36
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 9 September 2001, terjadi sebuah peristiwa besar yakni ”tragedi World Trade Center”. Saat itu gedung World Trade Center atau lebih dikenal dengan gedung WTC yang terletak di Jantung kota New York Amerika Serikat ditabrak oleh dua buah pesawat komersil sarat penumpang. Media Amerika mengungkapkan bahwa ribuan orang tewas terjebak di dalam gedung tersebut. Selain itu pada saat yang hampir bersamaan gedung pertahanan Amerika, Pentagon, juga turut menjadi sasaran pengeboman. 1 Berbagai media massa di seluruh dunia digemparkan oleh peristiwa tersebut. Selama kurun waktu berbulan-bulan kemudian, bahkan peristiwa itu masih tetap menjadi headline di pemberitaan. Simpang-siur mengenai siapa pelaku pengeboman tersebut akhirnya berakhir setelah pemerintah Amerika melalui presidennya, George W. Bush menyatakan bahwa pelaku teror tersebut adalah Al Qaeda yang dipimpin oleh Osama Bin Laden. Selanjutnya Amerika melakukan segala cara untuk memerangi apa yang mereka anggap sebagai terorisme. Termasuk salah satunya adalah invasi ke Afganistan. 2 Belum selesai berita mengenai teror di WTC, di Indonesia terjadi peristiwa meledaknya dua buah bom secara berurutan di jalan Legian, Kuta, Bali, tepatnya di depan Sari Club Cafe dan Paddy’s Cafe. Peristiwa itu terjadi pada Sabtu tengah malam tanggal 12 Oktober 2002. Saat itu para wisatawan 1 Seusai Selasa Hitam”, MBM Tempo, 24 September 2001 2 ,”Sebelum Perang Dimulai…” MBM Tempo, 24 September 2001 BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah/Dampak...toko/warung/rumah penduduk rusak, 21 kendaraan roda empat hangus, enam sepeda motor terbakar, dan empat gardu listrik meledak

Embed Size (px)

Citation preview

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada tanggal 9 September 2001, terjadi sebuah peristiwa besar

yakni ”tragedi World Trade Center”. Saat itu gedung World Trade Center atau

lebih dikenal dengan gedung WTC yang terletak di Jantung kota New York

Amerika Serikat ditabrak oleh dua buah pesawat komersil sarat penumpang.

Media Amerika mengungkapkan bahwa ribuan orang tewas terjebak di dalam

gedung tersebut. Selain itu pada saat yang hampir bersamaan gedung

pertahanan Amerika, Pentagon, juga turut menjadi sasaran pengeboman.1

Berbagai media massa di seluruh dunia digemparkan oleh peristiwa

tersebut. Selama kurun waktu berbulan-bulan kemudian, bahkan peristiwa itu

masih tetap menjadi headline di pemberitaan. Simpang-siur mengenai siapa

pelaku pengeboman tersebut akhirnya berakhir setelah pemerintah Amerika

melalui presidennya, George W. Bush menyatakan bahwa pelaku teror

tersebut adalah Al Qaeda yang dipimpin oleh Osama Bin Laden. Selanjutnya

Amerika melakukan segala cara untuk memerangi apa yang mereka anggap

sebagai terorisme. Termasuk salah satunya adalah invasi ke Afganistan.2

Belum selesai berita mengenai teror di WTC, di Indonesia terjadi

peristiwa meledaknya dua buah bom secara berurutan di jalan Legian, Kuta,

Bali, tepatnya di depan Sari Club Cafe dan Paddy’s Cafe. Peristiwa itu terjadi

pada Sabtu tengah malam tanggal 12 Oktober 2002. Saat itu para wisatawan

1 ”Seusai Selasa Hitam”, MBM Tempo, 24 September 2001 2,”Sebelum Perang Dimulai…” MBM Tempo, 24 September 2001

BAB I

2

yang kebanyakan turis asing sedang menikmati hiburan di kedua klub

tersebut. Akibat dari ledakan itu 185 nyawa melayang, sedangkan yang

mengalami luka-luka berat maupun ringan tercatat 325 orang. Sementara 450

toko/warung/rumah penduduk rusak, 21 kendaraan roda empat hangus, enam

sepeda motor terbakar, dan empat gardu listrik meledak.

Pada saat yang hampir bersamaan, berselang 10 menit, tepatnya

pukul 23.15 sebuah bom meledak di Renon, beberapa meter dari kantor

Konsulat Amerika Serikat. Dalam kasus ini tidak ada korban jiwa. Itulah

catatan kelabu Tragedi Kuta, kasus peledakan bom pertama di Bali dan

terbesar di negeri ini. (Bali Post, Selasa, 12/11/2002).

Mungkin tidak ada yang menyangka bom tersebut akan terjadi di

Bali. Sebab sebelumnya Bali dianggap sebagai The safest place in the world

atau tempat paling aman di dunia, bahkan dibanding Jakarta, London atau

New York sekalipun. Banyaknya korban tewas dari kalangan turis

mancanegara membuat kasus ini semakin pelik, sebab nama Indonesia di

hadapan dunia pun turut tercoreng.3

Setelah terjadinya peristiwa tragis tersebut, berbagai penilaian atau

tanggapan bermunculan di media-media cetak maupun elektronik, dan

menjadi pembicaraan khalayak ramai di dalam maupun di luar negeri. Ada

yang menganggap, bahwa ledakan bom di Bali itu adalah rekayasa AS yang

bermaksud untuk menekan pemerintah Indonesia agar menangkap orang Islam

3 Kasus Peledakan Bom di Bali: Terorisme, “Islam Disudutkan”, “Pro-Bush-Amerika” dan “Ditunggangi TNI”, A.Supardi Adiwidjaya

3

yang dituduh terkait atau ikut membina kelompok teroris Islam yang sudah

ditangkap aparat keamanan di Malaysia, Singapura dan Filipina, sejak akhir

tahun 2001.4 Apalagi mengingat rentang waktu yang tidak terlalu jauh antara

peristiwa Bom Bali dengan tragedi WTC.

Ada yang berpendapat bahwa ledakan di Legian adalah perbuatan

CIA (Central Intelligence Agency) dengan maksud “mengadu domba rakyat

Indonesia” agar Indonesia “tetap dalam cengkeraman imperialisme ekonomi

Amerika Serikat”. 5

Jadi seperti halnya teror di WTC, pemerintah Indonesia yang saat

itu dipimpin oleh Presiden Megawati mengarahkan tuduhan kepada Abu

Bakar Ba’asyir yang dianggap sebagai pimpinan dari Jamaah Islamiyah.

Sebelum melakukan penangkapan tersebut, pemerintah Indonesia segera

mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

tentang Antiterorisme. Perpu ini oleh banyak pihak disinyalir merupakan

“pesanan” dari pemerintah Amerika yang memang sedang gencar memerangi

terorisme pasca tragedi WTC. Perpu tersebut juga lah yang tak lama kemudian

menjadi dasar pembentukan Densus 88, pasukan antiterorisme.6

Pada saat itu, pemberitaan media massa di seluruh dunia setiap hari

mengupas mengenai terorisme. Di media Amerika terutama, maraknya

pemberitaan tentang peristiwa 11 September di berbagai media menimbulkan

asumsi di kalangan masyarakat Amerika bahwa otak dibalik peristiwa tragis

4 “Mungkinkah CIA-Amerika Serikat Dalang Teror Bom di Bali Indonesia?” oleh Abdul Qadir Djaelani, anggota DPR-RI 5 “Kasus Ba’asyir dan Keputusan Asing” oleh Novel Ali, “Suara Merdeka”, Sabtu, 2 Nopember 2002 6 ”Osama Diburu Mega Dirayu”,www.tempo-interaktif.com, 24 Oktober 2001

4

tersebut adalah Al Qaeda. Padahal, saat itu badan intelejen Amerika CIA

belum memiliki bukti yang cukup kuat yang menyatakan hal tersebut. Latar

belakang Al Qaeda yang beragama Islam, turut disangkutpautkan juga oleh

media Amerika dengan motif teror terhadap mereka. Seperti kita tahu, saat itu

Amerika juga turut andil mendukung Israel melawan Palestina, yang sarat

dengan muatan konflik antaragama. Sebelumnya juga tidak bisa kita lupakan

tentang pecahnya perang Teluk, serta perang Chechnya melawan Bosnia pada

tahun 1991.7

Berbagai pemberitaan media yang secara langsung maupun tidak

langsung telah membentuk opini publik yang menyudutkan umat Islam secara

keseluruhan. Salah satu prinsip opini publik menurut Rockomy (1967:17)

antara lain beberapa diantaranya adalah opini publik sangat peka terhadap

peristiwa penting.8 Dalam hal ini peristiwa pentingnya adalah tragedi WTC 11

September 2001 dan Bom Bali pada 12 Oktober 2002.

Hal tersebut ternyata membawa dampak terhadap umat Islam di

seluruh dunia. Berbagai perlakuan diskriminasi melanda umat Islam. Mulai

dari deportasi, pelarangan pemakaian simbol keagamaan seperti jilbab,

jenggot dan sebagainya, intimidasi dan berbagai perlakuan lain. Bahkan

sampai muncul istilah “Islamophobia” atau ketakutan yang berlebihan

terhadap Islam. Seperti salah satu contoh seorang pegawai bandara Muslim di

Perancis yang menghindari musholla karena takut dicurigai sebagai teroris,9

7 ”Seusai Selasa Hitam”, MBM Tempo, 24 September 2001 8 Kustadi Suhandang, Public Relations Perusahaan, Nuansa Bandung 2004, hal 67 9http:// www.eramuslim.com, 1 Mei 2006, Takut Dicurigai Sebagai Teroris, Pekerja Muslim di Bandara Perancis Hindari Musholla

5

seorang bocah berumur tiga tahun yang dilarang memasuki wilayah Amerika

serikat oleh pihak imigrasi karena memiliki kemiripan nama dengan seorang

pejuang Hamas di Palestina, yakni Ahmad Yasin.10 Sejumlah berkas visa yang

dibawa salah seorang keluarganya di Maroko selama dua tahun ditahan oleh

petugas imigrasi AS. Itu sebabnya para tokoh Islam di AS melalui organisasi

CAIR (Council on American Islamic Relations) meminta agar para petugas

imigrasi AS segera menjelaskan masalah ini. Bahkan selain itu pula, di

Perancis dibuka sebuah Institusi Islam untuk melawan Islamophobia. Institusi

ini Institut itu didirikan untuk menghadapi meningkatnya Islamophobia dan

untuk menjaga kualitas para imam dan da'i.11

Sementara itu, majalah TEMPO edisi minggu ke-2 November 2002

juga turut memuat mengenai dampak berita terorisme di dunia internasional.

Dalam tulisan yang bertajuk “Maju Kena Mundur Kena”, diceritakan akibat

dari berita terorisme yang dialami oleh warga Indonesia yang bertandang ke

luar negeri. Lima warga negara Indonesia (termasuk seorang wartawan Tempo

News Room), yang mendapat undangan resmi dari pemerintah Meksiko untuk

mengikuti pelatihan Leaderships for Environment and Development di

Guadalajara, diusir petugas imigrasi Kota Meksiko.

Di San Francisco, beberapa mahasiswa Indonesia mengaku

”mendapat perhatian lebih” dari orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya

begitu pemerintah AS mengumumkan secara resmi bahwa Jamaah adalah

kelompok teroris yang bersarang di Indonesia. ”Saya bolak-balik ditanyai apa

10 Ibid; 1 Juli 2007, Bocah Berumur Tiga Tahun Bernama Ahmad Yasin Dilarang Masuk AS 11 ibid; 16 Juni 2007, Perancis Buka Institut Islam Pertama untuk Lawan Islamophobia

6

itu Jamaah Islamiyah, apakah itu semacam cabang Al-Qaidah,” ujar Shanti

(bukan nama sebenarnya) melalui sambungan telepon internasional kepada

TEMPO. Pengalaman Shanti mirip dengan yang dialami beberapa warga Arab

di kota itu selepas peristiwa pengeboman WTC: rumah mereka dicorat-coret

orang tak dikenal dengan maki-makian kasar.”12

Contoh di atas adalah dampak global dari dua peristiwa penting

yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan dampak lokal bagi Indonesia

juga tak kalah besar. Hasil analisa Bandan Intelejen yang menyebutkan

keterkaitan antara pelaku teror Bom Bali dengan Al Qaeda membuat wacana

yang berkembang di dunia menyebutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu

sarang teroris.

Apalagi menyusul pemberitaan majalah Time edisi 23 September

2002, yang menyebut-nyebut keterlibatan pendiri Al-Mukmin, Abu Bakar

Ba'asyir, dalam jaringan teorisme internasional dan Jamaah Islamiyah—

organisasi yang oleh PBB kemudian "dinobatkan" sebagai organisasi teroris

dunia—Ngruki menjadi banyak dikunjungi wartawan. Maklum, Ngruki

kemudian dianggap sebagai salah satu koneksi penting jaringan Jamaah

Islamiyah. Bunyi isu itu: mereka melatih santrinya dengan latihan militer

sehingga tempat itu menjadi lokasi persemaian yang subur bagi gerakan Islam

radikal di Asia Tenggara. Bahkan semenjak hari itu, siang-malam puluhan

12 TEMPO edisi minggu ke-2 November 2002

7

kamera televisi, video, dan foto menyisir setiap sudut dan pojok pondok. Dari

pintu gerbang, ruang belajar, asrama, hingga dapur.13

Asumsi bahwa Indonesia adalah sarang teroris pun semakin

berkembang. Dalam lingkup kecilnya yakni wilayah Ngruki, yang notabene

merupakan lokasi Pondok Pesantern Al Mukmin pimpinan Abu Bakar

Ba’asyir. Ditambah lagi penangkapan beberapa tersangka lain yang

diberitakan pernah menimba ilmu di kedua pesantren tersebut, yakni Imam

Samodra dan Ali Ghufron. Hal ini semakin menguatkan wacana bahwa ketika

disebutkan nama Ngruki, maka masyarakat akan mengidentikkan dengan

peristiwa terorisme.

Apabila dalam lingkup global berita mengenai terorisme mampu

menimbulkan dampak seperti diskriminasi, deportasi dan sebagainya, bukan

tidak mungkin jika dalam lingkup lokal yakni terhadap penduduk sekitar

Pondok Pesantren tersebut pun juga akan mengalami perlakuan yang sama.

Hal inilah yang akan dikaji lebih jauh oleh peneliti.

B. Perumusan Masalah

Bedasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat

dirumuskan masalah yakni;

Bagaimanakah dampak dari berita terorisme terhadap masyarakat

sekitar Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo?

13 Majalah TEMPO edisi minggu ke-3 Desember 2003, Hari-Hari Menangguk Ilmu di Ngruki

8

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak berita

terorisme terhadap masyarakat sekitar Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki

Sukoharjo.

D. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian diperlukan suatu kerangka teori, karena

dengan teori peneliti akan mencoba menerangkan sosial atau fenomena alami

yang menjadi pusat perhatiannya.14

Hadari Nawawi mengatakan bahwa kerangka teori disusun agar

penelitian menjadi jelas titik tolak atau landasan berpikir guna memecahkan

atau menyoroti permasalahannya.15 Dalam kerangka teori terdapat pokok-

pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana permasalahan akan

diteliti.

Salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi adalah

kebutuhan akan komunikasi dengan pihak lain. Sedemikian pentingnya

kebutuhan komunikasi bagi manusia sehingga beragam definisi dan pengertian

mengenai komunikasi telah disampaikan oleh para ahli.

Untuk memberikan pendekatan terhadap teori yang akan digunakan

maka definisi tertentu layak digunakan. Berelson dan Steiner mendefinisikan

komunikasi sebagai proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian

14 Masri Singarimbun, dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, LP3S, Jakarta, 1989 : hal 37 15 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1985; hal 39 - 40

9

dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar-

gambar, angka-angka dan lain-lain.16

Dari definisi tersebut ada tiga pikiran utama dalam definisi

komunikasi;

1. Proses komunikasi mengharuskan sebuah proses. Komunikasi

hanya bisa terjadi jika terdapat proses penyampaian dari pengirim

(sender) kepada penerima (receiver).

2. Pesan; dalam proses komunikasi pesan merupakan inti dari

komunikasi. Pesan bisa berupa informasi, ide, gagasan, emosi, dan

lain-lain.

3. Simbol; merupakan representasi pesan. Pesan yang masih abstrak

diwujudkan dalam bentuk simbol. Tujuannya agar pesan yang

disampaikan bisa dipahami oleh orang lain. Simbol merupakan

kesepakatan bersama (konvensi) dan harus dimengerti oleh pihak

yang melakukan komunikasi.

Menurut Onong U. Effendi, ketika pesan yang disebut picture in

our head oleh Walter Lippman ini “dikemas” oleh lambang atau simbol maka

proses tersebut disebut encoding. Hasil encoding kemudian ditransmisikan

oleh komunikator kepada komunikan. Oleh komunikan, encoding secara

interpersonal dipahami. Usaha memahami ini ibarat membuka kembali

16 Sasa Suarsa Sandjaya, Pengantar Komunikasi, Universitas Terbuka Press, Jakarta, 1996; hal 6

10

kemasan tersebut. Proses pembukaan kembali pesan tersebut disebut

encoding.17

Bagaimana penerimaan khalayak mengenai suatu pesan yang

dikirimkan oleh komunikan masing-masing berbeda. Perbedaan inilah yang

kemudian akan mempengaruhi persepsi yang terbentuk. 18 Persepsi ditentukan

oleh faktor struktural dan fungsional. David Krech dan Richard S. Crutchfield

(1977:235) menyebutnya faktor fungsional dan faktor struktural. 19

Dari sini, Krech dan Crutchfield merumuskan dalil yang pertama:

Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti objek-objek yang

mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek yang memenuhi

tujuan individu yang melakukan persepsi. Mereka memberikan contoh

pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang

budaya terhadap persepsi.20

Dalil yang kedua; Medan perseptual dan kognitif selalu

diorganisasikan dan diberi arti. Kita mengorganisasikan stimulus dengan

melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang kita terima itu tidak lengkap, kita

akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli

yang kita persepsi.

Dalam hubungan denag konteks, Krech dan Crutchfield

menyebutkan dalil persepsi yang ketiga: Sifat-sifat perseptual dan kognitif

dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara

17 Onong Uchjana Effendi, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 31 - 32 18 Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002; hal. 51 19 ibid 20 Ibid, hal. 56

11

keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota

kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan

dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek yang berupa

asimilasi atau kontras.21

Sedangkan persepsi juga sangat terpengaruh oleh perhatian atau

attention. Menurut Kenneth E. Anderson, yang dimaksud perhatian adalah

proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam

kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Faktor penarik perhatian dibagi

menjadi dua, yakni faktor situasional dan faktor internal.

Faktor situasional terkadang disebut sebagai determinan perhatian

yang bersifat eksternal atau penarik perhatian (attention getter). Stimuli

diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain :

gerakan, intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan.22

Sementara itu perhatian yang selektif atau selective attention juga

dipengaruhi oleh faktor internal. Ada kecenderungan kita mendengar apa yang

ingin kita dengar, dan kita melihat apa yang ingin kita lihat. Faktor-faktor

internal tersenut antara lain faktor biologis, sosiopsikologis, dan sosiogenis.23

Dalam perkembangan lebih lanjut peradaban telah memasuki apa

yang namanya periode informasi dimana media massa memegang peranan

penting dalam proses komunikasi. Proses komunikasi dari media massa ke

khalayak inilah yang disebut sebagai komunikasi massa, seperti yang

diungkapkan oleh Onong U. Effendi. Komunikasi massa adalah penyebaran

21 Ibid, hal. 59 22 Ibid, hal. 52 23 Ibid, hal. 53-54

12

pesan dengan menggunakan media yang ditujukan kepada massa abstrak,

yakni sejumlah massa yang tidak tampak oleh si penyampai pesan.24

De Fleur dan Dennis membuat kesimpulan bahwa komunikassi

massa adalah:

”Process in which professional communicator use media to disseminate messages widely, rapidly and continuously to arouse intended meanings in large and diverse audiences in attempt to influence them in variety of ways” “Proses dimana komunikator professional menggunakan media untuk menyebarkan pesan secara luas, cepat dan secara terus menerus untuk menimbulkan pesan yang diinginkan dalam khalayak yang besar dan luas dalam usaha mempengaruhi mereka dengan cara yang beragam”25

Kata-kata menggunakan media (use media) dan menyebarkan

pesan (to desseminate) adalah dua kunci utama dalam menjelaskan media

massa. Masyarakat menggunakan media massa dalam memenuhi tuntutan dan

kebutuhan akan informasi yang akan menghubungkan tiap-tiap anggota

masyarakat. Sementara menyebarkan pesan merupakan peranan yang

dimainkan oleh media massa diantara institusi sosial masyarakat lainnya.

Menurut Dedy N. Hidayat media massa berfungsi memasok dan

menyebarluaskan informasi yang diperlukan dalam penentuan sikap, dan

memfasilitasi pembentukan opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai

wadah independen di mana isu-isu permasalahan umum bisa diperdebatkan.26

24 Onong Uchjana Effendi, Dinamika Komunikasi, Remaja Karya, Bandung, 1980; hal 76 25 Melfin L De Fleur & Dennis Everette E, Understanding Mass Communications, Boston, Houghton Miffin Company, 1990, hal. 10 26 Dedy N. Hidayat dalam kata pengantar Agus Sudibyo, politik Media dan pertarungan Wacana, LkiS, Yogyakarta, 2001

13

Sebuah pemberitaan yang intens dan berulang-ulang pada suatu

media mampu membentuk opini publik. Berita yang berkembang mengenai

terorisme di media yang intens namun terkadang tidak berimbang membentuk

opini di masyarakat, sesuai dengan konstruksi media.

Sedangkan yang dimaksud opini publik menurut Clide L. King

identik dengan social judgment atau penilaian sosial. Secara definitif, melalui

artikelnya yang berjudul Public Opinion a Manifestation of The Social Mind

yang dimuat dalam buku George L. Bird (1955:12), King mengatakan bahwa

penilaian sosial mengenai suatu persoalan yang penting dan berarti,

berdasarkan proses pertukaran pikiran yang sadar dan rasional oleh publiknya

disebut opini publik.27

Mengenai ruang lingkupnya, dalam buku tersebut juga

mengemukakan tentang opini publik yang melingkupi sebuah wilayah negara.

Umumnya, pemicu opini publik dalam wilayah negara adalah kebijakan oleh

pemerintah.

Opini publik juga memiliki pengaruh dan sifat antara lain :

1. Opini publik dapat memperkuat Undang Undang ataupun

peraturan-peraturan, sebab tanpa dukungan opini publik Undang-

undang dan peraturan tidak akan jalan,

2. Opini publik merupakan pendukung moral dalam masyarakat,

3. Opini publik merupakan pendukung eksistensi lembaga sosial

27 Kustadi Suhandang, Public Relations Perusahaan, Kajian Program Implementasi, Nuansa, Bandung, 2004 ; hal 67

14

(Emory S. Bogardus, 1951: 17) 28

Selain itu prinsip-prinsip opini publik menurut Rockomy (1967:17)

antara lain beberapa diantaranya adalah:

1. Opini publik sangat peka terhadap peristiwa penting

2. Peristiwa yang bersifat luar biasa dapat menggeser opini publik

seketika dari suatu ekstrimitas satu ke ekstrimitas yang lain. Opini

publik itu baru akan mencapai stabilitasnya apabila kejadian-

kejadian dari peristiwa tiu memperlihatkan garis besar yang jelas,

3. Pernyataan lisan dan garis-garis tindakan merupakan hal yang

teramat penting di kala opini publik belum terbentuk dan di kala

orang-orang berada keadaan yang dapat disugesti serta mencari

keterangan dari sumber terpercaya,

4. Pada umumnya opini publik tidak mendahului keadaan darurat, ia

hanya menanggapi atau bereaksi terhadap keadaan itu,

5. Secara psikologis, opini publik pada dasarnya ditentukan oleh

kepentingan pribadi. Peristiwa-peristiwa, kata-kata dan lain-lain

perangsang mempengaruhi opini hanya jika ada hubungan yang

jelas dengan kepentingan pribadi itu .29

Jika suatu opini didukung oleh suatu mayoritas yang tidak terlalu

kuat dan jika opini itu tidak mempunyai bentuk yang kuat pula, maka fakta

yang nyata cenderung mengalihkan arah penerimaan opini tersebut.

28 Ibid; hal 68 29 Ibid; hal. 69

15

Sedangkan dalam pembentukan opini mengenai terorisme yang

terbentuk dalam masyarakat, media memiliki peranan yang amat penting.

Sebab menurut McLuhan, media massa adalah perpajangan alat indera.30

Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau

tempat yang tidak kita alami secara langsung. Media massa datang

menyampaikan informasi tentang lingkungan sosial politik; televisi menjadi

jendela kecil untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang jauh dari jangkauan

alat indera kita.

Namun pada kenyataan yang terjadi di lapangan, media tidak

pernah bersikap netral. Hal ini dikarenakan media massa tidak berada di ruang

vakum.31 Media sesungguhnya berada di tengah realitas yang sarat dengan

berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Bahkan

Antonio Gramsci menyatakan bahwa media merupakan arena pergulatan

antaridiologi yang saling berkompetisi (the battle for competing ideologies).32

Gramsci melihat media sebagai ruang dimana berbagai ideologi

dipresentasikan.

Untuk mengembangkan ideologi yang dibawa, media memakai

atribut-atribut tertentu yang dapat mengkondisikan pesan-pesan yang

dikomunikasikan. Seperti yang dikatakan oleh Marshall McLuhan, The

Medium is the message, medium itu sendiri merupakan pesan. “Apa-apa yang

dikatakan” ditentukan secara mendalam oleh media. Terlebih lagi jika disadari

30 Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002; hal. 224 31 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001; hal 29 32 Ibid; hal 30

16

bahwa dibalik pesan yang disampaikan lewat media tersembunyi mitos. Yaitu

kepentingan media itu sendiri.33

Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah

diseleksi (second hand reality) televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk

ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lain.

Erat sangkutannya dengan penonjolan yang dilakukan media,

Lazarfeld dan Merton (1948) membicarakan fungsi media dalam memberikan

status (status conferral). Karena namanya, gambarnya atau kegiatannya dimuat

oleh media, maka orang, organisasi atau lembaga mendadak mendapat

reputasi yang tinggi atau sebaliknya. 34

Pada isu terorisme, peran serta media dalam pemasivan isu amatlah

besar. Dalam hal ini lebih spesifiknya adalah berita yang menyebar lewat

media. Entah itu sesaat pasca teror 11 September atau Bom Bali I dan II, serta

peristiwa-peristiwa yang mengikutinya. Semua momen tersebut tersebar pada

khalayak di seluruh dunia melalui berita pada media massa.

Sedangkan berita itu sendiri memiliki ketergantungan yang amat

besar pada media. Lembaga media mungkin benar-benar ada tanpa berita dan

berita tidak mungkin ada tanpa lembaga media.35

Karena tidak sama halnya dengan hampir semua bentuk

kepenulisan atau hasil kebudayaan lainnya, pembuatan berita bukanlah sesuatu

yang dapat dilakukan secara privat atau bahkan secara individual. Lembaga

33 Ibid; hal 37 34 Ibid 35 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Bandung, 1996, hal. 189

17

media menyediakan sarana pendistribusian dan menjamin kredibilitas

seseorang.36

Wartawan media massa cenderung memilih seperangkat asumsi

tertentu yang berakibat bagi pemilihan judul berita, struktur berita, dan

keberpihakannya kepada seseorang atau sekelompok orang, meskipun

keberpihakan tersebut bersifat subtil (tidak kentara) dan tidak sepenuhnya

disadari.37

Kerangka rujukan yang dimiliki oleh kelompok wartawan

memungkinkan mereka memunculkan persepsi kewartawanan yang boleh jadi

berbeda dengan persepsi pemerintah atau bahkan persepsi rakyat kebanyakan.

Melalui penggunaan bahasa sebagai suatu sistem simbol yang utama para

wartawan mampu menciptakan, memelihara, mengembangkan, dan bahkan

meruntuhkan suatu relaitas.38

Lewat narasi beritanya, media massa baik cetak maupun elektronik

menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa

penjahat; apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan

apa yang tidak layak untuk dilakukan oleh seorang pemimpin; tindakan apa

yang disebut perjuangan (demi membela kebenaran dan keadilan) dan

pemberontakan atau terorisme; isu apa yang relevan dan tidak; alasan apa

36 Ibid 37 Deddy Mulyana, Analisis Framing: Suatu Pengantar dalam buku Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Lkis, Jogjakarta, 2002, hal. xi 38 Ibid

18

yang masuk akal atau tidak masuk akal; solusi apa yang harus diambil dan

ditinggalkan.39

Terkadang pula kita tanpa sadar digiring oleh definisi yang

ditanamkan oleh media massa tersebut yang membuat kita mengubah definisi

kita mengenai realitas sosial atau memperteguh asumsi yang kita miliki

sebelumnya. Kita boleh jadi semakin bersimpati kepada seseorang atau

kelompok dan semakin membenci seseorang atau kelompok lain meskipun

orang yang kita benci itu belum tentu bersalah.40

Darnton (1975) telah mengemukakan bahwa konsepsi kita tentang

berita timbul dari ”cara pengisahan yang kuno”. Kecenderungan terciptanya

laporan yang bersifat naratif dengan para aktor utama dan minor, baik dan

buruk, pahlawan dan penjahat, pengisyaratan perubahan dramatis,

kecondongan media untuk mengaitkan pengisahan awal dengan berbagai

bentuk pemoralan diacu sebagai ”fungsi bardik” (bardic function) oleh Fiske

dan Hartley (1978), yaitu fungsi memotong garis yang memilah isi ”realitas”

dan ”fiksi”.41

Sekalipun terdapat kemajuan penelitian dan teori media, masih

tetap ada kesenjangan antara dua konsepsi berbeda tentang proses pembuatan

berita di mana semua gagasan yang dibahas ini cenderung memisahkan antara

pandangan kewartawanan ’akal sehat’ dari analisis isi dan organisasi media.

Dalam kedua pandangan tersebut tediri dari empat unsur, yakni peristiwa;

39 Ibid 40 Ibid 41 Denis McQuail, op cit. hal. 192

19

kriteria penilihan berita (news value); minat publik atas berita; dan laporan

berita. 42

Menurut pandangan pertama urutannya adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Pandangan Pertama Tentang Siklus Berita

Pandangan di atas dimulai dengan kejadian yang terjadi di dunia

yang tidak dapat diperkirakan dan mendobrak normalitas yang ditanggapi

media berita dengan menerapkan kriteria yang berkenaan dengan signifikansi

bagi publik mereka.

Sedangkan pandangan yang kedua adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Pandangan Kedua Tentang Siklus Berita

Di sini titik tolaknya adalah pengalaman tentang apa saja yang

membangkitkan perhatian publik. Peristiwa berita hanya patut diperhatikan

apabila sesuai dengan kriteria pemilihan tersebut. Laporan berita kemudian

42 ibid

KRITERIA BERITA

PERISTIWA LAPORAN BERITA

MINAT BERITA

KRITERIA BERITA PERISTIWA

LAPORAN BERITA MINAT BERITA

20

ditulis menurut kriteria berita yang sesuai dengan institusinya daripada acuan

’dunia nyata’ atau hal-hal sesungguhnya yang diinginkan audiens.

Karena media massa menampilkan dunia secara selektif, sudah

tentu media massa mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan

sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat. Terjadilah apa yang disebut

stereotip. Menurut Emil Dofivat (1968:119), stereotip adalah gambaran umum

tentang individu, kelompok profesi, atau masyarakat yang tidak berubah ubah,

klise dan seringkali timpang dan tidak benar. 43

Berbicara mengenai ’dampak berita’ terutama berita yang

disalurkan melalui media kita perlu mengacu pada hal-hal yang telah menjadi

konsekuensi langsung komunikasi massa, apakah disengaja atau tidak.

Mengenai tingkatannya, media memiliki dampak pada tingkatan individu dan

kolektif. Sedangkan yang dimaksud kolektif dapat diluaskan menjadi

kelompok atau organisasi, lembaga sosial, masyarakat secara keseluruhan, dan

kebudayaan. 44

Golding (1980) mengemukakan cara untuk membedakan berbagai

konsep berita dan dampaknya menjadi dampak jangka pendek dan jangka

panjang; dan dampak yang disengaja dan tidak disengaja. Menurut Golding,

dampak jangka pendek yang disengaja dapat disebut ’bias’; dampak yang

tidak disengaja disebut sebagai ’bias yang tidak disadari’; dampak jangka

43 Jalaludin Rakhmat, op cit; hal. 225 44 Denis McQuail, op cit. hal. 231

21

panjang yang disadari menunjukkan ’kebijakan’; sedangkan dampak jangka

panjang yang tidak disadari adalah ’ideologi’.45

E. Definisi Konsepsional

Definisi konseptual adalah pernyataan yang dapat mengartikan atau

memberi makna untuk suatu istilah atau konsep tertentu; atau suatu gambaran

penuh isi dari arti yang dibawa oleh suatu istilah atau konsep tertentu. Definisi

konseptual juga bisa disebut sebagai definisi konstitutif, yang biasanya

diperoleh dari kamus. Adalah definisi akademik atau mengandung pengertian

yang universal, bersifat abstrak dan formal.46

a. Dampak

Dampak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris effect yang

berarti ”cange caused by something”47, atau diterjemahkan dengan

”perubahan yang disebabkan oleh sesuatu”.

Sebuah wacana yang berkembang baik dalam lingkup lokal

maupun global mengakibatkan suatu dampak bagi masyarakat. Dalam

penelitian ini akan membahas dampak wacana terorisme bagi suatu

masyarakat, yakni masyarakat sekitar Pondok Pesantren Al Mukmin

Ngruki Sukoharjo.

45 Ibid, hal. 232 46 Susanto, Metode Penelitian Sosial, UNS Press, Surakarta, 2006; hal. 48 47 ibid

22

b. Berita

Pengertian berita (news) secara singkat menurut kamus Oxford

adalah ”news is reports of recent events” atau “laporan tercepet dari suatu

peristiwa”. Sedangkan secara lengkap berita adalah laporan tercepat

mengenai fakta atau opini yang mengandung hal yang menarik minat atau

atau penting atau keduanya bagi sejumlah besar penduduk. Berdasarkan

Kamus Besar Bahasa Indonesia, berita mengandung pengertian sebagai

warta yang dikirimkan dari satu tempat ke tempat lain. 48

Dalam pandangan konstruksionis, berita itu ibaratnya seperti

sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dan arena

pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa.49

Misalnya, berita penangkapan Abu Bakar Ba’asyir dalam kaitan

pengungkapan kasus teror bom Bali. Wartawan secara aktif membentuk

realitas seperti layaknya sebuah drama. Mereka yang setuju dan mereka

yang tidak setuju dengan penangkapan Abu Bakar Ba’asyir

dipertentangkan. Lalu dibubuhi dengan berbagai analisis dari berbagai

pakar politik maupun intelejen. Dalam berita juga ada pihak yang

didefinisikan sebagai musuh dan pecundang. Semua itu dibentuk layaknya

sebuah drama yang dipertontonkan kepada publik.50

48 Prof. Dr. J. S Badudu, , Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Yogyakarta, 1994 49 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Lkis, Jogjakarta, 2002, hal. 25 50 ibid

23

c. Terorisme

Mengenai pengertian terorisme, sebelumnya kita perlu

mengetahui bahwa definisi mengenai kata ini sangat subjektif. Seperti

menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang

subjektif, hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat

dan kondisi tertentu.51

Sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia, terorisme adalah

serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan

teror terhadap sekelompok masyarakat.52 Berbeda dengan perang, aksi

terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu

pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta

seringkali merupakan warga sipil.

Dalam kamus Oxford, terorisme diartikan sebagai berikut:

”A policy intended to strike with terror those against whom it is adopted; the employment of methods of intimidation; the fact of terrorizing or condition of being terrorized”53 (Kebijakan yang dimaksudkan untuk menyerang dengan terror pada siapa saja yang melawan).

Sedangkan dalam kamus Oxford yang lain mengartikan

terrorism atau terorisme sebagai ”use of violences for political

purposes”54 atau diartikan sebagai penggunaan kekerasan dalam tujuan

politik.

51 Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001, hal. 35. 52 Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, http://wikipedia.com 53 The Oxford English Dictionary, 2nd edition vol. VIII Clarenon Press Oxford 54 Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New edition, Oxford University Press

24

Topik pembahasan dalam penelitian akan difokuskan pada

dampak yang muncul dan berkembang pasca peristiwa tragedi World

Trade Center dan Bom Bali, pembuatan Perpu Antiterorisme, hingga

penangkapan pelaku terorisme.

d. Persepsi

Pada penelitian ini, persepsi masyarakat yang telah terbentuk

karena proses seleksi media dan seleksi personal sangat berpengaruh

terhadap dampak yang timbul. Sedangkan definisi dari persepsi itu sendiri

menurut Berelson dan Steiner (1964) sebagaimana dikutip oleh Severin

dan Tankard Jr. (1988: 121) menyatakan bahwa persepsi merupakan

sebuah ”Complex process by which people select, organize, and interpret

sensory stimulation into a meaningful and coherent picture of the world.”

Definisi demikian kemudian dikomentari oleh Severin dan Tankard Jr.

Bahwa individu-individu pada dasarnya tidak bersifat pasif, tetapi bersifat

aktif dalam proses persepsi. 55

Sedangkan dalam pengertian yang lain, persepsi berarti

pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang

diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli).

Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari

persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak

55 Pawito, Ph.D, “Penelitian Komunikasi Kualitatif”, LkiS, Jogjakakarta: 2007, hal 203

25

hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan

memori (Desiderato, 1976:126).56 Pada pembentukan persepsi mengenai

terorisme, masyarakat terpengaruh oleh hal-hal seperti, memori, latar

belakang budaya, serta seleksi perhatian dan motivasi.

e. Masyarakat

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah

sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau

semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-

individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah

masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas.

Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling

tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk

mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas

yang teratur.57

Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan

masyarakat sebagai kumpulan idividu yang menjalin kehidupan bersama

sebagai satu kesatuan yang besar yang saling membutuhkan, dan memiliki

ciri sebagai kelompok.58

Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia

dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran,

perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan

56 Jalaludin Rakhmat, op cit; hal. 51 57 Wikipedia, op cit 58 Kamus Besar, op cit

26

tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan

kemaslahatan.

Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti

hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata

socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan

kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap

anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam

mencapai tujuan bersama.59

F. Kerangka Pemikiran

Peristiwa tragedi World Trade Center yang terjadi pada tahun 2001

merupakan peristiwa penting yang layak untuk diberitakan. Berbagai media

massa berlomba-lomba untuk menyajikan berita mengenai peristiwa dengan

semenarik mungkin. Sehingga terkadang tanpa disadari, media massa

menimbulkan kesan yang melebih-lebihkan, dengan cara menyeleksi

informasi yang luar biasa untuk ditampilkan, dan membuang informasi lain

yang dirasa ”tidak penting”.

Pada saat inilah terjadi media selection atau seleksi yang dilakukan

oleh media. Sehingga informasi yang dsampai kepada khalayak merupakan

berita yang sudah terseleksi. Prinsip second hand reality atau realitas orang

kedua, membuat pesan yang diterima oleh masyarakat terkadang berbeda

dengan kenyataan peristiwa yang sebenarnya.

59 ibid

27

Di sisi lain, keinginan masyarakat untuk memperoleh informasi

amatlah besar. Perkembangan media yang sangat pesat menyebabkan akses

informasi yang diperoleh oleh khalayak dapat berasal dari segala arah.

Berbagai berita mengenai terorisme bisa didapat oleh khalayak dari mana saja,

dengan berbagai versi. Tentu saja latar belakang dan jenis media, akan sangat

mempengaruhi persepsi yang terbentuk pada khalayak itu sendiri.

Faktor eksternal dapat berupa jenis media, intensitas memperoleh

informasi, dan perulangan. Berita yang diperoleh secara berulang-ulang akan

menimbulkan perhatian yang lebih bagi penerima pesan. Perhatian yang lebih

inilah yang kemudian menimbukan persepsi. Seleksi yang secara sengaja atau

tidak sengaja dilakukan oleh media massa selanjutnya tersaji melalui berita-

berita yang ditayangkan baik di televisi, koran, majalah, maupun radio. Berita

ini kemudian secara personal diseleksi oleh khalayak. Pada saat inilah terjadi

personal selection atau seleksi secara personal.

Masyarakat kemudian akan menyeleksi sendiri berita tentang

terorisme yang mereka peroleh. Perhatian khalayak mengenai berita terorisme,

sangat dipengaruhi oleh kondisi personal dari masyarakat. Inilah yang

kemudian disebut persepsi bersifat selektif secara fungsional. Menurut Kerch

dan Crutchfield, faktor internal yang mempengaruhi besarnya perhatian antara

lain kondisi sosiopsikologis dan latar belakang budaya. Dalam hal ini

masyarakat sekitar pondok pesantren Al Mukmin Ngruki, memiliki kesamaan

latar belakang budaya dan sosial dengan pondok pesantren Al Mukmin itu

28

sendiri, sebab mereka memiliki kedekatan baik secara geografis maupun

sosiokultural.

Akan tetapi khalayak yang tidak didukung oleh latar belakang

sosiokultural yang sama dengan masyarakat sekitar Pondok Pesantren Al

Mukmin Ngruki, atau dengan kata lain masyarakat yang jauh dari Pondok

Pesantren Al Mukmin Ngruki akan memiliki persepsi yang berbeda mengenai

terorisme. Sehingga persepsi yang terbentuk mengenai isu terorisme yang

mereka peroleh melalui media pun akan cenderung berlainan dengan

masyarakat yang tinggal di sekitar Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki.

Kondisi perbedaan persepsi ini yang kemudian akan menimbulkan

dampak sosial bagi masyarakat sekitar Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki.

Dampak sosial dari persepsi publik yang terbentuk inilah yang akan lebih jauh

diteliti oleh peneliti.

Berikut ini adalah skema kerangka pemikiran yang digunakan oleh

peneliti:

Media selection

Fakta Peristiwa Berita

Persepsi Publik

Dampak Sosial

Personal selection

Gambar 3. Skema Kerangka

Pemikiran

29

Dari skema kerangka pemikiran di atas peneliti tertarik untuk

mengetahui secara lebih mendalam mengenai dampak maraknya isu terorisme

tersebut. Logika sederhananya, apabila dalam cakupan internasional umat

Muslim yang berada di seluruh dunia –yang bahkan tidak ada sangkut pautnya

dengan terorisme—pun merasakan dampaknya, terlebih lagi masyarakat yang

secara geografis amat dekat dengan daerah tersebut. Dalam hal ini peneliti

ingin meneliti dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitar Pondok

Pesantren.

Selain itu penelitian ini juga diharapkan oleh peneliti dapat

dijadikan sebuah rujukan bagaimana suatu berita mampu memberikan dampak

terhadap suatu masyarakat yang kompleks. Di samping itu dapat menjadi

pembuktian teori bahwa sebuah persepsi tidak terbentuk dengan sendirinya,

melainkan merupakan hasil dari sebuah proses pembentukan persepsi.

G. Metodologi Penelitian

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metodologi kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan

fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-

dalamnya.60 Jenis metodologi ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau

sampling, bahkan populasi atau samplingnya amat terbatas. Jika data yang

terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti,

maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Di sini yang lebih ditekankan

60 Rachmat Kriyantono, op cit; hal. 58

30

adalah persoalan kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas)

data.61

Dalam jenis penelitian ini peneliti menjadi instrumen riset yang

harus terjun langsung di lapangan. Karena itu riset ini bersifat subjektif dan

hasilnya lebih kasuistik dan tidak untuk digeneralisasikan. Desain penelitian

dapat dibuat bersamaan atau sesudah penelitian. Desain dapat berubah atau

disesuaikan dengan perkembangan riset. 62

Secara umum, riset yang menggunakan metodologi kualitatif

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Intensif, partisipasi peneliti dalam waktu lama pada setting

lapangan, peneliti adalah instrumen pokok penelitian.

2. Perekaman yang sangat hati-hati terhadap apa yang terjadi dengan

catatan-catatan di lapangan dan tipe-tipe lain dari bukti-bukti

dokumenter.

3. Analisis data lapangan.

4. Melaporkan hasil termasuk deskripsi detail, quotes (kutipan-

kutipan) dan komentar-komentar.

5. Tidak ada realitas yang tunggal, setiap peneliti mengkreasi realitas

sebagai bagian dari proses penelitiannya. Realitas dipandang

sebagai dinamis produk kkonstruksi sosial.

6. Subjektif dan berada hanya dalam referensi peneliti. Peneliti

sebagai sarana penggalian interpretasi data.

61 Ibid; hal 58 62 Ibid; hal. 59

31

7. Realitas adalah holistik dan tidak dapat dipilah-pilah.

8. Peneliti memproduksi penjelasan unik tentang situasi yang terjadi

dari individu-individunya.

9. Lebih pada kedalaman (depth) daripada keluasan (breadth).

10. Prosedur penelitian: empiris-rasional dan tidak berstruktur.63

G.1. Metode Penelitian

Berdasarkan metodologi kualitatif dikenal beberapa metode riset.

Tetapi pada penelitian ini peneliti menggunakan metode wawacara

mendalam, dan observasi.

a. Metode Wawancara Mendalam (Depth Interviews)

Metode wawancara mendalam adalah metode penelitian di mana

peneliti melakukan kegiatan tatap muka secara mendalam dan terus-

menerus (lebih dari satu kali) untuk menggali informasi dari responden.

Karena itu, responden disebut juga informan.64

Sedangkan menurut Moh. Nazir, metode wawancara adalah;

proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara

Tanya jawab sambil bertatapan muka antara si penanya atau

pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan

alat yang dinamakan interview guide.65

63 Ibid; hal. 59 64 Ibid; hal. 65 65 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998; hal.

32

b. Metode Observasi

Metode observasi adalah metode di mana peneliti langsung

mengamati objek yang diteliti. Ada dua bentuk observasi; pertama,

observasi partisipan, yaitu peneliti ikut berpartisipasi sebagai anggota

kelompok yang diteliti. Kedua, observasi nonpartisipan, yaitu observasi

di mana peneliti tidak memposisikan dirinya sebagai anggota kelompok

yang diteliti.66

Dalam penelitian ini peneliti akan memilih jenis observasi yang

kedua, yakni observasi nonpartisipan, sebab peneliti tidak memposisikan

diri sebagai anggota kelompok, tetapi sebagai individu di luar kelompok.

G.2. Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit objek atau

fenomena yang akan diteliti.67 Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

masyarakat yang berada di sekitar Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki

Sukoharjo. Tetapi karena tidak memungkinkan jika peneliti mengambil

seluruh populasi sebagai objek penelitian, maka peneliti hanya mengambil

sampel dari populasi. Teknik pengambilan sampel adalah purposive

sampling dan snowball sampling. Pusrposive sampling yaitu teknik

penentuan sampel terbatas pada sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian

saja.68 Sedangkan metode snowball sampling, adalah teknik penentuan

66 Ibid; hal. 65 67 Rachmat Kriyantono, op cit; hal. 149 68 Ibid, hal. 154

33

sampel, yang awalnya jumlahnya kecil kemudian berkembang semakin

banyak.69

Sampel dalam penelitian ini adalah terbatas pada warga

masyarakat yang berada di sekitar Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki

Sukoharjo. Sedangkan agar sampel yang diambil sesuai dengan tujuan

penelitian, maka peneliti mengambil dari beberapa aspek sampel seperto

tokoh masyarakat dan birokrasi yang ada di wilayah Ngruki Sukoharjo

sebagai pihak yang mengetahui lebih dalam emngenai wilayah tersebut,

serta warga umum di sekitarnya.

G.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan dua cara, yaitu:

1. Data primer

Data primer merupakan seluruh populasi yang diteliti. Dalam

penelitian ini data primer adalah data yang peneliti dapatkan dari hasil

wawancara mendalam dengan masyarakat sekitar Pondok Pesantren Al

Mukmin Ngruki Sukoharjo.

2. Data sekunder

Data sekunder merupakan pengumpulan data yang diperoleh

dengan menguti sumber lain untuk melengkapi sumber primer.

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara melakukan observasi

69 Ibid, hal. 156-157

34

Berbagai data di lapangan

Analisis/Klasifikasi data/kategorisasi ciri-

ciri umum

Pemaknaan/interpretasi ciri-ciri umum

Kesahihan Data: - kompetensi subjek - Athenticity & triangulasi - Intersubjectivity Agreement

BERTEORI & KONTEKSTUAL

Fakta Empiris Tataran Konseptual

Proses Analisis Data Kualitatif

Gambar 4.

terhadap objek penelitian. Data sekunder dapat juga berupa artikel atau

pemberitaan di berbagai media massa. 70

G.4. Analisis Data

Analisis data kualitatif digunakan bila data-data yang terkumpul

dalam riset adalah kualitatif. Data kualitatif dapat berupa kata-kata, kalimat-

kalimat atau narasi-narasi, baik yang diperoleh dari wawancara mendalam

maupun observasi.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan cara

berpikir yang induktif, yaitu cara berpikir yang berangkat dari hal-hal yang

khusus (fakta empiris) menuju hal-hal yang umum (tataran konsep). Secara

garis besar proses analisis data dapat digambarkan sebagai berikut.71

70 Ibid, hal. 193

35

Dalam cara menganalisa data, penelitian ini memakai jenis

deskriptif. Jenis penelitian ini bertujuan membuat deskripsi secara

sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi

atau objek tertentu.

a. Analisa data wawancara

Dalam wawancara, sebelum peneliti menganalisa hasil

wawancara, peneliti harus melakukan pengkodingan terhadap hasil

wawancara tersebut. Dalam kegiatan pengkodingan (pencatatan) ini,

peneliti membaca ulang seluruh material wawancara dan mencoba

mendapatkan garis besar atau gambaran umum hasil wawancara. Setelah

itu membuat transkrip wawancara, dan membagi transkrip tersebut ke

dalam topik-topik. Selanjutnya topik-topik ini dipisahkan berdasarkan

kategorinya sesuai riset. Dari semua kategori ini, peneliti kemudian

menganalisanya.

b. Analisa data observasi

Sebenarnya, kegiatan observasi adalah kegiatan yang setiap saat

kita lakukan. Namun, tidak semua data yang didapat melalui observasi

dapat disebut sebagai data yang melengkapi suatu penelitian.

Proses analisis dalam metode observasi sama dengan metode

kualitatif lainnya, seperti wawancara mendalam atau FGD. Setelah

periset merasa data yang terkumpul telah cukup, maka dilakukan

71 Rachmat Karyantono, op cit; hal. 192-193

36

analisis. Data hasil observasi akan dianalisis dengan membuat kategori-

kategori tertentu atau domain-domain tertentu.

Setelah itu data diinterpretasi dengan memadukan konsep-konsep

atau teori-teori tertentu. Konsep atau teori ini membantu kita dalam

memahami perilaku yang diobservasi.

Sedang teknik analisa data yang dipakai adalah teknik analisis

data dengan teori Grounded. Prinsip pokok analisis data grounded adalah

to find a core category, at a high level of abstraction but grounded ini

the data, which accounts for what is central in the data (menemukan

kategori yang pokok, pada suatu tingkat abstraksi tinggi, namun benar-

benar berpijak pada data, yang dapat dinilai bersifat utama dalam data)

(punch, 1998: 210). Glaser dan Straus (1967: 2-3) menyatakan bahwa

analisa data yang diperoleh secara sistematis dari penelitian sosial). 72

Analisis data dengan teori grounded biasanya diimplementasikan

dengan melibatkan tiga langkah: (a) tahap awal abstraksi peneliti

berusaha menemukan kategori-kategori konseptual dengan bertolak dari

data yang ada, (b) menemukan hubungan-hubungan di antara kategori-

kategori yang ada, dan (c) memberikan makna atau

mengkonseptualisasikan hubungan-hubungan diantara kategori tadi.73

72 Pawito, Ph.D, op cit, hal. 107 73 ibid