35
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan penurunan fungsi ginjal secara progresif yang terjadi selama beberapa bulan hingga beberapa tahun (Wells dkk., 2009). Pada GGK terjadi kerusakan di kedua ginjal, kerusakan ini terjadi karena banyak penyebab dan biasanya bersifat irreversible (NHS, 2008). Gagal ginjal kronik diderita sekitar 26 juta orang dewasa di Amerika Serikat dan jutaan orang lainnya beresiko terkena penyakit ini (Lankhorst dan Wish, 2010). Hasil survey yang dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) didapatkan bahwa 12,5% populasi Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal, demikian pula dengan penyakit gagal ginjal terminal yang jumlahnya juga meningkat dari tahun ke tahun. Anemia merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penyakit gagal ginjal kronik (GGK). Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien dengan GGK adalah defisiensi eritropoietin, faktor lain yang mempengaruhi diantaranya berkurangnya masa hidup sel darah merah, kehilangan darah, dan kekurangan zat besi (Wells dkk., 2009). Insidensi anemia meningkat seiring dengan naiknya stadium GGK. Studi populasi yang dilakukan National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menyebutkan bahwa insidensi anemia pada GGK stadium 1 dan 2 kurang dari 10%, pada stadium 3 meningkat menjadi 20-40%, 50-60% pada 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64421/potongan/S1-2013... · 1) Sistem kardiovaskular dan paru-paru Tanda-tanda klinik yang muncul seperti

  • Upload
    doxuyen

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan penurunan fungsi ginjal secara

progresif yang terjadi selama beberapa bulan hingga beberapa tahun (Wells dkk.,

2009). Pada GGK terjadi kerusakan di kedua ginjal, kerusakan ini terjadi karena

banyak penyebab dan biasanya bersifat irreversible (NHS, 2008). Gagal ginjal

kronik diderita sekitar 26 juta orang dewasa di Amerika Serikat dan jutaan orang

lainnya beresiko terkena penyakit ini (Lankhorst dan Wish, 2010). Hasil survey

yang dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) didapatkan

bahwa 12,5% populasi Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal, demikian

pula dengan penyakit gagal ginjal terminal yang jumlahnya juga meningkat dari

tahun ke tahun.

Anemia merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada

penyakit gagal ginjal kronik (GGK). Penyebab utama terjadinya anemia pada

pasien dengan GGK adalah defisiensi eritropoietin, faktor lain yang

mempengaruhi diantaranya berkurangnya masa hidup sel darah merah, kehilangan

darah, dan kekurangan zat besi (Wells dkk., 2009).

Insidensi anemia meningkat seiring dengan naiknya stadium GGK. Studi

populasi yang dilakukan National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) menyebutkan bahwa insidensi anemia pada GGK stadium 1 dan 2

kurang dari 10%, pada stadium 3 meningkat menjadi 20-40%, 50-60% pada

1

2

stadium 4, dan menjadi lebih dari 70% pada stadium 5 (Lankhorst dan Wish,

2010).

Penanganan anemia yang tepat penting dilakukan karena selain

menyebabkan berbagai gejala seperti letargi, muscle fatigue, intoleransi dingin,

dan kesulitan bernapas, anemia juga erat kaitannya dengan tingginya prevalensi

penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular meningkatkan morbiditas dan

mortalitas dimana penyakit kardiovaskular dilaporkan menyebabkan lebih dari

50% kematian pada pasien GGK (Macdougall, 2011). Penanganan anemia yang

tepat juga akan mengurangi progresifitas GGK (Hudson, 2008).

Anemia pada GGK hendaknya diatasi berdasarkan penyebabnya. Anemia

pada GGK terjadi akibat penurunan eritropoetin. Terapi anemia GGK dengan

pemberian recombinant human eritropoietin (epoetin) menghasilkan outcome

yang bagus, namun harga epoetin yang masih relatif mahal menjadi kendala

tersendiri sehingga banyak dipilih alternatif terapi dengan transfusi darah.

Walaupun tranfusi darah mempunyai kelemahan karena adanya kemungkinan

terjadinya reaksi akibat tranfusi, rentan penularan hepatitis B dan C, serta

berpotensi terjadi medical error, namun penggunaannya sangat efektif dalam

menaikkan kadar Hb (Pranawa, 1993; Hudson, 2008; Projosudjadi dan Lydia,

2001).

Biaya penanganan GGK cukup tinggi terutama pada GGK terminal,

dimana biaya langsung penyakit ini menghabiskan 2% dari anggaran sistem

pelayanan kesehatan (Novoa dkk.,2010). Apalagi tidak bisa dielakkan, dari tahun

ke tahun biaya pelayanan medis dan pelayanan kefarmasian semakin meningkat.

3

Disinilah peran farmasis sangat dibutuhkan, farmasis harus menjadi pemain kunci

dalam menjamin terapi obat dan pelayanan farmasi agar tidak hanya aman dan

efektif namun juga mempunyai nilai yang nyata dari sisi ekonomi dan humanistic

(Bootman dkk., 2005).

Berdasarkan pertimbangan diatas, peneliti merasa perlu untuk melakukan

suatu penelitian guna mengetahui total biaya terapi dan outcome terapi pada

penggunaan tranfusi darah pasien anemia pada gagal ginjal kronik. Selain itu,

perlu diketahui komponen dan besarnya setiap komponen biaya terapi yang

digunakan untuk pengobatan anemia pada GGK serta faktor yang mempengaruhi

total biaya terapi.

Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito. RSUP Dr. Sardjito dipilih

sebagai tempat penelitian karena menjadi RS rujukan terpercaya di D.I.

Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan. Selain itu, RSUP Dr. Sardjito

memiliki kualitas pelayanan kesehatan yang professional, cepat, nyaman dan

bermutu.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, berikut

perumusan masalah yang akan diteliti:

1. Bagaimana gambaran terapi anemia dengan terapi transfusi darah pada gagal

ginjal kronik?

2. Berapa besar total biaya terapi yang dibutuhkan untuk terapi dengan transfusi

darah, komponen biaya manakah yang memiliki kontribusi besar dalam

4

pembiayaan, serta faktor apa yang mempengaruhi besarnya total biaya terapi

anemia karena GGK?

3. Bagaimana outcome terapi anemia menggunakan transfusi darah dilihat dari

pencapaian target terapi dan kenaikan kadar Hb?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui gambaran terapi anemia dengan terapi transfusi darah pada gagal

ginjal kronik.

2. Mengetahui besar total biaya terapi yang dibutuhkan untuk terapi dengan

transfusi darah, mengetahui komponen biaya yang memiliki kontribusi besar

dalam pembiayaan, serta mengetahui faktor yang mempengaruhi total biaya

terapi dari terapi anemia karena GGK.

3. Mengetahui outcome terapi anemia menggunakan transfusi darah dilihat dari

pencapaian target terapi dan kenaikan kadar Hb.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Rumah Sakit, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber

informasi tentang analisis total biaya terapi pada terapi anemia dengan

transfusi darah serta outcome terapinya sehingga dapat dijadikan bahan

pertimbangan dalam pemilihan terapi dengan biaya yang tidak memberatkan

pasien.

2. Bagi peneliti dapat digunakan sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi

penelitian selanjutnya.

5

E. Tinjauan Pustaka

1. RSUP Dr. Sardjito

RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit umum kelas A pendidikan

yang merupakan rujukan untuk daerah Propinsi DIY dan Jawa Tengah Bagian

Selatan. Rujukan yang diberikan adalah rujukan pelayanan medis, rujukan

pengetahuan maupun ketrampilan medis dan non medis.

Gagasan pendirian Rumah Sakit Umum dan Pendidikan pada satu

lokasi guna pendidikan calon dokter dan dokter ahli serta untuk

pengembangan penelitian, pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Sardjito pada

tahun 1954. Gagasan ini didorong oleh kebutuhan mendesak akan perlunya

Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) guna mencukupi kebutuhan

pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta serta Jawa Tengah Bagian Selatan.

RSUP Dr. Sardjito didirikan pada tanggal 13 Juni 1974 berdasarkan

SK MenKes RS no. 126/Ka/B.VII/74. RSUP Dr. Sardjito awalnya merupakan

RSU kelas B pendidikan yang pengelolaannya dilakukan oleh Dep.Kes. RI

melalui Dir.Jen.Yan.Med. Setelah turunnya Surat Keputusan Menteri

Kesehatan RI No. 1174/MENKES/SK/2204 pada tanggal 18 Oktober 2004,

RSUP Dr. Sardjito resmi menjadi rumah sakit umum kelas A. Penggunaan

nama RSUP Dr. Sardjito adalah untuk mengenang perjuangan dan jasa-jasa

Prof. Dr. Sardjito. Tugas utamanya adalah melakukan pelayanan kesehatan

masyarakat dan melaksanakan sistem rujukan bagi masyarakat DIY dan Jawa

6

Tengah bagian Selatan, serta dimanfaatkan guna kepentingan pendidikan

calon dokter dan dokter ahli oleh Fakultas Kedokteran (FK) UGM.

2. Gagal Ginjal Kronik (GGK)

a. Definisi GGK

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan penurunan fungsi ginjal

secara progresif yang terjadi selama beberapa bulan hingga beberapa tahun

(Wells dkk.,2009). Menurut National Kidney Foundation’s Kidney

Dialysis Outcomes and Quality Initiative (K/DOQI) tahun 2002, terdapat

dua kriteria yang menjadi penentu diagnosis gagal ginjal kronik:

1) Terjadinya kerusakan ginjal ≥3 bulan, diperlihatkan dengan adanya

abnormalitas struktur atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa

penurunan glomerular filtration rate (GFR), dengan manifestasi klinik

berupa abnormalitas patologi atau adannya marker (tanda) adanya

kerusakan ginjal seperti abnormalitas komposisi darah atau urin, atau

abnormalitas pada imaging test.

2) Terjadinya penurunan GFR yaitu < 60 mL/min/1.73m2 selama ≥ 3

bulan dengan atau tanpa adanya kerusakan ginjal (K/DOQI, 2002).

b. Etiologi

GGK dapat terjadi karena berbagai penyebab yang berbeda.

Penyebab terjadinya GGK antara lain sebagai berikut:

7

1) Diabetes

Data dari United States Renal Data System 2009 menyebutkan bahwa

sekitar 50% pasien gagal ginjal terminal di Amerika Serikat

merupakan penderita diabetes.

2) Hipertensi

Berdasarkan United States Renal Data System 2009, 51-63% dari

semua pasien GGK merupakan penderita hipertensi.

3) Obstruksi saluran kemih

Obstruksi saluran kemih terjadi tanpa diketahui dengan gejala seperti

oligouria dan nyeri yang sering tidak muncul.

4) Lain-lain

Penyebab lain diantaranya infeksi glomerulonefritis, renal vaskulitis,

perubahan genetik, dan penyakit autoimun.

Diabetes dan hipertensi saat ini menjadi dua penyebab utama GGK

(Novoa dkk., 2010).

c. Faktor resiko

Orang-orang tertentu memiliki resiko yang lebih besar untuk

terkena GGK. Faktor resiko tersebut adalah:

1) Susceptibility (faktor yang menyebabkan peningkatan resiko)

Bertambahnya usia, penurunan massa ginjal dan BBLR, riwayat

keluaarga, tingkat pendidikan dan ekonomi rendah, inflamasi sistemik,

dan dislipidemia.

8

2) Initiation (faktor atau keadaan yang secara langsung dapat

menyebabkan kerusakan ginjal)

Faktor tersebut adalah diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonefritis,

penyakit autoimun, infeksi sistemik, dan toksisitas obat.

3) Progression (faktor yang menyebabkan kerusakan ginjal semakin

buruk)

Faktor yang termasuk didalamnya adalah glikemia, hipertensi,

proteinurea, merokok, obesitas, ras kulit hitam, dan penggunaan

NSAIDs secara kronis(Joy dkk., 2008; NHS, 2008; KDOQI, 2002).

d. Patofisiologi

Penyebab terbesar gagal ginjal adalah hipertensi dan diabetes

mellitus. Turunnya renal blood flow terjadi pada pasien dengan hipertensi

dikarenakan terjadinya arteriolar vaskulopathy, obstruksi pembuluh darah,

dan turunnya kepadatan pembuluh darah. Penurunan renal blood flow akan

mengakibatkan terjadinya kenaikan tekanan kapiler glomerulus dan

kerusakan barrier filtrasi karena naiknya permeabilitas. Kemudian akan

terjadi penurunan kecepatan filtrasi ginjal (glomeruler filtration rate/

GFR) akibat kehilangan surface area secara progressif, hipertrofi

mesangial, naiknya fibrosis pada gromerulus dan peritubulus.

Hiperglikemia pada diabetes menyebabkan meningkatnya ekspresi

NO syntase (eNOS) di arteri aferen dan kapiler glomerulus. Hal ini

memicu vasodilatasi dan naiknya GFR, secara cepat menyebabkan

disfungsi endothelial dan perubahan hemodinamik, kehilangan glomerular

9

basement membrane (GBM) electric charge dan kekenyalan GBM,

turunnya jumlah podosyte yang menginisiasi luka pada glomerulus

kemudian berkembang menjadi glomerulosklerosis. Glomerulosklerosis

ini terutama disebabkan turunnya jumlah podosite (Novoa dkk., 2010).

e. Manifestasi klinik

Gejala pada umumnya pada umumnya baru muncul setelah berada

pada stadium 3, gejala tersebut adalah: intoleransi dingin, palpitasi,

cramping, musle pain, depresi, cemas, sexual dysfunction, dan gejala

uremia (fatigue, kekacauan mental, nafas pendek, mual dan muntah,

pendarahan, dan kehilangan nafsu makan).

Tanda-tanda klinik yang muncul pada GGK:

1) Sistem kardiovaskular dan paru-paru

Tanda-tanda klinik yang muncul seperti edema, aritmia,

hiperhomocisteinemia, dan dislipidemia.

2) Sistem pencernaaan

Sistem pencernaaan mengalami gangguan yang dapat menyebabkan

gastroesophagial reflux disease (GERD) dan kehilangan berat badan.

3) Sistem endokrin

Tanda klinik yang muncul meliputi hiperparatiroidisme sekunder,

turunnya aktivasi vitamin D, dan gout.

4) Hematologi

Tanda klinik yang berkaitan dengan sistem hematologi diantaranya

anemia, kekurangan besi, dan terjadi pendarahan.

10

5) Cairan/ elektrolit

Kesetimbangan cairan dapat terganggu oleh keadaan gagal ginjal

kronik, gngguan yang muncul seperti hiper/hiponatremia,

hiperkalemia, dan metabolik asidosis.

Tanda yang terlihat dari hasil tes laboratorium:

1) Proteinuria

Pada kondisi normal, protein diekskresikan dalam jumlah yang

sangat sedikit di urin. Adanya ekskresi tipe protein spesifik seperti

albumin atau molekul globulin dengan berat rendah tergantung pada

tipe GGKnya. Naiknya ekskresi albumin menjadi marker yang sensitif

pada GGK karena diabetes, penyakit glomerulus, dan hipertensi.

Sedangkan naiknya globulin dengan berat rendah adalah marker pada

penyakit tubulointerstitial.

2) Turunnya nilai GFR atau CLcr

Estimasi GFR sangat tepat untuk menggambarkan level fungsi

ginjal. Penurunan level GFR yang terjadi pada pasien GGK

dikarenakan adanya penurunan jumlah nefron atau dikarenakan faktor

hemodinamik. Penurunan GFR adalah suatu keadaan disaat levelnya

<90 mL/min/1.73m2.

3) Naiknya serum kreatinin

Nilai normal kreatinin serum adalah 0,6 – 1,3 mg/dL. Kreatinin

dihasilkan selama kontraksi otot skeletal melalui pemecahan kreatinin

fosfat. Kreatinin diekskresi oleh ginjal dan konsentrasinya dalam darah

11

sebagai indikator fungsi ginjal. Pada kondisi fungsi ginjal normal,

kreatinin dalam darah ada dalam jumlah konstan. Nilainya akan

meningkat pada penurunan fungsi ginjal (Kemenkes RI, 2011).

f. Klasifikasi GGK

GGK diklasifikasikan menjadi lima berdasarkan adanya kerusakan

struktur ginjal (contoh: adanya proteinurea) dan /atau penurunan fungsi

ginjal (kecepatan filtrasi ginjal/ GFR).

Tabel 1. Klasifikasi GGK menurut KDOQI Tahun 2002

Stadium Deskripsi GFR

Beresiko terkena GGK ≥90 ( ada faktor resiko GGK)

1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau tinggi

≥90

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan

60-89

3 Penurunan GFR sedang 30-59

4 Penurunan GFR berat 15-29

5 Gagal ginjal <15

Stadium 1 mengindikasikan perubahan ringan dari struktur ginjal

dengan fungsi ginjal yang normal, sedangkan pada stadium 5 merupakan

gagal ginjal tingkat akhir dimana dibutuhkan dialisis atau transplantasi

ginjal.

g. Komplikasi

Komplikasi GGK akan semakin bervariasi seiring naiknya stadium

pada GGK. Pada tahap 4-5 muncul berbagai komplikasi pada

GGK,diantaranya:

12

1) Anemia

Penurunan eritropoetin terjadi pada GGK sehingga

menyebabkan anemia. Anemia pada GGK meningkatkan tingkat

kematian dan kecacatan dari komplikasi kardiovaskular.

2) Hipefosfatemia

Hiperfosfatemia pada GGK terjadi karena filtrasi fosfat

terganggu.

3) Hiperparatiroid sekunder

Retensi fosfor pada keadaan hiperfosfatemia akan menginduksi

terjadinya hiperparatiroidisme sekunder.

4) Abnormalitas cairan dan elektrolit

Terjadinya penurunan GFR menyebabkan kesetimbangan

cairan dan natrium menjadi terganggu (umumnya pada GFR

<15mL/menit). Kejadian hiperkalemia juga bisa terjadi, pada pasien

yang mengalami oligouria, asupan kalium tinggi, atau mendapatkan

ACE Inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) lebih mudah

terkena hiperkalemia.

5) Asidosis metabolik

Pada pasien GGK mudah terjadi gangguan asam-basa. Asidosis

terjadi karena adanya gangguan sekresi H+.

6) Uremia

Uremia merupakan sekumpulan gejala yang terkait dengan

adanya akumulasi produk metabolik dan toksin endogen di darah

13

karena turunnya fungsi ginjal. Gejala yang muncul seperti nausea,

vomiting, kehilangan nafsu makan, lemah, dan gangguan system saraf

pusat (mulai dari berkurangnya konsentrasi sampai koma, kejang, dan

kematian). Adanya kondisi uremia menandakan dibutuhkannya

replacement therapy pada pasien.

7) Penyakit sistem kardiovaskuler

Komplikasi kardiovaskuler menyebabkan kematian tertinggi

pada parien GGK. Komplikasi pada kardiovaskuler meliputi angina

pectoris, infark myocardial, gagal jantung, stroke, penyakit pembuluh

darah perifer, aritmia, dan kematian mendadak (Abboud dan Henrich,

2010; Dipiro dkk., 2008; PERNEFRI, 2012).

h. Komorbid

Pasien dengan GGK mengalami berbagai kondisi komorbid.

Komorbiditas adalah keadaan lain selain penyakit utama (dalam hal ini

GGK). Komplikasi seperti hipertensi, anemia, malnutrisi, penyakit tulang

dan neuropati tidak termasuk dalam kondisi komorbid. Terdapat tiga tipe

komorbid yaitu penyakit yang menyebabkan GGK (contoh: diabetes dan

tekanan darah tinggi), penyakit yang tidak berkaitan dengan GGK yang

menyebabkan perburukan fungsi ginjal namun tidak menyebabkan GGK

(contoh: depresi), dan penyakit kardiovaskular (KDOQI, 2002).

i. Diagnosis

Terjadinya kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung dan

tidak langsung. Deteksi secara langsung dilakukan untuk melihat adanya

14

kerusakan struktural yang dapat dilakukan dengan ultrasonography

(USG), intravenous urography, plain abdominal radiography, computed

tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI), renal biopsy,

dan resiprical creatinin plots (Smith, 2003). Tanda secara tidak langsung

yang mengindikasikan adanya kerusakan ginjal dapat dilihat dari hasil

urinalisis seperti adanya proteinuria, dan hematuria (NHS, 2008).

j. Tatalaksana terapi

Terapi pada GGK meliputi:

1) Pengobatan penyebab gangguan fungsi ginjal

Dilakukan pengatasan terhadap hal-hal yang dapat menurunkan

perfusi ginjal seperti hipovolemia (muntah, diare, penggunaan diuretik,

perdarahan), hipotensi (gangguan miokard), dan infeksi (sepsis). Selain

itu juga menghindari penggunaan obat-obatan nefrotoksik seperti

aminoglikosida, NSAID, dan zat kontras.

2) Mencegah dan memperlambat progresifitas penyakit ginjal

Rekomendasi dari KDOQI dan JNC 7 untuk mengurangi

progresifitas penyakit ginjal adalah dengan menurunkan tekanan darah

(<130/80 mmHg). Obat lini pertama yang dapat digunakan adalah

ACE inhibitor atau angiotensin reseptor blocker (ARB).

Penatalaksanaan lain yang dapat mengurangi progresifitas penyakit

ginjal diantaranya adalah diet rendah protein (0,6-0,75 gr/kg/hari),

pengobatan hiperlipidemia dan asidosis metabolik, dan menghentikan

kebiasaan merokok.

15

3) Pengobatan komplikasi

a) Terapi osteodistrofi menggunakan suplemen vitamin D atau

kalsium.

b) Terapi anemia dengan eritropoietin stimulating agent (ESA) atau

pada kondisi mendesak menggunakan transfusi darah.

c) Pada komplikasi sistem kardiovaskuler untuk mengontrol tekanan

darah digunakan ACE inhibitor dan atau angiotensin reseptor

blocker.

d) Terapi dislipidemia menggunakan statin atau fibrat.

e) Asidosis metabolik diterapi dengan pemberian alkali yaitu dengan

natrium bikarbonat 0,5-1 meq/kg/hari.

4) Identifikasi dan persiapan terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal yang dapat dilakukan adalah

hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal. KDOQI

menganjurkan agar ketika kadar GFR berada pada <30 mL/menit

pasien sudah dijelaskan mengenai keuntungan dan kerugian masing-

masing pilihan tersebut. Indikasi diperlukannya terapi pengganti ginjal

adalah terjadinya perikarditis, ensefalopati uremik yang progresif,

perdarahan yang berhubungan dengan uremia, hipervolemia, asidosis

metabolik, hiperkalemia, mual dan muntah yang menetap, dan adanya

malnutrisi (PERNEFRI, 2012).

16

3. Anemia Pada Gagal Ginjal Kronik

a. Eritropoiesis

Eritropoiesis merupakan proses terbentuknya sel darah merah

(eritrosit) yang terjadi di sumsum tulang. Eritropoiesis diatur oleh

regulator humural eritropoietin (EPO) (Notopoero, 2007). Sembilan puluh

persen EPO dihasilkan oleh sel endothelial ginjal, sisanya dihasilkan oleh

hati (Ineck dkk., 2008). Hypoxia inducible factor (HIF) merupakan

senyawa yang diproduksi di ginjal dan beberapa jaringan lain. Degradasi

spontan HIF dihambat jika terdapat penurunan oksigen yang seharusnya

terjadi anemia atau hypoksia. Adanya HIF memicu stimulasi sintesis EPO.

Gambar 1. Proses Pembentukan Sel Darah Merah (Eritropoiesis)

( Lankhorst dan Wish, 2010)

Mekanisme utama aksi EPO adalah mencegah apoptosis, menjadi

prekusor eritroid sel dan berperan dalam proliferasi serta pematangannya.

Adanya penurunan konsentrasi oksigen di jaringan memberikan sinyal ke

ginjal untuk meningkatkan produksi dan pelepasan EPO ke plasma,

kemudian akan bekerja dengan:

17

1) Stimulasi stem sel untuk berdeferensiasi hingga menjadi eritrosit

matang

EPO berperan pada tahap lanjut perkembangan sel progenitor

eritroid. EPO berikatan dengan reseptor di sel progenitor eritroid di

sumsum tulang terutama burst-forming unit (BFU-E) dan colony-

forming units (CFU-E). EPO akan merangsang colony forming unit

eritroid (CFU-E) untuk berproliferasi menjadi proeritroblas, retikulosit,

dan eritrosit matang.

2) Meningkatkan pelepasan retikulosit dari sumsum tulang

3) Induksi pembentukan hemoglobin (Notopoero, 2007; Dipiro dkk.,

2008 ; Lankhorst dan Wish, 2010).

EPO selanjutnya berperan pada proses apoptosis yaitu dengan

menurunkan laju kematian sel progenitor eritroid dalam sumsum tulang

(Notopoero, 2007). Dalam keadaan normal, besarnya sel darah merah

terpelihara dalam level normal oleh EPO dengan jumlah produksi eritrosit

baru yang sesuai dengan kecepatan hilangnya sel darah merah secara alami

(Dipiro, 2008).

b. Definisi anemia

Anemia merupakan sekelompok gangguan yang dikarakterisasi

dengan penurunan hemoglobin atau sel darah merah yang berakibat pada

penurunan kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah (Sukandar dkk.,

2009). Hemoglobin adalah komponen yang berfungsi sebagai alat

transportasi oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2). Hb tersusun dari

18

globin (empat rantai protein yang terdiri dari dua unit alfa dan unit beta)

dan heme (mengandung atom besi dan porphyrin: suatu pigmen merah).

Pigmen besi hemoglobin bergabung dengan oksigen. Hemoglobin yang

mengangkut oksigen darah (dalam arteri) berwarna merah terang

sedangkan hemoglobin yang kehilangan oksigen (dalam vena) berwarna

merah tua. Satu gram hemoglobin mengangkut 1,34 mL oksigen.

Kapasitas angkut ini berhubungan dengan kadar Hb bukan jumlah sel

darah merah, sehingga pada penetapan status anemia jumlah total

hemoglobin lebih penting daripada jumlah eritrosit (Kemenkes RI, 2011).

Menurut Guideline Anemia KDOQI 2006, kadar hemoglobin(Hb)

pada anemia adalah <13.5 g/dL untuk laki-laki dan <12.0 g/dL untuk

wanita. Target Hb yang diharapkan pada anemia karena GGK adalah ≥ 11

g/dL dengan TSat >20% untuk terapi menggunakan ESAs (KDOQI,

2006; Hudson, 2008).

Secara umum, prevalensi dan keparahan anemia lebih tinggi pada

pasien ras Afrika-Amerika daripada ras kulit putih, adanya peningkatan

umur, jenis kelamin pria, dan adanya penyakit hipertensi (Joy dkk., 2005;

McFarlane, 2008).

c. Patofisiologi anemia karena GGK

Pada GGK terjadi kerusakan pada sel peritubular ginjal yang

merupakan tempat sintesis dan sekresi eritropoietin. Hal ini menyebabkan

turunnya konsentrasi eritropoietin di dalam darah yang berakibat pada

terganggunya proliferasi dan deferensiasi sel progenitor eritroid di

19

sumsum tulang. Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya

anemia pada GGK (Thomas dkk,2008; Macdougall. 2011).

d. Manifestasi klinik anemia

Tanda dan gejala anemia tergantung pada onset, penyebab, dan

individu. Anemia pada GGK memiliki gejala sebagai berikut: rasa lelah,

letih, pusing, nafas pendek, intoleransi dingin (Ineck dkk., 2008; Sukandar

dkk.,2009; Macdougall, 2011)

Anemia yang terjadi dalam jangka waktu yang lama akan berakibat

pada banyak hal. Diantaranya menyebabkan kenaikan cardiac output

untuk mengimbangi turunnya kapasitas oksigen yang dibawa darah yang

akan menyebabkan naiknya stroke volume dan denyut jantung, terjadinya

penurunan fungsi kognitif, hiperprolaktinemia, defisiensi hormon

pertumbuhan, kerusakan pada hormon seks, dan terjadinya pendarahan

(Macdougall, 2011).

e. Etiologi

Sebab-sebab yang mendasari terjadinya anemia secara umum:

1) Kekurangan / defisiensi zat-zat tertentu

Zat- zat tersebut diantaranya zat besi, vitamin B12, asam folat, dan

piridoksin.

2) Pusat

Anemia terjadi karena gangguan fungsi sumsum tulang belakang yang

disebabkan oleh anemia penyakit kronik, anemia pada lansia, dan

kanker sumsum tulang.

20

3) Perifer

Anemia dapat terjadi karena terjadi pendarahan (hemorrhage) dan

hemodialisis (anemia hemodialisis).

Anemia pada GGK termasuk ke dalam anemia karena merupakan

penyakit kronik (Ineck dkk., 2008). Penyebab utama anemia pada GGK

adalah defisiensi eritropoietin, disamping itu juga terdapat faktor lain yang

mempengaruhi perkembangan anemia diantaranya berkurangnya masa

hidup sel darah merah , inflamasi, kehilangan darah, dan kekurangan zat

besi (Wells dkk.,2009; McFarlane dkk., 2008).

f. Diagnosis Anemia

Pasien GGK dengan GFR <60 mL/min/1.73 m2 harus dievaluasi

terhadap kemungkinan terjadinya anemia dengan melihat pada level

hemoglobin. Menurut Guideline Anemia KDOQI 2006, kadar hemoglobin

(Hb) pada anemia adalah <13.5 g/dL untuk laki-laki dan <12.0 g/dL untuk

wanita.

Tes laboratorium yang diperlukan dalam penegakan diagnosis

anemia pada GGK:

1) Pemeriksaan darah lengkap ( Complete Blood Count/ CBC)

Pemeriksaan ini meliputi konsentrasi Hb, indeks sel darah merah

(mean corpuscular hemoglobin [MCH], mean corpuscular volume

[MCV], mean corpuscular hemoglobin consentration [MCHC]),

jumlah sel darah putih, dan jumlah platelet.

21

2) Reticulosyte count

Retikulosit dilepaskan ke sirkulasi darah kira-kira dua hari sebelum

matang menjadi sel darah merah. Reticulosyte count dapat

memperkirakan jumlah dan persentase retikulosit di sirkulasi darah.

Normalnya, reticulosyte count berkisar 1-2% dari sel darah merah di

sirkulasi darah. Ketika terjadi anemia, retikulosit dalam jumlah yang

lebih besar dilepaskan ke darah sehingga menaikkan jumlah dan

persentasenya.

3) Level feritin serum

Feritin merupakan parameter untuk menilai cadangan besi tubuh. Jika

kurang dari 100 μg/L menandakan butuh suplemen besi. Pada ACD

(anemia chronic disease) konsentrasinya normal atau meningkat.

4) Saturasi transferin serum (TSAT)

Jika terjadi penurunan menjadi <20% maka menunjukkan adanya

kekurangan besi.

5) Kadar besi

Pada IDA (iron deficiency anemias/ anemia karena kekurangan besi)

dan ACD (anemia chronic disease/ anemia penyakit kronik)

konsentrasinya rendah. (Ineck dkk., 2008; Lankhorst dan Wish, 2010;

Macdougall, 2011; KDIGO, 2012)

Pasien anemia dengan GGK sebaiknya rutin melakukan

pengecekan anemia, demikian juga pasien GGK yang tidak menderita

anemia. Frekuensi pemeriksaan anemia:

22

1) Pada pasien GGK tanpa anemia: satu tahun sekali pada pasien GGK

stadium 3, dua kali dalam setahun untuk pasien GGK non dialisis

stadium 4-5, dan setiap tiga minggu pada pasien GGK stadium 5

dengan hemodialisis atau peritoneal dialysis.

2) Pada pasien GGK dengan anemia yang tidak sedang mendapatkan

terapi ESA: setiap tiga bulan pada pasien dengan GGK non dialisis

stadium 3-5 dan pada GGK dengan peritoneal dialisis stadium 5, setiap

bulan pada pasien GGK dengan hemodilisis stadium 5.

3) Pasien GGK dengan anemia yang menggunakan terapi ESA:

pemeriksaan Hb setiap bulan saat fase inisisasi ESA, setiap tiga bulan

sekali pada pasien tahap pemeliharaan dengan GGK non dialisis, dan

setiap bulan pada pasien tahap pemeliharaan untuk GGK dengan

dialisis stadium 5 (KDIGO, 2012).

g. Jenis anemia

Berdasarkan ukuran sel darah merah, anemia diklasifikasikan

menjadi anemia macrocytic, normocytic, dan microcytic. Anemia karena

defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat merupakan contoh dari

anemia macrocytic. Contoh dari anemia microcytic adalah anemia karena

kekurangan zat besi. Sedangkan anemia normocytic terkait dengan

terjadinya kehilangan darah atau karena penyakit kronik (Ineck dkk.,

2008).

Anemia yang terjadi pada GGK merupakan anemia normokromik

normositik karena anemia yang terjadi disebabkan oleh turunnya sintesis

23

eritropoetin (Theml, 2004; Hudson, 2008; Macdougall, 2011). Namun,

terkadang dapat terjadi anemia hipokromik atau anemia hiperkromik.

Anemia hipokromik terjadi karena adanya defisiensi zat besi, sedangkan

anemia hiperkromik terjadi karena adanya kekurangan asam folat (Theml,

2004).

h. Penatalaksaan anemia

Sebelum tahun 1990, management anemia terdiri atas terapi

androgen, suplemen besi, suplemen vitamin, dan transfusi darah berulang.

Namun, pengobatan tersebut belum cukup berhasil mendukung perbaikan

anemia. Kemudian, pengobatan modern menggunakan ESA yang

dikombinasikan dengan suplemen besi untuk terapi anemia yang lebih

adekuat.

1) Asam folat

Asam folat eksogen dibutuhkan tubuh untuk sintesis

nukleoprotein dan pemeliharaan eritropoiesis normal. Asam folat

bekerja dengan menstimulasi produksi sel darah merah, sel darah

putih, dan platelet (Sukandar dkk., 2008). Asam folat diberikan pada

pasien GGK terutama yang menjalani terapi hemodialisis. Pada saat

hemodialisis terjadi kehilangan asam folat sehingga perlu diberikan

suplemen asam folat ini (Pranawa, 1993).

2) Vitamin B12

Vitamin B12 penting untuk pertumbuhan, reproduksi sel,

hematopoiesis, dan sintesis nukleoprotein dan mielin. Vitamin B12

24

berperan dalam pembentukan sel darah merah melalui aktivasi

koenzim asam folat. Agar dapat berefek asam folat berubah menjadi

bentuk aktifnya yaitu tetrahidrofolat, dalam proses inilah dibutuhkan

Vitamin B12. Tubuh mengalami peningkatan kebutuhan vitamin B12

terjadi pada kondisi kehamilan, tirotoksisitas, anemia hemolitik,

pendarahan, serta penyakit hati dan ginjal (Sukandar dkk., 2008).

3) Dialisis

Dialisis adalah tindakan medis pemberian pelayanan terapi

pengganti fungsi ginjal sebagai bagian dari pengobatan pasien gagal

ginjal dalam upaya mempertahankan kualitas hidup yang optimal yng

terdiri dari dialisis peritoneal dan hemodialisis. Hemodialisis (HD)

maupun peritonial dialisis (PD) yang adekuat dapat memperbaiki lama

hidup eritrosit sehingga dapat mempertahankan hematokrit pada

tingkat yang lebih baik dibandingkan jika tanpa dialisis (Pranawa,

1993).

4) Steroid anabolik

Pemberian steroid anabolik ini dapat berpengaruh langsung

pada sumsum tulang untuk produksi sel darah merah, selain itu juga

mampu merangsang produksi eritropoietin lewat hati dan jaringan

ginjal yang masih tersisa. Namun, pengobatan ini memiliki banyak

kerugian, diantaranya menimbulkan virilisasi, gangguan faal hati, dan

beberapa efek samping lain (Pranawa, 1993).

25

5) Eritropoietin Stimulating Agent (ESA)

ESA adalah semua agen yang menambah aksi eritropoiesis

pada reseptor eritropoietin secara langsung maupun tidak langsung.

ESA yang tersedia saat ini seperti epoetin alfa, epoetin beta, dan

darbepoetin (KDOQI, 2006).

Eritropoiesis stimulating agents (ESAs) diberikan ketika

anemia pada GGK mulai parah. ESAs diperkenalkan 30 tahun lalu,

epoetin alfa dan epoetin beta generasi pertama ESAs yang dari awal

diperkenalkan ESAs hingga saat in masih tersedia, kedua tipe ini

memiliki efektifitas tinggi namun bersifat short acting (aksi pendek)

sehingga harus digunakan tiga kali dalam seminggu. Sedangkan ESAs

generasi kedua memiliki aksi lebih panjang yaitu darbepoetin alfa

digunakan setiap dua minggu sekali dan generasi ketiganya

Continuous Erythropoietin Receptor Activator (CERA)/PEG-EPO

(methoxy polyetilene glycol-epoetin beta) digunakan dua minggu

sekali atau sebulan sekali (Macdougall, 2011; Drueke, 2013).

Penggunaan eritropoiesis stimulating agents (ESAs) harus hati-

hati karena bisa meningkatkan resiko terkena penyakit terkait

kardiovaskuler, oleh karena itu target level hemoglobin pada terapi ini

tidak boleh lebih dari 10-12 mg/dL (Abboud dan Henrich, 2010),

Dosis awal penggunaan ESA dan penyesuaian dosis dibedakan

berdasarkan level Hb pasien, target Hb, kecepatan naiknya Hb, dan

keadaan klinik pasien (KDOQI, 2006).

26

6) Terapi besi

Koreksi defisiensi zat besi secara oral maupun intravena dapat

menurunkan keparahan anemia pada pasien GGK (KDIGO, 2012).

Pada umumnya absorbsi besi dari saluran cerna masih cukup baik

sehingga pemberian terapi besi per oral sudah cukup memadai

(Pranawa, 1993). Pasien seharusnya tetap diberikan suplemen besi

meskipun sudah mendapatkan terapi ESAs, karena secara farmakologi

induksi eritropoiesis dibatasi oleh ketersediaan zat besi (Nurko, 2006).

7) Transfusi darah

Transfusi sel darah merah merupakan lini ketiga dalam terapi

anemia pada GGK (Ineck dkk., 2008). Untuk pengobatan anemia yang

bersifat kronik, penggunaan transfusi darah ini sebaiknya dihindari

untuk meminimalisasi resiko terkait penggunaannya (KDIGO, 2012).

i. Transfusi darah

Transfusi darah adalah pemindahan darah atau komponen darah

dari donor kepada resipien. Komponen tersebut meliputi komponen seluler

dan humural yang telah dipisahkan maupun sebagai palasma utuh.

Transfusi darah sangat efektif dalam menaikkan kadar Hb (Projosudjadi

dan Lydia, 2001). Pada orang dewasa, pemberian satu kantong darah dapat

menaikkan kadar Hb sebesar 1g/dL dan Hct sekitar 3% (Liumbruno dkk.,

2009). Pemberian transfusi ini memiliki banyak resiko, diantaranya reaksi

akibat tranfusi, rentan penularan hepatitis B dan C serta AIDS, supresi

eritroid pada sumsum tulang, hemosiderosis dan berpotensi terjadi medical

27

error (Pranawa, 1993; Ineck dkk., 2008). Resiko lain adalah terjadinya

overload zat besi karena penggunaan transfusi dalam jangka waktu

berbulan-bulan hingga hitungan tahun akan menyebabkan terjadinya

ketergantungan terhadap supply sel darah merah dari luar (KDIGO, 2012).

Transfusi darah hanya diberikan dalam keadaan yang benar-benar

perlu dan penggunaannya pun sangat dibatasi untuk menghindari resiko

yang timbul akibat transfusi. Kriteria digunakannya terapi ini diantaranya

1) Ketika kadar Hb <7g/dL atau ketika anemia kronik menunjukkan

gejala yang parah.

Pada kadar Hb 6, gejala anemia muncul saat istirahat seperti

dypsneu, lelah, CHF dan terjadi penurunan nilai Hb secara progresif

(Crosby dkk., 1997; KDIGO, 2012). Nilai Hb <5g/dL merupakan

kondisi yang dapat memicu gagal jantung dan kematian (Kemenkes

RI, 2011). Transfusi darah bisa dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dL

apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara

klinis dan laboratorium. Transfusi darah tidak dilakukan bila kadar Hb

≥10 g/dL, kecuali pada indikasi tertentu seperti penyakit yang

membutuhkan kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh:

penyakit paru obstruktif kronik berat dan jantung iskemik berat).

2) Tidak memungkinkan untuk dilakukan terapi menggunakan

eritropoietin.

Transfusi darah diberikan ketika dengan pemberian terapi ESA

tidak efektif seperti pada keadaan hemoglobinopathies, bone marrow

28

failure, ESA resistance dan penggunaan ESA lebih banyak kerugian

daripada keuntungan disebabkan kondisi pasien (KDIGO, 2012).

3) Pengobatan anemia pada situasi klinik yang mendesak.

Contoh: terjadi hemorragi (pendarahan akut), pada unstable

coronary artery disease dan pada tindakan dialisis. Transfusi darah

dapat diberikan secara bertahap bersamaan dengan waktu hemodialisis

untuk menghindari kelebihan cairan (Prodjosudjadi dan Lydia, 2001).

Dalam memutuskan penggunaan terapi anemia tidak hanya

didasarkan pada kadar Hb saja namun juga memperhatikan gejala yang

muncul (KDIGO, 2012). Target kadar hemoglobin pada anemia adalah Hb

≥7g/dL, ketika kadar Hb pasien berada pada kadar tersebut terapi transfusi

darah dikatakan efektif dan efisien (Junior dan Ferreira, 2012; PERNEFRI,

2012; Sharma dkk., 2011). Anemia GGK bersifat kronis sehingga tubuh

melakukan kompensasi dengan berbagai mekanisme, sehingga pada Hb

diatas 7/8 saat kondisi istirahat pasien sudah tidak mengalami gejala dan

namun akan nampak gejala saat beraktivitas. Kadar hemoglobin optimum

(transport oksigen terbesar pada kondisi energi terkecil) adalah pada Hb 10

mg/dL (HCT=30) (Crosby, dkk., 1997; KDIGO, 2012).

4. Evaluasi Farmakoekonomi

a. Pengertian Farmakoekonomi

Menurut Bootman (2005) farmakoekonomi adalah deskripsi dan

analisis biaya terapi menggunakan obat untuk memelihara fungsi

kesehatan dan sosial. Penelitian farmakoekonomi merupakan proses

29

mengidentifikasi, mengukur, dan membandingkan harga (yang akan

dikeluarkan konsumen) dengan konsekuensi (klinik, ekonomi, humanistic)

dari produk dan pelayanan kefarmasian.

b. Kategori biaya

Biaya (cost) didefinisikan sebagai nilai sumber daya yang

digunakan pada penggunaan suatu terapi obat tertentu. Untuk melakukan

evalusi ekonomi suatu terapi, biaya dikategorikan sebagai berikut :

1) Biaya medis langsung (direct medical cost)

Biaya medis langsung adalah biaya yang harus dibayarkan

untuk pelayanan kesehatan. Biaya ini meliputi biaya pengobatan,

tenaga medis, biaya tes laboratorium, dan biaya penanganan efek

samping (Kulkarni dkk., 2009).

2) Biaya non medis langsung (direct non medical cost)

Biaya bukan medis langsung adalah biaya yang harus dikeluarkan

secara langsung yang tidak terkait langsung dengan pembelian produk

atau jasa pelayanan kesehatan. Biaya yang termasuk didalamnya

adalah biaya transportasi dari dan ke rumah sakit, makanan untuk

keluarga pasien (Kulkarni dkk., 2009)

3) Biaya tidak langsung ( indirect cost)

Biaya tidak langsung merupakan biaya yang dapat mengurangi

produktivitas pasien maupun keluarga, kehilangan pendapatan karena

tidak bisa bekerja akibat sakit, kehilangan waktu. Biaya ini sulit untuk

30

diukur namun menjadi perhatian penting bagi masyarakat (Walley

dkk., 2004; Kulkarni dkk, 2009).

4) Biaya tidak teraba (intangible cost)

Misal perubahan kualitas hidup seperti adanya rasa nyeri,

khawatir, tertekan. Kategori ini tidak bisa diukur dalam mata uang,

namun sangat penting bagi pasien maupun dokter (Walley dkk., 2004;

Kulkarni dkk., 2009)

c. Perspektif analisis

Perspektif dalam farmakoekonomi merupakan sudut pandang mana

yang diambil peneliti dalam melakukan evaluasi farmakoekonomi. Setelah

perspektif ditentukan, evaluasi biaya dan konsekuensi yang relevan dan

dapat dimulai. Perspektif analisis terbagi menjadi empat:

1) Perspektif pasien (konsumen)

Perspektif ini dilihat dari penerima pelayanan kesehatan yaitu

pasien. Biaya dari perspektif pasien adalah apa yang pasien bayar

untuk produk atau pelayanan kesehatan dan merupakan bagian yang

tidak tercakup dalam asuransi.

2) Perspektif penyedia pelayanan kesehatan (provider)

Biaya ini merupakan biaya dalam menyediakan sebuah produk

layanan. Provider meliputi rumah sakit, organisasi penyedia layanan

atau praktek dokter swasta. Yang diukur dan dibandingkan pada

pesrpektif ini adalah biaya langsung yang meliputi biaya obat, rawat

inap, tes laboratorium, perlengkapan, gaji profesi kesehatan.

31

3) Perspektif pembayar (perusahaan asuransi)

Pembayar meliputi perusahaan asuransi, pengusaha atau

pemerintah. Dari segi ini, biaya yang dihitung adalah biaya untuk

produk dan layanan perawatan kesehatan yang diterima atau diganti

oleh pembayar. Biaya utama untuk pembayar bersifat langsung.

Namun, biaya tidak langsung seperti hilangnya hari kerja dan

penurunan produktifitas, juga dapat memberikan kontribusi pada total

biaya yang ditanggung pembayar (Sanchez, 2008).

4) Perspektif masyarakat

Perspektif ini mempertimbangkan manfaat bagi masyarakat

secara keseluruhan. Dari perspektif masyarakat evaluasi ekonomi

dilihat adalah semua biaya langsung dan tidak langsung. Biaya dari

perspektif ini meliputi morbiditas dan mortalitas pasien serta

keseluruhan biaya dari pemberian dan penerimaan pelayanan

kesehatan.

d. Metode evaluasi Farmakoekonomi

Karakteristik evaluasi ekonomi dibedakan oleh jumlah alternatif

yang yang dibandingkan dan konsekuensi apa yang diperiksa. Berikut ini

adalah metode evaluasi farmakoekonomi yang sering digunakan:

1) Cost Analysis (CA)

Cost analysis sering disebut cost of illness (COI) atau biaya

yang dikeluarkan dalam pengobatan. COI merupakan gabungan 3

komponen yaitu biaya medik, biaya non medik yang berhubungan

32

dengan pengobatan, dan biaya tak langsung. Kadang juga dilakukan

perhitungan biaya yang tak teraba. Metode ini dapat mengidentifikasi

biaya total yang timbul akibat penyakit atau biaya terapi namun, tidak

membandingkan kemanjuran/efficacy dari terapi atau penggunaan obat

yang satu dengan obat yang lainnya. Meskipun demikian metode ini

menunjukkan berapa biaya total sesungguhnya dan dapat

mengidentifikasi biaya-biaya tersembunyi (hidden cost).

2) Cost Minimization Analysis (CMA)

Metode ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi alternatif

pilihan yang lebih baik dengan outcome terapi atau konsekuensi yang

hampir sama. Dengan diketahuinya ekuivalensi keluaran (outcome)

maka biaya dapat diidentifikasi, dihitung, dan dibandingkan dalam unit

mata uang. Salah satu contoh adalah evaluasi dua jenis obat generik

untuk tujuan terapi yang sama dengan outcome terapi yang ekuivalen

walaupun biaya untuk akuisisi dan administrasi berbeda signifikan.

3) Cost Effectiveness Analysis (CEA)

CEA membandingkan program atau alternatif perlakuan yang

memiliki profil keamanan dan efikasi yang berbeda. Dua atau lebih

program yang dibandingkan dengan CEA harus memiliki outcome

klinik yang sama dalam psysical unit (misal penurunan nilai HbA1c,

tekanan darah). Biaya dihitung dalam unit mata uang, sedangkan

keluarannya dinyatakan dalam unit natural atau unit selain mata uang.

Yang terpilih adalah program yang memiliki biaya rendah dengan

33

efektifitas tinggi (Vogenberg, 2001). Hasil dari CEA dapat berupa

Average (simple) C/E Ratio (ACER) dan Incremental C/E Ratio

(ICER).

4) Cost Benefit Analysis (CBA)

Cost benefit analysis merupakan tipe evaluasi ekonomi yang

mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan ukuran moneter.

CBA biasa digunakan untuk membuat keputusan suatu program

kesehatan. Metode ini dapat dapat digunakan untuk membandingkan

perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda.

5) Cost Utility Analysis (CUA)

Cost utility analysis merupakan metode farmakoekonomi yang

dapat melihat konsekuensi intervensi dalam bentuk kuantitas dan

kualitas hidup. Dalam CUA, peningkatan kesehatan diukur dalam

bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years/QALYs)

dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup

(Vogenberg, 2001; Walley dkk., 2004).

34

F. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

G. Keterangan Empiris

Dengan dilakukannya penelitian ini dapat diketahui total biaya terapi

dalam menjalani terapi pada pasien anemia dengan transfusi darah pada GGK di

Karakteristik:

1. Jenis Kelamin 2. Usia 3. Kelas Perawatan 4. Cara Bayar 5. Stadium GGK 6. Komorbid 7. Lama Perawatan 8. Kadar Hb saat

Terapi Transfusi Darah

Outcome Terapi

Biaya Terapi

1. Pencapaian target terapi

2. Peningkatan kadar Hb

Biaya Medis Langsung dan Non Medis Langsung

1. Biaya Transfusi Darah 2. Biaya Pemeriksaan 3. Biaya Layanan Rumah

Sakit 4. Biaya Pengobatan Anemia

Tambahan 5. Biaya Obat Penyakit Lain 6. Biaya Alat Kesehatan 7. Biaya Dialisis 8. Biaya Operasi 9. Biaya Non Medis

Total Biaya Terapi Analisis Faktor yang Mempengaruhi Total Biaya Terapi

35

RSUP Dr. Sardjito tahun 2012. Penelitian ini juga dapat melihat gambaran terapi

yang digunakan dalam pengatasan anemia, dapat menentukan komponen biaya

penyusun, menghitung persentasenya sehingga diketahui komponen biaya

manakah yang memiliki kontribusi besar dalam pembiayaan, serta dapat melihat

faktor yang yang mempengaruhi besarnya biaya terapi. Selain itu, dapat diketahui

outcome terapi anemia dengan menggunakan transfusi darah dengan melihat

persentase pasien yang mencapai target terapi dengan transfusi darah yakni kadar

Hb ≥7g/dL dan pesentase pasien yang mengalami peningkatan kadar Hb.