Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak zaman kerajaan sampai pada masa kemerdekaan, Indonesia dikenal
sebagai negara agraris, dengan kekayaan alam dan hasil pertanian yang melimpah.
Sebagian besar penduduk Indonesia, terutama di daerah pedesaan bekerja sebagai
petani. Idealnya, petani adalah pemilik lahan. Lahan pertanian merupakan sarana
pokok dan paling mendasar yang harus ada. Bila tidak memiliki lahan atau tidak
ada lahan yang digarap, petani tidak akan bisa bekerja dan tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu masalah kepemilikan tanah untuk lahan
pertanian menjadi begitu penting dan menjadi masalah yang sensitif bagi petani,
karena berpengaruh langsung terhadap hajat hidupnya dan keluarganya. Di sisi
lain, ciri umum banyak negara bekembang adalah masalah kelebihan penduduk
agraris yaitu terdapatnya surplus tenaga kerja manusia dibanding dengan
tersedianya tanah pertanian1.
Sandang, papan dan pangan merupakan hak dasar manusia. Sebagai warga
Negara berhak mendapatkan perlindungan oleh negara termasuk hak memperoleh
tanah untuk tempat tinggal dan lahan pertanian sebagai sumber penghasilan. Pada
masa pemerintahan Orde Lama setelah Indonesia merdeka, pemerintah di bawah
1. William L. Collier. Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola Penguasaan
Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa), (Jakarta ; PT Gramedia, 1984), hal 145
2
presiden Soekarno telah menasionalisasi perusahaan – perusahaan milik asing dan
mendistribusikan tanah garapan kepada masyarakat sebagai lahan pertanian untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan dikeluarkannya Undang – Undang
Pokok Agraria pada tahun 1960, yang diikuti dengan reforma agraria, lahan-lahan
perkebunan Hindia Belanda yang ada di Indonesia diserahkan kepada rakyat
untuk dibagi secara merata dan dijadikan lahan pertanian oleh rakyat.
Undang – Undang Pokok Aagraria 1960 merupakan salah satu kebijakan
yang cukup kontroversial pada masa Orde Lama. Undang – undang ini dipelopori
oleh wakil – wakil Partai Komunis Indonesia di parlemen. Pada saat itu, Partai
Komunis Indonesia melakukan kongres Nasional Barisan Tani Indonesia di
Yogyakarta pada bulan November 1954. Tujuan kongres itu ialah untuk
mempromosikan kepentingan kaum tani. Dalam kesempatan itulah Barisan Tani
Indonesia ditumbuhkan, kemudian sebuah program nasional disusun. Program
tersebut meliputi empat pokok, yaitu modernisasi pertanian, menetapkan harga
sewa tanah, melaksanakan landreform, dan melatih kader – kader tani untuk
propaganda komunisme2. Setelah pemilu 1955 dan 1957, Partai Komunis
Indonesia menjadi salah satu partai besar dan memiliki cukup banyak perwakilan
di parlemen. Dari sinilah hasil Kongres Barisan Tani Indonesia Yogyakarta terus
didesakkan. Pada tahun 1960 dengan kompromi yang begitu panjang di dalam
parlemen, ditetapkan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), di mana poin
penting dari UUPA itu adalah pelaksanaan landreform atau distribusi tanah.
2 Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, (Yogjakarta : Yayasan Bintang
Budaya, 2002), hal 15
3
Dengan dasar Undang – Undang Pokok Agraria tahun 1960 ini, maka pada
akhir pemerintahan Orde Lama sekitar tahun 1963 – 1964 dilakukan distribusi
tanah kepada petani yang tidak memiliki lahan. Tanah yang didistribusikan
kepada petani kebanyakan adalah bekas perkebunan Hindia – Belanda. Demikian
halnya dengan Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen, di daerah ini ada lebih
dari 664 hektar lahan pertanian yang didistribusikan kepada rakyat, sebagai
bentuk reforma agraria yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Lama.
Masyarakat Sambirejo mendapatkan lahan pertanian tersebut dengan disertai surat
kepemilikan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden Soekarno. Meskipun
tidak berupa sertifikat tanah, surat ini sudah menjadi dasar hukum yang kuat.
Dalam kurun waktu beberapa tahun, lahan ini telah digarap oleh masyarakat
Sambirejo. Namun, pada saat peristiwa “65 meletus dan Orde Baru berkuasa
muncul permasalahan terkait tanah ini. Tanah yang telah didistribusikan oleh
pemerintahan Orde Lama kepada masyarakat Sambirejo, diambil alih oleh
pemerintah Orde Baru melalui PT Perkebunan Nusantara IX Persero ( PTPN IX ).
Secara sepihak, PTPN IX yang merupakan perusahaan perkebunan, mengambil
alih tanah warga untuk dijadikan perkebunan karet dengan persetujuan pemerintah
Presiden Soeharto melalui HGU ( Hak Guna Usaha ).
Sengketa agraria merupakan salah satu bentuk dari konflik agraria.
Menurut Gunawan Wiradi (2000), konflik agraria adalah suatu situasi proses,
yaitu proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masing –
masing memperjuangkan kepentingan atas objek yang sama, yaitu tanah dan
4
benda – benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang
dan juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan.3 Dari sinilah muncul
konflik antara warga Sambirejo dengan pihak PTPN IX. PT Perkebunan
Nusantara IX bergerak dibidang perkebunan dengan dua devisi tanaman budidaya,
yaitu devisi tanaman keras dan devisi tanaman musiman. Sedangkan yang ada di
Kecamatan Sambirejo adalah PTPN XI unit Batujamus/Kerjoarum, afdeling
Kepoh/Sambirejo dengan sub devisi tanaman keras yaitu Karet. Sengketa agraria
antara masyarakat Sambirejo dengan PTPN IX, merupakan sengketa kepentingan
yang berlatar belakang landreform. Mustain (2007), juga menjelaskan bahwa latar
belakang konflik di pedesaan adalah perebutan tanah antara perkebunan dan
petani. Akar persoalan perkebunan disatu sisi didapat dari sejarah lahirnya HGU
pada tanah perkebunan. Dalam prakteknya, pengelolaan HGU sering terjadi
penyimpangan peruntukan, penguasaan dan pengasingan terhadap masyarakat
sekitar.4
Tanah yang disengketakan, dulu adalah bekas tanah perkebunan pada
masa kolonial atau tanah droog culture/DC, yang menjadi objek distribusi tanah
dari program pemerintah Orde Lama (landreform). Dalam prosesnya, tanah ini
dibagikan kepada 530 persil atau penerima distribusi,5 dengan mendapatkan Surat
Keputusan (SK) pembagian tanah antara tahun 1963-1964 atas lahan seluas 664
3 Gunawan Wiradi, Reformasi Agraria, ( Jakarta:INSIST, KPA dan
Pustaka Pelajar, 2000), hal 84. 4 Mustain, Petani Vs Negar, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007 ),
hal 16. 5 Kutipan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Djawa tengah No :
SK. 389/X/173/72/DC/64, hal 1.
5
hektar dari tanah Tarik Ngarum seluas 672,3190 Hektar.6 SK pembagian tanah
sebagai bukti kepemilikan tanah tersebut berupa SK yang dikeluarkan oleh kepala
Inspeksi Agraria ( SK KINAD ) Jawa Tengah pada tanggal 4 Januari 1964.
Pada awalnya, PTPN IX yang sebelumnya bernama PTP XVIII,
menawarkan sistem sewa tanah kepada petani, sebagai objek perluasan
perkebunan dengan harga sewa Rp 2.500,- perbagian (sekitar 2000 m2) atau Rp
10.000,-/Hektar selama 25 tahun namun petani menolak. Pada tahun 1965 meletus
peristiwa G 30 S, dan tak lama setelah itu Soeharto menjadi Presiden melalui
Supersemar. Kemudian Soeharto mengeluarkan Tri Tura dengan salah satu isinya
yaitu Bubarkan PKI dan ormas – ormasnya. Dengan dasar ini, setiap pelanggaran
atau ketidak patuhan kepada pemerintah dianggap sebagai antek PKI. Situasi ini
dimanfaatkan betul oleh pemerintah Orde Baru dan pihak PTPN IX untuk
menguasai tanah Sambirejo.7
Masyarakat Sambirejo dipaksa untuk meninggalkan dan meyerahkan tanah
dan lahan yang mereka miliki untuk diberikan kepada PTPN IX untuk dijadikan
perkebunan karet. Di sisi lain surat kepemilikan tanah dari pemerintah Orde Lama
tidak diakui. Setelah peristiwa G 30 S warga Sambirejo yang tidak mau
meninggalkan tanah dan menyerahkan lahannya dicap sebagai antek PKI.8 Pada
masa itu anggota dan simpatisan PKI ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh
6 Yayasan ATMA, Laporan Kegiatan advokasi Petani Sambirejo dalam
acara dengar pendapat di pansus pertanahan DPR RI. Jakarta 15 Juni 2003. 7 ATMA dan FPKKS, Reclaiming Tanah Karet Sambirejo Kabupaten
Sragen Jawa Tengah, ATMA, 2006, Monco kaki/ saksi sejarah 8 http://atma-solo.blogspot.com/2006/11/perjuangan-warga-sambirejo.html
(diakses pada tanggal 24 april 2015 pukul 11.00)
6
pemerintahan Soeharto. Tentu saja ini menjadikan warga panik dan ketakutan,
yang pada akhirnya harus menyerahkan tanah mereka.
Pada tahun 60an sampai 70an inilah peristiwa tragis dialami oleh
masyarakat Sambirejo. Warga negara harus berhadapan dengan pemerintahnya
untuk memperebutkan lahan pertanian. Pemerintah yang seharusnya
mensejahterakan dan melindungi rakyatnya malah menindas rakyatnya sendiri
dengan merampas sumber penghidupan rakyatnya. Pada saat itu tentu saja
masyarakat Sambirejo melakukan perlawanan. Tidak sedikit masyarakat
Sambirejo yang kehilangan tanahnya melakukan perlawanan kepada PTP (PTPN
IX) ditangkap dan hilang. Kesadaran akan ketertindasan yang dialami,
perampasan dan kehidupan yang terus terancam akibat perampasan tanah, ini
memunculkan adanya gerakan petani. Sejak dikeluarkannya HGU dengan SK No.
16/HGU/DA/1982 perlawanan petani semakin masif, karena dengan keluarnya
HGU berarti secara legal PTPN IX menguasai lahan petani untuk perkebunan.
Namun dengan dengan dikeluarkannya UU No. 5.1979 tentang Pemerintah Desa
yang menghapus proses politik partisipasi orang desa dan perlibatan militer dalam
pengawasan pembangunan desa9, membuat warga tidak bisa berbuat banyak.
Berbagai tindakan perlawanan telah dilakukan oleh para petani untuk
mendapatkan tanahnya kembali, baik dengan jalan dialog, jalur hukum dan
perlawanan secara radikal. Moore dalam Henry dan Alexandrov (1984)
menjelaskan, bahwa suatu ploretariat desa yang besar yang terdiri dari buruh tani
9 Mustain, Petani Vs Negar, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007 ),
hal 16.
7
tak bertanah merupakan sumber potensial untuk pemberontakan atau revolusi.10
Perjuangan masyarakat Sambirejo tidak berhenti disini. Setelah Orde Baru runtuh
saat reformasi 1998, mereka kembali berjuang dan berani terang – terangan untuk
meminta kembali hak atas tanahnya kepada pemerintah. Pada masa itu, situasi
Sambirejopun kembali memanas. Warga mendapat teror dari preman – preman
yang disewa oleh PTPN IX untuk menakut – nakuti warga Sambirejo. Namun,
petani tidak tinggal diam. Diakhir tahun 2000 sempat terjadi peristiwa
pembakaran lahan dan penebangan pohon karet oleh petani sebagai wujud
perlawanan kepada PTPN IX.
Dalam perjuangannya, masayarakat Sambirejo tidak sendirian. Beberapa
lembaga hukum dan organisasi kemahasiswaan ikut memberikan dukungan bagi
masyarakat Sambirejo untuk mendapatkan kembali tanahnya. Tercatat ada dua
lembaga hukum yang terus mengawal perjuangan petani Sambirejo, yaitu ATMA
dan LPH YAPHI. YAPHI masih tetap konsisten mendampingi petani Sambirejo
sampai sekarang. Ada juga lembaga advokasi ELSAM yang sampai sekarang
masih melakukan pendampingan. Sedangkan organisasi kemahasiswaan yang
diketahui pernah ikut membantu perjuangan petani Sambirejo antara lain PMKRI,
PMII, GMNI dan GMKI. Perjuangan masyarakat Sambirejo tidak sia – sia. Meski
belum seluruhnya tanah kembali ke tangan petani, setidaknya masyarakat
Sambirejo telah mendapatkan kembali 3/4 tanahnya dari PTPN IX meski belum
mendapatkan ketetapan hukum dari pemerintah.
10 Landsberger, Henry dan Alexandrov, Pergolakan Petani dan Perubahan
Sosial,( Jakarta; Yayasan ilmu-ilmu sosial , CV. Rajawali, 1984), hal ; 21
8
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini berupaya untuk mengungkap masalah-masalah yang menjadi
latar belakang historis sengketa tanah yang terjadi dan proses – proses apa saja
yang telah ditempuh petani untuk mendapatkan kembali tanahnya, peristiwa –
peristiwa penting yang terjadi serta untuk mengetahui sejauh mana peran
lembaga hukum dan organisasi kemahasiswaan dalam mendampingi petani
Sambirejo dalam berjuang. Penelitian ini mengambil kurun waktu 1965 – 2010.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di depan, maka masalah
utama yang menjadi fokus penelitian ini adalah sebahgai berikut :
1. Apa yang melatar belakangi sengketa tanah (agraria) antara petani Sambirejo
dengan PT. Perkebunan Nusantara IX unit Batujamus/Kerjoarum, afdeling
Kepoh/Sambirejo?
2. Apa saja bentuk – bentuk perlawanan petani Sambirejo untuk mendapatkan
kembali tanah mereka dari PT. Perkebunan Nusantara IX unit
Batujamus/Kerjoarum, afdeling Kepoh/Sambirejo?
3. Resolusi apa saja yang telah ditempuh dalam proses penyelesaian sengketa
agraria di Sambirejo antara petani dengan PT. Perkebunan Nusantara IX unit
Batujamus/Kerjoarum, afdeling Kepoh/Sambirejo?
Untuk lebih memfokuskan pembahasan penelitian agar lebih mudah
dipahami dan dapat dipertanggungjawabkan, maka dilakukan pembatasan
lingkup temporal / pembatasan waktu. Adapun pembatasan masalah dalam
penelitian ini yaitu : Tahun 1960 – 1973 terkait tentang keluarnya Undang-
9
Undang Pokok Agraria, keluarnya SK KINAD dan perampasan tanah oleh PTPN
IX. Tahun 1974 – 1997 tentang keluarnya sertifikat hak milik atas nama warga
dan keluarnya HGU PTPN IX. Tahun 1998 – 2005 terkait peristiwa reformasi,
dibentuknya FPKKS dan aksi – aksi perlawanan oleh masyarakat Sambirejo.
Tahun 2006 – 2010 tentang HGU PTPN IX yang habis, penguasaan lahan oleh
masyarakat dan dikeluarkannya HGU baru.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dengan judul “Sengketa
Agraria dan Resolusi konflik di Sambirejo Sragen Tahun 1960 – 2010” adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui latar belakang sengketa tanah (agraria) antara petani
Sambirejo dengan PT. Perkebunan Nusantara IX unit Batujamus/Kerjoarum,
afdeling Kepoh/Sambirejo.
2. Untuk mengetahui bentuk – bentuk perlawanan baik secara langsung dan
tidak langsung petani Sambirejo untuk mendapatkan kembali tanah mereka
dari PT. Perkebunan Nusantara IX unit Batujamus/Kerjoarum, afdeling
Kepoh/Sambirejo.
3. Untuk mengetahui resolusi apa saja yang ditempuh petani Sambirejo dalam
proses penyelesaian sengketa agraria di Sambirejo antar petani dengan PT.
Perkebunan Nusantara IX unit Batujamus/Kerjoarum, afdeling Kepoh/Sambir
10
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini meliputi dua hal, yaitu manfaat akademis dan
manfaat praktis.
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi studi ilmu
sejarah, khususnya sejarah agraria di Indonesia dalam bentuk penelitian
ilmiah berupa dokumen tertulis. Juga sebagai bahan masukan dan panduan
literatur bagi peneliti-peneliti lain yang hendak melakukan penelitian dengan
tema agraria.
2. Manfaat Aplikasi
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan informasi bagi pihak-pihak
terkait dalam masalah sengketa agraria dan pertanahan. Serta dapat memberi
masukan bagi para petani, sebagai inspirasi nyata perjuangan kaum tani untuk
mendaptkan tanah. Bagi pemerintah dan pihak perkebunan agar lebih adil
dalam mengambil kebijakan dan sadar akan kepentingan umum. Indonesia
adalah negara agraris dan tanah adalah kebutuhan mendasar kaum tani yang
harus mereka miliki, dan hak sebagi warga Negara.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini bertemakan sengketa agraria, dimana permasalahan ini
merupakan permasalahan yang cukup pelik dan rumit. Untuk menjelaskan
permasalahan tersebut, penulis mengunakan beberapa buku sebagai referensi dari
11
beberapa narasumber. Dalam hal ini dibagi menjadi dua bagian sumber pustaka
yaitu : penelitian terdahulu dan kerangka teori.
1. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan sumber referensi yang digunakan peneliti yang
berupa penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain
yang terkait dengan penelitian yang peneliti lakukan. Penelitian-penelitian
tersebut antara lain :
Pertama, penelitian Heri Priyatmoko, Perusahaan Perkebunan Kopi
Pada Masa Mangkunegara IV (1853-1881). FSSR. UNS. 2009. Skripsi yang
disusun Heri Priyatmoko ini sebagai penelitian terdahulu sangat bermanfaat
dalam memberikan referensi terkait sejarah pertanahan di Sambirejo,
khususnya terkait sejarah tanah perkebunan karet yang menjadi objek sengketa.
Penelitian ini membahas tentang pengelolan perkebunan kopi dan tehnik
budidaya kopi yang dilakukan oleh mangkunegoro IV yang diawali dengan
penarikan tanah apanage. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini
adalah buruh tidak lagi menjadi korban kesewenang-wenangan bekel, demang
dan rangga setelah penarikan tanah apanage. Serta, struktur kelembagan dan
sistem yang dibangun pada saat itu bertujuan untuk kelancaran dan keamanan
produksi kopi.
Relevansi penelitian yang dilakukan terkait dengan sejarah perkebunan di
Mangkunegaran, karena perkebunan serat nanas di Sambierejo yang kini
menjadi perkebunan karet merupakan termasuk tanag apanage pada masa
12
Mangkunegaran. Ini memberikan gambaran tentang tanah Sambirejo. Dalam
penelitian ini juga dapat diketahui perkembangan sejarah perkebunan milik
Belanda.
Kedua, penelitian Adhi Agus wijayanto, Dampak Perusahaan Serat
Nanas Mojogedang terhadap perubahan sosial ekonomi Masyarakat Tahun
1922-1937, FSSR. UNS. 2009, menjelaskan tentang sejarah berdirinya serat
nanas Mojogedang. Ini sangat terkait dengan penelitian yang dilakukan, karena
tanah perkebunan yang menjadi sengketa di Sambirejo dulunya adalah bekas
perkebunan serat nanas Belanda.
Penelitian ini berisi tentang dampak perusahaan serat nanas terhadap
perubahan sosial ekonomi masyarakat di tahun 1922-1937. Di dalamnya,
diuraikan tentang peran Mangkunegoro VII dalam mengembangkan
perkebunan serat nanas dan perkembangan produktivitas serat nanas
Mojogedang di tahun 1922-1937.
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini yaitu
bahwa keberadaan perkebunan serat nanas Mojogedang yang dikembangkan
oleh Mangkunegaran, bukan hanya membawa dampak bagi peningkatan
perekonomian Mangkunegaran, tetapi juga memberikan dampak yang
signifikan terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan yaitu,
penelitian ini sama-sama mengambil latar belakang perkebunan serat nanas.
Dari penelitian ini pula dapat diperoleh gambaran tentang sejarah perkebunan
13
serat nanas di wilayah Mangkunegaran, dimana Sambirejo yang berada di
kabupaten Sragen pada masa Mangkunegaran adalah daerah kekuasaan
Mangkunegaran yang dikenal dengan bumi Sukowati. Penelitian ini sangat
membantu dalam melihat sejarah kepemilikan tanah di Sambirejo dan sejarah
tanah perkebuna karet yang dulunya merupakan bekas perkebunan serat nanas
Belanda.
Ketiga penelitian Trisno Martoyo, Penarikan Tanah Apanage Pada
Masa Mangkunegaran IV ( Perubahan Status Pemilikan Tanah Narapraja
dan Sentana Dalem, 1853 – 1881, FSSR UNS 1994. Penelitian ini berisi
tentang proses penghapusan tanah apanage dan penarikan tanah yang telah
disewakan kepada pihak asing, termasuk pemerintahan Hindia Belanda pada
masa Mangkunegaran IV. Dengan penghapusan tanah apanage ini,
Mangkunegaran berencana untuk mengelola tanah tersebut untuk dijadikan
perkebunan dan tidak lagi disewakan. Namun dalam prosesnya, banyak sekali
hambatan – hambatan yang dialami oleh Mangkunegaran IV.
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan, ditahun 1871
Mangkunegaran IV berencana untuk menghapus dan menarik tanah – tanah
apanage milik Magkunegaran yang disewa oleh orang – orang Eropa. Ini
bertujuan untuk medirikan perkebunan milik Mangkunegaran sendiri dan
ditahun 1877 dilakukan penarikan tanah apanage. Hal ini ditentang oleh
pemerintah Hindia Belanda, tanah apanage yang telah disewa oleh
pemerintahan Hindia Belanda gagal untuk dihapuskan dan tetap disewa oleh
14
pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Mangkunegara IV berencana untuk
menyewa tanah milik Hindia Belanda, tetapi juga tidak diperbolehkan.
Mangkunegara IV hanya berhasil menarik tanah apanage yang dikuasai oleh
Narapraja dan Santana dalem yang tidak disewakan oleh pihak asing.
Narapraja dan Santana dalem tidak lagi digaji dengan tanah apanage dan
diganti gaji berupa uang.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan, yaitu dalam
memahami sejarah tanah perkebunan dan tanah Sambirejo terkait kepemilikan
tanah sebelum dikuasi oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga diketahui
sejarah proses peralihan kepemilikan tanah mulai dari Mangkunegaran,
Belanda, pemerintah Indonesia dan masyarakat Sambirejo.
Keempat penelitian Erni Rahmawati, Sengketa Agraria PTP.
Nusantara IX Afdeling Kepoh Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen
Tahun 1982 – 2004, FSSR UNS 2006. Penelitian ini mengambil penelitian
yang sama, objek yang sama dengan rentang tahun yang berbeda. Penelitian ini
berisi tentang sejarah sengketa Agraria yang terjadi di tahun 1982 – 2004.
Yaitu bermula pada keluarnya HGU PTPN IX Afdeling Kerpoh Kerjoarum
pada tahun 1982.
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sengketa agraria atas
lahan PTPN IX merupakan sengketa yang berlatar pada landreform. Pangkal
permasalahannya adalah tanah yang kini dikuasai oleh PTPN IX, dulunya
adalah tanah Droog Culture/DC yang menjadi objek redistribusi kepada
15
masyarakat Sambirejo pada masa pemerintahan Orde Lama di tahun 1964.
Setelah reformasi, muncul gerakan petani di Sambirejo untuk menuntut
reclaiming tanah perkebunan karet yang dikuasai PTPN IX berdasarkan SK
KINAD. Berbaga langkah birokrasi hingga gerakan yang mengarah pada
radikalisasi telah dilakukan warga untuk mendapatkan tanahnya kembali.
Gerakan yang dilakukan petani antara lain pembabatan lahan, sabotase dan
audiensi dengan jajaran pemerintah.
Relevansi penelitin ini dengan penelitian yang dilakukan yaitu sama –
sama mengambil objek sengketa agraria antara petani Sambirejo dengan PTPN
IX Afdeling Kepoh Kerjoarum yang terjadi di Kabupaten Sragen. Hanya saja
pengambilan rentang tahun penelitiannya yang berbeda, dari penelitian
terdahulu ini mengambil tahun 1982 – 2004. Sedangkan penelitian yang
sekarang dilakukan mengambil rentang tahun 1960 – 2006, mulai dari
keluarnya UUPA tahun 60 sampai pada habisnya HGU PTPN IX.
Penelitian dari Erni Rahmawati ini, sangat membantu peneliti dalam
memahami sejarah sengketa agraria, perolehan data – data, peristiwa –
peristiwa yang terjadi dan memudahkan peneliti dalam menentukan sistematika
penelitian. Penelitian terdahulu ini mengambil sudut pandang petani Sambirejo
selaku korban dan pelaku reclaiming tanah perkebunan karet.
16
2. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan sumber referensi yang bersal dari buku – buku yang
terkait dengan penelitian yang dilakukan. Buku yang dijadikan sumber teori
dalam penulisan adalah sebagai berikut :
a. Masalah Agraria
Buku pertama berjudul Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola
penguasaan tanah pertanian di jawa dari masa ke masa), karya William
L Collier (1984). Di jelaskan, dengan rinci di daerah pedesaan Jawa, tanah
menjadi masalah utama dan memberikan landasan bagi pertarungan bukan
saja ekonomi, tetapi juga keagamaan maupun ideologi. Masalah tanah
merupakan konteks utama dimana berbagai konflik dasar menjadi nyata.
William lebih lanjut menjelaskan tentang UUPA 1960, ini merupakan
perombakan total dari sistem agraria warisan penjajahan Belanda. Asas –
asasnya adalah sebagai berikut: Untuk mengubah sistem undang – undang
agraria, dari suatu sistem kolonial ke suatu sistem agraria nasional sesuai
dengan kepentingan negara dan rakyat Indonesia dan khususnya petani –
petani Indonesia.
Dari teori ini menunjukkan pentingnya kepemilikan tanah dalam
masyarakat baik dalam segi ekonomi dan ideologi, dan masalah tanah
sering menjadi dasar terjadinya konflik. Dengan demikian teori ini dapat
dijadikan dasar dalam mengurai latar belakang sengketa tanah di
Sambirejo.
17
Buku kedua berjudul Sosiologi Agraria (Kumpulan Tulisan
Terpilih), diedit oleh Sediono M.P. Tjondronegoro, 1999. Sediono
menjelaskan, Permasalahan pertanahan merupakan permasalahan yang
sangat kompleks bagi suatu Negara. Masalah tanah di Indonesia sebagai
berikut : Ditinjau dari segi teori ekonomi, sebenarnya masalah pertanahan
di Indonesia pada umumnya dan di Jawa pada khususnya juga masih
tunduk pada hukum ekonomi klasik, David Ricardo dan H. Von Thuenen
(1952) yang menjelaskan bahwa, areal tanah yang paling subur akan
dimanfaatkan oleh penduduk lebih dahulu. Penduduk yang tergolong
pendatang berikutnya terpaksa menggarap tanah yang kurang subur dan
seterusnya sampai tanah kritis dan gersangpun akan dimanfaatkan dan
direklamasi bila penduduk terus bertambah.
Dari teori ini dapat dipahami mengapa masyarakat Sambirejo
berjuang tanpa mengenal lelah untuk melakukan reclaiming tanah
perkebunan karet yang dikuasai PTPN IX. Karena secara ekonomi
memang masyarakat membutuhkan tanah tersebut untuk sumber
kehidupan dan tarbatasnya lahan pertanian yang dimiliki masyarakat.
Buku ketiga berjudul Timbulnya Kepentingan Tanam
Perkebunan di Daerah Mangkunegaran, karya Pringgodigdo (2000).
Reksopustaka Mangkunegaran. Dalam buku ini dijelaskan tentang hukum
hak milik raja, tanah kekuasan Mangkunegaran, perkebunan milik
Mangkunegaran serta tanah dan sistem sewanya (peraturan apanage).
18
penguasaan tanah di Jawa pada masa Mangkunegaran adalah mutlak milik
raja. Yang kemudian tanah tersebut dijadikan tanah apanage untuk
menggaji para lungguhnya. Dalam sistem ini, lungguh memeiliki hak guna
dan gaduh terhadap tanah apanege dan masyarakat yang tinggal ditanah
tersebut menjadi tanaga kerjanya.
Teori ini sangat membantu penulis dalam memahami dan
menelusuri sejarah tanah perkebunan di Sambirejo sebelum Indonesia
merdeka. Mulai dari masa kerajaan, penjajahan Belanda. Selain itu juga di
jelaskan bentuk – bentuk kepemilikan tanah, dan pengelolaannya serta
sejarah perkebunan Mangkunegaran.
Buku keempat berjudul Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di
Pedesaan Surakarta 1830 – 1920, karya Suhartono (1991). Dalam buku
ini dijelaskan tentang perubahan sosial di pedesaan Surakarta pada masa
Mangkunegaran, serta menjelaskan tentang tanah-tanah apanage / tanah
yang disewakan kepada pihak swasta oleh Mangkunegaran beserta sistem
sewanya.
Sama dengan Pringgodigdo, teori ini sangat membantu penulis
dalam memahami dan menelusuri sejarah tanah perkebunan di Sambirejo
sebelum Indonesia merdeka. Terutama terkait tentang sejarah tanah di
Surakarta khususnya sejarah tanah milik Mangkunegaran.
19
b. Resistensi Petani
Buku pertama berjudul Senjatanya Orang – orang yang Kalah,
karya James C. Scott (2000) menjelaskan bahwa petani seringkali
melakukan pemberontakan dalam kehidupan sehari – hari baik dengan
atau tanpa organisasi. Perlawanan orang – orang tertindas lebih berupa
perlawanan secara diam – diam dan sembunyi – sembunyi. penyebab
adanya perlawanan buruh tani terhadap tuan tanah di Kedah (Malaysia)
disebabkan oleh kesenjangan sosial yang begitu jauh antara buruh tani dan
tuan tanah. Serta penggantian tenaga manusia dengan mesin oleh para tuan
tanah dalam menggarap lahannya, yang berakibat hilangnya mata
pencaharian para buruh tani.
Sama seperti petani Sambirejo yang telah melakukan berbagai
perlawanan baik bersifat tertutup atau terbuka, dan sebelum maupun
setelah adanya organisasi. Perlawanan petani sebagai kaum tertindas, pada
akhirnya menimbulkan reaksi dari pihak penindas, ini jugalah yang
dilakukan oleh PTPN IX.
Buku kedua berjudul Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial,
karya Henry A Landsberger dan Alexsandov (1984) menjelaskan tentang
bentuk – bentuk kepemilikan tanah petani meliputi : milik perorangan
turun – temurun, milik komunal dan tanah bengkok. Lebih lanjut dalam
buku ini dijelaskan bahwa perubahan sosial ekonomi suatu Negara akan
memunculkan pergolakan petani. Perubahan ekonomi dan politik ini
20
membawa perubahan-perubahan di sektor lain termasuk bidang pertanian
dan agrarian, perubahan ini menghasilkan ancaman kemerosotan status.
Lebih lanjut longworth dan Jackson dalam Alexandrov menjelaskan
bahwa komersialisasi pertanian yang mengakibatkan pencaplokan tanah
oleh tuan – tuan tanah merupakan sebab mendasar terjadinya
pemberontakan kaum tani. Dalam sejarahnya, pergolakan petani muncul di
Eropa, Amerika dan Asia. Khususnya di Asia.
Teori ini memberikan gambaran tentang sebab – sebab terjadinya
konflik di Sambirejo tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga dari segi
politik. Sengketa tanah di Sambirejo terjadi tidak terlepas dari kebijakan
politik yang dijalankan pemerintah, baik dimasa pemerintahan Orde Lama,
Orde Baru dan pemerintahan sekarang ini.
Buku ketiga berjudul Radikalisasi Petani, oleh Kuntowijoyo,
2002. Dalam buku ini menjelaskan analisisnya tentang konflik – konflik
sosial, rekayasa politik atau budaya, perubahan kebijakan serta perlawanan
budaya dan politik. Kuntowijoyo juga mengungkap radikalisasi petani di
masyarakat pedesaan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia yang
kurang berhasil, dampak perubahan administrasi kolonial dan upaya
penguasa membangun mitos politik untuk melawan kekuatan alternatif
yang dibangun oleh para ulama di zaman penjajahan. Lebih rinci lagi,
dalam buku ini dijelaskan mengenai kajian tentang keterlibatan petani
dalam politik di Indonesia. Polarisasi masyarakat pedesaan yang terdiri
21
atas tuan tanah dan petani penggarap yang memiliki kesenjangan dalam
kehidupan sehari – harinya.
Teori ini digunakan untuk menganalisa kesenjangan yang terjadi
antara petani sambirejo dengan PTPN IX. Imbas stigmanisasi PKI
terhadap proses penguasaan lahan oleh PTPN dan mengurai konflik-
konflik yang terjadi antara petani sambirejo dengan PTPN.
Buku keempat berjudul Sengketa Agraria (Pengusaha
Perkebunan Melawan Petani), Karl J. Pelzer, 1991. Dalam bukunya itu
Pelzer menjelaskan sengketa agraria antara pengusaha perkebunan
melawan petani, tidak bisa tidak harus dilihat sebagai akibat dari kondisi
kompleksitas permasalahannya. Lebih lanjut Pelzer menjelaskan tentang
fenomena sengketa pertanahan yang begitu merebak dari tahun-ketahun
yang selalu mengimplikasikan masalah seperti perubahan yuridis
menyangkut undang – undang, pemilikan tanah, perubahamn teknologi
perkenaan dengan metode pertanian, perubahan ekonomi menyangkut
hubungan kekuasaan, perubahan sosiologis menyangkut struktur
masyarakat dan perubahan kultural yang berkenaan dengan pemahaman
diri. pergolakan petani terjadi karena kebutuhan lahan pertanian, dimana
kebanyakan orang – orang Batak Toba bermukim sebagai penduduk liar di
tanah – tanah perkebunan. Atas dukungan dari kelompok tani yang
beraliran kiri dan berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesai, mereka
menuntut kepemilikan tanah atas tanah-tanah bekas perkebunan Belanda.
22
Hal ini hampir sama yang terjadi di Sambirejo, dimana tanah yang
disengketakan adalah bekas perkebunan Belanda. Sehingga dapat
dijadikan dasar untuk mengurai masalah yang terjadi di Sambirejo. Selain
itu stigma Komunis juga sempat menimpa masyarakat Sambirejo.
Buku kelima berjudul Petani Vs Negara, Karya Mustain (2007).
Dalam buku ini dibahas tentang sejarah konflik pertanahan, gerakan sosial
petani, konflik yang terjadi di Kalibakar antara petani dengan PTPN XII,
strategi dan problematika gerakan dan implikasi teori gerakan. Mustain
menjelaskan bahwa latar belakang konflik pertanahan di pedesaan
umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan dan petani
yang didasari adanya penyelewengan terhadap pelaksanaan HGU. Gerakan
sosial radikal adalah gerakan sosial yang menolak secara memyeluruh
tertib sosial yang sedang berlaku yang di tandai oleh kejengkelan moral
kaum yang menentang dan bermusuhan dengan kaum yang berkuasa.
Gerakan radikal mempunyai tiga ciri yaitu, dilakukan oleh sekelompok
tertentu dengan tujuan mengubah tatanan yang dianggap tidak tepat,
adanya kekerasan guna memaksa perubahan yang dikehendaki, dan adanya
ketidak puasan moral yang kuat terhadap pihak yang diuntungkan dari
kebijakan yang ditentang.
Sama halnya dengan teori yang di buat Karl J. Pelzer, dari teori
William sangat membantu untuk mengurai konflik yang terjadi di
Sambirejo. Apalagi dalam bukunya William mencontohkan konlik antara
23
petani dengan PTPN. Ini sama dengan yang terjadi di Sambirejo. Sehingga
dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami sejarah konflik
pertanahan secara umum, memahami strategi gerakan petani Sambirejo
dan implikasi teori gerakannya.
c. Resolusi Konflik
Buku pertama berjudul Kewenangan pemerintah Bidang
Pertanahan, karya Arie Sukamti H dan Markus Gunawan (2009). Dalam
buku ini dibahas tentang hukum tanah, dan kebijakan pertanahan Nasional,
serta kewenangan pertanahan dalam konteks otonomi daerah. Amanat
undang-undang (UUPA pasal 6 : semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial) yang mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis
dengan kepentingan-kepentingan investasi dan komersial yang
menguntungkan segelintir kelompok yang mengakibatkan kepentingan
rakyat banyak terbengkalai.
Bentuk resolusi konflik terhadap pertanahan merupakan
kewenangan pemerintah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kewenangan
pemerintah Kabupaten/kota terkait sengketa tanah antara lain : pengkajian
dan penerimaan dugaan sengketa, penelitian terhadap objek dan subjek
sengketa, pencegahan meluasnya dampak sengketa. Sedangkan
penyelesaian sengketa menjadi wewenang pemerintah Provinsi. Terkait
pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) juga berada di pemerintah
Provinsi melalui BPN provinsi. Sedangkan yang berkaitan dengan objek
24
redistribusi tanah pemerintah Provinsi memiliki wewenang pembentukan
panitia landreform provinsi, penyelesaian permasalahan penetapan objek
dan subjek tanah kelebihan maksimum, serta pembinaan penetapan subjek
dan objek redistribusi tanah dan ganti kerugian tanah kelebihan
maksimum. Sedangkan di tingkat Kabupaten/kota terkait redistribusi
tanah, pemerintah Kabupaten/kota berwenang membentuk panitia
landreform dan sekretariat panitia, pelaksanaan siding penetapan subjek
dan objek redistribusi, pembuatan hasil siding dalam berita acara,
penetapan tanah kelebihan maksimum, penetapan para penerima
redistribusi tanah kelebihan maksimum, serta penerbitan surat keputusan
subjek dan objek redistribusi tanah serta gantirugi.
Dari buku ini dapat diketahui status tanah secara hukum Negara.
Siapa saja yang berkepentingan terkait pertanahan, proses redistribusi dari
sudut pandang Pemerintah. Sehingga dapat digunakan untuk menganalisa
dan mengurai kedudukan tanah perkebunan yang disengketakan
masyarakat Sambirejo dengan PTPN IX.
Buku kedua berjudul Masalah Pertanahan di Indonesia, karya G.
Kartasapoetra, dkk (1986) menjelaskan tentang pembebasan tanah dan
tatacara pembebasan tanah. Juga dijelaskan macam-macam hak atas tanah,
prosedur terkait permintaan hak atas tanah Negara. Untuk memenuhi
kebutuhan akan tanah dalam usaha pembangunan, baik yang dilakukan
oleh pemerintah maupun swasta. Khususnya untuk keperluan pemerintah
25
terkait kepentingannya dalam mensejahterakan rakyat, tidak menumbulkan
gejolak dalam masyarakat perlu adanya ketentuan mengenai pembebasan
tanah dan sekaligus menentukan besarnya gantirugi atas tanah yang
diperlukan.
Dari buku ini dapat di ketahui prosedur – prosedur pembebasan
tanah. Sehingga dapat digunakan untuk menganalisa proses pembebasan
tanah yang dilakukan PTPN pada waktu pengambilalihan tanah yang
dimiliki masyarakat Sambirejo berdasarkan SK KINAD. Dapat di lihat
juga seperti apa peran pemerintah terkait permasalahan ini.
d. Reforma Agraria
Buku pertama berjudul Reformasi Agraria : Perjalanan yang
Belum berakhir, Gunawan Wiradi (2000). Menjelaskan bahwa konflik
agraria adalah suatu situasi, yaitu interaksi antara dua (atau lebih) orang
atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingan atas
objek yang sama yaitu tanah atau benda – benda lain yang berkaitan
dengan tanah seperti air, tanaman, tambang, dan juga udara yang berada di
atas yang bersangkutan.
Keadaan ekonomi yang memburuk selama dasawarsa sebelum
1965, polarisasi dan eksploitasi ekonomi meningkat di daerah pedesaan
jawa. Adanya pemecahan tanah milik kedalam persil – persil kecil dan
tanah tertumpuk kepada tuan tanah melalui pembelian dan sistem lintah
darat. Hal ini memberikan tekanan yang kuat bagi kehidupan kaum tani
26
dan buruh tani yang tak bertanah. Buruh tani menjadi tergantung pada tuan
tanah dan kehidupannya semakin miskin. Kesenjangan ini menimbulkan
perlawanan buruh tani, untuk menuntut perbaikan ekonomi mereka.
Reformasi agrarian di Indonesia yang dimulai dengan
diterbitkannya Undang – Undang Pokok Agraria tahun 1960, namun
pelaksanaan Undang – undang tersebut sampai sekarang masih banyak
kendala yang ditemui. Terutama terkait redistribusi tanah kepada
masyarakat yang tidak memiliki tanah. Reforma agrarian pada awal
kemerdekaan bertujuan untuk mengambil alih tanah – tanah yang dikuasai
penjajah untuk didistribusikan kepada warga Negara yang tak bertanah.
Dengan munculnya peristiwa G 30 S dan tumbangnya Orde Lama
pelaksanaan reforma agrarian menjadi permasalahan yang tak kunjung
usai karena UUPA dianggap sebagai produk Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Teori ini digunakan untuk memahami konflik yang terjadi antara
masyarakat Sambirejo dengan PTPN IX. Dan juga untuk mengetahui
sejarah reformasi agrarian di Indonesia, karena konflik di sambirejo
merupakan imbas dari proses reformasi agrarian.
Buku kedua berjudul Hukum agraria dan Hak – hak Atas Tanah,
karya Urip Santoso (2005) menjelaskan tentang pengertian tentang hukum
agraria dan hukum tanah baik pada masa kolonial maupun setelah
Indonesia berdiri. Selain itu dijelaskan hak atas penguasaan tanah. Urip
27
Santoso juga menjelaskan tentang berlakunya Undang – undang No.5
Tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok – pokok agraria (UUPA) dan
peraturan pelaksanaannya.
Dari buku Urip Santoso, dapat diketahui tentang UUPA, baik
sejarah dan poin – poin pentingnya. Selain itu dapat dipahami status
kepemilikan tanah pada masa kolonial Belanda dan status hukum
kepemilikan tanah perkebunan yang disengketakan.
Dengan melihat apa yang telah dilakukan oleh masyarakat Sambirejo,
bentuk – bentuk perlawanan yang mereka lakukan dan lamanya perjuangan
warga untuk mendapatkan tanah mereka kembali. Dengan demikian dalam
penyusunan skripsi ini lebih banyak mengacu pada teori James Scott sebagai
teori pokok. Karena dirasa cocok dengan bentuk perlawanan yang dilakukan
oleh masyarakat Sambirejo. Perjuangan yang telah dilakukan masyarakat
yang begitu lama membentuk pola perlawanan masyarakat, bukan perlawanan
yang frontal dan revolusioner yang berlangsung secara singkat. Melainkan
perlawanan yang dilakukan secara terus – menerus, sedikit demi sedikit
menguasai lahan dan sesekali dengan bentuk perlawanan radikal guna
menunjukkan eksistensi warga, inilah yang dilakukan oleh masyarakat
Sambirejo.
28
F. Metode Penelitian
Penelitian mengenai “Sengketa Agraria dan Resolusi Konflik di Sambirejo
Sragen tahun 1960 - 2010” ini menggunakan metode penelitian sejarah. Menurut
Louis Gottschalk11 yang dimaksud dengan metode penelitian sejarah adalah
mengumpulkan, menguji dan menganalisa secara kritis rekaman – rekaman,
peninggalan masa lampau serta usaha melakukan sintesa dari data – data masa
lampau tersebut menjadi kajian yang dapat dipercaya. Metode ini dipilih karena
objek penelitian banyak menggunakan data-data historis, dengan dokumen –
dokumen terbitan tahun 1960 – 2010, dengan kurun waktu 50 tahun. Ini
merupakan rentang waktu yang panjang dalam proses sejarah. Dalam metode
penelitian sejarah, ada empat proses yang harus dilalui, yaitu :
1. Heuristik
Tahapan heuristik adalah proses pengumpulan data – data yang akan
menjadi sumber sejarah dari masalah yang akan diteliti. Data – data yang
dikumpulkan berupa dokumen, arsip baik dalam bentuk tulisan maupun
gambar. Data diperoleh melalui studi pustaka, terkait arsip – arsip terkait dan
juga melalui hasil wawancara dari berbagai narasumber.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan, antara lain:
11 Gottschalk, louis, Mengerti Sejarah. (Jakarta : Universitas Indonesia
Press. 1986)
29
a. Studi Dokumen
Pada umumnya data yang tercantum dalam berbagai bahan
dokumenter itu merupakan satu – satunya alat untuk mempelajari
permasalahan tertentu antara lain karena tidak dapat diobservasi lagi, tidak
dapat diingat lagi.12 Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan sumber data primer. Studi dokumen ini terbagi menjadi dua,
yaitu berupa dokumen tertulis dan artefak. Dokumen tertulis berupa
sumber – sumber data yang berupa Surat Keputusan yang dibuat oleh
pihak – pihak terkait surat kepemilikan tanah. Selain itu juga catatan –
catatan kesaksian dan kronologi peristiwa dari para petani sebagai pelaku,
dan juga data – data lain terkait proses hukum yang telah dilakukan oleh
petani dan pihak PTPN IX.
Dokumen – dokumen ini didapat dari Dokumen milik warga dan
FPKKS, Majalah yang diterbitkan oleh KPA, Dokumen dari ATMA,
dokumen yang diunduh dari internet, dokumen dari organisasi
kemahasiswaan yang pernah melakukan pendampingan, dokumen dari
koran, serta pihak – pihak lain yang terkait. Sedangkan untuk sumber yang
berupa artefak tidak ada.
12 Sartono Kartodirjo, tanpa tahun, Motode Pendekatan Sejarah dan
Penelitian pendidikan Pasca Sarjana, Fakultas ekonomi, Yogyakarta: UGM, hlm 34
30
b. Wawancara
Metode wawancara dilakukan untuk mengetahui dan melacak
peristiwa – peristiwa penting yang akan diungkap. Dalam wawancara ini
pula, dapat bertemu langsung dengan para pelaku, dalam hal ini petani,
dan pihak yang terkait untuk mencari informasi. Dalam penelitian ini,
peneliti melakukan wawancara secara tidak formal guna menggali
informasi. Ini bertujuan agar pihak yang diwawancara lebih merasa
nyaman dan lebih mudah memahami maksut wawancara. Wawancara
dilakukan kepada enam orang petani sambirejo, yang terdiri dari dua orang
saksi hidup, dua orang petani dan anggota FPKKS, serta Ketua dan
sekertaris FPKKS dengan tujuan untuk memahami kronologis sengketa
tanah. Satu orang dari ELSAM, satu orang dari angota organisasi
kemahasiswaan (PMKRI) untuk mengetahui peran – peran lembaga
bantuan hukum dan organisasi kemahasiswaan dalam sengketa tanah di
Sambirejo.
2. Kritik Sumber
Kritik sumber yaitu memilih dan memilah sumber yang akurat dan
menyeleksi sumber – sumber sejarah yang ada untu memperoleh informasi
yang valid. Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, pertama yang
dilakukan adalah mencari sumber primer yang didapat dari hasil wawancara
kepada petani Sambirejo, terutama kepada pelaku sejarah yang sampai
sekarang masih hidup. Ini menjadi sangat penting karena dari pelaku sejarah
31
inilah sebab – sebab terjadinya konflik agraria di Sambirejo dapat diketahui
secara pasti. Untuk proses perjuangan dan penyelesaian konflik dipilih dari
ketua dan sekertaris FPKKS yang memeang bertugas untuk memimpin angota
FPKKS untuk melakukan strategi-setrategi perlawanan dan penyelesaian
konflik.
Sedangkan untuk langkah kedua yaitu pemilihan sumber – sumber
dokumen, yang bertujuan untuk mencari dokumen – dokumen terkait
sengketa tanah di Sambirejo, baik bukti – bukti kepemilikan tanah oleh
warga, dokumen proses penyelesaian konflik, dokumen – dokumen yang
disusun oleh lembaga bantuan hukum yang mendampingi, dokumen –
dokumen dari media masa yang meliput segala bentuk peristiwa yang terkait
sengketa tanah Sambirejo. Untuk dokumen – dokumen terkait
Mangkunegaran diambil untuk mengetahui sejarah tanah Sambirejo pada
masa mangkunegaran dan pemerintahan Hindia Belanda.
3. Interpretasi
Tahapan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu analisa dan sintesa.
Analisa adalah menguraikan data dengan memperhatikan aspek kausalitas,
sedangkan sintesa adalah penyatuan keduanya. Analisis yang digunakan
merupakan diskriptif analisis, yaitu analisi yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan, mengolah dan menyimpulkan hasil secara diskriptif. Setelah
itu sumber bahan dokumen dan studikepustakaan, tahap selanjutnya adalah
diadakan analisis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan lainnya. Data-data yang
32
telah diseleksi uji kebenarannya itu adalah fakta – fakta yang akan diuraikan
dan dihubungkan sehingga menjadi satu – kesatuan yang utuh, berupa kisah
sejarah yang dapat dipertangungjawabkan kebenarannya.
4. Historiografi
Tahap terakhir adalah Historiografi yang merupakan hasil dari
penelitian. Historiografi merupakan penulisan sejarah dengan mengkaitkan
fakta – fakta yang telah dicari dan ditemukan dalam arsip – arsip. Data – data
yang telah diseleksi dan diuji kebenarannya adalah fakta – fakta yang
akan diuraikan dan dihubungkan sehingga menjadi satu kesatuan,
hasilnya berupa kisah sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
G. SISTEMATIKA PENELITIAN
Untuk memahami alur dan isi dalam penelitian ini dapat dilihat melalui
sitematika penelitian. Adapun sistematika dalam penyusunan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Bab I menjelaskan tentang latar belakang masalah sebagai dasar
penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, manfaat penelitian
dan metode yang digunakan dalam penenelitian ini.
Bab II menjelaskan tentang gambaran umum kecamatan Sambirejo,
penyebab konflik agraria di Sambirejo Sragen terkait sejarah perkebunan nanas,
hubungan masyarakat dengan perusahaan nanas dan awal sengketa agrarian.
33
Bab III membahas bentuk – bentuk perlawanan masyarakat Sambirejo
terhadap PTPN IX untuk mendapatkan kembali tanah mereka. Hal ini meliputi
aksi – aksi perlawanan secara diam – diam maupun terbuka dan upaya PTPN IX
dalam melawan aksi warga tersebut.
Bab IV menjelaskan tentang resolusi yang ditempuh dalam penyelesaian
sengketa agraria antara masyarakat Sambirejo dengan PTPN IX. Meliputi
pembentukan FPKKS, peran lembaga non pemerintah, peran pemerintah dan
model resolusi konflik yang telah dilakukan, serta kondisi kekinian sengketa tanah
Sambirejo.
Bab V merupakan hasil penelitian yang berupa kesimpulan.