Upload
truongbao
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, tidak dapat
dilepaskan dari kepolisian. Tugas Pokok Polri itu sendiri sendiri menurut
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.1
Tujuan tersebut di atas tentunya tidak akan terwujud apabila tidak
dilakukan dengan dedikasi tinggi, disiplin serta profesionalisme dari para anggota
Polri itu sendiri untuk berusaha melakukan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya dengan baik dan bertanggung jawab. Bertolak dari arti
pentingnya kedisiplinan bagi anggota Polri sebagai penegak hukum,
pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang khusus
mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
2
Polri sebagai sub sistem dari pemerintah secara responsif telah
berupaya memberi kontribusi mewujudkan prinsip Good Governance dan
Clean Government baik dalam pelaksanaan tugas pokok memelihara
1 Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002 Tentang Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2 Ali Subur dkk, Pergulatan Profesionalisme Dan Watak Pretorian (Catatan Kontras Terhadap Kepolisian), Kontras, 2007, Hal.4
Universitas Sumatera Utara
Kamtib mas, menegakkan hukum dan melindungi, mengayomi serta
melayani masyarakat maupun di kalangan internal Polri sendiri sebagaimana
dicanangkan dalam grand strategi Polri berupa Trust Building (membangun
kepercayaan).3
Kompleksitas tantangan tugas Polri pada era reformasi dalam
perjalanannya selain telah memberi manfaat bagi Polri dengan berbagai
kemajuan yang signifikan baik di bidang pembangunan kekuatan, pembinaan
maupun operasional. Namun di sisi lain diakui secara jujur terdapat akses negatif
dari penyelenggaraan tugas pokoknya berupa penyimpangan perilaku anggota
Polri seperti penyalahgunaan kekuasaan / wewenang (abuse of power),
kualitas penyajian layanan yang tercela dari sudut moral dan hukum antara lain
diskriminasi, permintaan layanan / penegakan hukum alasan kepentingan pribadi,
diskresi melampaui batas, mempersulit, arogan, lamban, tidak sopan manusiawi
dan perilaku negatif.
4
Terlepas benar atau tidak, setidaknya statement tersebut semakin
memberi justifikasi bahwa memang benar di dalam Polri banyak terjadi
penyimpangan khususnya dalam penyimpangan kode etik profesi Polri.
Bahkan beberapa waktu yang lalu terdapat suatu statement
dari sebuah LSM yang mengatakan Polri sebagai organisasi nomor satu paling
korup di Indonesia.
5
Kode etik profesi adalah suatu tuntutan, bimbingan atau pedoman
moral atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu atau merupakan daftar
3 Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melayani Publik, Gadjah Mada University, Yogyakarta , 2006, Hal. 3.
4 Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, Hal. 42.
5 Ibid
Universitas Sumatera Utara
kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun oleh para anggota
profesi itu sendiri dan mengikat mereka dalam praktik. Dengan demikian
maka kode etik profesi berisi nilai-nilai etis yang ditetapakan sebagai saran
pembimbing dan pengendali bagaimana seharusnya atau seyogyanya
pemegang profesi bertindak atau berperilaku atau berbuat dalam
menjalankan profesinya.
Demikian pula pada profesi kepolisian, mempunyai kode etik yang
berlaku bagi Polisi dan pemegang fungsi kepolisian. Kode etik bagi profesi
kepolisian tidak hanya didasarkan pada kebutuhan profesionalisme, tetapi
juga telah diatur secara normative dalam UU
No. 2 tahun 2002 tentang Polri yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kapolri No.
Pol. : 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Peraturan Kapolri
No. Pol : 8 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi
Kode Etik Profesi Polri, sehingga Kode Etik Profesi Polri berlaku mengikat
bagi setiap anggota anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
atau di singkat (Polri).6
Di beritakan di Media Kompas bahwa Komisi Kode Etik Polri
menghasilkan 204 putusan yang mencakup 169 pemberhentian tidak dengan
hormat (PTDH). Sebanyak 169 polisi diberhentikan tidak dengan hormat selama
Januari-Mei 2009. Secara keseluruhan, Komisi Kode Etik Polri menghasilkan 204
putusan yang mencakup 169 pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Keputusan lain yang diambil adalah tercela (2 kasus), permintaan maaf (6 kasus),
6 Pudi Rahardi , Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri), LaksBang Mediatama, Surabaya, 2007, hal. 6
Universitas Sumatera Utara
tour of area (TOA) atau pindah daerah tugas sebanyak 17 kasus, tour of duty
(TOD) atau pindah bagian sebanyak 15 kasus, dan pemberhentian dengan hormat
(PDH) sebanyak 3 kasus. Jumlah pelanggaran terbesar dilakukan bintara dengan
1.060 kasus tahun 2008 dan 488 kasus di antara Januari-Mei 2009. Pelanggaran
yang terjadi bervariasi, seperti kasus narkoba, kejahatan lain, dan mangkir dari
tugas (desersi). Sementara di tingkat perwira pertama (Inspektur Dua hingga Ajun
Komisaris) tercatat 81 kasus tahun 2008 dan 33 kasus pada semester I tahun 2009.
Di tingkat perwira menengah (Komisaris hingga Komisaris Besar) terdapat 16
pelanggar tahun 2008 dan 3 pelanggar pada Januari-Juni 2009. Secara
keseluruhan, ujar Sulistyo, jumlah pelanggaran pidana pada 2008 mencapai 1.164
kasus dan semester pertama 2009 sebanyak 525 kasus. Sekretaris Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adnan Pandupraja mengatakan, pihaknya
menerima 774 keluhan masyarakat terhadap polisi selama Januari-Juni 2009.
”Keluhan terbesar dialamatkan kepada satuan reserse sebanyak 723 laporan.
Laporan terbanyak atas kinerja polisi di Polri Metro Jaya 166 aduan. Keluhan
yang sudah dijawab Polri sebanyak 250 kasus.7
Setiap personel penegak hukum Polri pasti diikat oleh aturan atau undang-
undang sebagai acuan dalam bertindak. Aturan-aturan yang mengikat Polri
diantaranya adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia serta Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Selain itu pada tahun lalu (2010)
tercatat beberapa petinggi Polri diajukan pada sidang kode etik, antara lain
Kompol Arafat, Williardi W, dan Susno Duadji.
7 Jamil Mubarok, Sebanyak 169 Polisi Dipecat, kompa.com. (8 Februari 2011)
Universitas Sumatera Utara
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Akan tetapi banyaknya
aturan yang mengikat Polri tersebut tidak menjamin tumbuhnya jiwa profesional
dalam diri sebagian anggotanya.
Berkaca dari berbagai kasus yang timbul, seharusnya Polri perlu memulai
langkah baru dengan menghindarkan diri dari kesan menerapkan asas imunitas
untuk melindungi sesama anggota korps dalam berbagai penyelewengan. Selama
ini Polri sering dituding melindungi anggotanya yang tidak serius menangani
kasus-kasus korupsi, ham, illegal logging, narkoba, perjudian, dan lainnya.
Keanehan proses hukum kasus-kasus berskala besar yang menjadi perhatian
publik di tubuh Polri, bukan lagi sekadar menyangkut oknum, melainkan Polri
sebagai institusi. Untuk itu, Kepala Polri harus memulai ''tradisi baru'' untuk
memihak dan menghargai anggota Polri yang bekerja sungguh-sungguh, jujur,
dan berotak cemerlang.
Masyarakat sebenarnya berharap agar pengungkapan berbagai kasus yang
menimpa anggota atau petinggi Polri, tidak hanya seperti selama ini. Bila tidak
lagi dikontrol publik atau pers, kasusnya akan “menguap”. Pengungkapan untuk
kasus-kasus besar terkesan melambat, bahkan hilang begitu saja, manakala suatu
kasus terbentur pada polisi berpangkat tinggi. Berkaca pada pengalaman
sebelumnya, masih minim keseriusan untuk betul-betul mengungkap berbagai
kasus dan penyelewengan di tubuh Polri. Sinyalemen yang berkembang adanya
semangat membela institusi (esprit de corps) yang terkesan sebagai ''kultur''
Universitas Sumatera Utara
belum bisa dihilangkan sama sekali. Padahal, kultur tersebut merugikan reputasi
Polri sebagai institusi penegak hukum.8
B. Permasalahan
1. Bagaimana Implementasi Peraturan Kode Etik Polri Dalam Penyelesaian
Penyelewengan Kode Etik Polri Pada Kepolisian Resor Kota Besar Medan
2. Bagaimanakah upaya Polri dalam peningkatan profesionalisme dan citra Polri
dalam hal penegakan kode etik Polri ?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk Mengetahui bagaimana Implementasi Peraturan Kode Etik Polri Dalam
Penyelesaian Penyelewengan Kode Etik Polri Pada Kepolisian Resor Kota
Besar Medan
2. Untuk mengetahui bagaimanakah upaya Polri dalam peningkatan
profesionalisme dan citra Polri dalam hal penegakan kode etik Polri
Sedangkan Manfaat dalam penelitian ini adalah :
1. Kegunaan teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana,
khususnya mengenai penanganan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak
8Marwan Mas, Menyoroti Korupsi Korps Baju Coklat, Makalah Dosen Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar, 9 Nopember 2005, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
pidana. Selain itu juga untuk memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai
pelaksanaan kode etik kepolisan Republik Indonesia
2. Kegunaan praktis
a. Bagi Penulis : Penelitian ini dapat memperluas pengetahuan tentang
penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan dilapangan, serta
menambah wacana Ilmu Hukum Pidana tentang penanganan terhadap
anggota Polri yang melakukan tindak pidana.
b. Bagi Kepolisian : Khususnya bagi Kepolisian Daerah Jawa Timur,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam hal
penanganan terhadap anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana
sehingga dapat lebih meningkatkan profesionalisme para anggotanya.
c. Bagi Masyarakat : Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan
masyarakat tentang upaya yang dilakukan oleh Polri Jawa Timur dalam
penanganan terhadap anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana,
sehingga masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam penanganan terhadap
anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas
masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud.
Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang IMPLEMENTASI
PERATURAN KODE ETIK POLRI DALAM PENANGANAN
Universitas Sumatera Utara
TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MELANGGAR KETENTUAN
PIDANA (Studi di Kepolisian RESOR Kota Besar Medan), belum pernah
diteliti oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian, jika dilihat kepada
permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa
penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari
ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.
F. Kajian Pustaka
1. Kedudukan Polri
a. Kedudukan Polri sebelum berlakunya UU No.2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia
Sejak diundangkannya UU No. 13 Tahun 1961, bersamaan dengan
integrasi Kepolisian Negara Republik Indonesia ke dalam Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, maka pengaturan penyelanggaraan fungsi
Kepolisian dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang
terintegrasi dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, kecuali dalam
hal proses pidana yang diatur dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Paradigm Polri pada
masa berlakunya UU NO.13 Tahun 1961 adalah paradigma militer, karena
polisi merupakan bagian dari ABRI dengan doktrin militer yang bersifat
destructif dan represif.9
9 H. Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian Profesionalisme dan Reformasi Polri, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007, hal. 33.
Institusi Polri pada masa orde baru sering kali
mendapatkan intervensi dari kekuasaan ekstra yudisial dalam menjalankan
Universitas Sumatera Utara
tugas dan fungsinya. Selain itu juga, Polri merupakan sub ordinat
kekuasaan, sehingga sering dijadikan sarana untuk memelihara dan
melanggengkan kekuasaan dari ancaman internal dan eksternal. Banyaknya
kasus pelanggaran hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
dapat dikatakan sangat banyak yang melibatkan institusi Polri dan matra
militer (TNI) yang lain. Hal ini memungkinkan terjadi karena kondisi
pemerintahan dan regulasi sedemikian rupa, sehingga institusi Polri tidak
dapat bersikap mandiri dan independent dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya.10
Setelah UU No.13 Tahun 1961 berlaku selama 36 tahun, maka
digantilah Undang-Undang tersebut dengan Undang-Undang yang baru
yaitu UU No.28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Lembaran Negara tahun 1997 No. 81, tambahan lembaran
Negara No.3710). Pada masa berlakunya UU No. 28 Tahun 1997, kondisi
dan situasi saat itu masih erat hubungannya dengan orde pemerintahan pada
saat itu, yakni penyelenggaraan fungsi kepolisian pada periode tersebut
berjalan dengan nuansa dan karakteristik tersendiri sesuai dengan pada masa
tersebut.
11
10 Ibid, hal. 34.
Meskipun UU No.28 Tahun 1997 lebih baik disbanding UU
No.13 Tahun 1961, namun masih menempatkan Polri sebagai bagian dari
institusi TNI/ABRI. Oleh karena itulah kondisi dan situasi Polri pada masa
berlakunya UU No.28 Tahun 1997 tidak banyak berbeda dengan ketika
diberlakukannya UU No. 13 Tahun 1961.
11 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Rumusan ketentuan yang tercantum di dalam UU No. 28 Tahun
1997 masih mengacu pada UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan UU No.1 Tahun 1988 dan UU No. 2
Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,
sehingga watak militernya masih sangat dominan yang pada gilirannya
berpengaruh pula terhadap sikap dan perilaku aparat/pejabat Kepolisian
dalam pelaksanaan tugasnya dilapangan. Tuntutan ke arah perubahan UU
Kepolisian No. 28 Tahun 1997, semakin merebak sejalan dengan maraknya
tuntutan reformasi kearah perwujudan supremasi hukum, Kepolisian yang
mandiri dan profesional, demokratisasi dan perlindungan Hak Asasi
Manusia sehingga mendukung terwujudnya perubahan undang-undang yang
memuat paradigma baru pemolisian dan diharapkan dapat memberikan
penegasan watak Polri sebagaimana yang dinyatakan dalam Tri Brata dan
Catur Prasetya sebagai sumber nilai Kode Etikka Kepolisian yang mengalir
dari falsafah Pancasila.12
Pada periode tahun 1997-2002, era reformasi telah melahirkan
kondisi ketatanegaraan dan pemerintahan kondusif sehingga mendukung
terwujudnya perubahan undang-undang yang memuat paradigma baru
pemolisian dan diharapkan dapat memberikan penegasan watak Polri
sebagaimana yang dinyatakan dalam Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai
12 Ibid. Hal 36
Universitas Sumatera Utara
sumber nilai Kode Etika Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila.13
Ditetapkannya perubahan kedua UUD 1945 Bab XII tentang
Pertahanan dan Keamanan Negara, yang kemudian disusul dengan adanya
Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.
VIII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan
paradigma yang menegaskan adanya rumusan tentang tugas, fungsi, dan
peran Kepolisian Negara Republik Indonesia pada era reformasi serta
pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peran
dan fungsi masing-masing. Sehingga dapat dikatakan bahwa tugas pokok
Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Sedangkan TNI, sebagai
alat pertahanan untuk menghadapi ancaman dari luar. Maka selanjutnya, UU
No. 28 Tahun 1997 diubah dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b. Kedudukan Polri setelah berlakunya UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisan Republik Indonesia
Kelahiran UU Kepolisian No. 2 Tahun 2002 telah memisahkan
institusi Polri dari TNI, sehingga diharapkan dengan adanya undang-undang
tersebut dapat terciptanya kemandirian dan profesionalisme Polri. Dalam
UU Kepolisian No. 2 Tahun 2002 diatur pembinaan profesi dan ketentuan
mengenai Kode Etik Profesi Polri agar setiap tindakan anggota/pejabat Polri
13 Ibid, hal 36.
Universitas Sumatera Utara
dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun teknik profesi dan
terutama berdasarkan hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu dalam
undang-undang tersebut diatur mengenai hak dan kewajiban serta tanggung
jawab anggota Polri yang tunduk pada kekuasaan peradilan umum, bukan
lagi tunduk pada peradilan militer. Dengan kata lain setiap terjadi
permasalahan pidana bagi anggota Kepolisian, akann diselesaikan pada
peradilan umum dimana proses penyidikannya dilakukan oleh aparatur
Polri. Hal ini merupakan konsekuensi lepasnya institusi Polri dari institusi
TNI yang tunduk pada peradilan militer dan juga hal yang sangat mendasar
dalam UU No. 2 Tahun 2002.
Perubahan perilaku militeristik Polri tersebut menjadi sangat penting,
karena eksistensi Polri sebagai penegak hukum dengan mendekatkan sudut
legalistik organisasi dan mekanisme kerja Organisasi Kepolisian, Polri
adalah sebagai agensi pelaksana ”the rule of criminal procedure” (RCP)
yang diberi kekuasaan oleh undang-undang untuk mempertahankan dan
memelihara ketertiban dan keamanan sebagaimana yang diatur dalam “the
rule of the criminal code” (RCC), yang secara umum berlaku “Code of
Conduct For Law Enforcement Officials” dan “Basic Principle On The Use
of Force And Firearmas by Law Enforcement Officials”, yang telah
ditetapkan dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-VII dan ke-VIII
tentang “The Prevention of Crimme and The Treatment of Offenders”.
Sehingga bila ditinjau dari sisi penegakan hukum, sifat universal Kepolisian
dimana sebagian terbesar Negara di dunia menempatkan Organisasi
Universitas Sumatera Utara
Kepolisian bebas dari dan tidak tunduk pada Organisasi Angkatan
Bersenjata (militer). Karena dengan watak perilaku militer, maka visi misi
Kepolisian bukan lagi pada “How to Combat Crimes” akan tetapi menitik
beratkkan pada “How to Combat The Enemy”. Selain itu besarnya tugas
Polri yang lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayani, juga menjadi
pertimbangan sosiologis untuk dibentuknya Undang-undang Kepolisian.14
Dengan demikian berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 telah jelas
bahwa Polri tidak lagi sebagai militer dan produk-produk adminitrasi
Kepolisian tidak lagi tunduk pada tata usaha militer sebagaimana diatur
dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, tetapi masuk dalam
lingkup Pejabat Tata Usaha Negara yang tunduk pada UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mengingat produk administrasi
Kepolisian sebagai produk Tata Usaha Negara, apabila berupa keputusan,
maka masuk pada kategori sebagai keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Oleh karena itu, apabila terjadi sengketa atas keputusan Pejabat
Kepolisian yang bersifat konkrit, individual, dan final, peradilan yang
memiliki kompetensi untuk menyelesaikan sengketa dimaksud adalah
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diubah dengan UU No. 9
Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berlaku secara
efektif sejak ditetapkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dan
keluarnya Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian
14 Sadjijono, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2005, hal 137.
Universitas Sumatera Utara
Anggota Polri, Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan
Disiplin Anggota Polri dan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2003 tentang
Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi anggota Polri.
2. Pengertian Kepolisian Republik Indonesia
a. Pengertian Polisi Secara Umum
Untuk menyamakan persepsi tentang pengertian kepolisian republik
indonesia, terlebih dahulu dikemukaakan pengertian polisi. Istilah polisi pada
mulanya berasal dari bahasa Yunani, "politea" yang berarti pemerintahan negara
Yunani terdiri dari kota-kota yang disebut dengan "polis", pada waktu itu
pengertian polisi menyangkut segala urusan pemerintahan termasuk urusan agama
atau dengan kata lain pengertian polisi adalah urusan pemerintahan. Pengertian
polisi tersebut pada waktu urusan pemerintahan masih sederhana dan belum
seperti sekarang ini. Dari istilah politea dan polis kemudian timbul istilah lapoli,
police (Inggris), polzei (Jerman), dan polisi (Indonesia). Charles Reith dalam
bukunnya yang berjudul The Blind Eye of History mengemukakan pengertian
polisi dalam bahasa Inggris: ”Police Indonesia the English Language came to
mean of planning for improving ordering communal existence”15
15 Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di Indonesia. Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2005, hal 5.
yaitu sebagai
tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau susunan kehidupan masyarakat.
Pengertian ini berpanggkal tolak dari pemikiran, bahwa manusia adalah mahluk
sosial, hidup berkelompok, membuat aturan-aturan` yang disepakati bersama.
Ternyata diantara kelompok itu ada yang tidak mau mematuhi aturan bersam
Universitas Sumatera Utara
sehingga timbul masalah siapa yang berkewajiban untuk memperbaiki dan
menertibkan kembali anggota kelompok yang telah melanggar. Dari pemikiran ini
kemudian timbul Polisi, baik organnya maupun tugasnya untuk memperbaiki dan
menugaskan tatasusunan kehidupan masyarakat tersebut.16
Pada abad ke-14 dan 15 oleh karena perkembangan zaman, urusan dan
kegiatan keagamaan menjadi semakin banyak, sehingga perlu diselenggarakan
secara khusus. Akhirnya urusan agama dikeluarkan dari usaha politea, maka
dengan istilah politea atau polisi tinggal meliputi usaha dan urusan keduniaan
saja.
Dari arti kata polisi yang telah diketengahkan, kalau didalami lebih jauh,
akan memberikan berbagai pengertian. Para cendikiawan dibidang Kepolisian
sampai pada kesimpulan bahwa dalam kata polisi terdapat tiga pengertian yang
dalam penggunaan sehari-hari sering tercampur aduk dan melahirkan berbagai
konotasi. Tiga arti kata polisi adalah ; (1). Polisi sebagai fungsi, (2). Polisi sebagai
organ Kenegaraan dan, (3). Polisi sebagai pejabat atau petugas.17
Yang banyak disebut sehari-hari memang polisi dalam arti petugas atau
pejabat. Karena merekalah yang sehari-hari berkiprah dan berhadapan langsung
dengan masyarakat. Pada mulanya dulu polisi itu berarti orang yang kuat dan
dapat menjaga keselamatan dan ketemtraman kelompoknya. Namun dalam bentuk
polis atau negara kota, polisi sudah harus dibedakan dengan masyarakat biasa,
agar rakyat jelas bahwa pada merekalahlah rakyat minta perlindungan, dapatb
mengadukan keluhannya dan seterusnya dengan diberi atribut tertentu. Tersirat
16 Ibid 17 Ibid
Universitas Sumatera Utara
juga maksud bahwa dengan atribut-atribut khusus dapat segera terlihat bahwa
polisi punya kewewnangan menegakkan aturan dan melindungi masyarakat.
Pembedaan atribut dengan segala maknanya itu, berkembang terus,
sehingga dikemudian hari melahirkan bayak variasi. Setiap negara memberikan
atribut yang berbeda-beda sesuai dengan budaya dan estetika yang mereka
kehendaki. Atribut itu secara phisik berbentuk seragam baju, kelengkapan dan
tanda-tanda atau simbul-simbul yang merupakan tanda pengenal mereka.
Beberapa negara bahkan memberikan atribut yang berbeda-beda bagi setiap
daerah atau negara bagian.18
Seiring perkembangan zaman dengan demikian pengertian polisi juga
mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan perkembangan keadaan.
Waulaupun mengalami perkembangan mengenai polisi, namun ide dasar
keberadaan polisi tidak berubah yaitu urusan mengenai pemeliharaan
pemerintahan.
Perkembangan jaman di Eropa Barat (terutama sejak abad ke-14 dan
ke-15) menuntut adanya pemisahan agama dan negara sehingga dikenal istilah-
istilah police di Perancis dan polizei di Jerman yang keduanya telah
mengecualikan urusan keduniawian saja24 atau hanya mengurusi keseluruhan
pemerintahan negara, istilah polizei tersebut masih dipakai sampai dengan akhir
abad pertengahan, kemudian berkembang dengan munculnya teori Catur Praja dari
Van Voenhoven yang membagi pemerintahan dalam empat bagian, yaitu:19
1) Bestuur : Hukum Tata Pemerintahan
18 Ibid., hal. 5 19 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta ,2000, hal. 337.
Universitas Sumatera Utara
2) Politie : Hukum Kepolisian
3) Justitie : Hukum Acara Peradilan
4) Regeling : Hukum Perundang-undangan.
Dalam teori tersebut dapat dilihat bahwa polisi tidak lagi merupakan
keseluruhan pemerintahan negara akan tetapi merupakan organ yang berdiri sendiri,
yang mempunyai wewenang dan kewajiban menjalankan pengawasan bahkan bila
perlu dengan paksaan yang diperintah melakukan suatu perbuatan atau tidak
melakukan suatu perbuatan sesuai dengan kewajibannya masing-masing.
b. Pengertian ‘Polisi’ menurut UU Kepolisian
‘Kepolisian’ dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian diartikan
sebagai segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia
sedangkan Pejabat Kepolisian Negara adalah anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum
kepolisian.
Peraturan kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan
menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
3. Asas, Tugas dan Wewenang POLRI
a. Asas-asas dalam Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Kepolisian.
Pelaksanaan wewenang kepolisian didasarkan pada tiga asas yakni:20
1) asas legalitas
2) asas plichmatigheid
3) asas subsidiaritas
Asas legalitas adalah asas di mana setiap tindakan polisi harus didasarkan
kepada undang-undang / peraturan perundang-undangan. Bilamana tidak didasarkan
kepada undang-undang / peraturan perundang-undangan maka dikatakan bahwa
tindakan polisi itu melawan hukum (onrechtmatig).
Asas plichmatigheid ialah asas di mana polisi sudah dianggap sah
berdasarkan / sumber kepada kekuasaan atau kewenangan umum. Dengan
demikian bilamana memang sudah ada kewajiban bagi polisi untuk memelihara
keamanan dan ketertiban umum, asas ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan
tindakan. Polisi dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri untuk memelihara
keamanan dan ketertiban umum.
Asas subsidiaritas adalah asas yang menyatakan bahwa hukum pidana
seyogyanya digunakan sebagai langkah akhir. Sebagai Abdi penegak hukum yang
langsung terjun pada masyarakat sudah selayaknyalah polri juga sebisa mungkin
menggunakan cara persuasif terlebih dahulu dalam menangani persoalan
masyarakat terutama terkait masalah masalah yang bisa mengakibatkan konflik
horisontal. Sedangkan penegakan melalui pidana adalah langkah akhir jika cara
20 Kelana Momo, Hukum Kepolisian (edisi ketiga cetakan keempat), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 1984, hal. 98.
Universitas Sumatera Utara
persuasif gagal.
b. Tugas dan Wewenang Polri Menurut UU Kepolisian
Undang-undang Kepolisian menyebutkan bahwa tugas pokok kepolisian
Negara Repubik Indonesia adalah:21
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Penjelasan tersebut menyebutkan bahwa rumusan tersebut tidak
didasarkan pada suatu urutan prioritas, artinya ketiga-tiganya sama penting.
Dalam pelaksanaannya pun tugas pokok yang akan dikedepankan sangat
tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang dihadapi karena pada
dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat
dikombinasikan.
Dalam UU kepolisian, keamanan dan ketertiban masyarakat diartikan
sebagai:
“suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.”22
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertugas:23
21 UU Kepolisian, Pasal 13.
22 Ibid., Pasal 1 butir 5. 23 Ibid., Pasal 14.
Universitas Sumatera Utara
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjami kemanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap sema tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselaatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan / atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelu ditangani oleh instansi dan / atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tugas utama polisi untuk menegakkan hukum berhubungan dengan
peran polisi sebagai salah satu bagian dari system peradilan pidana Indonesia.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, polisi berwenang untuk:24
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
24 Ibid., Pasal 16 ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam
keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
‘Tindakan lain” yang dimaksud adalah tindakan penyelidikan dan
penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:25
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia.
Selain tugas dan wewenang yang disebutkan di dalam UU Kepolisian
ini, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk kepentingan umum,
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri. Tindakan menurut penilaian sendiri ini hanya data dilakukan
dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-
undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.26
c. Tugas dan Wewenang Polri Menurut KUHAP
1) Wewenang Sebagai Penyidik
Upaya paksa merupakan kegiatan polisi dalam menjalankan tugasnya
sebagai penegak hukum dalam system peradilan pidana Indonesia. Upaya paksa
25 Ibid., Pasal 16 ayat (2). 26 Ibid., Pasal 18.
Universitas Sumatera Utara
meliputi kegiatankegiatan: penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak secara
eksplisit menjelaskan pengertian dari upaya paksa namun di dalamnya
disebutkan mengenai tugas dan wewenang polisi sebagai penyidik. Menurut
ketentuan dalam Pasal 6 KUHAP:
(1). Penyidik adalah: a. pejabat Polisi Negara Republik Indonesia; b. pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh UU.
Sedangkan wewenang yang dimiliki oleh penyidik diatur di dalam pasal
7 KUHAP yang berbunyi:
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka; d. melakuan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakuakan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dari pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud adlam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
2) Penangkapan
Mengenai penangkapan disebutkan bahwa baik untuk kepentingan
Universitas Sumatera Utara
penyelidikan maupun penyidikan, penyidik memiliki wewenang untuk
memerintahkan atau untuk melakukan penangkapan.27 Penangkapan (atau
perintah penangkapan) dilakukan terhadap seorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.28
Tata cara pelaksanaan penangkapan adalh dengan memperlihatkan
surat tugas petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia serta memberikan
kepada tersangka surat perintah pengkapan yang mencantumka identitas
tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Tembusan surat
perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan.
29
Apabila penangkapan dilakukan segera pada saat terjadi suatu kejahatan
atau dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah,
dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap
beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu
terdekat.
30
3) Penahanan
Penahanan dapat dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu atas
perintah penyidik untuk kepentingan suatu penyidikan. Penahanan dapat
juga dilakukan oleh Penuntut Umum untuk kepentingan penuntutan maupun
27 KUHAP, Pasal 16. 28 Ibid., Pasal 17. 29 Ibid., Pasal 18 ayat (1) dan (3). 30 Ibid., Pasal 18 ayat (2).
Universitas Sumatera Utara
oleh Hakim itu sendiri di sidang Pengadilan dengan penetapannya.31
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan bilamana
terdapat kekhawatiran seorang tersangka atau terdakwa yang melakukan
tindak pidana akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti
dan atau mengulangi tindak pidana.
32
KUHAP menyebutkan bahwa suatu penahanan hanya dapat dikenakan
terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidan dan atau
percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam
hal:
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana pernjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 ayat (1), pasal 372, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480 dan pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal 25 dan pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad tahun 1931 nomor 471), pasal 1, pasal 2 dan pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 nomor 8), pasal 36 ayat (7), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47 dan pasal 48 Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 nomor 37, Tambahan Lembaran Negara nomor 3086). 33
Menurut ketentuan pasal 22, jenis penahanan dapat berupa:
a) Penahanan Rumah Tahanan Negara; b) Penahanan rumah c) Penahanan kota.
4) Penggeledahan
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan
31 Ibid., Pasal 18 ayat (1) dan (3). 32 Ibid., Pasal 21 ayat (1). 33 Ibid., Pasal 21 ayat (4).
Universitas Sumatera Utara
penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan
menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP.34
Pasal 37 KUHAP menyebutkan:
“(1) Pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang
menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.
(2) Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.”
5) Penyitaan
KUHAP mendefinisikan penyitaan sebagai serangkaian tindakan penyidik
untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda
bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepnetingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.35
Suatu penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin
Ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun demikian, dalam keadaan yang
sangat perlu dan mendesak yakni bila penyidik harus segera bertindak dan tidak
mungkin untuk mendapatkan izin terlebih dahulu, penyidik tersebut dapat
melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak.
36
Hal-hal yang menjadi obyek penyitaan adalah:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
34 Ibid., Pasal 32. 35 Ibid., Pasal 32. 36 Ibid., Pasal 38.
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana; d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana; e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.37
4. Kewajiban dan Larangan Bagi Anggota Polri
a) Kewajiban Anggota Polri
Kewajiban bagi anggota Polri dalam PP No. 2 Tahun 2003 dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu kewajiban yang harus dilakukan dalam rangka
kehidupann bernegara dan bermasyarakat, dan kewajiban yang harus dilakukan
dalam pelaksanaan tugas. Kewajiban bagi anggota Polri dalam rangka kehidupan
bernegara dan bermasyarakat diatur dalam Pasal 3 PP No. 2 Tahun 2003, yang
berbunyi :
dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib :
a. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Negara dan Pemerintah;
b. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan kepentingan Negara;
c. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d. Menyimpan rahasia Negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;
e. Hormat-menghormati antar pemeluk agama; f. Menjunjung tinggi hak asasi manusia; g. Menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang
berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum;
h. Melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan/atau merugikan Negara/pemerintah;
i. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat; j. Berpakain rapi dan pantas. Sedangkan kewajiban bagi anggota Polri dalam pelaksanaan tugas, diatur
37 Ibid., Pasal 39 ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal 4 PP No. 2 Tahun 2003 yang berbunyi: “Dalam pelaksanaan tugas,
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib:
a. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat;
b. Memperhatikan dan menyelasaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan masyarakat;
c. Mentaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab;
e. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
f. Menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku;
g. Bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya;
h. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas; i. Memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya; j. Mendorong semangat bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja; k. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan
karier; l. Menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan yang berwenang; m. Menaati ketentuan jam kerja; n. Menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaik-
baiknya; o. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.
b. Larangan Anggota Polri
Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
terdapat larangan bagi anggota Polri yang diatur dalam Pasal 5 PP No. 2 Tahun
2003. Adapun larangan tersebut adalah:
a. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. Melakukan kegiatan politik praktis; c. Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; d. Bekrjasama dengan orang lain didalam atau diluar lingkungan kerja
dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau
Universitas Sumatera Utara
pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan Negara;
e. Bertindak selaku perantara bagi penngusaha ataau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;
f. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaanya;
g. Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;
h. Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang mempunyai utang;
i. Menjadi perantara/makelar perkara; j. Menelantarkan keluarga. Selanjutnya dalam pasal 6 PP No. 2 Tahun 2003 diatur mengenai larangan
bagi anggota Polri dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas yaitu dilarang:
a. Membocorkan rahasia operasi Kepolisian; b. Meninggalkan wilayah tugas tanpa ijin pimpinan; c. Menghindarkan tanggung jawab dinas; d. Menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi; e. Menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya; f. Mengontrakkan/menyewakan rumah dinas; g. Menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit; h. Mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak; i. Menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi; j. Berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani; k. Memanipulasi perkara; l. Membuat opini negative tentang rekan sekerja, pimpinan, dan/atau
kesatuan; m. Mengurusi, mensponsori, dan/atau mempengaruhi petugas ddengan
pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
n. Mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materiil perkara;
o. Menlakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya; p. Melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau
mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;
q. Menyalahgunakan wewenang; r. Menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan; s. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya; t. Menyalahgunakan barang, uang, atau surat berharga milik dinas; u. Memiliki, memjual, membeli, menggadaikan, menyewakan,
meminjamkan, atau menghilangkan baraang, dokumen, atau surat
Universitas Sumatera Utara
berharga milik dinas secara tidak sah; v. Memasuki tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia kecuali karena tugasnya.; w. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun untuk
kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain; x. Memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
5. Kode Etik Profesi Polri
Etika berasal dari bahasa yunani kuno Ethos, yang dalam bentuk
tunggal berarti adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari Ethos
adalah Ta etha artinya adat kebiasaan. Dari bentuk jamak ini terbentuklah istilah
etika yang oleh filsuf Yunani Aristoteles sudah dipakai untuk menunjukan filsafat
moral. Berdasarkan asal usul kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa yang
biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.38
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Etika dirumuskan dalam tiga arti,
yaitu:
39
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Bertens mengemukakan bahwa urutan ketiga arti tersebut kurang
tepat, sebaiknya arti ketiga ditempatkan di depan karena lebih mendasar dari
pada arti pertama, dan urutannya bisa dipertajam lagi. Dengan demikian,
menurutnya tiga arti etika dapat dirumuskan sebagai berikut:40
38 Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal. 4.
39 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1998.
40 Bertens., Op.cit., Hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
1. Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Arti ini disebut juga sebagai sistem nilai dalam hidup manusia
perseorangan atau hidup bermasayarakat.
2. Etika dipakai dalam arti: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud
disini adalah kode etik, Misalnya Kode etik Kepolisian, Kode Etik
Advokat Indonesia.
3. Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti etika
disini sama dengan filsafat moral.
Menurut sumaryono, Etika mempunyai arti adat isitiadat dan kebiasaan
yang baik. Bertolak dari pengertian ini kemudian etika berkembang menjadi
studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan
waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan
pada umumnya. Selain itu, etika juga berkembang menjadi studi tentang
kebenaran dan ketidak benaran manusia. Berdasarkan kodrat manusia yang
diwujudkan melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi,
etika dapat dibedakan menjadi etika perangai dan etika moral.41
Etika profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata
yang dilandasi dan dijiwai oleh pancasila serta mencerminkan jati diri setiap
anggota kepolisian meliputi etika pengabdian, kelembagaan, dan
keneagaraan, selanjutnya disusun ke dalam Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Pencurahan perhatian yang sangat serius dilakukan
41 Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Kanisius, Yogyakarta, 1995, Hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
dalam menyusun etika Kepolisian adalah saat pencarian identitas polisi sebagai
landasan etika Kepolisian. Sebelum dinyatakan sebagai Kode Etik, Tribrata
memberikan identitas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam
rangka penyusunan undang-undang tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.42
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia untuk pertama kali
ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol :
Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya naskah dimaksud
terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia
beserta pedoman pengamalannya. Dengan berlakunya Undang-undang
Nomor 28 Tahun 1997 dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia, maka pada tanggal 7 Maret 2001
diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia dengan
Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/05/III/2001 serta buku Petunjuk
Administrasi Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia
dengan Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/04/III/2001.
Perkembangan selanjutnya dengan Ketetapan MPR-RI Nomor.
VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketetapan MPR-RI Nomor.
VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan amanar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana tersebut dalam
42 Ibid., hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
pasal 31 sampai dengan pasal 35, maka diperlukan perumusan kembali Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia yang lebih konkrit agar pelaksanaan
tugas kepolisian lebih terarah dan sesuai dengan harapan masyarakat yang
mendambakan terciptanya supremasi hukum dan terwujudnya rasa keadilan.43
Implementasi dari UU No. 2 Tahun 2002 tersebut adalah dikeluarkannya
Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri. Pengertian
Kode etik profesi Polri disebutkan secara jalas dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan
Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri yang menyebutkan
bahwa : “Kode etik profesi Polri adalah norma-norma atau aturan-aturan yang
merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku
maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang atau tidak patut
dilakukan oleh anggota Polri.”
Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi
dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada
pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika profesi kepolisian
terdiri dari :
a. Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan
pelayan masyarakat.
43 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah
pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua
insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.
c. Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral,
mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam
rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.44
Perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
memuat norma perilaku dan moral lahir dari kesepakatan bersama serta dijadikan
pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia sehingga dapat menjadi pendorong semangat dan
rambu-rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi Kepolisian guna
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang
membentuk Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia di semua
tingkat organisasi yang selanjutnya berfungsi untuk menilai dan memeriksa
pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia
memuat norma perilaku dan moral yang disepakati bersama serta dijadikan
pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian
44 Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006.
Universitas Sumatera Utara
Negara Republik Indonesia sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu-
rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi kepolisian guna
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang
membentuk Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia di semua
tingkat organisasi, selanjutnya berfungsi untuk menilai dan memeriksa
pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Indonesia.
6. Pengertian Pidana
Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan
unsur yang terpenting dalam hukum pidana. Sedangkan Perbuatan pidana adalah
suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana. Hukum pidana sendiri adalah
hukum yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-
kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman
yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.45
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata yakni straf,
Dari definisi tersebut ditarik
suatu pengertian bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang
mengandung norma-norma yang baru, melainkan hanya mengatur tentang
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum
yang mengenai kepentingan umum.
45 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1986, hal.257.
Universitas Sumatera Utara
baar, feit, yang mana straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum, sedang
perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan kata feit
diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.46
Apabila diartikan, maka kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat
dan boleh, sedangkan kata feit memang untuk diterjemahkan dengan perbuatan
yang untuk mewujudkannya diperlukan/ diisyaratkan adanya suatu gerakan atau
perbuatan aktif tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (pasal
362 KUHP) atau merusak (pasal 406 KUHP), sedangkan perbuatan pasif artinya
suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun yang oleh
karenanya, dengan demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban
hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan
membiarkan (pasal 304 KUHP).
Tindak pidana atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Hal ini sebagaimana pendapat
Moeljatno yang menyatakan47
Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
:
J.E. Jonkers memberi rumusan tentang tindak pidana, bahwa tindak pidana
adalah “Perbuatan yang melanggar hukum (wedderechttelijk) yang berhubung
46 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 67.
47Ibid., hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
dengan kesengajaan atau kesalahan yang dapat dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.”
Sedangkan menurut H.J. Van Schravendijk merumuskan tindak pidana
sebagai perbuatan yang boleh dihukum, maksudnya adalah “kelakuan orang yang
begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam
dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat
dipersalahkan.”
Kemudian menurut Simons merumuskan tindak pidana “sebagai suatu
tindakan melanggar hukum yang telah sengaja dilakukan oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat
dihukum.”48
Dari empat rumusan tersebut menunjukkan bahwa didalam membicarakan
perihal tindak pidana selalu diidentikkan bahwa didalamnya telah ada orang yang
melakukan dan oleh karenanya ada orang-orang yang dipidana, memandang
tindak pidana semata-mata pada perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika
perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan/ terjadi, baru melihat pada
orangnya, jika orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab dan
karenanya perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya, dengan demikian maka
kepadanya dijatuhi pidana.
Dalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan
terhadap perbuatan pidana (dader) jika melakukan perbuatan kejahatan atau
pelanggaran atas delik. Menurut Smidt menyatakan sebagai berikut :
48 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kejahatan adalah perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht ataus sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.49
Orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dipidana jika memenuhi
semua unsur yang terdapat dalam pertanggungjawaban pidana. Sedangkan jika
orang tersebut tidak memenuhi salah satu unsur-unsur mengenai
pertanggungjawaban pidana maka tidak dapat dipidana dari segala tuntutan
hukum.
Dalam buku Hukum Pidana edisi I karya Sudarto, disebutkan ada dua
golongan yang memandang mengenai pemidanaan yakni pandangan monistis dan
dualistis. Bagi golongan yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan
tindak pidana sudah dapat dipidana, sedang bagi yang berpandangan dualistis/
dualisme sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus
disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang
berbuat.50
Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah
51
1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.
:
2. Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab.
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan.
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
49 Moeljatno, Asas-asasHukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal.71. 50Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990,
hal 45. 51 Ibid., hal. 164.
Universitas Sumatera Utara
1) Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.
Penjelasan :
Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan
melawan hukum atau wederrechtelijkheid sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap
melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut
tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dalam hal ini harus
dilepas dari segala tuntutan (onslag van recht-vervolging). Menurut Vos,
perbuatan yang bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang tidak
diperbolehkan.52
Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang terdapat dalam KUHP
merumuskan delik tersebut secara tertulis dan tidak tertulis. Jika rumusan delik
tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana,
maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika
pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat melawan hukum
tersebut.
53
2) Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab.
Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur yang diwajibkan guna
memenuhi suatu pertanggungjawaban perbuatan pidana. Yang menjadi dasar
adanya kemampuan bertanggung jawab menurut adalah54
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.
:
52 Ibid., hal. 134. 53 Ibid., 54 Ibid.., hal. 165.
Universitas Sumatera Utara
b. Kemampuan untuk melakukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik
dan buruknya perbuatan tadi.
Sedangkan batasan mengenai perbuatan pidana yang dianggap tidak
mampu bertanggungjawab menurut KUHP adalah :
“Kurang sempurnanya akan atau adanya sakit yang berubah akalnya” (pasal 44
ayat (1) KUHP)
Dengan dasar adanya ketentuan KUHP diatas, maka pembuat perbuatan
pidana tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan
perbuatan pidana.
3). Mempunyai suatu bentuk kesalahan.
Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan merupakan bagian dari
unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam
pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Orang
dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika pada waktu melakukan perbuatan
pidana, dilihat dari segi masyarakatnya dapat tercela karenanya, yaitu kenapa
melakukan perbuatan yang merugikan masyarakan padahal mampu untuk
mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus
menghindari perbuatan yang sedemikian itu.
Sedangkan menurut Simons, kesalahan adalah : “Keadaan psikis yang
tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan
antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukannya sedemikian rupa,
hingga orang itu dapat tercela karena perbuatannya itu.”
Universitas Sumatera Utara
Bentuk perbuatan manusia yang dianggap mempunyai kesalahan
mengandung dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu
kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Menurut Willems dan Werens, yang
dimaksud perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang
dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Sedangkan bentuk dari
kesengajaan menurut teori ini terdiri dari tiga corak, yaitu 55
a. Kesengajaan sebagai maksud (Dolus Derictus)
:
b. Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan.
c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus Eventualis).
Menurut pendapat Simons mengenai kealpaan mengatakan bahwa isi
kealpaan adalah diduga-duganya akan timbul akibat. Kealpaan yang harus terjadi
menurut Van Hamel harus mengandung dua syarat yaitu56
a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan dalam hukum.
:
b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana menurut hukum.
Sedangkan kata kesalahan pada kealpaan pengertiannya sekurang-
kurangnya terdiri dari tiga komponen, yaitu57
a. Pembuat membuat lain daripada seharusnya ia berbuat menurut hukum
terrtulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum.
:
b. Selanjutnya pembuat laku berbuat sembrono, lalai, kurang berpikir, lengah.
c. Akhirnya pembuat dapat dicela, yang berarti bahwa ia dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berpikir,
dan lengah.
55 Ibid. 56 Ibid., hal. 170. 57 Schafmeister, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 112.
Universitas Sumatera Utara
4) Tidak adanya alasan pemaaf
Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana
dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf. Yang dimaksud alasan
pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang menghapuskan kesalahan. Kalau
ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih
ada perbuatan pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana (tidak dapat
dipertanggungjawabkan).58
Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan
tidak dipidananya seseorang adalah
Dampak yang terjadi dengan adanya alasan pemaaf
yang terjadi pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilakukan oleh orang tersebut tetaplah merupakan perbuatan yang melawan
hukum, akan tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena tidak ada
kesalahan.
59
1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak dalam
orang itu (inwendig), misalnya hilangnya akal, dll.
:
2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar
orang itu (uitwendig), misalnya adanya kealpaan, dll.
Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada
ketentuan KUHP adalah sebagai berikut :
1. Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu.
2. Pasal 48 mengenai daya memaksa
3. Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa
58 Moeljatno, Op.Cit., hal.137. 59 Ibid..
Universitas Sumatera Utara
4. Pasal 51 ayat 2 mengenai melaksanakan peritah jabatan yang tidak sah.
Jika memenuhi salah satu dari ketentuan tersebut diatas, maka perbuatan
yang dilakukan merupakan tindak pidana akan tetapi harus dibebaskan dari segala
tuntutan hukum atau tidak dimintai pertanggungjawaban pidana.
G. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode
pendekatan Yuridis Sosiologis yaitu penelitian dan pembahasan yang
didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu
Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Peraturan Kapolri No.7 Tahun 2006 tanggal 1 Juli
Tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dikaitkan
dengan teori hukum serta dengan melihat realita di masyarakat mengenai
Proses Persidangan Pelanggar Kode Etik Profesi Terhadap Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang melanggar ketentuan hukum Pidana
2. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini alasan memilih dan menentukan lokasi penelitian ini
merupakan yang sifatnya ilmiah, dalam hal ini penulis memilih lokasi
penelitian di KEPOLISIAN RESOR KOTA BESAR MEDAN yang beralamat
di Jalan HM Said Medan.
Universitas Sumatera Utara
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang akan diambil didalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer
Data yang diperoleh secara langsung dari informan yang berhubungan
dengan permasalahan yang dikaji tentang implementasi kode etik Polri bagi
anggota Polri yang melanggar hukum pidana. Informan itu terdiri dari :
1. AKP. Benno P. Sidabutar
2. IPTU Tony Simanjuntak
3. IPTU Subeno, SH
b. Data Sekunder
Data kepustakaan yang mendukung data primer yang merupakan pedoman
dalam melanjutkan penelitian terhadap data primer yang ada dilapangan. Data
sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dengan melakukan pengumpulan
data dari berbagai sumber dan literatur selain itu juga dokumen yang berkaitan
dengan kode etik Polri.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Untuk data primer dilakukan dengan cara wawancara
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu60
60 Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta , 2001 Hal 95
. Wawancara ini dilakukan
sebagai upaya mendapatkan data yang lebih lengkap dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara lisan yang berhubungan dengan permasalahan. Jenis
Universitas Sumatera Utara
wawncara yang dilakukan dalam rangka mengumpulkan data adalah dengan cara
wawancara bebas terpimpin yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu
pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman dan masih dimungkinkan didalamnya
ada variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika wawancara.
b. Untuk data sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka
Studi pustaka adalah mencari data tersedia yang pernah ditulis peneliti
sebelumnya dimana ada hubungan dengan masalah yang akan dipecahkan dan
informasi lain yang bersifat umum61
. Studi pustaka ini dilakukan dengan
mengumpulkan data melalui penelusuran bahan pustaka yang dipelajari dan
dikutip dari data sumber yang ada, berupa catatan literatur yang berhubungan
dengan kode etik Polri.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisa data ini menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis
dengan memperlihatkan kualitas dari data yang diperoleh. Penulis melakukan
analisis dari semua data yang dianggap relevan diperoleh dilapangan, dan
kemudian data tersebut dipaparkan sesuai dengan realitasnya. Kemudian
berdasarkan data yang diperoleh akan dilakukan analisis untuk membuat suatu
kesimpulan dan dapat memberikan suatu pemecahan dari masalah yang dikaji.
61 Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 Hal 55
Universitas Sumatera Utara
H. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Pada Bab ini diuraikan mengenai latar belakang pemilihan judul,
perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian,
keaslian penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian,
sistematika penulisan.
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang Tugas dan Fungsi
Polrestabes Medan serta Struktur Organisasi Polrestabes Medan
BAB II IMPLEMENTASI PERATURAN KODE ETIK POLRI
DALAM PENYELESAIAN PENYELEWENGAN KODE
ETIK POLRI PADA KEPOLISIAN RESOR KOTA BESAR
MEDAN
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang Tugas dan Fungsi
Polrestabes Medan serta Struktur Organisasi Polrestabes Medan.
Bab ini juga membahas mengenai Mekanisme Sidang Kode Etik
bagi Anggota Polri yang terjerat Tindak Pidana, Kendala yang
dihadapi Polrestabes Medan dalam menerapkan kode etik profesi
Polri terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana,dan
bahasan terakhir mengenai Upaya Polrestabes Medan untuk
mengatasi kendala kode etik profesi Polri terhadap anggota Polri
yang melakukan tindak pidana
Universitas Sumatera Utara
BAB III UPAYA POLRI DALAM PENINGKATAN
PROFESIONALISME DAN CITRA POLRI DALAM HAL
PENEGAKAN KODE ETIK POLRI
Dalam Bab ini diuraikan tentang Strategi Pembinaan Kode Etik
pada setiap Anggota Polri sebagai upaya Polrestabes Medan
menciptakan Profesionalisme POLRI, Implementasi pengetahuan
Anggota Polri mengenai kode etik Polri, Jenis Pelanggaran Pidana
yang dilakukan anggota Polri
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dan saran yang memuat uraian tentang kesimpulan dan
saran berdasarkan pembahasan dari permasalahan yang ada dan
alternatif pemecahan masalah.
Universitas Sumatera Utara