Upload
vuongkhanh
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pidana Penjara merupakan pidana yang paling banyak dimuat dalam kitab
undang-undang hukum pidana dan ketentuan pidana yang lainnya. Pidana penjara
adalah pidana berupa pembatasan kemerdekaan bagi pelaku tindak pidana ke
dalam suatu rumah penjara. Diharapkan, dengan adanya perampasan
kemerdekaan si terpidana akan menjadi tidak bebas untuk mengulangi tindak
pidana dan selama waktu dirampasnya kemerdekaan itu, si terpidana juga
diharapkan melakukan perenungan untuk menyadari kesalahan yang telah
dibuatnya.1
Sistem kepenjaraan yang menekankan pada unsur penjaraan dan
menggunakan titik tolak pandangannya terhadap narapidananya sebagai individu
semata-mata dipandang sudah tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pandangan “hukum sebagai sistem” adalah pandangan
yang cukup tua, meski arti sistem dalam berbagai teori yang berpandangan
demikian itu tidak selalu jelas dan tidak juga selalu seragam2. Bagi bangsa
Indonesia pemikiran-pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak sekedar pada
1 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 1402Widia Edorita, “Menciptakan Sebuah Sistem Hukum yang Efektif: dimana harus dimulai”, JurnalIlmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau, Edisi I Agustus 2010, hlm. 83.
2
aspek penjaraan belaka, tetapi juga merupakan suatu rehabilitasi dan reintegrasi
sosial telah melahirkan suatu sistem pembinaan terhadap pelanggar hukum yang
dikenal sebagai sistem pemasyarakatan.3
Penjatuhan pidana dan pemidanaan bukan semata-mata sebagai
pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan
pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana
sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik.
demikianlah konsepsi baru fungsi pemidanaan yang bukan lagi sebagai penjaraan
belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitas dan reintergrasi sosial Konsepsi itu
di Indonesia disebut sebagai sistem Pemasyarakatan.4
Salah satu tujuan negara Indonesia secara konstitusional adalah
terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata
materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal
pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat
kesehatannya. Peningkatan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya
peningkatan di segala bidang ekonomi, kesehatan dan hukum. Adapun yang
dimaksud antara lain tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan
berkesinambungan sehingga mencapai kesejahteraan; terciptanya peningkatan
3Dwidja Priyatno,Sistem Pelaksanaan Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,2006, hlm. 34Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm
3
upaya kesehatan, sarana, dan prasarana, pembiayaan kesehatan, sumber daya
manusia kesehatan, pembinaan, pengawasan, pengendalian dan penilaian disertai
oleh peningkatan kemandirian masyarakat melalui upaya provokatif dan preventif
dalam peningkatan kualitas lingkungan, perilaku hidup bersih sehat dan
pelayanan kesehatan; serta terciptanya supremasi hukum serta tertatanya sistem
hukum daerah yang mencerminkan kebenaran, keadilan, akomodatif, dan
aspiratif.5
Pada awalnya tidak dikenal sistem kepenjaraan di Indonesia. Sistem pidana
penjara baru dikenal pada zaman penjajahan. Sejak tanggal 1 Januari 1981
Reglemen Penjara Baru Stbl. 1971 No. 708, yang bertujuan mengganti sistem
kepenjaraan kepada sistem kemasyarakatan atau sering disebut Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas).6 Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk
melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di
Indonesia7
Lembaga Pemasyarakatan sebagai Lembaga Pembinaan, posisinya sangat
strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana yaitu
rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum.8Tujuan diselenggarakannya
Sistem Pemasyarakatan adalah dalam rangka membentuk Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan
5Http://www.bappeda.bogorcity.net/index.php. Diunduh pada tanggal 17 Juli 2017. Jam 22.47 WIB.6Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2008,hlm. 48.7Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan8Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam PerspektifSistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal 65.
4
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggungjawab.9Fungsi sistem pemasyarakatan adalah menyiapkan warga
binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat,
sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan
bertanggung jawab.10Namun, sepertinya tujuan dan fungsi lembaga
pemasyarakatan ini tidak tercapai terbukti dengan adanya kasus peredaran
narkotika di dalam Lapas kelas II.A Pekanbaru.11
Perkembangan penyalahgunaan narkotika dari waktu ke waktu menunjukan
angka yang semakin meningkat, bahkan kasus yang terungkap oleh BNN
hanyalah fenomena gunung es, yang hanya sebagian kecil saja yang tampak di
permukaan sedangkan kedalamannya tidak terukur. Disadari pula masalah
penyalahgunaan narkotika merupakan maslah nasional dan internasional karena
dampak negatif yang dapat merusak serta mengancam berbagai aspek kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara serta dapat menghambat proses pembangunan
nasional 12Fenomena peredaran narkotika dalam hal ini merupakan permasalahan
internasional, regional dan nasional. Sampai dengan saat ini, penyalahgunaan
obat-obatan terlarang di seluruh dunia tidak pernah kunjung berkurang. Secara
9Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan10Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan11http://pekanbaru.tribunnews.com/2016/03/22/newsvideo-sabu-3-kg-yang-diamankan-bnn-riau-ternyata-dikendalikan-dari-lapas di akses pada tanggal 17 juli 2017 jam 9;2312A. Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Jakarta;Sinar Grafika,1994,hal 6
5
umum permasalahan obat-obatan terlarang dapat dibagi menjadi tiga bagian yang
saling terkait, yakni adanya produksi narkoba secara gelap (illicit drug
production), adanya perdagangan gelap narkotika (drug abuse). Ketiga hal itulah
sesungguhnya menjadi target sasaran yang ingin diperangi oleh masyarakat
international dengan Gerakan Anti Mandate Sedunia.13
Penyalahgunaan dan peredaraan gelap narkotika di Indonesia telah
merambah ke seluruh wilayah tanah air dan telah tersebar ke berbagai lingkungan
kehidupan, baik lingkungan pendidikan, lingkungan kerja, dan lingkungan
pemukiman, dan lingkungan penegak hukum. Salah satu institusi penegak hukum
yang juga tidak bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika adalah
Lembaga Pemasyarakatan. Lapas adalah tempat melaksanakan pembinaan
terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan berdasarkan sistem
Pemasyarakatan. Lapas ditempatkan semua narapidana termasuk juga narapidana
kasus narkotika baik korban maupun pengedar. Dalam Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan telah diatur berbagai ketentuan mengenai
bagaimana cara memperlakukan narapidana serta tugas dan wewenang petugas
pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Pembina
narapidana. Penyalahgunaan dan Peredaran narkotika di Lapas merupakan
masalah serius dan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu diperlukan
upaya untuk pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
narkotika di Lapas. Selain dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
13 Dharana Lastarya.Narkoba, perlukah mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta. 2006. Hlm.15.
6
Tentang Narkotika, aparat penegak hukum di harapkan dapat bekerjasama untuk
mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut hususnya di Lapas. Ada
kebijakan penal yang penting dalam ketentuan pada Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu :
a. Untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalhgunaan Narkotika dan
mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, diatur mengenai
Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau
bahan pemula atau bahan kimia yang dapat di gunakan dalam pembuatan
Narkotika. Dalam Undang-undang ini di lampirkan mengenai Prekursor
Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis
Prekursor Narkotika.
b. Diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaaan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan narkotika. Untuk menimbulkan efek jera
terhadap pelaku penyalagunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika , diatur mengenai pemberantasan sanksi pidana, baik
dalam bentuk pidana minuman khusus, pidana penjara 20(dua puluh)
tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan
pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis,
ukuran, dan jumlah Narkotika.
c. Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika,
7
diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan
Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan
Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional,
Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. Dalam
Undang-Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga
pemerintah nonkementrian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah
Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga
mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan BNN kabupaten/kota.
d. Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh
harta kefkayaan atau harta benda yang merupakan hasill tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan
digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial.
e. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operasinya semakin
canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan
teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian
terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi
8
(controlled delivery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan
mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika.
f. Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan
secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas
negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik
bilateral, regional, maupun internasional.
g. Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam
usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota
masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
h. Pemberantasan dan penyalahgunaan narkotika secara komprehensif
tataran dari berbagai perspektif ilmu tersebut di atas, juga ditunjang
dengan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dapat dilakukan sesuai
dengan kajian epidemiologi dan etiologi. Kajian epidemiologi dan
etiologi mengenai penyalahgunaan narkotika menunjukkan bahwa
penyalahgunaan narkotika terjadi akibat interaksi dari beberapa faktor :
individu, kepribadian dan sosial.
9
Di antara aparat penegak hukum yang juga mempunyai peran penting
terhadap penanganan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika adalah
Badan Narkotika Nasional (BNN).Salah satu bagian aparat penegak hukum yang
juga memepunyai peranan penting terhadap adanya kasus penyalahgunaan
narkotika ialah “Penyidik” dalam hal ini penyidik BNN, dimana penyidik di
harapkan mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus pelanggaran
Narkotika. Dengan di keluarkanya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yang mengatur sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan
dengan dikeluarkannnya Undang-Undang tersebut, maka penyidik di harapkan
mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih
yang telah melakukan penyalahgunaan Narkotika.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.14 Di satu sisi narkotika
merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan
kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain dapat
menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa
adanya pengendalian serta pengawasan yang ketat dan seksama. Pada dasarnya
peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah
keberadaannya. Undang-Undang Narkotika hanya melarang penggunaan
14 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
10
narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud. Keadaan yang demikian
ini dalam tataran empirisnya, penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan
untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi jauh dari pada
itu, dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana
kegiatan ini berimbas pada rusaknya fisik maupun psikis mental pemakai
narkotika khususnya generasi muda.
Terungkapnya kasus peredaran narkotika di Lapas Klas IIA Pekanbaru
dikarenakan adanya penggeledahan yang dilakukan oleh Badan Narkotika
Nasional kedalam Lapas Kelas II.A Pekanbaru pada tanggal 07 Maret 2016. Dari
hasil penggeledahan polisi dan BNN ditemukan bungkusan plastik sabu,senjata
tajam,gunting,narkoba, mancis dan serta tes urine ada sekitar 70% warga binaan
positif narkoba. Hal ini tentunya ada indikasi terjadinya bisnis narkoba dari dalam
Lapas. Peredaran gelap narkoba di Lapas dan Rutan semakin mengkhawatirkan.
Secara nasional, Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia sudah sampai ke
tahap darurat narkoba. Geografis Indonesia Terbuka menyebabkan narkoba
mudah masuk dan menyebar di indonesia termasuk wilayah Provinsi Riau yang
mana geografis provinsi Riau terdapat 12 Kabupaten kota yang berbatasan dengan
Malaysia disamping itu juga berbatasan dengan provinsi Sumatra utara dari aceh
masuk ke medan dan medan langsung ke Riau. Dan Malaysia Masuk mulai dari
Rokan Hilir sampai ke Indragiri Hilir. 300 Kg tertangkap masuk dari Medan dan
11
salah satu nya membawa narkoba yaitu anggota Polri.15Oleh karena itu,
penegakan hukum menjadi sangat penting dalam upaya pemberantasan peredaran
narkoba, khususnya di Lapas dan Rutan.
Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999 Tentang Badan Kordinasi
Narkotika Nasional (BKNN) Masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika bukan saja merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi
negara Indonesia, melainkan juga bagi dunia Internasional16. Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menjadi dasar hukum dalam
penanganan masalah narkotika di Indonesia. Kejahatan narkotika dan obat-obatan
terlarang pada masa sekarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan
modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat penegak hukum
diharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna
meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia,
khususnya bagi generasi penerus bangsa. Oleh karena itu dalam Pasal 64 ayat 1
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, disebutkan “Dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan
Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN”. Kemudian Pasal 64 ayat 2
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, “BNN merupakan
15Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Riau, dalam acara Sosialisasi Program Rehabilitas &Pasca Rehabilitas Tanggal 18 Agustus 2017.16Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, Press,Malang, 2009, hlm. 30
12
lembaga pemerintah non kementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan
bertanggung jawab kepada Presiden”.
Kemudian dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika,
mengatur tentang tugas BNN sebagaimana tercantum dalam Pasal 70 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yaitu antara lain Menyusun
dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dalam
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika BNN diberikan
kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
narkotika dan prekursor narkotika, sebagaimana tercamtum dalam Pasal 71
Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika “Dalam melaksanakan
tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
prekursor narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika”. Untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 67 ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika.17 Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor
23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional. Peraturan Presiden tersebut
yang pada intinya menegaskan tentang kedudukan, tugas, fungsi dan wewenang
BNN serta susunan organisasi BNN. Pelaksanaan Penanganan Narkotika Di
Lembaga Pemasyarakatan Penyalahgunaan dan Peredaran gelap narkotika oleh
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tentunya sagat di sayangkan.
17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
13
Tak jarang, distribusinya malah melibatkan oknum petugas yang seharusnya
menjadi garda terdepan pengawal di Lembaga Permasyarakatan. Dengan adanya
narkotika di Lapas, BNN kemudian mendatangi Lapas di mana narapidana yang
terindikasi terlibat narkotika tersebut sedang menjalani pidananya.18Untuk
melaksanakan kewenangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap narapidana tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 75 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.Dalam Pelaksanaan ketentuan Pasal 75
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika terhadap narapidana di
dalam Lapas, memang tidak sama seperti pelaksanaan di tempat lain.19
Menurut Kabag Dit Resnarkoba Polda Riau AKBP Syamsul Anwardalam
Razia gabungan nya bersama pihak BNN maka di temukan salah satu Narapidana
yang ditahan di dalam Lapas sendiri mengendalikan narkoba di dalam Lapas dan
yang mengedarkan istri dari Narapidana itu sendiri maka apabila narapidana
menjadi pengedar maka kasus dan perkara bisa naik kembali20 Untuk Perkara
Tindak Pidana Narkotika yang sedang di Pekanbaru dengan terdakwa jufri
Tanjung tidak ada sedikitpun Upaya pencegahan dari BNNP maupun instansi di
Lembaga pemerintahan, Hal ini terlihat dari tertangkapnya Jufri Tanjung saat
sidak yang dilakukuan Oleh Wamenkumhan bersama BNN beberapa waktu lalu.
18Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang PeradilanTata Usaha Negara,Pustaka SinarHarapan, Jakarta, 2003. Hlm 2419Lydia Harlina Martono & Satya Joewana, Membantu Pemulihan Pecandu Narkotika danKeluarganya, Balai Pustaka, Jakarta, 2006. Hlm 1220Wawancara dengan Bapak AKBP Syamsul AnwarKabag Wasidik Dit Resnarkoba Polda Riau. Padahari selasa tanggal 4 september 2017, pukul. 10.30 wib, bertempat di Kantor Reserese narkoba poldaRiau.
14
Jufri tanjung positif mengonsumsi Narkotika jenis Ganja yang dengan mudah ia
dapatkan dari dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana peranan dari Badan Narkotika Nasional dalam penegakan
hukum terhadap tindak pidana narkotika serta hambatan-hambatan yang ditemui di
dalam pemberantasan tindak pidana narkotika, dengan judul: “Upaya BNNP
Provinsi Riau Dalam Mencegah dan Memberantas Terjadinya Penyalahgunaan
Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pekanbaru”
15
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah yaitu :
1. Bagaimana Upaya BNNP Dalam Mencegah dan Memberantas Terjadinya
Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Pekanbaru ?
2. Apa saja hambatan BNNP Riau dalam Mencegah dan Memberrantas
teradinyai Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIA Pekanabaru ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan didalam penelitian ini, maka yang
menjadi tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui Upaya BNNP Dalam Mencegah dan Memberantas
Terjadinya Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Pekanbaru
b. Untuk mengetahui apa saja hambatan BNNP dalam Mencegah dan
Memberantas Terjadinya Penyalahgunaan Narkotikadi Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Pekanbaru
16
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini antara lain
adalah:
a. Meningkatkan kualitas pengetahuan penulis tentang hukum acara
pidana secara umum dan hukum pidana khusus secara khusus serta
memperdalam pemahaman mengenai tindak pidanan narkotika di
dalam Lapas dan Sebagai bahan masukan dan sumber pemikiran Bagi
badan Narkotika Negara mengenai menanggulangi tindak pidana
Narkotika di Lapas.
b. Menambah bahan Hukum, informasi, dan diharapkan dapat menjadi
referensi bagi peneliti lainnya dalam orientasi dan ruang lingkup
penelitian yang sama.
D. Kerangka Teori
1. Teori penanggulangan kejahatan
Penanggulangan kejahatan merupakan upaya menanggulangi kejahatan
yaitu suatu reaksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana
pidana (penal) maupun non hukum pidana (non penal), yang dapat
diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk
menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana,
yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana
17
yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa
yang akan datang.21
Penanggulan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari
upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat
oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kriminal pada hakekatnya
juga merupakan bagian integrakatal dari politik sosial . usaha panggulangan
kejahatan, dapat dijabarkan :
1. Pencegahan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan goal,
social wafer, dan sosial defence. Dimana aspek social walfare dan
social defence yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/
perlindungan masyarakat yang bersifat imamaterial , terutama nilai
kepercayaan, kebenaran, kejujuran/keadilan
2. Pencegahan Penanggulangan kejahatan dilakukan dengan ‘pendekatan
integral. Ada keseimbangan sarana ‘penal dan non penal
3. Pencegahaan penanggulangan kejahatan sarana penal atau penal-law
enforcement policy’ yang fungsional /oprasionalnya melalui berberapa
tahap (1) formulasi (kebijakan legisltaif (2) aplikasi kebijakan
yudikatif (3) eksekutif
21 Sudarto. Kapita selekta hukum pidana. Alumni. Bandung. 1986. Hlm. 7
18
Penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan suatu gejala dan
bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya dengan
ihanya sekedar pengobatan simptomatik. Upaya penanggulangan kejahatan
(politik kriminal) dapat menggunakan dua sarana:
a. Kebijakan pidana dengan Sarana Penal
Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum
pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu perbuatan apa yang
seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan
atau dikenakan pada pelanggar.
b. Kebijakan pidana dengan sarana Non Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi
penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu,
namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya
kejahatan.22
Dalam usaha untuk menanggulangi kejahatan mempunyai dua cara
yaitu preventif (mencegah sebelum terjadinya kejahatan) dan tindakan
represif (usaha sesudah terjadinya kejahatan). Berikut ini diuraikan pula
masing-masing usaha tersebut :
1) Tindakan Preventif
22 Barda Nawawi Arif, Kebijakan Hukum Pidana. Pt citra aditya bakti. Bandung. 2004. hlm.12
19
Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah
atau menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan.
Menurut A. Qirom Samsudin M, dalam kaitannya untuk melakukan
tindakan preventif adalah mencegah kejahatan lebih baik daripada
mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab bukan saja
diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan
mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.
Selanjutnya Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan yang
terpenting adalah :23
a) Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi reformasi dan
prevensi dalam arti sempit;
b) Prevensi kejahatan dalam arti sempit meliputi :
a. Moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat
memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari
nafsu berbuat jahat.
b. Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan
kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal
sebagai penyebab timbulnya kejahatan, Misalnya
memperbaiki ekonmi (pengangguran, kelaparan,
mempertinggi peradapan, dan lain-lain);
23A. Qirom Samsudin M, Sumaryo E., Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Segi Psikologis danHukum, Liberti, Yogyakarta, 1985, hal. 46
20
c) Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap
kejahatan .
2) Tindakan Represif
Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur
penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana. Tindakan
respresif lebih dititikberatkan terhadap orang yang melakukan tindak
pidana, yaitu antara lain dengan memberikan hukum (pidana) yang
setimpal atas perbuatannya.Tindakan ini sebenarnya dapat juga
dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan datang.
Tindakan ini meliputi cara aparat penegak hukum dalam melakukan
penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di
pengadilan, eksekusi dan seterusnya sampai pembinaan
narapidana.Penangulangan kejahatan secara represif ini dilakukan juga
dengan tekhnik rehabilitas, menurut Cressey terdapat dua konsepsi
mengenai cara atau tekhnik rehabilitasi, yaitu :
a) Menciptakan sistem program yang bertujuan untuk menghukum
penjahat, sistem ini bersifat memperbaiki antara lain hukuman
bersyarat dan hukuman kurungan.
b) Lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah
menjadi orang biasa, selama menjalankan hukuman dicarikan
pekerjaan bagi terhukum dan konsultasi psikologis, diberikan
21
kursus keterampilan agar kelak menyesuaikan diri dengan
masyarakat
Tindakan represif juga disebutkan sebagai pencegahan khusus, yaitu
suatu usaha untuk menekankan jumlah kejahatan dengan memberikan
hukuman (pidana) terhadap pelaku kejahatan dan berusaha pula
melakukan perbuatan denganjalan memperbaiki si pelaku yang
berbuat kejahatan. Jadi lembaga permasyarakatan bukan hanya tempat
untuk mendidik narapidana untuk tidak lagi menjadi jahat atau
melakukan kejahatan yang pernah dilakukan.
Kemudian upaya penanggulangan kejahatan yang sebaik-baiknya
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(1) Sistem dan operasi Kepolisian yang baik.
(2) Peradilan yang efektif.
(3) Hukum dan perundang-undangan yang berwibawa.
(4) Koodinasi antar penegak hukum dan aparatur pemerintah yang
serasi.
(5) Partisipasi masyarakat dalam penangulangan kejahatan.
(6) Pengawasan dan kesiagaan terhadpa kemungkinan timbulnya
kejahatan.
(7) Pembinaan organisasi kemasyarakatan.24
24 Simanjuntak B dan Chairil Ali, Cakrawala Baru Kriminologi, Trasito, Bandung, 1980, hal. 399
22
Pokok-pokok usaha penanggulangan kejahatan sebagaimana tersebut
diatas merupakan serangkaian upaya atau kegiatan yagn dilakukan oleh Polisi
dalam rangka menanggulangi kejahatan, termasuk tindak pidana perjudian.
2. Teori Peranan
Peranan (role) merupakan proses dinamis kedudukan (status). Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya
dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan kedudukan
dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak
dapat dipisahkan karena yang satu tergantung dengan yang lain dan
sebagainya.25 Peran diartikan sebagai perangkat tingkah yang diharapkan
dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dalam hal
ini diharapkan sebagai posisi tertentu di dalam masyarakat yang mungkin
tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan adalah suatu wadah yang
isinya adalah hak dan kewajiban tertentu, sedangkan hak dan kewajiban
tersebut dapat dikatakan sebagai peran. Oleh karena itu, maka seseorang yang
mempunyai kedudukan tertentu dapat dikatakan sebagai pemegang pemegang
peran (role accupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk
berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beben atau
tugas.26Secara sosiologis peranan adalah aspek dinamis yang berupa tindakan
atau perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang yang menempati atau
25 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm.212.26R. Suyoto Bakir, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, Tangerang: Karisma Publishing Group, 2009,hlm. 348.
23
memangku suatu posisi dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban sesuaian
dengan kedudukannya. Jika seseorang menjalankan peran tersebut dengan baik,
dengan sendirinya akan berharap bahwa apa yang dijalankan sesuai dengan
keinginan diri lingkungannya. Peranan secara umum adalah kehadiran di dalam
menentukan suatu proses keberlangsungan.27 Peranan merupakan dinamisasi
dari statis ataupun penggunaan dari pihak dan kewajiban atau disebut subyektif.
Peran dimaknai sebagai tugas atau pemberian tugas kepada seseorang atau
sekumpulan orang. Peranan Mencakup tiga hal, antara lain:
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat.
b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.28
Soerjono Soekanto menyatakan suatu peranan tertentu dapat dijabarkan
kedalam dasar dasar sebagai berikut:
1. Peranan yang ideal (ideal role).
2. Peranan yang seharusnya (expected role).
27Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali Press, 2002, hlm. 242.28Ibid, hlm.213.
24
3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role).
4. Perana yang sebenarnya dilakukan (actual role)
Peranan diartikan sebagai seperangkat tingkah laku yang diharapkan
dimiliki olehorang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dalam hal ini
sebagai posisitertentu di dalam masyarakat yang mungkin tinggi, sedang-
sedang saja ataurendah. Kedudukan adalah suatu wadah yang isinya adalah hak
dan kewajiban tertentu, sedangkan hak dan kewajiban tersebut dapat dikatakan
sebagai peranan. Oleh karena itu, maka seseorang yang mempunyai kedudukan
tertentu dapat dikatakan sebagai pemegang peranan (role accupant). Suatu hak
sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan
kewajiban adalah beban atau tugas. Secara sosiologis peranan adalah aspek
dinamis yang berupa tindakan atau perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang
yang menempati atau memangku suatu posisi dan melaksanakan hak-hak dan
kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Jika seseorang menjalankan peranan
tersebut dengan baik, dengan sendirinya akan berharap bahwa apa yang
dijalankan sesuai dengan keinginan dari lingkungannya. Peranan secara umum
adalah kehadiran di dalam menentukan suatu proses keberlangsungan.29
Peranan merupakan dinamisasi dari statis ataupun penggunaan dari pihak dan
kewajiban atau disebut subyektif. Peranan dimaknai sebagai tugas atau
pemberian tugas kepada seseorang atau sekumpulan orang. Peranan memiliki
aspek-aspek sebagai berikut:
29Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, Press. Jakarta: Rajawali, 2002.hlm.242
25
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.
2. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.
3. Peranan juga dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.30
Jenis-jenis peranan sebagai berikut:
a. Peranan Normatif adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau
lembagayang didasarkan pada seperangkat norma atau hukum yang berlaku
dalamkehidupan masyarakat.
b. Peranan Ideal adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau
lembagayang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya
dilakukan sesuaidengan kedudukannya di dalam suatu sistem.
c. Peranan Faktual adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau
lembagayang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau
kehidupansosial yang terjadi secara nyata31.
Berkaitan dengan penegakan hukum, peranan ideal dan peranan
yangseharusnya adalah memang peranan yang dikehendaki dan diharapkan
olehhukum dan telah di tetapkan oleh undang-undang. Sedangkan peran
30Ibid. hlm.24231Ibid. hlm.243
26
yangdianggap oleh diri sendiri dan peran yang sebenarnya dilakukan adalah
peranyang telah mempertimbangkan antara kehendak hukum yang tertulis
dengankenyataan-kenyataan, dalam kehendak ini kehendak hukum
harusmenentukankemampuannya berdasarkan kenyataan yang ada.
Berdasarkan teori tersebut Sunarto mengambil suatu pengertian
bahwa:32
1. Peranan yang telah ditetapkan sebelumnya disebut sebagai peranan normatif,
dalam penegakan hukum mempunyai arti penegakan hukum secara total,
yaitu penegakan hukum yang bersumber pada subtansi (substantive of
criminal law).
2. Peranan ideal dapat diterjemahkan sebagai peranan yang diharapkan
dilakukan oleh pemegang peranan tersebut. Kepolisian sebagai suatu
organisasi formal tertentu diharapkan berfungsi dalam penegakan hukum
dapat bertindak sebagai pengayom bagi masyarakat dalam rangka
mewujudkan ketertiban dan keamanan yang mempunyai tujuan akhir untuk
kesejahterahan.
3. Interaksi kedua peranan yang telah diuraikan di atas, akan membentuk
peranan faktual yang dimiliki kepolisian.
3. Teori Penegakan Hukum
32Kamanto Sunarto. Sosiologi Kelompok. Jakarta, 1992. Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu SosialUniversitas Indonesia. hlm 23
27
Menurut Barda Nawawi Arief dalam Heni Siswanto33, pada hakikatnya
kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam penegakan hukum in
abstractio dan in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan
sistem ( penegakan ) hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya
menunjang kebijakan pembangunan nasional ( national development). Sistem
“penegakan hukum” pada dasarnya merupakan “sistem kekuasaan/kewenangan
menegakan hukum”. Kekuasaan/kewenanangan menegakkan hukum ini dapat
diidentikan pula dengan istilah “kekuasaan kehakiman”. Oleh karena itu sistem
peradilanpidana atau sistem penegakan hukum pidana pada hakekatnya juga
identik dengan“sistem kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum pidana”34.
Sistem peradilan pidana yang pada hakekatnya merupakan “sistem kekuasaan
penegakan hukum pidana” atau “sistem kekuasaan kehakiman dalam bidang
hukum pidana”diwujudkan atau diimplementasikan dalam empat subsistem
yaitu :
a. Kekuasaan “penyidikan” (oleh badan/lemabaga penyidikan)
b. Kekuasaan “penuntutan” (oleh badan/lemabaga penuntut umum)
c. Kekuasaaan “mengadaili dan menjatuhkan putusan/pidana”(oleh
badan/lembaga pengadilan); dan
33Heni Siswanto, Rekonstruksi Sistem Penegakan Hukum Pidana Mengahadapi KejahatanPerdagangan Orang, Penerbit Pustaka Magister, Semarang, 2013, hlm 85-8634 Barda Nawawi Aarief, Beberapa Aspek KebijakanPenegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,Citra Aditiya Bakti, Bandung, 2005, hlm 39-40
28
d. Kekuasaan “pelaksanaan putusan/pidana”
(olehbadan/aparatpelaksana/eksekusi)35.Hukum pidana positif di Indonesia
saat ini bersumber/berinduk pada KUHP buatan Belanda ( WvS), tetapi dalam
penegakan hukum harusnya berbeda dengan penegakan hukum pidana seperti
zaman Belanda. Hal ini wajar karena kondisi lingkungan atau kerangka
hukum nasional ( national legal framework) sebagai tempat
dioperasionalkannya WvS (tempat dijalankannya mobil) sudah berubah.
Penegakan hukum menurut Mardjono Reksodiputro36dapat menjamin
kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi
dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan
hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara
moralitas sipil yang didasarkan oleh niai-nilai aktual didalam masyarakat
beradab.
Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk
masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan adalah keharusan untuk melihat
penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.Hukum merupakan
tumpuan harapan dan kenyataan masyarakat untuk mengatur pergaulan hidup
bersama. Selain itu hukum juga merupakan perwujudan atau manifestasi dari
nilai kepercayaan. Oleh karena itu, wajar apabila penegak hukum yang
diharapkan adalah sebagai orang yang sepatutnya dipercaya, dan menegakkan
35Ibid, hlm 40.36 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (melihat kejahatan dan penegakanhukum dalam batas-batas toleransi), Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994 , hlm 76
29
wibawa hukum pada hakikatnya berarti menegakkan nilai kepercayaan di dalam
masyarakat.37
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan
penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan secara ketat yang
diatur dalam kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian
sendiri.38Suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pada
dasarnya merupakan perbuatan yang dicela dan dilarang untuk dilakukan sebab
dapat merugikan kepentingan orang lain maupun kepentingan umum. Menurut
Simons, perbuatan tindak pidana (strafbaar feit) adalah :“Suatu tindakan atau
perbuatan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya
tersebut oleh undang-undang yang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum.39
Dengan demikian suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak
pidana adalah apabila perbuatan tersebut dilarang oleh peraturan perundang-
undangan dan diancam dengan hukuman baik pidana maupun denda. Terhadap
perbuatan yang berkaitan dengan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang dengan tegas telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan
37 Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus,Sinar Grafika, Jakarta: 2011, hlm. 55.38 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,PT Citra Aditya Bakti, Bandung: 2005,hlm. 29.39 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1997, hlm.185.
30
diancam dengan hukuman pidana bagi pelanggarnya juga merupakan suatu
perbuatan tindak pidana.
Hukum pidana dalam ilmu hukum di bagi menjadi hukum pidana umum
dan hukum pidana khusus, pembagian ini sebagaimana ditegaskan di dalam
Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.Tindak pidana
umum adalah semua tindak pidana yang tercantum di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak
pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang
beserta semua peraturan perundang-undangan pelengkapnya baik peraturan
perundang-undangan pidana maupun bukan pidana tetapi bersanksi
pidana.40Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan
oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan
hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum
siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang
berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti
sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai
upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
40 Andi Hamzah,Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta: 2008, hlm. 13.
31
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.41 Lawrence M. Friedman
mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum
tergantung tiga unsur sistem yakni struktur hukum (structure of law), substansi
hukum (substance of the law), dan budaya hukum (legal culture). Struktur
hukum menyangkut penegak hukum, subtansi hukum meliputi perangkat
undang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup dan dianut
oleh masyarakat. Tentang struktur hukum (structure of law) , Friedman
menjelaska:“Untuk mulai dengan sistem legal memiliki struktur sistem hukum
yang terdiri unsur dari jenis: jumlah dan ukuran pengadilan; merekayurisdiksi
struktur juga berarti bagaimana legislatif diatur prosedur apa yang diikuti oleh
departemen kepolisian dan sebagainya. Struktur, di satu sisi, adalah semacam
penampang sistem hukum atau semacam foto yang masih ada, yang
menghilangkan tindakannya.Struktur hukum (Structure of law) terdiri jumlah
(jenjang) pengadilan dan ukuran (yuridiksi) dari pengadilan, bagaimana
lembaga pembentuk undang-undang dilaksanakan, prosedur apa yang harus
diikuti dan dijalankan oleh kepolisian dan sebagainya. Di Indonesia misalnya
jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka termasuk
didalamnya struktur institusi-institusi penegak hukum seperti kepolisian,
41http://www.Solusihukum.com //Penegakan Hukum,diakses Pada Tanggal 15Oktober 2015 Pukul19:56 WIB.
32
kejaksaan, dan pengadilan.42Substansi hukum (substance of law) menurut
Friedman adalah : Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Dengan
ini berarti aturan aktual, norma dan pola perilaku orang-orang di dalam sistem
di sini adalah tentang hukum hidup, tidak ada peraturan hanya di buku-buku
hukum " Yang dimaksud subtansi adalah aturan, norma dan pola prilaku nyata
manusia yang berada dalam satu sistem itu. Jadi substansi hukum (legal
substance) menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak
hukum. Intinya ialah bukan saja aturan yang tertulis dalam bentuk peraturan
perundang-undangan tetapi juga hukum yang hidup di masyarakat.
Jadi struktur hukum terdiri dari lembaga yang dimaksudkan untuk
menjalankan perangkat hukum yang ada. Di Indonesia misalnya jika kita
berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka termasuk didalamnya
struktur institusi-institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan.43 Budaya hukum (Legal Culture) yanag merupakan sikap manusia
termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya terhadap hukum dan sistem
hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan
hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang
dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang terlibat dalam sistem
hukum dan masyarakat penegak hukm tidak akan berjalan secara efektif.Ketiga
42 Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, jakarta, 2002, hal 843Ibid hal 8
33
unsur ini sangat berpengaruh dalam penegakan hukum. Jika salah satu saja
unsur tidak berfungsi dengan baik maka dapat dipastikan penegak hukum
dimasyarakat menjadi lemah. Penegak hukum yang dilakukan harus berada
dalam suatu sistem yakni sistem peradilan pidana (SPP) yang terdiri dari 4
komponen (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, daan lembaga
pemasyarakatan).Berkenan dengan hal tersebut diatas, muladi mengatakan
bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana juga diperlukan adanya sinkronisasi
struktural (structural syncronization), sinkronisasi substansial (substansial
syncronization), dan sinkronisasi kultural (cultural syncronization).44Istilah
penegakan hukum dapat dipergunakan terjemahan dari “rechtshendaving” yang
dimaksud disini adalah hukum yang “berkuasa” dan “ditaati” melalui
sistemperadilan pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadalian dan
lembaga pemasyarakatan.45Koesnadi Hardjasoemantri mengemukakan bahwa
ada suatu pendapat yang keliru yang cukup meluas diberbagai kalangan, yaitu
bahwa penegakan hukum hanya melalui proses pengadilan.Ada pula pendapat
yang keliru, seolah-olah bahwa penegakan hukum adalah semata-mata
tanggung jawab aparat penegak hukum. Penegakan hukum adalah kewajiban
dari seluruh masyarakat dan untuk itu pemahaman tentang hak dan kewajiban
menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum
44 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, UNDIP, Semarang, 1995 hlm 1-245 Mardjono Reksodiputro, Hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana,Kumpulan karangan Buku Ketiga, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi)Universitas Indonesia, Jakarta, hlm 78-79.
34
ditegakkan akan tetapi masyarakat berperan dalam penegakan hukum.
Masyarakat yang tidak membuang sampah di suangai sudah ikut menegakkan
hukum, karena membuang sampah disungai adalah pelanggaran.46Menyangkut
istilah penegakan hukum, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa pengertian
penegakan hukum merupakan pelaksanaan hukum secara konkret dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Di samping istilah-istilah penegakan hukum
, terdapat istilah penerapan hukum tetapi tampaknya istilah penegakan hukum
paling sering digunakan 47Selanjutnya, Andi Hamzah menyebutkan bahwa
istilah penegakan hukum dalam Bahasa Indonesia, selalu diasosiasikan dengan
force, sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya
bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini diperkuat dengan
kebiasaan masyarakat dengan kebiasaan menyebut penegak hukum itu adalah
polisi, jaksa dan hakim, tidak disebutkan pejabat administrasi yang sesuai
dengan mengingat ruang lingkup yang lebihluas.48Faktor penegak hukum dalam
hal ini menempati titik sentral, karena undangundang disusun oleh penegak
hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak hukum, dan penegak hukum
dianggap sebagai golongan panutan hukum olehmasyarakat. Penegakan hukum
yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara obyektif dan
tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara
46 Koenadi Hardjasoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya AlamHayatidan Ekosistemnya, Cet II Edisi I, Gajah Mada Universiti Press, Yogyakarta, hlm 375-376.47 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditiya Bakti, jakarta,1996, hlm 18148 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media cipta, Jakarta, 1995, hlm 61.
35
seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai
tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan
kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan
dapat ditegakkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa yang konkrit.
Bagaimana hukumnya, itulah yang harus berlaku, pada dasarnya tidak boleh
menyimpang. Sejalan dengan perkembangan masyarakat bertambah banyak
pula peraturan-peraturan yang disusun untuk menata kehidupan modern.
Sehingga persoalan penegakan hukum atau masalah Rule Of Law dan Law
Enforcement menjadi penting.49
Menurut Wayne La-Favre, penegakan hukum sebagai suatu proses, yang
pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat
keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hokum akan tetapi
mempunyai penelitian pribadi. La-Favre telah mengutip pendapat Roscoe
Pound, yang menyatakan bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara
hukum dan moral (etika dalam arti sempit). Ketidakserasian antara nilai, kaidah
dan pola tingkah laku akan mengakibatkan gangguan terhadap penegakan
hukum. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah
semata-mata berarti pelaksanaan Perundang-Undangan saja.50
49 Asri Muhammad Saleh, Menegakkan Hukum atau Mendirikan Hukum, Bina Mandiri Press,Pekanbaru : 2003, hlm. 29-30.50Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempemgaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1983, hlm.7.
36
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya,
yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna
yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada
nilai-nilai kehidupan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit,
penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan
tertulis saja.Secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup
pengertian hukum formal dan hukum materil. Hukum formal hanya
bersangkutan dengan peraturan Perundang-Undangan yang tertulis, sedangkan
hukum materil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat.Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-
faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti
yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-
faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:51
1) Faktor Hukumnya Sendiri
Yang dimaksud dalam hal ini adalah segi peraturan Perundang-
Undangannya. Artinya peraturan Perundang-Undangan yang tidak jelas,
kurang lengkap,maka akan ada kesulitan dalam mencari pedoman dan
dasar peraturan Perundang-Undangan dalam penyelesaian masalah yang
terdapat dalam masyarakat.
2) Faktor Penegak Hukum
51Ibid. hlm 8.
37
Faktor penegak hukum yang dimaksud disini adalah pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum.Dalam masalah pelanggaran
rambu lalu lintas misalnya, pihak Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, Advokat
(Penasihat Hukum) dan pihak-pihak lainnya berperan penting dalam
penyelesaian masalah pelanggaran rambu lalu lintas.
3) Faktor Sarana atau Fasilitas
Artinya, tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar.
4) Faktor Masyarakat
Yang dimaksud dengan masyarakat disini adalah lingkungan dimana
hukum tersebut berlaku atau diterapkan.Yaitu, mengenai partisipasi atau
peran serta masyarakat.
5) Faktor Kebudayaan
Yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup. Artinya, kebudayaan hukum yang
pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasar dari pada hukum yang
berlaku, yaitu berupa apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
buruk.
Sedangkan menurut Amir Syamsuddin, ia berpandangan bahwa jikalau
proses penegakan hukum menjadi acuan utama dalam hal keadilan, maka kita
tidak akan terlepas berbicara tentang kondisi bangsa dan negara secara
38
keseluruhan. Ada empat fakta yang menandai gagalnya proses penegakan
hukum, yaitu :52
a) Ketidakmandirian hukum;
b) Integritas penegak hukum;
c) Kondisi masyarakat yang rapuh dan sedang mengalami masa transisi;
d) Pertumbuhan hukum yang mandek.
Secara konkretnya, kegagalan proses penegakan hukum bersumber pada
substansi peraturan Perundang-Undangan yang tidak berkeadilan, aparat
penegak hukum yang korup dan “tebang pilih”, dan budaya masyarakat yang
buruk, serta lemahnya kelembagaan yang mandiri dan berwibawa.53
E. Konsep Oprasional
1. Upaya adalah untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan,
mencari jalan keluar, dan sebagainya
2. Badan Narkotika Nasional adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non
Kementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan
tugas pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan
adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol BNN
dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung
52Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum: Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara, PT. KompasMedia Nusantara, Jakarta: 2008, hlm.2.53Ibid.
39
kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
3. Mencegah adalah proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan
agar sesuatu tidak terjadi. Dengan demikian, pencegahan merupakan
tindakan. Pencegahan identik dengan perilaku
4. Memberantas adalah Membasmi, Memusnahkan,Membinasakan54
5. Penyalahgunaan adalah Penggunaan salah satu atau berberapa jenis
narkoba secara berkala atau teratur diluar indikasi medis sehingga
menimbulkan gangguan kesehatan fisik,pisikis dan gangguan fungsi
sosial.
6. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti
perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh
manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena,
dan lain sebagainya.
7. Lapas merupakan singkatan dari Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat
untukmelaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan.55
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
54 https://www.artikata.com/arti-383791-memberantas.html55 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
40
Menggunakan jenis penelitian sosiologis yaitu penelitian terhadap
efektivitas hukum yang sedang berlaku.56 Penelitian ini dilakukan dengan
jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis sosiologis (penelitian hukum
empiris) yaitu studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai
proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam masyarakat.
Penulis dalam hal ini melakukan penelitian terhadap upaya badan narkotika
dalam mencegah dan memberantasperedaran narkotika di lembaga
pemasyarakatan Klas IIA pekanbaru .
2. Obyek Penelitian
Adapun yang menjadi objek penelitian Penulis yaitu mengenaiupaya
badan narkotika dalam mencegah dan memberantas Penyalahgunaan
Narkoba di lembaga pemasyarakatan Klas IIA pekanbaru .
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Badan Narkotika Provinsi Riau
serta dalam Lapas Kelas II.A Pekanbaru. Alasan penulis tertarik melakukan
penelitian ini di karenakan banyaknya peredaran narkotika yang terjadi
beberapa tahun terakhir ini di dalam Lapas tersebut dan Badan Narkotika
Nasional Provinsi Riau sedang berupaya untuk menangulangi masalah
peredaran narkotika ini.
4. Populasi dan Responden
56Amirudin Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta: 2004, hlm. 32.
41
a. Populasi
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri
yang sama. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau
mati), kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat dengan sifat atau ciri
yang sama.57Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah,
Kepala Binadik Lapas Kelas II.A Pekanbaru dan Kepala Badan
Narkotika Provinsi Riau serta Reserse Narkoba Polda Riau,Kabag
Pemberantasan BNN Pekanbaru.
b. Responden
Responden adalah keseluruhan dalam atau dari sesuatu
penelitian. Setiap responden penelitian otomatis menjadi anggota
populasi responden penelitian58
Tabel 1.1
Jumlah Populasi Dan Sampel
57Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 118.58 https://vbt249.wordpress.com/2014/03/06/mengenal-obyek-subyek-populasi-sampel-dan-responden-dalam-penelitian/
No Responden Jumlah Jumlah
42
Dari isi tabel diatas penulis menambahkan Narapidana menjadi Populasi untuk
penambahan data. Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pekanbaru ada 1014
Narapidana yang terlibat kasus Narkoba.Sementara dari tahun 2015 Hingga 2017 Ada
sekita 70% warga binaan positif narkoba. Jadi di ambil Populasi dari 70% adalah 700
Populasi Responden
1. Kepala Badan Narkotika Nasional
Provinsi Riau
1 1
2.Kabid Pemberantasan BNNP Riau
1 1
4.Kasubag Pemeberantasan BNN Riau
1 1
5
Bidang Pencegahan dan
Pemberdayaan Masyarakat BNN
Provinsi Riau
10 2
6
Wasidik reserse polda Riau 1 1
7 Narapidana 70 7
43
dan di ambil menajdi responden sekitar 7 Orang Untuk diberikan Kusioner sebagai
Faktor pendukung Data .
5. Sumber Data
Penelitian hukum ini peneliti menggunakan beberapa sumber data
yaitu :59
a. Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh oleh peneliti
melalui responden atau sample.Dan ini dapat saja berasal dari
masyarakat, pegawai instansi pemerintah, dan wawancara langsung
dengan responden oleh penulis dengan melakukan penelitian di
lapangan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari berbagai
studi kepustakaan serta peraturan perundang-undangan, buku-buku,
literatur serta pendapat ahli yang berkaitan dengan penelitian ini. Data
sekunder terdiri dari :
1. Meliputi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
masalah penelitian yaitu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
59Amirudin Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2004, hlm.32.
44
Pemasyarakatan, Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2009 tentang
Badan Narkotika Nasional dan Peraturan Kepala Badan Narkotika
Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Kabupaten.
2. Meliputi bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum primer, seperti bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip,
artikel, makalah, literatur, majalah serta surat kabar, dan data-data
dari internet yang berkaitan dengan penelitian yang sedang penulis
teliti.
6. Teknik Pengumpulan Data
a. Kuisoner
Kusioner, yaitu alat pengumpulan data yang di lakukan dengan
cara peneliti membuat daftar pertanyaan secara tertutup atau terbuka
kepada responden. Kuisioner di berikan terhadap Narapidana yang
perkara Narkoba di Lapas guna mendukung suatu karya Ilmiah.
b. Wawancara
Wawancara adalah cara yang digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.60Metode ini
dipakai untuk mengetahui dan memperdalam pengertian yang telah
didapat dari data primer dan data sekunder. Hal ini dilakukan guna
memperoleh informasi sebagai keterangan pendukung yang bertujuan
untuk melengkapi dan memperkuat data yang telah diperoleh.
60Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.95
45
c. Kajian Kepustakaan
Kajiaan kepustakaan adalah pengumpulan data sekunder
dilakukan dengan studi kepustakaan yang meliputi sumber sekunder
yang terdiri dari makalah, literatur-literatur, majalah-majalah, serta hasil
kuliah dengan membaca, mempelajari serta mencatat segala yang ada
hubungannya dengan topik penelitian.
7. Analisa Data
Penelitian hukum empiris, data yang diperoleh dalam penelitian ini
akan dianalisis dengan cara kualitatif, yaitu mengurai data yang telah
diperoleh dalam bentuk kalimat yang teratur, logis dan efektif sehingga
dapat memberikan penjelasan atas rumusan masalah yang penulis angkat,
sedangkan metode berpikir yang penulis gunakan dalam penarikan
kesimpulan adalah metode deduktif. Metode deduktif ialah cara berpikir yang
menarik kesimpulan dari suatu pernyataan yang bersifat umum menjadi
suatu pernyataan yang bersifat khusus.61
8. Metode Penarikan Kesimpulan
Adapun cara penulis dalam mengambil kesimpulan dalam penelitian ini
adalah berpedoman pada cara Induktif, yaitu penyimpulan dari hal-hal yang
bersifat khusus kepada hal hal yang umum. Sedangkan yang dimaksud
dengan cara Deduktif adalah cara berfikir dimana dari pernyataan yang
bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
61Ibid, hlm.100.