Upload
lytuyen
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Kulit buah naga selama ini jarang dimanfaatkan dan lebih sering menjadi
limbah. Padahal, kulit buah naga memiliki kandungan antosianin, pektin, dan fiber
yang tinggi (Sengkhamparn et al., 2013). Selain itu kulit buah naga juga memiliki
kapasitas antioksidan, efek antiproliferatif (Wu et al., 2006; Stintzing et al.,
2002), sebagai sumber potensi pewarna alami dan thickening agent
(Harivaindaram et al., 2008; Phebe et al., 2009) serta sebagai pelembab dalam
produk-produk kosmetik (Stintzing et al., 2002).
Saat ini, produk - produk kosmetika seperti lipstik, eyeshadow, dan blush
on yang berada di pasaran hampir seluruhnya menggunakan pewarna sintetis dan
tidak jarang beberapa di antaranya menggunakan pewarna terlarang. Di antara
banyaknya produk kosmetika dekoratif, lipstik adalah produk kosmetika yang
paling banyak digunakan oleh wanita, sebab penggunaan lipstik seringkali diulang
setelah mengkonsumsi makanan atau minuman, serta setelah lipstik tidak lagi
menempel pada kulit bibir.
Menurut Anonim (1978), sebagai sediaan kosmetik yang digunakan di
bibir lipstik sangat mungkin tertelan bersama ludah atau makanan dan minuman
yang dikonsumsi, sehingga berbahaya jika terdapat bahan berbahaya dalam
lipstik. Selain itu, sebagai kosmetik, lipstik tidak memiliki batasan frekuensi
penggunaan dan juga lama serta banyaknya jumlah yang digunakan, sehingga
2
sudah menjadi suatu keharusan untuk memastikan lipstik terbuat dari pewarna
yang alami dan tidak berbahaya. Lipstik mampu membuat bibir terlihat menawan
dan sebaiknya juga memiliki kemampuan untuk melindungi bibir dari efek buruk
sinar matahari. Sebab kulit bibir dapat menjadi keriput dan menghitam saat
terpapar sinar matahari tanpa perlindungan tabir surya. Sehingga seharusnya
diinovasi agar memiliki kemampuan tabir surya bagi bibir.
Senyawa tabir surya dapat berasal dari senyawa alami seperti kulit buah
alpukat, buah mentimun dan dapat berasal dari senyawa sintetik seperti titanium
dioksida dan zink oksida. Namun, senyawa sintetik memiliki kemampuan yang
jauh lebih baik sebagai tabir surya. Sehingga akan lebih baik apabila senyawa
tabir surya yang digunakan berasal dari bahan sintetik tetapi aman apabila
tertelan, seperti titanium dioksida. Sebagai tabir surya, titanium memiliki
kemampuan melindungi kulit yang lebih baik dari senyawa sintetik aman lainnya.
Selain itu, menurut Weir et al.(2012), titanium dioksida merupakan zat yang
umum ditambahkan dalam personal care maupun makanan. Pada makanan, batas
pemejanan pada orang dewasa (Amerika Serikat) adalah 1 mg Ti per kilogram
berat badan per hari.
Dalam pembuatan lipstik, penambahan agen tabir surya seperti titanium
dioksida, dapat menyebabkan efek keputihan pada lipstik, sehingga perlu
dilakukan optimasi antara ekstrak etanolik kulit buah naga merah dan titanium
dioksida untuk mendapatkan lipstik dengan warna dan nilai SPF yang optimal.
3
B. Perumusan Masalah
1. Berapakah kombinasi jumlah ekstrak etanolik kulit buah naga merah dan titanium
dioksida yang dapat memberikan densitas warna dan nilai SPF maksimum pada
sediaan lipstik?
2. Apakah lipstik dengan formula optimum dapat menghasilkan sifat fisik yang
baik?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kombinasi jumlah ekstrak etanolik kulit buah naga merah dan
titanium dioksida yang dapat memberikan densitas warna dan nilai SPF yang
maksimum pada sediaan lipstik.
2. Untuk mengetahui sifat fisik lipstik formula optimum.
D. Tinjauan Pustaka
1. Buah Naga Merah
a. Klasifikasi tumbuhan
Buah naga termasuk dalam genus Hylocereus yang terdiri dari sekitar 18
spesies amerika tropis. Anggota dari genus ini adalah kaktus merambat
dengan 3 batang bersudut dan biasanya dengan bunga putih yang sangat
harum yang mekar di malam hari. Buah naga adalah nama umum untuk buah
yang berasal dari spesies kaktus. Sebagai palawija baru, identitas taksonomi
buah naga seringkali membingungkan.
Klasifikasi spesies kaktus yang dapat dimakan didasarkan pada bagaimana
keadaan batang, warna kulit buah, dan warna daging buah. Berdasarkan
keadaan batangnya, kaktus yang dapat dimakan dibedakan menjadi 2
4
kelompok, yaitu kaktus merambat dan kaktus berkolom. Spesies kaktus
merambat yang dapat dimakan terbagi menjadi 2 genus yang berbeda, yakni
Hylocereus dan Selenicereus, sedangkan spesies kaktus berkolom terbagi
menjadi 3 genus, yakni Cereus, Pachycereus, dan Stenocereus (Gunasena et
al., 2007).
Nomenklatur dari buah naga sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (dikotil / tumbuhan berkeping dua)
Ordo : Caryophyllales
Famili : Cactaceae (keluarga kaktus)
Subfamili : Cactoideae
Suku : Hylocereae
Genus : Hylocereus
Spesies : Hylocereus undatus
(Gunasena et al., 2007)
b. Nama daerah
Buah naga merah
c. Morfologi
Buah berukuran sedang hingga besar, berbentuk membujur. Buah
dibedakan berdasarkan kulit merahnya dengan sisik besar. Daging buah bisa
5
berwarna putih, merah, atau kuning, dan berair, bergantung pada varietas /
spesies. Buah terbentuk dari kedua ovari (daging buah) dan kemudian
melingkari ovari (kulit). Buah dapat mengubah warna kulitnya dari hijau
hingga merah sekitar 25 hari setelah anthesis. Kulit buah berubah merah
penuh pada 4-5 hari kemudian setelah perubahan warna pertama. Sekitar 25-
41 hari setelah anthesis, berat kering dari daging buah meningkat signifikan
sedangkan berat kering kulitnya dan persentase airnya menurun. Kekerasan
buah juga menurun selama periode ini. Buah naga merupakan buah yang tidak
tergantung musim. Pada puncak kematangannya, buah menjadi kemerahan
meskipun sisiknya tetap hijau. Buah yang telah matang, dipanen antara 30-50
hari setelah polinasi (Gunasena et al., 2007).
d. Kandungan
Tabel I. Kandungan nutrisi daging buah dan kulit buah Hylocereus undatus
(Gunasena et al., 2007; Sengkhamparn et al., 2013)
Nutrisi Kandungan
Air (g) 89,4
Protein (g) 0,5
Lemak (g) 0,1
Fiber (g) 0,3
Karbon (g) 0,5
Kalsium (mg) 6
Fosfor (mg) 19
Besi (Fe) (mg) 0,4
Niasin (mg) 0,2
Vitamin C (mg) 25
Antosianin (mg/g
berat kering)
(pada kulit buah)
37,84
(unblanched,
dried at 60°C)
6
Gambar 1. Hylocereus undatus
2. Antosianin
Antosianin berasal dari bahasa Yunani, yaitu anthos (bunga) dan kyanos
(biru gelap), merupkan pigmen berwarna yang memberi karakteristik warna
merah, ungu, dan biru. Antosianin merupakan pigmen warna pada tumbuhan yang
menyebabkan hampir semua warna merah jambu, merah merak, merah, ungu, dan
biru pada bunga, daun, dan buah. Antosianin merupakan pewarna paling penting
dan tersebar paling luas dalam dunia tumbuhan (Harbone, 1973). Pada buah naga
sendiri, antosianin terdapat pada buah dan juga pada kulit buahnya
(Sengkhamparn et al., 2013).
Gambar 2. Struktur antosianidin
(Delgado-Vargas & Paredes-Lopez, 2003)
Keterangan : Rx dapat berupa H, OH, OCH3
7
Pada gambar 2, bagian yang dilingkari merupakan cincin kroman. Struktur
dasar dari pigmen antosianidin dimana Rx bisa berupa H, OH, ataupun OCH3,
bergantung pada pigmen yang dimaksud. Menurut Delgado-Vargas & Paredes-
Lopez (2003), antosianin merupakan flavonoid larut air yang terdiri dari
antosianidin dan gula, dimana stabilitas antosianin dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain:
Tabel II. Faktor yang mempengaruhi stabilitas antosianin
Faktor Keterangan
pH pH asam menyebabkan sebagian besar antosianin dalam
kondisi paling berwarna
Temperatur Kenaikan temperatur menyebabkan antosianin semakin
tidak berwarna
O2 dan H2O2 Dapat mengoksidasi antosianin menjadi tidak berwarna
Cahaya Cahaya matahari dan lampu dapat mendegradasi antosianin
menjadi tidak berwarna
Gambar 3. Variasi struktur kimia antosianin pada pH yang berbeda
(Moldovan et al., 2012)
Warna dari antosianin didasarkan pada struktur kimia yang berbeda sesuai
dengan lingkungannya. Struktur antosianin terkait erat dengan nilai pH dari
8
larutan. Sebagai contoh, kation flavilium (I) yang berwarna merah merupakan
bentuk yang paling banyak pada pH=1. Sedangkan pada pH 2 dan 4, akan
terbentuk basa biru quinoidal (II). Saat pH dinaikkan hingga mencapai 6,
terbentuk 2 pseudobasa karbinol yang tidak berwarna (colorless) (III), yang dapat
mengalami pembukaan cincin sehingga menjadi kalkon kuning (IV). Pada kondisi
basa, degradasi antosianin terjadi. Pada pH tertentu untuk buah dan sayur segar
dan terproses, sekitar 4 dan 6, terbentuk kesetimbangan dari campuran: kation
flavilium, basa quinoidal anhidros, basa karbinol, dan kalkon. Tetapi, karena
reaktivitasnya yang tinggi, antosianin mudah berubah menjadi tidak berwarna atau
berwarna coklat yang tidak menarik akibat terdegradasi. Di antara banyak faktor
yang dapat mempengaruhi stabilitas antosianin, temperatur adalah yang paling
berpengaruh secara signifikan (Moldovan et al., 2012)
3. Lipstik
Lipstik merupakan sediaan kosmetik berbentuk batang, yang digunakan
untuk memberikan warna yang menarik pada bibir (Anonim, 1978). Lipstik
termasuk dalam kosmetik dekoratif. Pemakaian kosmetik dekoratiif lebih untuk
alasan psikologis daripada kesehatan kulit, sehingga peran zat warna dan pewangi
sangat besar dalam sediaan ini ( Tranggono & Latifah, 2007).
a. Persyaratan
Sediaan lipstik dikatakan baik, jika:
1) Tidak menyebabkan iritasi pada bibir, serta tidak berbahaya jika ditelan.
2) Memberikan warna yang menarik, merata, dan stabil.
3) Melapisi bibir dan memberikan permukaan yang halus.
9
4) Cukup melekat pada bibir tetapi tidak sampai lengket.
5) Melekat dalam jangka waktu lama, namaun dapat dihapus jika diinginkan.
6) Melembutkan bibir, tidak menyebabkan bibir kering, tetapi juga tidak
boleh terlalu berminyak.
7) Tidak memiliki rasa dan bau yang tidak enak.
8) Mudah diaplikasikan tanpa tekanan yang terlalu besar.
9) Tidak terlalu keras, terlalu rapuh, atau terlalu lembek.
10) Tidak berubah bentuk konsistensi selama penyimpanan pada suhu ruang.
11) Bebas dari cacat seperti goresan, kerutan, serta permukaan kasar karena
berkristal dan keluarnya minyak (Anonim, 1978; Mitsui, 1997; Jellinek,
1970).
b. Komposisi Lipstik
1) Zat warna
Warna yang ada pada lipstik biasanya merah, tetapi memungkinkan
antara kuning-jingga dan ungu-biru (Anonim, 1978). Menurut Harry
(1982), zat warna dapat memberi warna pada bibir melalui dua cara, yaitu:
a) Mewarnai kulit dengan berpenetrasi pada kulit bagian luar. Contohnya
solube dye seperti water soluble eosin.
b) Melapisi bibir dengan lapisan berwarna, sehingga dapat memberi
tampilan permukaan yang halus. Contoh: insoluble dye dan pigmen
(inorganic pigment, organic pigment, dan metallic lake).
10
2) Basis
Basis akan menentukan rheologi campuran pada pembuatan,
penyimpanan, dan penggunaan. Pada suhu pembuatan, basis harus dapat
mendispersikan zat warna secara merata selama pencampuran, penuangan,
dan pencetakan (Harry, 1982). Tidak ada basis tunggal yang memiliki sifat
yang diinginkan, sehingga perlu dikombinasikan dengan basis lain
(Lauffer, 1972). Jellinek (1970) membagi basis lipstik menjadi 3 kategori
sebagai berikut.
a) Lilin : Carnauba wax, beeswax, candelila wax, ozokerite
b) Lemak : Lanolin, setil alkohol, cocoa butter
c) Minyak : Minyak jarak, minyak paraffin, isopropil miristat
3) Surfaktan
Surfaktan diperlukan pada zat warna yang tidak larut untuk
meningkatkan pembasahan dan dispersi pigmen, tetapi penambahan
surfaktan juga dapat merubah konsistensi lipstik (Jellinek, 1970).
4) Antioksidan
Pada lipstik, lemak yang teroksidasi dapat menyebabkan munculnya
bau tengik. Maka diperlukan antioksidan supaya lipstik bisa awet untuk
penggunaan jangka panjang. Contoh antioksidan yang banyak digunakan
dalam lipstik antara lain butylated hydroxynisole, butylated
hydroxytoulene, dan propil galat (Lauffer, 1972). Yang perlu diperhatikan
adalah beberapa antioksidan dapat mempengaruhi rasa dan kompatibilitas
dengan kulit (Jellinek, 1970). Pada penelitian ini tidak ditambahkan
11
antioksidan, karena menurut Sari & Hardiyanti (2013) kulit buah naga
memiliki level antioksidan yang lebih tinggi dari buahnya, terutama pada
buah naga putih (Hylocereus undatus).
5) Parfum
Parfum harus dapat menutupi bau dan rasa yang tidak menyenangkan
dari basis, sebisa mungkin memberi bau dan rasa yang enak untuk
memberi nilai tambah pada lipstik. Parfum tidak boleh mengiritasi bibir,
harus stabil, dan harus dapat bercampur dengan komponen lain pada
lipstik. Jumlah parfum yang biasa digunakan antara 2-4% bobot total
lipstik. Parfum yang biasa digunakan pada lipstik adalah minyak esensial
mawar, lemon, cinnamon, atau jeruk (Anonim, 1978; Jellinek,1970).
c. Pembuatan lipstik meliputi proses (Lauffer, 1972; Harry, 1982) :
1) Color-grinding. Grinding dengan roller mill atau coloid mill membantu
proses pembasahan pigmen oleh minyak atau lanolin supaya pigmen dapat
terdispersi merata dan tidak menggumpal dalam basis.
2) Mixing. Proses pencampuran dilakukan pada saat massa lipstik berbentuk
cair setelah pelelehan untuk mempermudah homogenisasinya.
Pencampuran dilakukan pada tempat yang inert, seperti aluminium atau
stainless steel. Wadah dapat berupa steam-jacketed untuk menjaga massa
lipstik tidak mengeras saat pencampuran. Dalam proses mixing,
pengadukan terlalu cepat harus dihindari untuk mencegah masuknya udara
ke dalam campuran. Setelah massa tercampur, parfum ditambahkan dan
terakhir disaring dengan saringan kawat.
12
3) Molding atau pencetakan dilakukan selagi campuran masih panas karena
campuran yang panas memliki tekstur yang lebih cair, sehingga mudah
dituang dalam cetakan dan dapat memenuhi ruang cetakan dengan baik.
Jika hasil mixing sudah tidak terlalu panas, dapat dilakukan pemanasan
kembali. Sebelum dicetak, pastikan udara yang ada di dalam campuran
sudah naik ke permukaan dengan mengaduk massa secara berlahan.
Gelembung udara panas sangat dihindari dalam proses pencetakan karena
dapat menyebabkan permukaan lipstik berongga. Setelah massa dituang
dalam cetakan, dilakukan pendinginan sampai massa kira-kira dapat
diambil dari cetakan.
4) Flamming. Lipstik dilewatkan secara cepat pada nyala gas kecil guna
melelehkan permukaan sehingga bisa menghilangkan goresan atau lubang
dan menjadikan permukaan halus dan berkilau.
d. Monografi bahan
1) Malam karbauba / Carnauba wax, diperoleh dari daun Copernicia cerifera
Mart (Fam.Palmae). Pemerian: Serbuk agak kasar atau serpihan warna
coklat muda hingga kuning pucat; bau khas lemak, tidak tengik.
Kelarutan: Praktis tidak larut dalam air; sukar larut dalam etanol (95%) P
mendidih, larut dalam kloroform P hangat dan dalam toluen P; mudah
larut dalam benzen P hangat. Jarak lebur: 81°– 86 °C (Anonim, 1986).
Kegunaan: menaikkan titik leleh, mengeraskan lipstik, memberikan kilau
(Jellinek, 1970).
13
2) Malam putih / White beeswax / Cera Alba, ialah malam yang telah
diputihkan diperoleh dari sarang lebah Apis mellifera Linne, atau spesies
Apis lain. Pemerian: zat padat; lapisan tipis; bening; warna putih
kekuningan; bau khas lemak. Kelarutan: praktis tidak larut dalam air;
agak sukar larut dalam etanol (95%) P dingin; larut dalam kloroform P,
dalam eter P hangat, dalam minyak lemak dan dalam minyak atsiri. Jarak
lebur: 62-64°C (Anonim, 1986). Kegunaan: menstabilkan sistem
tiksotropi, menahan keluarnya minyak, memudahkan lipstik diambil dari
cerakan (Jellinek, 1970).
3) Minyak jarak/ Castor oil / Oleum Ricini, adalah minyak lemak yang
diperoleh dengan pemerasan biji Ricinus communis Linne (Fam.
Euphorbiaceae), yang telah dikupas. Pemerian: Cairan kental, jernih ;
hampir tidak berwarna atau kuning pucat, bau lemah, bebas dari bau asing
dan tengik; rasa tawar khas. Kelarutan: Larut dalam etanol (95%) P ;
dapat bercampur dengan etanol mutlak P ; dengan asam asetat glasial P,
dengan kloroform P dan dengan ester P (Anonim, 1986). Kegunaan:
untuk membuat lapisan lipstik tertinggal pada bibir, mencegah
pengendapan pigmen (Jellinek, 1970), memberi kilau, dan sebagai emolien
(Harry, 1982).
4) Lanolin / Hydrous Wool Fat / Adeps Lanae Hydrous, adalah zat seperti
lemak dari bulu domba Ovis aries L. (Fam. Bovidae) yang telah
dimurnikan. Pemerian: Massa seperti salep, warna putih kekuningan, bau
lemah khas. Kelarutan: Larut dalam benzena, kloroform, eter, dan
14
petroleum; sedikit larut dalam etanol dingin (95%), lebih larut dalam
etanol mendidih (95%); praktis tidak larut dalam air (Rowe et al., 2009).
Kegunaan: meningkatkan dispersi warna (Lauffer, 1972), sebagai
emolien (Jellinek, 1970), mencegah sweating dan cracking, serta
meningkatkan kilau (Harry, 1982).
5) Minyak mawar / Oleum rosae, adalah minyak atsiri yang diperoleh dengan
penyulingan uap bunga segar Rosa gallica Linne, Rosa damascena Miller,
Rosa alba Linne, Rosa centifolia Linne dan spesies lainnya (Fam.
Rosacae). Pemerian: Cairan tidak berwarna atau berwarna kuning; bau
dan rasa khas bunga mawar. Pada suhu 25°C berupa cairan kental. Jika
didinginkan perlahan berubah menjadi masa hablur tembus cahaya yang
mudah cair pada penghangatan. Kelarutan: satu mL dapat bercampur
dengan satu ml kloroform P, tanpa kekeruhan. Kegunaan: parfum
(Anonim, 1986).
6) Parafin padat / Paraffinum solidum, adalah campuran hidrokarbon padat
yang diperoleh dari minyak mineral. Pemerian: Padat, sering
menunjukkan struktur hablur; warna putih atau tidak berwarna ; tidak
berbau bila baru dipotong ; tidak berasa ; bila dipegang agak berlemak.
Kelarutan: Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%) P; Larut
dalam kloroform P dan dalam eter P. Suhu beku: 50°C - 57°C (Anonim,
1986). Kegunaan: untuk meningkatkan kilau (Lauffer, 1972).
7) Polisorbat 80 / Polysorbate 80, adalah campuran ester parsial oleat dari
sorbitol dan anhidrida sorbitol yang dikondensasi dengan 20 molekul
15
etilenoksida (C2H4O) untuk tiap molekul sorbitol dan mono- dan
anhidridanya. Pemerian: Cairan kental, jernih ; warna kuning; bau khas
asam lemak. Kelarutan: Dapat bercampur dengan air, dengan etanol
(95%) P, dengan etilasetat P, dan dengan metanol P; sukar larut dalam
minyak biji kapas dan dalam parafin cair P. Kegunaan: surfaktan
(Anonim, 1986).
8) Propilen glikol / 1,2-Propandiol. Rumus molekul: C3H8O2. Berat
molekul: 76,09. Kelarutan: Dapat bercampur dengan air, dengan aseton
P dan dengan kloroform P; larut dalam eter P dan dapat melarutkan
berbagai minyak atsiri; tidak dapat bercampur dengan minyak lemak.
Kegunaan: pelarut (Anonim, 1986).
9) Propilparaben / Propylis parabenum. Rumus molekul: C10H12O3.
Pemerian: Serbuk hablur, warna putih; tidak berbau; tidak berasa.
Kelarutan: Sangat sukar larut dalam air; mudah melarut dalam etanol
(95%) P dan dalam aseton P, sangat sukar larut dalam gloserol P; agak
sukar larut dalam minyak lemak; mudah larut dalam larutan alkali
hidroksida. Jarak lebur: 95°C -98°C. Kegunaan: pengawet (Anonim,
1986).
10) Setil alkohol / Cetyl alcohol, adalah campuran alkohol padat, terdiri
terutama dari setil alkohol. Rumus molekul: C16H34O. Pemerian:
Berbentuk sisik, butiran, kubus atau lempengan licin; warna putih; bau
khas lemah; rasa tawar. Kelarutan: Praktis tidak larut dalam air; larut
dalam etanol (95%) P; kelarutan bertambah dengan kenaikan suhu. Jarak
16
lebur: 45-50°C (Anonim, 1986). Kegunaan: sebagai emolien dan
meningkatkan dispersi pigmen (Jellinek, 1970).
11) Titanium dioksida / Titanium dioxide / TiO2. Rumus molekul: TiO2 .
Berat molekul: 79,88 g/mol. Pemerian: Kristal padat; tidak berwarna/
putih/ hitam, tidak berbau, tidak berasa. Kelarutan: tidak larut dalam air,
asam hidroklorida, asam nitrat, asam sulfat encer, air dingin, pelarut
organik; larut dalam asam sulfat pekat panas, asam hidrofluorat. Titik
leleh: 1855°C (Rowe et al., 2009).
4. Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan antara suatu komponen menggunakan
suatu pelarut sesuai dengan prosedur ekstraksi (Handa et al., 2008). Pada proses
ekstraksi, tanaman yang akan akan digunakan dalam ekstraksi, dikeringkan
terlebih dahulu agar memperpanjang masa penyimpanan (Doughari, 2012).
Menurut Ansel (1989; 2012), ada dua metode ekstraksi utama yang
digunakan untuk ekstraksi senyawa aktif dari bahan tumbuhan, yaitu:
a. Maserasi
Pada metode maserasi, bahan biasanya dihaluskan sebelum direndam
dalam pelarut hingga meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat
akan mudah larut. Ekstrak kemudian dipisahkan dari ampasnya. Maserasi
biasa dilakukan pada temperatur 15-20°C dalam waktu selama 3 hari sehingga
bahan benar-benar melarut.
17
b. Perkolasi
Perkolasi adalah proses dimana bahan yang sudah halus diekstraksi dalam
pelarut yang sesuai dengan cara dilewatkan pada kolom secara perlahan.
Aliran perlarut dalam kolom umumnya dari atas ke bawah. Dalam perkolator
yang khusus dan canggih, ada penambahan tekanan kolom dimana didesak
oleh tekanan udara yang ditiupkan melalui lubang masuk kemudian
dikeluarkan melalui lubang keluar.
5. Densitas warna
Densitas warna dihitung sebagai jumlah absorbansi sampel yang
diencerkan dengan aquades pada panjang gelombang maksimumnya dengan
absorbansi sampel pada panjang gelombang 420 nm, yakni panjang gelombang
dimana senyawa polimer antosianin-tanin dan pigmen melanoidin terbaca.
Pengukuran densitas warna ini dilakukan pada larutan sampel tanpa diberi
perlakuan pH, karena jika pH diturunkan dengan buffer, maka warna sampel akan
semakin pekat akibat penurunan pH, sebab antosianin dalam bentuk ion flavilium
akan semakin melimpah, sehingga tidak merepresentasikan warna sampel pada
kondisi sebenarnya (Giusti & Wrolstad, 2001).
Koreksi dalam setiap pembacaan absorbansi perlu dilakukan untuk
menghindari ikut terbacanya absorbansi pengotor dalam bentuk endapan, koloid,
butiran-butiran tak larut, ataupun larutan yang keruh dalam kuvet
spektrofotometri. Oleh karena itu dilakukan pembacaan absorbansi pada panjang
gelombang 700 nm di mana tidak ada sampel yang memiliki absorbansi
maksimum di panjang gelombang tersebut, sehingga absorbansi yang terbaca pada
18
panjang gelombang tersebut ditafsirkan sebagai pengotor (Giusti & Wrolstad,
2001).
6. Tabir surya
Sediaan kosmetik tabir surya terdapat dalam bermacam-macam bentuk
misalnya lotion untuk dioleskan pada kulit, krim, salep, gel atau spray yang
diaplikasikan pada kulit. Selain itu saat ini juga banyak sediaan tabir surya dalam
bentuk stick ( batangan) untuk digunakan di bibir, hidung, dan kelopak mata,
bahan tissue pelembab yang dapat digosokkan pada kulit (Anonim, 2009).
Menurut Pathak (1982), berdasar teknik penggunaannya dikenal dua
macam tabir surya, yaitu tabir surya sistemik dan topikal. Tabir surya sistemik
kurang populer karena sering menimbulkan reaksi alergi dan belum terbukti
mencegah dari sinar matahari. Beberapa bahan tabir surya uang digunakan secara
sistemik adalah beta karoten, vitamin C, vitamin E, asam salisilat dan psoralen
oral.
Berdasarkan mekanisme kerjanya tabir surya dibagi menjadi dua, yaitu
penghambatan fisik (physical blocker) seperti : TiO2, ZnO, kaolin, CaCO3, MgO,
dan penyerap kimia (chemical absorber) meliputi anti UV A misalnya turunan
oksibenzon, dibenzoilmetan, serta anti UV B yaitu turunan salisilat, turunan Para
Amino Benzoic Acid (PABA) misalnya oktil dimetil PABA, turunan sinamat
(sinoksat, etil heksil parametoksisinamat) dan sebagainya (Purwanti et al., 2005;
Shivani et al., 2010).
Tabir surya fisik bekerja dengan memantulkan/ menghamburkan radiasi
UV yang membentuk lapisan buram di permukaan kulit. Selain pembentukan
19
lapisan buram, tabir surya fisik juga menyebabkan rasa berminyak di permukaan
kulit, sehingga tabir surya fisik kurang bisa diterima oleh konsumen (Bondy et al.,
1991).
7. Sun Protecting Factor (SPF)
Efektivitas sediaan tabir surya didasarkan pada penentuan nilai SPF yang
menggambarkan kemampuan produk tabir surya dalam melindungi kulit dari
eritema (Stanfield, 2003). Nilai SPF dapat ditentukan secara in vitro dan secara in
vivo. Pengujian aktivitas serapan sinar UV secara in vitro dapat dilakukan dengan
teknik spektrosfotokopi UV yang diukur pada rentang panjang gelombang sinar
UV (200-400 nm). Pengukuran lain yang langsung diujikan pada sel biologis
adalah teknik analisis secara in vivo. Teknik ini dapat dilakukan dengan berbagai
macam cara dan salah satunya adalah dengan pengamaran eritema akibat terkena
paparan sinar UV dan dibandingkan dengan suatu kontrol. Eritema merupakan
salah satu tanda terjadinya proses inflamasi akibat pajanan sinar tersebut dan
terjadi apabila volume darah dalam pembuluh darah dermis menigkat hingga 38%
di atas volume normal (Tahrir et al., 2002).
Nilai SPF merupakan perbandingan Minimal Erythema Dose (MED) pada
kulit manusia yang terlindungi tabir surya dengan MED tanpa perlindungan tabir
surya (Harry, 1982; Levy, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Bauer et al.
(2004) memberikan hasil bahwa menggunakan tabir surya dengan SPF tinggi
memberikan perlindungan lebih lama terhadap cahaya matahari. Tabir surya
digunakan pada bagian tubuh yng tidak tertutupi seperti tangan, wajah.
20
8. Metode Simplex Lattice Design (SLD)
Permukaan respon dan daerah optimal untuk karakteristik formulasi sering
diperoleh melalui penerapan Simplex Lattice Design. Desain dari kelas ini sangat
tepat dalam prosedur optimasi formulasi di mana kuantitas total dari komposisi
berbeda yang kurang dari pertimbangan harus konstan. Implementasi simplex
design terdiri dari penyiapan bermacam-macam formulasi yang berisi kombinasi
komposisi variabel. Kombinasi tersebut dengan cara seperti data eksperimental
yang dapat digunakan untuk memprediksi respon dari ruang-ruang simplex
dengan cara yang sederhana dan efisien. (Bolton,1997)
E. Landasan Teori
Kulit buah naga merah (Hylocereus undatus) selama ini jarang
dimanfaatkan. Padahal kulit buah naga merah memiliki kandungan antosianin
yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pewarna alami (Sengkhamparn et al.,
2013). Berdasarkan penelitian Savitri (2010), ekstrak Hibiscus sabdariffa L.
(rosela) yang mengandung antosianin, memiliki homogenitas yang baik dan pH
yang memenuhi syarat. Pembuatan lipstik dari ekstrak rosela yang mengandung
antosianin sebelumnya juga telah dilakukan oleh Lestiana (2014) dimana lipstik
yang dihasilkan memiliki warna yang disukai serta sifat fisik yang baik. Menurut
Serpone (2007), titanium dioksida mampu memberikan nilai SPF yang tinggi
meskipun tanpa kombinasi dengan agen tabir surya lainnya. Selain itu,
penggunaan titanium dioksida sebagai agen tabir surya mampu bekerja pada
spektrum yang luas, sehingga mampu menyerap sinar UV A dan sinar UV B
(Hexsel et al., 2008). Pada penelitian Sari (2014), formula optimum kombinasi
21
carnauba wax dan beeswax pada lipstik etanolik mahkota bunga kembang sepatu
(Hibiscus rosa-sinensis L.) mampu menghasilkan sifat fisik yang paling optimum.
F. Hipotesis
1. Pada komposisi tertentu, ekstrak etanolik kulit buah naga merah dan titanium
dioksida mampu memberikan densitas warna dan nilai SPF yang baik pada
sediaan lipstik
2. Lipstik dengan formula optimum mampu memberikan sifat fisik yang baik.