (cronbach alpha)
k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
= total varians butir
= total varians
Dari hasil pengujian realibilitas kuesioner penelitian ini, diperoleh hasil
yang tertera pada tabel berikut :
Tabel 1.2
Uji Realibilitas Kuesioner
Cronbach Alpha Nilai kritis Keterangan
0.751 0.6 Reliabel
Tabel di atas menunjukkan besarnya koefien Cronbach Alpha pada
semua variable penelitian adalah > 0.6 , sehingga dapat disimpulkan bahwa
item-item pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini dinyatakan reliabel.
37
Realibilitas dapat diukur melalui beberapa cara, salah satunya dengan
internal consistencyrealibility yaitu dengan menentukan apakah dua atau lebih
pengukuran atas suatu konsep teoritis yang diambil pada suatu periode waktu
yang sama atas suatu objek akan memberikan hasil yang sama (Rahayu ,
2013:68)
O. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dari penelitian ini menggunakan teknik analisis
statistik. Penelitian ini merupakan penelitian berjenis ekplanatif dengan
mencari hubungan antara dua variabel yang harus diuji. Sehingga analisis data
untuk penelitian ini menggunakan analisis multivariat. Analisis statistik yang
digunakan adalah analisis statistik bivariat untuk mengukur dua variabel yang
menjadi variabel pokok, dan menentukan sifat hubungan dari kedua variabel
tersebut. Dengan kemungkinan bahwa variabel tersebut memiliki hubuan
simetris yaitu variabel yang memiliki hubungan namun tidak saling
memengaruhi satu sama lain (Kriyantono, 2006:168).
Teknik analisis data dari penelitian ini menggunakan teknik analisis
statistik untuk membantu peneliti membuktikan hipotesis yang telah disusun.
Dengan menggunakan analisis hubungan untuk melihat derajat hubungan
diantara dua variabel. Sedangkan rumus statistik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rumus Pearson‟s correlation (product moment). Teknik
ini digunakan tanpa melihat apakah suatu variabel tertentu tergantung pada
variabel lainnya (Kriyantono, 2006:175). Rumus ini dirasa sesuai untuk
analisis data penelitian yang memiliki hubungan variabel yang bersifat
simetris. Selain itu, data yang telah didapat akan diolah dengan analisis regresi
yaitu mencari hubungan antar variabel dari penelitian ini. Perbedaan analisis
pearson dengan regresi adalah jika pearson mencari derajat kekuatan maka
analisis regresi digunakan untuk mencari bentuk hubungan dua variabel atau
lebih dalam bentuk fungsi atau persamaan (Mustikoweni, 2002:1). Penelitian
38
ini juga menggunakan analisis mean untuk mencari rerata jawaban responden,
analisis ini membantu peneliti untuk melihat kecenderungan responden ketika
menjawab pernyataan-pernyataan yang diberikan.
Pengujian variabel intervening juga digunakan dalam penelitian ini
untuk menguji pengaruh variabel anteseden yang ada dalam penelittian ini.
Uji variabel intervening akan menghasilkan analisis jalur yang membantu
peneliti menjelaskan alur hubungan variabel yang ada dalam penelitian ini.
Teknik analisis data yang terakhir digunakan adalah analisis tabulasi silang
untuk melihat hubungan antara dua variabel atau dua item tertentu yang ada
dalam penelitian ini. Semua teknik analisis data tersebut, digunakan untuk
membantu peneliti menganalisis data sehingga didapatkan hasil analisis yang
sesuai dengan tujuan penelitian.