Upload
vuonghanh
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Tiga orang lelaki memasuki sebuah cafe. Sambil menunggu makanan dan
minuman yang telah dipesan, mereka mencoba membunuh waktu dengan memainkan
jari jemari mereka di ponsel. Meski ketiga lelaki tersebut bersahabat, namun tidak ada
obrolan menarik yang keluar dari mulut mereka. Ketiganya masih tetap asyik
memainkan ponsel, sampai pesanan datang”.
Apa yang sedang mereka lakukan? Entahlah mungkin sedang asyik chatting1
atau sibuk mengkomentari status temannya di facebook2, yang jelas pemandangan
seperti ini hampir setiap waktu peneliti temui terutama di tempat-tempat
menghabiskan waktu luang seperti di kantin kampus, di jalan ataupun kafe di sebuah
mal. Belakangan peneliti ketahui bahwa pemandangan tersebut tidak lepas dari
maraknya penggunaan berbagai macam ponsel yang berlabel smartphone di kalangan
masyarakat di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Memang akhir-akhir ini
masyarakat tengah dikejutkan dengan lahirnya ponsel generasi terbaru yang memiliki
segudang kemampuan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh ponsel-ponsel lain dari
generasi sebelumnya. Ponsel jenis ini disebut smartphone atau ponsel pintar. Saat ini
keberadaan smartphone telah menjadi fenomena baru yang sedang laris
diperbincangkan, diperjualbelikan dan dipertontonkan di kalangan masyarakat
perkotaan di Indonesia.
1 Percakapan yang menggunakan layanan khusus layaknya SMS, seperti BBM, YM, Line dan
sebagainya. 2 Jejaring Sosial buatan Mark Zuekenberg yang dapat diakses melalui internet dan smartphone.
2
Bagi masyarakat perkotaan yang haus akan informasi kemunculan
smartphone tak ubahnya oase3 di tengah padang tandus yang kering. Eforia
4 pun
merebak dimana-mana, orang-orang berebutan untuk sebuah smartphone murah,
terjadi chaos5 dan kepanikan korban pun berjatuhan. Namun, tidak ada yang mau
bertanggung jawab. Seperti yang terjadi di Plaza Indonesia beberapa waktu yang lalu
(Kompas Online, 2011). Pemandangan tersebut tidak lepas dari kehidupan
masyarakat perkotaan yang serba menekan serta menuntut masyarakatnya untuk serba
cepat dan instan, sehingga membutuhkan sarana-sarana yang mobile6 dan mudah
digunakan demi mendukung aktifitas mereka (Piliang, 2011). Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan jika penggunaan smartphone di tengah masyarakat perkotaan
terus meningkat dari waktu ke waktu, bahkan segmentasi penggunanya pun
merentang dari kalangan pebisnis, akademisi hingga ibu rumah tangga.
Di lingkungan akademisi seperti mahasiswa, smartphone memberikan
berbagai kemudahan baik dalam urusan akademik maupun sosial. Hal tersebut,
dimungkinkan dengan banyaknya layanan yang terdapat pada smartphone. Salah
satunya adalah akses online atau internet. Penelusuran situs-situs di internet semakin
menambah wawasan mahasiswa terutama informasi dan komunikasi. Dengan
mengakses situs-situs tertentu berbagai kesempatan dapat diperoleh, misalnya:
3 Atau Oasis, sebuah daerah di padang pasir yang berair cukup untuk tumbuhan dan permukiman
manusia (KBBI, edisi ke empat, Hal : 974). Dalam hal ini analogi yang menggambarkan sebuah Sumber Air di tengah padang pasir. 4 Kegembiraan yang terlalu berlebihan
5 Keadaan yang kacau-balau
6 Dapat berpindah-pindah
3
peluang untuk mendapat pekerjaan, mendapat hadiah, buku ataupun jurnal, dan
mendapatkan beasiswa serta, dapat pula membantu dalam mengerjakan berbagai
tugas kuliah. Keberadaan internet memberikan sebuah cakrawala baru karena
informasi dan komunikasi dapat tercipta tanpa terhalang oleh kondisi geografis, cuaca
dan waktu. Tempat-tempat yang jauh dan sulit didatangi menjadi lebih mudah
dijangkau hanya dengan internet (Herwanto, 2002).
Tidak dipungkiri internet memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan
masyarakat kita dewasa kini. Hal ini tidak lepas dari peran internet itu sendiri dalam
memenuhi kebutuhan hidup manusia akan informasi dan komunikasi. Sebagai
makhluk sosial manusia selalu berkomunikasi setiap waktu. Komunikasi merupakan
hal terpenting dalam setiap interaksi yang dilakukan manusia dalam kehidupan
kesehariannya. Dengan komunikasi, baik lisan maupun tulisan, manusia mampu
menyampaikan maksud dan tujuan yang ingin mereka capai. Akan tetapi, semenjak
masuknya teknologi dalam ranah komunikasi seperti internet dan ponsel, ternyata
ikut mempengaruhi eksistensi ruang dan komunikasi. Komunikasi langsung,
khususnya face to face yang dibangun oleh umat manusia sejak berabad-abad lalu
patut dipertanyakan kembali karena telah mengalami pergeseran dan cenderung
bersifat digital. Internet pun turut mengubah tatanan masyarakat dunia dari yang
bersifat lokal menjadi global sehingga dunia tak ubahnya global village7 seperti yang
dikatakan Mc Luhan (Piliang, 2011).
7 Desa Global, istilah yang digunakan oleh Mc Luhan untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang
tidak lagi mengenal batas-batas yang jelas disebabkan kemajuan teknoloki informasi dan komunikasi.
4
Terlepas dari itu smartphone juga memiliki nilai prestise bagi sebagian
penggunanya. Tampilan desain dan layar yang berbeda dengan ponsel lain pada
umumnya membuat Smartphone terlihat lebih elegan dan futuristik sehingga mampu
menarik minat masyarakat untuk memilikinya. Tidak dipungkiri unsur seni yang
melekat pada diri smartphone memberikan nilai lebih tersendiri, yang pada akhirnya
ikut mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap produk tersebut. Sebagian orang
menganggap smartphone sebagai alat penunjang penampilan mereka agar terlihat
lebih bergaya dan modis. Namun, tidak sedikit juga yang sekedar ikut-ikutan agar
tidak ditinggalkan teman-temannya. Dengan kata lain mereka mengikuti tren tersebut
selain untuk mengikuti perkembangan juga bertujuan untuk bergaya (Jumrati, 2003).
Gaya menjadi faktor yang penting dalam menentukan diri sendiri karena gaya
merupakan suatu cara untuk menunjukkan diri dan menilai orang lain. Kaum muda
sebagai bagian dari masyarakat merupakan suatu kelompok yang sering dijadikan
sasaran para produsen (Abdullah, 2006). Demikian halnya dengan produsen
smartphone. Mereka sangat mementingkan segi estetik dengan membuat berbagai
model chasing (penutup/pembungkus) serta aksesoris lainnya untuk dapat menarik
konsumen (Jumrati, 2003). Perilaku konsumen untuk membeli berbagai
kebutuhannya kemudian telah dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah
faktor persepsi konsumen itu sendiri terhadap sebuah citra produk yang ditawarkan.
Dengan begitu citra sebuah produk telah menjadi magnet yang kuat untuk mendorong
konsumen membeli barang-barang, baik sebagai kebutuhan maupun demi gaya hidup.
5
Gaya hidup dalam hal ini menjadi sebuah identitas kolektif yang berkembang
seirama dengan waktu bahkan dalam kesenangan baru seringkali terlihat menyimpang
(Chaney, 2011). Seperti halnya kehadiran smartphone yang membuat orang
berlomba-lomba untuk memiliki dan menggunakannya. Namun, banyak juga sisi
positif dan manfaat dari smartphone, tapi itu pun bagi mereka yang benar-benar
paham dan mengerti bagaimana menggunakan dan mengfungsikannya. Bagi sebagian
orang smartphone tampak seperti candu yang benar-benar sudah bercampur dengan
darah dan daging mereka. Jika tidak ada smartphone sepertinya hidup mereka
kosong, hampa seperti hidup sendiri. Karena smartphone sudah menjadi bagian dari
keseharian hidup mereka, dari mulai bangun tidur di pagi hari sampai saat akan
memejamkan mata di malam hari semua tidak lepas dari smartphone.
Pada akhirnya secara tidak sadar, sebagian orang tersebut mundur beberapa
langkah dari komunitas sosial di lingkungan tempat mereka berada. Mereka mulai
tidak perduli dengan lingkungan sekitar mereka saat mereka sedang asyik dengan
smartphone-nya. Duduk diam 1-2 jam di satu tempat dengan smartphone di tangan,
asyik sendiri dengan sesekali tertawa dan terkadang kesal sendiri, dan mengumpat di
hadapan smartphone yang ada di tangannya itu. Hal ini melahirkan sebuah ironi
dimana fungsi teknologi itu sendiri sebagai sarana “mendekatkan yang jauh” malah
menjadi sebaliknya, yakni “menjauhkan yang dekat”. Bahkan mengucilkan
penggunanya dalam lingkungan sosial mereka sendiri. Oleh karena itu, berdasarkan
pemaparan di atas penulis tertarik untuk mengatahui lebih dalam mengenai fenomena
smartphone yang terjadi di kalangan mahasiswa di kota Yogyakarta.
6
B. Rumusan Masalah
Besarnya antusiasme masyarakat terhadap produk-produk smartphone telah
menciptakan fenomena baru dalam berkomunikasi dewasa kini. Memang kebutuhan
akan sarana telekomunikasi di Indonesia, khususnya Yogyakarta cukup tinggi.
Indonesia dengan cakupan geografisnya yang luas dan terpisah serta daya beli
masyarakatnya yang tinggi menjadikannya pasar yang potensial untuk perkembangan
industri telekomunikasi. Sehingga tidak mengherankan jika keberadaan smartphone
di tengah masyarakat, khususnya mahasiswa, semakin beraneka ragam, baik dari segi
jenis maupun harga. Dengan banyaknya pilihan inilah membuat smartphone seolah-
olah menjadi sesuatu yang “wajib” dimiliki guna memenuhi kebutuhan. Akan tetapi,
kebutuhan yang seperti apa? Apakah kebutuhan untuk meningkatkan produktifitas
ataukah kebutuhan sebagai penunjang penampilan demi sebuah gaya dan eksistensi.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan studi konsumsi smartphone
khususnya Blackberry di kalangan mahasiswa, mengingat mahasiswa merupakan
konsumen terbesar produk tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas penulis
merumuskan dua pertanyaan besar atas fenomena yang ada:
1. Seperti apa proses yang dilalui dan persepsi yang mempengaruhi mahasiswa
membeli smartphone Blackberry?
2. Bagaimana smartphone Blackberry difungsikan dan dimaknai di kalangan
mahasiswa?
7
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang dan alasan
mahasiswa memilih smartphone serta untuk mengetahui fungsi dan makna
smartphone itu sendiri di kalangan mahasiswa. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat
mendeskripsikan secara lengkap mengenai fenomena gaya hidup penggunaan
smartphone Blackberry di kalangan mahasiswa di kota Yogyakarta. Selain itu
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan keilmuan, khususnya ilmu Antropologi dalam kajian gaya hidup.
Serta dapat dijadikan literatur bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian
selanjutnya, dan juga dapat menambah wawasan serta pengetahuan bagi peneliti.
D. Kerangka Pemikiran
Membanjirnya berbagai macam produk asing di pasaran Indonesia yang di
akibatkan oleh globalisasi dan pasar bebas serta didukung dengan kemajuan ekonomi
belakangan ini, membawa pengaruh yang besar terhadap perubahan sosial masyarakat
Indonesia. Salah satunya adalah berkembangnya berbagai macam gaya hidup sebagai
fungsi dari diferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi (Piliang, 2011).
Dalam perubahan tersebut konsumsi tidak lagi sekadar berkaitan dengan nilai guna
dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia. Akan tetapi,
kini berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau simbol
sosial tertentu. Yang dikonsumsi tidak lagi sekedar objek, tetapi juga makna-makna
sosial yang tersembunyi dibaliknya (Piliang, 2011). Hal ini mampu menggeser segi
8
fungsionalisme suatu barang menjadi ketertarikan untuk mengikuti logika hasrat dan
keinginan, ketimbang logika kebutuhan.
Menurut Douglas dan Isherwood, konsumsi adalah beyond commerce dimana
kegunaan produk atau barang-barang konsumsi selalu dibingkai oleh konteks
kebudayaan (Lurry, 1998). Sedangkan menurut Strathern konsumsi yang dirujuk
melalui budaya konsumen dari lensa budaya materi dapat dilihat sebagai konversi,
atau perilaku manusia yang mengubah benda-benda untuk tujuan-tujuan mereka
sendiri (Lurry, 1998). Dengan kata lain konsumsi tidak lagi diartikan semata-mata
sebagai satu lalu lintas kebudayaan benda, tetapi menjadi sebuah panggung sosial,
yang didalamnya makna-makna sosial diperebutkan, dan terjadi perang posisi di
antara anggota-anggota masyarakat yang terlibat (Piliang, 2011).
Pada dasarnya proses konsumsi memiliki dua sifat. Pertama konsumsi
berdasarkan kegunaan. Konsumsi yang dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup seseorang, merupakan konsumsi barang yang bernilai guna.
Konsumsi kegunaan dilakukan dengan maksud agar kebutuhan hidupnya dapat
terpenuhi. Biasanya jenis konsumsi ini lebih diutamakan misalnya minuman, pakaian,
obat-obatan dan kebutuhan pokok lainnya. Kedua, konsumsi simbolik yang dilakukan
di luar tujuan memenuhi kebutuhan dan ini biasanya berkaitan dengan refresing atau
untuk kesenangan dan menunjukkan prestise seseorang. Jenis konsumsi ini lebih
menekankan pada kualitas serta tren yang ada dan mengutamakan kesan di mata
orang lain (Miller, 1995: 1, via Hastuti, 2005).
9
Salah satu konsumsi yang dilakukan masyarakat dalam kajian ini adalah
konsumsi terhadap salah satu bentuk materi, yaitu smartphone. Pada masa sekarang
hampir setiap orang dalam berbagai lapisan masyarakat memiliki smartphone sebagai
alat komunikasi mereka, terlebih kaum muda kota. Hal tersebut tidak lepas dari
persepsi atau cara pandang kalangan muda terhadap produk smartphone, yang pada
akhirnya turut mempengaruhi perilaku konsumsi mereka. Dapat dikatakan, bagi kaum
muda smartphone dipandang sebagai sebuah barang yang mengandung nilai di
dalamnya, baik nilai guna maupun nilai simbolik. Untuk mengetahui hal tersebut
dapat dilihat dari proses konsumsi yang mereka lakukan. Proses konsumsi merupakan
alat ukur penting dalam melihat gaya hidup seseorang. Melalui proses konsumsi, latar
belakang, status atau golongan seseorang dapat diketahui. Melalui barang-barang
yang dikonsumsi dapat dilihat keberadaan seseorang dan gaya hidup yang dijalani.
Konsumsi adalah kegiatan untuk memenuhi suatu kebutuhan.
Mahasiswa sebagai generasi muda yang menyukai sesuatu yang baru dan
berbeda dalam proses pencarian jati diri atau identitas, memiliki ruang yang bebas
untuk mengekspresikan diri mereka. Hal tersebut secara tidak langsung menjadikan
mereka sebagai kelompok masyarakat yang paling mudah dipengaruhi oleh para
produsen ponsel dengan iming-iming image atau citra. Hal itu dapat dilihat dari
berbagai barang yang mereka konsumsi yang mencerminkan kekinian dan menjadi
bagian dari ekspresi diri mereka. Salah satunya adalah smartphone. Jika diamati,
penggunaan smartphone di kalangan pelajar dan mahasiswa tampaknya hanya
sebagai pelengkap penampilan mereka atau hanya untuk kepentingan bergaya.
10
Mereka sekadar ikut-ikutan demi eksistensi dalam sebuah kelompok tertentu.
Kegiatan konsumsi dilakukan bukan karena membutuhkan tetapi cenderung untuk
“rekreasi”, menunjukkan status dirinya dengan berbelanja dan menghabiskan waktu
luang. (Miller, 1995 dalam Jumrati, 2003).
Memang di era modern seperti sekarang cara berfikir masyarakat terutama
kaum muda kota telah mengalami perubahan dan dikonstruksikan sedemikian rupa,
terlebih oleh media massa. Dimana kata “dulu” menjadi hal yang menakutkan bagi
sebagian orang. Mereka takut dibilang sebagai orang yang ketinggalan zaman
ataupun gaptek (gagap teknologi). Bahkan tidak sedikit dari mereka rela
mengkonsumsi barang dengan model terbaru demi menghilangkan image tersebut. Di
sinilah media televisi, internet, dan iklan memiliki peran penting dalam pembentukan
citra. Melalui iklan, citra dibentuk kemudian diformulasikan menjadi sesuatu yang
bersifat membujuk sampai mengajak untuk mengkonsumsi suatu barang. Pada
akhirnya hal ini turut membentuk gaya hidup dan budaya konsumen.
Budaya konsumen sendiri tidak dapat dipisahkan dari lingkungan urban.
Mengingat di perkotaan ruang-ruang untuk konsumsi itu secara intensif dibangun,
seperti mall, butik, kafe dan factory outlet. Gaya hidup tidak dapat dilepaskan dari
identitas dan perbedaan sebagai dua pondasi utama pembentuknya. Gaya hidup
dibangun sebagai cara untuk memperlihatkan identitas, sekaligus melepaskan hasrat
untuk berbeda (Piliang, 2011). Pada hakekatnya, identitas merupakan bayangan yang
terbentuk dalam proses sosio-historis suatu masyarakat (Sitorus, 2004) dengan ciri
yang dapat membuat mereka “berbeda” dengan yang lainnya. Dalam hal ini
11
smartphone dapat dilihat sebagai komoditi untuk membangun perbedaan dan
identitas diri dalam hubungan sosial yang lebih luas. Sebagai satu bentuk pembedaan
sosial, gaya hidup dapat dimaknai dengan cara berbeda-beda, sehingga tidak
mengherankan jika gaya hidup menjadi “sumber penafsiran” yang terbuka (Ibrahim,
2011).
Chaney (1996) menjelaskan gaya hidup sebagai gaya, tata cara, atau cara
menggunakan barang, tempat, dan waktu, khas kelompok masyarakat tertentu, yang
sangat tergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan, meski bukan merupakan totalitas
pengalaman sosial. Oleh Featherstone (1987), gaya hidup dilihat mencakup praktik-
praktik, cita rasa, perilaku konsumsi, aktivitas waktu luang, modus bicara dan busana
orang sehari-hari “individualitas, ekspresi-diri, dan kesadaran-diri yang bersifat
stilistik” dari seseorang. Dengan begitu gaya hidup dapat juga dipahami sebagai cara-
cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu dari kehidupan sehari-hari
dengan nilai sosial atau simbolik dan menjadi cara untuk mengindentifikasikan diri
dan sekaligus membedakan diri dalam relasi sosial. Gaya hidup juga menjadi cara
bermain dengan identitas (Ibrahim, 2011).
Akan tetapi, sebelum seseorang atau individu memutuskan untuk
mengkonsumsi sebuah benda atau inovasi untuk berbagai kepentingan, dia akan
terlebih dahulu melewati sebuah proses, yang disebut oleh Rogers dan Shoemaker
dengan the innovation decision process (proses keputusan inovasi). Menurut Rogers
(1995), inovasi adalah “an idea, practice, or object perceived as new by the
individual.” Dengan definisi tersebut maka smartphone juga dapat dipandang sebagai
12
sebuah inovasi yang memerlukan sebuah proses sebelum seseorang memutuskan
mengadopsinya atau tidak. Rogers menggambarkan The Innovation Decision Process
sebagai kegiatan individu untuk mencari dan memproses informasi tentang suatu
inovasi, sehingga dia termotivasi untuk mencari tahu tentang keuntungan atau
kerugian dari inovasi tersebut, yang pada akhirnya akan memutuskan apakah dia akan
mengadopsi inovasi tersebut atau tidak.
Bagi Rogers proses keputusan inovasi memiliki lima tahap, yaitu :
1) Knowledge (pengetahuan), pada tahapan ini suatu individu belajar tentang
keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa,
bagaimana, dan mengapa merupakan pertanyaan yang sangat penting pada knowledge
stage ini. Pertanyaan tersebut pada akhirnya menurut Rogers akan membentuk tiga
jenis pengetahuan. Pertama, awareness-knowledge, merupakan pengetahuan akan
keberadaan inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar
lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Kedua, how-to-
knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi
dengan benar. Ketiga, principles-knowledge, yaitu pengetahuan tentang prinsip-
prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat
bekerja.
2) Persuasion (kepercayaan), tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki
sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan
meyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi.
Rogers menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang
13
pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut
perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi.
3) Decision stage (keputusan), pada tahapan ini individu membuat keputusan
untuk menerima atau menolak suatu inovasi. Tetapi sebelum menerima atau menolak
sebuah inovasi individu akan mancoba terlebih dahulu inovasi tersebut, baru setelah
itu memtuskan untuk menerimanya atau tidak.
4) Implementation stage (tahap implementasi), pada tahapan ini sebuah inovasi
dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi karena masih baru bagi individu yang
menggunakannya maka pengguna memerlukan bantuan teknisi atau agen perubahan
untuk mengurangi permasalahan tersebut.
5) Confirmation stage, ketika keputusan inovasi telah dibuat, maka si pengguna
akan mencari dukungan atas keputusannya tersebut. Menurut Rogers, keputusan ini
dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas
pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi, kebanyakan cenderung untuk
menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang
mendukung keputusan itu.
Teori difusi inovasi ini, penulis gunakan untuk mengetahui proses yang dilalui
dan persepsi yang mempengaruhi mahasiswa memiliki smartphone. Sedangkan teori
konsumsi penulis gunakan untuk mengetahui fungsi dan makna smartphone di
kalangan mahasiswa. Dengan menggunakan kedua teori tersebut diharapkan penulis
dapat menjelaskan dan memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai
fenomena smartphone di kalangan mahasiswa di Yogyakarta.
14
E. Metode Penelitian
E.1. Pemilihan Informan
Informan merupakan kunci penting dalam penelitian ini, dari merekalah data
diperoleh. Beberapa kriteria informan yang baik dalam suatu penelitian yaitu:
informan berasal dari kebudayaan yang menjadi fokus, pada saat penelitian informan
harus sedang terlibat langsung dalam kebudaayaan yang sedang diteliti, informan
mempunyai waktu yang cukup untuk wawancara (Spradley, 1979).
Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan subjek penelitian dari kalangan
mahasiswa. Pemilihan informan dari kalangan mahasiswa didasarkan karena
kalangan ini, merupakan kelompok yang mudah dipengaruhi oleh para produsen,
khususnya produsen smartphone. Kalangan ini pun menjadi agen dalam pembentukan
kebudayaan konsumen, karena kalangan ini bisa dibilang cukup aktif dalam
mengkonsumsi sesuatu yang sedang tren di pasaran. Terlebih mahasiswa sekarang ini
bisa dikatakan “melek teknologi”, sehingga penggunaan produk-produk komunikasi
berteknologi canggih pun cukup akrab di kalangan ini. Secara tidak langsung,
kalangan mahasiswa ini pun bisa dikatakan sebagai agen persebaran atas sebuah
produk.
Peneliti memilih empat orang informan dari kalangan mahasiswa yang
didasarkan pada perbedaan kelas sosial, jenis kelamin, bidang studi dan hobi atau
kegiatan sampingan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan
kepemilikan smartphone Blackberry dengan gaya hidup yang terbentuk serta untuk
15
mengetahui ada tidaknya perbedaan konsumsi yang mereka lakukan. Dengan begitu
diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai proses
konsumsi yang dilakukan mahasiswa dalam memiliki smartphone dan gaya hidup
yang terbentuk dari proses tersebut.
E.2. Pemilihan Lokasi
Penelitian ini mengambil lokasi di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengacu pada informan dalam penelitian ini yang tidak lain adalah mahasiswa, serta
image Yogyakarta sebagai kota pelajar, membuat peneliti memutuskan untuk
melakukan penelitian ini di sini. Berbagai perguruan tinggi yang terdapat di
Yogyakarta, membuat mahasiswa dari berbagai daerah berdatangan ke kota ini untuk
mengenyam pendidikan. Tidak heran jika populasi mahasiswa di kota ini begitu
besar. Dengan populasi mahasiswa yang besar ini dan berasal dari berbagai daerah,
Yogyakarta sangat potensial dijadikan lokasi penelitian terkait dengan kehidupan
mahasiswa, khususnya penggunaan smartphone. Tidak hanya itu, kota ini juga
memiliki beberapa tempat yang mendukung pemasaran smartphone, seperti
Jogjatronik, Jogja Phone Market, dan lainnya. Berkat keberadaan tempat-tempat ini,
beragam jenis smartphone terbaru bisa masuk dengan cepat dan menyebar dengan
luas di kota ini.
16
E.3. Teknik Pengumpulan Data
Layaknya studi antropologi kebanyakan, penelitian ini menggunakan metode
kualitatif, yakni etnografi. Etnografi merupakan sebuah metode penelitian yang
bersifat analitik, memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang pelaku
kebudayaan. Jadi metode ini tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi juga berarti
belajar dari masyarakat. Melalui metode ini, diharapkan penulis dapat memperoleh
data-data dari informan secara mendalam, sebagaimana yang dijelaskan oleh James
Spradley (1997), bahwa ciri khas dari metode penelitian etnografi adalah sifatnya
yang holistik-integratif, thick description, dan analisa kualitatif guna mendapatkan
native’s point of view.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Observasi partisipasi digunakan
untuk mengamati kehidupan informan sehari-hari terkait dengan fenomena yang
diangkat dalam penelitian ini. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan guna
mendapatkan pemikiran-pemikiran informan secara lebih dalam lagi mengenai
fenomena terkait, yakni smartphone. Selain itu, untuk mendukung data-data yang
ada, penulis pun menggunakan studi literatur yang berkaitan dengan fenomena dalam
penelitian ini. Penulis menyadari bahwa studi literatur penelitian terdahulu mengenai
kajian serupa dapat membantu penulis dalam memahami dan menganalisa fenomena
yang tengah terjadi saat ini.