Upload
vuongxuyen
View
221
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rubrik Laporan Utama majalah Tempo edisi 2-8 Juli 2012 memuat berita
berjudul “Sandi Kiai Proyek Kitab Suci” dan “Jalan Miring Pencetak Firman”.
Narasumber kedua item berita itu antara lain „sumber Tempo‟, „sumber‟, „salah seorang
pegawai sekretaris jenderal yang mendampingi penggeledahan‟, „seorang mantan
anggota dewan‟, „sumber lain‟, „seorang pria berjenggot dan berpakaian gamis‟,
„petugas keamanan dan resepsionis kantor‟, „seorang sumber‟, „sejumlah sumber‟, dan
„sumber Tempo yang dekat dengan Nazaruddin‟. Pernyataan masing-masing
narasumber tanpa nama (anonim) itu muncul rata-rata lebih dari satu kali dalam tujuh
halaman rubrik itu. Sementara itu, persentase frekuensi pemuatan narasumber anonim
hampir seimbang dibanding narasumber beridentitas jelas.
“Cerita di Balik Pelarian Nazaruddin” menjadi salah satu judul item berita
Laporan Utama majalah Tempo edisi 22-28 Agustus 2011. Narasumber berita itu
muncul sebagai „seorang anggota tim‟, „sumber Tempo‟, „seorang penjemput
(mendengar dari polisi Kolombia)‟, „sumber yang lain‟, „sumber itu‟, „seorang sumber‟,
„sumber-sumber Tempo yang lain‟, dan „seorang advokat‟. Informasi yang didapat
Tempo dari beraneka narasumber anonim itu termuat baik dalam kalimat langsung
maupun tidak langsung. Apabila dihitung, persentase frekuensi kemunculan narasumber
anonim melebihi narasumber beridentitas jelas.
Rubrik Laporan Utama majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2013 memuat berita
berjudul “Dagang Kuota Partai Sejahtera”. Berita itu mengandung tulisan berbunyi:
“Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah sedang membicarakan sesuatu yang mereka
sebut sebagai „titipan‟” (halaman 34, alinea 3). Tempo mendapat informasi itu dari
seseorang yang disebut sebagai „sumber Tempo‟. Dalam konteks peristiwa yang sama,
perkataan „sumber Tempo‟ itu dikutip langsung oleh Tempo demikian: “Titipan itu
ditafsirkan sebagai uang”.
Dua hal itu memancing pertanyaan. Pertama, identitas sang „sumber Tempo‟:
siapakah dia, sedekat apakah dia dengan kasus itu, motivasi apa yang mendorongnya
membeberkan informasi tersebut kepada media, dan alasan apa yang menyebabkan
2
Tempo tidak memuat identitasnya. Kedua, kutipan langsung Tempo itu masih
mengandung penafsiran dari sang „sumber Tempo‟ sendiri. Kedua hal itu dapat
menyulitkan pembaca untuk menimbang kredibilitas narasumber dan kadar kebenaran
dari penafsiran seseorang yang tidak ia ketahui identitasnya.
Berita-berita lain di rubrik Laporan Utama Tempo juga memuat informasi dari
narasumber anonim. Misalnya, berita kasus cek pelawat pemenangan Miranda S.
Goeltom menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Kasus itu dibongkar Tempo
berkat pengakuan seorang narasumber anonim. Agus Condro, salah satu anggota DPR
yang mendapat jatah pembagian cek itu, belakangan diketahui sebagai sang narasumber
anonim. Berita korupsi proyek Hambalang berbuntut penangkapan Mindo Rosalina
Manulang. Kasus itu terbongkar berdasarkan informasi dari narasumber anonim internal
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rekan bisnis yang kecewa membuka tabir
korupsi simulator Surat Izin Mengemudi (SIM). Kini, kasus itu menjadikan Inspektur
Jenderal Djoko Susilo sebagai terdakwa. Sukotjo S. Bambang menjadi narasumber
anonim di awal kisah itu.
Sementara itu, Tempo sendiri pernah digugat oleh kuasa hukum Tomy Winata.
Pasalnya, berita Tempo berjudul “Ada Tomy Di Tenabang?”, pada edisi 3-9 maret 2003,
dianggap telah menyebarkan berita bohong dan mencoreng nama baik salah satu
pengusaha terkemuka di Indonesia itu. Dalam berita itu, Tomy Winata disebut telah
mengajukan proposal proyek renovasi pasar Tanah Abang sebesar 53 miliar sebelum
pasar itu mengalami kebakaran.
Tempo, melalui reporternya, mendapat informasi dari narasumber anonim yang
disebutnya sebagai „konsultan arsitek‟. Tempo tidak dapat membuktikan adanya
dokumen resmi atau salinan proposal proyek itu karena sang narasumber tidak
mengizinkan Tempo untuk menggandakannya. Alhasil, reporter Tempo mencatatnya.
Dan catatan itu menjadi bukti terakhir dari fakta yang didapat Tempo sebab Tempo tidak
bersedia membuka identitas sang narasumber karena alasan keselamatan nyawanya.1
Salah satu buntut dari gugatan itu adalah tuntutan ganti rugi kepada Tempo sebesar 400
1 Septiawan Santana Kurnia, “Mencermati Kembali Kasus ‘Tempo’”, Pikiran Rakyat, Bandung, 9
Oktober 2004, dalam http://www.andreasharsono.net/2004/10/mencermati-kembali-kasus-tempo.html., diakses pada 29 April 2013 pukul 22.52 WIB.
3
miliar rupiah dan tuntutan pidana kepada pemimpin redaksi Tempo saat itu, Bambang
Harymurti.2
Debat panjang kasus Tempo-Tomy Winata ini (2003-2006) jelas berkaitan
dengan kebijakan redaksional Tempo menyangkut pemuatan narasumber anonim.
Tempo bertahan untuk tidak membuka identitas „konsultan arsitek‟ itu hingga
pengadilan memutuskan mereka bersalah.3 Ini adalah konsekuensi dari kebijakan
redaksional Tempo dalam memuat narasumber anonim yang keterangannya diragukan
oleh pihak lain, dalam hal ini Tomy Winata.
Kasus Tempo di atas memberi gambaran bahwa kebijakan redaksional sebuah
media jurnalisme dalam hubungan dengan penggunaan narasumber anonim menjadi
sangat krusial untuk ditelaah lebih jauh. Sebuah media jurnalisme yang telah
menentukan kebijakan menggunakan narasumber anonim dapat pula rentan mengalami
permasalahan seperti di atas. Sebab kebijakan tersebut memiliki potensi singgungan
yang hebat antara media jurnalisme dengan institusi atau organisasi sosial lain yang
juga memiliki kepentingan masing-masing. Apabila kerentanan ini disadari oleh media
jurnalisme yang tetap menggunakan narausumber anonim, maka peneliti menduga ada
pertimbangan-pertimbangan khusus dalam penyusunan kebijakan mengenainya.
Keuntungan dan kerugian akibat pemuatan narasumber anonim dalam berita
telah menuai debat panjang pula. Dalam konteks Indonesia, hal itu dapat membuka
peluang namun sekaligus membatasi akses terhadap informasi. Di satu sisi, secara tidak
langsung, keuntungan itu dilegitimasi oleh kemenangan Tempo dalam kasusnya
melawan Tomy Winata yang membawa angin segar bagi kehidupan media di Indonesia.
Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Bambang Harymurti meskipun Tempo tidak
bersedia membuka identitas narasumber anonimnya hingga akhir proses pengadilan.
2 Pada 16 September 2004, Bambang Harymurti divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Pada 14 April 2005, putusan banding dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri itu. Pada 9 Februari 2006, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Bambang Harymurti melalui putusan Mahkamah Agung No. 1608 K/PID/2005. Keterangan lebih lengkap mengenai hal ini silakan simak Juniver Girsang, Penyelesaian Sengketa Pers (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 29-39.
3 Janet Steele menuliskan bahwa jika pada hari Sabtu pertama setelah keluarnya artikel “Ada
Tomy di Tenabang?” itu pihak Tempo memberikan identitas sang narasumber, maka penyerangan oleh orang-orang yang mengaku utusan Tomy Winata ke kantor Tempo itu tidak berujung rusuh. Dan masalah itu pun tidak akan berkepanjangan. Selengkapnya silakan lihat Janet Steele, Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru (Jakarta: Dian Rakyat, 2007), hlm. 251-256.
4
Keputusan ini mendulang peluang bagi yurisprudensi Mahkamah Agung itu untuk
menjadikan UU Pers No. 40 tahun 1999 menjadi lex specialis.4
Dengan demikian, Hak Tolak, sebagai salah satu bagian dari pasal UU tersebut
mendapat legitimasi pula. Hal ini mengisyaratkan bahwa narasumber-narasumber berita
yang menginginkan dirinya anonim dapat lebih terjaga kerahasiaannya di tangan media.
Isyarat itu dapat memunculkan dugaan melonggarnya kebijakan dan praktik
penggunaan narasumber anonim oleh media. Alhasil, informasi yang paling rahasia,
sensitif, dan kontroversial sekalipun dapat lebih terakomodasi.5
Namun, dari sisi publik, paduan antara narasumber dan media itu dapat
menimbulkan kesangsian baru. Sebab, praktik penggunaan narasumber anonim ini
berpeluang membatasi akses publik untuk mengetahui, setidaknya, latar belakang,
motivasi, dan reliabilitas pernyataan sang narasumber dan alasan pemuatannya. Hal ini
berhubungan erat dengan transparansi media terhadap khalayaknya. Sejauh mana media
tetap dapat menunjukkan ketiga hal itu tanpa mengurangi tingkat perlindungan terhadap
narasumber-narasumbernya. Lebih jauh, transparansi ini dapat memengaruhi penilaian
publik terhadap kredibilitas sang narasumber dan media itu sendiri.
Pasca transisi orde baru-era reformasi, setelah selama empat tahun (1994-1998)
sebelumnya terpasung bredel pemerintah, Tempo pun lahir kembali. Kelahiran baru—di
era yang baru—itu ditandai dengan beberapa pembeda bila dibandingkan dengan Tempo
sebelumnya dan media cetak lain, terutama majalah. Pembeda itu di antaranya adalah
munculnya rubrik Opini, rubrik Investigasi,6 dan sistem jaringan intranet.
7
Jaringan intranet ini mewajibkan setiap tulisan yang akan terbit mampir ke meja
editor. Di sana, setidaknya, tulisan-tulisan itu akan mengalami cek ulang mengenai isi,
4 Lihat Juniver Girsang, ibid.
5 Menurut Zurbuchen, keterbukaan berekspresi ini semakin nyata setelah Indonesia menjalani
fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada 1997, mundurnya Soeharto dan mulai masuknya kepemimpinan Habibie pada 1998, serta pemilihan legistatif dan naiknya Abdurrahman Wahid menjadi presiden pada 1999. Zurbuchen menegaskan hal ini demikian: “Dramatic changes have occurred as direct television news reporting lively current events, talk-shows and debates in radio and TV, and unprecedented openness in the press have brought public commentary, engagement and critique to new levels.” Silakan simak Zurbuchen, “The Media in Indonesia’s Transition”, Prakata dalam Dedy N. Hidayat, dkk., Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. xi.
6 Tim Buku Tempo, Cerita di Balik Dapur Tempo (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011),
hlm. 118. 7 Ibid. Hlm. 99.
5
keseimbangan berita, dan logikanya, sebelum sampai ke gerbang terakhir: redaktur
bahasa.8 Keputusan ini membawa konsekuensi pada kebijakan redaksi dalam menyikapi
adanya narasumber anonim. Redaktur berhak mengetahui identitas narasumber anonim
yang diduga merupakan hasil tawar-menawar antara narasumber bersangkutan dengan
reporter di lapangan.9
Masalah ini tidak hanya menyangkut media jurnalisme saja tetapi juga pihak-
pihak yang menjadi narasumber berita. Narasumber berita tertentu, misalnya dalam
berita kasus korupsi, bisa sangat beragam. Salah satunya adalah orang dalam institusi
yang dikorupsi, rekan bisnis yang kecewa, pesaing bisnis yang meradang karena
kecurangan kompetitornya sudah berlebihan, maupun sang pelaku sendiri. Beraneka
tipe narasumber kasus korupsi tersebut biasanya tidak berkenan bila identitasnya
tersebar luas melalui media. Alasan beragam, seperti keselamatan diri dan keluarga,
pemotongan gaji dan tersendatnya jenjang karier, serta pemutusan hubungan kerja,
menyebabkan narasumber-narasumber itu meminta agar identitasnya tidak
dipublikasikan, baik sebagian atau seluruhnya.
Berkait erat dengan hal itu, kiranya, kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dinilai telah membawa angin baru bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Tahun 2013, komisi ini mendapatkan anugerah prestisius dari Ramon Magsaysay Award
Foundation karena performanya.10
Sejak berdiri tahun 2003, KPK dinilai sukses
terutama karena berhasil membongkar pelbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh
aparatur negara. Komisi ini juga dipuji karena berhasil mengembalikan uang negara
yang dikorupsi senilai 820 miliar rupiah (80 juta dolar AS).11
KPK menyadari bahwa
pelaporan kasus-kasus korupsi membawa risiko tertentu bagi sang pelapor. Oleh karena
itu, KPK membangun sebuah sistem pelaporan yang dapat menjamin kerahasiaan
8 Ibid.
9 Hal ini sesuai dengan pernyataan Sunudyantoro, kepala biro Tempo Yogyakarta, melalui
wawancara dengan peneliti di Yogyakarta pada 10 April 2013. 10
Lihat Rizky Amelia, KPK Wins 2013 Magsaysay Award, The Jakarta Globe Online, 24 Juli 2013, diunduh dari http://www.thejakartaglobe.com/news/kpk-wins-2013-magsaysay-award/ pada 1 Agustus 2013 pukul 10:21 WIB. Lihat pula Margareth S. Aritonang dan Ina Parlina, KPK Wins Prestigious Magsaysay Award, The Jakarta Post Online, 25 Juli 2013, diunduh dari http://www.thejakartapost.com/news/2013/07/25/kpk-wins-prestigious-magsaysay-award.html pada 1 Agustus 2013 pukul 10:28 WIB.
11 Lihat Manuel Mogato, Afghan, Myanmar Women in Magsaysay Awards for Work Amod
Conflict, Manila, 24 Juli 2013, diunduh dari http://www.reuters.com/article/2013/07/24/us-philippines-award-idUSBRE96N0BL20130724 pada 1 Agustus 2013 pukul 10:34 WIB.
6
identitas sang pelapor, yaitu KPK Whistleblower‟s System (KWS). Melalui situs
kws.kpk.go.id, KPK membuka jalan bagi setiap pelapor kasus korupsi (whistleblower)
yang ingin identitasnya dirahasiakan.12
Sepak terjang KPK ini memunculkan dugaan bahwa kehadirannya telah
membangun kondisi baru bagi semakin terbukanya sumber informasi mengenai kasus-
kasus korupsi. Keberanian KPK membongkar kasus korupsi pejabat tinggi negara
mengilhami masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus korupsi lain yang terjadi di
lingkungan dekatnya. Banyak kasus korupsi yang ditangani KPK terbongkar akibat
laporan dari para whistleblower ini. Ilham dari semangat KPK ini diduga menjadi
pemicu semakin terbukanya masyarakat melaporkan kasus korupsi kepada media.
Sebab media pun memiliki mekanisme perlindungan terhadap para whistleblower itu
melalui pemberian identitas anonim terhadapnya.
Di dalam orde pemerintahan yang diangankan lebih terbuka ini, kaitan antara
majalah Tempo dan narasumber anonim menjadi sebuah kontradiksi tersendiri. Tempo,
dalam salah satu publikasi peringatan 40 tahun berdirinya, menuliskan:
“... Kami berusaha mengembangkan jurnalisme yang menjunjung argumen
kuat, data terpercaya, dan kejelasan. Hanya dengan itu, setiap tulisan bisa memandu
para pembaca—bukan menyiarkan kepentingan pemodal, kelompok politik, atau
kekuatan mayoritas. Edisi khusus 40 tahun ini adalah semacam pertanggungjawaban
kepada publik: satu-satunya “majikan” Tempo.”13
Pernyataan tersebut, setidaknya, mengindikasikan bahwa sebagai “majikan”,
publik berhak dipandu oleh Tempo untuk sedapat mungkin bisa menilai sendiri
kredibilitas dan reliabilitas narasumber-narasumber yang diajukan Tempo.
Frekuensi dan pola pemuatan narasumber anonim serta kebijakan redaksional
majalah Tempo menyangkut hal itu sangat signifikan untuk diteliti. Setidaknya karena
tiga alasan berikut: Pertama, analisis komprehensif mengenai narasumber anonim
dalam pemberitaan media jurnalisme di Indonesia, baik media cetak maupun penyiaran,
masih sangat jarang dilakukan. Analisis yang pernah ada biasanya tidak menukik pada
12
Lihat artikel berjudul Jadi ‘Whistleblower’ KPK Bisa Dilakukan dengan SMS, 28 Oktober 2011, diunduh dari http://www.tempo.co/read/news/2011/10/28/063363690/Jadi--Whistleblower-KPK-Bisa-Dilakukan-dengan-SMS pada 1 Agustus 2013 pukul 10:59 WIB. Lihat pula KPK, Ketentuan Pengaduan Masyarakat, diakses dari http://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/pengaduan-masyarakat/ketentuan-pengaduan-masyarakat pada 1 Agustus 2013 pukul 16:14 WIB.
13 Tim Buku Tempo, Cerita di Balik Dapur Tempo (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011),
hlm. 1.
7
tema yang sangat spesifik (narasumber anonim), sekaligus mampu bersinggungan
dengan satu topik berita yang spesifik pula (kasus korupsi).
Kedua, periode penelitian yang relatif baru (analisis khusus terhadap teks berita
majalah Tempo akan dilakukan pada edisi Januari 2011 hingga Oktober 2013) dapat
memberikan gambaran kontemporer dan menyeluruh atas dinamika internal kebijakan
redaksional sebuah media menyangkut satu tema dan topik berita yang spesifik.
Ketiga, mekanisme pemuatan narasumber anonim belum diatur secara mendetail
oleh undang-undang dan kode etik-kode etik kewartawanan di Indonesia. Pengaturan
yang ada hanya terbatas pada pembahasan di permukaan saja dan tidak mengarah pada
prosedur-prosedur atau pedoman teknis yang sebenarnya krusial untuk para pekerja
media. Oleh karena itu, setiap media jurnalisme, baik cetak, penyiaran, maupun online,
diisyaratkan untuk menyusun dan mengembangkan kebijakan sendiri (internal)
menyangkut hal tersebut.
Hal-hal di atas sekiranya dapat memberikan latar permasalahan penelitian ini.
Kebijakan redaksional Tempo mengenai narasumber anonim, para whistleblower yang
menjadi narasumber, dan berita-berita mengenai kasus korupsi menjadi fokus perhatian
utama penelitian ini. Deskripsi menyeluruh terhadap hubungan hal-hal tersebut kiranya
dapat menjadi jawaban atas permasalahan di atas.
B. Rumusan Masalah
Fenomena yang telah terjabarkan dalam latar belakang masalah penelitian ini
mendorong peneliti untuk menjawab pertanyaan berikut: “Bagaimana kebijakan
redaksional majalah Tempo mengenai narasumber anonim dalam rubrik Laporan Utama
kasus korupsi?”
C. Tujuan Penelitian
Paparan latar belakang dan rumusan masalah penelitian di atas memberikan
gambaran mengenai tujuan penelitian ini, sebagai berikut:
1. Mengetahui secara komprehensif kebijakan redaksional majalah Tempo mengenai
pemuatan narasumber anonim dalam rubrik Laporan Utama-nya.
8
2. Memetakan dinamika kebijakan redaksional sebuah organisasi media jurnalisme
mengenai satu tema dan topik berita spesifik dalam kurun waktu yang relatif
panjang.
3. Memberikan gambaran mengenai kebijakan redaksional sebuah organisasi media
dalam menanggapi minimnya peraturan dan pedoman kerja untuk para awaknya.
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai frekuensi dan pola
kemunculan narasumber anonim, serta latar belakang dan pertimbangan-
pertimbangan yang mendasari kebijakan redaksional mengenai pemuatan
narasumber anonim oleh media cetak di Indonesia.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau rekomendasi bagi para
pengelola media, khususnya media cetak, dalam mempertimbangkan pemuatan
narasumber anonim dalam berita-beritanya.
E. Objek Penelitian
1. Majalah Tempo
Majalah Tempo dibredel untuk kedua kalinya pada Juni 1994. Reaksi terhadap
pemberedelan itu datang dari mahasiswa, ahli hukum, seniman, intelektual, dan
masyarakat kalangan menengah lain yang selama hampir 30 tahun tak pernah bersuara.
Bagi orang kebanyakan, Tempo adalah simbol status kelas menengah, indikator
pencapaian yang membuat mereka menjadi bagian dari pembaca majalah Indonesia
berkelas dunia.14
Hal ini merupakan salah satu indikator yang menggambarkan bahwa pembaca
majalah Tempo adalah para pejabat dan pembuat keputusan di pelbagai bidang,
organisasi, dan perusahaan, baik swasta maupun pemerintah. Berdasarkan survei iklan
Tempo pada 1981, 1986, 1992, 1993, 1994, dan 1998, Janet Steele mengemukakan
bahwa mayoritas pembaca Tempo adalah mereka yang berada pada posisi “pemilik”
atau “manajemen” di berbagai sektor publik atau swasta, dan “menikmati penghasilan
14
Janet Steele, op. cit., hlm. xiii-xiv.
9
tingkat tinggi”.15
Hal ini penting untuk diungkapkan karena dapat menunjukkan
setidaknya tingkat terpaan majalah Tempo, yaitu pada pihak-pihak (kelas menengah)
yang dalam interaksi sosialnya cenderung dapat memengaruhi orang lain di sekitarnya.
Perkiraan angka penjualan sebelum dibredel pada Juni 1994 adalah sekitar
187.000 eksemplar.16
Dan Tempo mampu mendekati jumlah eksemplar yang sama saat
pertama kali terbit setelah dibredel, Oktober 1998. Hal ini membuktikan bahwa
informasi yang diusung Tempo dirindukan oleh para pembacanya. Suatu hal yang tidak
mudah dilakukan oleh media lain.
Keunikan tingkat terpaan Tempo itu dipertebal dengan adanya pergeseran
penggunaan narasumber anonim. Analisis Janet Steele terhadap Tempo mengenai unsur
“Who” dalam pemberitaan Tempo pada 1971-1994 menunjukkan bahwa narasumber
anonim muncul hanya 2 (dua) kali dalam 1188 penggunaan narasumber secara
keseluruhan atau hanya 0,17%. Angka yang jauh berbeda dibandingkan dengan
penggunaan narasumber presiden (76,68%) dan menteri, pejabat setingkat menteri, serta
mantan pejabat (19,19%).17
Hal ini kontras dengan hasil pengamatan sementara peneliti
terhadap penggunaan narasumber anonim sejumlah Laporan Utama majalah Tempo
yang terbit setelah 1998 (antara tahun 2011-2013). Persentase pemunculannya dapat
mencapai 50% dibandingkan narasumber beridentitas jelas dari pelbagai kalangan. Hal
ini memunculkan dugaan peneliti bahwa ada perubahan signifikan terhadap kebijakan
redaksional Tempo menyangkut hal itu.
2. Rubrik Laporan Utama
Rubrik Laporan Utama Tempo adalah bagian berita yang paling panjang
pemuatannya di tiap edisi. Ia bisa lebih pendek dari rubrik Investigasi, namun frekuensi
kemunculannya lebih sering. Rubrik investigasi muncul rata-rata satu setengah atau dua
bulan sekali, sedangkan Laporan Utama ada pada setiap edisi (per minggu). Kedua
rubrik itu memiliki daya tarik yang kurang lebih sama, misalnya kedalaman reportase
dan pengungkapan bukti-bukti kejadian yang sebagian di antaranya belum didapatkan
oleh para penyidik, baik kepolisian maupun kejaksaan.
15
Ibid., hlm. 149-151. 16
David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 43. 17
Simak Janet Steele, ibid., hlm. 270.
10
Peneliti memfokuskan penelitian pada rubrik Laporan Utama saja karena rubrik
tersebut dianggap paling mampu memberikan gambaran dan representasi dari kinerja
awak media dan kebijakan redaksional Tempo dari edisi-ke edisi. Keunggulan rubrik
tersebut dibanding rubrik Investigasi adalah kemampuannya untuk menunjukkan
rutinitas kerja Tempo per minggunya. Frekuensi muat yang ketat (deadline) dan
informasi yang panjang diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih padat
mengenai denyut nadi dan detak jantung keseluruhan tubuh redaksional Tempo. Di
samping itu, rubrik ini juga membutuhkan keterlibatan personel yang lebih besar
dibanding rubrik-rubrik lain.
Isu-isu besar yang diangkat dalam rubrik ini diharapkan dapat memberikan
gambaran komprehensif kebijakan redaksional Tempo terhadap reaksinya mengenai
situasi dan kondisi politik, ekonomi, sosial-kultural terkini/kontemporer. Tema-tema
besar yang sering kali masuk menjadi item berita Laporan Utama Tempo berasal dari
bidang „politik‟, „ekonomi‟, „hukum dan kriminal‟, serta „sosial dan budaya‟. Isu-isu
besar ini pula yang judul dan ilustrasi beritanya akan memenuhi sebagian besar halaman
sampul majalah Tempo (cover story) setiap edisinya.
3. Kasus Korupsi
Tahun 1998 adalah awal baru kehidupan demokrasi di Indonesia. Sejak itu,
banyak pembaruan terjadi dalam segenap aspek kehidupan bernegara dan
bermasyarakat di Indonesia. Salah satunya adalah pembaruan undang-undang yang
mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang memancing
reformasi terhadap pemerintahan Orde Baru adalah kasus-kasus korupsi yang memusat
di lingkar-dalam kekuasaan negara. Dan undang-undang tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi yang mengaturnya (UU Nomor 3 tahun 1971) dianggap gagal dan tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan masyarakat.18
Oleh karena itu,
pembentukan kaidah hukum baru sangat dibutuhkan. Maka, lahirlah Undang-Undang
18
Lihat bagian pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
11
Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.19
Peraturan yang menjadi pedoman kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi
dikeluarkan tiga tahun sejak UU Nomor 31 tahun 1999 berlaku. Peraturan itu adalah
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Komisi itulah yang kemudian disebut sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).20
Satu tahun setelah disahkannya UU tersebut, 27 Desember 2003, KPK resmi
terbentuk. Sejak terbentuk, KPK mengklaim telah menyelesaikan banyak kasus korupsi
yang melibatkan para penguasa yang sebelumnya nyaris tak tersentuh hukum.21
Zulkarnain, salah satu Pimpinan KPK periode 2011-2015, menyebutkan
bahwa:
“Dalam kurun waktu 2004 sd Mei 2012, KPK telah berhasil membawa para
koruptor kelas kakap ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan semuanya diputus
bersalah (100% conviction rate). Mereka adalah 50 anggota DPR, 6 Menteri/Pejabat
Setingkat Menteri, 8 Gubernur, 1 Gubernur Bank Indonesia, 5 Wakil Gubernur, 29
Walikota dan Bupati, 7 Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial dan
Pimpinan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), 4 Hakim, 3 Jaksa di Kejaksaan
Agung, 4 Duta Besar dan 4 Konsulat Jenderal (termasuk Mantan Kapolri), Jaksa senior,
Penyidik KPK, seratus lebih pejabat pemerintah eselon I & II (Direktur Umum, Sekretaris
Jenderal, Deputi, Direktur, dll.), 85 CEO, pemimpin perusahaan milik negara (BUMN) dan
pihak swasta yang terlibat dalam korupsi.”
Pencapaian ini diklaim sebagai hasil paling baik di sepanjang sejarah
pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemberantasan dan pencegahan korupsi oleh KPK
ini juga telah merangsang partisipasi masyarakat. Sampai tahun 2012, KPK rata-rata
telah menerima pengaduan tentang dugaan tindak pidana korupsi sebanyak 500 aduan
setiap bulannya. Aduan itu dilaporkan kepada KPK baik secara langsung (pelapor
datang ke kantor KPK—rata-rata 6-10 aduan per hari) maupun tidak langsung (melalui
surat, email, telepon, SMS, dan online).22
Jumlah pelaporan masyarakat yang melonjak
19
Pengubahan terhadap undang-undang ini terdapat pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
20 Lihat UU Nomor 30 tahun 2002 pasal 2.
21 Lihat Zulkarnain, KPK Lembaga Permanen, dimut di Koran Tempo, 10 Juli 2012, diakses dari
http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/290-kpk-lembaga-permanen pada 1 Agustus 2013 pukul 15:52 WIB.
22 Simak Humas KPK, Menengok Penanganan Pengaduan Masyarakat KPK, 30 Maret 2012, diakses
dari http://kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/369-menengok-penanganan-pengaduan-masyarakat-kpk pada 1 Agustus 2013 pukul 16:23 WIB.
12
setelah terbentuknya KPK ini juga dapat menjadi indikator keberhasilan KPK dalam
melindungi para whistleblower-nya. Mereka ini adalah orang-orang yang “melaporkan
perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi
tempat dia bekerja, dan dia memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya
indikasi tindak pidana korupsi tersebut”.23
Naiknya animo masyarakat untuk turut serta dalam proses penegakan hukum
ini diduga dapat terjadi pula terhadap para whistleblower yang bersedia menjadi
narasumber media jurnalisme. Sebab, seperti halnya KPK, media jurnalisme juga
memiliki mekanisme perlindungan terhadap narasumber yang menjanjikan kerahasiaan
identitas para pelapornya jika mereka menghendaki. Sepak terjang KPK selama kurang
lebih satu dekade terakhir telah menempatkan kasus-kasus korupsi menjadi headline
media-media di Indonesia. Hal tersebut memunculkan signifikansi tersendiri untuk
menjadikan kasus korupsi sebagai batu pijakan peneliti dalam memetakan frekuensi dan
pola penggunaan narasumber anonim di majalah Tempo.
F. Literature Review
Penelitian mengenai narasumber anonim dalam media massa yang pernah
dilakukan oleh beberapa peneliti (Sheehy, 200624
; Duffy, 201025
; dan Carlson, 200826
)
membahas topik-topik seperti: (i) penggunaan narasumber anonim di media-media lokal
yang kebijakan medianya banyak dipengaruhi oleh kultur masyarakat setempat, (ii) titik
berat kajian-kajiannya terletak pada frekuensi dan tren penggunaan narasumber anonim
secara kuantitatif, (iii) beberapa di antaranya mendedah penggunaan narasumber
anonim pada kasus-kasus tertentu yang pernah dialami secara langsung oleh beberapa
media massa bersangkutan.
Sementara itu, penelitian ini membahas penggunaan narasumber anonim pada
satu majalah berita yang didistribusikan secara nasional. Sehingga fokus kajian terhadap
23
Lihat KPK Whistleblower’s System, dapat diakses melalui https://kws.kpk.go.id/. Terakhir diakses pada 1 Agustus 2013 pukul 16:33 WIB.
24 Michael W. Sheehy, From Watergate to Lewinsky: Unnamed Sources in the Washington Post,
1970-2000, a dissertation (Ohio University, 2006). 25
Matt J. Duffy, Unnamed Sources: A Longitudinal Rreview of The Practice and Its Merits, a dissertation (Georgia State University, 2010).
26 Matt Carlson, On the Condition of Anonymity: Unnamed Sources and Journalistic Authority, a
dissertation (USA: Proquest Information and Learning Company, 2008).
13
pengaruh pada kebijakan media bukanlah para aras lokal atau kedaerahan, melainkan
nasional. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada pendekatan kualitatif, sehingga
temuan-temuan atas dasar perhitungan kuantitatif hanya akan dipergunakan untuk
mendukung proses penelitian melangkah pada tahap selanjutnya.
Penelitian ini tidak terbatas pada pembahasan mengenai penggunaan
narasumber anonim pada semua kasus yang pernah dialami oleh media. Namun,
penelitian ini akan berfokus pada satu topik berita yang spesifik, yaitu berita mengenai
kasus-kasus korupsi. Sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
lebih menyeluruh mengenai satu tema khusus dan satu topik spesifik dalam bidang yang
beragam, seperti ekonomi, politik, sosial-budaya, serta hukum dan kriminal.
Penelitian-penelitian sebelumnya yang disebut di atas melakukan eksplorasi
secara terbatas pada penggalian makna yang lebih laten dari teks-teks berita. Beberapa
di antaranya berfokus pada teks berita media dan dokumen-dokumen tertulis, kurang
menggali latar belakang, setting, dan motivasi para pembuat kebijakan media
menyangkut penggunaan narasumber anonim tersebut. Sementara itu, penelitian ini juga
akan mengeksplorasi teks berita media bersangkutan, namun analisis kuantitatif
terhadap objek tersebut dilakukan pada tahap pre-research. Dengan melakukan pre-
research ini, magnitude gejala narasumber anonim bisa diketahui sehingga penelitian
ini memiliki basis empirik yang memadai—bukan sekadar segelintir kasus yang
mungkin secara kebetulan terjadi.
Analisis terhadap teks ini bukanlah hal yang utama, namun akan digunakan
sebagai modal awal peneliti untuk masuk ke jenjang penelitian yang lebih jauh. Jenjang
yang lebih jauh ini akan dibedah dengan metode studi kasus yang mengutamakan
kualitas wawancara mendalam dan studi dokumen. Keduanya tidak hanya dikenakan
pada para pembuat kebijakan saja, namun juga pihak-pihak yang
mengimplementasikannya dalam praktik kerja lapangan.
14
G. Kerangka Pemikiran
Praktik kerja jurnalisme tidak berdiri dan berlari dengan kakinya sendiri. Hal
tersebut, dalam bahasa McChesney tersurat demikian: “the practice of journalism did
not really lend itself to unified scientific code. The claim that it was possible to provide
neutral and objective news was suspect”.27
Kebijakan redaksional sebuah media
jurnalisme menjadi salah satu roh sentral praktik tersebut. Pilihan nilai dalam debat
ruang redaksi yang mendasari berita mana yang layak muat dan tidak layak muat,
misalnya, bukanlah tanpa selubung kepentingan yang lebih luas. Dalam hal ini
McChesney menegaskan bahwa “... journalism cannot actually be neutral or
objective—and unless one acknowledges that, it is impossible to detect the actual values
at play that determine what becomes news and what does not.”28
Praktik hubungan media dan narasumber berita merupakan langkah lanjut dari
kebijakan redaksional media bersangkutan. Hal ini tidak lepas dari selubung
kepentingan yang lebih luas itu. Kiranya, penelitian ini akan mencoba memberikan
kerangka pikir atas selubung tersebut, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar29
organisasi media jurnalisme bersangkutan. Kemungkinan penjelasan lain adalah bahwa
kebijakan redaksional media jurnalisme merupakan cerminan sebuah ideal yang hendak
diraih oleh pengelola media. Tarik-menarik pelbagai faktor inilah yang hendak dikaji di
penelitian ini.
1. Fungsi Watchdog Jurnalisme
Salah satu fungsi ideal30
jurnalisme adalah menjadi „anjing penjaga‟
(watchdog).31
Penjagaan mengarah pada para pemegang kekuasaan, seperti pemerintah
27
Robert W. McChesney, The Problem of the Media: U.S. Communication Politics in the 21st Century (New York: Monthly Review Press, 2004), hlm. 68.
28 Ibid.
29 Pamela J. Shoemaker & Stephen D. Reese, Mediating the Message: Theories of Influences on
Mass Media Content, 2nd Edition (USA: Longman Publishers, 1996). 30
Adakalanya istilah yang disematkan kepadanya adalah ‘normatif ideal’. Oleh karena itu, fungsi ini sulit tergantikan (lihat Steven E. Clayman, dkk., “When Does the Watchdog Bark? Conditions of Aggressive Questioning in Presidential News Conferences”, dalam American Sociological Review, 2007, Vol. 72 (February: 23-41). Fungsi ini diamini oleh kebanyakan media jurnalisme di Amerika, namun, di saat yang sama, tidak banyak pula media di negeri Abang Sam itu yang mendarah-dagingkannya dalam praktik jurnalistik mereka (lihat Murrey Marder, “This is Whatchdog Journalism”, Nieman Reports, Winter 1999-Spring 2000, hlm. 78-79).
15
atau pengelola institusi publik lainnya. Fungsi ini diharapkan dapat menyorot mereka
supaya tidak menjadi korup dan bertindak melewati batas-batas kewenangannya.32
Publik pun bisa lebih tahu segala tindak-tanduk mereka.33
Gans merincikan aktivitas
penjagaan ini sebagai:
“... role to expose corruption, malfeasance, dishonesty, hypocrisy, scandal and
the violation of other mainstream rules or behavior ... the watchdog role is usually
associated with investigative reporting that results in individual wrongdoing or systemic by
malfeasance being exposed.”34
Akar dari fungsi watchdog adalah Teori Pers Liberal.35
Teori ini berasumsi
bahwa apabila iklim kebebasan berpendapat dijamin, maka manusia sebagai individu
dapat mengejar kebenaran dan mengembangkan potensinya sendiri. Iklim kebebasan ini
tidak mungkin terbentuk bila akses informasi dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah.36
Kebebasan berpendapat bagi setiap individu berakar dari perubahan pemikiran
masyarakat Barat akibat revolusi industri yang melatari munculnya zaman Pencerahan.
Iklim kebebasan ini menggeser kecenderungan tertutupnya sumber dan akses informasi
di seputaran kehidupan elite penguasa menjadi tanggung jawab individu-individu di
dalam masyarakat. Tanggung jawab ini membutuhkan media yang independen, seperti
dinyatakan John C. Merrill demikian:
31
Entman menempatkannya sebagai salah satu komponen kunci demokrasi (lihat R. M. Entman, “Improving Newspapers Economic Prospects by Augmenting Their Contributions to Democracy”, dalam The International Journal of Press/Politics (2010), 15 (1), hlm. 104-125).
32 Lihat Greta K. Weiderman, The Watchdog Role of Newspapers: Newspaper Coverage of Sinclair
Broadcasting Announcement to Air a One-Sided Documentary Right Before the 2004 Presidential Election, a theses, Bowling Green State University (2002), hlm. 42.
33 Marsha A. Ducey, Newspaper Journalism in a Time of Industry Change: An Evaluation of the
Current State of the Watchdog Role of Print Journalists, a dissertation, (USA: Proquest LLC, 2011), hlm. 3. 34
Herbert J. Gans, “News and Democracy in the United States: Current Problems, Future Possibilities, dalam Stuart Allan, The Routledge Companion to News and Journalism (New York: Routledge, 2010), hlm. 97.
35 Lihat Elizabeth Katherine Viall, Hyper-Local Citizen Journalism Sites and Traditional Media Sites:
Similarities and Contrasts in Theme, Objectivity, and Watchdogging, a dissertation, School of Journalism, Indiana university Press (2009), hlm. 25. Teori ini merupakan kritik terhadap Teori Pers Otoriter yang berasumsi bahwa media massa akan lebih berfungsi untuk masyarakat jika dikontrol oleh pemerintahan suatu negara. Masyarakat akan lebih maju jika media massa diatur oleh negara. Oleh karena itu, teori tersebut menganjurkan agar negara menerapkan satu sistem kontrol yang efektif pada media massa. Lebih jauh, teori ini cenderung mendorong aparat negara menjadikan media massa sebagai alat kekuasaan. Kekuasaan inilah yang membayang-bayangi kinerja media massa (lihat F. Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), hlm. 31-32). Melalui media massa, kadar kebaikan dan kebenaran suatu informasi, ditentukan oleh pemerintah. Orientasi media massa terhadap kemajuan masyarakat pun dapat bergeser menjadi pelanggengan kekuasaan.
36 Ibid., hlm. 34.
16
“This independence has been viewed as essential because a democracy requires
inform citizens, and citizens rely on news media for much of their information about
government. Freedom leads to the truth, truth is essential for credibility, and credibility is
essential for faith in government and wise populist decision-making.”37
Lepas dari kontrol pemerintah, pers menjadi leluasa mengawasi pemerintahan.
Marsha A. Ducey, mengutip Kovach dan Rosenstiel (2007), mengemukakan bahwa
ketika ”two periodicals in mid-17th century England emphasized investigating and
making the workings of government available to all, not just to the elites, early
watchdog journalism was born.”38
Sementara itu, Siebert, Peterson, dan Schramm
menyebut bahwa salah satu asumsi teori pers liberal ini adalah “the press was free to
tell people information and let the people decide what it means.”39
Asumsi ini
memungkinkan pers lebih bebas bergerak dan berperan sebagai pengawas
pemerintahan. Peran inilah yang memfungsikan pers sebagai watchdog dan
membebaskannya untuk mencari dan membuka fakta publik selengkap-lengkapnya.
Selanjutnya, Siebert, Peterson, dan Schramm menyebut kondisi ini sebagai “the transfer
of the press from authoritarian to libertarian principles.”40
Pers bebas (free press) yang dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Libertarian ini
telah memosisikan institusi media menjadi lembaga yang terhormat di tengah
masyarakat. Namun, di sisi lain, kehormatan ini bergulir menjadi kebanggaan yang
berorientasi pada kemajuan institusi media masing-masing, baik secara ekonomi
maupun politik. Kebebasan media yang absolut cenderung dapat dimanfaatkan oleh
pemilik media menjadi penyalur kepentingan dan alat pemupukan modal sebanyak-
banyaknya. Media dianggap sebagai sebuah perusahaan swasta yang tidak memiliki
utang apapun kepada masyarakat. Oleh karena itu, apa yang dilakukan media tidak ada
sangkut-pautnya dengan kepentingan masyarakat.41
Prinsip kebebasan murni seperti ini kemudian direvisi oleh Teori Pers
Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility Press). Asumsi dasarnya adalah
37
John C. Merrill, “Journalism and Democracy”, dalam Wilson Lowrey dan Peter J. Gade (ed.), Changing the News: The Forces Shaping Journalism in Uncertain Times (New York: Routledge, 2011), hlm. 46.
38 Ibid.
39 Simak Marsha A. Ducey, op. cit., hlm. 27.
40 Seperti dikutip dalam Clifford G. Christians, John P. Ferre, dan P. Mark Fackler, Good News:
Social Ethics and The Press (USA: Oxford University Press, 1993), hlm. 26. 41
Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm, Empat Teori Pers, terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Putu Laxman Sanjaya Pendit (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), hlm. 83.
17
kebebasan pers itu mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan.
Orientasi kebebasannya bukan lagi pada diri sendiri, tetapi harus pula bertanggung
jawab kepada masyarakat.42
Kesadaran akan konsekuensi melayani kepentingan publik
ini telah menggeser pemahaman para pemilik media di awal abad ke-20 mengenai
posisi media mereka terhadap masyarakat.
Teori Pers Tanggung Jawab Sosial ini bermula dari konsep A Free and
Responsible Press yang dikeluarkan oleh The Hutchins Commission tahun 1947. Komisi
ini menegaskan bahwa pers bebas dan sekaligus bertanggung jawab ini merupakan
esensi utama etika jurnalisme. Konsep tersebut muncul sebagai kritik terhadap performa
pers pada tahun-tahun sebelumnya. Salah satu kritik tersebut demikian:
“Too much of the regular output of the press consists of miscellaneous
succession of stories and image which have no relation to typical lives of real people
anywhere. The result is a meaninglessness, flatness, distortion, and the perpetuation of
misunderstanding.
The press emphasizes the exceptional rather than the representative, the
sensational rather than the significant. The press is preoccupied with these incidents to
such an extend that the citizen is not supplied with the information and discussion he needs
to discharge his responsibilities to the community.”43
Konsep A Free and Responsible Press itu didukung oleh kondisi sosial-politik
pasca perang dunia kedua yang menguatkan prinsip-prinsip demokrasi di pelbagai
belahan dunia. Kondisi tersebut meningkatkan penghargaan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM). Hal ini termaktub di antaranya pada sejumlah norma yang terkandung
dalam United Nation Charter (Piagam PBB) tahun 1945 yang berkaitan dengan
kesepakatan atas keberadaan negara-negara bebas dalam perdamaian, United Nation
Declaration of Human Rights tahun 1948 yang menjamin HAM, dan penjabarannya ke
dalam hak-hak yang lebih spesifik melalui United Nation Convenant on Civil and
Political Rights tahun 1966.44
Salah satu unsur penghargaan terhadap HAM itu adalah kebebasan pers.
Kebebasan pers ini dapat terpenuhi bila ada jaminan terhadap dua hal sekaligus, yaitu
42
Ibid. 43
Lihat Jeremy Iggers, Good News, Bad News: Journalism Ethics and the Public Interest (USA: Westview, 1999), hlm. 67-68.
44 Lihat Ashadi Siregar, “Kode Etik Sebagai Landasan Moral dan Kaidah Penuntun Bagi
Wartawan”, makalah disampaikan pada Pertemuan/Lokakarya Penyempurnaan Kode Etik Jurnalistik dan Penyusunan Kode Etik Siaran, Departemen Penerangan RI dan Persatuan Wartawan Indonesia, Solo, 23-26 Maret 1998. Diunduh dari http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/kode-etik-sebagai-landasan-moral.pdf pada 31 Juli 2013 pukul 12:03 WIB.
18
hak publik untuk tahu (public‟s right to know) dan hak publik untuk berekspresi
(public‟s right to expression). Kedua hak yang hakiki ini tidak dapat dipisahkan. Publik
bisa berekspresi dengan baik bila ada jaminan terhadap kondisi yang memungkinkannya
memperoleh informasi yang benar menyangkut masalah-masalah mereka. Terutama
informasi yang aktual dan kontroversial. Dalam konteks ini, pers diharapkan dapat
menjamin publik menerima informasi yang benar. Informasi tersebut akan dipakai
sebagai sumber pembentukan pikiran dan pendapat publik sebagai respons terhadap
masalah-masalah publik. Kondisi ini merupakan konsekuensi logis dari tugas pers
sebagai public servant.45
Selanjutnya, respons publik itu akan memancing dialog pro dan kontra
mengenai masalah-masalah bersama. Hal ini merupakan salah satu jaminan
berlangsungnya proses negosiasi sosial. Negosiasi sosial itu sendiri diharapkan dapat
mengarah pada sebuah konsensus sosial. Konsensus inilah yang nantinya akan menjadi
dasar pembentukan kebijakan publik. Kebijakan ini akan terlihat melalui
implementasinya dalam pelayanan dan akuntabilitas pemerintah terhadap publiknya.
Kondisi semacam inilah yang diharapkan tumbuh dalam kehidupan demokrasi sebuah
negara. Sebagai public servant, pers berkewajiban melayani hak publik tersebut.
Pelayanan ini pun dapat berjalan bila ada jaminan terhadap pers untuk bebas dari
pengaruh apapun dari luar dirinya dan bebas untuk mencari, mendapatkan, menyimpan,
dan memberitakan informasi publik.46
Dalam praktik, akar konseptual fungsi pengawasan pers tersebut telah
menjadikan Bob Woodward dan Carl Bernstein idola jurnalisme Amerika hingga kini—
sekaligus memaksa Richard M. Nixon menjadi satu-satunya presiden Amerika yang
mengundurkan diri dari kursi kepresidenannya (akibat skandal Watergate yang
dibongkar kedua wartawan itu). Hasil kerja kedua wartawan The Washington Post itu
menjadi patokan bagaimana jurnalisme investigasi dan fungsi pengawasan pers
seharusnya berjalan. Meskipun mereka harus membongkar skandal besar itu melalui
45
Lihat Ana Nadhya Abrar, Analisis Pers: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2011), hlm. 22.
46 Disarikan dari Ashadi Siregar, “Kode Etik Jurnalisme dan Kode Perilaku Profesional Jurnalis”,
disampaikan pada International Seminar on Press Ethics and Code, Yayasan Jurnalis Independen dan Dewan Pers, Jakarta, 12 Juli 2000. Diunduh dari http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/kode-etik-jurnalisme-dan-kode-perilaku-profesional.pdf pada 18 Juni 2013 pukul 08:32 WIB.
19
“Deep Throat”, sang narasumber anonim yang belakangan, tahun 2005, mengaku
sebagai Mark Felt, mantan orang nomor dua di biro investigasi federal Amerika (FBI).
Di Indonesia, kasus pembongkaran skandal di birokrasi negara juga terjadi
melalui media. Agus Condro, dalam kasus cek pelawat pemenangan Miranda S.
Goeltom sebagai deputi gubernur senior Bank Indonesia, berperan sebagai
whistleblower. Ia meniupkan informasi korupsi di tubuh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan membawa puluhan anggota dewan—yang notabene adalah teman-temannya
sendiri—menjadi incaran KPK. Mengenai hal ini, Overholser dan Jamieson (2005) dan
Schudson (1995) menyatakan bahwa “Whistleblowers play an important role in
journalism‟s function as a „watchdog‟ for society.”47
Seperti halnya Mark Felt dan Agus Condro, para whistleblowers lain pun
seringkali adalah orang yang berada di jantung organisasi atau birokrasi yang
bermasalah. Informasi dari orang-orang seperti mereka inilah yang sangat membantu
jurnalis untuk mengungkap skandal-skandal yang patut diketahui publik. Mengenai hal
ini, Flyn (2006) menambahkan demikian: “Frequently, information that exposes
corruption and illegal activities in bereaucracies come from people in the middle ranks
of public service, as „they occupy the engine room of the organization and have custody
of primary information‟.”48
Menyebarluaskan informasi publik seperti di atas adalah kewajiban pers.
Namun, dilema muncul ketika narasumber seperti Agus Condro dan Mark Felt meminta
jaminan agar identitas mereka tak dipublikasikan. Dengan demikian, informasi yang
teramat penting bagi publik, semacam kasus cek pelawat dan skandal Watergate itu,
menyimpan satu kesangsian baru: „ketertutupan identitas sang narasumber‟. Hal ini
berkaitan dengan akses publik untuk dapat menilai sendiri kredibilitas narasumber yang
diajukan oleh media. Di sini problem transparansi media terhadap publiknya
mengemuka. Transparansi ini berhubungan erat dengan kredibilitas media di mata
47
Simak John Huxford dan Maria A. More, “Teaching Journalism Students About Confidential Whistleblower Sources: An Analysis of Introductory News Writing Textbooks”, dalam Journal of College Teaching & Learning, October 2011, Vol. 8, No. 10, hlm. 1.
48 Ibid., hlm. 2.
20
khalayaknya.49
Padahal kredibilitas inilah yang mendasari kepercayaan publik kepada
media bersangkutan.
Dilema transparansi ini pun sering berbenturan dengan persoalan hukum. Tahun
1970, HB Jasin, pemimpin redaksi majalah Sastra, memuat sebuah cerpen berjudul
“Langit Makin Mendung” di majalahnya. Penulisnya memakai nama samaran Ki Panji
Kusmin. Cerpen tersebut menuai kontroversi di tengah masyarakat. Pihak kepolisian
bereaksi dan meminta HB Jasin memberikan identitas asli Ki Panji Kusmin. Namun,
HB Jasin menolaknya. Dan saat dimintai keterangan mengenai hal yang sama di
pengadilan pun, ia tetap bersikukuh memakai Hak Tolak-nya. HB Jasin kemudian
dihukum penjara dengan masa percobaan karena penolakannya itu.50
Kasus hukum
antara majalah Tempo dan Tomy Winata, seperti dijelaskan dalam latar belakang
penelitian ini, dapat pula dijadikan contoh.
Kasus-kasus tersebut berhubungan erat dengan salah satu jaminan hukum bagi
para jurnalis untuk melaksanakan tugasnya, yaitu Hak Tolak. Hak Tolak ini merupakan
sebuah upaya perlindungan hukum yang diberikan kepada para pekerja jurnalisme
untuk melindungi narasumbernya. Hak ini diatur dalam UU Pers No. 40 tahun 1999
pasal 4 ayat 4, KUHAP pasal 170, dan KUHP pasal 322. Seorang jurnalis, berkaitan
dengan jabatan atau profesinya, diwajibkan untuk menyimpan rahasia. Hak istimewa
ini diberikan juga kepada para dokter, rohaniwan, notaris, dan pejabat bank.51
Hak inilah yang memungkinkan narasumber-narasumber berita memberitahukan
informasi yang diketahuinya tanpa membuka identitas mereka, alias anonim. Hak untuk
melindungi narasumber ini menjadi legitimasi para pekerja media untuk tidak
mencantumkan dengan terang identitas narasumber mereka jika informasi yang
diberikannya dinilai rahasia. Matt Carlson menegaskan hal ini demikian: “Throught
this technique, journalists may bring to light hidden information‟s stated goal of
holding society‟s institutions accountable.”52
Hak tolak inilah yang menjembatani
49
Terence Smith, All things Considered, NPR, 28 November 2005 seperti dikutip Matt Carlson, op. cit., hlm. 257.
50 RH. Siregar, “Beberapa Persoalan Ketentuan UU Pers dan KUHPidana”, makalah lokakarya
Dewan Pers, dalam Lukas Luwarso, Kebebasan Pers dan Ancaman Hukum (Jakarta: Dewan Pers, 2005), hlm. 45.
51 Lukas Luwarso, ibid., hlm. 43-44.
52 Matt Carlson, On the Condition of Anonymity: Unnamed Sources and Journalistic Authority, a
dissertation (USA: Proquest Information and Learning Company, 2008), hlm. 1.
21
jurnalis untuk mendapatkan informasi dari narasumber yang tidak bersedia
memberikan informasi jika identitasnya diketahui publik.
Fungsi watchdog sering kali bersandar pada sumber internal lembaga atau
organisasi yang sedang diliput. Akses media terhadap sumber internal itu dipengaruhi
oleh tingkat kedekatan hubungan media dan narasumber tersebut. Tolak-tarik hal
tersebut, dalam konteks hubungan jurnalis dan pegawai pemerintahan, ditegaskan oleh
Waisbord demikian, “... distance between news organization and government officials
is fundamental in feeding and chilling watchdog reporting ... Without distance, news
media are prone to offer complacent coverage; to much distance deprives reporters to
have acces to inside sources.”53
Pemeliharaan jauh-dekat hubungan ini penting bagi
media untuk membangun kepercayaan sumber-sumber internal itu. Kepercayaan itu
menjaga asa media untuk bisa mendapatkan informasi rahasia jika suatu saat sumber-
sumber internal itu bersedia menjadi whistleblower kasus-kasus tertentu. Tak jarang
para whistleblower bersedia membuka infomasinya kepada media sebagai “the last
resort of frustrated civil servants who feel they cannot correct a perceived wrong
through regular government channels.”54
Ada kalanya, para whistleblower itu memilih media juga karena beberapa alasan
lain. Misalnya, pelanggaran yang mereka laporkan diabaikan atau ditolak kalangan
internal organisasi, pelanggaran itu melibatkan atasan mereka, dan kekhawatiran akan
adanya balas dendam sesama pekerja atau atasan yang sakit hati terhadap laporkan
mereka. Selain mengkhawatirkan keselamatan dan kesehatan jiwa-raganya, para
whistleblower itu membuka informasi kepada media karena pelanggaran yang mereka
ketahui menyangkut jumlah materi atau kerugian yang sangat banyak.55
Dalam kondisi semacam itu, peran sebagai public servant diamanatkan
sepenuhnya kepada media. Idealisme media yang menjalar melalui fungsinya sebagai
watchdog mendapatkan tempatnya. Semakin besar nilai informasi rahasia itu bagi
publik, semakin besar pula nilai eksklusivitas berita yang dibawanya. Media yang
53
Silvio Waisbord, Watchdog Journalism in South America: News, Accountability, and Democracy (New York: Columbia University Press, 2000), hlm. 93.
54 Simak John Huxford dan Maria A. More, “Teaching Journalism Students About Confidential
Whistleblower Sources: An Analysis of Introductory News Writing Textbooks”, dalam Journal of College Teaching & Learning, October 2011, Vol. 8, No. 10, hlm. 5.
55 Ibid., hlm. 3.
22
mendapatkan kepercayaan dari narasumber internal semacam ini sulit untuk menolak.
Media sangat mempertimbangkan sumber informasi tersebut sekalipun para
whistleblower itu meminta identitas mereka tidak turut dipublikasikan. Media
mengambil tanggung jawab penuh atas kebenaran informasi dari narasumber anonim
mereka. Hingga di sini, dilema menyeruak. Semakin banyak whistleblower yang
menginginkan diri mereka anonim, semakin besar pula kredibilitas media itu
dipertaruhkan di hadapan publik yang dilayaninya.
Di Indonesia, dalam kasus-kasus korupsi, jumlah wistleblower ini terus
meningkat, seiring suksesnya sepak terjang KPK. Media pun turut menjadi tumpuan
kepercayaan publik untuk memberitakan—bahkan membongkar—kasus-kasus korupsi
tersebut. Publik berhak mengetahui informasi mengenai setiap kasus korupsi, yaitu
tindak pidana yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.56
Hingga
nantinya publik pun berhak mengetahui informasi mengenai laporan hasil
pengembalian uang hasil korupsi tersebut.57
Bergulirnya rangkaian informasi yang
penting untuk publik ini sering kali bertumpu pada para narasumber anonim. Kondisi
semacam ini dapat memancing kebijakan redaksional media untuk memunculkan pola-
pola tertentu guna mereduksi dilema yang ada pada praktik penggunaan narasumber
anonim tersebut.
56
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat 1.
57 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi
Publik pasal 18 ayat 1 huruf f.
23
Kerangka pikir di atas dapat diringkas dalam skema sebagai berikut:
Skema 1.1 Fungsi Ideal Pers: Watchdog
Keterangan panah: (pengaruh atau implementasi peran)
(hubungan timbal-balik, saling membutuhkan)
(hubungan timbal-balik, saling memengaruhi)
2. Narasumber Anonim, Hukum Media, dan Otonomi Jurnalis
Penjelasan mengenai narasumber anonim dapat didahului dengan paparan
konsep anonimitas (anonymity) itu sendiri. Latar belakang kemunculan fenomena
anonimitas ini dapat menjadi pemandu untuk menelusuri implikasi lebih lanjut dalam
konteks jurnalisme.
a. Anonimitas
Anonimitas atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai anonymity dapat diartikan
sebagai keadaan yang membuat seseorang tidak bisa dilacak atau diidentifikasi ciri dan
karakteristik khasnya.58
Ciri dan karakteristik tersebut dapat berupa nama, alamat,
58
Lihat Kathleen A. Wallace, “Anonymity”, Ethics and Information Technology, 1: 23-35, 1999. Kluwer Academic Publisher, Netherlands. Hlm. 24.
Media
Jurnalisme
Pemerintah
dan Pengelola
Institusi Publik
lainnya
Narasumber
Whistleblower
Jurnalis
Watchdog
Function
Public Servant
Role
24
nomor telepon, keadaan fisik, atau nomor khas identifikasi sosial lainnya. Namun ada
pula yang mengartikan anonimitas secara lebih sederhana, yaitu dengan memakai istilah
„tanpa nama‟ (nameless) atau anonim.59
Salah satu turunan dari pengertian yang
berfokus pada „nama‟ ini nantinya memunculkan istilah „nama palsu‟ atau „nama
samaran‟ (pseudonym).
Secara lebih lengkap, Marx (1999) menyusun 7 (tujuh) identitas yang
memungkinkan seseorang masih dapat dikenali. Ketujuh identitas tersebut tidak hanya
(i) nama asli seseorang (legal name), tetapi juga, (ii) alamat seseorang, (iii) susunan
huruf maupun angka yang dapat merujuk pada keberadaan seseorang, (iv) simbol-
simbol tertentu yang dipakai seseorang untuk menggantikan identitas asli dirinya,
seperti nama samaran atau simbol-simbol pengecoh, (v) gaya dan kebiasaan seseorang,
misalnya gaya tulisan maupaun berbicara, (vi) identifikasi berdasarkan kategori sosial,
seperti jenis kelamin, agama, umur, pendidikan, maupun ras), dan (vii) seseorang dapat
dikenali melalui kode-kode yang spesifik (password), artifak (tato, seragam), atau
keterampilan dan pengetahuannya.60
Tanpa nama pun, seseorang masih dapat dikenali
dengan mudah bila identitas lainnya mengemuka.
Penyembunyian identitas mengejar tujuan tertentu, seperti melindungi seseorang
dari ancaman pihak lain, menghindari diskriminasi dan stigmatisasi, melindungi privasi
seseorang, maupun mrmfasilitasi proses komunikasi. Wallace (1999) mengidentifikasi
banyak alasan atau tujuan mengapa anonimitas muncul dan merangkumnya dalam 3
(tiga) kelompok besar sebagai berikut:
“(1) anonymity for sake of furthering action by the anonymous person, or agent
anonymity; (2) anonymity for the sake of preventing or protecting the anonymous person
from actions by others, or recipient anonymity; (3) anonymity for the sake of process, or
process of anonymity.”61
Ketiga tujuan besar itu mengisyaratkan bahwa anonimitas dapat dipakai untuk
memperlancar tindakan seseorang, baik tindakan yang baik, buruk, maupun netral. Hal
ini bisa terjadi karena anonimitas menyebabkan orang lain tidak bisa melacak identitas
orang tersebut dan mencegah tindakannya. Contohnya, akun anonim yang sulit dilacak
59
Lihat David Rohret dan Michael Kraft, “Catch Me if You Can: Cyber Anonymity”, Joint Information Operations Warfare Center (JIOWC), Texas, USA.
60 Gary T. Marx. “What’s in a Name: Some Reflection on the Sociology of Anonymity”, The
Information Society, Forum 15 (2): , 1999. Diunduh dari http://web.mit.edu/gtmarx/www/anon.html pada 3 Februari 2014 pukul 11.00 WIB.
61 Kathleen A. Wallace, op. cit., hlm. 29.
25
dan telah menyebar virus ke jaringan komputer tertentu. Sementara itu, anonimitas juga
dapat berlaku untuk melindungi seseorang dari tindakan pihak lain. Tindakan ini dapat
berupa ancaman, sindiran, hujatan, gugatan hukum, diskriminasi, atau stigmatisasi.
Contohnya, penyembunyian nama tersangka pelaku kejahatan, korban kejahatan
(terutama anak di bawah umur), dan penderita HIV/AIDS. Anonimitas juga bisa dipakai
untuk mendukung netralitas dan imparsialitas sebuah proses. Misalnya, proses pengisian
lembar jawab tes atau kuesionair atau hal-hal yang berhubungan dengan pengadilan.
Dalam konteks fenomena media jurnalisme, dua alasan pertama tersebut sangat
relevan. Seorang narasumber yang menginginkan dirinya anonim, bisa membawa
agenda tertentu guna memperlancar pencapaian tujuan atau kepentingannya. Media bisa
saja menginginkan informasi dari sang narasumber untuk kepentingan publik, namun
sang narasumber anonim dapat pula menyelipkan informasi yang menguntungkan
pribadi dan kelompoknya. Dan dengan identitas yang tersembunyi, maka akan semakin
sulit publik (khalayak media) menelusuri keberadaannya. Ketersembunyian identitas
narasumber ini semakin terjamin dengan hak media jurnalisme untuk melindungi
keberadaan narasumber-narasumbernya.
b. Anonimitas, Hukum Media, dan Otonomi Jurnalis
Satu pemahaman penting menyangkut hubungan antara narasumber anonim dan
jurnalis adalah adanya risiko yang harus ditanggung oleh narasumber jika ia membuka
informasi tertentu kepada jurnalis. Risiko itu dapat berupa ancaman keselamatan
narasumber beserta keluarganya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), penghambatan
jenjang karier, pengucilan atau pemindahan posisi kerja, serta penurunan atau
pemotongan gaji/pendapatan.62
Orang yang mengetahui atau menyimpan informasi
tentang tindak pelanggaran hukum di suatu institusi publik, misalnya, pasti
mempertimbangkan risiko-risiko di atas jika ia memutuskan untuk membagi informasi
itu kepada jurnalis. Oleh karena itu, untuk meniadakan atau meminimalkan risiko-risiko
itu, seorang narasumber tidak berkenan bila identitasnya ikut dipublikasikan bersama
informasi yang diberikannya.
62
John Huxford dan Maria A. More, “Teaching Journalism Students About Confidential Whistleblower Sources: An Analysis of Introductory News Writing Textbooks”, dalam Journal of College Teaching & Learning, October 2011, Vol. 8, No. 10, hlm. 3.
26
Pemilihan narasumber peliputan menjadi salah satu patokan objektivitas kerja
jurnalisme. Di saat seorang jurnalis bertemu dengan narasumber yang memiliki
informasi publik yang penting, sensitif dan kontroversial, dan di saat yang sama sang
narasumber tidak ingin identitasnya diketahui publik, maka di saat itulah sang jurnalis
menghadapi kondisi yang sulit. Menurut Andrew Alexander, salah seorang anggota tim
Ombudsman suratkabar The Washington Post, kondisi itu digambarkannya demikian:
Anonymous sources are critical to newsgathering—and to informing readers.
Without a guarantee of confidentiality, many sources wouldn't share sensitive information
on corruption or misconduct. But anonymity can be overused and abused. Sources can
make false or misleading assertions with impunity. Journalists can inflate a source's
reliability or even fabricate his or her existence.63
Narasumber dapat memakai keadaan anonim tersebut dengan pelbagai dalih.
Mulai dari yang serius karena berhubungan dengan keselamatan dirinya, bersembunyi
karena sedang mengritik lawan politiknya, atau hal yang remeh-temeh, misalnya hanya
karena enggan namanya muncul di suratkabar. Howard Kurtz menggambarkannya
secara menarik demikian:
“... Journalists seem more addicted than ever to the elixir of anonymous sources. I'd
be fine with unnamed sources who'd tell us what was really going on at the Minerals
Management Agency while oil companies were allowed to write their own ticket with no
real contingency plans. You know, people who might lose their jobs if they blew the whistle
on wrongdoing—the kind of folks for whom the shield of anonymity was intended. For day-
to-day political potshots, though, it's really become a kind of free pass: Here, say
something snarky about someone who ticks you off and we'll publish it ... In April, a source
was granted anonymity for an inoffensive quote 'because he is reluctant to have his name in
the paper‟.”64
Para reporter, sebagai ujung tombak peliputan dan sekaligus wakil dari pihak
media, berhadapan langsung dengan kondisi tersebut. Mereka-lah yang pertama-tama
melakukan interaksi dan kesepakatan-kesepakatan dengan narasumber beritanya. Dalam
interaksi dan kesepakatan-kesepakatan tersebut, sang reporter dapat saja mengusung
agenda, visi, misi, dan ideologi tertentu medianya. Dan sang narasumber, dapat pula
63
Andrew Alexander, Post Often Ignores Its Own Rules on Anonymous Sources, Washington Post, 16 Agustus 2009, dalam http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2009/08/14/AR2009081401928.html, hlm. 1, diakses pada 29 April 2013 pukul 09.56 WIB.
64 Howard Kurtz, Don’t Use My Name: The Anonymity Game, Washington Post, 15 Juni 2010,
dalam http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2010/06/15/AR2010061501315.html, hlm. 1-2, diakses pada 29 April 2013 pukul 19.32 WIB.
27
membawa kepentingan tertentu pula. Maka, berkelindannya kepentingan narasumber
dan media dapat menggandakan potensi pemanfaatan kerja jurnalisme sebagai alat
kepentingan masing-masing. Orientasi kepada kebutuhan publik dapat saja
dinomorduakan.
Di sisi lain lagi, kebutuhan publik terhadap informasi yang objektif dan hasrat
keingintahuannya terhadap seluk-beluk berita semakin berpotensi tereduksi. Di satu titik
tertentu, terlebih pada isu-isu besar dan penting, semacam korupsi, publik tidak bisa
menahan kuriositasnya terhadap identitas narasumber berita yang memberikan
pernyataan-pernyataan kontroversialnya. Namun, justru di sinilah potensi kelindan
kepentingan antara narasumber dan media dapat mencapai puncaknya, yaitu pernyataan
kontroversial dibalut dengan tidak tampilnya identitas narasumber secara utuh. Publik
yang penasaran berkecenderungan untuk terus mengikuti alur berita (menguntungkan
media) dan alur cerita (menguntungkan narasumber).
Secara umum, banyak media membagi kesepakatan alur informasi antara
narasumber dan reporter ke dalam dua tipe, yaitu on the record dan off the record.
Menurut Sheehy, dua tipe lagi ditambahkan oleh kultur media jurnalisme yang hidup di
Washington, Amerika Serikat. Kedua tipe itu adalah background dan deep background.
Dalam penjelasannya, Sheehy mengemukakan bahwa on the record merupakan
kesepakatan yang memperbolehkan jurnalis mempublikasikan informasi dan identitas
narasumber. Sedangkan off the record adalah kesepakatan untuk tidak memublikasikan
baik informasi maupun identitas sang narasumber. Informasi berdasarkan kesepakatan
off the record ini biasanya digunakan narasumber untuk membantu jurnalis semakin
mengenali duduk perkara yang sedang diliput. Atau bisa juga menuntun jurnalis untuk
menemukan narasumber-narasumber lain yang dapat memberikan keterangan lebih
detail secara on the record.
Sementara itu, background adalah kesepakatan bahwa informasi yang diberikan
narasumber dapat dipublikasikan, namun nama narasumber tidak disertakan. Informasi
tetap bisa dipublikasikan dengan menyebutkan identitas narasumber menggunakan
atribut tertentu yang mengarah kepada keberadaannya. Misalnya, „seorang pejabat
kementerian itu‟, „seorang staf instansi tersebut‟, atau „seorang mantan polisi‟.
Sedangkan deep background adalah kesepakatan bahwa informasi yang diberikan
narasumber dapat dipublikasikan, namun identitas narasumber tidak dapat
28
dipublikasikan dengan atribusi apapun. Frasa seperti „Washington Post telah
mempelajari bahwa‟ muncul mendampingi informasi yang diberikan narasumber.65
Di Indonesia, kriteria mengenai narasumber anonim belum termuat secara
mendetail, baik dalam undang-undang Pers maupun kode etik-kode etik kewartawanan.
Namun, paling tidak, pengaturan tentang hubungan media pers dengan narasumber
termuat dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 pada pasal 4 ayat 4 yang
berbunyi: “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
mempunyai Hak Tolak”. Penjelasan undang-undang mengenai ayat tersebut
menyebutkan bahwa tujuan utama Hak Tolak itu adalah agar wartawan atau media
dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan menolak menyebutkan identitas
narasumbernya. Hak ini dapat digunakan oleh wartawan saat dimintai keterangan oleh
pejabat penyidik dan/atau bersaksi di pengadilan.66
Sementara itu, dalam pedoman etik yang dikeluarkan oleh Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) pasal 7 disebutkan bahwa: “Wartawan Indonesia memiliki hak tolak
untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun
keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the
record sesuai dengan kesepakatan.”67
Dalam penafsiran mengenai pasal tersebut,
disebutkan pula arti dari „hak tolak‟, „embargo‟, „informasi latar belakang‟, dan „off the
record‟. Namun, naskah itu tidak menjelaskan secara detail argumen atau alasan apa
yang mendasari, bilamana, dan bagaimana keempat istilah itu dapat diimplementasikan
untuk menjadi pedoman praktis para pekerja media.
Minimnya regulasi menyangkut penggunaan narasumber anonim ini, secara
implisit, memberikan tanggung jawab pengaturannya kepada masing-masing media
pers. Oleh karena itu, kebijakan redaksional tiap-tiap media sangat berpengaruh pada
praktik penggunaan narasumber anonim ini.
65
Simak selengkapnya dalam Michael W. Sheehy, From Watergate to Lewinsky: Unnamed Sources in the Washington Post, 1970-2000, dissertation (Ohio University, 2006), hlm. 35-39.
66 Lihat keterangan selengkapnya di Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 1999
tentang Pers. Sementara itu, dasar hukum Hak Tolak tersebut juga terdapat pada pasal 50 KUHP dan pasal 170 KUHAP. (Simak Pedoman Dewan Pers Nomor: 01/P-DP/V/2007 tentang Penerapan Hak Tolak dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Perkara Jurnalistik, diunduh dari http://www.dewanpers.or.id/page/kebijakan/pedoman/?id=492 pada 3 Juni 2013).
67 “Kode Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI)”, dalam
http://ajiindonesia.or.id/read/page/halaman/40/kode-etik.html., diakses pada 7 Juni 2013.
29
Di Amerika, kondisinya tidak jauh berbeda. Masing-masing media mempunyai
pedoman sendiri mengenai penggunaan narasumber anonim ini. Biasanya, Stylebook
dan Standard Operational Procedure (SOP) mengenai hal itu didasarkan pada
pengalaman media bersangkutan terhadap keuntungan dan kerugian praktik
penggunaannya. Selain pengalaman praktis itu, beberapa kriteria umum dipakai menjadi
kaidah normatif atau acuan awal oleh media-media tersebut. Di antaranya, tujuh kaidah
pemakaian dan pemuatan narasumber anonim dalam berita yang diungkapkan oleh Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel berikut, pertama, narasumber berada di lingkaran utama
peristiwa. Kedua, Keselamatan narasumber terancam bila identitasnya dibuka. Ketiga,
motivasi narasumber murni untuk kepentingan publik. Keempat, integritas narasumber
benar-benar diperhatikan. Kelima, atasan memberikan izin. Keenam, narasumber
anonim minimal dua pihak yang independen satu sama lain. Dan ketujuh, perjanjian
penggunaan identitas anonim akan batal bila di kemudian hari keterangan narasumber
tidak sesuai kenyataan atau bohong belaka.68
Hasil investigasi Tempo melalui narasumber anonim—pada latar belakang
masalah penelitian ini—mengingatkan kita pada Bob Woodward dan Carl Bernstein
(1972). Mereka adalah wartawan salah satu suratkabar terkemuka Amerika, The
Washington Post, yang berhasil membuka tabir kecurangan presiden Amerika Ricard
M. Nixon melalui skandal Watergate. Nixon akhirnya mundur dari kursi kepresidenan
karena desakan pelbagai kalangan sebagai buntut pemberitaan itu. Narasumber utama
berita itu anonim. Ia lebih dikenal dengan nama samaran “Deep Throat”. Berita
mengenai skandal Watergate itu dinilai pelbagai kalangan telah membuktikan bahwa
pers Amerika berhasil berperan sebagai the fourth estate. Sejak itu pula, anak-anak
muda Amerika semakin menggandrungi sekolah-sekolah jurnalisme. Prestise jurnalisme
Amerika pun membumbung tinggi pasca kemunduran Nixon. Akibat ikutannya,
intensitas praktik penggunaan narasumber anonim dalam pelbagai pemberitaan media
jurnalisme di Amerika pun semakin tinggi.
Namun, kepercayaan media yang semakin tinggi terhadap narasumber anonim
ini membawa petaka. Salah satu petaka itu, ironisnya, dialami juga oleh The
Washington Post satu dekade setelah Watergate. Kredibilitas suratkabar itu terguncang
68
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Warp Speed (USA: Brookings Institution Press, 1999), hlm. 33-42.
30
akibat berita yang dibuat oleh Janet Cooke, salah seorang reporter mudanya (1981).69
Berita berseri yang dibuat Cooke itu bercerita mengenai Jimmy, seorang anak berumur
delapan tahun yang kecanduan heroin. Liputan berjudul “Jimmy‟s World” itu
dianugerahi Pulitzer untuk kategori berita features.
Berita tersebut mengguncang publik dan menyebabkan kecemasan di pelbagai
kalangan. Aparat kepolisian dan sebagian publik yang cemas itu mengkritik tajam The
Washington Post karena gagal mengidentifikasi identitas anak itu, sehingga anak itu
sulit untuk diberi bantuan. Para editor The Washington Post pun menekan Cooke untuk
memberikan gambaran identitas yang jelas mengenai Jimmy. Namun Cooke tidak bisa
memberikannya. Belakangan diketahui bahwa kesulitan Cooke membuka identitas
Jimmy karena anak yang bernama Jimmy itu memang tidak ada. Di dalam berita itu,
Cooke terkesan telah melakukan wawancara dengan Jimmy, ibu Jimmy, dan teman dari
ibu Jimmy. Namun akhirnya Cooke mengakui bahwa dia tidak pernah menemui
mereka. Ia mendapat kabar tentang keadaan mereka dari para pekerja sosial dan
sumber-sumber lain.70
Skandal Janet Cooke itu membuat kebijakan redaksional beberapa media
terkemuka Amerika menegaskan kembali peraturan mengenai narasumber anonim. The
Washington Post tidak akan mengeluarkan berita sebelum para redaktur atau pejabat di
bawahnya mengetahui nama dari setiap narasumber anonim yang diajukan reporter. Di
tahun itu pula, Boston Globe mengeluarkan edaran yang mengimbau agar suratkabar itu
menghindari narasumber anonim. Mereka menginginkan nama narasumber, tidak hanya
identitas yang muncul sebagai „sumber‟, „pejabat tinggi‟, „pejabat yang berwenang‟, dan
semacamnya. Kemudian menyusul Los Angeles Times yang menyerukan peperangan
terhadap sindrom pemakaian narasumber anonim itu.71
Secara umum, para redaktur
senior suratkabar di Amerika cenderung menganggap episode skandal Janet Cooke ini
sebagai bukti atau legitimasi bahwa mereka harus memiliki hak untuk melakukan
69
Ironisnya lagi, salah satu editor tulisan Janet Cooke saat itu adalah Bob Woodward. 70
David A. Maraniss, “Post Reporter's Pulitzer Prize Is Withdrawn: Pulitzer Board Withdraws Post Reporter's Prize”, 16 April 1981, dalam http://academics.smcvt.edu/dmindich/Jimmy%27s%20World.htm diakses 29 April 2013.
71 David Shaw, A Provocative Look at How Newspapers Report the News, (New York: Macmillan
Publishing Company, 1984), hlm. 71-72.
31
kontrol lebih besar dan pengawasan ketat atas pekerjaan para reporter mereka.
Sementara itu, para reporter cenderung untuk menolak sikap tersebut.72
Signifikansi perkara pemuatan atau penolakan pemuatan narasumber anonim ini
digambarkan oleh Hohenberg demikian:
“When New York Times published the Pentagon Papers, with much
classified information on how United States was drawn into the Vietnam War, the
decision was made by the publisher, Arthur Ochs Sulzberger, and the source has
never been given by the newspaper itself despite admissions from Daniel Ellsberg that
provided that materials. Similarly, Katherine Graham, the publisher of The
Washington Post, took the responsibility for her newspaper‟s Watergate disclosure
and the validity of the mysterious “Deep Throat” as a source.”73
Tantangan redaksi sehubungan dengan hal itu adalah sejauh mana mereka
tetap bisa memertahankan status anonim narasumber sembari meyakinkan para pemilik
media dan institusi-institusi sosial di luar media yang berkepentingan dengan hal itu,
misalnya para penyidik dan hakim di pengadilan, bahwa narasumber mereka valid dan
informasi yang diberikannya akurat.
Judith Miller, seorang wartawan The New York Times menolak membuka
identitas narasumbernya di hadapan hakim pengadilan federal Amerika. Kemudian ia
dipenjara karena penolakan itu. Ia dibebaskan saat sudah menjalani hukuman selama 85
hari, setelah sang narasumber anonim membatalkan perjanjian itu. Sehubungan dengan
kasus itu, Miller mengatakan “If journalist cannot be trusted to guarantee
confidentiality, then journalist cannot function and there cannot be a free press.”
Melalui peryataannya itu, Miller ingin menegaskan bahwa freedom of the press di
Amerika berkait erat tidak hanya dengan etika tetapi juga dengan hukum.74
Suratkabar The Washington Post terus menyesuaikan pedoman praktis
penggunaan narasumber anonim mereka, seperti melalui buku pedoman kerja
(Stylebook) awak medianya. Stylebook The Washington Post yang dikeluarkan tahun
1962 mengharuskan para reporternya untuk membuka identitas narasumbernya kepada
salah satu redaktur seniornya. Tercantum di buku pedoman itu bahwa para reporter: “...
72
Jeremy Iggers, Good News, Bad News: Journalism Ethics and the Public Interest (USA: Westview, 1999), hlm. 70.
73 John Hohenberg, The Professional Journalist: A Guide to a Practices and Principles of the News
Media, (USA: Holt, Reinhart, and Winston, 1978), hlm. 103-104. 74
Jason M. Shepard, The Journalist’s Duty to go to Jail: Confidential Sources, Journalism Ethics and Freedom of the Press, dissertation (university of Madison, 2009), hlm. 1.
32
has the right to, and should, inform his desk and the editors of the event and the source
....”75
Hal itu kemudian diubah di Stylebook tahun 1978 (setelah kasus Watergate).
Buku pedoman itu bahkan tidak mencantumkan perihal tersebut. Namun, The
Washington Post menegaskan bahwa setidaknya harus ada dua narasumber anonim
yang independen satu sama lain. Pada Stylebook tahun 2004, hal mengenai dua
narasumber minimal tersebut dipertahankan. Namun demikian, kewajiban membuka
identitas narasumber kepada redaktur senior berubah lagi. Tepatnya dikatakan di
Stylebook itu bahwa “Editors have an obligation to know the identity of unnamed
sources used in a story, so that editors and reporters can jointly assess the
appropruateness of using them.”76
Kerangka pikir tersebut dapat diringkas melalui skema berikut:
Skema 1.2 Hukum Media & Otonomi Jurnalis
Keterangan panah: (pengaruh atau implementasi peran)
(hubungan timbal-balik, saling membutuhkan)
(hubungan timbal-balik, saling memengaruhi)
75
The Washington Post Policy Guide and Stylebook (1962), 55, dikutip dalam Michael W. Sheehy, “Study Examines Unnamed Source Policies at The Washington Post”, dalam Newspaper Research Journal, Vol. 31, No. 1, Winter 2010, hlm. 86.
76 Ibid., hlm. 88.
Narasumber
Whistleblower
Jurnalis
Media
Jurnalisme Hukum Media
Otonomi Jurnalis
33
3. Lobi Politik dan Kepentingan Komersial Media
Di Inggris, setidaknya pada dua dekade terakhir, fungsi watchdog media—yang
telah dibahas pada sub bab sebelumnya—terantuk kritik tajam. Kritik itu berdasar pada
fakta semakin ekspansifnya kegiatan Public Relations (PR), baik dari sektor
pemerintah maupun swasta. PR disinyalir tidak hanya menjadi kekuatan besar penyetir
agenda media, tetapi telah melangkah lebih jauh dengan menjadi pemasok berita utama
yang sering kali disalin mentah-mentah oleh para jurnalis.77
Oscar Gandy menyebut
kondisi ini dengan istilah subsidi informasi. Lebih rinci, pandangan Gandy ini dikutip
Franklin, Lewis, dan Williams demikian: “PR practitioners offer a form of subsidy to
news organisations via press release, press conferences, VNRs (Video News Releases),
press briefings, and lobbying”.78
Salah satu penyebab ketergantungan para jurnalis terhadap PR itu, menurut
Lewis, Williams, dan Franklin, adalah krisis finansial internal media—akibat penurunan
oplah dan pemasukan dari iklan. Krisis itu memaksa media memangkas jumlah para
jurnalisnya. Karena tuntutan deadline tetap sama, para jurnalis cenderung banyak
menggantungkan liputannya pada informasi dari PR yang notabene lebih mudah mereka
kejar dan tidak merepotkan. Hal ini dimantapkan oleh Nick Davies dalam bukunya „Flat
Earth News‟. Menurutnya, selain Kantor Berita, PR adalah salah satu narasumber
penyumbang utama bahan mentah informasi yang dipakai oleh para jurnalis untuk
membuat berita nasional di media mereka.79
Franklin, Lewis, dan Williams menajamkan pendapat mereka itu dengan
mengatakan bahwa:
“... the recent rapid growth in public relations across the 1990s, in tandem with
the statis in the number of journalists engaged in news production, has impacted on
journalists‟ news room practice, transforming them into mere processors rather than
originators of news. This increasingly significant role for PR in shaping news agendas
has triggered what has variously been described as „churnalism‟ (Davies 2008),
„McJournalism‟ (Franklin 2005) and „newszak‟ (Franklin 1997).”80
77
Bob Franklin, Justin Lewis, dan Andrew Williams, “Journalism, News Sources, and Public Relations”, dalam Stuart Allan, The Routledge Companion to News and Journalism (New York: Routledge, 2010), hlm. 202.
78 Ibid., hlm. 204.
79 Ibid., hlm. 202.
80 Ibid., hlm. 202-203.
34
Ben Bagdikian, seperti dikutip McChesney, mendeteksi ada tiga bias utama yang
melekat pada media Jurnalisme di Amerika. Pertama, ketergantungan pada narasumber
resmi, seperti pegawai pemerintah dan figur publik, serta para ahli/profesional di
pelbagai bidang. Kedua, minim dalam memberitakan peristiwa secara kontekstual,
sampai sebuah peristiwa besar „memaksa‟ media untuk meliputnya atau sampai sumber-
sumber resmi „menetapkan‟nya sebagai sebuah kisah penting. Ketiga, cenderung
menata iklim yang kondusif untuk tujuan komersial pemilik media dan para pengiklan,
serta tujuan politik pelebaran sayap-sayap bisnis.81
Bila diringkas, ketiga hal tersebut
mengindikasikan bahwa segala berita tidak lepas dari ketergantungan media terhadap
narasumber tertentu, kemudahan dan kecepatan mencari informasi sebagai bahan berita,
dan pertimbangan keuntungan yang didapatkan setelah media memberitakannya.
Khusus mengenai hubungannnya dengan pemilihan narasumber berita, bias
pertama dan kedua di atas merupakan „simbiosis mutualisme‟ dengan semakin masifnya
peran PR. McChesney menegaskannya demikian:
“Both of these biases of profesional journalism—official sourcing and the need for
news hook—helped stimulate the birth and rapid rise of the public relations industry. By
providing slick press releases, paid-for “experts”, ostensibly neutral but actually bogus
citizen groups, and canned news events, crafty PR agents can shape the news to suit their
mostly corporate clientele.”82
Alhasil, narasumber berita yang informasinya benar-benar penting untuk publik
tidak mudah didapatkan. Apabila jurnalis menemukan narasumber yang mengaku
memiliki informasi semacam itu, bukan mustahil narasumber itu memiliki kepentingan
tertentu di balik pembeberan informasi itu. Gans menyebutkan bahwa:
“Perhaps the most able sources are organizations that carry out equivalent of
investigative reporting, offer the results of their works as „exclusives‟, and can afford to
do so anonymously, foregoing the rewards of publicity .... The news which the agencies
supply always serves their organizational self-interest in one way or another; journalists
may know this, but in return, they initially secure a monopoly on a sensational story and
can thereby scoop their competitors.”83
Dunia yang sudah semakin dipenuhi oleh pihak-pihak yang memahami media
strategy seperti sekarang ini seakan telah menegaskan bahwa kaitan antara media
jurnalisme dan narasumbernya bersifat timbal balik dan semakin kompleks. Kedua
pihak bisa saling mengejar untuk memenuhi kebutuhan dan agenda masing-masing.
81 Robert W. McChesney, Op. Cit., hlm. 67-77.
82 Robert W. McChesney, Op. Cit., hlm. 71.
83 Herbert J. Gans, Deciding What’s News: A Study of CBS Evening News, NBC Nightly News,
Newsweek, and Time (USA: Northwestern University Press, 2004), hlm. 121.
35
Gans menggambarkan kondisi tersebut melalui sebuah metafora yang menarik seperti
berikut:
“The relationship between sources and journalist resembles a dance, for
sources seek access to journalist, and journalist seek access to sources. Although it
takes to two tango, either sources to journalist can lead, but more often than not,
sources do the leading. Staff and time being in short supply, journalist actively pursue
only in small number of regular sources who have been available and suitable in the
past, and are passive toward other possible news sources”.84
Pertemuan antara jurnalis dan narasumber memiliki polemik tersendiri dalam
kasus-kasus tertentu. Misalnya, saat reporter bersentuhan dengan isu politik. Wartawan
pasti akan bertemu dengan para politisi. Di era demokrasi, hubungan media-politisi ini
semakin sulit untuk dianalisis. Hal ini digambarkan Blumer dan Gurevich demikian:
“... The process whereby media constructions of political issues are shaped and
produced is subtle and complex. It involves a close interaction between political advocates
and media professionals, in the course of which the two sides may virtually be said to
constitute a subtly composite unity. This is not to say that they merge to form a new unified
whole in which their separate identities are lost. On the contrary, each side to some extent
retains its separate purposes, its distance from the other, and occasionally even its
oppositional stance towards the other. Nevertheless, the political messages which emanate
from the dominant patterns of interaction between the two sides are in a sense traceable to
a composite source. In fact, it would be extremely difficult to detect, within any given
political message, the specific contribution to its shaping that was uniquely made by either
side. They are inextricably intertwined.”85
Kedua entitas yang berada di jantung komunikasi politik ini memiliki kedekatan
khusus dan saling memengaruhi. Para politisi menjadi narasumber yang sangat
menonjol dan hampir tak terelakkan untuk isu-isu politik. Mereka seringkali menjadi
sumber internal atau “orang dalam” dalam kasus-kasus politik tertentu, memberikan
validasi pada informasi politik yang masih ambigu atau kabur, dan sekaligus menjadi
audiens berita media yang dapat memberikan umpan balik yang substantif dan relevan.
Di samping itu, para politisi itu juga membangun keterkenalan atau popularitas
dengan terus berusaha memosisikan diri menjadi narasumber berita. Lewat media,
mereka juga berusaha membangun opini para konstituen, meningkatkan kesadaran dan
dukungan terhadap kebijakan mereka, dan melakukan tes untuk mengetahui reaksi
publik dan pesaing politik mereka terhadap isu-isu tertentu.86
Dalam kadar yang sama,
84
Herbert J. Gans, Ibid., hlm. 116. 85
Lihat Jay G. Blumer dan Michael Gurevitch, The Crisis of Public Communication, (Taylor & Francis e-Library, 2001), hlm. 26.
86 Ibid.
36
namun konteks yang berbeda, kaitan antara politisi dengan media semacam itu juga
terjadi pada para pebisnis, polisi, pegawai pemerintah, dan para pekerja profesional
lainnya. Hubungan semacam itu memungkinkan para politisi memanfaatkan media
untuk menjadi narasumber kasus khusus, sensitif, dan kontroversial melalui kesepakatan
anonim dengan para reporter.87
Kritik terhadap hubungan media-narasumber ini sudah muncul sejak awal proses
pertalian keduanya, yaitu saat media melakukan pemilihan terhadap narasumber.
Whitney, dkk. (1989) dan Brown, dkk. (1987) menemukan bahwa pegawai
pemerintahan menjadi narasumber yang paling banyak dipilih oleh media, baik cetak
maupun penyiaran. Whitney, dkk. dan Hoynes dan Croteau (1989) mengumunkan
temuan mereka bahwa wanita lebih jarang muncul dalam berita televisi berjaringan. Hal
yang sama juga terjadi pada kelompok-kelompok yang berfokus pada aktivitas advokasi
hak-hak sipil, HAM, dan buruh. Sementara itu, temuan Herman dan Chomsky (1988),
dan Hoynes dan Croteau (1989) menyatakan bahwa pria kulit putih dari institusi-
institusi besar adalah pihak yang paling sering muncul menjadi narasumber.88
Hal ini
menunjukkan bahwa bias dan tawar-menawar kepentingan antara media-narasumber
sudah terjadi sejak awal proses hubungan mereka.89
Kontrol hubungan media-politik, dalam kacamata Graber, McQuail, dan Norris,
mengerucut pada tiga stakeholder utama. Pertama, para pembuat berita (news
producers), termasuk di dalamnya adalah jurnalis, editor, dan pemilik media, kedua,
para aktor politik, dan ketiga publik. Kompleksitas hubungan ketiganya dapat diwakili
oleh pertanyaan-pertanyaan berikut:
87
Simak analisis Denise Rudnicki dalam Denise Rudnicki, “’Insiders Say’: The Use of Unnamed Sources in the Globe and Mail” dalam Canadian Journal of Media Studies. Vol. 2(1).
88 Lihat Lawrence C. Soley. Ibid. Bias pemilihan narasumber ini dapat pula dilihat pada hasil
penelitian Ina Howard yang melakukan identifikasi di stasiun berita ABC, CBS, dan NBC tahun 2001 (seperti dikutip McChesney dalam Robert W. McChesney, The Problem of the Media: U.S. Communication Politics in the 21st Century (New York: Monthly Review Press, 2004), hlm. 70-71).
89 Dari sisi media, menurut Graber, McQuail, dan Norris, ada dua hal yang mendukung kondisi ini.
Lebih jelas mereka menyatakan bahwa: “In Democracies, gatekeeping—the decision of what news will be published and what news will be ignored—and framing news—expressing it in ways that convey particular meanings—are matters of political struggle. The struggle occurs because democracies encourage the expression of diverse views by people whose policy interests and orientations vary widely while leaving it up to them to find venues for expressing their views.” (lihat Graber, McQuail, dan Norris, “Introduction: The Politics of News and Democracies”, dalam Graber, McQuail, dan Norris (eds.), The Politics of News, the News of Politics (Washington, DC, CQ Press: 2008), hlm. 1).
37
“Should journalist act as „impartial‟ observers and informers of the public,
functioning like common carriers who accept all legitimate messages and transmit them in
roughly the order in which they were received, or should they take the position of advocacy
that makes journalist direct players in the political game? .... Can government conduct
effective information campaigns through press briefings, officials speaking on the record,
the release or withholding of government documents, or control of journalists‟ access to
government officials? .... Do polls articulate the concerns of citizens, or are they simply
pseudo-news events that distort public opinion and displace real news?”90
Hubungan media-politisi sendiri tidak sederhana. Kadang kala, sebagian
narasumber-narasumber itu memberikan informasi penting yang tidak diketahui oleh
banyak pihak lain. Untuk menjaga eksklusivitasnya, mereka hanya memberikan
informasi tersebut pada media jurnalisme tertentu saja. Lili Levi, dalam bukunya
Dangerous Liaisons: Seduction and Betrayal in Confidential Press-Sources Relations,
mengatakan bahwa informasi rahasia semacam itu dapat bergulir melalui dua kelompok
narasumber, yaitu „sources‟ dan „sourcerer‟. Pendapat tersebut dijelaskan oleh Joseph
W. Ragusa secara menarik demikian:
“Sources are sympathetic whistleblowers, whose main motivation is to „impact true
and important information to oversight bodies or to the press (in an attempt) to enhance
government accountability (and reveal) hidden abuse‟. Sourcerers are „strategically
manipulative leaker(s) .... They consist of politically motivated members of government or
of a political campaign whose information tends to be self serving .... Unlike the pure
wishtleblower, these anonymous sources are thought to be politically savvy. They act with
selfish motives in order to promote their own agendas rather than the public interest. Even
if they believe they are acting to promote public aims, their purpose in talking to the press
„is not so much to pass information along to the public ... (but rather) to use the press, and
ultimately the public, as a means to an end.”91
Kekhawatiran yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Karen Sanders
demikian, “Sources are essential for journalists; at the same time sources have their
own agendas to which they will inevitably seek to enlist a willing reporter.”92
Kaitan
antara media, narasumber dan audiens tidak linier sifatnya. Ia melalui sebuah proses
yang kompleks dan rentan tersisipi kepentingan tersembunyi di antaranya. Dalam hal
ini, Gans juga menyatakan bahwa:
90
Graber, McQuail, dan Norris, ibid., hlm. 4-8. Pihak-pihak yang bisa dimasukkan dalam stakeholder kedua (‘para aktor politik’) di atas adalah “executives, political parties, parliamentary factions, interest and advocacy groups, social movements, individual politicians, and political entrepreneurs” (lihat Barbara Ffetsch, “Government News Management: Institituonal Approaches and Strategies in Three Wertern Democracies Reconsidered”, dalam Graber, McQuail, dan Norris (eds.), The Politics of News, the News of Politics (Washington, DC, CQ Press: 2008), hlm. 71).
91 Lihat Joseph W. Ragusa, "Biting the Hand that Feeds You: The Reporter-Confidential Source
Relationship in the Wake of Cohen v. Cowles," St. John's Law Review (1993): Vol. 67: Iss. 1, Article 6, hlm. 125-143. Dapat diakses di: http://scholarship.law.stjohns.edu/lawreview/vol67/iss1/6
92 Karen Sanders, Ethics and Journalism (London: Sage Publications, 2003), hlm. 107.
38
“Sources cannot provide information until they make contact with a member of a
news organization; and that organization will choose the sources it considers suitable for
the audience, even as it is chosen by sources who want to transmit information to the
audience .... Power is exercised by all participants in the transmittal of information; it is
also in evidence inside the news organization, which is hierarchically organized.”93
Kepentingan tersembunyi ini dalam praktik jurnalisme kontemporer Amerika
masih marak. Narasumber berlindung di bawah selimut anonimitas. Kasus
„penyerangan‟ oleh narasumber bernama semu Politico terhadap sebuah organisasi
buruh mencuat melalui sebuah suratkabar besar. Politico yang dikenal oleh publik
sebagai „seorang pegawai Gedung Putih senior‟, menyasar organisasi buruh itu dengan
dugaan korupsi besar-besaran. Berita ini mengundang reaksi dari pelbagai pihak di
Amerika. Salah satu tanggapan Glenn Greenwald mengenai kasus itu, dikutip langsung
oleh Kurtz seperti berikut:
“That there is no remote journalistic justification for granting anonymity for these
kinds of catty comments is self-evident, but that‟s not worth discussing, since the
Drudgeified Politico has long ago established that they operate without any ethical
constraints of any kind when it comes to such matters. The only anonymity standard
Politico has is this: we want it automatically the minute someone in power wants it.”94
Dalam konteks media di Indonesia, majalah Tempo juga pernah memiliki
hubungan pelik dengan salah satu narasumber yang dekat dengan kekuasaan. Semasa
Orde Baru, seorang Jenderal bernama L.B. Moerdani yang pernah menjabat sebagai
Panglima ABRI, dikenal dekat dengan sebagian jurnalis Tempo. Tempo sendiri akrab
memanggilnya dengan Benny Moerdani. Kedekatan hubungan antara Tempo-Benny ini
dalam beberapa kasus sempat memunculkan dilema para awak Tempo saat
merekonstruksi peristiwa (termasuk dalam membingkai suatu berita). Dalam beberapa
hal, Tempo meminta pertimbangan Benny mengenai pemuatan kabar-kabar tertentu.
93
Ibid., Hal. 81. 94
Simak Howard Kurtz, Don’t Use My Name: The Anonymity Game, Washington Post, 15 Juni 2010, dalam http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2010/06/15/AR2010061501315.html, hlm. 1, diakses pada 29 April 2013 pukul 19.32 WIB. Berlindungnya kepentingan golongan atau pribadi—dengan menyerang lawan politik atau lawan konflik suatu perkara—di balik anonimitas kerap terjadi. Seperti kasus di atas, berita mengenai sengketa antara keluarga Michael Jackson (MJ) dan pihak yang akan mengeksekusi hunian mewah MJ memancing polemik yang senada (lihat Clark Hoyt, Cloacked Identities, Even With Names, The New York Times Online, 15 Agustus 2009, dalam http://www.nytimes.com/2009/08/16/opinion/16pubed.html?_r=0, diakses 29 April 2013 pukul 13:01 WIB).
39
Benny sendiri diyakini telah menjadi salah satu narasumber anonim beridentitas semu
„pejabat‟ saat menjelaskan satu peristiwa konfrontasi antara ABRI dan massa pada
rangkaian peristiwa Tanjung Priok (September 1984)95
, serta tersembunyi pula
identitasnya pada pemberitaan kasus penembakan misterius („petrus‟), antara tahun
1982-1985.96
Martin Aleida, dalam salah satu artikelnya berjudul „Perang di Dalam Tempo‟,
menyebut sikap di atas sebagai buah dari strategi lobi politik Tempo. Dalam bahasa
Aleida, Tempo telah menerapkan strategi yang “kompromistis, penuh pertimbangan,
supaya bisa bertahan hidup”, terutama setelah pembredelan pertamanya pada 1982.
Kritik Aleida terhadap perubahan sikap Tempo tersurat lugas sebagai berikut, “ ... untuk
menjaga agar perahu jangan sampai tenggelam lagi di bawah tekanan gelombang
kekuasaan politik yang zalim ketika itu, majalah berita itu memasang kemudi strategi
yang bernama lobby untuk menakar ke mana arus politik bergerak, supaya bisa
mengelak”.97
Selain lobi politik, di pemerintahan Orde Baru yang otoriter, strategi bertahan
hidup——juga menyelubungi sektor ekonomi. Dalam konteks Tempo, Daniel Dhakidae
menyebut strategi komersial ini sebagai Politics of Commoditization.98
Sebagai
komoditas, Tempo berkonsentrasi pada para pembaca muda berusia antara 21-40 tahun
yang mendominasi hingga 82 persen dari jumlah total pembaca (survei tahun 1985).
Sedangkan berdasar latar belakang pendidikan, Tempo berhasil menggaet pembaca
lulusan universitas dan mahasiswa—termasuk yang dropout—(72 persen), lulusan
Sekolah Menengah Atas (24 persen), dan pembaca yang berpendidikan di bawah itu (4
persen). Pada survei tahun 1987, kenaikan terjadi pada segmen pembaca tertinggi tiap
kategorinya.99
Survei tersebut mengindikasikan bahwa ladang komersial Tempo adalah
masyarakat menengah atas dan para profesional baru di pelbagai bidang keahlian.
95
Lihat Janet Steele, Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru (Jakarta: Dian Rakyat, 2007), terutama pada bab berjudul ‘Insiden’, hlm. 99-126.
96 Lihat Martin Aleida, “Perang di Dalam Tempo”, dalam Majalah Basis, No. 11-12, tahun ke -54,
November-Desember 2005, hlm. 61-65. 97
Lihat Martin Aleida, dalam ibid., hlm. 62. 98
Daniel Dhakidae, The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry, a dissertation (Cornell University, 1991), hlm. 351.
99 Ibid., hlm. 352-353.
40
Seiring dengan pertumbuhan bidang periklanan di Indonesia, kesuksesan membangun
loyalitas pembaca itu terus mengalami kenaikan signifikan hingga sebelum dibredel,
awal dekade 1990-an. Oleh karena itu, Tempo melakukan penyesuaian-penyesuaian
ekonomi yang tidak menutup kemungkinan merasuk hingga ruang redaksional.
Mengenai hal ini, Eric Samola, salah satu direktur Tempo saat itu, seperti dikutip
Dhakidae, menyatakan demikian:
“I think the press business is also industry, it should go parallel with other
industry. To my analysis the gained profit is nothing different from the profit gained in the
real estate. Thus, the company should be developed. This also means all levels of
leadership should be involved in their overall thought about the company. An editor should
not be limited in knowledge about the editorial things (hanya mau tahu soal redaksi)
without any single knowledge of finance, for example. We should put an end to this kind of
attitude (tak bisa begitu). We are determined to get back our invested capital (modal harus
kembali).100
Memasuki masa reformasi, setelah Tempo lahir kembali, majalah ini pun
tidak memiliki kesulitan berarti untuk menemukan kembali para pembacanya
yang loyal tersebut. Setahun setelah masa baru itu, Tempo berhasil
mengembalikan jumlah pembacanya seperti sebelum dibredel. Data yang
menggembirakan itu merangsang para pemilik Tempo untuk berinvestasi dengan
mengeluarkan publikasi-publikasi baru dan menyerukan penyesuaian-
penyesuaian, pun dalam bidang redaksional101
—dengan tidak melupakan goresan
luka pengalaman bredel yang meruntuhkan sendi-sendi ekonominya.
Penyajian isu kontroversial melalui berita dapat menjadi tolok ukur
penilaian pembaca dalam memelihara kuriositasnya. Berita yang sensasional,
seperti korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara atau ketua partai
misalnya, akan ditunggu-tunggu oleh pembaca kelas menengah (Tempo).
Penilaian ini akan dilakukan pembaca dari edisi-ke edisi. Oleh karena itu,
„keterlambatan‟ penyajiannya dapat memengaruhi penilaian tersebut. Berita yang
sangat memenuhi kebutuhan pembaca (baca: pasar) tersebut tak pelak lagi akan
100
Ibid., hlm. 353-354. 101
Setelah lahir kembali tahun 1998, dengan dalih ‘pelajaran berharga dari saat diberedel penguasa’, Tempo pun berekspansi dengan mengeluarkan ‘perahu-perahu’ baru membidik segmen pembaca yang berlainan. ‘Perahu-perahu baru yang dimaksud adalah Tempo English Edition, Koran Tempo, majalah gaya hidup pria U-Mag, majalah perjalanan Travelounge, dan Tempo TV (lihat Tim Buku Tempo, Cerita di Balik Dapur Tempo (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), hlm. 107-112).
41
mendapat perhatian khusus dalam debat di ruang redaksi, sekalipun berita tersebut
bertabur informasi-informasi dari narasumber anonim.
Penjelasan kerangka pikir di atas dapat diringkas melalui skema berikut:
Skema 1.3 Lobi Politik & Kepentingan Komersial Media
Keterangan panah: pengaruh atau implementasi peran
hubungan timbal-balik, saling membutuhkan
hubungan timbal-balik, saling memengaruhi
4. Kebijakan Redaksional: Story Selection
Pada dasarnya, seperti telah tersirat dalam pemaparan di atas, berita adalah
produk kerja jurnalisme. Di dalam sebuah media pers—yang mengutamakan berita
sebagai produknya, kerja jurnalisme tersebut bertumpu pada kebijakan redaksional.
Kebijakan redaksional adalah ruh dan pedoman bagi redaksi dan jurnalis dalam
melaksanakan tugas-tugas mereka sebagai pekerja jurnalisme. Kebijakan redaksional
inilah yang menentukan seluk-beluk kerja jurnalisme, seperti: pemilihan isu yang akan
diliput, sudut pandang peliputan, penugasan jurnalis, format penulisan berita, dan—
tidak terkecuali—praktik pemilihan dan penggunaan narasumber.
Salah satu titik debat yang dapat mewakili singgungan antara kebijakan
redaksional dan signifikansi penelitian ini adalah proses pemilihan berita (story
selection). Proses tersebut melibatkan beberapa konsep penting yang dapat menambah
kemungkinan penjelasan penelitian ini. Konsep tersebut berkaitan dengan
pertimbangan-pertimbangan yang dipergunakan oleh media jurnalisme untuk
Narasumber
Whistleblower
Jurnalis
Media
Jurnalisme
Lobi Politik
Kepentingan
Komersial
42
menentukan kebijakan redaksionalnya, termasuk di antaranya pertimbangan mengenai
nilai berita, khalayak, aspek komersial, politik dan kompleksitas hubungan antara
jurnalis dan narasumbernya.
Untuk menjabarkan mekanisme kebijakan redaksional media jurnalisme melalui
konsep pemilihan berita ini, peneliti meminjam pendekatan Herbert J. Gans (2004).
Gans memandang bahwa proses pemilihan berita sangat ditentukan oleh dua hal,
pertama, availability atau tingkat ketersediaan informasi/bahan berita (berhubungan erat
narasumber). Dan kedua, suitability atau tingkat kelayakan/kecocokan berita
(berhubungan erat dengan audiens). Kedua hal di atas sangat ditentukan oleh
pertimbangan-pertimbangan berikut, (i) source considerations, (ii) substantive
considerations, (iii) product considerations, (iv) value considerations, (v) commercial
considerations, (vi) audiens considerations, dan (vii) political consideration.102
Penjabaran ketujuh hal tersebut akan mendasari pemahaman konsep Gans (2004)
mengenai kebijakan redaksional melalui proses story selection.103
Pertama, source considerations yang mencakup source availability
(pemeliharaan akses timbal balik antara jurnalis dan narasumber), dan source suitability
(kelayakan informasi yang diberikan narasumber-narasumber yang ada). Source
availability ditentukan oleh dorongan narasumber saat berhubungan dengan media,
akses narasumber terhadap kekuasaan (power), kemampuan/keahlian narasumber dalam
memasok berita, dan kedekatan narasumber dengan media baik secara geografis
maupun sosial. Sedangkan source suitability ditentukan oleh kelayakan informasi yang
diberikan narasumber waktu lalu, produktivitas pasokan informasi, tingkat kepercayaan
yang dibangun narasumber, posisi/jabatan narasumber, dan artikulasi narasumber.
Kedua, substantive considerations yang dapat dinilai dari dua segi, yaitu
„penting‟ (important) dan „menarik‟ (interesting). Informasi menjadi semakin penting
bila berasal dari level tinggi dalam hierarki lembaga pemerintah atau swasta, berdampak
pada kepentingan bangsa dan berskala nasional, semakin banyak orang yang terlibat dan
terpengaruh, dan berhubungan erat dengan sejarah sekaligus masa depan masyarakat.
Sementara itu, informasi yang tergolong menarik adalah informasi yang behubungan
102
Herbert J. Gans, Deciding What’s News: A Study of CBS Evening News, NBC Nightly News, Newsweek, and Time (USA: Northwestern University Press, 2004), hlm. 81-82.
103 Penjelasan konsep story selection ini diambil dari pemikiran Gans dalam Herbert J. Gans, ibid.
43
sisi-sisi manusiawi seseorang, peristiwa yang menyentuh perasaan atau mengundang
empati, kisah-kisah yang mengundang anekdot, kisah kepahlawanan seseorang, dan
peristiwa yang tidak biasa terjadi dan bisa menimbulkan keterkejutan banyak orang.
Ketiga, product considerations yang merujuk pada pertimbangan tipe dan
format media jurnalisme. Berita yang penting dan menarik tetap harus disesuaikan
dengan tipe media yang akan digunakan untuk mempresentasikannya. Perlakuan
berbeda akan diterapkan terhadap satu berita yang sama untuk televisi dan majalah.
Berita yang sisi important-nya berada di level terbawah, maka pertimbangan tipe dan
format berita ini menjadi mengemuka. Format pemberitaan menjadi ciri khas masing-
masing media jurnalisme. Hal ini dapat berhungan dengan kenyamanan audiens dalam
menikmati berita yang tersaji dan loyalitas mereka dalam mengakses media
bersangkutan. Singgungan dengan satu atau lebih kompetitor dalam satu tipe media
yang sama menjadi pertimbangan khusus pula.
Keempat, value considerations yang merujuk pada nilai bawaan jurnalisme.
Nilai-nilai, seperti objektivitas misalnya, menjadi pedoman bagi jurnalis untuk
menentukan pilihan beritanya. Nilai ini menjadi salah satu pegangan media jurnalisme
untuk memelihara profesionalitas kerja para jurnalis dan kebijakan ruang redaksinya.
Debat seputar nilai ini mengamuka tatkala pertanyana menganai dari mana asal muasal
nilai tersebut hingga dapat menjadi pedoman kerja dan kebijakan sebuah media
jurnalisme. Titik kulminasi debat tersebut terletak pada pertanyaan: apakah nilai
tersebut murni terbangun secara profesional ataukah muncul karena pengaruh dan
desakan nilai dari institusi-institusi lain.
Kelima, commercial consideration yang berhubungan erat dengan perampingan
(cost cutting) biaya pemilihan dan produksi berita dan peningkatan pendapatan
(increase income) perusahaan melalui perhatian audiens dan pengiklan. Pertimbangan
perampingan ini memerlukan kebijakan khusus tatkala berhubungan dengan informasi-
informasi eksklusif dan breaking news. Bertambahnya biaya secara mencolok dapat
ditoleransi apabila informasi yang didapatkan dianggap dapat memenangi persaingan
dengan media lain. Debat mengenai peningkatan pendapatan melalui pemilihan berita di
ruang redaksi bertumpu pada tarik-menarik antara kebutuhan redaksi dengan
kepentingan bisnis media. Pilihan cenderung jatuh pada informasi yang bisa mendukung
dan mendongkrak keduanya.
44
Keenam, audiens considerations yang berkaitan dengan informasi yang dapat
menarik (attract) bagi audiens dan mampu melindungi (protect) audiens dari hal-hal
yang membuat mereka menjauh atau menolak berita. Informasi yang dapat menarik
audiens menyuguhkan kisah pengundang identifikasi diri audiens terhadap aspek-aspek
yang ada di dalamnya, seperti identifikasi terhadap berita kepahlawanan, penjahat,
maupun korban. Pertimbangan lain adalah informasi yang menyuguhkan data-data yang
dapat membantu audiens mengurangi kebingungannya mengenai fanomena tertentu,
namun data-data tersebut dipresentasikan secara proporsional sehingga justru tidak
membebani audiens.
Ketujuh, political considerations. Pertimbangan ini berkait dengan informasi
yang mengandung desakan-desakan dari kelompok-kelompok tertentu berdasarkan
kekuasaan dan kepentingan mereka. Oleh karena itu, secara eksplisit Gans menyebutnya
demikian,
“Story selection and production is, therefore, a power struggle over what
messages enter the symbolic arena. Most of the time, the power struggle is covert, for it is
built in to news judgement; but it becomes overt when unhappy sources, audiences, and
others express their displeasure with the outcome of news judgements.”104
Desakan atau tekanan terhadap kebijakan media jurnalisme tersebut dapat
berasal dari pemangku kepentingan bisnis seperti para pengiklan dan pemilik jaringan
media, pun bisa berasal dari pemegang kekuasaan politik seperti pemerintah, serta
kelompok-kelompok kepentingan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
organisasi-organisasi profesi kewartawanan.
Penelitian ini mengadopsi pemikiran Gans mengenai story selection tersebut
untuk menambah kemungkinan penjelasan mengenai kebijakan redaksional sebuah
media jurnalisme. Konsep ini diharapkan dapat membantu menguraikan kompleksnya
pertimbangan sebuah media jurnalisme dalam menentukan kebijakannya, terutama
berhubungan dengan narasumber anonim. Saling kait antara pertimbangan satu dengan
pertimbangan yang lain, seperti dijelaskan oleh Gans sendiri, merupakan cermin
tingginya dinamika proses kebijakan redaksional media jurnalisme sebagai sebuah
institusi sosial.
104
Ibid., hlm. 249-250.
45
Sketsa pemikiran di atas dapat dilihat melalui skema berikut:
Skema 1.4 Kebijakan Redaksional Media Jurnalisme
(adaptasi pendekatan Herbert J. Gans mengenai Story Selection)
***
Seluruh penjelasan di atas menunjukkan bahwa kebijakan redaksional media
jurnalisme menjadi titik sentral debat penggunaan narasumber anonim. Pelbagai
kemungkinan penjelasan di atas diharapkan dapat membantu peneliti dalam
menguraikan dinamika kebijakan redaksional majalah Tempo dalam kaitan khusus
dengan narasumber anonimnya. Kebijakan redaksional ini menjadi ruh Tempo dalam
berhubungan dengan narsumber anonim mulai dari hulu hingga hilir. Dan dapat
berimplikasi pada kuat-lemahnya kredibilitas Tempo.
Dalam konteks penggunaan narasumber anonim ini, penjagaan terhadap
kredibilitas media di mata publiknya menjadikan problem transparansi mendapatkan
perhatian khusus. Media jurnalisme yang melakukan liputan-liputan investigasi
memerlukan jembatan yang dapat menghubungkan antara pemberitaan informasi
rahasia dengan penjagaan kepercayaan publik terhadap narasumber anonim yang
46
mereka gunakan. Hal ini kemudian memunculkan beberapa pola pemuatan narasumber
anonim itu.
Culbertson mengemukakan beberapa pola pemuatan narasumber anonim untuk
menjaga transparansi sebagai berikut105
: pertama, media pers harus membuka sebanyak
mungkin informasi mengenai motivasi narasumber dalam mengungkapkan
pernyatannya. Kedua, mengemukakan kemungkinan bias dari pernyataan narasumber.
Ketiga, menjelaskan keahlian yang dimiliki oleh narasumber. Keempat, proses
kesepakatan penggunaan anonim antara jurnalis dan narasumber. Kelima, alasan
jurnalis memilihnya sebagai narasumber. Dan keenam, sejauh mana jurnalis telah
memverifikasi penyataan narasumber.
Kiranya, seluruh sketsa pemikiran di atas dapat diringkas dalam skema berikut:
Skema 1.5 Kebijakan Redaksional & Narasumber Anonim
Keterangan panah: pengaruh atau implementasi kebijakan
105
Hugh M. Culbertson, Book Review of “On the Condition of Anonymity: Unnamed Sources and Journalistic Authority” by Matt Carlson (Urbana, IL: University of Illinois Press, 2011), dalam Journalism & Mass Communication Quarterly 89 (1).
Kebijakan
Redaksional
Idealisme Media
Lobi Politik &
Kepentingan
Komersial Media
Hukum Media &
Otonomi Jurnalis
Pola Penggunaan
Narasumber Anonim
Pola Penggunaan
Narasumber Anonim
Pola Penggunaan
Narasumber Anonim
47
H. Metodologi Penelitian
Metode utama tesis ini adalah studi kasus. Namun, untuk mendapatkan data
pendukung, peneliti menerapkan metode analisis isi untuk mendedah teks berita majalah
Tempo pada tahap pre-research.
1. Metode Penelitian
Pisau analisis utama yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus.
Sebuah fenomena unik, spesifik, dan kontemporer yang terjadi atau dialami oleh sebuah
institusi dapat menjadi kasus yang dimaksud. Metode ini diandalkan oleh penulis untuk
mendapatkan jawaban menyeluruh atas kasus yang terjadi pada kebijakan redaksional
majalah Tempo. Konteks permasalahan, setting, dan penyusunan bukti-bukti yang
merujuk pada fakta yang terjadi saat pembentukan kebijakan diharapkan dapat
terungkap.106
Desain studi kasus yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah desain studi
instrinsik. Alasannya adalah studi ini akan mengelaborasi suatu kasus khusus mengenai
satu topik khusus pada satu organisasi media dalam konteks perkembangannya yang
khusus pula. Sehingga hasil analisis studi ini sulit untuk digeneralisasikan pada kasus-
kasus lain.107
Sementara itu, tipe studi kasus yang akan dipakai adalah tipe deskriptif. Tipe
studi ini memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan suatu fenomena secara lengkap
dan komprehensif beserta konteks permasalahan yang melingkupinya.108
2. Pengumpulan Data
Tiga hal yang menjadi pijakan pokok dalam pengambilan data menurut metode
studi kasus adalah analisis dokumen/literatur, wawancara mendalam, dan observasi
lapangan.109
Penjabaran ketiganya adalah sebagai berikut:
106
Simak Bill Gillham, Case Study Research Methods (London: Continuum, 2000), hlm. 1-2. 107
Dawson R. Hancock & Bob Algozzine, Doing Case Study Research: A Practical Guide for Beginning Researchers (New York: Teachers College Press, 2006), hlm. 33.
108 Ibid., hlm. 33-34.
109 Di samping itu, untuk mendapatkan data pendukung, sebagai pre-research, peneliti juga akan
melakukan analisis isi terhadap teks berita majalah Tempo. Rincian penjelasannya akan dijabarkan setelah penjelasan mengenai metode ‘Studi Kasus’ ini.
48
a. Analisis Dokumen/Literatur
Dokumen lain tentang kebijakan redaksional dalam bentuk Stylebook, Standard
Operational Procedure (SOP), memo-memo khusus, dan dokumen Ombudsmen Tempo
yang langsung berkaitan atau membahas masalah narasumber anonim akan menjadi
objek analisis selanjutnya. Selain itu, analisis juga akan dilakukan terhadap literatur
khusus yang diproduksi oleh awak kerja Tempo, baik yang dipublikasikan maupun
tidak, seperti artikel maupun buku-buku yang berkaitan erat dengan keberadaan
organisasi Tempo.
Analisis terhadap dokumen-dokumen tersebut diharapkan dapat melengkapi
hasil analisis isi terhadap berita Tempo—yang penjelasan detailnya akan dipaparkan
setelah bagian ini. Sebagai bukti tertulis, dokumen-dokumen tersebut akan sangat
berguna untuk menggambarkan dinamika perubahan kebijakan redaksional Tempo
menyangkut penggunaan narasumber anonim.
b. Wawancara Mendalam
Wawancara akan dilakukan terhadap pejabat redaksi, seperti pemimpin redaksi,
redaktur senior, redaktur eksekutif, redaktur pelaksana, serta anggota redaksi lain yang
berwenang saat kebijakan dibuat akan memberikan gambaran terang pembentukan
kebijakan yang bersangkutan.
Wawancara juga akan dilakukan terhadap wartawan-wartawan bersangkutan
yang pernah melakukan praktik empiris penggunaan narasumber anonim dan sekaligus
person yang terikat dengan Stylebook, SOP, memo-memo, dan keputusan Ombudsmen
Tempo yang telah dibuat menyangkut hal tersebut.
3. Pengolahan dan Analisis Data
Data-data yang dikumpulkan dari studi dokumen/literatur dan wawancara akan
menjalani dua perlakuan. Pertama, reduksi. Seluruh data yang telah masuk akan
direduksi untuk menghasilkan data terpilih yang berkait erat atau relevan dengan
pertanyaan penelitian. Kedua, kategorisasi. Data terpilih tersebut akan diseleksi dan
dikategorisasikan supaya lebih memudahkan peneliti untuk melakukan verifikasi. Hasil
verifikasi ini diharapkan dapat menjadi kumpulan data kualitatif yang siap dianalisis.
Pengkategorisasian data itu dilakukan berdasarkan variabel-variabel yang menentukan
49
kebijakan redaksional, misalnya benturan antara praktik empiris dan kebijakan normatif
organisasi Tempo.
Tahap analisis akan menginterpretasikan data yang telah dikategorisasikan.
Interpretasi tersebut dilakukan dengan bantuan teori dan konseptualisasi menuju fokus
terhadap jawaban pertanyaan penelitian. Selanjutnya, hasil analisis tersebut akan
diterjemahkan dalam bentuk deskripsi melalui tulisan.
4. Metode Pendukung untuk Pengumpulan Data
Selain studi kasus, penelitian ini juga akan menggunakan metode analisis isi
untuk membantu mengumpulkan dan memetakan data pendukung. Pisau analisis kedua
ini akan dipakai pada tahap awal penelitian guna memeroleh gambaran umum mengenai
frekuensi dan pola distribusi pemuatan narasumber anonim pada teks berita Tempo. Hal
ini penting untuk dilakukan mengingat teks berita tersebut adalah salah satu produk
akhir sebuah kebijakan redaksional media yang langsung berhubungan dengan khalayak
secara periodik (dari edisi-ke edisi).
Analisis Teks Berita Tempo
Analisis isi akan dilakukan terhadap teks berita pada rubrik Laporan Utama
Tempo periode Januari 2011 hingga Oktober 2013. Analisis ini digunakan untuk
mengetahui frekuensi dan pola penggunaan narasumber anonim di majalah Tempo
sehubungan sehubungan dengan kasus-kasus korupsi. Dalam seluruh rangkaian
penelitian, analisis terhadap teks berita Tempo ini merupakan tahap pre-research.
Analisis ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui dinamika kebijakan redaksional
Tempo yang termanifestasikan di dalam teks berita yang dipublikasikan secara berkala
(dari edisi-ke edisi). Teks berita yang manifes tersebut diharapkan dapat
mengungkapkan peta distribusi penggunaan narasumber anonim oleh Tempo. Hasilnya
diharapkan dapat digunakan oleh peneliti sebagai modal untuk mendukung tahap
penelitian selanjutnya.
Frekuensi penggunaan narasumber anonim akan diperoleh melalui
perbandingan kemunculan narasumber anonim dengan narasumber-narasumber lain
yang beridentitas jelas. Sedangkan pola distribusi pemuatan narasumber anonim akan
diperoleh setelah mengetahui frekuensi pemuatan narasumber anonim berdasarkan tipe
50
narasumber background dan deep background seperti yang diungkapkan oleh Michael
W. Sheehy pada definisi konseptual di bawah. Sementara itu, pendekatan yang akan
dipakai dalam analisis teks berita ini adalah pendekatan kuantitatif.
(1) Populasi
Satuan yang diteliti secara keseluruhan dalam penelitian ini adalah majalah
Tempo. Wilayah kajiannya adalah rubrik Laporan Utama majalah tersebut. Dan periode
waktu yang dipilih adalah majalah Tempo yang terbit antara Januari 2011 hingga
Oktober 2013.
(2) Sampling
Peneliti akan melakukan analisis isi terhadap teks berita-berita Tempo bertema
kasus korupsi yang termasuk dalam wilayah kajian dan periode waktu yang telah
ditetapkan di atas.
(3) Definisi Konseptual
Pertemuan antara jurnalis dan narasumbernya memunculkan beberapa tipe
kesepakatan mengenai pemuatan informasi yang diberikan narasumber dan identitas
narasumber itu sendiri. Secara umum, banyak media membaginya ke dalam dua tipe,
yaitu on the record dan off the record. Menurut Sheehy, dua tipe lagi ditambahkan oleh
kultur media jurnalisme yang hidup di Washington, Amerika Serikat. Kedua tipe itu
adalah background dan deep background.110
Dalam penjelasannya, Sheehy mengemukakan bahwa on the record merupakan
kesepakatan yang memerbolehkan jurnalis memublikasikan informasi dan identitas
narasumber. Sedangkan off the record adalah kesepakatan untuk tidak memublikasikan
baik informasi maupun identitas sang narasumber. Informasi berdasarkan kesepakatan
off the record ini biasanya digunakan narasumber untuk membantu jurnalis semakin
mengenali duduk perkara yang sedang ia liput. Atau bisa juga menuntun jurnalis untuk
menemukan narasumber-narasumber lain yang dapat memberikan keterangan lebih
detail secara on the record.
110
Michael W. Sheehy, From Watergate to Lewinsky: Unnamed Sources in the Washington Post, 1970-2000, dissertation (Ohio University, 2006), hlm. 35-36.
51
Sementara itu, background adalah kesepakatan bahwa informasi yang
diberikan narasumber dapat dipublikasikan, namun nama narasumber tidak disertakan.
Informasi tetap bisa dipublikasikan dengan menyebutkan identitas narasumber
menggunakan atribut tertentu yang mengarah kepada keberadaannya. Misalnya,
„seorang pejabat kementerian itu‟, „seorang staf instansi tersebut‟, atau „seorang mantan
polisi‟. Sedangkan deep background adalah kesepakatan bahwa informasi yang
diberikan narasumber dapat dipublikasikan, namun identitas narasumber tidak dapat
dipublikasikan. Frasa seperti „Washington Post telah memelajari bahwa‟ muncul
mendampingi informasi yang diberikan narasumber.111
Menurut pengamatan sementara
peneliti, tipe narasumber berdasarkan kesepakatan yang muncul tanpa atribut yang
mengarah pada identitas narasumber sama sekali, seperti „sumber‟, „sumber terpercaya‟,
dan „sumber yang tidak mau disebut identitasnya‟, termasuk di dalamnya.
(4) Definisi Operasional
Definisi operasional seharusnya memuat penjelasan mengenai konsep-konsep
kunci di skema 1.5. Sementara, definisi operasional di sini dimaksudkan untuk
memberikan penjelasan mengenai operasionalisasi konsep-konsep unit analisis isi di
atas untuk kebutuhan pre-research. Oleh karena itu, beberapa penjelasan berikut
diharapkan dapat membantu peneliti untuk menguantifikasikan kemunculan indikator-
indikator unit analisis di atas dalam unit terkecil berupa „kata‟ atau „frasa‟.
(i) Narasumber anonim ‘Tanpa Atribut’
Hal ini adalah tipe pemuatan identitas narasumber anonim paling minim.
Maksudnya, media bersangkutan hampir tidak membuka sama sekali petunjuk, atribut,
atau keterangan lain yang dapat mengarahkan publik media untuk dapat menerka
keberadaan dan/atau kredibilitas narasumber yang dimaksud. Tipe pemuatan ini dapat
muncul dalam frasa seperti: „sumber‟, „sumber Tempo‟, „sumber lain‟, „sumber-sumber
Tempo yang lain‟, „seorang sumber‟, „sumber yang dapat dipercaya‟, „sumber lain yang
tidak mau disebut namanya‟, dan semacamnya.
111
Ibid., hlm. 36-39.
52
(ii) Narasumber anonim ‘Dengan Atribut’
Hal ini adalah tipe pemuatan narasumber anonim dengan menggunakan
petunjuk, atribut, atau keterangan tambahan yang dapat membantu pembaca menerka
keberadaan dan/atau kredibilitas narasumber bersangkutan. Petunjuk, atribut, atau
keterangan tambahan itu dapat berupa informasi mengenai posisi narasumber dalam
sebuah peristiwa (misalnya: saksi mata, pelaku, korban, tersangka), profesi (misalnya:
dokter, apoteker, akademisi, polisi, pengacara, hakim, jaksa), jabatan (misalnya:
presiden direktur, bendahara, sekretaris, menteri, lurah, camat), maupun atribut fisik
yang dipakai narasumber (misalnya: topi, baju, sepatu, ikat kepala, kacamata), dan lain-
lain. Tipe pemuatan ini dapat muncul dalam frasa seperti: „salah satu saksi mata‟, „salah
seorang pegawai sekretaris jenderal yang mendampingi penggeledahan‟, „seorang
mantan anggota dewan‟, „petugas keamanan dan resepsionis kantor‟, „seorang advocat‟,
„seorang pria berjenggot dan berpakaian gamis‟, dan semacamnya.
(iii) Formal information channel
Narasumber yang termasuk dalam tipe ini adalah sumber-sumber formal
pemerintah, seperti pejabat dan staf instansi lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif,
kepolisian, militer, dan lain-lain, baik yang berada di lingkup nasional maupun daerah.
(iv) First-hand reports
Narasumber yang termasuk dalam tipe ini adalah sumber-sumber yang terlibat
langsung dengan peristiwa, seperti saksi mata, pelaku, korban, tersangka, dan lain-lain.
(v) Enterprise
Narasumber yang termasuk dalam tipe ini adalah para pemimpin, pejabat, staf,
aktivis, pengusaha, akademisi, dan lain-lain yang instansi atau lembaganya berada di
luar instansi atau lembaga pemerintah seperti tersebut di atas.
(5) Unit Recording dan Unit Analisis
Berdasarkan penjelasan di atas, unit recording dan unit analisis teks berita
Tempo yang dimaksud adalah sebagai berikut:
53
A. Unit Recording:
Item berita dalam Rubrik Laporan Utama kasus korupsi
B. Unit Analisis:
B.1. Lokus Korupsi
B.1.a. Legislatif
B.1.b. Eksekutif
B.1.c. Yudikatif
B.1.d. BUMN
B.1.e. Komisi/Lembaga Independen
B.2. Level Kelembagaan
A.2.a. Nasional
A.2.b. Daerah
B.3. Pelaku Korupsi
B.3.a. Pejabat publik
B.3.b. Non-pejabat Publik
B.4. Narasumber
B.4.a. Anonim
B.4.a.i. Anonim „Tanpa Atribut‟
B.4.a.ii. Anonim „Dengan Atribut‟
B.4.b. Beridentitas jelas
B.4.b.i. Formal information channel
B.4.b.ii. Firts-hand reports
B.4.b.iii. Enterprise
(6) Analisis dan Pengolahan Data
Frekuensi pemuatan narasumber, baik anonim maupun beridentitas jelas, tidak
dihitung berdasarkan banyaknya pernyataan yang dikutip oleh Tempo. Maksudnya,
dalam satu rubrik Laporan Utama, kemunculan seorang narasumber tetap akan dihitung
satu kali walaupun pernyataan-pernyataannya dikutip oleh Tempo lebih dari satu kali.
Banyak atau sedikitnya kutipan tidak relevan untuk masuk dalam hitungan sebab,
menurut pengamatan sementara peneliti, pemuatan seorang narasumber anonim berlaku
54
untuk semua pernyataannya dalam satu item berita.
Hasil pre-research di atas diharapkan dapat memudahkan peneliti untuk
melangkah ke tahap penelitian selanjutnya melalui pisau analisis utama, yaitu studi
kasus.
Pengolahan data tahap pertama akan dilakukan pada data yang diperoleh dari
analisis isi terhadap berita Tempo ini. Data yang diperoleh dari hasil analisis isi tersebut
akan dianalisis lebih dulu sampai pada tahap interpretasi terhadapnya. Hasilnya tidak
hanya akan diperlakukan oleh peneliti sebagai data penunjang dan sumber pelengkap
interview guide, tetapi diperlakukan juga untuk diolah bersama data-data lain.[]