Upload
vukhanh
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Ramayulis (2010: 17), Pendidikan dalam arti luas adalah segala
pengalaman belajar yang dilalui peserta didik dengan segala lingkungan dan
sepanjang hayat. Pada hakikatnya kehidupan mengandung unsur pendidikan
karena adanya interaksi dengan lingkungan, namun yang penting bagaimana
peserta didik menyesuaikan diri dan menempatkan diri dengan sebaik-baiknya
dalam berinteraksi dengan semua itu dan dengan siapapun. Pendidikan dalam
pengertian luas ini belum mempunyai sistem. Sebagai pendidik tentu saja
memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan warna Islām pada
lingkungannya.
Pendidikan dalam batasan yang sempit adalah proses pembelajaran yang
dilaksanakan di lembaga pendidikan formal (madrasaħ/sekolah). Dalam batasan
sempit ini pendidikan Islām muncul dalam bentuk system yang lengkap.
(Ramayulis, 2010: 17). Sedangkan pendidikan dalam arti luas terbatas adalah
segala usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, masyarakat, dan
pemerintah melalui kegiatan bimbingan pengajaran dan latihan yang
diselenggarakan di lembaga pendidikan formal (sekolah), non-formal
(masyarakat) dan in-formal (keluarga) dilaksanakan sepanjang hayat, dalam
rangka mempersiapkan peserta didik agar berperan dalam berbagai kehidupan.
Pendidikan dalam pengertian sempit sudah mempunyai sistem namun sistem
tersebut terutama di lembaga pendidikan non-formal dan in-formal tidak begitu
terikat secara ketat dengan peraturan yang berlaku (Ramayulis, 2010: 18).
Zuhairini (2008: 167) mengemukakan pendapatnya tentang pendidikan
bahwa: “Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek
kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup”. Ketika dirasakan pendidikan
pun sebagai kebutuhan yang penting tiada terbatas ukurannya, dan sasarannya dari
berbagai kalangan berhak mendapatkan pendidikan, dan harus menentukan tujuan
2
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
yang ingin dicapai bagi pelaku yang mendapatkan pendidikan dengan arahan atau
petunjuk untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan dasar kebutuhan pendidikan
ternyata masih luas cakupannya karena perkembangan zaman dengan berbagai
kebutuhan yang berbeda dan permasalahan-permasalahan yang membutuhkan
pemecahan masalahnya maka pendidikan pun dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan dan disesuaikan dengan potensi manusia itu sendiri.
Dan tidak semua pelaksana pendidikan dapat mengemban tugas dan fungsi
pendidikan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, diperlukan penataan ulang
konsep pendidikan yang ditawarkan sehingga lebih berperan bagi pengemban
manusia yang berkualitas, tanpa menghilangkan nilai-nilai fitrah manusia yang
dimiliki.Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islām, memerlukan
Pendidikan Islāmī sebagai kebutuhan membenahi kualitas hidup manusia itu agar
menjadi lebih baik. Sebagaimana Ramayulis (2010: 12) menyatakan bahwa:
“Dengan pendidikan Islām manusia sebagai khalīfaħ tidak akan berbuat
sesuatu yang mencerminkan kemungkaran kepada Allāh, dan bahkan ia
berusaha agar segala aktifitasnya sebagai khalīfaħ harus dilaksanakan
dalam rangka „ubūdiyaħ kepada Allāh SWT”.
Pendidikan Islām berperan sebagai mediator dalam memasyarakatkan
ajaran Islām kepada masyarakat dalam berbagai tingkatannya. Melalui pendidikan
inilah, masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran Islām sesuai dengan ketentuan Al-Qur´ān dan Sunnaħ. Sehubungan dengan
itu tingkat kedalaman pemahaman, penghayatan dan pengalaman masyarakat
terhadap ajaran Islām amat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islām
yang diterimanya. Pendidikan Islām tersebut berkembang setahap demi setahap
hingga mencapai tingkat seperti sekarang ini.
Berangkat dari konsep pendidikan Islām sekarang ini pendidikan Islām
masuk dalam kurikulum sekolah yang dinamakan dengan mata pelajaran
Pendidikan Agama Islām (PAI). Menurut Syahidin (2009:1) bahwa “Mata
pelajaran PAI merupakan mata pelajaran wajib di sekolah umum sejak TK sampai
3
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Perguruan tinggi, kurikulum PAI dirancang secara khusus sesuai dengan situasi
kondisi dan penjenjangan pendidikan Islām secara utuh”.
Dewasa ini, kecenderungan akan terjadinya apa yang dinamai sebagai
kemunduran akhlak makin kental pada keseharian generasi muda. Zaman dulu,
terutama di pesantren-pesantren, jangankan lewati kiai secara langsung, pintu
rumah kiai yang tertutup rapat pun, begitu kita lewat di pekarangan rumahnya
tetap ada tatakramanya, kita berjalan sambil badan sedikit menunduk. Sekarang
ini, ada orang bertamu ke rumah kiai, lalu diminta untuk menunggu setengah jam
saja sudah menggerutu dengan mengatakan tidak menghargai tamu.
Akhlāq adalah buah dari keimanan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa
yang perlu diselidiki terlebih dahulu adalah mengenai bagaimana seharusnya
pendidikan di keluarga, pendidikan formal di sekolah, dan di masyarakat itu dapat
secara langsung membuahkan akhlāq yang karīmaħ. Dan yang pertamakali
disorot adalah tentang apa yang menjadi tujuan dari pendidikan sebagai salah satu
komponen di antara sekian banyak komponen dalam pendidikan (Gymnastiar,
2004: 37).
Saat ini, memang tidak setiap keluarga terkena pengaruh buruk narkoba,
namun banyak sekali keluarga yang terkena oleh gejala dari apa yang namanya
tark al-ṣalāħ (meninggalkan salat). Ayah sibuk bekerja mencari nafkah untuk
keluarga. Hampir sebagian besar dari waktunya dihabiskan di tempat kerja.
Memang, dari segi finansial kebutuhan keluarga terpenuhi, namun akibat lainnya
tidak jarang rumah tangga menjadi sepi. Ibu pun demikian, di perkotaan di mana
akses pendidikan menjadi lebih mudah, ada banyak sekali kaum perempuan yang
lulusan sarjana. Kaum Ibu yang berpendidikan ini, merasa sayang jika menjadi
satu di antara golongan pengangguran dari kalangan terdidik. Mereka tidak dapat
membayangkan bagaimana jadinya jika tidak berkesempatan untuk
mengaktualisasikan kemampuan yang mereka peroleh di Perguruan Tinggi dan
hanya menghabiskan kesehariannya dengan tugas-tugas rumah tangga. Yang
pertamakali dirugikan dari keluarnya seorang Ibu untuk bekerja adalah anak
(Gymnastiar, 2004: 37).
4
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Implikasi dari kehidupan finansial yang memadai adalah, anak menjadi
tidak terbiasa untuk minta kepada Allāh. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang
manja, yang ingin apapun tinggal minta kepada orangtua. Misalnya, anak ingin
membeli hand phone baru, Ibunya menunjukkan bahwa uangnya ada di lemari.
Anak menginginkan sepatu baru, ayahnya pun menunjukkan bahwa uangnya ada
di lemari. Satu kali, dua kali, anak masih minta izin mau ambil uang, kali ketiga,
keempat, bablas saja mengambil tanpa pamitan dulu. Dalam bukunya Sakinah:
Manajemen Qalbu untuk Keluarga, K.H. Abdullah Gymanstiar memberikan
sebuah jawab: “Rumah kita harus Allāh oriented.” (Gymnastiar, 2004: 38).
Kalau prinsip ini sudah dijalankan secara penuh, sudah bagus sekali,
karena bukan main, prinsip yang pertama ini adalah tentang tauhīd. Suami akan
melihat anak sebagai titipan Allāh. Suami akan mensyukuri kehadiran anak
sebagai anugerah yang luar biasa besarnya dari Allāh. Ada banyak yang menikah
setahun, dua tahun lamanya namun belum Allāh percayai untuk diberi titipan-Nya.
Kalau rasa syukur ini yang menjadi pijakan, maka seorang suami tidak akan
berleha-leha dalam bekerja untuk menafkahi keluarga di samping dia juga akan
berhati-hati tentang darimana datangnya nafkah itu berasal (Gymnastiar, 2004:
38).
Penulis ingin mengutip peran seorang suami, tentang bagaimana idealnya
menjadi seorang istri, serta kewajiban kita sebagai seorang anak secara lebih
lengkap masih dari buku yang sama:
1. Suami sebagai pemimpin dalam keluarga
Kita mulai dengan firman Allāh dalam Surat An-Nisā ayat ke 34:
هللا
5
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allāh telah
melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lainnya (wanita),
dan karena mereka telah membelanjakan sebagian dari harta mereka....”1.
Seperti halnya dalam logika, peran sesuatu menjadi lebih spesifik karena
kehadiran sesuatu yang lain. Demikian pula “suami dinamai pemimpin karena ada
yang dipimpin. Artinya, jangan merasa lebih dari yang dipimpin.” (Gymnastiar,
2004: 44-46).
Alangkah lebih baiknya jika di dalam niatnya, jika di dalam buah
fikirannya seorang suami kerap memikirkan, “saya harus mampu memimpin
rumah tangga mengarungi episode hidup di dunia yang hanya sebentar ini, agar
seluruh awak kapal dan penumpang bisa selamat sampai kepada tujuan akhir
dalam naungan riḍā Allāh.” (Gymnastiar, 2004: 47).
Dalam Surat Tahrīm ayat 6 Allāh berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...”
Jelas dalam ayat di atas bahwa tanggung jawab terberat untuk
menyelamatkan rumah tangga dari api neraka dibebankan di pundak suami. Dan
dengan ayat di atas nampaknya penulis telah menemukan penutup yang baik
untuk pembahasan tentang peran seorang suami sebagai pemimpin keluarga.
2. Istri salehah
1Seluruh teks dan terjemah Al-Qur`ān dalam skripsi ini dikutip dari Ms.Word menu Add-Ins Al-Qur`ān
disesuaikan dengan al-Ḥikmaħ, Al-Qur`ān dan Terjemahnya. Penerjemah Departemen Agama RI.
Lajnah Pentahsih mushaf Al-Qur`ān penerbit : Diponegoro. Bandung, 2009.
6
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Rasūlullāh Saw. bersabda: “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik
perhiasan adalah wanita salehah.” (HR. Muslim). “Memang sungguh sangat
beruntung kehidupan dunia ini bagi istri salehah. Sebab dia akan menjadi cahaya
bagi keluarganya dan berperan dalam melahirkan generasi dambaan. Satu saat
ketika ia wafat, Allāh akan menjadikannya bidadari Surga” (Gymnastiar, 2004:
50). Jika ada pertanyaan kapan sebenarnya pendidikan anak dimulai? Pendidikan
dimulai saat seorang laki-laki memilih pasangan hidupnya. Apakah cikal bakal
anak tersebut di dalam rahim wanita salehah atau wanita biasa.
Menurut Gymnastiar (2004: 50), seorang wanita salehah di Timur tengah
diberitakan mengunci diri dan kandungannya di dalam kamar selama 24 jam dan
membaca Qur´ān terus- menerus. Dari kerja keras itu kemudian lahirlah seorang
doktor Qur´ān cilik yang terkenal itu. Seandainya wanita salehah ini menuntut
ilmu sampai perguruan tinggi, bekerja di sebuah perusahaan bonafid, memperoleh
bayaran tinggi dan kemudian menikah dengan laki-laki yang penghasilannya
biasa-biasa saja, wanita ini tidak akan menjadikan suaminya merasa kerdil
melainkan menjadi sosok Siti Khadījaħ yang kaya raya, yang memberikan
hartanya yang banyak itu itu untuk mendukung dakwah Rasūlullāh Saw.
3. Memuliakan orangtua
“Ketika telah berumah tangga, saat berbagai macam persoalan dan desakan
hidup mulai menerpa, terkadang kita mungkin agak melupakan orangtua.”
(Gymnastiar, 2004: 53). Sekarang ini ada banyak anak yang kemudian tumbuh
menjadi orang besar yang dulunya duduk di pangkuan Ibu yang miskin. Gaji dia
setiap bulan hampir seluruhnya dia berikan ke istri. Tidak sedikitpun yang dia
sisihkan untuk orangtuanya dan untuk mertuanya.
“Lebih parah lagi, ada sebagian anak yang tidak mau memuliakan
orangtuanya. Manakala orangtua sudah semakin jompo dan si anak tidak
mau mengurusnya, dititipkannyalah orangtuanya itu ke panti jompo,
astagfirullāh, ini adalah perbuatan yang sangat tercela.” (Gymnastiar,
2004: 56).
Allāh berfirman dalam Sūraħ al-Isrā‟ ayat 23:
7
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
“dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
santun.”
Namun demikian, tentu ada lembaga pendidikan lain, yakni pendidikan
formal. Dalam pendidikan formal ada suatu istilah yang sering digunakan oleh
para pakar pendidikan untuk menyebut bagian-bagian dalam keseluruhan aktifitas
pendidikan yaitu istilah komponen pendidikan. Namun para pakar tersebut tidak
bersepakat dalam menyebut jumlah komponen yang dimaksud. Di antara
komponen penting dalam pendidikan adalah tujuan pendidikan. Berkenaan
dengan rumusan tujuan pendidikan Islām, Djawad Dahlan (Syahidin, 2009: 10)
berpendapat bahwa dalam ajaran Islām terdapat dua konsep yang diajarkan oleh
Rasulullāh Saw. yang maknanya memiliki kaitan erat dengan tujuan pendidikan
Islām; yaitu konsep Imān dan taqwā. Untuk itu, dapat dipahami bahwa
pendidikan dalam Islām bertujuan untuk mencapai derajat Imān dan taqwā.
Abdurrahman Saleh (Syahidin, 2009: 10) menyebutkan bahwa Al-Qur´ān
dan As-Sunnaħ mengisyaratkan tujuan umum pendidikan Islām itu bersifat
absolut. Finalitas kenabian Muhammad Saw., menyatakan finalitas yang
diajarkannya kepada manusia yaitu kebahagiaan dunia akhirat. Abdurrahman
Saleh berpendapat bahwa karakteristik tujuan umum pendidikan Islām adalah
8
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
diarahkan pada hal-hal yang berhubungan dengan persiapan-persiapan untuk
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dengan mengutip pendapat Jamal Shaliba (Syahidin, 2009: 10),
Abdurahman menegaskan bahwa tujuan praktis pendidikan Islām adalah
mengejawantahkan realisasi kebahagiaan hidup di dunia saat ini dan kebahagiaan
saat mendatang yang sering diterjemahkan dengan tingkah laku lahir. Islām
mendidik bahwa kebaikan yang dilakukan di dunia itu pahalanya tersalur kepada
kehidupan individu kelak di akhirat. Jadi, jarak antara dunia dengan akhirat
tidaklah sejauh itu.
Seorang ulama yang baru-baru ini menjadi warga Indonesia yang bernama
Syekh Muhammad „Ali Jaber mengumpamakan kehidupan di dunia dengan
kehidupan di akhirat itu jaraknya seperti rentang antara ażān dan ṣalāt, “ketika
lahir, kita diadzani, ketika meninggal kita disholati. Dan jarak antara adzan
dengan shalat itu sebentar.” Jadi sebentar saja kehidupan di dunia itu, sementara
yang menjadi tujuan dari pendidikan adalah terutama untuk bekal kehidupan kekal
di akhirat. Dengan demikian,orang yang beriman kepada Allāh, akan selalu
berikhtiar keras merefleksikan keimānannya di dalam tingkah laku lahiriah selama
hidupnya di dunia (Syahidin, 2009: 10).
Sayyed Naquid Alattas (Syahidin, 2009: 11) merumuskan tujuan
pendidikan Islām adalah menghasilkan manusia yang baik. Yang dimaksud
manusia yang baik dalam konteks pendidikan Islām adalah manusia yang beradab,
yakni manusia yang dapat menampilkan keutuhan antara jiwa dan raga dalam
kehidupannya, sehingga ia selalu tampil berkualitas dan beradab. Selanjutnya
Alattas (Syahidin, 2009: 11) memperjelas bahwa manusia yang baik, bukan warga
negara yang baik sebagaimana dalam rumusan di negara Barat; makna konsep
baik dalam definisi manusia yang baik; adalah konsep universalitas Islāmi yang
mencerminkan manusia universal atau Insān Kāmil.
Menurut Abdurrahman An Nahlawi (1995: 34):
Pendidikan Islām merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku,
pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia ini, serta
9
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih
tujuan kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya.
Seluruh ide tersebut telah tergambar secara integratif (utuh) dalam sebuah
konsep dasar yang kokoh. Islām pun telah menawarkan konsep „aqīdaħ yang
wajib diimāni agar dalam diri manusia tertanam perasaan yang mendorongnya
pada perilaku normatif yang mengacu pada syariat Islām. Perilaku yang dimaksud
adalah penghambaan manusia berdasarkan pemahaman atas tujuan penciptaan
manusia itu sendiri, baik dilakukan secara individual maupun kolektif
(Abdurrahman An Nahlawi, 1995: 34).
Aspek keimanan dan keyakinan menjadi landasan yang mengakar dan
integral, serta menjadi motivator yang menggugah manusia untuk berpandangan
ke depan, optimistis, sungguh-sungguh dan berkesadaran. Aspek syariat telah
menyumbangkan berbagai kaidah dan norma yang dapat mengatur perilaku dan
hubungan manusia. Aspek penghambaan merupakan perilaku seorang manusia
yang berupaya mewujudkan seluruh gambaran, sasaran, norma, dan perintah
syariat tersebut. Pendidikan merupakan sarana pengembangan kepribadian
manusia agar seluruh aspek di atas menjelma dalam sebuah harmoni dan saling
menyempurnakan (Abdurrahman An Nahlawi, 1995: 34).
Menurut Al-Syaibany (Syahidin, 2009: 12), Konferensi Islām Dunia I
tentang pendidikan Islām yang diadakan di Makkaħ pada tahun 1977
merekomendasikan bahwa” ....tujuan hakiki pendidikan adalah kesempurnaan
akhlāq”. Sebab itu ruh pendidikan Islām adalah pendidikan akhlāq. Rumusan
tujuan pendidikan, baik itu menurut Al Gazali maupun para ulama kontemporer,
nampaknya masih sangat umum. Untuk mengaplikasikannya ke dalam sistem
pendidikan formal, rumusan di atas perlu dijabarkan dalam rumusan tujuan
kurikuler.
Dari berbagai rumusan tujuan pendidikan Islām yang ideal, absolut, dan
final, Al-Syaibany (Syahidin, 2009:13) mencoba menjabarkan dan
mengklasifikasikannya ke dalam bentuk yang lebih praktis sebagai berikut:
10
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
“Tujuan pendidikan adalah suatu perubahan yang diingini, diusahakan
melalui upaya pendidikan, baik pada tingkah laku individu untuk
kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan pada alam
sekitarnya, di mana individu itu hidup atau pada proses pendidikan dan
pengajaran itu sendiri sebagai suatu aktivitas asasi dan juga sebagai profesi
di antara profesi-profesi asasi yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat.
Kemudian Al-Syaibani (Syahidin, 2009:13) mengklasifikasikannya ke
dalam tiga tujuan asasi yaitu:
a) Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan peningkatan
kemampuan individu-individu yang semestinya dimiliki dalam mencapai
kebahagiaan individual di dunia dan akhirat.
b) Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai
keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan juga dengan
apa-apa yang berkaitan dengan kehidupan ini dan terutama tentang
perubahan yang diingini, dan pertumbuhan yang dikehendaki.
c) Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran
sebagai suatu aktivitas diantara aktivitas-aktivitas masyarakat.
Merujuk pada berbagai rumusan tujuan pendidikan Islām di atas, dapat
ditafsirkan bahwa tujuan ideal pendidikan Islām adalah mencapai derajat Insān
Kamīl atau manusia yang bertaqwa. Tujuan ideal tersebut dijabarkan dan
diklasifikasikan ke dalam tujuan individual, sosial dan profesional. Dari uraian di
atas dapat disimak bahwa tujuan pendidikan Islām bersifat final, ideal dan tidak
akan pernah berubah, yang mana pada intinya adalah Insān Kāmil (Syahidin,
2009:13).
Menurut Ahmad Farid (2008: 20), ruh pendidikan Islām adalah pendidikan
akhlāq. Sasarannya adalah aspek fisik, akal dan jiwa yang berkembang secara
terpadu. Tujuan akhir dari pendidikan Islām yang ideal sudah dapat dipastikan
tidak akan tercapai bila diupayakan hanya di lembaga-lembaga pendidikan formal
akan kurang sekali. Upaya pendidikan mesti dilakukan juga oleh lembaga
keluarga, lembaga sekolah dan lembaga masyarakat secara integral. Dari rumusan
tujuan akhir pendidikan Islām, tujuan pendidikan hanya akan tercapai dengan baik
bila ketiga lembaga di atas dapat bekerjasama secara harmonis dalam suatu
landasan, visi, dan misi yang sama.
11
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Islām secara teologis merupakan rahmat bagi manusia dan alam semesta.
Letak kerahmatannya ada pada kesempurnaan Islām itu sendiri. Islām mempunyai
nilai-nilai universal yang mengatur semua aspek kehidupan manusia; mulai dari
persoalan yang mikro sampai persoalan yang makro, dari persoalan individu
hingga persoalan masyarakat, bangsa dan negara dimana ajaran yang satu dengan
yang lainnya mempunyai hubungan yang sinergis dan integral. Antarbagian di
dalam ajaran Islām yang ada merupakan suatu sistem, yakni hubungan yang
terdiri dari beberapa bagian ajaran yang satu sama lain saling berkaitan dan tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yang selanjutnya membentuk
bangunan yang utuh yang dinamai Islām (Ahmad Farid, 2008: 21).
Kehadiran agama Islām yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., diyakini
oleh umat muslim sebagai ajaran yang dapat menjamin bagi terujudnya kehidupan
manusia yang sejahtera lahir dan batin, dunia dan akhirat. Di dalamnya terdapat
berbagai petunjuk normatif tentang bagaimāna seharusnya manusia menyikapi
hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Membicarakan dasar-dasar ajaran Islām, pada hakikatnya adalah membicarakan
kerangka umum dari ajaran Islām. Jika Islām diibaratkan sebagai sebuah
bangunan, dengan melihat dasar-dasar ajaran saja, orang Islām sudah mengetahui
bagaimana bentuk bangunan Islām seutuhnya. Sebagaimana layaknya bangunan
rumah yang utuh, maka padanya terdapat fondasinya, berdiri tembok-temboknya,
ada pintu dan jendela serta jelas terlihat atapnya (Zuhairini, 2008: 52).
„Aqīdaħ diletakkan pertamakali sebagai fondasi rumah tersebut karena
memang kedudukannya yang sangat penting dalam ajaran Islām. Seluruh dasar-
dasar atau pokok-pokok ajaran Islām adalah penting dan tidak bisa dipisahkan
antara satu dengan yang lainnya. Seandainya Islām diumpamakan pohon, maka
„aqīdaħ adalah akarnya, dan pohon tanpa akar tentu akan tumbang (Sayyid Sabiq,
2006: 95).
Menurut Syahidin (2009: 5) Pelaksanaan Pendidikan Agama Islām di
sekolah dewasa ini dihadapkan kepada dua tantangan besar, baik secara eksternal
maupun internal. Sementara tantangan eksternal lebih merupakan perubahan-
12
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat karena kemajuan Iptek yang
begitu cepat. Di zaman modern seperti sekarang ini yang sering disebut sebagai
era globalisasi, pergaulan hidup antara bangsa yang satu dengan bangsa yang
lainnya semakin terbuka seolah-olah sudah tidak ada lagi batas wilayah. Sekitar
satu setengah tahun lagi, kita akan dapat menemui makanan Filipina di
lingkungan kita seperti halnya orang Myanmar akan mampu untuk menikmati
masakan Padang di negara mereka sendiri karena perdagangan bebas di kawasan
ASEAN.
Dalam situasi seperti ini, di mana pertukaran informasi, budaya, pola
hidup antara bangsa terjadi secara alamiah dan tidak dapat dielakan lagi.
Pertukaran pola kehidupan tersebut berdampak pada perubahan dalam berbagai
segi kehidupan bangsa Indonesia sehingga persoalan yang dihadapi masyarakat
dirasakan semakin kompleks. Berbagai perubahan itu secara cepat atau lambat
akan ikut serta mendorong terjadinya pergeseran nilai dalam kehidupan
masyarakat (Syahidin, 2009: 5).
Menurut Arif Rahman (Syahidin, 2009: 5) ada lima bentuk pergeseran
nilai sebagai akibat dari kemajuan Iptek yang tidak terkendali, yaitu:
a) Ditinggalkannya era berfikir mistik menuju pada cara berfikir analistis
logis dengan peralatan modern yang canggih, b) Pendidikan (pengajaran)
dianggap lebih penting daripada pengalaman dan prestasi akademis sangat
dihormati, c) Kompetisi akan menjadi ciri khas dalam era teknologi
modern, d) Etos kerja tidak asal selesai mengerjakan tugas, dan e) Agama
tidak lagi dijadikan pegangan hidup yang bersifat rutin dan dogmatis.
Kepentingan „aqīdaħ kurang diambil perhatian oleh sebagian umat
Islāmmasa kini. Mereka lebih bimbang akan nasib anak bangsa dan anak cucu
mereka kelak akan menjadi miskin harta dan tanah setelah mereka tiada nanti.
Tetapi apakah banyak dari kalangan umat Islām yang mengkhawatirkan nasib
anak cucu mereka jika mereka miskin īmān dan jiwa? Kita yang berada di akhir
zaman ini, sepatutnya lebih bimbang lagi akan keutuhan „aqīdaħ anak-anak kita.
Kita patut menyadari akan betapa pentingnya peran „aqīdaħ dalam menentukan
nasib bangsa ini (Ahmad Farid, 2008: 22).
13
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Sebagai umat Islām yang menginginkan kesejahteraan hidup di dunia dan
keselamatan di akhirat, kita hendaklah menjadi masyarakat Islām yang
memelihara dan menegakkan „aqīdaħ dan syariat Islām. Memelihara dan
memperkokoh„aqīdaħ ini pun hendaklah dibina di atas dasar īmān yang kukuh,
yang diperkuat dengan ilmu dan amal saleh serta dipelihara dari dicemari oleh
berbagai gejala penyelewengan dan kesesatan. Seorang muslim yang memiliki
„aqīdaħ yang kuat akan menampakkan hidupnya sebagai amal saleh. Jadi amal
saleh merupakan fenomena yang tampak sebagai pancaran dari„aqīdaħ (Ahmad
Farid, 2008: 22).
Dengan melihat segala permasalahan itulah, akhirnya penulis ingin
menganalisis dan memberikan judul skripsinya “Model Pendidikan „Aqīdaħ di
kelas Vll Madrasah Tsanawiyah, Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah,
Bandung”.
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas dapat dirumuskan
permasalahan pokok sebagai berikut:
“Bagaimanakah Model Pendidikan „Aqīdaħ di kelas Vll Madrasah Tsanawiyah,
Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah, Bandung ? “.
Dari masalah pokok tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa sub
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tujuan pendidikan „aqīdaħ yang ingin dicapai di kelas 7
Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah,
Bandung ?
2. Bagaimanakah program pendidikan „aqīdaħ yang dirancang di kelas 7
Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah,
Bandung ?
3. Bagaimanakah substansi materi pendidikan „aqīdaħ yang dilaksanakan di kelas
7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah,
Bandung ?
14
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4. Bagaimanakah proses pendidikan „aqīdaħ yang dilaksanakan di kelas 7
Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah,
Bandung ?
5. Bagaimanakah bentuk evaluasi pendidikan „aqīdaħ di kelas 7 Madrasah
Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan
pokok penelitian ini adalah memperoleh data tentang Model Pendidikan Aqīdaħ di
kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah,
Bandung .
Sedangkan secara khusus, tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini
yaitu:
1. Untuk mengetahui tujuan pendidikan „aqīdaħ yang ingin dicapai di kelas 7
Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah,
Bandung.
2. Untuk mengetahui program pendidikan „aqīdaħ yang dirancang di kelas 7
Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah,
Bandung.
3. Untuk mengetahui substansi materi pendidikan„aqīdaħ yang dilaksanakan di
kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah,
Bandung.
4. Untuk mengetahui proses pendidikan „aqīdaħ yang dilaksanakan di kelas 7
Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah,
Bandung.
5. Untuk mengetahui bentuk evaluasi pendidikan „aqīdaħ di kelas 7 Madrasah
Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoretis
15
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan model pendidikan
„aqīdaħ sebagai solusi dari model pendidikan yang dilaksanakan lembaga
pendidikan formal. Maka dari itu model pendidikan „aqīdaħ ini diharapkan dapat
memberikan pengembangan dalam pengajaran pendidikan „aqīdaħ.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pihak yang terkait.
Manfaat tersebut di antaranya:
a) Bagi peserta didik, khususnya bagi pelajar agar menanamkan nilai-nilai aqīdaħ
dalam kehidupan sehari-hari.
b) Bagi guru IPAI, diharapkan model dalam pencapaian pendidikan „aqīdaħ ini
menjadi suatu pedoman dalam mengajarkan „aqīdaħ kepada peserta didik.
c) Bagi kepala sekolah, penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan contoh
dalam menerapkan „aqīdaħ yang kokoh bagi sekolahnya yang berbasis agama.
d) Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan mampu menanamkan keimanan
kepada anak-anaknya.
E. Struktur Organisasi Skripsi
Dalam penulisan skripsi ini sistematika penulisannya sebagai berikut :
BAB I: Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II: Kajian teoretis tentang „aqīdaħ. Pada bab ini diuraikan data-data yang
berkaitan dengan fokus penelitian serta teori-teori yang mendukung pendekatan
pendidikan „aqīdaħ, serta mengenai hasil penelitian yang relevan.
BAB III: Metode penelitian. Pada bab ini penulis menjelaskan metode penelitian,
pendekatan, definisi operasional, lokasi dan subjek/ sampel penelitian, instrumen
penelitian, teknik pengumpulan data, desain penelitian, analisis dan pengolahan
data.
16
Ema Rahmawati, 2014 Model Pendidikan ‘Aqīdaħ di Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB IV: Hasil penelitian dan pembahasan. Dalam bab ini penulis akan
memaparkan hasil penelitian pengolahan data serta membahas temuan-temuan
penelitian disertai dengan analisisnya
BAB V: Kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penulis berusaha mencoba
memberikan kesimpulan dan saran, serta menyertakan lampiran yang
berhubungan dengan skripsi ini.