149
BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menciptakan perubahan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perubahan tersebut dikarenakan dengan adanya Hak-hak atas Kekayaan Intelektual yang selanjutnya disingkat dengan HKI. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, memberikan perlidungan hukum Hak Cipta yang telah ditingkatkan dari peraturan perundang-undangan sebelumnya. Lahirnya Undang-undang Hak Cipta ini tidak lepas dari kecenderungan masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya untuk memberikan suatu perlindungan hukum HKI. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa hampir sebagian besar Negara di dunia mulai memperhatikan HKI. Bagi bangsa Indonesia perlindungan hukum HKI merupakan perkembangan yang baru, akan tetapi di kalangan negara-negara maju telah berabad-abad lamanya dikenal dan mempunyai manfaat yang cukup besar bagi pendapatan negara. Manfaat ekonomi yang demikian besarnya dari HKI menjadikan suatu negara peka terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum HKI oleh negara lain. Tidak mustahil akan timbul pelbagai ketegangan dalam hubungan internasional bila terjadi pelanggaran.

BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

  • Upload
    dominh

  • View
    243

  • Download
    6

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

BAB I

PENDAHULUAN

1.Permasalahan

I. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menciptakan perubahan

di dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perubahan tersebut

dikarenakan dengan adanya Hak-hak atas Kekayaan Intelektual yang selanjutnya

disingkat dengan HKI. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,

memberikan perlidungan hukum Hak Cipta yang telah ditingkatkan dari peraturan

perundang-undangan sebelumnya. Lahirnya Undang-undang Hak Cipta ini tidak lepas

dari kecenderungan masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya

untuk memberikan suatu perlindungan hukum HKI. Oleh karena itu, tidak

mengherankan bahwa hampir sebagian besar Negara di dunia mulai memperhatikan

HKI.

Bagi bangsa Indonesia perlindungan hukum HKI merupakan perkembangan

yang baru, akan tetapi di kalangan negara-negara maju telah berabad-abad lamanya

dikenal dan mempunyai manfaat yang cukup besar bagi pendapatan negara. Manfaat

ekonomi yang demikian besarnya dari HKI menjadikan suatu negara peka terhadap

pelanggaran-pelanggaran hukum HKI oleh negara lain. Tidak mustahil akan timbul

pelbagai ketegangan dalam hubungan internasional bila terjadi pelanggaran.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

2

Oleh karena itu, bagi Indonesia sebagai negara berkembang telah tiba saatnya

untuk berperan aktif memberikan perlindungan hukum terhadap HKI. Hal ini sejalan

dengan amanah yang diatur dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alenia ke

empat yang menetapkan bahwa salah satu tujuannya adalah ikut serta dalam

perdamaian dunia.

Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pengaruh yang sangat

dominan terhadap usaha masyarakat Internasional, termasuk Indonesia untuk

memberikan perhatian dan pengaturan HKI dengan tujuan akhir menciptakan

keadilan dan tertib hukum yang bersifat universal berdasarkan suatu perangkat

hukum tentang HKI.

Pengaturan – pengaturan tentang HKI secara internasional terdapat pada

Konvensi – konvensi di bidang HKI seperti : Paris Konvension, WIPO (World

Intellectual Property Organization), The Agreement on Trade Releted Aspek of

Intellectual Property Right (TRIPs), WTO ( World TradeOrganization).

Dalam rangka penegakan hukum HKI, semua anggota harus sesegera

mungkin mengharmonisasikan system hukum HKI sesuai dengan standar TRIPs,

Indonesia mendapat tenggang waktu hingga 1 Januari 2000 untuk memenuhi

kewajiban –kewajiban TRIPs secara bertahap.

Menurut TRIPs Agreement, HKI yang dilindungi adalah sebagai berikut:

1. Hak Cipta

2. Merek Dagang

3. Paten

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

3

4. Desain Produk Industri

5. Indikasi Geografis

6. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

7. Rahasia Dagang1

Ketentuan karya ciptaan mendapatkan perlindungan hukum secara otomatis

yang tertuang dalam Undang – undang Hak Cipta . Dalam hal ini pencipta sebaiknya

mendaftarkan karya – karya ciptaanya kepada Direktorat Jenderal HKI. Namun pada

kenyataanya dilapangan hasil ciptaan tersebut sangat sedikit di daftarkan. Adapun

factor yang menyebabkan sedikitnya orang mendaftarkan karya ciptaannya selain

disebabkan oleh ketidaktahuan, juga disebabkan oleh konsep budaya hukum yang

berbeda yang melandasi konsep berfikir masyarakat Indonesia yakni bersifat

komunal, artinya karya yang dihasilkan dipahami sebagai milik bersama yang

dimiliki oleh keluarga atau masyarakat adatnya. Lain halnya dengan budaya hukum

yang melatar belakangi masyarakat negara-negara barat yang lebih mengedepankan

kepentingan hak-hak individu dengan watak kapitalis.

Berkaitan dengan perlindungan Karya Intelektual di Indonesia Khususnya,

karya seni, sastra, ilmu pengetahuan, sistem pengaturannya tertuang dalam Undang –

Undang No.19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta ( UUHC 2002), menyatakan bahwa

Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta dan penerima hak untuk mengumumkan

1 OK. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) ,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 210

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

4

dan memperbanyak ciptaan atau memberikan izin untuk itu dengan tdak mengurangi

pembatasan – pembatasan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku,

sedangkan pengertian dari ciptaan atau karya cipta adalah hasil setiap karya pencipta

yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau satra.

Dalam perkembangannya yang sering mendapat perhatian dari sisi

perlidungan hukum adalah karya cipta , film, lagu, seni lukis, seni patung, dan lain –

lain. Disamping karya cipta tersebut diatas sesungguhnya masih banyak hasil karya

cipta yang belum mendapat perlindungan secara maksimal seperti seni karawitan

khususnya karawitan Bali. Menurut Sinti, Karawitan adalah music tradisional yang

didalamnya terdapat berbagai unsur kebudayaan masyarakat(wawancara 25 Februari

2010). Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi modern, khususnya pada

bidang seni media rekam, menjadikan seni karawitan tersebut sebagai lahan yang

sangat potensial untuk dijadikan komoditi bisnis. Tidak hanya perusahaan rekaman di

tingkat lokal yang memanfaatkan potensi tersebut. Bahkan perusahaan rekaman Asia

seperti di Negara Jepang, Eropa sudah banyak merekam kesenian karawitan Bali.

Dengan adanya kegiatan-kegiatan seperti itu tentunya sudah mengarah pada kegiatan

komersiil. Dalam konteks ini, maka pembicaraan mengenai hak cipta seni karawitan

bali menjadi relevan untuk dipersoalkan. Pelanggaran terhadap seni karawitan, dalam

perkembangannya dengan mudah dapat dilakukan dengan dalih untuk menarik

wiasatawan baik domestic maupun wisatawan asing yang bertujuan untuk mencari

keuntungan atau komersil. Pelanggaran terhadap seni karawitan sangat mudah

dilakukan, hal ini dikarenakan oleh peralatan – peralatan digital yang sangat canggih,

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

5

memudahkan orang –orang yang tidak bertanggung jawab memperbanyak, serta

menyebarluaskan melalui CD, VCD atau DVD, tanpa ada izin dari penciptanya.

Penggunaan teknologi ini memungkinkan terjadinya pelanggaran atas hak

mempertunjuukan (Performing Rights) yang didalamnya termasuk merekam,

mempertunjukkan, mengumumkan atau menyiarkan, mentransmisikan suatu

pertunjukkan, termasuk memiliki, mengcopy dan menjual suatu karya cipta yang sah.

Berbagai kasus pelanggaran Hak Cipta dalam bidang seni pertunjukkan

(termasuk seni karawitan) pernah terjadi. Namun karena kurangnya pengetahuan

Pencipta dalam memberikan arti terhadap keberadaan hak cipta, maka persoalan besar

telah merugikan dirinya, masih dirasakan belum mendesak. Pernah suatu ketika

sebuah misi kesenian Bali mengadakan pementasan di beberapa kota seperti Paris,

London, Montreal dan San Fransisco. Pementasan tersebut direkam dalam bentuk

“Nonsach” yang kini masi beredar secara luas dan digemari oleh ribuan pencinta

gamelan Bali di luar negeri. Para seniman tersebut tentunya merasa senang dapat

mempromosikan Bali di luar negeri, walupun mereka tidak pernah menikmati

“royalty-fees” ( imbalan ) dari rekaman yang beredar.2

Pembajakan karya cipta seni karawitan Bali kiranya dilaksankan secara

terselubung oleh beberapa produser. Lagu-lagu karawitan yang sudah direkam

2 Bandem. I Made, 1992/1993. Peranan Seniman Bali dalam Masyarakat, Dalam Kongres

Kebudayaan 1991 : Kebudayaan Nasional : Kini dan di Masa Depan. Jakarta : Departemen Pendidikan

Kebudayaan , hal 90.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

6

puluhan tahun dewasa ini muncul kembali dipasaran tanpa meminta izin dari

perncipta lagu tersebut3.

Secara umum, music bangsa-bangsa didunia dapat dikelompokkan menjadi

Musik Barat (Western Music) dan Bukan Musik Barat (Non Western Musik). Music

barat ( Western Musik) adalah seni musik yang menggunakan tangga nada diatonic.4

Merujuk pada negeri kita Indonesia music tradisi dikenal dengan istilah Karawitan.

Sebab tangga nada yang digunakan bukanlah tangga nada diatonik. Istilah Karawitan

Bali diperkenalkan didunia ilmu pengetahuan kira-kira pada tahun 1950, yaitu sejak

didirikannya konservatori karawitan Indonesia di Surakarta. Karawitan adalah seni

suara tradisi Indonesia baik vokal maupun instrumental yang berlaraskan pelog dan

selendro, dengan kata lain non diatonic.

Menurut I Wayan Sinti, salah satu pakar karawitan Bali yang merupakan

salah satu pengajar seni karawitan bali di luar negeri, menyebutkan dalam wawancara

dengan penulis bahwa Karya cipta seni karawitan bali secara umum sesuai fungsinya

dapat dibagi menjadi:

Instrumen yang digunakan untuk mengiringi proses upacara keagamaan,

dalam hal ini lagu yang dimainkan seperti gending - gending (lagu) Gambang,

Saron, Caruk, Gong Gede.

3 Bandem, I Made. 1993, Perlindungan Hak Cipta Kesenian Bali dalam Rangka

Meningkatkan Kreasi dan Kualitas Ciptaan . Dalam majalah Kebudayaan Jakarta: Departemen

Pendidikan Kebudayaan, hal. 91 4 Rai S. 2001, Gong Antologi Pemikiran, Bali Mangsi, hal. 139

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

7

Instrumen yang dipertunjukan kehadapan penonton dan selanjutnya dapat

memperoleh tanggapan dari penontonnya. Seperti Gending Semar Pegulingan,

Gending Angklung, Gending Gong Kebyar.

Dilihat dari golongannya seni karawitan (instrumental ) bali dapat dibedakan menjadi

tiga (3) :

Seni Karawitan klasik / kuno , adapun yang termasuk seni karawitan klasik

seperti Gambang, Selonding, Caruk , Genggong, Gong Gede

Seni Karawitan Modern, adapun yang termasuk seni karawitan modern adalah

gending – gending Gong Kebyar, Angklung, Jegog, Semar Pegulingan, dll

Seni Karawitan baru , yang termasuk seni karawitan baru adalah Gamelan

siwa nada, Semara Dana, Manikasanti, Bumbang, dll. (wawancara 20 Februari

2010)

Jika dilihat dari kedua fungsi karawitan, maka seni karawitan adalah

instrumental yang digunakan untuk mengiringi upacara keagamaan dan untuk

mengiringi pertunjukkan tari – tarian. (wawancara 24 Februari 2010).

Berkaitan dengan pertunjukan karya seni karawitan bali yang bukan

dilakukan oleh penciptanya dapat merujuk pada pasal 3 ayat (2) UUHC tahun 2002,

Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik secara keseluruhan ataupun sebagian

karena Pewarisan, Hibah, Wasiat, dan perjanjian tertulis, atau sebab – sebab lain yang

dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

8

Karya – karya seni karawitan klasik, biasanya penciptanya tidak diketahui,

karena sudah berlagsung secara turun temurun dimainkan. Jenis karawitan klasik ini,

jika dikaitkan dengan ketentuan UUHC No. 19 tahun 2002, maka dapat merujuk pada

pasal 10 ayat (2) yang menyatakan bahwa, Negara memegang Hak Cipta atas Folklor,

dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat,

dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.

Berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat 2 diatas, setiap pengambilan karya cipta

seharusnya tunduk pada ketentuan pasal 3 ayat 2 UUHC No. 19 tahun 2002 termasuk

seni karawitan bali. Namun dalam perkembangnnya tidak seperti yang tercantum

dalam ketentuan pasal 3 ayat 2 , dimana pelaku dalam pertunjukannya pada umumnya

hanya berkeinginan untuk mencari keuntungan finansial secara cepat dengan

mengabaikan kepentingan para pemegang Hak Cipta, adalah merupakan suatu

pelanggaran terhadap UUHC, yang pada akhirnya dapat merugikan si Pencipta secara

finansial. Dampak dari kegiatan tersebut telah sedemikian besarnya terhadap tatanan

kehidupan bangsa dibidang ekonomi dan hukum

Karya cipta seni karawitan yang merupakan suatu karya cipta yang tunduk

pada ketentuan UUHC tahun 2002, merupakan karya cipta yang dihasilkan dari

kreatifitas intelektual yang bersumber dari cipta, rasa, karsa manusia. Untuk

menghasilkan suatu karya cipta seni karawitan oleh penciptanya memerlukan suatu

pemikiran, tenaga, biaya yang tidak sedikit, seharusnya sudah sepantasnya mendapat

penghargaan baik secara materiil maupun non materiil.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

9

Pengambilan dan pemberian hak untuk melaksanakan atau mempergunakan

karya cipta sipencipta harus sesuai dengan peraturan dan perundang – undangan yang

berlaku. Namun pada kenyataannya dalam praktek, masih banyak orang yang tidak

bertanggung jawab mempergunakan ciptaan orang lain tanpa meminta izin terlebih

dahulu kepada penciptanya.

Dari fenomena-fenomena diatas yang nampak berkaitan dengan realita

penegakan HKI apabila tidak di tangani secara serius dari aspek yurisdisnya, maka

akan memberikan dampak negatif tidak hanya dari aspek hukum tetapi juga dari

aspek ekonomi. Dari segi hukum, pencipta yang tidak mendaftarkan hasil cipataanya

dapat dianggap bukan pencipta dan bahkan dapat dituntut secara hukum apabila

menggunakan karya ciptaanya tersebut. Sedangkan dari segi ekonomi tentunya akan

berakibat pada keuntungan Royalty apabila kelak ada orang (bukan si pencipta) yang

menggunakan,memperbanyak hasil ciptaannya, maka pencipta sendiri tidak

mendapatkan keuntungan dari royalty tersebut.

Munculnya kasus – kasus hak cipta di bali mulai menyadarkan seluruh

praktisi yang terkait, apakah itu praktisi bisnis maupun para pencipta terhadap arti

pentingnya perlindungan hak cipta, walaupun sebenarnya pengaturan khususnya di

bali bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

10

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dikemukakan

permasalahan sebagai berikut ;

1. Bagaimanakah pelaksanaan UUHC No.19 Tahun 2002 berkaitan dengan

perlindungan hukum terhadap pencipta atas Karya Seni Karawitan Bali yang

dipertunjukkan secata komersiil ?

2. Upaya apa yang dapat ditempuh atas pelanggaran terhadap karya cipta Seni

Karawitan Bali ?

I.3. Ruang Lingkup Masalah

Undang-undang Hak Cipta merupakan instrument yang tidak dapat di

lepaskan dalam mendorong perlindungan hukum secara konprehensif di bidang HKI.

Perlindungan hukum yang diberikan terhadap Hak Cipta dimaksudkan untuk

merangsang aktivitas kreatif para pencipta dalam hal ini seniman kerawitan untuk

menciptakan suatu hal baru yang berguna untuk masayarakat..

Karena luasnya cakupan permasalahan yang akan dibahas, maka ruang

lingkup dalam permasalahan lebih membahas pada Seni Kerawitan Bali khususnya

seni Instrumental (Gamelan bali). Pembahasan yang pertama membahas tentang

efektivitas penerapan UUHC No.19 Tahun 2002 berkaitan dengan perlindungan

hukum atas karya cipta Seni Karawitan Bali.

Dari permasalahan yang kedua akan membahas tentang tentang Faktor –

faktor apa yang menyebabkan UUHC No.19 Tahun 2002 berkaitan dengan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

11

perlindungan hukum atas karya cipta Seni Karawitan Bali tidak dapat berjalan efektif

dalam hal Penciptanya sudah mengetahui bahwa karya ciptanya dilanggar, faktor –

faktor yang menyebabkan hukum hak cipta yang berlandaskan konsep individual

dapat efektif atau tidak diterapkan dalam masyarakat komunal.

2. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus

2.1. Tujuan Umum

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan terkait dengan paradigma scieniceas

a process. Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek dalam

penggaliannya atas kebenarannya di bidang HKI yang terkait denga Hak Cipta.5

2.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui perlidungan hukum atas suatu karya cipta, dan untuk

mengetahui konsekwensi yuridis dalam hal peraturan hukum Hak Cipta tidak

berfungsi efektif berkaitan dengan perlidungan suatu ciptaan.

3. Manfaat Penelitian

3.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini di harapkan dapat digunakan memperdalam ilmu pengetahuan

hukum tentang Hak Cipta

5 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif, 2003, Program Studi

Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, hal.6

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

12

3.2. Manfaat Praktis

Penelitian diharapkan sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan dan

jajarannya agar dapat memperbaiki prosedur (meringankan dan mempermudah )

pendaftaran Hak Cipta sehingga memudahkan pencipta untuk mendapatkan hak atas

ciptaanya yang nantinya mampu untuk merangsang kreativitas pencipta untuk

menciptakan karya-karya baru.

4. Orisinalitas Penelitian

Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian

tentang “ Pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta Berkaitan Dengan Perlindungan

Hukum Terhadap Karya Cipta Seni Karawitan Instrumental Bali “ belum pernah ada

yang melakukan penelitian sebelumnya. Akan tetapi pernah ada yang meneliti tentang

yang terkait dengan karya cipta, yaitu :

1. Tesis Luh Putu Sridanti pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas

Udayana, Denpasar, 2006 yang berjudul “ Efektifitas Pelaksanaan Undang-

Undang Hak Cipta Berkaitan dengan Perlindungan Bidang Karya Cipta Seni

Di Bali “. Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1)

Bagaimanakah bentuk-bentuk pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta bidang

karya cipta seni di Bali. (2) Bagaimana efektifitas pelaksanaan Undang-

Undang Hak Cipta berkaitan dengan perlindungan karya cipta seni di Bali.6

6 Luh Putu Sridanti, 2006, Efektifitas Pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta Berkaitan

dengan Perlindungan Bidang Karya Cipta Seni Di Bali, Tesis S2 Fakultas Hukum Universitas

Udayana, Denpasar

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

13

2. Tesis Nyoman Mas Aryani pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas

Udayana, Denpasar, 2006 yang berjudul “ Efektivitas Undang-Undang No.31

Tahun 2000 Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Karya

Desain Di Bali. Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1)

Bagaimanakah efektifitas penerapan hukum dibidang desain industry

berkaitan dengan perlindungan hukum atas karya-karya desain di Bali. (2)

Bagaimanakah konsekuensi yuridis dalam hal peraturan desain industri tidak

berfungsi efektif berkaitan dengan perlindungan karya desain. 7

3. Tesis I Ketut Sandhi Sudarsana pada Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Udayana, Denpasar, 2009 yang berjudul “ Perlindungan Hukum

Terhadap Pertunjukan Karya Cipta Seni Tari Bali Yang Disakralkan “Adapun

permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) bagaimanakah pengaturan

tentang tari Bali yang disakralkan menurut Undang-undang No. 19 Tahun

2002 tentang Hak Cipta. (2) Apakah pertunjukan secara komersial terhadap

tari Bali yang disakralkan merupakan suatu pelanggaran hak cipta.8

7 Mas Aryani, Nyoman,2006, Efektivitas Undang-Undang No.31 Tahun 2000 Dalam

Kaitannya Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Karya Desain Di Bali , Tesis S2 Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Denpasar 8 Sandhi Sudarsana, I Ketut, 2009, Perlindungan Hukum Terhadap Pertunjukan Karya Cipta

Seni Tari Bali Yang Disakralkan, Tesis S2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

14

5. Landasan Teori dan Kerangka Berfikir

5.1. Landasan Teoritis

Perkembangan negara telah melewati batas-batas negara, ruang dan waktu

dimana dengan adanya gerakan perdagangan bebas mengakibatkan makin terasa

kebutuhan perlindungan terhadap Hak Atas Kekeyaan Intelektual yang sifatnya tidak

lagi timbal balik tetapi sudah bersifat antar negara secara global. Pada akhir abad ke

19, perkembangan pengaturan masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual Mulai

melewati batas- batas negara. Kalau dilihat secara historis, Upaya harmonisasi dalam

bidang HKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk

masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne Convention 1886.

Hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan bagian hukum harta benda

(hukum kekayaan). HKI bersifat sangat abstrak jika di bandingkan dengan hak atas

kekayaan benda bergerak pada umumnya.

Menurut David I. Bainbride “intellectual property is the collective name

given to legal rights which protect the product of the human intellect”. 9 yang artinya

hak atas kekayaan intelektual manusia yaitu hak yang berasal dari hasil kreatif, yaitu

kemampuan daya fikir manusia yang diekspresikan kedalam berbagai bentuk karya,

yang bermanfaat seta berguna untuk menunjang kehidupan manusia, dan mempunyai

nilai ekonomi.

Dalam ilmu hukum, HKI akan mendapat perlindungan hukum apabila ide

dan kemampuan seseorang telah dituangkan atau telah diwujudkan dan diekspresikan

9 Muhammad Djumhana, R. Djubaidllah, Op Cit, hal. 16

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

15

dalam suatu bentuk karya yang dapat dilihat / nyata , didengar, maupun dipergunakan

secara praktis. Adapun wujud nyata dari suatu kemampuan intelektual manusia

tersebut dapat dilihat dalam bentuk penemuan teknologi, ilmu pengetahuan, karya

cipta seni dan sastra, serta karya – karya desain10

.

Demikian juga halnya dengan hak cipta yang merupakan salah satu jenis dari

HKI, karya – karya cipta dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, pada dasarnya

adalah karya intelektual manusisa yang dilahirkan sebagai perwujudan kwalitas rasa,

karsa dan ciptanya. Mengacu pada pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa hak cipta

adalah hak khusus yang diberikan oleh pemerintah kepada seseorang yang telah

menciptakan sesuatu berdasarkan pemikiran dalam bidang ilmu pengetahuan, seni

dan sastra11

.

Pasal 1 ayat 1 UUHC No 19. Tahun 2002 menjelaskan bahwa, Hak Cipta

adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau

memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi

pembatasan – pembatasan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Sedangkan dalam ayat 2 dijelaskan bahwa pencipta adalah seseorang atau beberapa

orang secara bersama – sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan

berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian

yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.pada ayat 3 dijelaskan

10

Ida Bagus Wyasa Putra dkk.2001, Hukum Bisnis Pariwisata, Rafika Aditama, Bandung,

hal.108. 11

Richard Burton Simatupang, 1995, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, hal

87.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

16

ciptaan adalah hasil karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan

ilmu pengetahuan, seni, sastra.

Menurut Miller dan David, pemberian hak cipta didasarkan pada kriteria

keaslian dan kemurnian (originality), pada intinya suatu ciptaan tersebut berasal dari

pencipta yang sebenarnya, dan bukan merupakan hasil dari jiplakan atau peniruan

dari karya pihak lain12

.

Dalam konsep ilmu hukum, hak cipta dibagi menjadi dua yaitu hak moral

dan hak ekonomi. Selain memiliki hak ekonomi, pencipta itu sendiri memiliki hak

moral (moral right), adalah hak pencipta yang tetap melekat pada karyanya atau

ciptaannya meskipun karya tersebut telah dialihkan kepada pihak lain.

Tonggak awalnya perlidungan Hak Cipta di Indonesia dimulai dengan

adanya Conventie Berne, yaitu Berne Convetionfor the Protection of and Artistik

Work. Indonesia ikut berpartisipasi menjadi angota pada tahun 1959 dan kemudian

keluar. Pada tahun 1997 Indonesia kembali bergabung menjadi angota Conventie

Berne, HKI ini berarti Indonesia wajib mentaati ketentuan Berne Convention. Pada

dasarnya Berne Convention di bagi menjadi tiga prisip :

1. Perlakuan Nasional (National treatment)

2. Perlindugan otomatis (automatic protection)

3. Kebebasan perlindungan (independentprotection)13

12

Ida Bagus Wyasa Putra dkk, Op Cit, hal.118 13

Sanusi Bintang, 1998, Hukum Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 67.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

17

Selain dalam Berne Convention Hak Cipta juga diatur dalam The agreement

on trade releted Aspect of Intelektual Property Rigths (TRIPs), adalah suatu

perjanijian multilateral terpenting yang berkaitan dengan Hak kekayaan Intelektual.

TIPRs ini berlaku sejak 1 Januari 1995, diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7

Tahun 1994 dan mulai berlaku sejak tahun 2000.

Hak cipta dapat dikaji baik dari aspek teoritis maupun implementasi ilmu

hukum secara empiris, secara garis besar, ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law

in books dan studi law in action dari uraian Roman Tomasic berikut ini :

The focus of the sociology of law, however it is defined, need to be seen as

the study of “law in Action “ rather than the traditional lawyer’s concern with “ the

law in the books”14

Studi law in action merupakan studi social yang bersifat empiris bukan

normative. Studi demikian itu, hukum tidak dikonsepkan sebagai suatu gejala

normative yang otonomi (seperti study law in books) tetapi di konsepkan sebagai

pranata sosial yang secara riil di kaitkan dengan variable-variabel social yang lain.

Apabila hukum sebagai sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variable bebas

yang menimbulkan pengaruh dan akibat pada berbagai aspek kehidupan sosial.

Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam,

diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi, dan proposi untuk

menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan merumuskan hubungan

14

Amiruddin Dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal. 197.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

18

antar konsep15

. Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dau fakta

atau lebih atau pengturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan

sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat di uji secara empirisoleh sebab

itu, dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara

dua variable atau lebih yang telah di uji kebenarannya.

Berlakunya hukum dapat dilihat dari berbagai perspektif, seperti perspektif

yuridis normatif, Filosofis, dan sosiologis. Perspektif yuridis normatif, berlakunya

hukum jika sesuai dengan kaedah yag lebih tinggi (teori Stufenbau dari Hans

Kelsen)atau terbentuknya sesuai dengan cara-cara yang ditetapkan (teori W.

Zevenbergen). Perspektif filosofis, berlakunya hukum jika sesuai dengan cita-cita

hukum. Sedangkan berlakunya perspektif sosiologis menurut Purnadi Purbacaraka

dan Soerjono Soekanto, intinya adalah efektifitas hukum16

. Inti berlakunya hukum

dari perspektif sosiologis adalah mengenai efektifitas hukum yang akan melihat

pengaruh dari kaedah hukum, dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang

Hak Cipta yang diterapkan dalam masyarakat diman kaedah hukum tersebut dapat

berpengaruh positif ataupun negatif. Pengaruh positif berlakuya hukum disebut

efektifitas sedangakan negatifnya disebut dampak

Menelaah efektifitas suatu perundang-undangan (berlakunya umum) pada

dasarnya membandingkan antara realitas hukum dengan ideal hukum. Dengan di

undangkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ini berarti

15

Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.19. 16

Amiruddin Dan Zainal Asikin, Op Cit. hal 135

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

19

hak atas ciptaan telah dilindungi secara hukum namun masih tetap ada keengganan

dari pencipta untuk mendaftarkan karyanya walaupun Undang-undang berlaku fiktie

dalam arti masyarakat dianggap tahu hukum sehingga dalam terjadinya pelanggaran

seseorang tidak boleh berdalih denan alasan tidak tahu17

. Hal serupa di kemukakan

oleh Roscoe Pound, seorang ahli dari Amerika. Pokok pikirannya berkisar pada tema

bahwa hukum bukanlah suatu keadaan yang statis melainkan suatu proses. Suatu

pembentukan hukum, intepretasinya maupun penerapannya hendaknya dihubungkan

denan fakta-akta sosial pound sangat menekankan efektifitas bekerjanya hukum dan

untuk itu ia sangat mementingkan beroperasinya hukum didalam masyarakat. Oleh

karena itu pound membedakan pengertian law in books dengan law in action di pihak

lain. Ajarannya lebih menonjolkan masalah apakah hukum yang diterapkan sesuai

dengan pola-pola perilakuan. Ajarannya tersebut diperluas lagi sehingga mencakup

masalah-maslah keputusan pengadilan serta pelaksanaannya dan juga antar isi suatu

peraturan dengan efektifitasnya yang nyata.18

Roscoe Pound berpendapt bahwa hukum adalah suatu proses yang

mendapatkan bentuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan

keputusan hakim. Pound mengemukakan idenya tentang hukum sebagai sarana untuk

mengarahkan dan mebina masyarakat dimana hukum tidak pasif tetapi harus mampu

digunakan untuk mengubah suatu keadaan dan kondisi tertentu ke arah yang dituju

17

Kansil dan Christine, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 1, Rineka Cipta,

Jakarta, h.33. 18

Otje Salman, 1989, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, h.35

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

20

sesuai dengan kemauan masyarakatnya19

. Fungsi hukum sebagai sarana rekayasa

sosial merupakan salah satu ide dari Pound yang terkenal dengan nama law as a tool

of social engeneering20

.

Hukum menurut Donald Black adalah kaidah hukum yang dirumuskan

dalam undang-undang atau keputusan-keputusan hakim. Dengan merujuk principle of

efektiveness dari Hans Kelsen, realita hukum artinya orang seharusnya bertingkah

laku atau bersikap sesuai dengan tata kaidah hukum atau, dengan kata lain realita

hukum adalah hukum dalam tindakan.

Demikian pula menurut Eugen Ehrlich, hukum positif hanya akan efektif

jika selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). The living law

concept was heart of Ehrlich,s thingking, it was the “living law” that dominated

society,s life even though it had not always been reduced to formal legal, preposition.

It reflected the values of society.21

Tujuan pokok yang dikemukakannya adalah

meneliti latar belakang aturan-aturan formal yang dianggap sebagai hukum. Aturan-

aturan tersebut merupakan norma-norma sosial actual yang mengatur semua aspek

kemasyarakatan yang olehnya disebut sebagai hukum yang hidup. Atri dari hukum

yang hidup disini adalahhukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai hukum

yang diterapkan oleh negara.selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk

pada kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif

oleh karena ketertiban terletak pada pengakuan sosial terhadap hukum dan bukan

19

L.Freedmen, 1960, Legal Theory, Stevan, & Sons Limited, h.293 20

Lili Rasjidi, 1996, Dasar – Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya, Bandung, h.83 21

Curzon, 1979, Jurisprodence, Macdonald & Even LTD.Estover, Playmount, PL67Pz

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

21

pada penerapannya secara resmi oleh Negara.bagi Ehrlich tertib sosial didasarkan

fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma sosial yang

tercermin dalam system hukum. Secara konsekwen ia berangapan bahwa mereka

yang berperan sebagi pihak yang mengeembangkan system hukum harus mempunyai

hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang di anut dalam masyarakat yang

bersangkutan. Kesadaran ini harus ada pada setiap anggota profesi hukum yang

bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan menentukan ruang lingkup hukum

positif dalam hubungannya dengan hukum yang hidup. Dalam meneliti efektifitas

hukum , menjadi relevan memanfaatkan teori aksi dari Max Weber yang

dikembangakan oleh Talcott Parsons. Menurut teori aksi, perilaku adalah hasil suatu

keputusan subyektif dari pelaku atau aktor.

Dalam bukunya The structure of social action, Parsons mengemukakan karakteristik

tidakan sosial sebagai berikut :

1. adanya individu sebagai actor

2. aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan

3. aktor memilih cara, alat, teknik untuk mencapai tujuannya

4. aktor berhubungan dengan sejumlah kondisi-kondisi situasional yang

membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa

situasi dan kondisi sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh

individu.

5. aktor berada di bawah kendala nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide

abstrak yang mempenaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

22

Sejalan dengan teori aksi dari Max Weber dan Parsons, relevan pula

dikemukakan pandangan dari Soerjono Soekanto tentang efektifitas hukum. Soerjono

Soekanto menyatakan ada empat factor seseorang berprilaku tertentu :

1. memperhitungkan untung rugi

2. menjaga hubungan baik dengan sesama penguasa

3. sesuai dangan hati nurani

4. ada tekanan-tekanan tertentu.22

Efektifitas berfungsinya hukum dalam suatu masyarakat sesungguhnya erat

kaitannyadengan kesadaran hukum dari warga masyarakat itu sendiri. Ide tentang

warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis ditemukan dalam

ajaran –ajaran tentang Rechtsgehful yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang

mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya. Hal

tersebut merupakan suatu aspek dari kesadaran hukum, aspek lainnya adalah bahwa

kesadaran hukum sering kali dikaitkan dengan penataan hukum, pembentukan hukum

dan efektifitas hukum.

Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan

berkembang dalam suatu masayarakat, sesuai dengan pendapat Sorjono Soekanto,

bahwa masayarakat mentaati hukum sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam

masayarkat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam

22

Soerjono Soekanto, 1985, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Remaja Karya, Bandung,

h. 19

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

23

masyarakat yang diartikan kaidah-kaidah hukum tersebut telah meresap pada diri

masyarakat.

Terdapat empat indicator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan

suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu:

1. Pengetahuan Hukum

2. Pemahaman Hukum

3. Sikap Hukum

4. Pola Prilaku Hukum

Ad. a. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa

perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan

dengan prilaku yang dilarang atau prilaku yang diperbolehkan oleh hukum.

Pengetahuan hukum erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat

dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah

diundangkan.

Ad. b. Pemahaman Hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang

mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain

pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu

peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis serta manfaatnya bagi pihak-

pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

24

Ad. c. Sikap Hukum adalah suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena

adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu yang bermanfaat atau

menguntungkan jika hukum itu ditaati

Ad. d. Pola Prilaku Hukum adalah merupakan hal utama dalam kesadaran hukum

karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam

masyarakat.23

Berdasarkan dari empat indicator kesadaran hukun diatas, dapat dikemukakan bahwa untuk dapat mewujudkan prilaku yang sesuai dengan hukum sangatlah dipengaruhi oleh motif, dan indicator kesadaran hukum.

Dari uraian landasan teori diatas, dapat dikemukakan bahwa untuk dapat

mewujudkan perilaku yang sesuai dengan hukum sangatlah dipengaruhi oleh motif,

gagasan maupun berbagai indikator kesadaran hukum. Lawrence M. Friedman

sebagaiman dikutip Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa system hukum yang

beroperasi dapat di anggap sebagai suatu sistem yang terdiri atas tiga komponen,

yaitu substansi, structural,cultural.

Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun

acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari

keadailan. Struktural mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang

umpamanya, mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara

lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Kultural pada

dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang

merupakan konspesi-konsepsi abstrak mengenai apa yang di anggap buruk.

23

Ibid hal. 21.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

25

Aplikasi pendekatan sistem terhadap penegakan hukum ditegaskan oleh

Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa masalah pokok penegakan hukum

sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi.

Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

1. faktor hukumnya sendiri, yang didalam tulisan ini akan di batasi pada undang-

undang saja.

2. faktor penegak hukum , yakni pihak-pihak yang membentuk hukum maupun

menerapakan hukum

3. faktor sarana atau failitas yang mendukung penegkan hukum

4. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidupnya.24

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada

efektifitas berlakunya hukum.

Berdasarkan kajian teori diatas, menjadi relevan jika dikaitkan dengan

perlindungan hukum atas karya cipta seni karawitan terutama seni karawitan bali.

Ditegakkannya perlindungan hukum terhadap karya cipta seseorang terutama

mempertunjukkan karya cipta seni karawitan oleh pelaku pertunjukkan, sangatlah

dipengaruhi oleh factor-faktor apakah pihak pelaku yang mempertunjukkan karya

24

Ibid, hal 8.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

26

cipta tersebut sudah mengetahui perlunya perlindungan hukum terhadap karya cipta

tersebut, juga dapat disebabkan oleh seberapa besar pemahaman tentang Undang-

undang dari penegak hukum itu sendiri, dan tidak kalah pentingnya apakah ketentuan

itu sudah cukup jelas atau tidak, karena hukum hanya bisa berlaku efektif bila selaras

dengan kehendak masyarakat, dan dalam penegakan hukum HKI itu apakah

Indonesia dapat menerima HKI yang berasal dari budaya barat yang menganut

konsep hukum Individual Right, sedangkan konsep hukum Negara timur termasuk

Indonesia menganut konsep hukum komunal.

Penegakan hukum yang berkaitan dengan nudaya hukum ini, dalam

praktiknya sering kali menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pelangaran

hukum dalam hukum HKI.

Dalam hal terjadinya pelanggaran hukum HKI, khususnya pelanggaran

hukum Hak Cipta, maka upaya –upaya yang dapat dilakukan adalah :

1. Upaya hukum Preventif artinya, untuk menghidari terjadinya pelanggaran

terhadap suatu karya cipta, khususnya karya cipta seni karawitan bali dapat

dilakukan dengan cara :

a. Melalui pendaftaran

Konsep perlindungan hukum Hak Cipta secara otomatis, dilandasi oleh Konvensi

Berne, salah satu prinsip dari Konvensi Berne (Berne Convention) adalah

Automateclly Protectiaon. Menurut konsep perlindungan ini, Hak Cipta boleh

didafar boleh tidak. Menurut pasal 35 ayat (4) UUHC 2002, menentukan bahwa

pendaftaran suatu ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban. Jadi

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

27

berdasarkanketentuan tersebut pendaftaran Hak Cipta bersifat Tidak

Mutlak.Meskipun menurut hukum perlindungan Hak Cipta secara otomatis

diperoleh Pencipta sejak ciptaannya lahir, dan tidak harus melalui proses

pendaftaran, namun kalau dilakukan pendaftaran akan lebih baik dan lebih

menguntungkan, karena dengan pendafaran hak, setidaknya akan ada bukti

formal sebagai tanda adanya Hak Cipta jika tidak terbukti sebaliknya.

Dengan adanya proses pendaftaran ini, memberikan jaminan kepastian

hukum dan menguatkan adanya perlindungan hukum atas karya cipta, jika

terjadi peniruan atau penjiplakan karya cipta, sehingga si pencipta lebih mudah

membuktikan dan mengajukan tuntutan karena ada bukti formal pendaftaran

secara lengkap.

b. Melalui Pernjanjian

Perlindungan hukum terhadap karya cipta seni karawitan bali selain melalui

pendaftaran, juga dapat dilakukan dengan cara melalui perjanjian. Perlindungan

hukum karya cipta seni karwitan bali secara preventif melalui perjanjian sesuai

dengan Pasal 3 ayat (2) huruf e UUHC 2002.

suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian

yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu, dan suatu sebab yang halal, sebagaimana

diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

28

perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum

bagi para pihak yang membuatnya25

Berkaitan dengan upaya hukum preventif, yaitu untuk menghindari

terjadinya pelanggaran terhadap Hak Cipta, tertuama karya cipta seni karawitan Bali,

dengan cara melalui perjanjian, selain berdasarkan pasal 1313 dan 1320 KUHPerdata,

dapat pula merujuk pada pasal 45 UUHC 2002 yang menyatakan, bahwa pemegang

Hak Cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian

lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UUHC

2002. Sedangkan yang dimaksud dengan lisensi dalam UUHC 2002 adalah, mengacu

pada pasal 1 angka 14 yang menjelaskan bahwa lisensi adalah, izin yang diberikan

oleh pemegang Hak Cipta atau pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk

mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya

dengan persyaratan tertentu.

Mengkaji lebih jauh tentang Lisensi Hak Cipta, menurut Pasal 45 UUHC

2002 dapat diketahui bahwa pelisensian hak cipta dapat dilakukan dengan atau

berdasarkan surat perjanjian Lisensi, yang isinya pemegang Hak Cipta membrikan

hak khusus kepada orang lain untuk menikmati nilai ekonomis suatu ciptaan yang

dilindungi oleh Hak Cipta. Dengan demikian surat perjanjian lisensi hanya bersifat

pemberian izin atau hak untuk dalam jangka waktu tertentu pula. Persyaratan tertentu

25

Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, hal.1,

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

29

yang berkaitan dengan jangka waktu Lisensi dan Royalty fee, dalam hal ini Lisensi

dibuat secara tertulis.26

Berkaitan dengan pemberian Lisensi, apabila pada pemberian Lisensi

pemegang Hak Cipta dapat melaksanakan hak ciptanya dan dapat memberikan lisensi

yang sama kepada pihak ketiga untuk melakukan perbuatan sebagaimana yang

dilakukan oleh pemegan hak cipta, maka sifat lisensi tersebut adalah terbuka,

perjanjian lisensi dapat pula dibuat secara khusus, artinya bahwa lisensi hanya dapat

diberikan kepada pemegang lisensi saja (Ekslusive Lecense).27

Sifat ekslusif dari

lisensi hak cipta ini dapat mengacu pada pasal 46 UUHC 2002, yang menyatakan

bahwa kecuali diperjanjikan lain, Pemegang hak cipta dapat melaksanakan perbuatan

sebaimana yang dimaksud pada pasal 2 UUHC 2002. Sifat ekslusif dapat dilihat

dalam kalimat kecuali “diperjanjikan lain” ini berarti dapat melakukan perjanjian lain

yang sifatnya lebih khusus dalam perjanjian lisensi karena lisensi biasanya diberikan

secara terbuka.

2. Upaya Hukum Represif

Upaya hukum secara represif adalah merupakan suatu upaya hukum yang

dilakukan oleh pencipta dan pemegang hak cipta karena karya cipnya dipergunakan

pihak lain tanpa seizin penciptanya secara komersiil, sehingga Pencipta dan

pemegang Hak Cipta dirugikan secara ekonomis. Untuk menghindari terjadinya

26

Rachmadi Usman, Op.Cit. hal. 148 27

Ibid. hal. 149

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

30

pelanggaran hak cipta tersebut maka pencipta atau pemegang hak cipta dapat

menegakkan hak-hak mereka secara litigasi yaitu :

a. Dengan mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Niaga. (pasal 56

UUHC 2002). Berdasarkan ketentuan pasal 56 ayat 1 UUHC 2002

menyatakan, bahwa pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti

rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta

pertunjukkan tersebut dihentikan selama belum mendapat ijin dari

penciptanya.

b. Selain upaya secara perdata diatas, masih ada upaya hukum yang disediakan

oleh UUHC 2002, yaitu melalui tuntutan secara pidana. UUHC 2002

Indonesia menempatkan tindak pidana yang berkaitan dengan hak cipta

sebagai delik biasa, maksud dari undang-undang ini adalah untuk menjamin

perlindungan lebih baik dari sebelumnya, dimana sebelumnya dalam UUHC

1997, tindak pidana tentang hak cipta dikategorikan delik aduan. Perubahan

sifat ini adalah merupakan kesepakatan masayrakat yang menyebabkan suatu

pelanggaran bisa diperkarakan di Pengadilan secara cepat dan tidak perlu

menunggu pengaduan terlebih dahulu dari pemegang hak cipta.28

c. Sanksi Pidana untuk pelanggaran hak cipta seni karawitan juga diberlakukan

bagi pelanggar yang dengan sengaja melanggar ketentuan-ketentuan hak cipta

di Indonesia akan diterpakan sanksi yang cukup berat, segaimana diatur dalam

28

OK.Saidin, 1995, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal 59.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

31

pasal 72 sampai dengan 73 UUHC 2002. Pasal 72 menjelaskan, bahwa setiap

pelanggaran hak cipta akan dikenakan sanksi pidana dan/atau pidana denda,

sedangkan pasal 73 UUHC 2002 menyatakan bahwa terhadap ciptaan atau

barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang

dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara

untuk dimusnahkan.

d. Melalui jalur Non Litigasi

Berkaitan dengan upaya perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak cipta

secara represif ini, selain upaya tersebut diatas, masih ada upaya hukum yang

lain yaitu dengan melalui jalur Non Litigasi yang diatur melalui pasal 65

UUHC 2002, menyatakan selain penyelesaian sengketa melalui Pengadilan

Niaga, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan sengketa melalui

Arbitrase atau Alternative Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketa

alternative ini merujuk pada ketentuan UU.No.30 tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternative Penyelesaoan Sengketa. Adapun tujuan UU>No.30

tahun 1999 ini adalah apabila dalam hal terjadinya pelanggaran hak cipta, para

pihak dapat menyelesaiakan masalahnya secara sepakat melalui jalur Non

Litigasi dan tidak melakukan upaya hukum represif seperti tersebut diatas.

5.2. Kerangka berfikir

Berdasarkan landasan teori yang diacu untuk pengkajian permasalahan dapat

diajukan kerangka berfikir bahwa adanya ketentuan-ketentuan peraturan di bidang

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

32

Hak Cipta dimaksudkan sebagai alat rekayasa terhadap masyarakat Indonesia yang

budaya hukumnya komunal dalam kaitannya dengan perlindungan hukum Hak Cipta.

Adanya ketentuan - ketentuan peraturan di biang hak cipta merupakan produk yang

berasal dari negara barat melalui Convensi Berne dan selanjutnya dituangkan

kedalam TRIPs Agreement, selanjutnya oelh negara Indonesia diratifikasi melalui

Undang-undang No.7 tahun 1994, sebagai konsekwensinya negara Indonesia

berkewajiban untuk mnegharmonisasikan sistim hukum HKI sesuai dengan standar –

standar yang diterapkan dalam TRIPs. Adapaun system perlindungan yang dianut

adalah system Individual Right yaitu suatu karya intelektual harus dihargai dan di

berikan perlindungan secara eksklusif darena dihasilkan melalui proses yang panjang

dan berat baik dari segi wktu, tenaga, pikiran, biaya yang mempunyai nilai ekonomi

yang sangat tinggi. Di sisi lain Indonesia sebagai bagian dari negara timur memiliki

sistem perlindungan HKI yang menganut konsep komunal (komunal Right) artinya

bahwa suatu hasil karya intelektual seseorang adalah milik bersama, artinya jika

orang lain mempergunakan hasil karya intelektual tanpa seijin pemiliknya dianggap

bukan suatu pelanggaran. Namun dengan diberlakukannya UUHC No.19 tahun 2000,

maka terhadap hak cipta termasuk karya cipta seni karawitan (instrumental) akan

diberikan perlindungan hukum oleh ketentuan UUHC No.19. tahun 2002.

Menurut pendapat dari Ehrlich yang menyatakan bahwa hukum dalam

pelaksanaanya biasa berjalan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam

masyarakat. Jika teori diatas dikaitkan dengan perlindungan hukum di Indonesia,

maka konsep perlindungan HKI yang tertuang dalam perundang-undangan belum

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

33

berakar dari konsep hukum Indonesia yang lazim menganut konsep komunal, namun

system perlindungan HKI yang berasal dari Negara barat menganut konsep Individual

Right. System perlindungan HKI yang dianut oleh negara barat mengacu pada teori

Robert M. Sherwood yaitu :

1. Reward Theory, berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah

dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/ pencipta atau pendesain

harus diberikan penghargaan sebagai imbangan atas upau-upaya kreatif dalam

menemukan/ menciptakan karya – karya intelektual.tersebut.

2. Recovery Theory, berpa pengembalian terhadap apa yang telah dikeluarkan

penemu/pencipta/pendesain yakni biaya, waktu dan tenaga dalam proses

menghasilkan suatu karya.

3. Incentive Theory, berupa insentif yang diberikan kepada

penemu/pencipta/pendisain untuk mengembangkan kreatifitas dan

mengupayakan tercapainya kegiatan – kegiatan penelitian yang berguna.

4. Risk Theory, berupa resiko yang terkandung pada setiap karya yang

dihasilkan. Suatu penelitian mengandung resiko yang dapat memungkinkan

orang lain menemukan karya yang dihasilkan atau memperbaikinya dan

resiko mungkin timbul dari pergaulan secara illegal.

5. Economic Grouth Stimulus Theory, perlindungan hak merupakan alat untuk

pembangunan ekonomi29

.

29

Ranti Fausa Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri, Di Indonesia, PT. Gramedia

Widiarsana Indonesia, Jakarta, h.44

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

34

Perbedaan konsep perlindungan HKI seperti itu, tentu sangat berpengaruh

terhadap efektifitas pelaksanaan hukum atas karya cipta seni karawitan, yang

dituangkan dalam Undang-undang Hak Cipta di Indonesia yang menganut konsep

hukum Komunal. Berkaitan dengan efektifitas, suatu ketentuan perundang-undangan

yang berlaku pada masyarakat dapat mengacu pada terorinya Max Webber yang

dikembangakan oleh Talcott Parsons. Menurut teori aksi, perilaku adalah hasil suatu

keputusan subyektif dari pelaku atau aktor. Dalam bukunya The structure of social

action, Parsons mengemukakan karakteristik tidakan sosial sebagai berikut :

1. adanya individu sebagai actor

2. aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan

3. aktor memilih cara, alat, teknik untuk mencapai tujuannya

4. aktor berhubungan dengan sejumlah kondisi-kondisi situasional yang

membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa

situasi dan kondisi sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh

individu.

5. aktor berada di bawah kendala nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide

abstrak yang mempenaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan.

Sehingga efektivitas berfungsinya hukum dalam masyarakat erat kaitannya

dengan kesadaran hukum dari warga masayarakat itu sendiri. Kesadaran hukum

masyarakat berimplikasi pada penegakan hukum pada masyarakat tersebut. Menurut

Soerjono Soekanto yang menyatakan aplikasi pendekatan system penegakan hukum

terletak pada faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

35

1. faktor hukumnya sendiri, yang didalam tulisan ini akan di batasi pada undang-

undang saja.

2. faktor penegak hukum , yakni pihak-pihak yang membentuk hukum maupun

menerapakan hukum

3. faktor sarana atau failitas yang mendukung penegkan hukum

4. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidupnya.30

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada

efektifitas berlakunya hukum.

Berdasarkan kajian teori diatas, menjadi relevan jika dikaitkan dengan

perlindungan hukum atas karya cipta seni terutama seni karawitan bali. Upaya yang

dapat dilakukan adalah Upaya hukum Preventif atau upaya hukum Represif. Upaya

perlindungan hukum secara Preventif adalah melalui pendaftaran dan perjanjian

Lisensi. Sedangkan upaya perlindungan Represif dapat dilakukan dengan cara

menggunakan jalur Litigasi yaitu, mengajukan gugatan secara Perdata ke Pengadilan

Niaga, atau mengajukan tuntutan Pidana ke Pengadilan Umum, dan dapat juga

menggunakan jalur Non Litigasi sesuai dengan UU.No.30 tahun 1999.

30

Ibid, hal 8.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

36

6. Hipotesis

Hipotesis adalah dugaan sementara mengenai suatu permasalahan yang

harus dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan fakta/data atau informasi yang

diperoleh dari hasil penelitian yang valid dan riabel dengan menggunakan cara yang

sudah ditentukan31

. Dari landasan teori tersebut maka dibuat hipotesis sebagai

berikut:

1. Jika suatu bentuk norma baru (UUHC No.19 tahun 2002) yang dikeluarkan

dirasakan sesuai dengan hukum yang mendominasi kebutuhan kehidupan

masyarakat, maka penerapan UUHC No.19 Tahun 2002 ini akan menjadi

efektif.

2. Jika terjadi suatu pelangaran – pelanggaran terhadap karya cipta seni

karawitan (instrumental bali) Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh

Pencipta adalah :

Mendaftarkan karya ciptaannya pada Dirjen HKI

Melalui perjanjian terutama perjanjian dengan Lisensi

Mengajukan gugatan Perdata ke Pengadilan Niaga

Mengajukan tuntutan Pidana ke Pengadilan Umum

Melalui jalur Non Litigasi. ( Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan).

7. Metode penelitian

31

Sudarmayanti dan Syarifudin Hidayat, 2002, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju,

Bandung, hal. 108

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

37

7.1. Jenis penelitian

Penelitian mengenai “Perlidungan Hukum Undang – Undang No. 19 Tahun

2002 terhadap Pencipta Seni Karawitan Bali” adalah penelitian yuridis empiris yang

menggunakan data sekunder sebagai data awal untuk kemundian di lanjutkan dengan

data primer atau data lapangan. Ini berarti penelitian yuridis empiris tetap bertumpu

pada premis normatif diman definisi oprerasionalnya dapat diambil dari peraturan

perundang-undangan untuk kemudian melihat pada kenyataanya yang terjadi di

lapangan.

7.2. Sifat Penelitian

Penelitian tentng “Perlidungan Hukum Undang – Undang No. 19 Tahun 2002

terhadap Pencipta Seni Karawitan Bali” adalah penelitian yang bersifat deskriptif,

bertujuan untuk menggambarakan secara tepat sifat – saifat individu, keadaa, gejala,

atau kelompok tertentu, atau menentukan penyebaran, suatugejala, atau untuk

menentukan ada tidaknya hubungan anatara suatu gejala dengan gejala lain dalam

masyarakat32

.

7.3. Data dan Sumber Data

7.3.1. Data

Dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data

primer adalah data yang bersumber dari pihak-pihak yang terlibat dalam kasus atau

32

Amiruddin dan Zainal Asikin, Op cit , h.25.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

38

masalah yang menjadi obyek penelitian dengan kata lain data yang diperoleh dari

penelitian lapangan. Sedangkan data sekunder terdiri dari bahan hukum primer yang

bersumber dari peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum, bahan hukum

sekunder yang bersumber dari buku-buku ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum33

.

7.3.2. Sumber data

a. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian di lapangan yang

didapat langsung dari masyarakat, dalam dal ini yaitu masyarakat pencipta

yang menghasilkan karya-karya cipta.

b. Data sekunder adalah data yang besumber dari penelitian kepustakaan yaitu

dengan meneliti bahan-bahan hukum.

7.4. Teknik Pengumpulan Data

7.4.1.Teknik Pengumpulan Data Sekunder dilakukan dengan cara Studi

kepustakaan yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan

membaca, menelaah, mengklarisifikasikan, mengidentifikasi, dan dilakukan

pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan, konvensi

serta buku literatur yang ada dengan permasalahan diatas, hasil dari kegiatan

pengkajian tersebut kemudian di buat ringakasan secara sistematis sebagai

intisari hasil pengkajian studi dokumen.

33

Abdulkdir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Badung,

hal. 202

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

39

7.4.2.Teknik Pengumpulan Data Primer dilakukakan dengan studi lapangan

yaitu suatu cara untuk memperoleh data dengan cara terjun langsung ke

lapangan. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data primer yang dilakukan

dengan wawancara.

7.5. Lokasi Penelitian dan Tehnik Pengambilan Sampel

7.5.1. Lokasi penelitian

Adapun lokasi penelitian meliputi (2)dua lokasi yaitu Kabupaten Gianyar,

Kota Madya Denpasar. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan

bahwa kedua lokasi tersebut mempunyai banyak seniman alam yang membidangi

seni karawitan yang dapat dijadikan obyek penelitian, Perusahaan Rekaman Maharani

Record, Bali Record, Bali TV, TVRI dan Departemen Kebudayaan Provinsi Bali,

Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Bali, sebagai instansi yang terkait

dengan keberadaan HKI, ISI Denpasar, sehingga lokasi tersebut memenuhi kriteria

yang diperlukan dan dapat mewakili karakteristik penelitian yang dilakukan.

7.5.2. Teknik Pengambilan Sampel

Secara metodelogis, pengambilan sample dapat dibedakan menjadi teknik

probility sampling dan teknik non probolity sampling. Salah satu teknik dari non

probility sampling adalah secara proposive sampling yang mana sample dipilih

berdasarkan pertimbangan/ penelitian suibyektif dari penelitian, dalam hal ini peneliti

menentukan sendiri responden dan informan mana yang dianggap dapat mewakili

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

40

populasi. Dalam penelitian ini, responden dan informan yang akan dipilih menjadi

sampel adalah responden yang memiliki karakteristik pemilihan yaitu pemilik karya

cipta dan informanya adalah pihak –pihak dari instansi terkait, produser rekaman,

termasuk para akademisi dan pengamatperkembangan Hak Kekayaan Intelektual,

damana pengambilan data akan dihentikan apabila data telah mendekati kesamaan.

7.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Untuk pengolahan dan analisis data yang diperoleh dari penelitian baik

penelitian kepustakaan atau penelitian lapangan akan diolah dan di analisis secara

deskriptif kwalitatif yaitu penyusunan, intepretasi, pemahaman makna dengan

mengkaitkan ketentuan yang berlaku dengan kondisi masyarakat kemudian disajikan

secara secara sitematis.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

41

BAB II

TINJUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA, SENI KARAWITAN DAN

KONSEP PERLINDUNGAN HUKUMNYA

2.1 Hak Cipta dan Konsep Perlindungannya

2.1.1 Pengertian Hak Cipta.

Istilah hak cipta di usulkan pertama kali oleh St. Moh. Syah Pada Kongres

Kebudayaan di Bandung tahun 1951 yang kemudian diterima oleh Kongres tersebut,

sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan

pengertiaanya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah

bahasa Belanda Auteurs Rechts 34

Secara yuridis istilah hhak cipta telah dipergunakan dalam UUHC No.6

Tahun 1982, UUHC No.7 Tahun 1987, UUHC No. 12 Tahun 1997 dan UUHC No.

19 Tahun 2002. Sebagai istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam

Auteurswet1912.

Pengartian Hak Cipta yang lebih luas, diatur dalam pasal 1 butir 1 UUHC

No. 19 Tahun 2002, yang menyatakan, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta

maupun penerima hak cipta utnuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya atau

memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

34

Ajip Rasidi,1984, Udang-Udang Hak Cipta 1982, Pandangan Seorang Awam, Djambatan,

Jakarta, hal 3.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

42

Hak eksklusif yang dimaksud pada pasal 1 butir 1 UUHC 2002, adalah tidak

ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut kecuali dengan izin dari

penciptanya. “Istilah tidak ada pihak lain” mempunyai pengertian yang sama dengan

hak tunggal, yang menunjukkan hanya pencipta saja yang boleh mendapatkan hak

semacam itu, dan inilah yang dimaksud dengan hak yang bersifat eksklusif. Eksklusif

berarti khusus, unik. Keunikan itu sesuai dengan sifat dan cara menghasilkan hak

cipta. Tidak semua orang bias dengan serta merta menjadi seorang peneliti,

komponis, atau sastrawan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat

memilikinya.35

Hak cipta merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, disamping Hak

Cipta hak kekayaan intelektual juga mengenal hak milik perindustrian yang terditi

dari Hak Merek, Hak Paten, Desain Industri, Desai Tata Letak Sirkuit Terpadu,

Rahasia Dagang dan Perlindungan Varietas Tanaman.

Sementara itu pengertian hak cipta menurut World Intellectual Property

Organization adalah : “ Copyright is alegal form dicribing right given to creator for

the literary and artistic work” Hak Cipta adalah terminology hukum yang

menggambarkan hak-hak yang diberikan kepada pencipta untuk karya-karya mereka

dalam bidang seni dan sastra.36

35

Budi Agus Riswandi. M. Syamsudin, 2004, Hak kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 2. 36

Husain Audah 2004, Hak Cipta & Karya Cipta Musik, PT. Pustaka Litera Antara Nusa,

Bogor, hal 6.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

43

Menurut Hanafi, secara hakiki hak cipta termsuk hak milik immaterial

karena menyangkut ide, gagasan pemikiran, imajinasi dari seseorang yang dituangkan

ke dalam bentuk karya cipta, seperti buku ilmiah, karangan sastra, maupun karya

seni.37

Pengertian hak cipta menurut Copyright Convention Universal dalam pasal

V menyatakan bahwa, hak cipta meliputi hak tunggal si Pencipta untuk membuat,

menerbitakan, dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang

dilindungi perjanjian ini.38

Pengertian hak cipta menurut Universal Copyrigt Convention, ini juga

memberikan pengertian tentang hak cipta lingkupnya masih sempit, sebab yang

dimasukkan dalam pengertian ini hanya hak pencipta dari hasil karya tulis saja,

namun sebenarnya cakupan dari hak cipta lebih luas dari itu, termasuk juga hasil

karya di bidang seni, yang bukan merupakan suatu karya tulis, seperti karya lukis,

seni tari, seni karawitan, dan lain-lainnya.

Menurut Hutauruk ada dua unsur penting yang terkandung dari pemahaman

hak cipta yaitu :

1. Hak Ekonomi, hak yang dapat dipindahkan, dialihkan pada pihak lain

2. Hak Moral, dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun tidak

dapat ditinggalkan haknya pada barang atau benda tersebut ( seperti,

37

Insan Budi Maulana dkk, 2000, Tindak Pidana Hak Cipta Dan Problematika Penegakan

Hukumnya, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual, Pusat Studi Hukum UII, Jogyakarta, hal. 189

(selanjutnya disebut Insan Budi Maulana II) 38

OK. Saidin, Op Cit, hal. 59.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

44

mengumumkan karyanya, menetapakan judul-judlnya, mencantumkan

nama sebenarnya, atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan

dan integritas ceritanya)39

Hak moral tercantum dalam pasal 24 UUHC 2002, yang menurut ketentuan

pasal diatas dapat merujuk pada Konvensi Berne dalam pasal 6 bis yang berbunyi : “

The moral right or paternity or attribution and the right of integrity”40

Hak Cipta sesuai dengan Konvensi Berne selain di rujuk di Indonesia juga dirujuk

oleh Negara lainnya seperti Negara Australia yang memberikan pengertian Hak Cipta

Copyright is : The basic principle behind copyright protection int the concept that an

outhor for artist, ( musicion, play wrigth or film maker), should have the right to

exploit their work without other being allowed to copy that creative output. 41

Hak Cipta walupun hak isitmewa yang hanya dimiliki oleh Pencipta atau

Pemegang Hak Cipta, sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UUHC 2002, namun

penggunaan dan pemanfaatan hendaknya berfungsi social, artinya hasil karya cipta

atau ciptaan bukan hanya dinikmati oleh pencipta saja, melainkan dapat dinikamati,

dimanfaatkan, dan digunakan oleh masyarakat luas, sehingga ciptaan itu mempunyai

nilai guna di samping nilai moral dan ekonomis.

39

Hutauruk, 1982, Pengaturan Hak Cipta Nasional, Erlanga, Jakarta, hal. 11 40

Anne Fitzgerald, 1999, Intellectual Property, LBC Information Services NSW, Sydney,

Hal. 62 41

Mc Keough Stewart, 1997, Intellectula Property In Australia, Butter Wrths Sydney, hal.

119.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

45

2.1.2 Konsep Perlindungan Hak Cipta.

Perlindungan hukum terhadap karya-karya intelktual manusia sangat penting

artinya, terutama masyarakat barat serta masyarakat industri maju yang memelopori

perkembangan system hukum HKI ini sangat concern menyikapi perlindungan

hukumnya, mengngat karya-karya yang masuk dalam lingkuo HKI baik yang berupa

karya seni, sastra, penemuan teknologi, desain, merek dan karya HKI lainnya adalah

merupakan hasil kreativitas intelektual manusia yang lahir dari proses yang sangat

panjang, dengan pengorbanan berat, baik dari segi waktu, tenaga, biaya dan pikiran.

Hasil kreativitas intelektual dengan proses yang demikian mendalam sebagaimana

disebutkan diatas, memeiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, hasil karya pada

hakekatnya merupakan kekayaan pribadi dari mereka uang menemukannya,

menciptakan, maupun mendesain. Oleh karena itu sudah sepatutnya kepada mereka

diberikan perlindungan hukum secara individual yaitu dalam bentuk Hak Ekskusif

atas karya yang dilahirkannya42

.

Perlindungan terhadap hasil karya Hak Cipta seni karawitan, secara nasional

terdapat pada UUHC 2002. Mengacu pada pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Hak

Cipta adalah, hak eksklusif bagi Pencipta atau Penerima Hak Cipta untuk

mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memrberikan izin untuk itu

dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

42

Richard Burton Simatupang, Op Cit, Hal. 85

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

46

Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa, Hak Cipta dapat beralih atau dapat

dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena :

1. Pewarisan

2. Hibah

3. Wasiat

4. Perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan

perundang-undangan.

Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002, menyatakan bahwa Ciptaan yang dilindungi adalah :

a. buku, program computer, pamphlet, perwajahan (lay out), karya tulis

yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis yang lain;

b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis itu;

c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;

d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama atau drama

musical,tari,koreografi, pewayangan dan pantomime;

e. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,

seni kaligrafi, seni pahat, seni patung kolase dan seni terapan;

f. Arsitektur;

g. Peta;

h. Seni batik;

i. Foto grafi;

j. Simatografi;

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

47

k. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, data base dan data karya

lainnya dari hasil pengalihwujudan.

Ayat (2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf I, dilindungi sebagai

ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan Asli.

Ayat (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah

merupakan suatu bentuk yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya

itu.

Pasal 45 ayat (1) menyatakan bahwa, Pemegang Hak Cipta berhak

memberikan Lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 2 UUHC 2002.

Perlindungan karya cipta selain diberikan pada karya cipta manusia yang

berbentuk karya cipta nyata, yang bersumber dari intelektualnya juga harus

mengandung unsure keaslian (original). Konsep keaslian atau originalitas sebagai

salah satu unsure perlindungan hak cipta dalam UUHC 2002 dituangkan dalam

ketentuan pasal 5 ayat (1) menyatakan kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap

sebagai Pencipta adalah :

a. orang yang terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jendral;

atau

b. Orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai

Pencipta pada suatu Ciptaan.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

48

Menurut Miller dan Davis mengemukakan pemberian Hak Cipta didasarkan

pada kriteria keaslian atau kemurnian (originality), yang pentung ciptaan tersebut

benar-benar berasal dari Pencipta yang sebenarnya, dan bukan merupakan hasil

jiplakan atau peniruan dari hasil karya orang lain.43

.

Senada dengan Miller dan Davis, Rahmi Jened dalam bukunya menyatakan

bahwa Undang-undang Hak Cipta Indonesia menetapkan perlindungan hak cipta

diberikan pada yang bersifat pribadi dengan memenuhi pesyaratan keaslian

(originality), berdasarkan kemampuan piliran. Imajinasi, kreativitas (creativity) dan

dalam bentuk khas (fixion).44

Kriteria originality dalam ketentuan Hak Cipta sesuai dengan teori hukum

dalam Hak Cipta yang mengatur suatu standar perlindungan Hak Cipta (Standart of

Copyrhights ability) yang dikemukakan oleh Earl W. Kintner dan Jack Lahr,

menjelaskan bahwa :

1 Originality: the world “ originality” ..or the test of “originality” is not that

the work to be novel or unique. Even a work based upon something already

in public domain may well original.

2 Creativity: creativity as a standart of copyright ability is to great degree

simply measure of originality. Although a work that merely copies exactly

a prior work may be held not to be origil, if the copy entails the

43

Ida Bagus Wyasa Putra, Op Cit, hal. 118. 44

Rami Jened, 2006, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Ekslusif, Air Langga

Universitas Press, Surabaya, hal. 60.

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

49

independent creative judgement of the author in its production, that

creativity will render the work original;

3 Fixation : A work is fixed in a tangible medium of expression its

embodiment in a copy or phonerecord by on under the outhirity of author,

is sufficient permanent or stable to permit to be perceived, reproduced or

otherwise communicated for a period of more than transitory duration. A

work consisting of sound imeger or both, that a being made simultaneously

with transmision45

Berdasarkan Standar Copyrights of Ability dapat diketahui bahwa, Ciptaan

atau karya cipta yang mendapatkan perlindungan hak cipta adalah karya cipta yang

dalam penuangannya harus memiliki bentuk khas dan menunjukkan keasliannya

sebagai Ciptaan seseorang yang bersifat pribadi.

Selain keaslian dari suatu Ciptaan sebagai lingkup konsep perlindungan Hak

Cipta, juga perlindungan hukumterhadap hasil karya cipta diperoleh oleh Pencipta

secara otomatis, artinya tanpa melalui proses pendaftaran terlebih dahulu Pencipta

secara otomatis sudah mendapat perlindungan hukum atas karya ciptaanya tersebut

sudah diwujudkan dalam bentuk karya nyata.

Konsep perlindungan otomatis dalam Undang-Undang Nasional Indonesia terdapat

pada ketentuan pasal 35 ayat (4) UUHC 2002 yang menentukan bahwa pendaftaran

45

Earl W. Kintner dan Jack Lahr, 1983, An Intellectual Property Law Primer, Clark

Boerdman, New York, hal. 346

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

50

suatu ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban. Berdasarkan ketentuan tersebut

pendaftaran Hak Cipta bersifat tidak mutlak, pendaftaran

Perolehan dan perlindungan Hak Cipta bersifat otomatis, tersirat dalam

article 5 (2) ini, yang menyatakan Pencipta akan menikmati perlindungan yang sama

seperti diperoleh mereka daalam Negara sendiri pada Negara-negara lain yang

tergabung dengan Konvensi Berne46

Menurut Sudargo Gautama, perlindungan yang diberikan oleh article 5 (2)

Konvensi Berne, adalah terutama dari orang-orang untuk karya pada Negara-Negara

lain, si Pencipta diberikan perlindungan dengan tidak menghiraukan apakah ada atau

tidak ada perlindungan yang diberikan oleh Negara asal. Perlindungan yang diberikan

adalah bahwa Pencipta yang tergabung dalam Negra-negara yang terkait dalam

Konvensi Berne memperoleh hak yang sama dengan Negara diaman mereka

mengumumkan karya ciptanya.

Meskipun menuruthukum hak cipta perlindungan hukumnya bersifat

otomatis yang diperoleh pencipta sejak ciptaan lahir, dan tidak harus melalui proses

pendaftaran, namun kalau dilakukan pendaftaran akan lebih baik dan lebih

menguntungkan, karena dengan pendaftaran hak, setidaknya akan ada bukti formal

sebagai anggapan adanya hak cipta jika tidak terbukti sebaliknya47

Berkaitan dengan perlindungan hak cipta ini, menurut Holmes, menyatakan

bahwa, while regritation is not mandatary, it it highlydesirable for a number

46

Rahmi Jened, Op Cit, hal. 74 47

Ni Ketut Supasti Dharmawan dkk, Op cit, hal. 16-17.

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

51

omportant reasons. Registration of the copyright is a statutory prerequisite to

instituting an infringement action. It is also a prerequisite to recovering special

statutory damages is additions, a certificate,” prima” avidence of the validity of the

copyright, Finally, registration is necessary for transfer of ownership48

.

Holmes pada prinsipnya mengemukakan bahwa pendaftaran tidak

merupakan keharusan, karena tanpa pendaftaran hak cipta telah ada, diakui dan

dilindungi. Meski pendaftaran tidak merupakan kewajiban, namun ada keinginan

yang sangat besar untuk mendaftarkan ciptaan dengan alasan yaitu pendaftaran

adalah persyaratan untuk menetapakan adanya gugatan atas pelanggaran. Pendaftaran

juga merupakan pesyaratan untuk memperoleh ganti rugi. Surat pendaftaran Hak

Cipta menetapkan bukti awal bagi si Pencipta akan hak ciptanya. Pendaftaran

dibutuhkan untuk peralihan kepemilikan untnuk memberikan pengumuman bagi

pihak ke tiga tentang adanya peralihan kepentingan.

Sehubungan dengan pendapat Holmes diatas, maka dengan adanya proses

pendaftaran jika terjadi pelanggaran karya cipta, si Pencipta lebih mudah

membuktikan dan mengajukan tuntutan, karena ada bukti formal pendaftaran. Dalam

hak cipta untuk lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan menguatkan adanya

perlindungan hukum atas karya cipta, si Pencipta atau pemegang hak cipta umumnya

akan membubuhkan tanda huruf c dalam karya ciptaanya, sebagai bukti bawha karya

ciptanya tersebut sudah mendapatkan perlindungan hak cipta.

48

William C.Holmes, 1983, Intellectual Property and Antitrust Law, Clark Boardman, New

York, hal. 31

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

52

Pentingnya perlindungan Hak Cipta dan rezim perlindungan HKI, selain

dapat diketahui melalui ketentuan secara khusus yang pengaturan perlindungan HKI

termasuk Hak Cipta dapat diketahui melalui ketentuan yang bersifat umum yaitu pada

Declration of Human Right, Pasal 27 ayat (1) yang bunyinya sebagai berikut : “

everyone has the right freely to participate in the culture life of the community, to

enjoy the and to share in scientific advancementand its benefits”49

Suatu hasil karya intelektual yang mendapatkan perlindungan hak cipta

adalah karya cipta dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya –karya

tersebut baru mendapat perlindungan hukum apabila telah diwujudkan sebagai

ciptaan yang berwujud atau berupa ekspresi yang sudah dapat dilihat, dibaca,

didengarkan. Hukum Hak Cipta tidak melindungi ciptaan yang masih berupa ide

(idea) semata, bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya sebagai ciptaan

seseorang yang bersifat pribadi.

Pengaturan Hak Cipta

2.2.1 Pengaturan Hak Cipta Di Indonesia

a. UUHC No. 6 Tahun 1982 ( UUHC 1982)

UUHC No. 6 Tahun 1982, adalah sebagai pengganti dari Auteurswet 1912

yang merupakan UUHC zaman kolonial Belanda. Latar Belakang dikeluarkannya

UUHC 1982 adalah : Dalam rangka pembangunan dibidang hukum demi mendorong

49

Hendra Tanu Atmaja, 2004, Perlindungan Hak Cipta Musik atau Lagu, Hatta

Internasional, Jakarta, hal.20.

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

53

dan melindungi pencipta, penyeberluasan hgasil karya cipta,seni sastra dan ilmu

pengetahuan, serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa perlu

dibentuk Undang-undang tentang Hak Cipta, sebagai pengganti Auteurswet 1912,

karena sudah tidak relevan (tidak sesuai) lagi dengan kebutuhan dan cita-cita hukum

Nasional.

Selain itu UUHC 1982, juga memasukan unsure-unsur perkembangan

teknologi dan unsure kepribadian bangsa yang menyeimbangkan kepentingan

individu dan masyarakat. Lebih lanjut dengan terbentuknya UUHC 1982,

memudahkan pembuktian dalam hal sengketa mengenai hak cipta, walupun dalam

konsep perlindungan hak cipta tahun 1982 menganut system pendaftaran diterima

dengan tidak terlalu mengadakan penelitian mengenai hak pemohon, kecuali sudah

jelas adanya pelangaran hak cipta.50

b. UUHC No. 7 Tahun 1997

UUHC 1982, setelah berjalan kurang lebih 5 tahun, menemui banyak

permasalahan, terutama sebagai akibat kemajuan teknologi elektronik pada abad ke

dua puluh ini, khususnya setelah adanya program computer sebagai perangkat lunak,

merupakan hasil ciptaam yang memerlukan perlindungan hukum.51

Dalam pelaksanaan UUHC No 6 tahun 1982, sering dijumpai adanya tindak

pidana pembajakan terhadap hak cipta. Laporan masyarakat khususnya yang

tergabung dalam berbagai asosiasi profesi yang berkepentingan dengan hak cipta di

50

Hendra Tanu Atmaja, Op Cit, hal. 56 51

Hutauru, Op Cit, hal. 105

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

54

bidang lagu, music, buku, penerbit, film, rekaman video, computer menyatakan

bahwa pelanggaran terhadap hak cipta sudah berlangsung lama, semakin marak dan

meluas. Hal ini dapat mengurangi kreativitas dan produktivitas Pencipta, disamping

kerugian Negara akibat hilangnya penerimaan pajak.

Selain alasan diatas UUHC1982 perlu diubah karena beberapa factor antara lain :

1. Meningkatnya jumlah pelanggaran yang sampai pada tingkat yang

membahayakan.

2. Kurangnya perlindungan hukum atas ciptaan yang berasal dari dalam

negeri.

3. Ancaman pidana terlalu ringan sehingga di anggap kurang mampu

menangkal pelanggaran Hak Cipta.

4. Bentuk ancaman pidana yang pada UUHC1982 adalah delik aduan,

sedangkan UUHC1987 menjadi delik biasa.

Perubahan yang penting lainnya adalah mengenai jangka waktu

perlindungan hak cipta UUHC1982, menentukan perlindungan hukum selama hidup

pencipta dan ditambah 25 tahun setelah pencipta meninggal dunia, dan khusus untuk

karya cipta fotografi dan sinematografi jangka waktu perlindungannya adalah 15

tahun terhitung sejak ciptaan itu diumumkan pertama kalinya. Namanu dalam

UUHC1987, jangka waktu perlindungan diperpanjang menjadi seumur hidup

ditambah 50 tahun setelah si pencipta meninggal dunia, untuk karya cipta yang

bersifat turunan dan derivative jangka waktu perlindungan adalah selama 50 tahun

terhitung sejak karya cipta tersebut diumumkan.

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

55

Disamping itu digantinya UUHC1982 dengan UUHC1987 adalah karena

adanya tekanan-tekanan internasional,terutama dari Negara Amerika, karena Dr.

Arpad Bogch salah satu anggota komisi Eropa dan World Intellectual Property

Organisation (WIPO) dari Amerika mengunjungi Indonesia untuk mengadakan

pembicaraan tentang kemungkinan perubahan Undang-undang HKI di Indonesia,

termasuk Hak Cipta.52

Karena Amerika dihadapkan pada pembajakan besar-besarab

dan tindakan peniruan dan pemalsuan produksi di Indonesia. Amerika memanfaatkan

kebijakan perdagangan sebagai alat dalam menekan pemerintah Indoenesia untuk

melakukan perbaikan-perbaikan di bidang perlindungan HKI.

Berkaitan dengan UHC1987, yang sangat penting dicermati adalah

penyempurnaan yang mencakup ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan

terhadap karya cipta yang tidak diketahui penciptanya, maka Negara memegang hak

cipta atas ciptaan tersebut kecuali terbukti sebaliknya sebagaimana termuat dalam

pasal l0A UUHC 1987.53

c. Undang-undang Hak Cipta No.12 Tahun 1997 (UUHC 1997)

UUHC 1997 lahir karena desakan dari dunia Internasional terutama dari

Negara Amerika Serikat, Uni Eropa. Namun karena adanya perkembangan baru,

dirasakan perlu untuk mengadakan perubahan-perubahan lagi dan penyempurnaan

atas UUHC 1987.

52

Bambang Kesowo, `994, Ketentuan-Ketentuan GATT yang Berkaitan Dengan Hak Milik

Intelekual ( TRIPs), makalah dalam seminar sehari, “ Dampak GATT/Putaran Uruguay Bagi Dunia

Usaha, “Departemen Perdagangan RI, Jakarta, hal.36 53

Hendra Tanu Atmaja, Op Cit, hal.69

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

56

Penyempurnaan UUHC1987, dilaksanakan melalui UUHC 1997.

Penyempurnan ini bertujuan untuk memyesuaikan UUHC tersebut dengan TRIPs,

karena partisipasi Negara Indonesia sebagai salah satu Negara peserta Organisasi

Perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO), yang memberikan

konsekwensi bahwa Indonesia berkewajiban untuk menyesuaikan peraturan

perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan persetujuan

Internasional.54

Secara umum bidang dan arah penyempurnaan yang dilakukan terhadap UUHC1987

menjadi UUHC 1997 adalah :

1. Berdasarkan UUHC 1997 ada ketentuan baru pada pasal 2, yaitu tentang

pengaturan hak penyewaan (Rental Right). Penambahan ini karena keikut

sertaan Indonesia pada persetujuan TRIPs, dalam TRIPs menyatakan bahwa

untuk karya cipta seperti program computer dan karya sinematografi,

ditentukan oleh penyewaan yang diberikan kepada pencipta atas penyewaan

karya tersebut. Berdasrkan ketentuan ini pemilik hak cipta berhak atas

bagian penghasilan dari usaha-usaha penyewaan video, film, dan program

computer.

2. Memasukan ketentuan Konvensi Interbasional

3. Penambahan ketentuan mengenai perlindungan terhadap hak-hak yang

berkaitan dengan hak cipta (Nighboring Right) yang meliputi perlindungan

terhadap :

54

Hendra Tanu Atmaja, Loc Cit, hal.75

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

57

- Produsen Rekaman (Producers of Phonogram)

- Pelaku (Performer)

- Lembaga Penyiaran (Broadcasting Organization)

4. Undang-Undang HAk Cipta No.12 Tahun 1997 mebambah pasal dengan

satu pasal baru yaitu pasal 38A tentang pemberian Lisensi dengan maksud

sebagaimana diuraikan dalam penjelasan yang berbunyi sebagai berikut :

Penambahan pasal baru mengenai Lisensi ini di maksudkan untuk

memberikan landasan pengaturan bagi proyek pelesensian yang berlangsung

di bidang hak cipta.

5. Undang-Undang HAk Cipta No.12 Tahun 1997, menambah Bab V, yaitu

Bab V yang berjudul hak-hak yang berkaitan dengan Hak Cipta dalam satu

pasal yakni pasal 43 C. Penambahan ini sebagai tindak lanjut keikut sertaan

Indonesia pada persetujuan TRIPs yang diatur dalam pasal 14 tentang

perlindungan terhadap pelaku (Performer), produser rekaman suara dan

lembaga-lembaga siaran. Selanjutnya, pasal 38 C menyebutkan agar dapat

mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, maka perjanjian lisensi

wajib didaftarakan pada kantor hak cipta.

d. Undang – undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 (UUHC2002).

Penyempurnaan UUHC 2002 didasarkan pada berbagai pertimbangan yang

pada intinya dimaksudkan lagi untuk lebih memberikan perlindungan kepada para

pencipta dan pemegang hak terkait dengan keseimbangan untuk kepentingan

masyarakat pada umumnya. Termasu dalam hal ini adalah untuk kepentingan

Page 58: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

58

masyarkat pada umumnya. Termasuk dalam hal ini adalah untuk mengakomodasi

beberapa ketentuan dalam TRIPs dan WIPO yang belum dempat diakomodasi

kedalam UUHC1997.

UUHC 2002, dapat dikatakan secara signifikan berbeda dengan UHHC

1997. UUHC 2002 berupaya agar ketentuan –ketentuannya lebih disesuaikan dengan

pedoman standar yang digariskan olehTRIPs. Undang-Undang Hak Cipta yang baru

ini, disamping penyempurnaan juga terdapat penambahan yang diatur dalam Undang-

Undang sebelumnya, antara lain; data base merupakansalah satu Ciptaan yang

dilindungi (pasal 12 UUHC2002). Penggunaan alat baik melalui kabel maupun tanpa

kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optic

(optical disk) melalui media audio, media audio visual dan/sarana telekomunikasi

(pasal 28 UUHC 2002).

Perubahan yang lain diatur dalam UUHC 2002 adalah adanya penyelesaian

sengketa oleh Pengadilan Niaga, Arbitrase, atau penyelesaian sengketa alternative

(pasal 56 dan 65 UUHC 2002). Penetapan sementara untuk mencegah kerugian lebih

besar bagi pemegang hak cipta datur dalam pasal 67 UUHC 2002, sedangkan dalam

pasal 59 dan pasal UUHC 2002, mengatur tentang batas waktu proses perkara perdata

dibidang hak cipta dan hak terkait, baik Pengadilan Niaga maupun Makamah Agung.

Pasal 25 dan pasal 27 UUHC 2002 mengatur tentang, mencantumkan hak

informasi manajemen elektronik dan sarana control teknolog, sedangkan dalam pasal

72 UUHC 2002, mengatur tentang ancaman pidana dan denda minimal, ancaman

pidana terhadap perbanyakan pengunaan program computer untuk kepentingan

Page 59: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

59

komersiil secara tidak sah dan melawan hukum, dan pasal 73 UUHC 2002 mengatur

tentang alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana hak cipta di rambil

oleh Negara untuk dimusnahkan.

Dimulai dari Bab I, tentang ketentuan umum, banyak terminology hak cipta

yang baru disisipkan kedalamnya, seperti pasal 1 yang sebelumnya tidak ada, hal ini

dimaksudkan untuk menyesuaikan ketentuan standar yang ditetapkan TRIPs.

Terminologi dan pengertian yang dimasukan ke dalam UUHC 2002, antara lain Hak

Cipta, pengumuman, perbanyakan, Hak Terkait, Permohonan, Lisensi dan Kuasa.

Bab II, lingkup Hak Cipta yang sama sekali baru dan tidak terdapat dalam

UUHC sebelumnya adalah pasal 4 ayat (2) UUHC 2002, memuat tentang : hak cipta

yang tidak atau belum diumumkan setelah penciptanya meninggal dunia, menjadi

milik ahli warisnya ataumilik penerima wasiat, dan hak tersebut tidak dapat disita,

kecuali hak itu diperoleh secara melawan hukum, sedangkan dalam pasal 10 ayat (3),

menyatakan untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat (2)

orang bukan Negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapt ijin dari istansi yang

terkait dalam masalah tersebut, dalam pasal 11 ayat (3) : menyatakan, jika suatu

Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui penciptanya dan/atau penerbitnya,

Negara memegang Hak Cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.55

55

Hendra Tanu Atmaja, Op Cit, hal. 89-90.

Page 60: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

60

2.2.2 Konvensi – Konvensi Internasional Hak Cipta

a. Konvensi Berne ( Berne Convention )

Mengenai perlindungan hukum HAk Cipta sesuai dengan ketentuan

internasional, ada beberapa konvensi yang mengatur tentang Hak Cipta. Setelah

diadakannya Konvensi Paris ( Paris Convention) pada tahun 1883 di Paris, yang

mengatur tentang HKI secara umum, maka pada tahun 1886 dibentuk sebuah

konvensi di bidang hak cipta yang dikenal dengan International Convention for the

Protection of Literary and Artistic Works ( sering disingkat dengan ( Berne

Convention) yang ditanda tangani di Berne56

. Berne Convention adalah Konvensi

multilateral terpenting dalam Hak Cipta. Indonesia pernah menjadi anggota Konvensi

Bernepada tahun 1959, namun kemudian keluar dan kembali menjadi anggota melalui

Keppres No. 8 Tahun 1997. dengan kembalinya Indonesia menjadi anggota Konvensi

Berne, berarti sejak tahun 1997 Indonesia wajib mentaati ketentuan-ketentuan Berne

Konvention.

Konvensi Berne berpegang pada tiga prinsip dasar yaitu :

1. Perlakuan Nasional ( Nasional Treatment )

2. Perlindungan Otomatis ( Automatic Protection )

3. Kebebasan Perlindungan ( Independentce of Protection )

56

Afrilliayana Purba dkk, 2005, TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia, Rineca Cipta, Jakarta,

hal.27.

Page 61: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

61

b. Universal Copyright Convention ( UCC)

Universal Copyright Convention ( UCC) adalah suatu konvensi hak cipta yang lahir

karena adanya gagasan dari peserta Konvensi Berne di antara Amerika Serikat yang

disponsori oleh PBB khususnya UNESCO, yaitu untuk menyatukan suatu system

hukum hak cipta secara universal. UCC ini dicetuskan dan ditandatangani di Jenewa

pada bulan September 1952, dan telah mengalami revisi di Paris pada tahun 1971.

Standar perlindungan yang ditawarkan UCC lebih rendah dan lebih fleksibel dari

pada yang ditentukan oleh Berne Convention. Menurut article 2 UCC perlindungan

hak cipta menganut prinsip Nasional Treatment. Konvensi Berne menganut system

system perlindungan secara otomatis, sebaliknya UCC mensyaratkan ketentuan

formal untuk adanya perlindungan hukum dibidang hak cipta.

Ketentuan yang monumental dari konvensi universal adalah adanya

ketentuan formalitas hak cipta berupa kewajiban setiap karya yang ingin dilindungi

harus mencantumkan tanda C (dalam lingkaran), disertai nama penciptanya, dan

tahun karya tersebut mulai dipublikasikan. Simbul tersebut menunjukkan bahwa

karya tersebut telah di lindungi dengan hak cipta Negara asalnya, dan telah di daftar

di bawah perlindungan hak cipta.

c. Konvensi Roma ( Roma Convention 1961 )

Berlakunya Konvensi Roma 1961 terhadap Negara-Negara anggota

persetujuan TRIPs, adalah karena di tunjukkan oleh persetujuan TRIP situ sendiri.

Konvensi Roma berisikan pengaturan tentang perlindungan bagi pelaku

pertunjukkan, produsen, rekaman suara dan organisasi penyiaran. Konvensi Roma

Page 62: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

62

yang dirujuk pada TRIPs tidaklah merupakan keseluruhan dari ketentuan Konvensi

tersebut. Pasal-pasal yang dirujuk pada TRPIs Agreement antara lain : Pasal

1,2,3,4,5,610,12,13,14,15 dan 19.57

d. The Agreement on Trade Relected Aspect of International Property Right (

TRIPs).

Berkaitan dengan perlindungan HKI di Negara-negara berkembang muncul

suatu isu baru dalam system perdagangan internasional. HKI sebagai isu baru

dibawah topic The Agreement on Trade Relected Aspect of International Property

Right (TRIPs) atau aspek perdagangan hak kekayaan intelektual (HKI). Perjanjian

tersebut merupakan suatu yang komplek, komprehensif dan ekstensif58

.

TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hukum HKI guna

mendorong timbulnya inovasi, pengalihan serta penyebaran teknologi, diperolehnya

manfaat bersama pembuat dan pemakaian pengetahuan teknologi dengan cara

menciptakan kesejahteraan social, ekonomi, serta keseimbangan anatara hak dan

kewajiban. Berkaitan dengan kebutuhan Nergara untuk melindungi HKI-nya

makakehadiran TRIPs akan menjadi suatu acuan dalam pembentukan Undang-

Undang nasional di bidang HKI bagi setiap Negara termasuk Indonesia.59

Ketentuan mengenai hak cipta dan hak-hak yang terkait dengan hak cipta,

diatur dalam BAB II bagian pertama pasal 9 – 14 TRIPs, dan perlindungan hak cipta

57

Muhamad Djumhana, R Djubaidah, Op Cit, hal. 43 58

Ok. Saidin, Op Cit, hal.123 59

Eddy Damian dkk, 2002, Hak Kekayaan Intelektual suatu Pengantar, Asian Law Goup Pty

Ltdm Alumni, Bandung, hal.36.

Page 63: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

63

pada TRIPs mengacu pada Konvensi Berne, sebagai suatu konvensi yang khusus

memberi perlindungan pada karya seni dan sastra. 60

2.2 Subyek dan Objek Hak Cipta

2.2.1 Subyek Hak Cipta

Sebagai subyek hak cipta, adalah perorangan dan badan hukum.termasuk

subyek hak cipta adalah pencipta dan pemegang hak cipta.

Menurut Volmar, setiap mahluk hidup mempunyai kewenangan atau hak, yaitu

kewenangan untuk memberikan hak-hak dan setiap hak tentu ada subyek haknya

sebagai pendukung hak tersebut.61

Setiap ada hak tentu ada kewajiban, sebagai

pendukung hak dan kewajiban disebut dengan subyek hukum yang terdiri atas,

manusia (natuurlijk person) dan badan hukum (rechtperson).62

Berkaitan dengan subyek hukum, maka yang menjadi subyek hak

cipta,adalah manusia dan badan hukum. Pasal 1 angka 1 UUHC2002 menyatakan

bahwa, pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang

atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan suatu kemampuan pikiran,

imajinasi, kecekatan, keterampilan dan keahlian dituangkan dalam bentuk yang khas

dan bersifat pribadi. Pasal 1 angka 2 UUHC 2002 menyatakan bahwa pencipta

adalah, seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama melahirkan suatu ciptaan

dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

60

Eddy Damian dkk, Loc Cit, hal. 102 61

OK. Saidin, Op Cit, hal.70. 62

Mahadi, 1981, Hak Milik Dalam Sistim Hukum Perdata Nasional, BPHN, Jakarta, hal.63.

Page 64: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

64

Berdasarkan bunyi pasal 1 angka 1 UUHC 2002, menurut Rachmadi Usman,

bahwa sudah jelas pencipta juga dapat menjadi pemegang hak cipta. Namun tidak

semua pemegang hak cipta adalah pencipta.63

Pengertian pemegang hak cipta dapat dilihat dalam pasal 1 angka 4 UUHC 2002,

yang menyatakan bahwa, Pemegang hak cipta adalah, Pencipta sebagai pemilik Hak

Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang

menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.

Dengan demikian, Pencipta hak cipta secara otomatis menjadi pemegang hak

cipta, yang merupakan pemilik hak cipta, sedangkan yang menjadi pemegang hak

cipta harus dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut dari

Pencipta atau pemegan hak cipta yang bersangkutan.\

UUHC 2002 membedakan penggolongan Pencipta Hak Cipta dalam beberapa

kwalifikasi sebagai berikut :

1. Seseorang, yakni:

a. Orang yang namanya terdaftar dalam daftar umum Ciptaan pada

direktorat Jendral HKI,

b. Rang yang namanya tersebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai

pencipta pada suatu ciptaan,

c. Seseorang yang beceramah tidak menggunakan bahan atau secara tidak

tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya.

63

Rachmdi Usman Op Cit, hal.114

Page 65: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

65

d. Seseorang yang membuat ciptaan dalam hubungan dinas dengan pihak

lain dalam lingkungan pekerjaanya atau hubungan dinas berdasarkan

pesanan atau hubungan kerja atau berdasarkan atau pesanan.64

Sesuai dengan pasal 5 UUHC 2002 menyatakan :

1. Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah :

a. Orang namanya tercantum dalam daftar umum ciptaan pada Direktorat

Jendral atau:

b. Orang yang namanya tersebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai

Pencipta pada suatu ciptaan.

2. Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan

tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa penciptanya, maka orang yang

beceramah dianggap sebagai pencipta ceramahnya.

Pasal 8 UUHC 2002 menyatakan :

1. Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam

lingkungan pekerjaannya, pemegang hak cipta adalah, pihak yang untuk dan

dalam dinasnya, ciptaannya itu dikerjaan, kecuali ada perjanjian lain antara

kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila penggunaan

ciptaan diperluas sampai keluar hubungan dinas.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi ciptaan

yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan

dinas

64

Ibid. hal 115

Page 66: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

66

3. Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan,

pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai pencipta atau pemegang

hak cipta kecuali apa diperjanjikan lain antara kedua belah pihak.

2. Dua orang atau lebih

Jika suatu ciptaan oleh beberapa orang, maka yang dianggap sebagai Penciptanya :

a. Orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan yang

bersangkutan atau penghimpunnya:

b. Perancang ciptaan yang bersangkutan

Pernyataan diatas sesuai dengan ketentuan pasal 6 dan 7 UHHC 2002.

Secara lengkap Pasal 6 UUHC 2002 menyatkan bahwa jika suatu ciptaan

terdiri dari beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang

dianggap sebagai pencipta adalah orang yang memimpin serta mengawasi

penyelesaian seluruh ciptaan itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut yang

dianggap sebagai pencipta adalah orang yang menghimpunnya, dengan tidak

mengurangihak cipta masing-masing baagian ciptaannya.

Pasal 7 UUHC 2002 menyatakan bahwa, jika suatu ciptaan dirancang

seseorang, diwijudkan dan dikerjakan oleh orang lain dibawah pimpinan dan

pengawasan orang yang merancang, penciptanya adalah orang yang merancang

ciptaan itu.

Page 67: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

67

3. Lembaga atau Instansi Pemerintah

Pasal 8 UUHC 2002 menyatakan,

1. Jika suatu ciptaan dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam

lingkungan pekerjaanya, pemegang hak cipta adalah, pihak yang untuk

dan dalam dinasnya, ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain

antara kedua belah pihak dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila

penggunaan ciptaan itu diperluas sampai keluar hubungan dinas.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi

ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan

dalam hubungan dinas.

3. Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan

pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai pencipta

atau pemegang hak cipta, kecuali diperjanjikan lan antara kedua belah

pihak.

4. Badan Hukum

Pasal 9 UUHC 2002 menyatakan ; jika suatu badan hukum

mengumumkan bahwa ciptaan berasal dari padanya dengan tidak

menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan hukum tersebut

dianggap sebagai Penciptanya, kecuali jika dibuktikan sebaliknya.

Berkaitan dengan subyek hak cipta, berdasarkan ketentuan pasal-pasal

diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dapat sebagai subyek hak cipta adalah

Page 68: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

68

Pencipta dan Pemegang Hak Cipta. Menurut Rachmadi Usman ada tiga cara untuk

menentukan Pencipta atas ciptaan, yaitu :

1. Cara Pertama: UUHC merumuskan secara tegas siapa saja yang dapat

dikatakan sebagai pencipta yaitu :

a. Orang yang namanya terdaftar sebagai pencipta

b. Orang yang namanya disebut dalam ciptaan

c. Orang yang namanya dumumkan sebagai Pencipta

d. Penceramah

e. Orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan yan

terdiri atas beberapa bagian tersendiri

f. Penghipunan seluruh ciptaan yang terdiri atas beberapa bagian ciptaan

g. Perancang atau pencipta

h. Lembaga instansi dari pembuat atau pembuat suatu ciptaan dalam

lingkungan pekerjaannya atau hubungan dinas berdasarkan pesanan

i. Badan hukum yang mengumumkan suatu ciptaan yang berasal darinya.

2. Cara kedua adalah : UUHC 2002 secara tidak tegas juga merumuskan siapa

yang menjadi Pencipta, dalam hal ini yang bersangkutan dianggap sebagai

Pencitpa, kecuali pihak lain dapat membuktikan sebaliknya bahwa yang

bersangkutan tidak terbukti sebaliknya, seseorang tetap dianggap sebagai

pencipta dari suatu ciptaan yaitu :

a. seseorang yang namanya terdaftar sebagai penciptanya

b. seseorang yang namanya yag disebut delam ciptaan

Page 69: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

69

c. penceramah

d. badan hukum yang mengumumkan suatu ciptaan yang berasal darinya.

Sedangkan cara yang ketiga: UHHC menyerahkan kepada para pihak

berdasarkan kesepakatan bersama untuk menentukan siapa yang menjadi pencipta

dan pemegang hak ciptanya. Sebagai pemegang hak cipta atas ciptaan dibidang ilmu

pengetahuan, seni dan sastra bukan saja penciptanya sendir, baik sendiri-sendiri,

maupun bersama-sama, lembaga atau instansi dan badan hukum, melainkan juga

Negara, yakni tidak diketahui siapa penciptanya, sehingga akan mengakibatkan

kesulitan dalam menentukan kepada siapa perlindungan hukum hak cipta harus

diberikan (pasal 10 UUHC 2002).65

2.3.2 Obyek Hak Cipta

Menurut Prof. Mahadi, setiap ada subyek pasti ada obyek, kedua-duanya

tidak lepas satu sama lain, melainkan ada relasi (hubungan) antara satu sama lainnya,

selanjutnya disebut dengan hubungan eigendom atau hak milik.66

Selanjutnya menurut Pitlo, disatu pihak ada seseorang (kumpulan orang/

badan hukum) yakni subyek hak, dan pada pihak lain ada benda yaitu obyek hak,

dengan kata lain kalau ada sesuatu hak maka harus ada benda sebagai obyek hak,

tempat hal itu melekat.67

65

Rachmadi Usman , Op Cit, hal. 118 66

Mahadi, Op Cit, hal. 64. 67

OK.Sidin, Op Cit, hal 70.

Page 70: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

70

Jika dikaitakan dengan obyek dari hak cipta, adalah hasil karya cipta itu

sendiri. Ekspresi dari sebuah ide, bukan melindungi idenya, artinya yang dilindungi

hak cipta adalah sudah dalam bentuk nyata sebagai suatu ciptaan, bukan masih

merupakan gagasan.68

Pasal 1 angka 3 UUHC 2002, menyatakan bahwa, Ciptaan adalah hasil karya

pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan

sastra.

Dari bunyi pasal 1 angka 3 UUHC 2002 ini menjelaskan bahwa Ciptaan atau karya

cipta yang mendapat perlindungan hak cipta atau sebagai obyek dari hak cipta adalah

1. ciptaan yang merupakan hasil proses penciptaan atas inspirasi, gagasan

atau ide berdasarkan kreatifitas pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan

atau keahlian pencipta;

2. dalam penuangannya harus memliki bentuk yang khas dan menunujukkan

keaslian (orginal) ciptaan seseorang yang bersifat pribadi, dalam bentuk

yang khas, artinya karya tersebut harus telah selesai diwujudkan, sehinga

dapat dilihat, didengar atau dibaca.69

Berdasarkan penjelasan diatas maka terdapat dua persyaratan pokok untuk

mendapatkan perlindungan hak cipta yaitu unsure keaslian dan kreatifitas dari suatu

karya cipta. Bahwa hasil dari suatu karya cipta adalah hasil dari kreatifitas

68

Muhamad Djumhana dan R. Djubaidilah, Op Cit, hal. 56 69

Rahmadi Usman, Op Cit, hal. 121

Page 71: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

71

penciptanya itu sendiri dan bukan tiruan.berdasarkan pasal 12 UUHC 2002, ruang

lingkup ciptaan yang dilindungi :

1. Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam

bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mencakup :

a. Buku, program computer, pamphlet, perwajahan), ( lay Out), karya tulis

yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b. Ceramah, kuliah, pidato, dan karya cipta lain yang sejenis dengan itu;

c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidkan dan ilmu

pengetahuan;

d. Lagu atau music dengan atau tanpa teks;

e. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime

f. Seni rupa dalam segala bentuk, seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni

kaligrafi, seni pahat,seni patung, kolase, seni terapan;

g. Arsitektur;

h. Peta;

i. Seni batik;

j. Fotografi;

k. Sinematografi;

l. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain

dari hasil pengalihwujudan.

2. Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf I dilindungi sebagai Ciptaan

tersendiri dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan asli.

Page 72: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

72

3. Perlindungan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),

termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum dirumuskan tetapi sudah

merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan

perbnanyakan hasil karya itu.

Berkaitan dengan obyek hak cipta yang mendapat perlindungan Undang-

undang Hak Cipta di Indonesia, dikaitkan dengan dengan obyek Hak Cipta yang

mendapat perlindungan di Negara Jepang, terdapat pada Chapter II Right of Outhors,

Section (i) Works (Clasification of Works).

Article 10

i. As used in this law “works” shall include, in particular the following;

ii. Musical;

iii. Choreographic works and pantomimes;

iv. Painting, sculptures and orther bartistic works;

v. Architectural works;

vi. Maps as well as figurative works of all a scientific nature such as plans,

charts, and models;

vii. Cinematographyc works;

viii. Photographyc works;

ix. Program works.70

70

Yukifusa Oyama at al (Transliter), 1999, Copyright Law of Japan, Copyright And

Informations Center Tokyo Japan, hal. 24

Page 73: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

73

2.4 Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta.

Sejarah perkembangan hak cipta di Indonesia sama seperti di luar Negeri,

yakni dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun landasan

berpijaknya tetap dilandasi filosofis dan budaya hukum. Demikian juga halnya pada

jangka waktu perlindungan hak cipta, akan mengacu pada sejarah perkembangan

ketentaun hak cipta secara internasional. Sesuai dengan ketentua Auteurswet 1912

hak cipta hanya dibatasi jangka waktu perlindungannya sampai 50 tahun, tetapi dalam

UUHC 1982 jangka perlindungan hak cipta adalah 25 tahun, kemudain UUHC 1987

dan UUHC 1997 jangka perlindungan hak cipta adalah kembali menjadi seumur

hidup dan ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, karena mengikuti

ketentuan Berne Convention.71

Suatu ciptaan yang memenuhi persyaratan perlindungan hak cipta sesuai

dengan standart of copy right ability secara otomatis akan dilindungi selama jangka

waktu tertentu. Berne Convention ( Article 7 (1) menetapakan, “ The term of

protection granted by this convention shall be tehe life of the author and fifty years

after death “.

Jangka waktu 50 tahun dihitung dari suatu peristiwa timbulanya hak cipta

adalah jangka waktu yang wajar, meskipun ada pengecualian bagi materi siaran

(Article 14 (5) Berne Convention. Penentuan jangka waktu perlindungan terkait

dengan pembenaran secara historis, untuk memenuhi moril dan materiil dari Pencipta

dan ahli warisnya, termasuk pertimbangan bagi ahli waris dari pencipta yang terlama

71

H.OK. Saidin, Op Cit, hal. 106

Page 74: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

74

hidupnya, agar pencipta dan ahli warisnya menikmati manfaat ekonomi hak cipta

sampai dua generasi.72

Sesuai dengan jangka waktu perlindungan yang ditentukan oleh Konvensi

Berne, Inodonesia melalui ketentan UUHC 2002, bahwa jangka waktu perlindungan

berlangsung selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah

Pencipta meninggal dunia untuk ciptaan sebagai berikut :

a. Buku, program computer, pamphlet, perwajahan), ( lay Out), karya tulis

yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b. Ceramah, kuliah, pidato, dan karya cipta lain yang sejenis dengan itu;

c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidkan dan ilmu

pengetahuan;

d. Lagu atau music dengan atau tanpa teks;

e. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime

f. Seni rupa dalam segala bentuk, seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni

kaligrafi, seni pahat,seni patung, kolase, seni terapan;

g. Arsitektur;

h. Peta;

i. Seni batik;

j. Fotografi;

k. Sinematografi;

72

Rahmi Jened, Op Cit, hal. 100

Page 75: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

75

l. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari

hasil pengalihwujudan.

Ciptaan yang sama dimilki oleh dua orang atau lebih, berlaku selama hidup

Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 tahun

sesudahnya ( pasal 30 UUHC 2002 ). Hak Cipta atas ciptaan yang diumumkan bagian

demi bagian dihitung mulai tanggal pengumuman bagian yang terakhir yang terdiri

atas dua jilid atau lebih, demikian pula ikthisar dan berita yang diumumkan secara

berskala dan tidak bersamaan waktunya, dan berita yang diumumkan secara berkala

dan tidak bersamaan waktunya, setiap jilid atau iktisar dan berita itu masing-masing

dianggap sebagai ciptaan tersendiri ( pasal 32 UUHC 2002). Terhadap karya cipta

derivative ( Pasal 31 UUHC 2002) yakni, ciptaan :

a. Program Komputer;

b. Sinematografi;

c. Fotografi;

d. Data ; dan

e. Ciptaan hasil pengalihwujudan sinematografi,

Berlaku 50 tahun sejak pertama diterbitkan atau diumumkan.

Hak cipta atas ciptaan yang dipegang dan dilaksanakan oleh Negara untuk

ciptaan peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasioanal, folklore dan

hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama berlaku tanpa batas waktu

(pasal 31 ayat (1) huruf a. UUHC 2002), ciptaan yang tidak diketahui penciptanya

dan ciptaan itu tidak diterbitkan berlaku 50 tahun sejak ciptaan itu pertama kali

Page 76: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

76

diketahui oleh umum (Pasal 31 ayat (1) huruf b. UUHC 2002), ciptaan yang tidak

diketahui penciptanya atau hanya nama samara dilaksanakan oleh penerbit dan

dilindingi selama 50 tahun sejak pertama kali ciptaan itu diterbitkan. (pasal 31 ayat 2

UUHC 2002).

Ciptaan yang diumumkan bagian demi bagian dihitung mulai tanggal

pengumuman bagian yang terkahir. Hak cipta atas ciptaan yang berseri atau berjilid

atau ikhtisar yang diumumkan secara berkala dan tidak bersamaan waktunya, masing-

masing dianggap sebagai ciptaan tersendiri (pasal 33 UUHC 2002).

Jangka waktu perlindungan hak moral berlangsung tanpa batas waktu (pasal

33 huruf b UUHC 2002), dalam hal ini termasuk perlindungan atas pencantuman dan

perubahan nama atau nama samara Pencipta tanpa batas waktu.

Menurut Rahmi Jened, perbedaan jangka waktu perlindungan merupakan

masalah yang sangat penting dan krusial, lebih-lebih jika dihadapkan kasus hak cipta.

Hak cipta yang bersifat kintas Negara, misalnya di Jerman perlidungan hak

cipta berlangsung seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun, sedangkan di Indonesia

berlangsung seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun. Jika diterpakan prinsip

national treatment, maka Jerman harus melindungi ciptaan Indonesia di Jerman

dalam jangka waktu yang sama dengan ciptaan warga negaranya yaitu seumur hidup

pencipta ditambah 70 tahun setelah meninggal dunia, sedangkan apabila diterapkan

reciprocal treatment, maka atas ciptaan yang sama dari pencipta Indonesia yang

Page 77: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

77

ada di Jerman akan dilindungi dalam jangka waktu seumur hidup pencipta ditambah

50 tahun setelah meninggal dunia sebagai jangka waktu yang diberikan Indonesia.73

Hak cipta yang mengenal paham dualisme yaitu hak moral dan hak ekonomi,

dimana perlindungan terhadap hak moral dari hak cipta tidak mengenal batas waktu

(pasal 33 UUHC 2002 ), sedangkan yang mengenal batas waktu perlindungan adalah

hak ekonomi dari hak ciptt tersebut. Setelah jangka waktu perlindungan terlampaui,

maka ciptaan-ciptaan tersebut akan menjadi public domain, artinya ciptaan-ciptaan

tersebut bebas digunakan oleh orang lain, tanpa ada pembayaran royalty bagi

pemegang hak cipta, namun tetap mengingat dan menjungjung tinggi kepentingan

pribadi Pencipta atas ciptaannya.

2.5. Pengalihan dan Lisensi Karya Cipta

2.5.1 Pengalihan Karya Cipta

Hak cipta adalah sebagai perkembangan Hukum Perdata ( dalam konsepsi

kebendaan), walaupun sesungguhnya Hak Cipta merupakan obyek yang tidak

berwujud (tangible), maka hak cipta dapat dimiliki sebagaimana layaknya hak

kebendaan. Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak, oleh karena itu maka Hak

Cipta dapat dialihkan oleh pemiliknya atau pemegang Hak Cipta.74

Copyrights are freely transferable, just like all other types of personal

property. They can be transfered out right, in transaction usually denominated as an

73

Rahmi Jened, Op Cit, hal. 102. 74

Suyud Margono , 2003, Hukum & Perlindungan Hak Cipta, CV. Nivindo Pustaka Mandiri,

Jakarta. Hal.70

Page 78: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

78

assignment, or the owner can merely give another party the right to exercise certain

rights of copy right ownership by granting either an exclusive or non exclusive

license.75

Sesuai pasal 3 ayat (2) UUHC 2002, Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan,

baik keseluruhan maupun sebagaian melalui :

a. Pewarisan adalah pemberian harta peninggalan kepada ahli waris oleh

pewaris. Sedangkan pengertian pewarisan menurut pasal 830 KUHPerdata

menjelaskan pengertian pewarisan adalah pewarisan berlangsung karena

kematian Pasal 832 KUHPerdata, menurut Udang-undang yang berhak

menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin

dari si suami atau istri yang hidup terlama. Bila mana keluarga sedarah yang

hidup terlama diantara suami atau istri tidak ada, maka segala harta

peninggalan si yang meninggal menjadi milik Negara, yang mana wajib akan

melunasi segala hutang hanya harta peninggalan untuk itu.

b. Hibah, adalah pemindahan hak dari seseorang kepada orang lain pada saat si

pemberi hibah masih hidup76

. Pasal 1666 KUHPerdata menjelaskan adalah

suatu perjanjian dimana si penghibah diwaktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma

dan dengan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan sesuatu benda guna

keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

75

Roger E. Schecter and Jhon R. Thomas, 2003, Intellectual Property The Law Of Copy

Right, Patents, And Trademarks, Hoornbook Series, West Group, hal 104 76

Yulianus, 1980, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, hal. 93.

Page 79: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

79

c. Wasiat, adalah pesan terakhir seseorang sebelum meninggal dunia dan pesan

itu harus dilakukan oleh anggota keluarganya. Menurut Pasal 875

KUHPerdata, Wasiat atau Testament adalah suatu akte yang memuat

pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki nya akan terjadi setelah

dia meninggal dunia dan yang olehnya akan dapat dicabut kembali.

Berkaitan dengan beralihnya hak cipta, menurut penjelasan pasal 3 ayat (2) UUHC

2002, beralih atau dialihkannya Hak Cipta tidak dapat dilakukan secara lisan, tetapi

harus dilakukan secara tertulis baik dengan maupun tanpa akte notiil.

Terhadap hak cipta yang mengacu pada pasal 26 UUHC 2002

1. Hak cipta suatu ciptaan tetap berada di tangan Pencipta selama kepada

pembeli ciptaan itu tidak diserahkan seluruh Hak Cipta dari Pencipta itu

sendiri.

2. Hak cipta yang dijual untuk seluruhnya atau sebagian tidak dapat dijual untuk

kedua kalinya oelh penjual yang sama.

3. Dalam hal timbul sengketa antara beberapa pembeli Hak Cipta yang sama atas

suatu ciptaan, perlindungan diberikan kepada pembeli yang terlebih dahulu

membeli Hak Cipta itu.

Sesuai dengan pasal 26 UUHC 2002, hal ini berarti bahwa pembelian hasil

ciptaan tidak berarti Hak Cipta dari ciptaan tersebut berpindah kepada pembeli, akan

tetapi Hak Cipta atas suatu Ciptaan tersebut ada di tangan Penciptanya.

Bagaimanapun juga suatu karya cipta melekat dengan Penciptanya, karena dalam

pengaturan Hak Cipta si Pencipta memiliki hak moral dan hak ekonomi. Beralihnya

Page 80: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

80

Hak Cipta dari Pencipta ke Penerima Hak Cipta adalah hak ekonominya, sedangkan

hak moral masih tetap melekat pada si Pencipta.77

Berkaitan dengan kepemilikan terhadap suatu benda, termasuk dalam hal ini

Hak Cipta, memiliki sisi hukum yang lebih pasti dan jelas. Kepemilikan juga

menunjukkan hubungan antara seseorang dengan obyek yang menjadi sasaran

kepemilikan itu. Cirri-ciri kepemilikan tersebut antara lain :

a. Pemilik berhak untuk memiliki bendanya, ia mungkin tidak memegang

atau menguasai benda itu, mungkin direbut, dicuri, atau disewakan pada

orang lain, namun hak atas benda tetap ada pada pemilik hak semula.

b. Pemilik biasa berhak untuk menggunakan dan menikmati benda yang

dimilikinya yang pada dasarnyamerupakan kemerdekaan bagi pemilik

untuk berbuat terhadap bendanya.

c. Pemilik berhak untuk menghabiskan, merusak atau mengalihkan bendanya,

termasuk dalam hal ini adalah Hak Cipta.78

Hak Cipta menurut asas Droit de Suit adalah hak yang tidak bisa dicabut dan

diberikan oleh Undang-undang kepada Pencitpta atau ahli warisnya atau instansi lain

yang dijamin oleh Undang-undang, setelah meninggalnya pencipta, ahli waris

diberikan hak untuk menuntut bagian hasil dari penjualan ulang dari copy asli ciptaan

seni dalam jangka waktu perlindungan hak cipta, hal ini dapat pula diperluas terhadap

penjualan umum atas naskah asli, dan pencipta berhak pula mengontrol ciptaannya

77

Suyud Margono, Op Cit, hal. 72. 78

Sujipto Raharjdjo, 1996, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya, Bakti, Bandung, hal. 65

Page 81: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

81

dan berhak juga melarang orang lain mengubah ciptaannya ke dalam bentuk apapun

yang dapat berakibat buruk pada reputasi seninya.79

2.5.2. Lisensi Karya Cipta

Secara umum pengertian Lisensi menurut Black,s Law Dictionary, Lesensi

diartikan sebagai a permission use revocable, to commit some act that would

otherwise be unlawful, esp, an agreement ( not a mounting to the lease or profit a

prende) that is lawful for leceense to enter the lesencor,s land to do some act that

would otherwise be illegal, sich as hunting game.80

Berdasarkan pengertian seperti tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa

Lisensi selalu dikaitkan dengan kewenangan dalam privilege untuk melakukan

sesuatu oleh seseorang atau pihak tertentu. Pengertian dari lisensi secara umum ini

pada awalny selalu dikaitkan dengan penggunaan tanah atas izin yang diberikan oleh

otoritas atau pihak berwenang, dalam hal ini adalah pejabat atau pihak yang terkait.81

Melalui lisensi, pengusaha memberikan izin kepada suatu pihak untuk

membuat produk yang akan dijual tersebut. Izin utnuk membuat produk

tersebutbukan diberikan dengan Cuma-Cuma, sebagai imbalan dari pembuatan

produk dan biasanya juga meliputi izin penjualan produk yang dihasilkan tersebut,

79

Rooseno Harjowidigdo, 2005, Perjanjian Lisensi Hak Cipta Musik Dalam Pembuatan

Rekaman, Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, hal. 7 80

Bryan A. Garner, Editor in Chief, 2001, Black,s Law Dictionary, Thomson West, hal. 418 81

Gunawan Widjaya, 2004, Black,s Law Dictionary atau Waralaba, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal .9.

Page 82: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

82

pengusaha yang memberkan izin memperoleh pembayaran yang disebut sebagai

royalty.82

Selanjutnya dalam Black,s Law Dictionary menyatakan, Lisensing, the sale

of lecence the use of patent, trademarks, Copy Right or technology to another firm.

Berdasarkan pengertian Lisensi diatas, gunawan Widjaya berpendapat bahwa makna

lisensi secara tidak langsung sudah bergeser ke arah “ Penjualan”. Izin untuk

mempergunakan paten, hak merek, Hak Cipta, kepada pihak lain, sehingga dala hal

ini lisensi yang merupakan hak privilege yang bersifat komersial, dalam arti,

memberikan hak dan kewenangan untuk memanfaatkan paten, Hak Atas merek, Hak

Cipta, dan lain-lain yang dilindungi secara ekonomi.83

Berkaitan dengan Hak Cipta, pengertian Lisensi diatur dalam pasal 1 (14)

UUHC 2002 menjelaskan bahwa, Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang

hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau

memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.

Pengaturan lisensi pada UUHC 2002, diatur secara lengkap dalam pasal 45 sampai

pasal 47.

1. Pasal 45 UUHC 2002, menyatakan bahwa pemegang Hak Cipta berhak

memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lesensi untuk

melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.

82

Gunawan Widjaya I, Op Cit, hal. 4 83

Gunawan Widjaya, Lisensi, Seri Hukum Bisnis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 8

Page 83: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

83

2. Kecuali deiperjanjikan lain, lingkup lisensi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2

berlangsung selama jangka waktu lesensi diberikan dan berlaku untuk

seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

3. Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban pemberian royalty

kepada pemegang lisensi oleh penerima lisensi.

4. Jumlah royalty yang wajib dibayarkan kepada pemegang Hak Cipta oleh

penerima lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan

berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.

Pasal 46 menyatakan, kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta tetap boleh

melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga untuk

melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.

Pasal 47 menyatakan :

1. Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan

akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan

yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadapa pihak ketiga, perjanjian

lisensi wajib dicatat di Direktorat Jendral HKI.

3. Direktorat Jendral HKI wajib menolak pencatatan perjanjian lisensi yang

memuat ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1).

Page 84: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

84

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian lisensi diatur dengan

Keputusan Presiden.

Berkaitan dengan pasal-pasal diatas, pada prinsipnya bahwa lisensi haruslah

dilakukan melalui suatu perjanjian. Perjanjian lisensi mengacu pada pengaturan

perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat sahnya

suatu perjanjian secara umum. Sesuai dengan KUHPerdata, untuk sahnya suatu

perjanjian secara umum hendaknya memnuhi unsur-unsur :

- Adanya Kesepakatan

- Adanya Pihak-Pihak

- Adanya obyek tertentu

- Adanya sebab tertentu

Secara umum lisensi dapat dibedakan menjadi lisensi eksklusif dan lisensi non

eksklusif.

- Lisensi Ekslusif adalah, pihak pemberi lisensi hanya memberikan

lisensinya pada satu penerimaan lisensi, dan tidak boleh lagi membrikan

lisensi pada pihak lain, sedangkan lisensi non eksklusif adalah pemberi

lisensi dapat melisensikan hasil karyanya pada lebih dari satu penerima

lisensi .84

84

Suyud Margono dan Longginus Hadi, 2002, Pembaharuan Perlidungan Hukum Merek,

CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, hal. 74.

Page 85: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

85

- Lisensi dalam Hak Cipta, juga mengenal lisensi Eksklusif dan Non

Eksklusif

Secara eksklusif, Si Pencipta atau pemegang Hak Cipta hanya dapat

melisensikan ciptaannya kepada penerima lisensi sekali saja, sedangkan lisensi nen

eksklusif, Si Pencipta dapat melisensikan ciptaanya lebih dari satu kali kepada pihak

lain.

Secara tersirat lisensi eksklusif Hak Cipta dapat dilihat dalam pasal 46

UUHC 2002, yang menyatakan kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta dapat

boleh melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi pada pihak ketiga. Mengacu

pada pasal 46 UUHC 2002 ini, dapat diartikan bahwa jika diperjanjikan lain, maka

lisensi eksklusif juga dapat dilaksanakan.

2.6 Pengertian tentang Seni Karawitan dan Jenis-Jenis Seni Karawitan

2.6.1 Pengertian Seni Karawitan

Sebagaimana ketentuan Pasal 12 UUHC 2002, secara tegas menentukan

bahwa satu obyek Hak Cipta yang mendapatkan perlindungan adalah seni musik (seni

karawitan).

Untuk membatasi apa yng disebut dengan seni karawitan, maka lahirlah

bermacam definisi seni karawitan. Berkaitan dengan pengertian seni karawitan yang

terdiri dari kata seni dan karawitan.

Page 86: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

86

Aristoteles beranggapan karya seni adalah karya nyata yang dapat diserap

secara sensoris (inderawi).85

. Sementara itu, Raymond Piper memberikan definisi

bahwa karya seni adalah sebuah bentuk tampak tersendiri yang dibentuk secara mahir

dalam bahan yang cocok oleh suatu probadi kreatif untuk memberikan suatu

pengungakapan atau perwujudan yang serasi mungkin dan dapat berdiri sendiri bagi

suatu gagasan, khayalan, atatu keinginan yang mengharukan. Sedangkan menurut

Moris Weitz memberikan batasan nyata bahwa karya seni merupakan suatu kebulatan

organis yang disajikan dalam suatu medium inderawi, kebulatan tersebut tersusun

dari unsure-unsur , cirri-ciri ekspresifnya dan hubungan – hubungan yang diperoleh

diantara mereka.86

Sudarmadji memberikan pengertian seni adalah, suatu ekspresi, suatu

ungkapan, sebagai pernyataan suatu maksud, perasaan atau pikiran dengan suatu

medium indra/sense, yang dialami lagi oleh yang mengungkapkan dan bagi orang lain

yang dituju.

Secara etimologi, seni berasal dari kata sani yang dalam bahasa sansekerta

artinya persembahan, pelayanan, atau pemberian. Pendapat lain mengatakan bahwa

kata seni berasal dari bahasa Belanda “ Genei” berasal dari kata genius. Orang genius

adalah orang yang dari kelahirannya punya keuggulan yang menakjubkan, sehingga

85

Soemardjo, Jakob. 2002, Filsafat Seni. Bandung, hal. 274 86

Gie, The Liang. 1996, Filsafat Seni. Yogyakarta, hal. 15-16

Page 87: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

87

seniman mahluk yang memiliki kelebihan dan kehalusan jiwa dalam menikmati dan

mencipta melebihi orang awam.87

Cassirer memberikan pemahaman tentang seni yaitu, seni sudah bersifat

formatif jauh sebelum menjadi indah, seperti suku-suku primitive membuat rumah,

menggambari badan mereka sendiri dengan corak-corak yang ganjil meskipun

bentuknya tidak proporsional, namun bagian-bagiannya tampak menyatu dan itu

sudah merupakan sautu seni.88

Dalam konteks penelitian ini, istilah karya seni tersebut dimaksudkan

sebagai hasil ciptaan berupa gending / tabuh (lagu) kawitan Bali, baik yang berupa

tergolong gending instrumental (konser), gending iringan tari, gending iringan

pragmentari, gending iringan sendratari, gending iringan gegitaan.

Secara umum, music bangsa – bangsa di dunia dapat dikelompokkan

menjadi Western Musc dan Non Western Music. Western Music atau music barat

adalah seni music yang menggunakan tangga nada diatonic (tempere scale),

sedangkan Non Western Music atau seni music diluar music barat atau no diatonic.

Merujuk pada negeri kita Indonesia music tradisi yang di kenal dengan istilah

karawitan sebab tangga nada yang digunakan bukanlah tangga nada diatonic.

Istilah karawitan baru diperkenalkan di dunia ilmu pengetahuan (music) kira

kira pada tahun 1950, yaitu sejak didirikannya konservatori karawitan Indonesia di

Surakarta. Bagi mereka yang awam, istilah karawitan lebih dikenal dengan seni

87

Sudarmaji, Dasar-Dasar Kritik Seni, STSI-ASRI, Yogyakarta, hal.9. 88

Agus Sachari, 2002, Estetika Makna Simbol dan Daya, ITB, Bandung, hal. 15.

Page 88: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

88

gambelan atau tetabuhan temasuk seni tembang (Vokal) didalamnya. Untuk

mempermudah pengertian tersebut, maka seorang ahli music barat mempergunakan

istilah musikologi tradisin Indonesia sebagai padanan ilmu karawitan. Secara singkat

dapat dikatakan bahwa yang dimakdsud dengan istilah karawitan adalah seni suara

tradisi indonesai baik vocal maupun instrumental yang berlaras pelog dan /atau

selendro, atau dengan kata lain yang non diatonic (Monografi Daerah Bali, 1985 :

88).

Sementara menurut Supanggah istilah karawitan dapat digunakan untuk

menyebut atau mewadahi beberapa cabang seni yang memiliki karakter yang halus,

kecil, rumit, atau sejenisnya. Pengertian ini didasarkan atas kata dasar yang

digunakannya yaitu rawit yang berarti kecil, halus atau rumit. Secara luas pengartian

karawitan tersebut melingkupi suatu genre music “baru” , tradisi dan/atau modern

yang merujuk pada karakteristik atau nilai budaya ketimuran, menggunakan

kebiasaan kerja secara oral atau lisan dengan dilandasi oleh semangat kebersamaan

dan/ atau kekeluargaan serta mengutamakan pendekatan dan ungkapan rasa dari pada

nalar atau piker. Sedangkan secara sempit pengertian karawitan dipergunakan untuk

menyebut suatu jenis suara atau music yang mengandung salah satu atau kedua unsur

sebagai berikut :

1. menggunakan alat music gamelan, sebagian atau seluruhnya , baik berlaras

selendro atau pelog, atau laras lain sebagian atau semuanya.

Page 89: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

89

2. Menggunakan laras (tangga nada) selendro dan /atau pelog, baik

instrumental, gambelan atau non gambelan, maupun vocal atau campuran

dari keduanya89

Dalam bukunya, Mcphee yang mengutip perkataan V.C Mahillon mengenai cara

untuk memproduksi suara/bunyi, gamelan bali dapat dibedakan menjadi empat

kategori :

1. Idiophones ; primarily self – sounding and percussive, including gongs,

metallophones, cymbals, bels, xylophones, rattles, slit drums, stamping tubes.

2. Membranophones ; drums with a membrane stretched over an opening

3. Aerophones ; now limited to the family of end- blown fluets but formerly

including a form of oboe

4. Chordophone ; here consisting of the bowed lute and the tube zither.90

Menurut Aryasa, pengertian karawitan tersebut tidak jauh dengan pengertian

“music tradisi daerah indonesia” yang menggunakan laras selendro dan laras pelog.

Music tradisi daerah di Indonesia juga mengandung pengertian music tradisi daerah

Bali, yang mencakup masalah “ tembang dan tabuh atau music vocal dan music

instrumental.91

Yang dimakud dengan music vocal adalah musik yang mengunakan

89

Supanggah, Rahayu. 2002. Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, Jakarta. Hal. 5 90

Colin McPhee, 1966, Music In Bali, New Haven and London, Yale University, hal. 27 91

Aryasa, I W. M, 1976, Perkembangan Seni Karawitan Bali, Denpasar : Proyek Sasana

Budaya Bali, h. 2

Page 90: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

90

suara manusia sebagai sumber bunyi, artinya dengan suara manusia dapat disusun

suatu music yang mencakup persyaratan – persyaratan umum seni suara seperti

adanya pola melodi, pola ritme, dan pola garapan. Sedangkan yang dimaksud dengan

music instrumental adalah music tradisi yang memprgunakan alat – alat sebagai

sumber bunyi, artinya dengan mempergunakan alat – alat dapat disusun suatu music

yang didalamnya mengandung adanya unsure – unsure seperti pola melodi, pola

ritme, dan pola garapan. Pola melodi merupakan rangkaian nada secara beruntun

yang berbeda panjang pendek dan tinggi rendahnya, teratur susunannya dan memiliki

irama ( tempo dan isi ). Pola ritme adalah rangakaian beberapa bunyi/ nada yang

berbeda panjang pendeknya. Pola garapan adalah merupakan bentuk pernyataan

music yang mencerminkan adanyasistem laras, hokum tata nada, norma – norma

keindahan / estetik, peraturan – peraturan mengenai komposisi, orkestrasi, teori dan

profesionalisme.92

.

Menurut Sinti, Seni karawitan ialah seni yang membicarakan prihal

keberadaan seni suara tradisionil baik vocal maupun instrumental, yang berlaraskan

slendro, pelog, ataupun yang lainnya yang tersebar diseluruh wilayah Nusantara

(Indonesia).

Pengertian Karawitan adalah music tradisional yang didalamnya dapat

berbagai unsur yang terkait dengan budaya dan masyarakat. Bentuk seni karawitan

Bali secara umum terdiri dari seni suara vocal dan instrumental.

92

Aryasa, I W. M, 1983, Pengetahuan Karawitan Bali, Jakarta : Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Proyek Pengadaan Buku Pendidikan

Menengah Kejuruan, hal. 1

Page 91: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

91

1. Seni suara vocal yaitu seni suara yang diwujudkan melalui suara manusia,

yang dikelompokkan atas 4 golongan, yaitu: sekar rare (lagu rakyat). sekar

alit/macapat. sekar madya/kidung, dan sekar ageng, dimana setiap kelom-

pok memiliki bentuknya masing-masing.

2. Seni suara instrumental yaitu seni suara yang diwujudkan melalui alat

(gamelan) yang banyak macam dan jenisnya, yaitu lebih dari 30 barungan

besar dan kecil, dimana setiap barungan memiliki bentuk lagunya maing-

masing. Keberadaan gamelan masyarakat Bali mempunyai fungsi dan

peranan yang sangat strategis dalam berbagai aktivitas budaya, social,

kemasyarakatan (Wawancara 1 Januari 2010).

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan istilah karawitan adalah seni

music instrumental tradisional daerah Bali ( Gamelan diantaranya adalah Gong

Kebyar, Semar Pagulingan, Pelegongan, Baleganjur, Manikasanti, dan Siwa Nada).

2.6.2 Fungsi Seni Karawitan

Keberadaan gamelan masyarakat Bali mempunyai fungsi dan peranan yang

sangat strategis dalam berbagai aktivitas budaya, social, kemasyarakatan. Sinti

mengatakan Gamelan dapat berfungsi sebagai bagian dari upacara adat (wali),

sebagai sarana pendukung berbagai bentuk upacara adat (bebali), dan sebagai sarana

hiburan ( balih - balihan) bagi masyarakat. Secara umum seni pertunjukkan dapat di

bedakan menjadi dua antara lain :

1. Seni sakral : seni yang ada kaitannya dengan pelaksanaan upacara yadnya.

Page 92: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

92

2. Seni Provan (sekuler ) : seni yang dipertunjukkan untuk hiburan . (

Wawancara 15 Desember 2009).

Menurut Alan P. Merriem dalam bukunya berjudul The Antrophology of Music

(1964), mendifinisikan tentang fungsi music sebagai seni pertunjukan yaitu :

1. fungsi mengungkapkan emosional

2. fungsi penghayatan estetis

3. fungsi hiburan

4. fungsi komunikasi

5. fungsi pengesahan lembaga social atau keagamaan

6. fungsi reaksi jasmani

7. fungsi kesinambungan kebudayaan

8. fungsi perlambangan

9. fungsi pengintegrasian masyarakat

2.7 Seni Karawitan Sebagai Bagian dari Hak Cipta.

Seni karawitan merupakan bagian dari kehidupan manusia sejak dulu. Seni

karawitan erat kaitannya dengan kebudayaan. Kebudayaan menurut Prof.

Kunjaraninggrat adalah hasil dari olah pikir yang bersumber dari cipta, rasa, karsa

manusia. 93

senua yang merupakan hasil dari olah piker manusia baik itu merupakan

93

Kunjaraninggrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal 181.

Page 93: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

93

suatu benda yang kelihatan maupun sesuatu hasil yang tidak dapat dilihat adalah

merupakan hasil dari kebudayaan, termasuk seni karawitan.

Pengertian diatas mempunyai makna yang sama dengan pengertian Hak Kekayaan

Intelektual (HKI).

Jika dibandingkan Pengertian Hak Kekayaan Intelektual menurut David

Brigde, adalah Hak atas kekayaan yang berasal dari karya intelektual manusia, yaitu

hak yang berasal dari kreatif kemampuan daya fikir manusia yang diekspresikan

dalam berbagai bentuk karya yang bemanfaat dan berguna untuk menunjang

kehidupan manusia dan mempunyai nilai ekonomis.94

Letak perbedaan antara

pengertian kebudayaan dengan pengetian HKI adalah dimana obyek HKI adalah hasil

karya manusia yang mempunyai nilai ekonomis saja, namun hampir semua karya

manusia yang bersumber dari daya fikirnya yang baik, yang bernilai ekonomis

maupun tidak adalah merupakan suatu kebudayaan.

Pengertian kebudayaan jika dibandingkan dengan pengertian Hak Kekayaan

Intelektual (HKI), obyeknya sama, yaitu suatu hasil karya yang bersumber dari hasil

daya fikir manusia yang berasal dari akal, nalar yang mempunyai pengertian sama

dengan rasa, karya , cipta manusia, termasuk juga seni karawitan yang merupakan

salah satu hasil karya intelektual manusia.

Dalam UUHC 2002 Karawitan sebagai obyek perlindungan Hak Cipta tertuang dalam

Pasal 12 Huruf D …

94

Muhamma Jumhana, Op Cit, hal. 16

Page 94: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

94

Menurut Sinti, Seorang composer jika ingin menciptakan sebuah karya cipta

(gending), haruslah menguasai pengetahuan yang berhubungan dengan seni karawitan

baik seni karawitan klasik ataupun modern

Dalam menciptakan gending, kita harus kaya dengn materi, ya, sudah tentu harus

banyak melakukan penelitian pra penciptaan. Proses penciptaan gending melalui

tahapan-tahapan, antara lain:

Ide penciptaan, maksudnya apakah gending yang diciptakan untuk iringan

tari atau tidak. Kalau untuk iringan tari, apakah untuk tari Putra atau Putri

halus, sedang atau keras.

Kalau untuk tabuh instrumental, pada barung gamelan apa, maksudnya

apakah pada gamelan: gong gede, gong kebyar, smar pegulingan, pelego-

ngan, dsbnya.

(Wawancara 7 Januari 2010). Berdasarkan pendapat Sinti, maka jelas bahwa suatu

karya seni karawitan merupakan bagian dari karya cipta, oleh sebab itu si Pencipta

akan mendapatkan perlindungan dalam UUHC 2002.

Page 95: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

95

BAB III

IMPLEMENTASI DAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS

KARYA CIPTA SENI KARAWITAN BALI

3.1 Pertunjukkan Atas Karya Cipta Seni Karawitan Bali.

Semenjak Bali dibuka menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia

pada akhir tahun 1960, semakin banyak kesenian bali khususnya Tari dan Karawitan

Bali dikembangkan menjadi seni pertunjukkan wisata. (touristic performing art)

Menurut Dibia memberikan pengertian tentang seni Pertunjukkan pada dasarnya

adalah, presentasi, ide, gagasan, atau pesan kepada penonton oleh pelakunya melalui

peragaan.95

Seni pertunjukkan merupakan kesenian yang sangat tergantung pada

kehadiran seniman/seniwati pelakunya. Kesenian ini tidak akan pernah ada jika tidak

ada pelakunya yaitu penari, pemusik, dan actor yang secara langsung memperagakan

dan menyajikan pertunjukkan pada penonton.96

Menurut Sinti memberikan pengertian tentang seni pertunjukkan adalah

pementasan yang mencakup music (tabuh), tari, drama (sendratari) (wawancara 1

Januari 2010) .

Secara umum music bangsa-bangsa didunia sering disebut dengan istilah

world misic -dapat dikelompokkan menjadi Musik Barat (Western Music) dan Bukan

95

I Wayan Dibia, 2004, Pragina, Sava Media, Malang, hal. 3 (selanjutnya disebut dengan I

Wayan Dibia II). 96

Ibid

Page 96: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

96

Non- Western Musik. Music barat ( Western Musik) adalah seni musik yang

menggunakan tangga nada diatonic sedangkan Non- Western Music adalah seni

music diluar music barat atau non diatonic. Merujuk pada negeri kita Indonesia music

tradisi dikenal dengan istilah Karawitan. Sebab tangga nada yang digunakan bukanlah

tangga nada diatonik. Istilah Karawitan Bali diperkenalkan didunia ilmu pengetahuan

kira-kira pada tahun 1950, yaitu sejak didirikannya konservatori karawitan Indonesia

di Surakarta. Karawitan adalah seni suara tradisi Indonesia baik vokal maupun

instrumental yang berlaraskan pelog dan/ selendro, denga kata lain non diatonic.

Menurut Sinti, salah satu pakar karawitan Bali yang merupakan salah satu

pengajar seni karawitan bali di luar negeri, menyebutkan dalam wawancara dengan

penulis bahwa Karya cipta seni karawitan bali secara umum sesuai fungsinya dapat

dibagi menjadi:

Instrumen yang digunakan untuk mengiringi proses upacara keagamaan,

dalam hal ini lagu yang dimainkan seperti gending - gending (lagu)

Gambang, Saron, Caruk, Gong Gede.

Instrumen yang dipertunjukan kehadapan penonton dan selanjutnya dapat

memperoleh tanggapan dari penontonnya. Seperti Gending Semar

Pegulingan, Gending Angklung, Gending Gong Kebyar.

Page 97: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

97

Dilihat dari golongannya seni karawitan (instrumental ) bali dapat dibedakan menjadi

tiga (3) :

Seni Karawitan klasik / kuno , adapun yang termasuk seni karawitan klasik

seperti Gambang, Selonding, Caruk , Genggong, Gong Gede

Seni Karawitan Modern, adapun yang termasuk seni karawitan modern

adalah gending – gending Gong Kebyar, Angklung, Jegog, Semar

Pegulingan, dll

Seni Karawitan baru , yang termasuk seni karawitan baru adalah Gamelan

siwa nada, Semara Dana, Manikasanti, Bumbang, dll.

Jika dilihat dari kedua fungsi karawitan, maka seni karawitan adalah

instrumental yang digunakan untuk mengiringi upacara keagamaan dan untuk

mengiringi pertunjukkan tari – tarian.

Berbagai Festival gamelan digelar dimana – mana di luar Indonesia. Festival

Gamelan Internasional yang pertama juga diselenggarakan diluar negeri, tepatnya di

Voncouver, B.C. Canada, pada tahun 198697

Dalam perkembangannya sejak dibukanya Hotel Grand Bali Beach pada

tahun 1966. Wisatawan asing mulai banjir datang ke Bali. Hal ini mempunyai

pengaruh positif terhadap seni pertunjukkan baik seni tari maupun seni karawitan.

Pertunjukkan Kesenian Tradisional di kemas secara khusus bagi wisatawan Asing

97

Supanggah Rahayu, 2002. Bothekan Karawitan I. Jakarta : Masyarakat Seni Pertunjukkan

Indonesia, hal 8.

Page 98: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

98

mampu menjadi industri yang maju pesat, disukai wisatawan Asing dan sangat

menguntungkan.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak I Ketut Gede Sudarsana (Humas,

Hotel Grand Bali Beach) menjelaskan, bahwa di Grand Bali Beach Hotel sering

mempertunjukkan kesenian Bali yang bersifat sakral, adapun tujuannya adalah untuk

menarik tamu agar bisa betah menginap di Hotel Grand Bali Beach. Biasanya

pertunjukkan tersebut dilakukan pada malam hari yakni pada saat makan malam atau

pesta kebun. Selain hal diatas tujuan mempertunjukkan kesenian bali adalah untuk

melesatarikan kesenian itu sendiri agar tidak punah dan pada akhirnya dapat

meningkatkan kesejahteraan para seniman. Biasanya Pertunjukkan kesenian Bali

yang bersifat tradisional dilakukan di hotel waktu yang di berikan sekitar 45 sampai

60 menit. (wawancara tanggal 15 Februari 2010)

Hal senanda juga disampaikan oleh I Ketut Gita Kusuma (Recreation

Coodinator Plaza Paradise Hotel), biasanya pada event-event tertentu seperti

penyambutan tamu, terutama tamu Manca Negara, makan malam sering diiringi oleh

pertunjukkan tabuh instrumental bapang sisir, lengker, sebagai pembukaan dan

dilanjutkan dengan pertunjukkan tari semacam tari penyambutan seperti Pendet.

Tujuan dari pertunjukkan tersebut selain merupakan permintaan para tamu travel

yang bekerjasama dengan pihak hotel adalah untuk melestarikan kesenian tradisonal

Bali itu sendiri.

Dalam penyuguhan kesenian tradisional bali pihak hotel biasanya

bekerjasama dengan pihak luar apakah itu Sekeha , ataupun Sanggar untuk

Page 99: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

99

mempertunjukkan kesenian bali yang di minta oleh wisatawan asing ( wawancara 20

Februari 2010).

Selain pertunjukkan kesenian tradisional bali sering dipentaskan di Hatel-

hotel, pertunjukkan tersebut biasanya ditayangkan melalui media Televisi.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Ketut Leneng (Kepala Bidang Program

TVRI) menjelaskan bahwa dalam Program TVRI memang ada menayangkan acara

kesenian Bali yang besifat sakral, hiburan dan pertunjukkan. Tujuan TVRI

memasukan program kesenian Bali selain untuk melestarikan juga untuk menarik

pemirsa agar lebih betah menonton jika ada pertunjukkan kesenian bali, terutama

penonton yang berada di pedesaan. Penayangan Kesenian Bali di Televisi ini belum

pernah meminta izin pada Pencipta, namun dalam penayangannya nam pencipta

sudah di cantumkan (wawancara 24 Februari 2010).

Berdasarkan wawancara diatas dengan adanya penayangan kesenian bali di

media televisi membuat penonton televisi menjadi lebih betah untuk menonton yang

tujuannya adalah untuk meningkatkan penayangan iklan sebagai sponsor yang pada

akhirnya akan meningkatkan pendatan TVRI, sehingga akan membawa pengaruh

pada keuntungan yang didapat TVRI. Secara tidak langsung penayangan kesenian

Bali di televisi juga mempunyai tujuan komersiil.

Senada dengan penjelasan Bapak Ketut Leneng dari TVRI, berdasarkan

wawancara dengan Bapak I Gede Sudarsana (Humas Hotel Grand Bali Beach)

menjelaskan bahwa, hotelnya sering mengadakan pertunjukkan kesenian bali yang

sudah diketahui Penciptanya. Namun selama ini belum pernah meminta izin pada

Page 100: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

100

Pencipta yang karyanya dipentaskan. Hal ini disebabkan pihak hotel biasanya

menyewa pihak lain (sekeha/ sanggar) untuk mengadakan pertunjukkan tersebut

untuk suguhan tamu hotel dan pihak hotel akan membayar kepada sekeha sesuai

dengan kesepakatan yang diperjanjikan. Perjanjian yang dibuat secara lisan, itu

dikarenakan adanya rasa saling percaya anatara kedua belah pihak ( wawancara

tanggal 15 Februari 2010).

3.2 Perlindungan Hukum bagi Pencipta atas Karya Cipta Seni Karawitan Bali

Yang Dipertunjukkan Secara Komersiil.

Seniman dan karya seninya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Keduanya saling menentukan dan saling membutuhkan. Seniman dalam keadaan

tertentu dapat dikatakan sebagai sebagai manusia biasa yang memiliki kemampuan “

luar biasa”. Dalam kehidupan sehari-hari seniman adalah bagian dari anggota

masyarakat, ia harus berinteraksi dengan warga masyarakat lainnya, namun dalam hal

tertentu tertutama dalam hal berkesenian seniman tergolong orang-orang yang

memiliki bakat, kemampuan, dan ketrampilan. Menurut Sinti , Seniman terutama

seniman kerawitan ( pengrawit) dalam hal menciptakan sebuah karya (gendig)

memerlukan waktu dan perenungan yang mendalam agar sebuah hasil karya yang

dihasilkan betul-betul memuaskan. Proses untuk menciptakan sebuah lagu (gending)

oleh pengrawit sangat menguras tenaga, fikiran, waktu, dan biaya yang tidak sedikit.

Maka sudah seharusnya para pencipta dan hasil ciptaannya mendapatkan

penghargaan. Karya cipta karawitan bali merupakan salah satu dari hasil karya

Page 101: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

101

intelektual manusia yang mendapat perlindungan hak cipta. Untuk mewujudkan tanda

penghargaan terhadap pencipta dan karya ciptanya, maka atas hasil karya cipta

tersebut perlu mendapatkan perlindungan dari Negara.

Para Pencipta seperti Wayan Beratha, Wayan Sinti, Komang Astita, Ketut

Gede Asnawa, Ketut Swandita, Made Murna, Ketut Suarta Jaya, I Nyoman Windha, I

Wayan Suweca, Made Kartawan. Menjelaskan bahwa dalam membuat suatu karya

cipta (gending) membutuhkan waktu 3 sampai 6 bulan dari ide sampai proses

pembuatannnya. Tentang biaya yang dikeluarkan kurang lebih 30-50 juta termasuk

kostum penabuh, konsumsi selama latihan. Para Pencipta menjelaskan biaya yang

tinggi kadang-kadang tidak dipikirkan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.

Biaya yang dikeluarkan diperoleh melalui sponsor, melalui pemerintah dengan cara

mengajukan proposal, atau menggunakan biaya sendiri ( Wawancara 12 Januari

2010).

Berdasarkan atas wawancara dengan para Pencipta diatas, untuk

menciptakan suatu karya cipta Karawitan Bali yang tidak sedikit membutuhkan biaya,

waktu, tenaga, maka para Pencipta Karawitan wajiblah mendapatkan penghargaan

dan perlindungan Hak Cipta.

Penghargaan diberikan pada Pencipta karya seni Karawitan Bali sesuai dengan Teori

dari M. Sherwood, yang mendasari perlunya perlindungan hak yaitu sebagai berikut:

1. Reward Theory, berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah

dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/ pencipta atau pendesain

Page 102: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

102

harus diberikan penghargaan sebagai imbangan atas upau-upaya kreatif

dalam menemukan/ menciptakan karya – karya intelektual.tersebut.

2. Recovery Theory, berpa pengembalian terhadap apa yang telah dikeluarkan

penemu/pencipta/pendesain yakni biaya, waktu dan tenaga dalam proses

menghasilkan suatu karya.

3. Incentive Theory, berupa insentif yang diberikan kepada

penemu/pencipta/pendisain untuk mengembangkan kreatifitas dan

mengupayakan tercapainya kegiatan – kegiatan penelitian yang berguna.

4. Risk Theory, berupa resiko yang terkandung pada setiap karya yang

dihasilkan. Suatu penelitian mengandung resiko yang dapat memungkinkan

orang lain menemukan karya yang dihasilkan atau memperbaikinya dan

resiko mungkin timbul dari pergaulan secara illegal.

5. Economic Grouth Stimulus Theory, perlindungan hak merupakan alat untuk

pembangunan ekonomi.98

Alasan lain terkait dengan perlunya perlindungan hukum atas Hak Cipta yang tidak

terlepas dari perlindungan HKI pada umumnya yaitu karena adanya hak-hak alamiah,

perlindungan HKI atas reputasi, mendorong dan menghargai penemuan dan kreasi.

1. Hak-hak alamiah, alasan yang paling mendasar bagi Hak Kekayaan

Intelektual adalah bahwa seseorang yang telah mencurahkan usahanya untuk

menciptakan sesuatu mempunyai hak alamiah /dasar untuk memiliki dan

98

Ranti Fausa Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri, Di Indonesia, PT. Gramedia

Widiarsana Indonesia, Jakarta, h.44

Page 103: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

103

mengontrol apa-apa yang telah telah diciptakaannya. Pendekatan ini

menyiratkan kewajaran dan keadilan akan nampak apabila mencuri usaha

seseorang tanpa meminta izinya terlebih dahulu. Menurut pasal 27 ayat (2)

dari Deklarsi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia ( Universal

Declaration of Human Right ) setiap orang mempunya hak untuk melindungi

kepentingan moral dan materiil yang berasal dari ilmu pengetahuan, sastra

atau hasil seni yang mana merupakan Penciptanya.

2. Perlindungan atas reputasi, perusahaan sering menghabiskan banyak waktu

dan uang untuk membangun sebuah reputasi bagi produknya. Perusahaan-

perushaan lain mungkin menggunakan nama-nama yang hampir sama atau

mirip logo atau citra yang digunakan oleh sebuah perusahaan terkenal untuk

menarik konsumen. Dengan cara ini, perusahaan yang meniru reputasi

perusahaan lain telah “mencuri” konsumen dari perusahaan terkenal tersebut.

Hukum merek berusaha mencegah tindakan tersebut. Perlindungan penting

karena reputasi bisnis yang diperoleh melalui merek, nama dan tampilan luar

dari suatu produk, mungkin bisa bernilai lebih dari asset fisik yang dimiliki

perusahaan.

3. Mendorong dan menghargai penemuan dan kreasi, orang yang menulis buku,

music, tari, atau orang yang menciptakan seni lainnya yang sering kali

melakukannya sebagai mata pencaharian, sama saja dengan penemu, besar

kemungkinan mereka menemukan sesuatu untuk mendapatkan keuntungan.

Baik Pencipta sering memerlukan banyak dana dan waktu untuk

Page 104: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

104

menciptakan sesuatu. Jika orang lain bebas memperbanyak dan menjual

karya-karya tersebut, mereka tidak mendapatkan keuntungan dari ciptaan

mereka (paling tidak hanya dari konpensasi dan waktu serta dana yang telah

mereka keluarkan. Jika tidak ada hukum HKI, para Pencipta dan Para

penemu mungkin memutuskan tidak menciptakan atau tidak menemukan

sesuatu.99

Berdasarkan atas teori-teori perlindungan HKI sebagaimana telah dijelaskan

diatas, maka relevan untuk diketahui sistim perlindungan Hak Cipta. Bentuk

perlindungan Hak Cipta yang diberikan oleh Negara melalui ketentuan UUHC 2002.

Menurut hukum hak cipta, perlndungan hukum terhadap hasil karya termasuk karya

cipta seni karawitan Bali diperoleh Pencipta secara otomatis, artinya tanpa melalui

proses pendaftaran terlebih dahulu Pencipta atas karya ciptanya, begitu karya tersebut

sudah terwujud dalam bentuk nyata.

Konsep perlindungan otomatis dilandasi oleh Konvensi Berne. Salah satu

prinsip Konvensi Berne adalah Automaticlly Protection. Sistim perlindungan ini Hak

Cipta boleh didaftarkan boleh juga tidak. Pasal 35 ayat (4) UUHC 2002 menentukan

bahwa pendaftaran suatu ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban. Selain pasal 35

ayat (4) UUHC 2002 perlindungan Hak Cipta dapat dilihat pula pada ketentuan pasal

1 ayat (1) UUHC 2002, yang menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi

Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya

99

Budi Santoso, 2005, Butir-Butir Berserakan Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual

(Disain Industri), Mandar Maju,Bandung, hal. 65.

Page 105: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

105

atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan terhadap Hak

Cipta dan Pemegang Hak Cipta juga dapat dilihat dalam ketentuan pasal 3 ayat (2)

UUHC 2002, mengatur mengenai peralihan Hak Cipta. Hak cipta dapat beralih atau

dialihkan, baik secara keseluruhan maupun sebagian karena ; pewarisan, hibah,

wasiat, perjanjian tertulis dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh Undang-undang.

Disamping itu perlindungan hak cipta dapat dilihat pada Pasal 45 UUHC 2002, yang

mengatur tentang Lisensi, termasuk karya cipta Seni Karawitan Bali. Pasal 56 UUHC

2002 , melalui gugatan perdata melalui Peradilan Niaga untuk ganti rugi atas

pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan

atau hasil perbanyakan ciptaan itu sendiri. Perlindungan Hak Cipta dapat pula melalui

pasal 72 dan Pasal 73 UUHC 2002, yang mengatur mengenai ketentuan pidana dari

adanya pelanggaran Hak Cipta oleh pihak lain tanpa seizing Pencipta atau Pemegang

Hak Cipta.

Perlindungan terhadap karya cipta yang mengacu pada ketentuan diatas,

seharusnya dapat pula diterapakan pada karya cipta Seni Karawitan Bali. Namun

dalam kenyataannya Baik si Pencipta maupun karya cipta Seni Karawitan Bali

belumlah mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan UUHC 2002.

Perlindungan Hak Cipta yang didapatkan oleh Pencipta secara eksklusif adalah hak

moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada si Penciptanya dan

tidak dapat dialihkan dengan cara apapun juga, hak moral lebih ditijukan pada

manifestasi dari adanya pengakuan terhadap hasil karya orang lain yang tidak dapat

Page 106: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

106

dinilai dengan uang. Sedangkan hak ekonomi sangat berkaitan dengan pemanfaatan

secara ekonomi suatu karya cipta yang dipandang sebagai investasi mesti dikelola

secara komersiiluntuk pengembalian modal yang dikeluarkan.100

Tujuannya adalah selain untuk meningkatkan kesejahteraan bagi si Pencipta juga

untuk merangsang kreatifitas intelektual Pencipta dalam meningkatkan kwantitas dan

kwalitas karya ciptanya.

Berdasarkan Wawancara 12 Januari 2010 dengan Composer seperti I Wayan

Beratha, Wayan Suweca, Wayan Rundu, Komang Astita, Ketut Gede Asnawa,

Nyoman Windha, Ketut Suarta Jaya, Made Murna, Wayan Widya, Ketut Swandita,

Ketut Rudita, mengatakan bahwa selama ini belum pernah ada pihak lain yang

mempertunjukkan karya ciptanya meminta izin kepada mereka sebelum karya

ciptanys dipertunjukkan, para composer tersebut juga menyatakan bahwa mereka

memang tidak tahu bahwa dengan dipertunjukkan karya cipta mereka tertutama

pertunjukkan secara komersiil, seharusnya meminta izin pada mereka, apalagi

mengadakan perjanjian sesuai dengan ketentuan UUHC 2002, untuk membayar

royalty sama sekali tidak terfikirkan olehnya.

Bagi para Pencipta jika karya ciptanya semakin banyak dpertunjukkan oleh

pelaku pertunjukkan secara komersiil ataupun non komersiil tidak dipermasalahkan,

malahan mereka bangga karya ciptaanya dapat diterima oleh warga masyarakat

termasuk warga Negara Asing dan mereka juga tidak mereka juga tidak mengetahui

100

Wirawan, 2003, Dari Untuk Bali: Pengaruh Ajaran Agama Terhadap Kaidah

Berfungsinya Undang-Undang Hak Cipta Pada Seniman Bali, Pro Fajar, Denpasar, hal. 131

Page 107: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

107

karya cipta mereka mendapatkan perlindungan secara otomatis. Pencipta / composer

mengira untuk mendapatkan Hak Cipta harus terlebih dahulu mendaftarkan karya

ciptaannya kepada Negara, namun instansi tempat pendaftaran yang pasti tidak

ditahui (wawancara 20 Januari 2010). Sementara dari penjelasan Sinti, karya cipta

karawitannya sering dipertunjukkan oleh pelaku pertunjukkan dan sebelum

pertunjukkan memang ada pemberitahuan secara lisan kepada sinti. Secara formal

untuk pembayaran royalty belum pernah diperjanjikan, namun sesuai penjelasan

Sinti, kadang kala pihak pelaku pertunjukkan memberikan sejumlah uang sebagai

tanda terimakasih karena karya ciptanya dipertunjukkan secara komersiil baik di

dalam negeri maupun di luar negeri. Pemberian uang sebagai tanda terimakasih tidak

setiap pertunjukkan diberikan, hanya sekali dua kali saja (wawancara 25 Maret 2010).

3.3 Implementasi ketentuan Pasal 1, Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 45 UUHC 2002

mengenai Perlindungan Hukum Atas Karya Cipta Seni Karawitan Bali di

Bali.

Suatu Negara yang berdasarkan atas hukum, kesiapan system hukum

nasional merupakan hal yang penting dan memasuki era globalisasi. Peranan hukum

sangat penting dalam kehidupan bangsa dan bernegara, karena hukum tidak hanya

berfungsi sebagai sarana ketertiban dan keamanan masyarakat serta stabilitas

nasional, akan tetapi lebih dari itu, hukum dibutuhkan sebagai sarana pembangunan

nasional. Dengan kata lain hukum merupakan transformasi msyarakat menuju

struktur, organisasi, dan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara dalam

Page 108: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

108

naungan Republik Indonesia yang pada saatnya bersamaan hidup dalam suasasna

globalisasi msadysrakat dunia.101

Selanjutnya Rouscoe Pound dalam bukunya yang berjudul An Intruduction

to the Philosophy of law, mengatakan hukum sebagai suatu sarana perekayasaan

masyarakat (Tool of Social Engneering) dan tidak sekedar sebagai alat penertiban

masyarakat semata-mata, menurut Rouscoe Pound hukum adalah :

1. Hukum bertujuan untuk mempertahankan kedamaian di dalam masyarakat

2. Hukum bertujuan untuk mempertahankan status quo social yaitu dengan

menempatkan manusia sesuai dengan “ sophrosynenya “ masing-masing

atau sesuai dengan bidang dan tempat masing-masing orang di dalam

masyarakat, dengan ini dimaksudkan supaya tidak terjadi bentrokan antar

sesame warga masyarakat.

3. Hukum juga bertujuan untuk memungkinkan tercapainya perkembangan

pribadi secara maksimum baik mengenai kehendaknya maupun

kewenangannya serta kemampuannya.

4. Akhirnya hukum bertujuan untuk memenuhi sebanyak mungkin kebutuhan

masayarakat.102

Senada dengan Rouscoe Pound, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan,

bahwa hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada suatu

101

Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Suatu Sistem Hukum Nasional. Alumni, Bandung.

hal.96. 102

Ibid.

Page 109: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

109

anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban ini merupakan suatu hal yang

diinginkan bahkan dipandang perlu.

Lebih jauh lagi anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum

sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah hukum dalam arti kaidah atau

peraturan hukum yang memang berfungsi sebagai alat (pengatur) atat sarana

pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia kea rah yang dikehendaki

oleh pembangunan atau pembaharuan.103

Dari konsep tentang hukum dan fungsi hukum, ia berpendapat bahwa

pembinaan hukum nsional harus diarahkan pada usah-usaha :

1. Memperbaharui peraturan-peraturan hukum termasuk penciptaan yang baru

dengan menyesuaikan pada tuntutan perkembangan jaman tanpa

mengabaikan kesadaran hukum dalam masyarakat.

2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum sesuai proporsisinya masing-

masing.

3. Meningkatkan kemampuan dan kewajiban para penegak hukum

4. Membina kesadaran hukum dalama masyarakat dan membina sikap para

penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegakan hukum, keadilan

serta perlindungan terhadap harkat manusia dan ketertiban serta kepastian

hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.104

103

Mochtarkusumaatmaja, 1976, Hukum, Masayarakat dan Pembinaan HukumNasional, Bina

Cipta, Bandung, hal. 183 104

Johanes Ibrahim dan lindawati Sewu, 2003, Hukum Bisnis (Dalam Persepsi Manusia

Modern), Rafika Aditama, Bandung, hal. 55

Page 110: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

110

Dalam kaitannya dengan pembangunanSuryati Hartono menyebutkan afa empat

fungsi hukum dalam pembangunan yaitu :

1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan

2. Hukum sebagai sarana pembangunan

3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan, dan

4. Hukum sebagai sarana pendidikan105

Berdasarkan tentang uraian fungsi hukum diatas, akan menjadi sangat

relevan apabila fungsi hukum tersebut bermanfaat diterapkan dalam masyarakat.

Impelementasi suatu ketentuan dapat berjalan efektif atau tidak efektif tergantung

dari kesadaran hukum dari warga masyarakat itu sendiri. Ide tentang kesadaran warga

masyarakat swbagai dasar sahnya hukum positif terlukis ditemukan dalam ajaran

Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum

yang mengikat warga masyarakat kecuali atas kesadaran hukumnya. Kesadaran

hukum sering kali dikatikan dengan penataan hukum, pembentukan hukum dan

efektifitas hukum.

Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam

masyarakat, sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto, bahwa masyarakat mentaati

hukum karena sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dalam

hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat yang diartikan bahwa

105

Mushin dan Fadilah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press, Malang,

hal. 20.

Page 111: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

111

kaidah-kaidah hukum tersebut telah meresap pada diri masyaakat. Terdapat empat

indicator kesadaran hukum dalam masyarakat, yaitu :

a. Pengetahuan hukum

b. Pemahaman hukum

c. Sifat hukum

d. Pola prilaku hukum

Ad. a. Pengetahuan hukum

Pengetahuan hukum adalah adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa

prilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan

dengan perilaku yang dilarang atau perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.

Pengetahuan hukum erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat

dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah

diundangkan.

Ad. b. Pemahaman Hukum

Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang

mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, dengan kata lain

pemahaman hukum dalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu

hukum tertentu baik tertulis maupun tidak tertulis serta manfaatnya bagi

pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.

Page 112: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

112

Ad. c. Sikap Hukum

Sikap hukum , suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena adanya

penghargaan terhadap hukum sebagai suatu yang bermanfaat atau

menguntungkan jika itu ditaati.

Ad. d. Pola prilaku hukum

Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran hukum karena

disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam

masyarakat.106

Berdasarkan uraian dari pendapat Soerjono Soekanto diatas, jika dikaitkan

dengan ketentuan pasal 1, pasal 3ayat (2) dan pasal 45 UUHC 2002 mengenai

pengimplementasiannya di Bali, khususnya pada pencipta karya cipta seni Karawitan

Bali. Idealnya ketentuan yang berlaku hendaknya dapat ditaati oleh masyarakat

dengan baik, sehingga pelaksanaan suatu aturan akan menjadi efektif. Berkaitan

dengan pelaksanaan hukum Hak Cipta ini, jika berdasarkan pasal 1 ayat (1) UUHC

2002 menyatakan bahwa, Hak Cipta adalah hak ekslusif bagi Pencipta atau penerima

hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin

untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan bunyi pasal 1 ayat (1) ini, yang

dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata deiperuntukkan bagi

106

Soerjono Soekanto II, Op Cit, hal. 21

Page 113: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

113

pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut

tanpa izin pemegangnya.

Berdasarkan dari hasi wawancara dengan para Pencipta seni Karawitan Bali,

bahwa sering terjadi karya cipta karawitan yang dipertunjukkan oleh pelaku

pertunjukkan, terutama pertunjukkan secara komersiil baik didalam maupun diluar

negeri tanpa melalui persetujuan para penciptanya, dan tidak jarang para Pencipta

tidak mengetahui kalau ciptaannya dipertunjukkan secara komersiil di dalam maupun

diluar negeri. Walaupun sesekali ada pemberitahuan dari pelaku pertunjukkan, bahwa

karya ciptaannya akan dipertunjukkan diluar negeri. Bagi para Penciptaada atau

tidaknya permintaan izin oleh perlaku pertunjukan sudah menjadi hal yang biasa. Hal

ini terjadi dikarenakan ketidaktahuan para Pencipta bahwa karya ciptanya mendapat

perlindungan hukum oleh Undang-undang dan juga memiliki nilai ekonomi yang

tinggi. Pada prinsipnya Pencipta sangat merasa kebratan jika karya ciptaan karawitan

(gending) mereka tidak dipertunjukkan sesuai dengan aslinya.

Demikian juga implementasi pasal 3 ayat (2) UUHC menytakan bahwa, Hak

Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena ;

Pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang debenarkan

oleh peraturan perundang-undangan. Berdasarkan bunyi pasal 3 ayat (2) UUHC 2002

bahwa beralih atau dialihkan Hak Cipta tidak dapat dilakukan secara lisan , tetapi

harus dilakukan secara tertulis dengan maupun tanpa akte notariil. Berdasarkan

ketentuan dan penjelasan dari pasal 3 ayat (2) UUHC 2002, jika dikaitkan dengan

penelitian dilapangan baik para Pencipta Gending maupun para pelaku pertunjukkan,

Page 114: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

114

dapat dijelaskan dengan penjelasan para Pencipta Gending sering terjadi pelaku

pertunjukkan tidak meminta izin pada para Pecipta jika karya ciptanya

dipertunjukkan secara komersiil. Memang kadang-kadangsekali dua kali ada pihak

pelaku pertunkukkan sekedar pemberitahuan melalui telepon, yang menyatakan jika

karya ciptanya (gending ) akan dipertunjukkan, dan para Pencipta sudah merasa

cukup karena ada rasa puas jika karya ciptanya di gunakan.

Berdasarkan wawancara dengan I Gede Eka Very Purnama (Produser Lila

Cita) menyatakan bahwa dalam menayangkan kesenian Bali Khususnya karawitan

bali di Bali TV yang penciptanya diketahui, sampai sekarang belum pernah meminta

izin kepada Penciptanya. Biasanya konser (istilah pertunjukkan gamelan Bali) yang

ditayangkan di Bali TV, pertama didapat dari merekam suatu event tertentu yang

mempertunjukkan kesenian karawitan bali, kedua didiapat dari CD maupun VCD

yang dibeli sendiri. Biasanya dalam konser karawitan Bali terutama yang

dipertunjukkan melalui CD/ VCD, sudah tercantum nama Penciptanya, namun jika

direkam sendiri oleh Bali TV, ditayangkan tanpa mencantumkan si Penciptanya. hal

tersebut dikarenakan memang tidak tahu bahwa jika menayangkan karya cipta orang

lain terutama melalui media TV, wajib meminta izin pada si Penciptanya. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa I Gede Eka Very Purnama tahu tentang adanya UUHC 2002,

namun belum memahami secara lebih mendalam tentang UUHC 2002. ( wawancara

25 Februari 2010). Penjelasan senada diberikan oleh A.A Istri Suryani (Produser

Pertunjukkan di TVRI), bahwa selama ini belum pernah mengadakan kesepakatan

baik secara tertulis maupun tidak tertulis kepada pencipta khususnya pencipta

Page 115: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

115

kerawitan Bali dalam hal karya ciptanya ditayangkan di TVRI, dengan alasan karena

memang tidak mengetahui wajib meminta izin pada pencipta dan juga tidak pernah

ada Pencipta merasa dirugikan atau berkeberatan jika karya ciptanya ditayangkan di

TVRI. Sehingga penayangan karya cipta karawitan bali hanya mencantumkan nama

Penciptanya (wawancara 28 Februari 2010).

Berdasarkan kenyataan diatas secara otomatis kesepakatan yang dilakukan

secara tertulis belum pernah terjadi termasuk juga mengacu pada ketentuan pasal 45

UUHC 2002, yang mengatur lisensi.

Berdasarkan dari pemaparan kenyataan yang ada dilapangan, dapat

dikatakan bahwa implementasi tentang pasal 1, pasal 3 ayat (2) dan pasal 45 UUHC

2002, terhadap perlindungan hukum atas karya cipta seni karawitan bali tidak berlaku

efektif dimasyarakat khususnya di Bali, karena kurangnya pengetahuan baik bagi

Pencipta maupun para pelaku pertunjukkan atas karya cipta seni karawitan Bali

terhadap ketentuan pasal 1, pasal 3 ayat (2) dan pasal 45 khususnya , dan UUHC

2002 pada umumnya.

3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan UUHC 2002, Bagi Pencipta

atas pertunjukkan Karya Cipta Seni Karawitan Bali.

Mengkaji pelaksanaan hukum UUHC 2002 dalam rangka perlindungan

karya cipta seni karawitan Bali, focus kajian sebenarnya terletak pada bagaimana

ketentuan UUHC 2002 diterapkan dalam kaitannya dengan penegakan hukum.

Page 116: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

116

Penegakan hukum Hak Cipta merupakan suatu system yang terdiri dari komponen-

komponen atau subsistim sebagai bagian untuk mewujudkan sinergi dalam rangka

mencapai tujuan diterbitkannya UUHC 2002.

Aplikasi pendekatan sistim terhadap penegakan hukum ditegaskan oleh

Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum

sebenarnya terletak pada factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu

sendiri. Factor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negative

atau positifnya terletak pada isi factor-faktor tersebut. Factor-faktor tersebut meliputi:

a) Factor hukumnya sendiri

b) Factor penegak hukumnya

c) Factor sarana atau fasilitas yang medukung penegakan hukum

d) Factor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau

diterapkan.

e) Factor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa dan karsa yang

didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidupnya107

.

Kelima factor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena itu

merupakan esensi penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektifitas

penegakan hukum108

.

107

Soerjono Soekanto III, Op Cit, hal.3 108

Siti Soetami, 2001, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, hal. 23

Page 117: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

117

Efektifitas berfungsinya hukum alam masyarakat juga tidak terlepas dari

kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Mengenai

berlakunya hukum sebagai suatu kaidah dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan

atas kaidah yang lebih tinggi

2. Kaidah hukum berlaku ecara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif,

artinya dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak

diterima oleh warga masyarakat

3. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya hukum dibenarkan

berlaku atas dasar keyakinan filosofis yakni bahwa kaidah hukum tersebut

sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.109

Berlakunya suatu kaidah hukum dapat ditinjau darimasing-masing sudut, agar kaidah

hukum dapat berfungsi secara efektif, maka kaidah hukum harus mengandung tiga

unsur diatas, sebab apabila tidak terpenuhi dapat berakibat pelaksanaan kaidah hukum

dalam masyarakat akan mengalami hambatan.

Disamping itu berfungsinya hukum melibatkan banyak factor yang ikut

mendukung pelaksanaan berlakunya suatu peraturan, setidaknya ada empat factor

anatara lain ;

a. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri harus sistematis, tidak

bertentangan baik secara vertical maupun secara horizontal, dan

109

Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar

Maju, Bandung, hal. 22

Page 118: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

118

pembautannya harus disesuaikan dengan persyaratan yuridis yang telah

ditentukan. Keadaan demikian harus dipenuhi untuk menjamin jangan

sampai terjadi kesimpangsiuran atau tumpang tindih dalam peraturan,

baik yang mengatur idang-bidang tertentu maupun bidang dalam

kehidupan lainnya yang saling berkaitan, walaupun diakui bahwa untuk

mewujudkan kaidah hukum seperti tersebut diatas bukan hal yang mudah

, karena dihadapkan dengan penelitian yang mendalam.

b. Penegak hukum haruslah mempunyai pedoman berupa peraturan tertulis

yang menyangkut ruang lingkup tugasnya dengan menentukan batas-

batas kewengan dalam pengambilan kebijakan. Kwalitas petugas

memainkan peranan penting dalam berfungsinya hukum, karena masalah

akan timbul apabila kwalitas dan mental petugas kurang baik, walaupun

peraturannya sudah dibuat sebaik mungkin.

c. Ada fasilitas yang diharapkan dapat mendukung pelakasanaan kaidah

hukum yang ditetapkan. Fasilitas disni terutama sarana fisik yang

berfungsi sebagai factor pendukung untuk mencapai tujuan.

d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.

Masalah yang dihadapi pada factor ini adalah derajat kepatuhan atau ketaatan

masyarakat terhadap hukum.110

110

Soerjono Soekanto dan MustafaAbdullah, 1982, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,

Rajawali, Jakarta, hal 17. (selanjutnya disebud dengan Soerjono Soekanto IV)

Page 119: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

119

Menurut Soerjono Soekanto, factor yang menghambat penegakan hukum berasal dari

undang-undang dapat disebabkan karena ;

a. Tidak diikutinya asas-asa yang berlakunya undang-undang

b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkandalam

menerapka undang-undang

c. Ketidak jelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang mengakibatkan

kesimpang siuran didalam penafsiran serta penerapan.111

Berdasarkan dari pemaparan tentang penegakan hukum diatas, jika dikaitkan

dengan UUHC 2002, lahirnya UUHC 2002 merupakan tuntutan dari perubahan

jaman serta kebutuhan masyarakat terhadap perlindungan dalam penciptaan suatu

kreasi seni, ataupun perlindungan tehadap penciptanya. perubahan jaman yang

semakin global membawa pengaruh kedalam kehidupan ekonomi masyarakat.

Lahirnya UUHC 2002 tidak terlepas dari implementasi TRIPs Agreement (Section 4

Article 25-26), hal ini dikarenakan Indonesia sebagai anggota WTO dan telah

meratifikasi TRIPs melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1997. Disamping itu

lahirnya UUHC 2002 karena dalam perkembangannya suatu karya cipta termasuk

karya cipta seni karawitan bali mempunyai nilai ekonomis /komersiil, serta sedapat

mungkin untuk mencegah terjadinya pelanggaran Hak Cipta termasuk karya cipta

seni karawitan Bali. Mendorong serta meningkatkan kreativitas para Pencipta untuk

meningkatkan hasil karyanya yang berkualitas dan original tanpaada persaan takut

jika karyanya ditiru atau dipergunakan oleh pihka dengan etikad baik.

111

Soerjono Soekanto III, Op Cit, hal. 17

Page 120: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

120

Berdasarkan hasil wawancara dengan para Pencipta, karya cipta seni

karawitan Bali yang karyanya dipertunjukkan secara komersiil oleh pihak lain tanpa

seizin pada mereka, tidak dapat berbuat banyak, walaupun pada prisipya mereka

merasa keberatan, karena para pencipta memang tidak mengetahui jika karyanya

dipergunakan orang lain harus meminta izin terlebih dahulu. Demikian juga dengan

pihak pelaku pertunjukkan, mereka tidak meminta izin kepada Pencipta atas konser

karya ciptanya, karena mereka tidak mengetahuinya. Baik Pencipta dan Pelaku sama-

sama mengatakan tidak tahu jika suatu karya cipta salah satubentuk perlindungannya

adalah dengan meminta izin pada Pencipta, walaupun mereka mengatakan bahwa

tahu tentang UUHC 2002, namun tidak memahami secara mendalam. Lebih lanjut

para Pencipta menjelaskan bahwa meeka tidak dapat melindungi karya cipta

karawitannya, karena mereka tidak mengetahui kemana akan mendaftar, kalupun tahu

mereka tidak punya uang untuk mendaftarkan karyanya tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Drs. Lilik Sri

Haryanto.SH.MS.MH (Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Bali)

menjelaskan, bahwa penerapan UUHC di Bali juga dipengaruhi oleh factor kurang

efektifnya sosialisasi tentang UUHC 2002 itu sendiri, baik pada masyarakat maupun

para penegak hukumnya sendiri. Kenyataan yang ada banyak para penegak hukum

yang kurang memahami keberadaan UUHC 2002 tersebut. Selanjutnya menurut

bapak (Kasubdit, Departemen Hukum dan HAM) menjelaskan, bahwa penerapan

UUHC 2002 dipengaruhi oleh factor intern yaitu dari si Pencipta itu sendiri, yang

tidak memahami betul keberadaan UUHC 2002, sehingga banyak karya cipta mereka

Page 121: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

121

yang dipergunakan pihak lain tanpa sepengetahuan para pencipta, karena mereka

tidak tahu kalo karya ciptanya mendapatkan perlidungan hukum dari Negara. Factor

yang lain adalah factor extern yaitu dalam penerapan UUHC 2002, juga sangat

dipengaruhi oleh pemerintah, termasuk para penegak Hukumnya seperti Polisi,

Hakim. Sesuai dengan UUHC 2002, bahwa pelanggaran Hak Cipta bukanlah

merupakan delik aduan melainkan delik biasa, artinya bahwa tanpa ada pengaduan

jika sudah diketahui kenyataan ada pelanggaran Hak Cipta, maka pihak berwenang

seharusnya sudah bertindak bagaimana mestinya. Terutama pada karya cipta seni

karawitan Bali. Sudah sering terjadi pelanggaran terhadap karya cipta seni karawitan

Bali oleh pelaku konser, namun sejauh ini pihak yang berwajib belum mengambil

sikap untuk melakukan tindakan terhadap pelanggar. Demikian juga hakim dalam

memutus Pekara tentang pelanggaran Hak Cipta secara umum, menerapkan sanksi

yang sangat ringan, sehingga tidak dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku

pelanggaran. (wawancara 27 Februari 2010)

Selanjutnya berdasarkan wawancara dengan Bapak I Ketut Wirtha, SH.

MH.(Hakim Pengadilan Negeri di Denpasar) menjelaskan bahwa, factor yang

mempengaruhi penerapanUUHC 2002 adalah selain pemahaman hukum baik bagi

Pencipta maupun Penegak Hukumnya, juga sangat dipengaruhi oleh factor ekonomi.

Terjadinya pelanggaran terhadap Hak Cipta dikarenakan kondisi ekonomi dari pelaku

pelanggar untuk cepat mendapatkan uang tanpa harus mengeluarkan uang yang lebih

banyak. Karena jika mereka meminta izin kepada Pencipta tentu saja akan

mengeluarkan uang untuk diberikan kepada Pencipta dan pelaku pelanggaran sedikit

Page 122: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

122

mendapatkan keuntungan. Namun sampai saat ini tentang pengajuan kasus tentang

pelanggaran karya cipta seni karawitan belum pernah ada di Pengadilan Negeri

Denpasar (wawancara tanggal 7 April 2010)

Berdasarkan kenyataan yang ada dilapangan, bahwa factor-faktor yang

mempengaruhi penerapan UUHC 2002 bagi Pencipta terhadap karya cipta seni

karawitan Bali adalah, kurangnya pemahaman terhadap UUHC 2002 bagi Pencipta

itu sendiri, walaupun Pencipta mengetahui adanya UUHC 2002 akan tetapi secara

mendalam belum memahami isi dari UUHC 2002. Selam ini para Pencipta seni

karawitan Bali yang ada di Institut Seni Indonesia (ISI) Kurang mendapatkan secara

khusus mengenai sosialisasi tentang UUHC 2002. Selain factor tersebut diatas, factor

lain yang mempengaruhi penerapan UUHC 2002 bagi Pencipta adalah dari Penegak

Hukum. Penyebab tidak terlaksananya penegakan hukum oleh catur wangsa adalah

sebagai berikut :

a. Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat,

b. Rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum,

c. Tidak ada mekanismepenegakan hukum yang baik dan modern

d. Kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan kedalam dunia

catur wangsa, terutama ke dalam badan kepolisian, kejaksaan, dan

kehakiman,

Page 123: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

123

e. Kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime anggota

catur wangsa tersebut berupa tuduhan “mafia peradilan”. 112

Senada dengan pendapat Munir Fuady diatas, dikaitkan dengan kenyataan

dilapangan, bahwa para pihak yang berwajib belum pernah memberikan sanksi, atau

paling sedikit memberikan peringatan kepada pihak pelaku konser seni karawitan

Bali, bahwa apa yang mereka lakukan merupakan perbuatan yang melanggar hukum

Hak Cipta.

Sementara itu factor kebudayaan yang diberikan oleh Soerjono Soekanto,

jika dikaitkan dengan konsep hukum HKI, dimana hukum HKI yang berasal dari

Negara barat menganut konsep hukum Individual Raight, sangat menghargai hasil

karya intelktual seseorang dan perlu mendapatkan perlindungan dari Negara melalui

Undang-undang Hak Cipta kepada siapa saja yang telah menghasilkan suatu karya

intelektual yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi, dimana karya

tersebut lahir dengan proses yang sangat panjang, penuh dengan pengorbanan tenaga,

waktu, maupun uang. Berbeda sekali dengan konsep hukum di Negara timur

termasuk Indonesia yang sangat menganut konsep hukum komunal yang berkembang

dalama masyarakat, lebih menekankan bahwa terhadap Karya-karya Intelektual

seperti Hak Cipta adalah untuk kepentingan orang banyak dan bukan hanya untuk

112

Munir Fuadi, 2003, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Citra

Aditya.

Page 124: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

124

individu semata. Konsep komunal beranggapan bahwa hasil karya intelektual adalah

merupakan milik bersama.113

113

Supasti Dharmawan dkk, Op Cit, hal 2

Page 125: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

125

Bab IV

Upaya Perlindungan Hukum Bagi Pencipta

Dalam Kaitannya Terhadap Penyelesaian Pelanggaran

Atas Karya Cipta Seni Karawitan Bali

4.1. Pelanggaran Karya Cipta Seni Karawitan Bali Sesuai dengan Konsep

Perlindungan Hak Cipta.

Dengan ditandatangani persetujuan pembentukan WTO ( Agreement

Establish The World Trade Organization ) pada pertemuan tingkat mentri di

Marakesh dalam Rangka Peralihan dari General Agreement of Tariffs and Trade

(GATT) ke WTO ( World Trade Organization), yang menyetujui WTO akan

melaksanakan seluruh aturan perdagangan Internasional. Dalam hal ini WTO akan

bertindak sebagai organisasi pelaksana seluruh hasil perundingan Putaran Uruguay

yang meliputi perdagangan barang, perdangan jasa, masalah yang berkaitan dengan

ivestasi (Trims) dan hak kekayaan intelektual / HKI (TRIPs)114

Sebagaiman telah diuraikan diatas, bahwa perlindungan HKI sudah

merupakan komitmen dunia (Internasional) untuk menciptakan iklim proteksi yang

lebih berkeadilan,kepastian hokum dan membawa manfaat bagi masyarakat diseluruh

jagat raya terhadap perlindungan karya intelktual.115

114

Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri Departemen Luar Negeri, 1994, WTO

dan Masa Depan Sistem Perdagangan Dunia : Bidang Persoalan Baru, Pokok-Pokok Paparan Jendral

Heln, Departemen Luar Negeri pada Seminar “Benang Merah Putaran Uruguay”. Jakarta. 15 Juni. 115

OK. Saidin. Op Cit. hal 28.

Page 126: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

126

HKI perlu mendapat perlindungan Karena HKI merupakan hak yang diberikan

kepada pencipta yang bersumber dari daya kreatif intelektualnya yang merupakan

suatu penghargaan dan pengakuan atas keberhasilannya dalam melahirkan karya yang

inovatif. Demikian halnya dengan karya cipta seni karawitan Bali yang merupakan

suatu karya intelektual sebagai salah satu obyek dari Hak Cipta yang diatur dalam

pasal 12 ayat 1 huruf d UUHC No.19 Tahun 2002.

Salah satu issu penting yang berkaitan dengan HKI khususnya dibidang Hak

Cipta adalah pelanggaran Hak Cipta. Factor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran

antara lain factor ekonomi, seperti ketidakmampuan membeli produk barang asli,

kemajuan teknologi misalnya mudahnya menggandakan buku-buku dengan mesin

photo copy, serta kuatnya konsep kepemilikan secara komunal dalam masyarakat,

adanya anggapan bahwa hasil karya cipta adalah untuk kepentingan orang banyak dan

bukan semata untuk kepentingan individu. Sedangkan di Negara maju seperti

Amerika, Australia dan Jepang, yang masyarakatnya sudah banyak menghasilkan

karya intelektual, serta didukung dengan kesadaran masyarakat yang tinggi di bidang

hokum HKI, merasa sangat dirugikan atas kasus pelanggaran karya intelektual,

termasuk didalamnya pelanggaran hak cipta karya seni Karawitan Bali.

Disadari bahwa kerugian yang ditimbulkan berkaitan dengan kasus

pelanggaran Hak Cipta baik secara moral maupun ekonomi memang sangat besar.

Page 127: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

127

Menurut WIPO (World Intelctual Property Organization) pihak-pihak yang

dapat dirugikan akibat dari pelanggaran Hak Cipta adalah :

1. Pencipta termasuk Pencipta Seni Karawitan

2. Pemegang Hak Cipta, seperti penerbit, produser rekaman dank arena tidak

mendapatkan keuntungan dari investasi financial dan keahlian yang telah

merak tanamkan

3. Penjual dan distributuor, karena mereka tidak dapat bersaing secara sehat

dengan pihak lain yang melakukan pelanggaran

4. Konsumen yang membeli ciptaan yang berkualitas rendah

5. Pemerintah berkaitan dengan hukum perpajakan116

Pelanggaran Hak Cipta, khususnya seni karawitan Bali, menimbulkan

implikasi kerugian-kerugian baik secara moral maupun secara ekonomi terutama bagi

pencipta, dan implikasi hukum bagi Negara yang masyarakatnya sangat potensial

melakukan pelanggaran itu Hak Cipta.

Sistim perlindungan HKI yang baik adalah di dalam penegakan hukumnya

dapat melindungi Exlusive Right yang dimiliki oleh pencipta dan atau Pemegang Hak

Cipta. Adapun salah satu bentuk perlindungan hukum yang baik bagi Pencipta adalah

apabila dimanfaatkannya karya ciptanya oleh pihak lain dengan melalui mekanisme

perjanjian Lisensi baik Exklusive Lecences ataupun Non Exklusive Lecences.

Exklusive Lecences, adalah lisensi dalam tenggang waktu perjanjian lisensi Si

Pencipta tidak dapat melisensikan kembali hak ciptanya kepada pihak ketiga sampai

116

Sanusi Bintang, Op Cit, hal. 59-60

Page 128: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

128

batas waktu perjanjian lisensi dengan pihak kedua berakhir. Sedangkan Non

Exklusive Lecencesi adalah Si Pencipta setelah mengadakan perjanjian lisensi pada

pihak lain, masih bisa mengadakan perjanjian lisensi dengan pihak ketiga lainnya

dalm waktu yang bersamaan.

Di Indonesia melalui UUHC 2002, pemberian Hak Cipta melalui perjanjian

lisensi dapat dilihat pada pasal 45 UUHC 2002, sedangkan pengalihan Hak Cipta

dengan cara : waris, wasiat, hibah dan perjanjian lain yang dibenarkan oleh undang-

undang terdapat pada pasal 3 ayat (2) UUHC 2002. Beralihnya Hak Cipta sesuai

dengan ketentuan-ketentuan UUHC 2002, maka Hak Cipta dapat digunakan oleh

pihak lain secara illegal. Pengambilan Hak Cipta tanpa cara-cara diatas, serta tidak

meminta izin dari penciptanya, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar Hak

Cipta (Copyright Infringement).

Terjadinya pelanggaran atau ditaatinya suatu ketentuan dalam masyarakat

tergantung dari kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Sesuai dengan ajaran

tentang kesadaran hukum yaitu Recthsgefuhl atau Recthsbewusstzijn yang pada

intinya, adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat

kecuali atas dasar kesadaran hukumnya. Hal tersebut merupakan suatu aspek dari

kesadaran hukum, aspek hukum lainnya adalah bahwa kesadaran hukum sering

dikaitkan dengan efektivitas hukum.

Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam

masyarakat, sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto, bahwa masyarakat mentaati

hukum karena sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri.

Page 129: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

129

Menurut Soerjono Soekanto ada empat indicator yang mempengaruhi kesadaran

hukum diatas, di Indonesia khususnya di Bali dengan berlakunya UUHC 2002,

kesadaran hukumnya termasuk indicator yang pertamadan kedua yaitu berdasarkan

dari hasil di lapangan, bahwa kenyataannya pengetahuan hukum dengan pemahaman

hukum dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, Penegak Hukumnya terhadap UUHC

2002 masih rendah, sehingga memberikan peluang bagi masyarakat untuk melakukan

pelanggaran Hak Cipta, khususnya karya cita Seni Karawitan Bali di Bali.

Ada pengecualian mengenai pelanggaran Hak Cipta termasuk karya cipta seni

karawitan Bali, hal tersebut diatur dalam pasal 15 UUHC 2002 menyebutkan apabila

pengambilan ciptaan orang lain baik seluruhnya ataupun sebagaian digunakan

semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan, misalnya ceramah, atau

penggunaan ciptaan orang lain untuk keperluan penelitian atau penulisan karya ilmiah

tidak termasuk pelanggaran Hak Cipta sepanjang sumbernya disebut dan

dicantumkan. Pasa 15 c (ii) juga menyebutkan bahwa pengambilan karya cipta orang

lain dengan tujuan pertunjukkan dan pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan

ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Pencipta juga di anggap

tidak melanggar Hak Cipta.

UUHC 2002 tidak menentukan secara jelas mengenai apa sesungguhnya

criteria pelanggaran Hak Cipta. Namun jika dilihat dari ketentuan pasal 1(6)

menyebutkan bahwa perbanyakan adalah adalah penambahan jumlah suatu ciptaan,

baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan

menggunakan bahan-bahan yang sama atupun tidak sama, termasuk pengalihwujudan

Page 130: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

130

baik secara permanent maupun temporer. Bedasarkan ketentuan pasal 1(6) dikaitkan

dengan ketentuan pasal 1(5) tentang pengumuman,pasal 3 tentang pengalihan Hak

Cipta dan pasal 45-47 tentang lisensi, pasal 24 tentang Hak Moral, dapatlah

disebutkan bahwa termasuk salah satu pelanggaran Hak Cipta jika dilakukan

pengumuman, perbanyakan, pertunjukkan suatu hasil karya cipta untuk tujuan

komersial tanpa seijin dan tanpa persetujuan baik dengan perjanjian jual beli maupun

perjanjian lisensi dari Pencipta atau cara pengalihan yang sah lainnya dari Pencipta,

atau pelanggaran yang berkaitan dengan tidak dicantumkannya hak moral Pencipta.

Sebagai pembanding dalam Undang-undang Hak Cipta Australia (Copyright Act

1968) disebutkan bahwa infringement can occur if :

1. A “ substansial part “ is reproduced

2. There is an “ obyective similararity” between the alleged copy and the

original copyright material

3. And there is a causal connection between the alleged copy and the original

copyright material.

Berdasarkan section 14 ditegaskan bahwa pengambilan “substansial part” lebih di

titik beratkan pada substansi kwalitas karya cipta yang diambil, bukan semata-mata

aspek kwantitas. Undang-undang Australia mengenal pengecualian yaitu tidak harus

meminta izin dan tidak dianggap pelanggaran Hak Cipta “Fair Dealing” dalam hal

memfotocopy suatu buku hasil karya cipta untuk tujuan penelitian, kritik, dan review,

pemberitaan serta untuk bantuan hukum. Dalam hal ini walaupun ada pengecualian

dan tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, namun masi ada pembatasan-

Page 131: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

131

pembatasannya yaitu untuk memfotocopy sebuah buku atau jurnal, hanya dibolehkan

dalam jumlah yang masuk akal, dalam hal ini sebanyak 10 persen dari buku atau

jurnal tersebut atau paling banyak sepuluh lembar atau lebih.117

Di Indonesia yang boleh memfoto copy untuk keseluruhan buku sepanjang

untuk tujuan pendidikan, penelitian, serta untuk penulisan karya ilmiah sesuai dengan

ketentuan pasal 15 a UUHC 2002, ukurannya sepanjang tidak merugikan kepentingan

yang wajar bagi Penciptanya.

Sementara pelanggaran Hak Cipta di Australia dapat terjadi dengan cara

sebagai berikut yaitu, Direct infringement, adalah apabila orang dengan sengaja dan

tanpa izin dar penciptanya secara langsung memperbanyak , mengumumkan,

menyiarkan suatu karya cipta. Authorization of infringement dimaksudkan apabila

pihak-pihak yang berdasarkan kewenangannya dalam suatu lembaga atau institusi

membiarkan orang lain untuk melakukan pelanggaran Hak Cipta, contohnya seorang

pegawe perpustakaan di Australia membiarkan mahasiswa memfoto copy sebuah

buku secara penuh, padahal ia memiliki kewenangan untuk mencegahnya, sebab

seseuai dengan ketentuan Copy Right Act seseorang hanya boleh memfoto copy 10

persen dari keseluruahan buku, atau paling banyak hanya satu bab. Sedangkan

Indirect Infringement, apabila orang mendistribusikan, memngumumkan, suatu

barang hasil pelanggaran Hak Cipta, misalnya pedagang buku dan CD bajakan.

117

Attoerny General Departement, 2000, Copy Right Law in Australia, A Short Guide ,

Commonwealth of Australia, hal.23.

Page 132: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

132

Pelanggaran Hak Cipta dapat terjadi apabila :

- Orang dengan sengaja atau tanpa izin secara langsung memperbanyak,

mengumumkan dan menyiarkan suatu karya cipta (Direct Infringement)

- Pihak-pihak yang berdasarkan kewenangannya dalam suatu pelanggaran

Hak Cipta (Authorization of Infringement)

- Orang yang dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual

barang hasil pelanggaran Hak Cipta (Indirect Infringement) 118

Berdasarkan bentuk-bentuk pelanggaran Hak Cipta, dapat disebutkan bahwa orang-

orang atau pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Cipta pada

dasarnya :

- Orang mempohoto copy buku orang lain, atau meniru hasil karya lukisan

tanpa izin Pencipta

- Orang yang secara tidak langsung melakukan perbuatan pelanggaran Hak

Cipta, misalnya menjyal barang hasil jiplakan atau pegawai perpustakaan

yang membolehkan seseorang memphoto copy sebuah buku melebihi dari

batas kewajaran.

Prinsip dasar hukum Hak Cipta adalah melindungi karya cipta nyata atau riil atau ide

yang sudah diwujudkan dalam kreatifitas karya (expression work), dan bukan

melindungi ide semata. Pemilik atau Pemegang Hak Cipta apabila haknya dilanggar

dapat mengajukan gugatan untuk menuntut ganti rugi kepada pihak yang telha

melanggar haknya, diamana gugatan perdata sama sekali tidak mengurangi hak

118

Mc. Keough Stewart, Op Cit, hal. 109-204

Page 133: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

133

Negara untuk melakukan tuntutan pidana. Menurut UUHC pemilik Hak Cipta yang

haknya dilanggar, gugatan perdatanya dapat dilakukan ke Pengadilan Niaga,

sedangkan yang berkaitan dengan pelanggaran tindak pidana diajukan ke Pengadilan

Negeri, tindak pidana dalam UUHC 2002 adalah merupakan Delik biasa.

4.2 Langkah-Langkah Preventif Bagi Pencipta Berkaitan Dengan Pelindungan

Karya Cipta Seni Karawitan Bali.

Tujuan dan eksistensi ketentuan UUHC 2002 adalah untuk mengurangi

sebanyak mungkin terjadinya pelanggaran Hak Cipta di Indonesia. Namun dalam

kenyataannya dilapangan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan terutama di

Bali, ternyata banyak terjadi pelanggaran Hak Cipta khususnya karya cipta sen

karawitan bali. Untuk mengantisipasi diwaktu yang akan datang, agar pelanggaran

Hak Cipta dapat dihindari, atau sedapat mungkin tidak terjadi lagi sehingga tidak

merugikan Bagi Pencipta seni karawitan bali, perlu dilakukan langkah-langkah atau

upaya-upaya hukum preventif untuk menghindari terjadinya pelanggaran Hak Cipta

atas karya cipta seni arawitan Bali.

Upaya hukum Preventif artinya, untuk menghidari terjadinya pelanggaran

terhadap suatu karya cipta, khususnya karya cipta seni karawitan bali dapat dilakukan

dengan cara :

a. Melalui pendaftaran

Konsep perlindungan hukum Hak Cipta secara otomatis, dilandasi oleh

Konvensi Berne, salah satu prinsip dari Konvensi Berne (Berne Convention)

Page 134: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

134

adalah Automateclly Protectiaon. Menurut konsep perlindungan ini, Hak

Cipta boleh didafar boleh tidak. Menurut pasal 35 ayat (4) UUHC 2002,

menentukan bahwa pendaftaran suatu ciptaan tidak merupakan suatu

kewajiban. Jadi berdasarkanketentuan tersebut pendaftaran Hak Cipta bersifat

Tidak Mutlak.

Meskipun menurut hukum perlindungan Hak Cipta secara otomatis diperoleh

Pencipta sejak ciptaannya lahir, dan tidak harus melalui proses pendaftaran,

namun kalau dilakukan pendaftaran akan lebih baik dan lebih

menguntungkan, karena dengan pendafaran hak, setidaknya akan ada bukti

formal sebagai tanda adanya Hak Cipta jika tidak terbukti sebaliknya. Dengan

adanya proses pendaftaran ini, memberikan jaminan kepastian hukum dan

menguatkan adanya perlindungan hukum atas karya cipta, jika terjadi

peniruan atau penjiplakan karya cipta, sehingga si pencipta lebih mudah

membuktikan dan mengajukan tuntutan karena ada bukti formal pendaftaran.

b. Membuat rekaman rangkuman lagu hasil karya cipta seni karawitan bali

dalam Sebuah CD audio.

Untuk menghidari biaya pendaftaran yang jumlahnya besar, jika

Pencipta memiliki karya cipta lebih dari sepuluh karya cipta, maka sesuai

dengan penjelasan Bapak Bekti, SH (jabatan), pencipta dapat membuat

rekaman rangkuman karya cipta (lagu) ke dalam CD audio yang isinya

memuat tentang keseluruhan tentang karya cipta mereka, termasuk judul,

penjelasan secara singkat tentang makna karya ciptanya dari ciptaan mereka

Page 135: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

135

masing-masing, dan kemudian cd rekaman tersebut didaftarkan ke Direktorat

Jenderal HKI di Jakarta, untuk mendapatkan sertifikat hak cipta. Jadi

berdasarkan dari Hak Cipta Rekaman CD tersebut sudah termasuk karya cipta

seni karawitan bali mereka mendapat perlindungan sesuai dengan UUHC

2002. (wawancara 5 Desember 2009).

c. Melalui Pernjanjian

Perlindungan hukum terhadap karya cipta seni karawitan bali selain melalui

pendaftaran, juga dapat dilakukan dengan cara melalui perjanjian.

Perlindungan hukum karya cipta seni karwitan bali secara preventif melalui

perjanjian sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UUHC 2002.

Pengertian perjanjian menurut ketentuan pasal 1313 KUHPerdata tentang perikatan,

adalah pada hakekatnya menyatakan bahwa seseorang atau lebih melakukan

perbuatan untuk mengikatkan dirinya pada seseorang atau lebih. Dalam ketentaun

pasal 1313 KUHPerdata ini, mwngandung peengertian yang sangat luas dan seakan

akan hanya satu pihak saja yang berkeinginan untuk mengikatkan dirinya dengan

pihak yang lain. Padahal orang melakukan perjanjian dengan mengkatkan kedua

belah pihak, atas persetujuan yang dibuatnya.

Menurut suharnoko, suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya

suatu perjanjian yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu, dan suatu sebab yang

halal, sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat

Page 136: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

136

syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat

secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.119

Untuk melaksanakan suatu perjanjian sesuai denga pasal 1320 KUHPerdata harus ada

kaidah yang mengaturnya. Kaidah-kaidah yang mengatur tentang terlaksananya

perjanjian tersebut dengan hukum kontrak.120

Selanjutnya dalam bukunya Salim, memberikan pengertian tentang hukum kontrak

sesuai dengan Ensiklopedi Indonesia adalah, Rangkaian kaidah-kaidah hukum yang

mengatur berbagai pesetujuan dan ikatan antara warga hukum.

Difinisi hukum kontrak yang tercantum dalam Ensiklopedia Indonesia, mengkajinya

dari aspek ruang lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan warga hukum.

Tampaknya definisi ini menyamakan pengertian antara kontrak (perjanjian) dengan

persetujuan padahal antara keduanya adalah berbeda. Kontrak (perjanjian) merupakan

salah satu sumber perikatan, sedangkan persetujuan merupakan salah satu syarat

sahnya suatu konrak ( perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata).

Pengertian hukum kontrak (perjanjian), menurut Van Dunne adalah keseluruhan dari

kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

Van Dunne tidak hanya mengkaji kontrak pada tahap kontrak tual semata tapi juga

harus diperhatikan perbuatan sebelumnya mencakup pracontractual dan post

contractual. Pracontractaul, merupakan tahapa penawaran dan penerimaan, sedang

119

Suharnoko, Op Cit, hal. 1 120

Salaim, 2003, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,

Jakarta, hal.4

Page 137: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

137

kan Post Contractual adalah pelaksanaan perjanjia. Dengan adanya suatu perjanjian

maka akan menimbulkan hubungan hukum. Hubungan hukum adalah hubungan

yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.

Hak merupakan sebuah kenikmatan sedangkan kewajiban merupakan sebuah beban.

Dari beberapa definisi diatas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam

hukum kontrak, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut :

1. Adanya kaidah hukum, yaitu kaidah dalam hukumkontrak dapat dibagi

menjadi dua macam yaitu tertuli dan tidak tertulis. Kaidah hukum tertulis

adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-

udangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum tidak tertulis

adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat.

2. Subyek hukum atau Recht Person, adalah parr pihak yang mengadakan

kontrak, dalam hal ini dapat orang atau badan hukum.

3. Prestasi, adalah apa yang menjadi hak di saut pihak dan kewajiban dipihak

lain. Prestasi terdiri dari, memberikan sesuatu, tidak berbuat

4. Kata sepakat, sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata.

5. Akibat hukum, yaitu, setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan

menimbulkan akibat hukum. Jadi akibat hukum adalah hak dan kewajiban.121

Berkaitan dengan upaya hukum preventif, yaitu untuk menghindari terjadinya

pelanggaran terhadap Hak Cipta, tertuama karya cipta seni karawitan Bali, dengan

121

Salaim. Loc Cit, hal.4-5

Page 138: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

138

cara melalui perjanjian, selain berdasarkan pasal 1313 dan 1320 KUHPerdata, dapat

pula merujuk pada pasal 45 UUHC 2002 yang menyatakan, bahwa pemegang Hak

Cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian

lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UUHC

2002. Sedangkan yang dimaksud dengan lisensi dalam UUHC 2002 adalah, mengacu

pada pasal 1 angka 14 yang menjelaskan bahwa lisensi adalah, izin yang diberikan

oleh pemegang Hak Cipta atau pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk

mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya

dengan persyaratan tertentu.

Mengkaji lebih jauh tentang Lisensi Hak Cipta, menurut Pasal 45 UUHC

2002 dapat diketahui bahwa pelisensian hak cipta dapat dilakukan dengan atau

berdasarkan surat perjanjian Lisensi, yang isinya pemegang Hak Cipta membrikan

hak khusus kepada orang lain untuk menikmati nilai ekonomis suatu ciptaan yang

dilindungi oleh Hak Cipta.

Dengan demikian surat perjanjian lisensi hanya bersifat pemberian izin atau

hak untuk dalam jangka waktu tertentu pula. Persyaratan tertentu yang berkaitan

dengan jangka waktu Lisensi dan Royalty fee, dalam hal ini Lisensi dibuat secara

tertulis. Mengenai isi dari perjanjian Lisensi, secara khusus tidak diatur pada UUHC

2002, namun nudang-undang memberikan kebebasan untuk melakukan perjanjian

asalkan tidak bertentangan dengan pasal 1320 KUHPerdata. Kebebasan membuat isi

perjanjian, dikenal dengan asas kebebasan berkontrak yang ketentuannya merujuk

pada pasal 1338 KUHPerdata, menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat

Page 139: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

139

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu

perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,

atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cukup untuk itu.

Berkaitan dengan Lisensi ini, maka isi perjanjian Lisensi atas persetujuan

kedua belah pihak mengacu pada pasal 1338 KUHPerdata, adalah merupakan

undang-undang bagi merekat, dan ini merupakan Lex Spesialis terhadap UUHC 2002.

Berdasarkan langkah-langkah preventif yang dilakukan oleh pencipta karya cipta seni

karawitan bali untuk melindungi hak merek sesuai dengan ketentuan UUHC 2002

yang sedang berlaku, namun kenyataan di lapangan, langkah-langkah preventif

tersebut sangat jarang dilakukannya, dengan alasan bahwa mereka tidak tahu bahwa

UUHC 2002 memberikan perlindungan preventif bagi pencipta seni karawitan bali,

karena mereka juga tidak mengetahui bahwa dengan mempertunjukkan karya cipta

seni karawitan orang lain secara komersiil, tanpa seizin Penciptanya adalah

merupakan suatu pelanggaran Hak Cipta.

4.3 Upaya Hukum Bagi Pencipta Berkaitan Dengan Pertunjukkan Karya Cipta

Seni Karawitan Bali.

Negara berfungsi dan berperan dalam menjaga ketertiban, keamanan, dan

memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya termasuk didalamnya

berkewajiban untuk selalu berupaya dalam rang memberikan perlindungan hukum

terhadap Pencipta dan Pemegang Hak Cipta karya Cipta seni Karawitan Bali, sebagai

salah satu bentuk kepedulian Negara pada masyarakat.

Page 140: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

140

Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, merupakan realisasi Negara

untuk melindungi warganya dibidang Hak Cipta. Namun dakam perkembangannya

walaupun sudah dibuatkan Undang-Undang, pelanggaran tentang Hak Cipta tetap

terjadi termasuk pelanggaran atas pertunjukkan karya cipta seni Karawitan Bali.

Pelanggaran ini terjadi dikarenakan kurangnya pemahaman hukum Hak Cipta baik

bagi Pencipta itupun sendiri maupun bagi pelaku pertunjukkan. Untuk menghindari

dan mengurangiterjadinya pelangaran Hak Cipta terhadap karya cipta seni Karawitan

Bali, upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pencipta adalah :

a. Dengan cara perdata.

Upaya hukum yang dilakukan oleh Pencipta untuk melindungi Hak Cipta

dalam hal terjadinya pelanggaran oleh pihak lain dengan cara melakukan

gugatan secara perdata ke pengadilan Niaga.

Upaya hukum melalui gugatan perdata diatur dalam Pasal 56 UUHC2002,

yang menyatakan bahwa :

1) Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi

kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta dan

meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil

perbanyak ciptaan itu.

2) Pemegang Hak Cipta berhak juga memohon kepada Pengadilan

Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian

penghasilan yang diperoleh dari pelanggaran ceramah, pertemuan

Page 141: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

141

ilmiah, pertunjukkan atau pameran karya, yang merupakan hasil

pelanggaran Hak Cipta

Pengambilan Hak Cipta tanpa seizing dari pemiliknya atau dari yang berhak, dapat

pula digugat berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, tentang perbuatan melawan

hukum. Adapun isi dari pasal 1365 KUHPerdata adalah sebagai berikut ; setiap

perbuatan melawan hukum, oleh karenanya menimbulkan kerugian pada pihak lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menyebabkan kerugian itu menggantinya.

Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa yang termasuk perbuatan melawan hukum

termasuk perbuatan yang melanggar peraturan lain diluar bidang hukum. Yang

dimaksudakan lain ialah, peraturan dilapangan kesusilaan, keagamaan, dan sopan

santun.122

Dari rumusan pasal 1365 KUHPerdata dapat dilihat bahwa suatu perbuatan

melawan hukum harus memenuhi unsure-unsur dibawah ini :

a. Perbuatan itu harus melawan hukum ( onrechtmatig )

Perbuatan melawan hukum menurut Arrest 1919, merupakan suatu

perbuatan yang melanggar hukum, jika melanggar Hak Cipta orang lain

yang merupakan hak subyektif yaitu hak-hak perorangan, seperti

kebebasan, kehormatan, dan nama baik.

122

Wirjono Prodjodikoro, 2000, Perbuatan Melangar Hukum, Dipandang dariSudut Hukum

Perdata, Bandar Maju, Bandung, hal.6

Page 142: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

142

b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian

Kerugian ini dapat bersifat kerugian materil ataupun kerugian inmateriil.

Pasal 1246 sampai pasal 1248 KUHPerdata mengenai ganti kerugian dalam

hal wanprestasi tidak dapat diterapkan pada perbuatan melawan hukum,

melainkan dibuka kemungkinan penerapan secara analogis. Mengenai

pasal-pasal ganti kerugian akibat wanprestasi, kerugian meliputi tiga

unsure yaitu ; biaya, kerugian yng sesungguhnya dan keuntungan yang

duharapkan (bunga), sedangkan ukuran yang dipakai adalah uang, dalam

perbuatan melawan hukum usnur kerugian dan ukuran penilaiannya dengan

uang dapat diterapka secara analogis. Dengan demikian perhitungan ganti

rugi dalam perbuatan melawan hukum didasarkan pada kemungkinan

adanya ketiga unsur tersebut dan kerugian dihitung secara jumlah uang.

c. Perbuatan ini harus dilakukan dengan kesalahan.

Pengertian kesalahan ini adalah pengertian dalam hukum Perdata, bukan

hukum Pidana. Kesalahan dalam pasal 1365 KAUHPerdata ini

mengandung semua garadasi dari kesalahan dalam arti “sengaja” sampai

pada kesalahan dalam arti “tidak sengaja” (lalai).

d. Antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan harus ada hubungan

kausal.

Adanya hubungan kausal dapat disimpulkan dari kalimat dalam pasal 1365

KUHPerdata, perbuatan yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian,

Page 143: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

143

kerugian itu harus timbul sebagai akibat dari perbuatan orang itu, jika tidak

ada perbuatan, tidak ada kerugian.123

Dikaitkan dengan pelanggaran Hak Cipta, sesuai dengan pasal 56 UUHC 2002,

bahwa Pencipta berhak melakukan gugatan ganti rugi ke PEngadiloan Niaga atas

pelanggaran Hak Ciptanya dan menerima penyitaan terhadap benda yang diumumkan

atau hasil-hasil pembajakan ciptaan.

Meskipun dalam menentukan dan membuktikan besar kecilnya kerugian itu

mengalami kesulitan, namun hakim dapat menentukan “ex aequo et bono” atau

berdasarkan kepatutan dan kepantasan dalam nilai uang, apa benar-benar menderita

kerugian, hal ini dapat dibuktian oleh Penggugat seperti dalam karya cipta seni

Karawitan, adanya konser seni karawitan secara komersiil tanpa seizin Pencipta

dengan mengurangi atau memodifikasi atau mempersingkat waktu jalannya lagu

sehinga membuat kwalitas gending terkesan seperti asal-asalan, yang dapat

mengakibatkan kerugian baik materiil maupun imateriil bagi Pencipta Seni Karawitan

itu sendiri.

b. Upaya hukum melalui tuntutan secara Pidana

Upaya hukum secara pidana dapat merujuk pada pasal 72 – 73 UUHC2002

yang menyatakan bahwa :

(1). Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1)

123

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 252-257.

Page 144: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

144

dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling

singkat 1 (satu) bulan dan /atau pidana penjara paling lama 7 tahun

dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- ( lima milyar

rupiah ).

(2). Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,

mengedarkan, atau menjual umum suatu ciptaan atau barang hasil

pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun

dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta

rupiah).

(3). Barang siapa dengan dan tanpa hak memperbanyak penggunaan

untuk kepentingan komersial suatu program computer dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling

banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

(4). Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 17 UUHC 2002

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda

paling banyak Rp. 1.000.000.000 (1 milyar rupiah). Sampai ayat (9).

Tuntutan yang dapat dilakukan oleh Pencipta secara Pidana dapat dilakukan

melalui pengadilan umum.

Page 145: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

145

Adapun cara penyelesaian upaya hukum diatas dapat dilakukan dengan cara Litigasi

dan Non Litigasi.

a. Cara Litigasi, adalah cara penyelesaian pelanggaran Hak Cipta melalui

Pengadilan. Namun penyelesaian pelanggaran Hak Cipta melalui

Pengadilan umum ini, biasanya dilakukan oleh pihak Pencipta yang karya

ciptanya dilanggar secara pidana. Penyelesaian pelanggaran Hak Cipta

secara perdata sesuai dengan ketentuan pasal 56 ayat 1 UUHC 2002, dapat

diselesaikan di Pengadilan Niaga, namun kenyataan ini selama dilapangan

menurut Bapak Ketut Wiartha SH (Hakim Pengadilan Negeri Denpasar)

menyatakan bahwa sampai saat ini kasus yang masuk ke Pengadilan Negeri

Denpasar baru pelanggaran Hak Cipta atas milik Joger, Karya Cipta seni

lukis Nyoman Gunarsa, namun sampai saat ini belu ada pihak Pencipta

karya seni karawitan bali yang mengajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri

Denpasar karena Hak Ciptanya dilanggar.

b. Cara Non Litigasi, adalah cara yang dilakukan oleh Pencipta untuk

menyelesaian upaya hukumnya melalui cara diluar peradilan. Cara Non

Litigasi ini, hanya dapat digunakan pada pelanggaran Hak Cipta secara

Perdata. Cara ini sesuai dengan ketentuan Pasal 65 UUHC 2002 yang

menyatakan bahwa, selain penyelesaian sengketa yang dimaksud pada

pasal 55 dan pasal 56, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut

melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa. Selain itu dapat

merujuk melalui ketentuan Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang

Page 146: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

146

alternative penyelesaian sengketa. Pasal 1 angka 10 Undang-undang ini

membahas tentang alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan

adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur

yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar persidangan dengan

cara Konsoldasi, Negosiasi, Mediasi, atau penilaian ahli. Selain dengan

cara-cara diatas UU. No.30 Tahun 1999, juga mengatur tentang

penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase. Pengertian Arbitrase adalah

cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan

atas perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa.

Dalam perkembangan dunia bisnis, para pihak yang bersengketa lebih banyak

menempuh jalan dengan cara penyelesaian sengketa melalui cara Non Litigasi.

Alasan-alasan yang

mengemuka para pihak cenderung mempergunakan cara Non Litigasi antara lain :

1. Waktu yang cepat

Waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah adalah

waktu yang sangat berharga, sedangkan jalan untuk menyelesaikan

sengketa melalui pengadilan sangat tidak menguntungkan, karena

menggugat di Pengadilan Perdata merupakan jalan yang sangat panjang.

Putusan pengadilan belum merupakan kekuatan hukum yang mengikat,

sebab masih ada tingkatan Banding ke Pengadilan Tinggi hingga Kasasi

Page 147: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

147

bagi mereka yang merasa belum puas atas putusan tingkat Pengadilan

Negeri.

2. Adanya orang-orang yang ahli

Dengan lembaga alternative penyelesaian sengketa, para pihak dapat

menunjuk orang ahli dibidangnya, yang mengetahui tentang masalah yang

menjadi sengketa. Dengan demikian putusan yang akan diambilnya

didukung oleh pengetahuan yang mendalam tentang hal-hal yang

dipersengketakan.

3. Rahasia para pihak terjamin

Para pihak yang bersengketa dapat meminta LEmbaga alternatif, untuk

tidak menyebarkan masalah tersebut pada public.124

Berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa dalam pelanggaran kasus Cipta Seni

Karawitan Bali, sangat relevan apabila cara-cara tersebut diatas dapat diterapkan.

Namun kenyataannya dilapangan sesuai dengan penelitian, hingga kini penyelesaian

sengketa atas pelanggaran karya cipta seni Karawitan bali baik melalui Litigasi

maupun Non Litigasi belu pernah ada. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman

Pencipta dan Para Pelaku Konser karya cipta seni karawitan Bali terhadap

UUHC2002.

124

Richard Burton Simatupang, Op Cit, hal. 57-58.

Page 148: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

148

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan dari pemaparan permasalahan Bab III sampai Bab IV

sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan ketentuan Undang- Undang Hak Cipta 2002 belum efektif

untuk memberikan perlindungan hukum bagi pencipta berkaitan dengan

Karya Cipta Seni Karawitan Bali. Hal ini terlihat dari banyaknya

penggunaan Karya Cipta seseorang yang dipertunjukkan secara komersill

tanpa meminta izin terlebih dahulu dari Pencipta Karya tersebut. Hal inilah

yang menyebabkan banyak terjadinya pelanggaran atas Hak Cipta.

2. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pencipta yakni dengan

mengklaim bahwa pertunjukan yang dilakukan oleh pelaku pelanggaran

hak cipta adalah hasil ciptaanya . dan meminta pihak pelaku pelanggaran

untuk menghentikan mempertunjukkan karya ciptaanya, sebelum ada

pembicaraan lebih lanjut kepada pencipta. Dalam hal ini pihak pelaku

pertunjukkan hendaknya meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta

sebelum mempertunjukkan karya ciptaan si pencipta. Permintaan izin

tersebut tertuang dalam perjanjian yang isinya memuat tentang Royalti

yang akan diterima oleh si Pencipta itu sendiri. Apabila hal tersebu tidak

dituruti oleh pihak pelaku pertunjukkan Upaya hukum yang digunakan oleh

Page 149: BAB I PENDAHULUAN 1.Permasalahan I. Latar Belakang

149

Pencipta terhadap pelanggaran atas karya Cipta nya adalah dengan

melakukan gugatan Perdata ke Pengadilan Niaga yang diatur pada Pasal 56

UUHC 2002, Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum

dan dengan melakukan tuntutan secara pidana yang di atur pada Pasal 72 -

73 UUHC 2002.

5.2 Saran

1. Diharapkan kepada pihak-pihak terkait baik Dirjen HKI, maupun

Departemen Perindustrian dan Departemen Hukum dan HAM, untuk lebih

meningkatkan sosialisasi tentang UUHC 2002 khususnya kepada Pencipta

seni Karawitan Balidan pihak yang mengorganisir konser karya cipta senii

karawitan Bali secara komersiil, seperti pada pengelola hotel, pengelola

media visual, dan pemilik tempat pertunjukkan secara komersiil yang ada

dibali.

2. Perlu adanya suatu organisasi atau peguyuban YKCSB( Yayasan Karya

Cipta Seni Bali ) oleh para Pencipta Seni Karawitan Bali, semacam YKCI

(Yayasan Karya Cipta Indonesia) dalam Karya Cipta Musik dan Lagu,

untuk memberikan perlindungan secara ekonomis kepada para Pencipta

yang menjadi anggota Paguyuban.