35
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manado merupakan ibukota provinsi Sulawesi Utara yang dikenal dan digaungkan sebagai daerah miniatur kerukanan umat beragama di Indonesia 1 . Hal tersebut sangat membanggakan pemerintah daerah, termasuk masyarakat. Ini terlihat dari headline news surat kabar lokal yang mengkontraskan toleransi masyarakat terhadap perayaan Natal di Manado dengan tidak terimanya sebagian masyarakat Bogor terhadap perayaan hari raya tersebut di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, hingga umat harus beribadah di luar ruangan 2 . Sejak konflik bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), mendera Indonesia di paruh kedua 1990-an hingga awal 2000-an, Manado serta Sulawesi Utara tetap bertahan dengan citra aman dan toleran, sekalipun secara geografis diapit daerah konflik. Sebelah selatan ada konflik Poso (1999-2000) di Sulawesi Tengah; sebelah timur, konflik Maluku (1999-2001) dan Maluku Utara (2000); sebelah barat ada konflik Kalimantan di Ketapang (1998) juga Sambas dan Sampit (2000-2001) 3 . Citra damai tersebutlah yang kemudian mendorong kedatangan para korban dari daerah bertikai, terutama Maluku Utara dan Maluku untuk menyelamatkan diri di daerah ini 4 . 1 Manado Post (Jumat, 11 Desember 2009) hlm. 7 kolom 3-7 2 Manado Post (Selasa, 27 Desember 2011) hlm. 1 kolom 1-7 3 Murni Djamal, Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini (Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, 2003) Kata Pengantar, hlm. xi 4 Consortium for Assistance to Refugees and Displaced in Indonesia, Bulletin, Edisi I (Manado: Mei 2002) hlm. 2-3

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63428/potongan/S2-2013... · ... sebelah barat ada konflik Kalimantan di Ketapang (1998) juga Sambas

  • Upload
    donhan

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manado merupakan ibukota provinsi Sulawesi Utara yang dikenal dan

digaungkan sebagai daerah miniatur kerukanan umat beragama di Indonesia1. Hal

tersebut sangat membanggakan pemerintah daerah, termasuk masyarakat. Ini

terlihat dari headline news surat kabar lokal yang mengkontraskan toleransi

masyarakat terhadap perayaan Natal di Manado dengan tidak terimanya sebagian

masyarakat Bogor terhadap perayaan hari raya tersebut di Gereja Kristen

Indonesia (GKI) Yasmin, hingga umat harus beribadah di luar ruangan2.

Sejak konflik bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan),

mendera Indonesia di paruh kedua 1990-an hingga awal 2000-an, Manado serta

Sulawesi Utara tetap bertahan dengan citra aman dan toleran, sekalipun secara

geografis diapit daerah konflik. Sebelah selatan ada konflik Poso (1999-2000) di

Sulawesi Tengah; sebelah timur, konflik Maluku (1999-2001) dan Maluku Utara

(2000); sebelah barat ada konflik Kalimantan di Ketapang (1998) juga Sambas

dan Sampit (2000-2001)3. Citra damai tersebutlah yang kemudian mendorong

kedatangan para korban dari daerah bertikai, terutama Maluku Utara dan Maluku

untuk menyelamatkan diri di daerah ini4.

1 Manado Post (Jumat, 11 Desember 2009) hlm. 7 kolom 3-7 2 Manado Post (Selasa, 27 Desember 2011) hlm. 1 kolom 1-7 3 Murni Djamal, Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini (Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, 2003) Kata Pengantar, hlm. xi 4 Consortium for Assistance to Refugees and Displaced in Indonesia, Bulletin, Edisi I (Manado: Mei 2002) hlm. 2-3

2

Tidak sampai disitu, imaji aman, damai dan toleran umat beragama dan etnis

di Sulawesi Utara melekat kuat dan tergambar dari lagu “Torang Samua

Basudara” dengan penyanyi Rama Aiphama. Lagu yang dilepas pada khalayak

tahun 1999 tersebut, mengusung semangat rukun BoHuSaMi, akronim bentukan

pemerintah daerah yang didasarkan dari nama suku bangsa tempatan di Sulawesi

Utara, yaitu: Bolaang-Mongondow; Hulu(Goro)ntalo; Sangi(he)r; Minahasa. Syair

dan video klip lagu tersebut secara emosional berisi ajakan dan pengingat untuk

hidup rukun sekalipun memiliki latar belakang berbeda-beda.

Kisah-kisah manis tersebut berbanding lurus dengan tuturan warganya dan

beberapa orang yang pernah mampir di Manado. Sekalipun sebagaimana

anggapan umum, orang Manado lekat dengan identitas Kristen dan nilai-nilai

(ke)Barat(an)5 yang terkenal individualistis itu, namun tetap saja masyarakat

mempertontonkan toleransi dalam arena pluralitas. Semisal, pada perayaan Tahun

Baru Imlek 2012, salah seorang pemuka agama yang meneruskan tradisi tiap

tahunnya mengajak seluruh warga kota tidak perduli dari kalangan apapun untuk

bersukacita bersama pada perayaan tersebut yang dipusatkan di Klenteng Besar

Ban Hin Kiong jam 12 Malam (Pacific TV, Headline News, 22 Januari 2012).

Begitu juga penuturan salah seorang warga Yogyakarta yang pernah

mengunjungi Manado dan terkesan dengan toleransinya6. Ketika ia memesan

sajian di rumah makan “khas Manado”, pada saat bersamaan ada seorang wanita

berjilbab datang dan dengan rasa hormat, pramusaji mengatakan: “maaf ibu, kami

tidak bisa menghidangkan menu disini untuk ibu, mungkin ibu bisa memesan

5 Bert Tua’ Supit, “Quo Vadis Tou Minahasa”, di dalam Buletin Tou Nga’asaan (Edisi II, Agustus 2005) hlm. 8 6 Wawancara spontan dengan Amir (nama disamarkan) di Condong Catur, Sleman, Rabu, 25 Januari 2012

3

menu di restoran sebelah yang menyediakan menu nasional”. Ibu itupun berkata:

“tidak apa-apa, saya hanya menunggu teman saya saja disini”. Toleransi tersebut,

lebih lanjut dikatakan informan tersebut, belum pernah ia temui di daerah asalnya.

Sejak dekade 1980an, beberapa peneliti dalam publikasinya menangkap

fenomena kerukunan dan kerjasama harmonis dimaksud, termasuk menyematkan

nama-nama ataupun istilah-istilah sejuk untuk propinsi Sulawesi Utara, khususnya

kota Manado. Mereka antara lain: Y. V. Van Paasen7; AP Abdullah

8; Karen P.

Kray9; Kelly Swazey

10; David Henley, Maria J.C. Schouten dan Alex Ulaen

11;

Gabriele Weichart12

; dan Ilham Daeng Makkelo13

. Karya-karya mereka bisa

dibilang isinya antara lain menangkap dan merepresentasikan masyarakat Manado

dalam wajah damai, saling menerima dan toleran dengan perbedaan14

.

Konstruk-relasi saling-menerima tersebut tentu menarik dan penting

dipelajari. Karena, dalam kasus ini, masyarakat terlihat mem(di)bangun identitas

sebagai orang Manado, sebuah identitas yang dilekatkan pada sebuah kota.

Penduduknya mulai melepaskan identitas lama yang melekat bedasarkan etnisitas,

7 Y.V. Paassen, MSC, “Kerjasama Antar Agama dan Prospeknya: Kasus Sulawesi Utara”, di dalam Koentjaraningrat (Peny.), Masalah-masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan (Jakarta: LP3ES, 1982) hlm. 371-387 8 Abdullah AP, “Kerukunan Hidup Umat Beragama: Studi Kasus di Kota Manado”, di dalam Tim Penyusun, Direktori Penelitian Agama, Konflik dan Perdamaian (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Institut Pluralisme Indonesia, 2005) hlm. 232 9 Karen P. Kray, Operasi Lilin dan Ketupat: Conflict Prevention In North Sulawesi Indonesia, MA Thesis (Ohio: The Faculty of International Studies of Ohio University, 2006) 10 Kelly Swazey, “From The City of Brotherly Love: Observation on Chrstian-Muslim Relations on North Sulawesi”, di dalam Explorations Journal of Asian Studies, Volume 7, Issue 2, Special Edition: Islam in Southeast Asia (Manoa: University of Hawai’I, musim semi 2007) hlm. 47 11 David Henley, Maria J.C. Schouten, Alex J. Ulaen, “Preserving The Peace in Post-New Order Minahasa”, di dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (Eds.), Renegotiating Boundaries Local Politics in Post-Suharto Indonesia (Leiden: KITLV Press, 2007) hlm. 307-326 12 Gabriele Weichart, “We Are All Brothers and Sisters: Community, Competion and Church in Minahasa”, di dalam Françoise Douaire-Marsaudon and Gabriele Weichart (Eds.), Les Dynamiques Religieuses dans le Pacifique: Formes et Figures Contemporaines de la Spiritualité Océanienne [Religious Dynamics in the Pacific: Contemporary Forms and Key Figures of Oceanian Spirituality] (Marseille: Pacific-Credo Publications, 2010) 13 Ilham Daeng Makkelo, Kota Seribu Gereja Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado (Yogyakarta: Ombak, 2010) 14 Substansi tulisan-tulisan dimaksud akan disajikan lebih lanjut di bagian kajian pustaka.

4

agama, “genealogi kekerabatan runut-jelas”, “teritori-adat”; termasuk pakem-

pakem budaya yang dikenali sebagai “asli” atau “tradisional” seperti pakaian-adat,

rumah-adat, alat musik dan sebagainya. Alih-alih mereka meng(di)identifikasi

sebagai orang Manado, lepas dari Minahasa atau “orang-gunung”, Jawa, Sangir,

Talaud, Gorontalo, Bugis, Cina, Kristen, Islam, Katolik, Hindu dan Budha.

Di sisi lain, bertolak belakang dengan penjelasan di atas, mengikuti logika

teori dramaturgi Erving Goffman15

, maka apa yang (di)nampak(an) adalah

semacam pertunjukan sandiwara panggung-depan (front stage) dan berbeda

dengan narasi sebaliknya; kehidupan tanpa “riasan” di panggung-belakang (back-

stage). Mengikuti alur pikir Goffman, fenomena identitas panggung-depan

masyarakat Manado tentu memiliki fenomena panggung-belakang yang kontras.

Beberapa ilmuwan sosial juga telah secara sederhana menangkap dan

mengemukakan hal tersebut. Beberapa publikasi mengenai dinamika wajah

timpang dan suram masyarakat Manado, serta bertolak belakang dengan citra

rukun yang selama ini ter(di)bangun, antara lain: Abdullah AP16

; Henny Warsilah

dan Riwanto Tirtosudarmo17

; LSI (Lingkaran Survei Indonesia)18

; Kelly

15 Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat pada Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (Edinburgh: University of Edinburgh Social Sciences Research Center, 1956); Suko Widodo, “Teori Dramaturgi Erving Goffman”, di dalam Bagong Suyanto dan M. Khusna Amal (Eds.), Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2010) hlm. 175 16 Abdullah AP, Op. Cit. 17 Henny Warsilah dan Riwanto Tirtosudarmo, “Potensi Sosial Budaya dan Ekonomi Daerah Penelitian (Studi Kasus Dua Kota di Indonesia Bagian Timur: Manado-Sulut dan Denpasar-Bali)”, di dalam Henny Warsilah (Ed.), Kelas Menengah dan Demokratisasi: Partisipasi Kelas Menengah Dalam Kontrol Sosial Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang Baik dan Bersih(Jakarta: LIPI, 2005) 18 Lingkaran Survei Indonesia, “Faktor Agama Dalam Pilkada”, di dalam Kajian Bulanan Edisi 10 (Jakarta: Februari 2008)

5

Swazey19

; Ilham Daeng Makkelo20

. Substansi karya-karya yang telah disebut akan

disajikan secara lebih luas pada bagian Kajian Pustaka.

Dalam tataran realitas-empirik, kecenderungan serupa juga nampak pada

wacana pembentukan Kota Manado Utara21

. Sekalipun isu yang diangkat demi

pemerataan pembangunan. Namun, bagi masyarakat Manado Utara, ini dapat

dilihat sebagai suatu wujud resistensi atau kecemburuan pada mereka di wilayah

Manado Selatan yang dinilai lebih tersentuh pembangunan. Hal ini, dalam konteks

identitas sosial yang berkembang pada masyarakat, bisa dikontraskan secara

biner-oposisif, superior-inferior, superordinat-subordinat, pusat-pinggiran, dimana

orang di Manado Selatan -termasuk Manado Tengah- berada pada posisi superior

yang kebetulan melekat identitas Minahasanya, yaitu bangsa22

tempatan dan

kadang-kadang secara sarkastik, namun lebih sering diam-diam, disandangkan

sebagai “tuan-rumah”. Sementara orang Manado Utara, mau tidak mau dilabelkan

dalam posisi inferior yang lekat dengan identitas Kristen-Sangi(he)r-pendatang

ataupun bisa juga Muslim-pendatang (Gorontalo, Bugis, Jawa dan sebagainya).

Bagi masyarakat Manado sendiri, identitas sosial tersebut dirangkum singkat

dalam istilah sabla aer.

Sabla aer merupakan bahasa Melayu-Manado yang secara literal berarti “di

seberang air (kuala atau sungai)”. Istilah ini pertama kali digunakan Sekretaris

Residen Manado Ph. E. L. Sigar tahun 1923 untuk menyebut penduduk Sangir di

Manado Utara sekaligus memuji kesungguhan dan semangat kerja mereka yang

19 Kelly Swazey, Op. Cit. 20 Ilham Daeng Makkelo, Op. Cit. 21 Lihat ”Manado Utara Layak Mekar Jadi Daerah Otonom”, di dalam http://beritamanado. com/kota-manado/manado-utara-layak-mekar-jadi-daerah-otonom/47062/ (Posted Selasa, 9 Agustus 2011, 9.49 PM) diunduh Kamis, 12 Januari 2012, pukul 9.53 PM 22 Soal identifikasi bangsa untuk Minahasa dan bukan etnis atau suku bangsa akan dijelaskan lebih lanjut dalam Bab II

6

hebat bagi kemajuan ekonomi Manado23

. Kini, sabla aer tidak hanya menjadi

sebuah penunjuk teritori semata. Bagi warga, istilah itu secara konotatif merujuk

pada golongan masyarakat kelas dua yang berpretensi sekaligus berpreferennsi

pada agama tertentu yang saling rekat dengan etnis tertentu, seperti Islam-

pendatang (Gorontalo, Jawa, Bugis) ataupun Kristen-pendatang (Sangi(he)r). Jelas

bahwa, sabla aer merupakan identitas di dalam identitas menyangkut relasi antar

agama maupun etnis di Manado yang selama ini ter(di)bentuk dan menjalar dalam

banyak ruang sosial masyarakat. Maka, berdasar berbagai penjelasan di atas,

penulis mengajukan penelitian berjudul: “Menyatukan dan Memecah Belah:

Praktek dan Wacana Identitas Sosial di Kota Manado”.

Pertimbangan lain dipilihnya topik ini, karena kebanyakan kajian mengenai

identitas Manado banyak dipadankan dengan identitas Minahasa yang cenderung

berkonsentrasi menyoroti akselerasi ke-Minahasa-an yang lekat dengan ke-

Kristenan juga ke-Barat-(barat)an24

. Juga didapati studi-studi tentang identitas

orang Manado belum serius menyoroti secara sekaligus, pembentukan identitas

baru dengan mengenyampingkan identitas lama yaitu etnisitas dan beralih pada

nama kota yang tidak harus kait-mengait secara historis dengan etnis tertentu25

.

Termasuk relasi identitas di dalam, yaitu sabla aer. Dimana, identitas dimaksud,

secara bertindihan menjadi perekat masyarakat, juga pemecah belah.

Jadi, posisi karya ini, ingin penulis tempatkan sebagai penambah literatur

yang selama ini telah ada dan dipelajari; atau dapat dilihat sebagai sepotong kaca

dalam mosaik dinamika kebudayan masyarakat Manado secara khusus dan

23 Remy Sylado, “Fatsal Penyairnya Ketimbang Puisinya”, di dalam Pitres Sombowadile, Coelacanth Tak Pernah Mati Kumpulan Puisi Pitres Sombowadile (Manado: Komunitas Sastra Manado, 2007) Pengantar, hlm. 5 24 Mengenai pernyataan ini akan dijelaskan secara terpisah pada bagian “Kajian Pustaka” 25 Akan dijelaskan secara terpisah pada Bab II

7

Indonesia pada umumnya. Sekaligus, menjadi refleksi juga cermin bagi penulis

tentang diri sendiri dan masyarakat tempat penulis hidup dan belajar. Dimana

hingga kini, bahkan sampai seumur hidup belum bisa dipahami secara utuh.

Namun, tetap bisa berikhtiar untuk terus menuju pengertian yang semakin baik

dan berpihak pada kesetaraan, sebagaimana secara ideal dicita-citakan dalam

slogan Torang Samua Basudara.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

1. Bagaimana dan dalam ruang-ruang relasi empiris, simbolis serta politis apa

warga kota sebagai agen (masyarakat umum, pemerintah, tokoh, media

lokal) membangun wacana dan praktek identitas Torang Samua Basudara

dalam yang menyatukan beragam identitas agama dan etnis?

2. Bagaimana dan dalam ruang-ruang relasi empiris, simbolis, politis apa

warga kota sebagai agen membangun wacana dan praktek identitas sosial

sabla aer yang bersifat memecah belah?

1.3. Ruang Lingkup, Fokus dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini mengenai orang Manado (manadonese) dengan sampel wilayah

penduduk di kota Manado yang penulis tempatkan secara geografis-administratif

sebagai ruang lingkup spasial. Dalam garis waktu, sekalipun tetap mengambil

sumber-sumber sejarah, fenomena identitas sosial penelitian ini difokuskan pada

pembentukan identitas sosial setelah kemunculan istilah Torang Samua Basudara

8

sekitar tahun 1997-1998 di masa pemerintahan Gubernur E. E. Mangindaan

hingga saat ini. Jadi, identitas sosial yang dimaksud disini sifatnya kontemporer.

Pertimbangan hal di atas karena memang sedari awal penulis tertarik untuk

meneliti fenomena identitas sosial yang berdinamika dalam masyarakat kota ini.

Padanya tentu melekat juga, heterogenitas penduduk yang pada tahun 2003 –

tahun terakhir pencatatan sebaran penduduk berdasarkan agama- masih

didominasi pemeluk agama Kristen26

. Hingga sensus 2000 tercatat Minahasa

merupakan entitas (etnis) bangsa yang paling banyak secara kuantitas27

. Namun

semakin lama, indikasi menunjukkan timbulnya keseimbangan kuantitas karena

didorong cepatnya mobilitas penduduk yang datang ke Manado dari luar daerah

karena daya tarik ekonomi dan keamanan bagi para korban kerusuhan.

Manado dapat dipandang -mengikuti Pierre Bourdieu- sebagai arena28

yang

berbagai orang dari latar belakang agama dan etnis ada di dalamnya, saling

memainkan peran masing-masing untuk berebut ruang lewat modal budayanya.

Namun begitu, fokus penelitian ini bukanlah arena itu sendiri, melainkan

“permainan” identitas sosial masyarakat di dalam arena, baik yang berwajah

menyatukan juga memecah-belah. Namun begitu, karena kota Manado itu sendiri

dianggap29

sebagai salah satu daerah tempatan (etnis)bangsa Minahasa, serta

26 Lihat Badan Pusat Statistik Kota Manado, Manado Dalam Angka 2003 (Manado: Badan Pusat Statistik. 2004) hlm. 118; jumlahnya berturut-turut, Kristen lainnya (177.692 jiwa), Islam (138.642 Jiwa), Katolik (21.842 Jiwa), Budha (7.224 Jiwa); Hindhu (1.010 Jiwa) 27 Lihat Badan Pusat Statistik Kota Manado, Manado Dalam Angka 2000 (Manado: Badan Pusat Statistik. 2001); jumlahnya berturut-turut, Minahasa (152.464), Sangihe (73.575); Gorontalo (64.502); Lainnya (54.423 Jiwa); Jawa (18.292 Jiwa), Bolmong (6.551 Jiwa); Talaud (3.216 Jiwa). 28 Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977) 29 Tanda tanya (?) sengaja disandangkan karena diketahui ada beberapa karya, terutama dari mereka ‘orang tua’ Minahasa yang mengklaim Manado adalah bagian dari wilayah Minahasa Pakasaan (wilayah adat) Tombolu, terutama karya pada catatan kaki No. 30. Namun, ada juga beberapa catatan perjalanan abad lampau mengenai tanah di Manado yang dulunya

9

sering penduduknya disamakan dengan orang Minahasa30

, termasuk masyarakat

berinteraksi dalam budaya-dominannya31

. Tentu penjelasan (pra)identitas orang

Manado, umumnya - dijelaskan dalam Bab II- akan bias Minahasa. Padahal

disadari, penelitian ini nantinya akan menyoal identitas-identitas serta sentimen-

sentimen selain orang Manado-Minahasa itu sendiri, tapi juga Manado-Sangir,

Manado-Gorontalo, Manado-Islam, pendatang dan seterusnya.

Berdasarakan penjelasan pada bagian-bagian sebelumnya, maka penelitian ini

bertujuan untuk: (1) Mengetahui bagaimana dan dalam ruang-ruang relasi empiris,

simbolis serta politis apa warga kota (masyarakat umum, pemerintah, tokoh,

media lokal) membangun wacana dan praktek identitas Torang Samua Basudara

dalam yang menyatukan beragam identitas agama dan etnis; (2) Mengetahui

Bagaimana dan dalam ruang-ruang relasi empiris, simbolis, politis serta resistensi

apa warga kota membangun wacana dan praktek identitas sosial sabla aer yang

bersifat memecah belah; (3) Memperoleh penajaman serta penjelasan berbeda

mengenai teori identitas sosial yang selama ini telah terbentuk.

1.4. Kajian Pustaka

Sebagaimana pernyataan Hamerster (1916) yang dikutip oleh Peter Nas,

menggambarkan Manado dalam detail berarti mendeskripsinya sebagai bagian

status quo dan oleh pemerintah kolonial diberikan kepada etnis Bantik -salah satu bagian dari sub-etnis Minahasa yang punya kedekatan fisiologis, etnisitas dan bahasa dengan orang Sangir-, dapat dilihat di: Alfred Russel Wallace, The Malay Archipelago (Hongkong: Periplus, 2008) hlm. 183-203. 30 Lihat All People Iniative, “Minahasa In The New York Metro Area”, Bulletin (Oktober 2007); Alex John Ulaen, La ‘Residentie Manado’ À La Fin Du XIXe Siècle: Une Introduction à l’étude historique du pays Minahasa à Célèbes Nord [Karesidenan Manado Pada Akhir Abad Ke XIX: Pengantar Kajian Kesejarahan Tanah Minahasa, Sulawesi Utara] (Manado: MarIn CRC, 2010) hlm. 30 31 Lihat Boy E. L. Rondonuwu, Minahasa Tanah Tercinta (DPD KNPI Tingkat II Minahasa, 1984); Ch. Rondonuwu , Tentang Minahasa (Tomohon: Yayasan Mapalus Minaesa, 1982)

10

dari Minahasa32

. Maka sangat beralasan dan saling terkait jika mendiskusikan

identitas dan dinamika orang Manado melalui studi-studi yang kebanyakan

tentang identitas Minahasa, baik sejak masa kolonial hingga pasca-kolonial.

Apalagi, studi dan publikasi yang membahas Minahasans, secara kuantitas jauh

lebih kaya dari bahasan tentang Manadonese.

Pengamatan Reimar Schefold yang dikemukakan dalam pengantar pada buku

yang dieditorinya33

, mengemukakan karya tentang Minahasa setelah Perang Dunia

I sangat kurang karena dianggap tidak memiliki “atraksi eksotik” yang bisa

mendorong timbulnya banyak publikasi. Menurut saya, ini karena orang Minahasa

bisa dianggap sudah membawa semangat dan model hidup barat. Persoalan

identitas Minahasa yang cenderung berwarna barat akan dijelaskan sekilas dalam

kajian pustaka ini dan lebih rinci pada Bab II untuk memeta-awalkan gerak

identitas di Manado sejauh catatan-catatan pustaka. Agar ada semacam fondasi

untuk lebih memahami arah kajian dalam penelitian ini.

Identitas Minahasa, sebagaimana dikaji oleh beberapa ahli terlihat

menggambarkan kedekatan gaya hidup dengan dunia barat terutama Belanda. Will

Lundstrӧm-Burghoorn, melihat bagaimana identitas ini sangat terpengaruh oleh

Belanda34

. Mulai dari pengaturan rumah dan pekarangannya, kebiasaan berpesta,

minuman serta makanan yang dikonsumsi. Tak lepas dari itu adalah soal tradisi

penamaan anak yang mengikuti model barat, termasuk penggunaan fam atau nama

keluarga. Ia mengangkat bagaimana fleksibilitas identitas Minahasa yang selalu

32 Peter Nas, “Miniature of Manado Images of A Peripheral Settlement”, di dalam Reimar Schefold (Ed.), Minahasa Past and Present Tradition and Transition in an Outer Island Region of Indonesia (Leiden: Research School CNWS, 1995) hlm. 61 33 Reimar Schefold (Ed.), Minahasa Past and Present Tradition and Transition in an Outer Island Region of Indonesia (Leiden: Research School CNWS, 1995) Introduction, hlm. 2 34 Will Lundstrӧm-Burghoorn, Minahasa Civilization A Tradition of Change (Gothenburg: Acta Universitatis Gotheburgensis, 1981)

11

berubah. Karena tidak semuanya identik dengan Belanda, kebiasaan minum Coca-

cola saat pesta atau ketika Natal misalnya. Dengan demikian, Will mencoba

mengemukakan bahwa perubahan adalah kebudayaan Minahasa itu sendiri. Karya

ini sendiri, dapat dikatakan sebagai peta untuk menyelami lebih dalam, aspek-

aspek hidup spesifik orang Minahasa-kontemporer.

Tahun 1982, Van Passen merekam kerukunan umat beragama dalam

karyanya di buku yang dieditori Koentjaraningrat35

. Karya yang memperlihatkan

bagaimana pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, pada dasarnya, secara

kultural toleran menerima berbagai kepelbagaian. Hal tersebut tercermin dalam

berbagai kegiatan yang selalu menampilkan kerjasama lintas agama. Termasuk,

bagaimana masyarakat Sulawesi Utara ia istilahkan sebagai orang-orang yang

asing dengan Prinzipienreiter, pembela mati-matian dalil-dalilnya36

.

Karya penting yang juga bisa dilihat adalah dua karya David Henley yang

mengusung ide sejalan, soal kesadaran nasionalisme dan regionalisme37

. David

Henley melihat bagaimana pergulatan identitas Minahasa dalam pengaruh serta

ke-identik-an dengan kolonial hingga akhirnya dikenal dengan Twapro, akronim

dari Twalfde Provincie van Netherlandsch atau provinsi kedua-belas Belanda.

Hingga akhirnya ini menjadi persoalan identitas bagi orang Minahasa di tengah

nasionalisme Indonesia, atau dikotomisasi pro Belanda-anti Belanda. Maupun

setelah merdeka, pro-negara kesatuan atau federal. Apalagi, praktis pasca perang

Tondano melawan Belanda pada dasawarsa pertama abad ke 19, Belanda telah

35 Y.V. Paassen, Op. Cit. 36 Ibid., hlm. 381 37 David Henley, “Nationalism and Regionalism in Colonial Indonesia: The Case of Minahasa”, di dalam Indonesia, No. 55, The East Indies and The Dutch, April 1993 (Ithaca: Southeast Asia Program Publication at Cornell University, 1993) hlm. 91-112; David Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in The Dutch East Indies (Leiden: KITLV Press, 1996)

12

sepenuhnya mengontrol Minahasa. Namun, karena sumber pustakanya sangat

banyak diambil dari perpustakaan Belanda, ini menjadi cukup memasang kolonial

dalam ramah-wajah. Bahwa, sekalipun masih ada penjelasan singkat disana-sini

mengenai perlawanan rakyat yang memilih bergabung ke Indonesia. Namun, tetap

belum cukup untuk mencegah kesan Minahasa sebagai “antek-antek” Belanda.

Abdullah AP, dalam laporan penelitian yang tercatat di Direktori Penelitian

Agama, Konflik dan Perdamaian menyampaikan hubungan antar umat-beragama

di Kota Manado dengan kalimat “cukup-menggembirakan”38

. Kemudian secara

bertolak belakang, amatannya menunjukkan bahwa pemukiman penduduk

cenderung terbagi berdasarkan golongan agama tertentu. Terutama pemeluk

Kristen dan Islam, dimana ia menangkap adanya saling curiga, saling

merendahkan, rasa ketidakpuasan antar sesama dan saling menuduh39

.

M. J. C. Schouten mengklaim Minahasa sebagai daerah dengan masyarakat

yang paling terpengaruh dengan Belanda dibanding wilayah manapun di

nusantara40

. Semua aspek hidup terkena imbasnya. Dari kekerabatan yang

mengikuti sistem kolonial; bahasa yang akhirnya meminggirkan bahasa etnis dan

terganti Belanda disamping Melayu-Manado; soal status dan sistem politik yang

berada di bawah kendali kolonial; perekrutan untuk mengabdi sebagai tentara

Hindia Belanda yang akhirnya menaikkan status sosial; pemberian pangkat Tituler

untuk pimpinan walak41

; soal perkebunan kopi dan kopra; dan terutama soal

kepemimpinan. Karya ini menarik, karena dengan data yang kaya, studi dalam

38 Abdullah AP, Op. Cit., hlm. 232 39 Ibid. hlm. 233 40 M. J. C. Schouten, Leadership and Social Mobility in a Southeast Asia Society: Minahasa, 1677-1983 (Leiden: KITLV Press, 1998) 41 Walak istilah untuk sistem pimpinan tradisional beberapa negorij (kampung), sekarang setingkat dengan kecamatan.

13

buku ini menjadi sebuah perbandingan antara elit kolonial dan kelas menengah

Minahasa.

Kumpulan tulisan yang bisa dirujuk dalam mendiskusikan identitas

Minahasa adalah karya-karya yang dieditori Helmut Bucholt dan Ulrich Mai42

.

Pemilahan buku ini dalam tiga bagian, yaitu: aspek sejarah-sosial dan budaya;

politik lokal dan diferensiasi sosial, serta; aspek ekonomi dan ideologi dalam

pembangunan regional menjadikannya mudah dipahami sesuai isu. Diskusi dalam

buku ini akhirnya memperlihatkan bagaimana hubungan Minahasa dengan dunia

kolonial sejak masa kolonial hingga kini, akhirnya mempengaruhi nilai, norma,

model hidup, aspirasi politik, diferensiasi sosial, pasar, sosial-ekonomi bahkan

orientasi outward lookingnya. Akhirnya menempatkan identitas Minahasa pada

kajian akselarasi perubahan dan dalam konteks modernisasi di setiap masa yang

dilalui.

Studi menarik dan kaya informasi juga dapat diperoleh dari bunga rampai

mengenai Minahasa yang menempatkan Reimar Schefold43

sebagai editor. Para

kontributor menyumbangkan gagasan-gagasan multi-dimensional tentang

Minahasa. Baik dari dari aspek sejarah, tradisi, mitos, geografis, demografis

bahkan kelompok-kelompok minoritas di dalamnya (Islam dan Bajo). Karena

itulah buku ini menjadi menarik dan penting sebagai sumber informasi akademis.

Tesis Mahyudin Damis harus mendapat apresiasi dan tempat tersendiri disini.

Ia membahas salah satu wujud identitas orang Islam di kota Manado, yaitu Taptu-

42 Helmut Bucholt and Ulrich Mai, Continuty, Change and Aspirations: Social and Cultural Life in Minahasa, Indonesia (Singapore: Institute of Souteast Asian Studies, 1994) 43 Reimar Schefold, Op. Cit.

14

Hijrah kaum muda44

. Dalam salah satu bagiannya, dia menyentil istilah sabala aer

yang tidak hanya bermakna teritorial namun lebih dari itu, kultural45

. Menunjuk

orang Islam-Manado yang tinggal di wilayah “kumuh dan padat-penduduk”

(slum) di Manado Utara, kemudian dihubungkan dengan para pendatang46

.

Termasuk penyertaan cerita simpang-siur yang menjadi sentimen antar warga

ketika masa penelitiannya, bahwa ada isu proses Islamisasi dengan cara

memperkosa wanita-wanita Kristen47

. Namun, saya sebagai native, juga orang

yang sedang mempelajari antropologi, melihat karya ini -dalam banyak bagian-

sebagai sebuah “kemarahan tidak pada tempatnya”. Karya ini terlihat Islam-

sentris dan melekat dengan itu -sebagai antropolog- penulisnya kurang menyadari

setting by design masa itu yang dibanjiri provokasi di berbagai daerah untuk

membakar kemarahan dan kerusuhan massa. Sebagai pembanding misal-nya,

kasus pencemaran sumur warga Islam Kei di Maluku dengan kepala babi48

. Atau

kegiatan KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) warga Kristen yang, ketika itu

hampir selalu menyertakan kesaksian warga dari daerah kerusuhan dan pastinya

“membela” warga Kristen dan terkesan “menyudutkan” warga Islam. Termasuk

video kerusuhan di Kalimantan ber(di)isi suara berbahasa Arab yang disebarkan

secara luas pada kalangan terbatas. Ditambah, realitas politik otonomi-pemekaran

ketika itu, yakni pemisahan provinsi Gorontalo, mendorong terbangun dan

tersebarnya isu etnis serta agama untuk menjadi alat pemulus tujuan politik.

44 Mahyudin Damis, Taptu Hijrah di Kalangan Kaum Muda Islam Manado, Sulawesi Utara: Sebuah Interpretasi (Tesis Magister Antropologi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1999) 45 Mahyudin Damis, Op. Cit., hlm. 138-139 46 Loc. Cit. 47 Loc. Cit. 48 Keterangan Sahrul, Mahasiswa Pasca-sarjana S2 Antropologi angkatan 2009 pada diskusi pengalaman penelitian di FIB UGM, Kamis 9 Januari 2012

15

Lepas dari argumen-argumen dan data yang dibangun dalam karya-karya di

atas. Catatan yang perlu dilihat dalam semua karya ini, baik konteks lampau

hingga kini adalah bagaimana bangsa Minahasa yang dalam banyak karya

diidentikkan dengan orang Manado, karena kesuksesan misi NZG (Netherland

Zendeling Genootschap) dan melaluinya, introduksi pendidikan serta nilai barat

dalam semua aspek kehidupan. Setelah itu, masuk pada ranah globalisasi dan

modernisasi. Kemudian digambarkan sebagai anak ibu pertiwi paling

“terwesternisasi”, “termodernisasi”, “terkristenisasi” dan akhirnya paling “tidak

ter-Indonesiasi”.

Lagipula, semua kajian di atas terkesan menempatkan Minahasa sebagai

identitas etnis otentik, sama halnya juga dengan kajian-kajian lebih kontemporer

yang nanti dijelaskan. Terkesan melihat Minahasa sebagai komunitas yang

dipagari wilayah, bahasa, sejarah dan akhirnya “terkurung” di tengah dan dari situ

berhubungan dengan identitas-identitas lain. Baik itu pada karya berbentuk buku

yang mendalami suatu aspek hidup tertentu ataupun dalam bentuk artikel yang

masih berupa sketsa. Artikel Peter Nas49

yang terkesan mencoba lepas dari

anggapan otentisitas tersebut –kemudian menjadi relevan dengan rencana studi

ini-. Dimana, ia secara spesifik mencoba melihat identitas Manadonese dan bukan

Minahasans. Sekalipun tetap tidak lepas dari melihat Minahasa, pengaruh barat

dalam arsitek, tata kota, pertanian, pasar dan koneksi global. Namun, ia juga

menjelaskan bagaimana identitas ini berdialog dengan identitas Islam, Gorontalo,

China, Sangir, Talaud, selain tentu dengan dunia barat beserta Kristen dan

pendidikan-nya. Walau memang, kajian ini masih berbentuk percahan.

49 Peter Nas, Op. Cit.

16

Sekalipun belum seserius studi-studi sebelumnya yang sudah berbentuk buku,

telah ada beberapa studi tentang identitas Minahasa kontemporer. Artinya

diterbitkan dalam angka tahun 2000an, terutama dalam ranah politik-

pemerintahan. Tulisan Michael Jacobsen misalnya, setelah melihat pengaruh yang

kuat dari Belanda sebagaimana akademisi lain, ia intinya mempertanyakan

tentang pencarian identitas Minahasa pasca orde baru50

karena terkesan hilang

arah. Melalui Gerakan Peduli Minahasa yang digaungkan salah satu LSM lokal,

ada percobaan kembali ke identitas tradisional/purba, melalui program rekonteks-

tualisasi atau revitalisasi bahasa maupun kepercayaan lokal misalnya, yang praktis

hampir menjadi -sebagaimana ia istilahkan- historical artefact51

. Ia berpendapat

hal tersebut merupakan respon resistensi atas “jawanisasi” dan “islamisasi” di

pemerintahan pusat, yang melihat Minahasa sebagai periferi, kemudian direspon

dengan mencoba membentuk “pusat” sendiri. Termasuk, bagaimana ia melihat

ketakutan, tersainginya Minahasa dari Gorontalo dengan menguhubungkan hal

tersebut dengan identitas Islam mereka. Karya ini cukup mengkontraskan

identitas-politik Minahasa yang saling kait-mengait dengan agama dan

nasionalisme Indonesia.

Pada artikel lain, Jacobsen melihat bagaimana penerimaan formasi global

dalam identitas Minahasa sebagai akibat dari pendidikan barat yang mereka

terima, termasuk juga introduksi nilai dan moral Kristen52

. Jadi, dapatlah

50 Michael Jacobsen, “On The Question of Contemporary Identity in Minahasa, North Sulawesi Province , Indonesia”, di dalam Journal of Asian Studies, Vol. I (Hongkong: The Chinese University Press, 2002) hlm. 31-58 51 Ibid., hlm. 39 52 Micahael Jacobsen, “Appropriating the Global Within The Local, Identity Formation among The Minahasa in Contemporary Indonesia”, di dalam Catarina Kinnvall and Kristina Jansson (Eds), Globalization and Democratization in Asia, The Construction of Identity (London and New York: Routledge, 2002) hlm. 229-245

17

dikatakan identitas lokal kontemporer Minahasa adalah apa yang berlaku global.

Kemudian, hal tersebut berkontestasi dengan identitas nasional, yang mau tidak

mau harus diterima di bawah doktrin negara kesatuan orde baru. Jika tidak, bisa

membahayakan, karena sangat bertentangan dengan identitas kolonial-Minahasa

yang federalis-Kristen. Kemudian, akhirnya itu bertarung dengan negara kesatuan

dan Islam serta Jawa. Jadi, dapat dilihat, bahwa dua artikel Jacobsen ini, mencoba

menjelaskan aspek identitas-politik di(orang) Minahasa.

Narasi kecil kontemporer yang mempersoalkan identitas Minahasa semakin

mengerucut dan beragam isu, karena mulai mengeksplorasi identitas dalam hal

spesifik namun mulai mendalam, sekalipun belum seserius beberapa karya pra-

2000an yang sampai menjadi buku. Isinya bukan lagi gelitikan disana-sini seperti

karya-karya sebelumnya. Karya pada paruh kedua tahun 2000an dari menyangkut

identitas politik-pemerintahan, serta makanan dan musik. Masuk akal karena pada

kajian terdahulu telah secara sangat sekilas mengemuka identitas Minahasa yang

ditandai jenis makanannya, senang pesta, musik dan berdansa juga menari.

Gabriele Weichart, melihat praktek kuliner sebagai salah satu identitas

Minahasa53

. Karya ini sangat menarik, karena mengkaji bagaimana membayang-

kan tentang orang Minahasa juga berarti membayangkan para penikmat masakan

pedas dan binatang-binatang liar. Setelah mendeskripsi tipikal makanan Minahasa

dan sumber-sumbernya yang berasal dari alam. Weichart masuk pada bagian “We

eat pork whereas They eat beef”. Kajian yang mendikotomi selera dan aturan

makan dengan identitas agama Kristen dan Islam. Termasuk menekankan kontras

siapa “We” dan siapa “They”. Terlihat, bahwa identitas Minahasa dalam makanan

53 Gabriele Weichart, “Minahasa Identity: A Culinary Practice”, di dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Special Volume (Jakarta: Departemen Antropologi UI, 2004) hlm. 55-74

18

membelah mana Kristen-Minahasa dan Islam-bukan. Hal sederhana-alamiah

yakni makanan, terikat dengan identitas agama-etnis yang kultural dan simbolis.

Artikel Weichart yang lain juga bercerita tentang identitas kuliner Minahasa,

yaitu “roti” dan “anggur”54

. Sebuah artikel sederhana yang elegan. Ia menyoal

bagaimana jenis makanan yang terlihat bergaya barat akhirnya menjadi penanda

identitas etnik dan kultural mereka55

. Begitu juga minuman keras, yaitu cap tikus

dan saguer, yang sekalipun ditemukan di berbagai tempat di Asia-tenggara

sebagai produk olahan pohon aren dalam nama-nama berbeda, namun akhirnya

diakui sebagai representasi etnik ataupun budaya Minahasa56

.

Tahun 2010, Weichart juga mempublikasi artikel yang relevan dengan tulisan

ini57

, ia melihat pembentukan identitas di Minahasa yang menjembatani banyak

perbedaan sejarah, latar belakang termasuk agama, juga modal simbolis-kultural

dan memberi judul artikelnya We Are All Brothers and Sisters padanan kata dari

kredo berbahasa Melayu-Manado Torang Samua Basudara.

Karya Perry Rumengan, seorang etnomusikolog Minahasa juga patut dicatat

disini58

. Ia mendiskusikan bagaimana Minahasa sebagai negeri “penyanyi yang

menyanyi”. Dikenal sebagai daerah dengan penduduk senang menyanyi, disana

mungkin ada kelompok paduan suara terbanyak di dunia. Ia juga melihat

bagaimana musik, tarian dan macam-macam pertunjukan etnik –yang semuanya

membawa unsur musik- Minahasa sangat ber-hibridisasi oleh warna Portugis,

54 Gabriele Weichart, “Same Stuff, Different Meaning…..Same Meaning Different Stuff? A Story of ‘Bread’ and wine in Indonesia”, di dalam Anthropological Notebooks 12 (1)(Slovenia: Slovene Anthropological Society, 2006) hlm. 17-34 55 Ibid., hlm. 19 56 Ibid., hlm. 28 57 Gebriele Weichart, 2010, Op. Cit. 58 Perry Rumengan, “Minahasa! Penyanyi Negeri Menyanyi”, di dalam Budi Susanto (Ed.), Penghibur(an) Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2005) hlm. 187-234

19

Spanyol serta Belanda. Ini tercermin dari komposisi dan properti yang digunakan,

sekalipun juga masih membekas tipe-tipe notasi tradisional-otentik. Namun

begitu, identitas musik inipun, tidak bisa lepas dari Kristenisasi, Belandanisasi,

serta pengaruh politik gereja.

Beberapa publikasi berbahasa Indonesia yang berkonsentrasi pada isu

distribusi modal politik dari beberapa akademisi, peneliti dan lembaga survei,

seperti Henny Warsilah dan Riwanto Tirtosudarmo59

serta Lingkaran Survei

Indonesia (LSI)60

juga patut dicatat. Studi mereka melihat diskriminasi pasifis,

preferensi dan pretensi tertentu di bidang politik pada orang-orang Muslim

Manado yang cenderung ter(di)sisihkan dalam panggung politik lokal. Ini tentu

bertolak belakang dengan identitas damai yang selama ini terbangun.

Menunjukkan bahwa ada sisi suram dan timpang di Kota Manado yang dicitrakan

aman, damai dan toleran. Para penulis kajian yang tersaji dalam paragraf ini,

mengungkapkan silang sengkarut identitas agama dan etnis yang dihubungkan

dengan distribusi modal politik.

Karen P. Kray61

dalam tesisnya di Ohio University, menemukan bahwa

kerjasama antar umat-beragama di Manado berjalan baik, terutama mengerucut

pada umat Kristen dan Islam. Ini tergambar dari judul karyanya, yang

merepresentasikan simbol Lilin untuk umat Kristen dan Ketupat untuk umat

Islam. Karya yang menyajikan bagaimana pencegahan konflik di Sulawesi Utara

berjalan sukses dan mengikutsertakan berbagai pihak secara seimbang.

Kelly Swazey, dalam artikel pendeknya, menyajikan kontras dinamika

identitas masyarakat Kota Manado. Lewat judul, ia memuji kerukunan penduduk

59 Henny Warsilah dan Riwanto Tirtosudarmo, Op. Cit., hlm. 33-45 60 Lingkaran Survei Indonesia, Op. Cit., hlm. 5-11 61 Karen P. Kray, Op. Cit.

20

lewat judul The City of Brotherly Love62

atau kota kasih persaudaraan. Namun,

pembahasannya juga menangkap adanya gelagat diskriminasi berbau agama dan

etnis tertentu (Islam-Gorontalo) ketika penggusuran PKL di Kota Manado tahun

2005 yang lalu63

.

Thesis Kelly Alicia Swazey di University of Hawai‟I Manoa juga perlu

dikemukakan disini64

. Ia melihat bagaimana pembentukan identitas komunitas

Minahasa yang melewati batas teritori atau trans-nasional, di Amerika Serikat.

Sekalipun masih tetap menyangkut soal ke-Kristenan, namun sudah beralih

menjadi “Minahasanisasi” dalam “Amerikanisasi”, dan bukan “Belanda-nisasi”,

sebagaimana kajian-kajian tentang Minahasa sebelumnya.

Kajian sejarah penggunaan ruang kota Manado juga perlu dicatat. Karena

menangkap dinamika identitas warga. Ilham Daeng Makkelo melihat Manado

sebagai kota ramah dan terbuka bagi penduduk tempatan dan pendatang. Lekat

dengan identitas Kristen Protestan peninggalan Belanda, terutama pasca

kemerdekaan dikenal sebagai masyarakat toleran. Orang Minahasa-Protestan yang

dianggap penduduk tempatan, dengan senang berbagi ruang keagamaan dengan

pendatang beragama Islam asal Gorontalo, Bugis, Makassar, Jawa, termasuk

denominasi Kristen yang belakangan muncul di Manado masa pasca-kolonial,

selain tentu penduduk-penduduk Islam keturanan Arab dan Ternate, keturunan

Cina serta umat Katolik yang sudah dahulu ada65

. Namun, dalam observasinya,

sekalipun surga kehidupan umat beragama, namun penggunaan ruang keagamaan

62 Kelly Swazey, Op. Cit., hlm. 47 63 Ibid., hlm 50 64 Kelly Alicia Swazey, Carrying Culture and (Re)Creating Nation Through Christianity: Minahasa Culture and Identitty in Transnational Indonesia Churches in New England (Master of Art Thesis in University of Hawai’I at Manoa, 2008) 65 Ilham Daeng Makkelo, Op. Cit., hlm. 128-179

21

yang terwujud dari tebaran gereja di jalanan arteri kota masih kental dengan

identitas Kristen-Minahasa yang disajikan dengan pengkalimatan cukup provoka-

tif, yaitu “pemilik-sah” Kota Manado. Dimana golongan lain –dengan penekanan

pada umat Islam- hanya leluasa mendapat tempat ibadah di lorong-lorong,

perkampungan atau yang bukan jalan utama, sehingga kurang bisa menunjukkan

dirinya ke khalayak ramai66

.

Namun, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hal yang perlu dikritisi dalam

tulisan-tulisan di atas adalah, para penulisnya, lagi-lagi menempatkan Minahasa

dalam identitas-otentik. Setelah itu di relasikan dengan identitas-identitas etnis,

agama, makanan, politik67

. Kecuali sajian beberapa pembahasan mengenai

Manadonese, yang sayang masih terbatas dan kurang mendalam jika dilihat

sebagai karya antropologis. Maka, berbeda dengan karya-karya yang telah

dijelaskan, juga dalam kerinduan menambah khazanah sudut pandang berbeda,

rancangan penelitian ini akan menempatkan identitas sosial orang Manado di kota

Manado sebagai payung besar. Bagaimana proses penciptaannya, kemudian

didalamnya silang sengkarut -sekalipun ada kemungkinan besar ke-Minahasaan

masih dominan-, berdinamika identitas sosial dalam istilah sabla aer. Dimana

mempertemukan identitas Minahasa, Kristen(termasuk/atau Katolik), Islam,

Gorontalo, Cina, Jawa, dan identitas lainnya yang berbenturan dalam pentas

sejarah yang kemudian berdampak pada ruang-ruang sosial masa kini.

Jika ditarik hubungan kajian pustaka ini dengan rumusan masalah yang juga

terkait langsung dengan operasionalisasi penelitian dan metode yang dipilih

adalah soal dekonstruksi wajah identitas sosial: (1) menyatukan, melihat

66 Ibid., hlm. 174-176 67 Lihat tulisan ini hlm. 12 paragraf ke-2.

22

pembentukan wacana dan praktek identitas di Manado yang memayungi identitas

etnis dalam ruang-ruang empiris, simbolis dan politik, dimana ini memberikan

gambaran dan perluasan wacana bahwa orang Manado itu bukan (hanya)

Minahasa; (2) memecah-belah, dimana akan melihat wacana dan praktek

memecah belah dalam ruang-ruang empiris, simbolis dan politik resistensi orang

Manado di kota Manado. Beberapa titik fokus yang akan menjadi media untuk

melihat dua identitas ini adalah: perayaan publik; peran agen dalam agensi –

mengikuti Giddens- (Pemerintah, Organisasi dan Media); Geo-Sosial; dan

Konstruksi Citra yang tergambir dari sindiran-sindiran dan mop-mop populer.

Berpijak dari situ, saya harapkan karya ini akan menunjukkan wajah reflektif-

manusiawi identitas sosial di Kota Manado, yang sekalipun kontras dan tidak

konsisten atau berbenturan satu sama lain, namun merupakan realitas masyarakat

dan berwarna lain dari kajian-kajian yang selama ini membahas Manadonese atau

jika tidak bisa disamakan, Minahasans.

1.5. Landasan Teori

Identitas dalam kamus-kamus istilah antropologi yang dibuat oleh ahli-ahli

Indonesia diartikan kurang lebih sama. Ini mungkin karena istilah pada kamus

terbitan yang satu mengacu pada istilah dalam kamus terbitan sebelumnya dari

ahli lain. Hal tersebut-pun dapat dilacak dalam daftar pustaka. Koentjaraningrat

bersama beberapa koleganya68

serta Suyono69

mendefinisikan Identitas sebagai

kesadaran akan sifat khas diri sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri,

68 Koentjaraningrat, et.al., Kamus Istilah Antropologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984) hlm. 66 69 Ariyono Suyono dan Amirudin Siregar, Kamus Antropologi (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985) hlm. 155

23

komunitas sendiri atau negara sendiri. Agak berbeda dengan Suyono,

Koentjaraningrat menggunakan kata “kesadaran” di depan kalimatnya. Definisi

tersebut, menurut penulis telah cukup menggambarkan sifat (identitas)“sosial”

dalam identitas, yaitu dengan penggunaan frasa “golongan sendiri, kelompok

sendiri, komunitas sendiri, negara sendiri”. Tentu hal tersebut menggambarkan

semacam timbul kesadaran mengklasifikasi untuk “menyamakan” serta

“membedakan” diri dan komunitasnya, dalam hal ini, berdasarkan ciri-ciri tertentu

menjadi “in-group” atau “out-group”.

Pengertian di atas tentu kurang tajam, perlu menggiringnya menuju definisi

yang (juga)berpapasan dengan sentimen sosial. Tentu karena karya ini membahas

identitas sabla aer yang memecah-belah. Dalam arti, identitas dimaksud dapat

sekedar bermakna sebagai pembeda komunitas, bersifat pasif. Atau juga menjadi

sentimen, yang lebih bersifat aktif. Koentjaraningrat70

beserta koleganya dan

Suyono71

, lebih lanjut mencatat sentimen sebagai gabungan perasaan dan

pendapat yang mendasari suatu aksi atau timbangan pendapat. Jika secara

seksama melihat definisi ini, maka kita harus menyadari, bahwa sentimen tidak

selalu bermakna destruktif. Namun, secara lebih halus, dapat juga

(sekedar)menjadi “timbangan pendapat”. Sehingga jika dipadankan dengan kata

sosial dibelakang sentimen, maka bisa menunjuk, kepada komunitas atau

kelompok tertentu, berdasarkan suatu sifat atau ciri misalnya.

H. Tajfel, sebagaimana diuraikan Rupert Brown dari University of Kent72

,

melihat identitas sosial seseorang terutama sekali ditopang oleh perbandingan-

70 Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm. 66 71 Suyono, Op.Cit., hlm. 370 72 Rupert Brown, “Social Identity (Identitas Sosial)”, di dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper (Eds.), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2000) hlm. 987

24

perbandingan sosial, yang membedakan in-group dan out-group yang relevan.

Lebih lanjut, konsep identitas sosial sebagaimana dijelaskan, terbukti bisa

menerangkan prevalensi dari diskriminasi antar grup, bahkan sekalipun tidak ada

konflik kepentingan yang riil dan menyediakan analisis yang persuasif dari

tuntutan (plight) kelompok-kelompok minoritas, konflik industri serta pembedaan

linguistik antara kelompok-kelompok etnik. Ini berarti, konsep identitas sosial

dapat dilihat semacam perluasan dari, konsep mainstream identitas etnis dalam

antropologi oleh Fredrik Barth73

. Jadi, pembedaan-pembedaan dalam identitas

sosial, melebar melewati batas-otentik wilayah, genealogis ataupun bahasa lebih

dari batas identitas etnis. Bisa selera, dialek, agama, ekonomi, gaya-hidup, model

rumah, kuliner dan sebagainya. Tentu ini bertolak belakang dengan yang

dikemukakan oleh Fredrik Barth sekitar 40 tahun yang lalu, atau tepatnya, bisa

dilihat sebagai perluasan.

Macam-macam identitas sosial ini tentu berdinamika dan bergerak. Beberapa

yang dipublikasi mengemuka menjadi sentimen dan kemudian, konflik. Secara

politis di Indonesia, identitas digunakan dalam dinamika politik di berbagai

daerah untuk pembentukan propinsi baru, perebutan kembali posisi kekuasaan

sesudah tersingkir, dalam mengembangkan inter-relasi sosial, ataupun dalam

memelihara keutuhan suatu komunitas etnis74

.

Konsep yang penting dicatat dalam studi identitas adalah apa yang oleh Hari

Poerwanto disebut dengan identifikasi solidaritas dan loyalitas sebagai anggota

73 Fredrik Barth (Ed.), Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Social Difference (Boston: Boston, Little Brown, 1966) 74 Nico L. Kana, “Politik Identitas Dalam Dinamika Politik di Berbagai Daerah di Indonesia”, di dalam Jurnal Renai Kajian Politik Lokal dan Sosial-Humaniora, Tahun IX, No. 2, 2009 (Yogyakarta: Percik) hlm. 3

25

komunitas75

, hingga ini menjadi fokus utama studi seperti ini76

. Sekalipun konsep

ini dalam artikel tersebut diterapkan pada suku bangsa, namun nampak relevan

untuk diterapkan pada realitas orang Manado di kota Manado. Sekilas, hubungan

konsep dan kondisi lapangan menampakkan, bahwa pada banyak sisi, subjek

penelitian meninggalkan latar belakang identitas primordialnya dan secara sadar-

egaliter menempelkan diri dalam payung Manadonese, yaitu suatu konsep

identifikasi ke arah supra-lokal yang lebih besar dan lebih kompleks

pengorganisasiannya77

. Namun, pada sisi lain, secara dualistis, mereka tidak serta-

merta meninggalkan identitas yang terikat pada pertalian darah, tempat tinggal,

agama dan tradisi karena masih ingin mempertahankannya, walaupun demi

tuntutan praktis kemajuan, mereka mengidentifikasi diri ke “atas” untuk

meningkatkan taraf kehidupan78

. Lebih lanjut dijelaskan, dalam konsep ini,

fenomena “menyatukan” dan “memecah-belah” ini muncul secara bersamaan79

.

Sehingga penting untuk menelusuri fenomena seperti dijelaskan dengan

mengaitkan dengan latar belakang sejarah80

.

Ditarik ke masa lalu, format identitas sosial merupakan persoalan ketika masa

kolonial dalam masyarakat plural Hindia-Belanda, terutama di bidang ekonomi

dan kemudian berdampak dalam lapangan hidup lain, sebagaimana konsentrasi

studi J.S. Furnivall81

. Dalam remarkable book-nya82

, ia melihat bagaimana

75 Hari Poerwanto, “Ekspresi Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional” di dalam Heddy Shri Ahimsa-Putri (Ed.), Esei-esei Antropologi –Teori, Metodologi dan Etnografi- (Yogyakarta: Kepel Press, 2006) hlm. 62 76 Ibid., hlm. 71 77 Ibid. hlm. 67 78 Loc. Cit. 79 Loc. Cit. 80 Ibid., hlm. 71 81 J. S. Furnivall, Netherlands India: The Study of Plural Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 1944 [1939])

26

identitas orang Eropa, Cina, Arab, Pribumi Jawa yang sekalipun hidup

berdampingan namun terpisah secara politik. Pun jarang bertemu secara aman

dalam hubungan ekonomi karena ada dominasi ekonomi-politik-pemerintahan

dari komunitas yang lebih kecil secara kuantitas. Lebih lanjut, hal tersebut

merupakan bentukan pemerintah kolonial yang menggunakan garis etnis untuk

membangun identitas dan supremasi. Garis etnis ini langsung juga menunjuk pada

agama. Hingga kini, konstruksi culture system kolonial ini tidak hanya

berpengaruh secara ekonomi, tetapi juga mental-outlook masyarakatnya83

. Baik

dalam point of view politik, gender, pasar dan agama. Namun, yang perlu

diperhatikan, studi ini dilaksanakan di pulau Jawa. Tetapi karena menggunakan

judul “Netherlands India” (Hindia-Belanda), maka kesan buku ini adalah

mewakili wilayah nusantara. Padahal harus ada studi lebih lanjut untuk

menelusuri multi realitas di wilayah lain Indonesia. Sehingga tidak terkesan

membuat generalisasi terburu-buru.

Studi identitas sosial tentu bukan kajian baru di jagad antropologi. Namun,

realitas identitas sosial di Kota Manado, sejauh ini memperlihatkan wajah

dualistis. Ada yang menyatukan, mengintegrasi, dengan bukti dalam masyarakat

majemuknya, sebagaimana dijelaskan pada bagian latar belakang. Kota ini kini

mutiara perdamaian di Indonesia. Namun, di dalam masyarakatnya-pun, timbul

gerak yang memecah-belah. Membedakan masyarakat dalam fragmen-fragmen di

ruang-ruang sosial tertentu. Ini tergambar dalam istilah sabla aer.

82 Pujian ini dapat dilihat pada Clive Day, “Review Netherlands India: A Study of Plural Economy by J. S. Furnivall”, di dalam The English Historical Review Vol. 55, No. 217, Januari 1940 (Oxford: Oxford University Press) hlm. 139 83 Ibid., hlm. 140

27

Pada sisi menyatukan, soal memayungi berbagai identitas etnis yang berbeda,

konsep Thomas Hylland Eriksen84

dalam contohnya di negara commonwealth

Mauritius sekiranya bisa dijadikan salah satu alat analisa awal dalam tesis ini.

Eriksen melihat suatu supra-ethnic community atau non-ethnic community yang

memayungi dan melampaui identitas etnis-otentik, bisa lagu kebangsaan, bendera,

bahasa atau apa saja, kemudian terbangun suatu identitas nasional(isme)

bersama85

. Dalam kasus di kota Manado, penerapan konsep ini dapat diperkecil

skalanya dalam terbentuknya regionalisme yang menunjuk pada pembentukan

identitas sebagai orang Manado.

Identitas penduduk kota Manado, sebagaimana bisa kita terka dari judul

tulisan ini dan paragraf-paragraf di atas, secara integratif-emic, ter(di)identifikasi

bukan lewat latar belakang primordialnya yang justru dikesampingkan, melainkan

ke arah supra-ethnic atau non-ethnic, yaitu pada satuan spasial-regional, yaitu

orang(kota) Manado.

Multikulturalisme86

juga dapat dijadikan referensi teoritis disini. Konsep ini

berbeda dengan masyarakat majemuk (plural society) Furnivall, dimana satuan

masyarakat tetap terseparasi. Juga tak sama dengan supra ethnic atau non ethnic

community Eriksen yang terkesan asimilatif sehingga memungkinkan adanya

penetrasi struktural untuk rekayasa kondisi tersebut. Walaupun bisa juga rekayasa

dimaksud bersifat pasifis dan kurang(tidak) disadari. Multikulturalisme, dipahami

84 Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism Anthropological Perspective (London and New York: Pluto Press, 2010[1993]) 85 Ibid., hlm. 140-145 86 Lihat: Bikhu Parekh, Rethinking Multicuturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Yogyakarta: Impulse dan Kanisius, 2008); Michel Wieviorka. ”Is Multiculturalism the Solution”, di dalam Ethnic and Racial Studies, Volume 21 (London: Routledge, 1998) hlm. 885-889; Gayatri Spivak dan Gunew Sneja, ”Question on Multiculturalism”, di dalam Simon During (Ed.), The Cultural Studies Reader (London: Routledge., 1998) hlm. 193-203

28

sebagaimana layaknya Bhineka Tunggal Ika dalam semboyan Indonesia,

eksistensi keberagaman, namun dalam hal operasionalisasi kehidupan,

keberagaman tersebut menyatu dalam kebersamaan. Konsep multikulturalisme

tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau

kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena

multikulturalisme menekankan keanekaragaman budaya dalam kesederajatan.

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan

perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara

kebudayaan87

. Sehingga, disini kita melihat adanya dua sifat sekaligus dari

multikulturalisme, yaitu sebagai wacana dan praktek. Akhiran “isme” memperli-

hatkan konsep ini sebagai wacana, sebuah ideologi abstrak. Namun lewat

pengertiannya, kita melihat aspek operasional yang memungkinkan konsep ini

tidak hanya dijadikan kerangka teoritis semata tapi termanifestasi sebagai praktek

sosial. Sintesa praktek multikulturalisme bermuara pada kata kunci toleransi.

Pada sisi berbeda, secara dualistis, banyak (sub)identitas primordial yang

membangun Manadonese itu, terutama etnisitas berkelindan-berbenturan dalam

keharian hidup warga, yaitu dalam bidang agama, ekonomi, politik yang

tergambar lewat istilah sabla aer. Jadi, ada penegasan identitas komunitas yang

lebih kecil berdasarkan ciri-ciri in-group maupun out-group. Itu tak bisa hilang

dan bersifat memecah belah. Sehingga, hal ini seolah membingungkan, tidak

stabil ataupun tidak konsisten. Karena memang begitu. Dinamika wacana dan

praktek identitas di kota Manado integratif pada satu sisi, namun terfragmentasi

pada sisi berbeda. Bisa juga diandaikan, bahwa masyarakat dalam fragmentasi ini

87 Parsudi Suparlan. “Multikulturalisme: Konsep yang Terus Dibentuk”, di dalam Kompas 31 Juli 2002.

29

terbagi menjadi lapisan-lapisan sosial, ada yang di “atas” dan “bawah”. Sehingga,

tak bisa disangkal, pemilik wajah mendua ini merupakan satu komunitas

masyarakat kota.

Lapisan sosial identitas pada paragraf di atas dapat dianalogikan sebagai

struktur, sebuah konstruksi sosial. Ini terlihat sejalan dengan penjelasan

Strukturasi Anthony Giddens dimana tidak akan ada pelaku yang membuat pilihan

kecuali dalam kondisi struktural spesifik dan tidak ada unsur atau ciri struktural

akan terwujud kecuali sebagai hasil dari konsekuensi-konsekuensi tindakan yang

disengaja88

. Selain itu, ada juga penjelasan bahwa identitas dipilih dan

dikonstruksi89

. Pilihan kata kerja “membuat pilihan”, “tindakan yang disengaja”

“dipilih” dan “dikonstruksi” dari dua kalimat sebelumnya menujukkan faktor

kesengajaan, kesadaran otonom dan proses. Hal tersebut memberikan pengertian

bahwa strukturasi dalam kasus penelitian ini, bertujuan menjelaskan bagaimana

proses konstruksi(menjadi) struktur tersebut dibangun secara sadar dan bukan

menjelaskan relasi dalam struktur yang sudah jadi dan bersifat unconciousness

selayaknya dalil strukturalisme. Pada penjelasan mengenai strukturasi, kita

menemukan beberapa hal penting yaitu penekanan pentingnya kesadaran diri yang

refleksif90

. Kemudian, ada persoalan ketidakmantapan, tidak lestari, perubahan,

ketidakpastian, berubah dan selalu berubah seumur hidup91

yang sesuai dengan

kondisi kini dan tidak harus begitu besok92

.

88 Lihat: Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of The Theory of Structuration (Cambridge: Polity, 1984); Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial;Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: YOI, 2010) hlm. 240 89 Pip Jones, Op. Cit., hlm. 254 90 Ibid., hlm. 244, 247, 251-254, 91 Ibid., hlm. 244, 248, 92 Ibid., hlm. 251

30

Jadi, dari penjelasan Giddens kita mengerti bahwa struktur dan konstruksi

(identitas) tidak harus linear karena merupakan pilihan refleksif yang otonom,

karena itu struktur tidak harus stabil. Sehingga, dalam hal ini, Giddens

menyebutkan adanya “dualitas struktur”, dimana struktur tidak hanya

menghambat atau menentukan bentuk-bentuk tertentu perilaku tetapi juga

“memberikan kemampuan” bagi perilaku93

. Kondisi struktural dimana tindakan

manusia diwujudkan disebutnya agensi, tempat dimana struktur tersebut

direproduksi atau didefinisikan kembali94

. Struktur-struktur tersebut itu secara

berkesinambungan dapat dimodifikasi dalam tindakan95

sehingga relasi struktur

dan tindakan menjadi dialektik96

, tak terpisahkan secara teoritis97

. Sehingga, ada

kesadaran (perlunya) struktur dibangun dalam institusi yang mantap –sekalipun

tidak mantap- sehingga menjadi wahana untuk mewujudkan keberadaan dirinya

dan identitasnya yang oleh Giddens disebut sekuritas ontologis. Dari sini, kita

dapat memetik bahwa agensi yang menjadi tempat strukturasi tentu memerlukan

agen sebagai faktor pembentuk struktur yang penting. Disamping itu, kita melihat

bahwa strukturasi bukan persoalan kondisi ketika struktur telah jadi, tetapi

bagaimana ia menjadi.

Pada sisi memecah-belah, separasi dalam masyarakat kiranya sejalan dengan

klaim terkenal Pierre Bourdieu, Distinction98

, atau pembedaan. Ia menjelaskan,

dalam masyarakat ada “penghakiman-penghakiman” soal selera, ekonomi bahkan

seni. Ada yang berselera tinggi dan ada pula yang berselera rendah. Proses

93 Ibid., hlm. 240 94 Loc. Cit. 95 Ibid., hlm. 241 96 Ibid., hlm. 240 97 Ibid., hlm 249 98 Pierre Bourdieu, Distinction:A Social Critique of The Judgement of Taste (Cambridge and Massacushetts: Harvard University Press, 1984)

31

distinction ini bergerak nyata, karena ia melihat bahwa kebudayaan dalam

masyarakat itu dibayangkan bersifat aristokrat, memiliki tingkatan99

.

Lebih tajam, mengikuti pandangan Bourdieu, Richard Jenkins mengurai-

kan100

, bahwa realitas masyarakat sebagai „arena‟ (field) untuk berjuang dan

merupakan sebuah „selera tertentu‟ yang merepresentasi identitas kelas atau

kelompok sosial tertentu pula. Jalannya adalah dengan mempertaruhkan benda-

benda kultural (gaya hidup), perumahan, kemajuan intelektual (pendidikan),

pekerjaan, tanah, prestise, kekuasaan (politik), kelas sosial dan lainnya. Kemudian

dari situ terbentuklah perbedaan yang separatif (distinction). Semacam timbul

segregasi, tidak hanya spasial, juga sosial. Lebih lanjut, hal itu merupakan peta

selera dan preferensi yang berhubungan dengan tingkat pendididikan dan kelas

sosial tertentu. Pendeknya, ini adalah permulaan dari model gaya hidup kelas.

1.6. Metode dan Jalannya Penelitian

Penelitian ini penulis arahkan secara strategis, menggunakan pendekatan

pasca-struktural101

. Hal mana juga dengan memperhatikan berbagai macam

kekurangan sumber pustaka ilmiah mengenai -secara spesifik- identitas sosial

orang Manado di kota Manado. Pendekatan pasca-struktural termasuk melihat

makna tafsiriah dari simbol-simbol yang terkandung di dalam fenomena. Sebagai

konsekuensi, untuk memperoleh data, penulis harus merekam “ingatan”, baik

99 Ibid., hlm. 11-17 100 Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004) hlm. 124; 211; 212; 229 101 Madan Sarup, Posstruktualisme dan Posmodernisme Sebuah Pengantar Kritis [Terj.] (Yogyakarta: Jendela, 2004 [1993]); Anthony Giddens, “Strukturalisme, Post-Strukturalisme dan Produksi Budaya”, di dalam Anthony Giddens dan Jonathan Turner (Eds.), Social Theory Today Panduan Sistematis Tradisi dan tren Terdepan Teori Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hlm. 333-382

32

yang diperoleh melalui teks –yang menunjuk pada isu penelitian- berupa berita,

catatan-catatan kolonial, sejarah lisan, idiom-idiom masyarakat, ungkapan-

ungkapan perasaan, cerita rakyat, sindiran-sindiran dan sebagainya dalam

berbagai bentuk data, baik itu kualitatif maupun kuantitatif.

Dalam penelitian ini penulis mendekonstruksi serta merepresentasikan

identitas sosial orang Manado yang selama ini sudah “mapan”. Dalam arti,

menyajikan realitas identitas “lain” dari identitas sosial yang selama ini

ter(di)bangun, yaitu orang Manado ekuivalen dengan orang Minahasa, toleran dan

segala macam identitas yang dianggap mapan dan melekat di dalamnya.

Ruang sosial yang penulis tentukan untuk melihat wacana dan praktek

identitas sosial, sebagaimana tergambar dalam rumusan masalah adalah dengan

melihat keseharian hidup warga102

. Secara lebih rinci, ruang-ruang sosial keseha-

rian hidup yang dipilih untuk menjelaskan pertanyaan penelitian adalah peman-

faatan ruang publik fisik (secara geo-sosial), keikutsertaan agen (masyarakat luas,

pemerintah, tokoh agama dan masyarakat dan media) dalam perayaan publik,

media massa baik cetak dan elektronik, politik kewargaan serta peran dialektis

agen sebagai sumber (re)produksi wacana dan pelaksana praktek identitas sosial.

Ruang-ruang sosial di atas penulis pilih karena dalam kemajemukan

masyarakat kota Manado, ruang-ruang inilah yang sekiranya mempertemukan

identitas sosial mereka. Akhirnya, dari ruang-ruang sosial inilah diharapkan akan

tergambar wacana dan praktek kemajemukan yang menyatukan dan menseparasi.

Dalam keseharian hidup yang dirinci tersebut, saya menggambarkan citra dan

konstruksi struktur dari wacana dan praktek identitas sosial dimaksud.

102 Rincian mengenai ini dan keterkaitannya dengan rumusan masalah, kajian pustaka dan operasionalisasi metode atau paradigma penelitian dapat dilihat di halaman 22 bagian kajian pustaka pada bab ini.

33

Demi memperoleh data-data dimaksud, saya melakukan observasi atau

pengamatan103

. Saya diuntungkan posisinya sebagai pelaku kebudayaan, sehingga

lewat seluruh indera dan interpretasi dapat menangkap perasaan, ingatan, ekspresi

dan emosi tineliti.

Penting juga bagi penulis untuk memperoleh data dengan wawancara104

. Ini

memungkinkan penulis untuk bisa menggali ingatan-ingatan verbal yang terkait

dengan topik penelitian, termasuk menangkap gelagat non-verbal. Penguasaaan

bahasa dan eskpresi lokal akan mempermudah penulis memahami interpretasi-

interpretasi subjek terhadap realitas-realitas identitas sosial yang mereka hadapi.

Sekalipun beresiko tidak mampu “mengambil jarak” karena posisi saya

sebagai native. Namun melalui modal pengetahuan dan latihan menjadi

antropolog, saya sendiri berusaha dan berharap mampu menjembatani masalah

positioning ini, yaitu menjadi seorang subjek dalam hal penguasaan bahasa,

simbol dan ekspresi lokal serta secara bersamaan berusaha berefleksi untuk

mengambil jarak dan menilai diri(masyarakat) sendiri. Perlu juga disadari,

konsekuensi logis dari paradigma pasca-struktural adalah perluasan wacana

reflektif tanpa menghasilkan analisa utuh-menyeluruh105

.

Akhirnya, metode kepustakaan106

saya gunakan secara khusus dalam tulisan

ini. Terutama lewat catatan-catatan pustaka kolonial yang diambil dari berbagai

sumber misalnya untuk melihat konstruksi-sosial masyarakat yang dibangun

103 Harsja Bachtiar, “Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian”, di dalam Koentjaraningrat (Ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1990) hlm. 108-128; Bambang Rudito dan Melia Famiola, Social Mapping Metode Pemetaan Sosial (Bandung: Rekayasa Sains, 2008) hlm. 81-108 104 Irawati Singarimbun, “Teknik Wawancara”, di dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (Peny.), Metode Penelitian Survay (Jakarta: LP3ES, 1983) hlm. 143-166 105 Madan Sarup, Op. Cit., hlm. 17 106 Sartono Kartodirjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”, di dalam Koentjaraningrat (Ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1990) hlm. 44-69

34

kolonial. Juga berita-berita di media cetak, sehingga penulis dapat menangkap

identitas-identitas sosial yang mengemuka dalam wacana-wacana masyarakat

setempat ataupun yang dibentuk lewat media.

Data yang telah terkumpul lewat alur di atas penulis kodifikasi dalam bentuk

transkrip, kliping, naskah formal, foto-foto, bagan, alur sejarah serta keterangan-

keterangan yang kemudian dideskripsi dan dianalisa dalam tulisan dengan

memperhatikan relasi kontekstual dan teoritisnya.

Penelitian lapangan dilakukan selama kurun waktu sekitar 8 bulan, yaitu

antara pertengahan bulan Juni 2012 sampai awal Maret 2013 di Kota Manado,

Provinsi Sulawesi Utara. Subjek penelitian adalah orang Manado di Kota Manado.

Warga kota sendiri tidak menyebut mereka sebagai orang Manado tetapi lebih

spesifik ke arah pemukiman yang mereka tinggali. Tetapi, mereka akan melabeli

diri sebagai orang Manado –sekalipun berada di kota sendiri- jika diperhadapkan

dengan wacana mengenai “kondisi orang luar” di luar wilayah Manado. Jadi,

pencantuman “orang Manado” dalam tulisan ini lebih sebagai amatan dari luar

sebagai peneliti, sebuah perspektif bird eye view untuk mengambil jarak.

Sekalipun dalam beberapa kondisi, sebagaimana baru dijelaskan, wacana orang

Manado bagi orang Manado di kotanya akan hadir jika berada dalam posisi

oposisi dengan “orang dan kondisi di luar”.

1.7. Sistematika Penulisan

Tesis ini dibagi atas lima bab yang mencakup unsur-unsur teoritis dan

representasi empiris dari penelitian. Dua bab, yaitu III dan IV secara khusus

dibuat berdasarkan rumusan masalah penelitian. Tiap bab dibagi menjadi

35

beberapa sub bab tematis yang bertujuan membawa pada fokus bahasan dari

masalah yang ingin dijelaskan sebagaimana tujuan dan pertanyaan penelitian.

Tiap bab ditandai dengan angka romawi besar (I, II, dst.). Sementara sub bab

diberi penanda menggunakan angka arab yang secara berurutan menunjuk pada

pada bab, lalu sub-bab kesekian (1.1; 1.2; 2.1; 2.2; dst.).

Secara rinci, kelima bab tersebut dibagi dan diberi judul seperti demikian: (I)

Pendahuluan yang terdiri dari tujuh sub bab tematis; (II) Membayangkan Manado:

Identifikasi Lokasi dan Subjek Penelitian, terdiri dari tiga sub bab; (III) Wacana

dan Praktek Menyatukan: Menjadi Manado, Menjadi Torang Samua Basudara,

terdiri dari enam sub bab; (IV) Wacana dan Praktek Memecah Belah: Menjadi

Sabla Aer, Menjadi Warga Kelas Dua. Terdiri dari lima sub bab; (V) Penutup,

terdiri dari dua sub bab.