Upload
vothuy
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fenomena El Nino merupakan peristiwa peningkatan suhu rata-rata permukaan
air laut di Pasifik Ekuator tengah yang di atas normal. Hal ini biasanya diikuti
dengan penurunan suhu rata-rata permukaan air laut di perairan Indonesia yang di
bawah normal, sehingga menyebabkan menurunnya jumlah curah hujan di sebagian
besar wilayah Indonesia. Fenomena El Nino juga dapat dilihat dari peningkatan
massa tekanan udara di lautan Hindia antara Darwin dan Tahiti yang disebut dengan
Indeks Osilasi Selatan atau Southern Oscillation Index, SOI. Apabila terjadi
fenomena El Nino, nilai SOI akan negatif. Hal tersebut dikenal dengan nama ENSO
(El Nino/Southern Oscillation) (Ahrens, 2007).
Peristiwa ENSO acap kali dibarengi dengan musim kemarau yang
berkepanjangan akibat semakin berkurangnya jumlah curah hujan yang turun di
wilayah tertentu, termasuk di Pulau Bali. Hal ini tentu saja identik dengan
kekeringan dan kondisi lengas tanah yang berkurang drastis atau bahkan tidak dapat
mencukupi kebutuhan tanaman, utamanya tanaman pertanian. Kejadian tersebut
dapat membawa dampak negatif turunan lainnya sehingga sangat penting dilakukan
penelitian terhadap korelasi El Nino dengan kekeringan. Terlebih lagi dengan
adanya pengamatan-pengamatan yang terlebih dahulu dilakukan, kejadian El Nino
dapat berulang dalam rentang 2 hingga 7 tahun dengan rata-rata kejadian sekali
dalam 4 tahun (Sarachik, 2010). Hal ini semakin membuat tingginya tingkat urgensi
untuk melakukan penelitian tersebut sehingga dapat memprediksi serta
mengantisipasi dampak negatif dari El Nino.
Kekeringan sulit didefinisikan karena berbagai macam disiplin ilmu
dipengaruhi oleh kekeringan, selain itu beragam distribusinya secara geografis dan
temporal membuat sulit untuk menggambarkan dan mengukur kekeringan. Secara
umum kekeringan biasanya berasal dari kekurangan curah hujan akibat pola cuaca
yang tidak biasa. Sosrodarsono (1977) mengartikan kekeringan sebagai ketersediaan
2
air yang tidak seimbang dengan kebutuhan air, baik untuk kebutuhan hidup,
pertanian, kegiatan ekonomi maupun lingkungan.
Kekeringan dapat menjadi bencana bagi setiap makhluk hidup, termasuk
manusia, apalagi jika kejadian kekeringan ini bertahan hingga jangka waktu yang
panjang. Indonesia tiap tahunnya selalu mengalami bencana kekeringan, termasuk di
Pulau Bali mulai terasa pada tahun 1995. Berdasarkan peta kejadian bencana
kekeringan di Indonesia antara 1979 – 2009 yang dibuat oleh BNPB (Badan
Nasional Penanggulangan Bencana), Bali mengalami 16 kali kejadian kekeringan.
Menurut Bank Dunia, harga pangan global naik tajam akibat kekeringan yang terjadi
di sebagian dunia. Hingga saat ini, pemerintah belum menyiapkan langkah khusus
untuk menanggulangi bencana kekeringan, kecuali dengan rencana penanggulangan
sementara seperti menyiapkan stok pangan agar tidak krisis pangan. Hal tersebut
tentu saja tidak cukup karena bencana kekeringan akan selalu datang tiap tahun yang
berimbas pada petani yang akhirnya sering gagal panen.
Para ahli banyak berpendapat bahwa kekeringan biasanya berhubungan dengan
gejala pergeseran antara musim hujan dengan musim kemarau di Indonesia.
Berdasarkan data historis, kekeringan di Indonesia seringkali berasosiasi dengan
fenomena ENSO. Fenomena ENSO disebutkan sebagai salah satu gejala peralihan
iklim. Pengaruh El Nino lebih kuat pada musim kemarau yang menyebabkan
berkurangnya jumlah curah hujan yang turun dari normalnya serta udara yang lebih
kering datang pada saat musim panen bagi petani.
Kekeringan dapat mengancam kelangsungan hidup manusia apabila terjadi
dalam jangka waktu yang panjang. Kekeringan banyak menimbulkan dampak
negatif seperti terganggunya prakiraan akhir musim kemarau dan awal musim hujan
yang dapat berdampak langsung pada pertanian sehingga gagal panen. Curah hujan
yang menurun drastis dari angka normalnya serta deret hari kering yang bertambah
panjang dapat mengurangi cadangan airtanah di suatu daerah. Berdasarkan dampak
tersebut, perlu dilakukan penanganan lebih lanjut dalam merespon dampak tersebut
sebagai upaya antisipasi atau mitigasi bencana kekeringan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan spasial atau
keruangan yang berbasis kuantitatif, dengan mengidentifikasi hubungan antara awal
3
mula musim hujan yang terlambat dan jumlah presipitasi yang berpotensial
menyebabkan kekeringan dengan mempertimbangkan tahun-tahun terjadinya El
Nino. Data curah hujan yang dianalisis secara kuantitatif menjadi variabel yang
penting untuk kemudian diproses dengan menggunakan software SPI (Standardized
Precipitation Index), buatan AIT (Asian Institute of Technology) Thailand, yang
digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kekeringan. Nilai SPI hanya berdasarkan
pada rekaman curah hujan pada satu stasiun hujan tertentu, sehingga dapat dilakukan
analisis spasial dengan membandingkan nilai SPI stasiun hujan lainnya.
SPI berbeda dengan Indeks Palmer, walaupun sama-sama merupakan teknik
untuk mengukur kekeringan. SPI hanya mempertimbangkan variabel curah hujan,
sementara Indeks Palmer menggunakan data curah hujan, evapotranspirasi, dan
runoff. SPI merupakan indeks yang berdasarkan pada probabilitas yang telah
terstandarisasi tentang rekaman jumlah curah hujan tertentu. Indeks nol
menunjukkan jumlah curah hujan rata-rata. Indeks negatif menunjukkan kekeringan
dan positif menunjukkan kondisi basah. SPI dihitung untuk beberapa skala waktu,
mulai dari satu bulan hingga 36 bulan, untuk mengetahui berbagai skala waktu
kekeringan, baik kekeringan jangka pendek maupun jangka panjang.
Berdasarkan uraian di atas, fenomena iklim El Nino dan korelasinya dengan
kekeringan meteorologis perlu dikaji secara mendalam khususnya untuk mengetahui
pengaruh El Nino terhadap kekeringan yang terjadi di Pulau Bali. Perlu diadakan
studi khusus mengenai “Analisis Hubungan El Nino dengan Kekeringan
Meteorologis Menggunakan SPI (Standardized Precipitation Index) di Pulau
Bali”.
1.2 Perumusan Masalah
Kekeringan dapat terjadi di berbagai wilayah dan disebabkan oleh faktor yang
berbeda-beda. Apabila dilihat dari sisi meteorologis, kekeringan dapat berarti tidak
signifikannya curah hujan yang turun dalam periode yang cukup lama sehingga
menyebabkan kurangnya lengas tanah melalui evapotranspirasi dan penurunan aliran
sungai, sehingga mengganggu aktivitas manusia dan biologis (Barry, R.G. dan
Chorley, R.J, 2004).
4
Istilah El Nino merujuk pada menghangatnya suhu permukaan air laut di
Samudra Pasifik bagian tengah dan barat pada garis ekuator. Sementara pada saat
yang bersamaan, suhu permukaan air laut di perairan Indonesia lebih dingin dari
normalnya. Apabila suhu tinggi, maka tekanan udara rendah, sebaliknya apabila
suhu rendah, maka tekanan udara tinggi. Berdasarkan teori tersebut, tekanan udara
di sekitar Samudra Pasifik ekuator rendah, sedangkan tekanan udara di sekitar
perairan Indonesia tinggi. Hal ini menyebabkan massa udara bergerak dari tempat
bertekanan udara tinggi ke tempat bertekanan udara rendah, dalam hal ini ialah dari
perairan Indonesia ke Samudra Pasifik ekuator. Massa udara yang terbawa ke
Samudra Pasifik ekuator tersebut membawa uap air dan berpotensi terhadap
pembentukan awan hujan. Awan hujan tersebut seharusnya berada di wilayah
Indonesia. Hal ini menyebabkan curah hujan di sebagian wilayah Indonesia
berkurang dan pola cuaca di sebagian wilayah berubah.
El Nino merupakan fenomena iklim yang berskala global yang mempengaruhi
sebagian besar wilayah Indonesia dan belahan dunia lainnya. Fenomena El Nino
tersebut juga mempunyai pengaruh besar di Indonesia, khususnya di Pulau Bali.
Ditambah lagi pada periode tahun-tahun El Nino, bencana kekeringan semakin
sering terjadi. Hal ini dapat dijabarkan dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan antara El Nino dengan kekeringan meteorologis di
Pulau Bali?
2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari fenomena El Nino yang relevan
dengan kekeringan?
3. Bagaimana usaha untuk mengurangi dampak turunan, khususnya produksi
padi, yang ditimbulkan akibat fenomena El Nino?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis hubungan antara El Nino dengan kekeringan meteorologis di
Pulau Bali.
2. Mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan dari fenomena El Nino yang
relevan dengan kekeringan.
5
3. Merumuskan usaha untuk mengurangi dampak turunan, khususnya produksi
padi, yang ditimbulkan akibat fenomena El Nino.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain untuk:
1. Memecahkan masalah kekeringan dan masalah turunan lainnya yang terjadi
pada periode tahun-tahun El Nino di Pulau Bali.
2. Membantu pemerintahan di Pulau Bali dengan memberikan masukan
sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan yang tepat untuk
menghadapi tahun-tahun El Nino yang identik dengan kekeringan.
1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1 Hujan
Hujan adalah salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan
yang berada di atmosfer. Hujan merupakan air yang jatuh ke permukaan bumi
sebagai akibat terjadinya kondensasi dari partikel-partikel air di atmosfer. Jumlah
curah hujan diukur berdasarkan tinggi dari volume air yang jatuh pada permukaan
bidang datar yang biasanya dinyatakan dalam satuan milimeter (Nawawi, 2001).
Curah hujan 1 milimeter artinya pada tempat yang datar dengan luas 1 m2
tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter.
Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim, disamping suhu, evapotranspirasi,
kelembaban, tekanan udara, dan sebagainya.
Hujan ialah faktor pengontrol utama dalam siklus hidrologi di suatu Daerah
Aliran Sungai (DAS). Hujan merupakan komponen penting yang menentukan
proses yang akan terjadi di DAS dalam satuan sistem hidrologi. Hujan terjadi
akibat adanya massa udara yang mendingin, yaitu suhu di bawah titik embunnya,
sehingga menyebabkan pembentukan molekul air. Molekul-molekul air akan turun
sebagai hujan apabila ukurannya lebih dari 1 mm.
6
Karakteristik hujan tergantung pada kondisi fisiografis suatu tempat, karena
proses gerakan udara dapat disebabkan oleh berbagai hal, utamanya relief suatu
tempat. Hal ini yang kemudian menjadi asal-usul terjadinya hujan di suatu tempat.
Produksi uap air dan awan hujan memiliki pengaruh terhadap curah hujan.
Curah hujan dan intensitasnya yang rendah dapat menyebabkan kekeringan. Curah
hujan yang turun di bawah normal dalam suatu musim atau dalam jangka waktu
yang panjang dapat mengurangi pasokan air permukaan dan airtanah. Kurangnya
air permukaan dan airtanah dapat berdampak pada kebutuhan makhluk hidup
terhadap air, sehingga mengganggu fungsi hidrologis lingkungan sebagai salah
satu penunjang kelangsungan hidup makhluk hidup.
1.5.2 Kekeringan
Kekeringan memiliki banyak definisi yang tergantung dari sudut pandang,
bidang ilmu, daerah maupun kebutuhannya. Batasan kekeringan di setiap wilayah
juga tidak selalu sama. Seperti di Libya, misalnya, curah hujan yang kurang dari
180 mm disebut kekeringan. Lain halnya di Bali, kekeringan didefinisikan sebagai
tidak turunnya hujan selama 6 hari berturut-turut (Hayes, 1998).
Bunting dan Kassam (1988) mengartikan kekeringan sebagai satu atau
beberapa periode pertumbuhan tanaman yang tidak terpenuhi antara air yang
keluar dari tanaman dan masukannya dari hujan atau irigasi dengan akibat
terjadinya penurunan hasil serta menyebabkan kerugian secara ekonomis. Apabila
dilihat dari sudut pandang iklim, beberapa tempat dinyatakan sebagai kering atau
basah dibandingkan dengan daerah lain sebab satu periode musim tertentu lebih
pendek dibandingkan dengan rata-rata musim yang biasanya terjadi (Kassam et al,
1981).
Kekeringan biasanya diawali dengan kekeringan secara meteorologis,
dimana suatu daerah terjadi kekurangan air dari jumlah air yang dibutuhkan akibat
kurangnya curah hujan yang turun di daerah tersebut. Kekeringan meteorologis ini
akan berlanjut ke kekeringan pertanian, kekeringan hidrologis, serta kekeringan
sosial ekonomi (Astuti, 2011). Studi kekeringan meteorologis dapat menjadi acuan
7
atau indikasi awal terjadinya kekeringan sehingga dapat menjadi peringatan dini
akan dampak turunan yang mungkin terjadi setelahnya.
Gambar 1.1 Kekeringan Litologis di Desa Belik G. Slamet (Suyono, 2003)
Gambar 1.2 Kekeringan Hidrometeorologis di Kab. Rembang (Suyono, 2003)
8
Gambar 1.1 merupakan contoh dari kekeringan litologis. Kekeringan
litologis adalah kekeringan yang disebabkan oleh kondisi batuan yang tidak
mampu menyimpan dan melepaskan air (Suyono, 2007). Gambar 1.2 merupakan
contoh kekeringan hidrometeorologis. Kekeringan hidrometeorologis terjadi
apabila curah hujan yang turun kurang dari jumlah evapotranspirasi aktual.
Kekeringan ini berkaitan dengan kondisi meteorologis. Menurut Asdak (1995),
apabila jumlah curah hujan yang turun kurang dari 60 mm/bulan, maka disebut
bulan kering.
1.5.3 Standardized Precipitation Index (SPI)
Kekeringan seringkali dikaitkan dengan suatu kondisi yang ditandai dengan
kurangnya ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan air di sektor manapun,
baik dalam hal pemenuhan kebutuhan irigasi untuk pertanian, maupun pemenuhan
kebutuhan air dalam kegiatan ekonomi. Kekeringan ini bersifat sementara yang
salah satunya dapat terjadi akibat menurunnya curah hujan di suatu daerah.
Untuk mengamati terjadinya penyimpangan jumlah curah hujan terhadap
normalnya dapat menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI). Nilai SPI
dihitung berdasarkan metode statistik probabilistik distribusi gamma, dengan
kategori sebagai berikut:
a. Sangat kering, apabila nilai SPI ≤ -2,00,
b. Kering, apabila nilai SPI -1,50 s/d -1,99,
c. Agak kering, apabila nilai SPI -1,00 s/d -1,49,
d. Normal, apabila nilai SPI -0,99 s/d 0,99,
e. Agak basah, apabila nilai SPI 1,00 s/d 1,49,
f. Basah, apabila nilai SPI 1,50 s/d 1,99,
g. Sangat basah, apabila nilai SPI ≥ 2,00.
Metode yang digunakan SPI berdasarkan pada asumsi kekeringan
meteorologis, sehingga data yang dibutuhkan adalah curah hujan bulanan.
Kekeringan meteorologis merupakan kondisi kekeringan yang ditandai dengan
berkurangnya curah hujan dari keadaan normalnya dalam jangka waktu yang
panjang.
9
SPI dapat memberikan perbandingan curah hujan selama beberapa periode
bulan tertentu. Hal ini dapat membantu menilai tingkat keparahan kekeringan serta
memberikan peringatan dini akan kekeringan.
1.5.4 Sirkulasi Walker
Sirkulasi Walker merupakan sirkulasi udara zonal yang terjadi di sekitar
Samudra Pasifik yang berada di khatulistiwa, dimana tekanan udara dan suhu
permukaan Samudra tersebut berbeda antara bagian barat dengan bagian timur.
Samudra Pasifik ekuatorial bagian barat normalnya memiliki suhu permukaan
yang hangat dan basah dengan tekanan rendah. Berbeda dengan Samudra Pasifik
ekuatorial bagian timur, daerah ini memiliki suhu permukaan yang dingin dan
kering serta bertekanan tinggi. Hal tersebut menyebabkan udara di sekitar
permukaan Samudra Pasifik tersebut bergerak dari tempat yang bertekanan tinggi,
yakni timur, ke tempat yang bertekanan lebih rendah, yaitu barat. Udara di atasnya
didominasi oleh angin yang bergerak dari barat ke timur. Kejadian inilah yang
disebut dengan sirkulasi Walker. Normalnya sirkulasi Walker memusat di sekitar
wilayah Indonesia (Tjasjono, 2004).
Suhu permukaan laut di Pasifik ekuator sebelah barat cukup tinggi sehingga
menghangatkan udara yang berada di atasnya. Udara tersebut kemudian naik
membawa pasokan uap air dan terbentuklah awan yang terbang ke arah timur.
Awan tersebut menurunkan hujan di daerah Pasifik ekuator bagian timur.
Sesampainya di pantai barat Amerika Selatan, udara tersebut turun dan terbang
kembali, namun lebih rendah, ke arah barat Pasifik ekuator, melewati tepat di atas
permukaan laut (Gambar 1.3).
Peran sirkulasi Walker di kawasan tropis sangat penting, mengingat sirkulasi
ini mengatur pertukaran panas dan uap udara dalam skala besar di sekitar garis
khatulistiwa. Hal ini memungkinkan sirkulasi Walker untuk menentukan
karakteristik cuaca hingga iklim di kawasan tropis tersebut. Sebagai buktinya,
sirkulasi Walker memiliki keterkaitan dengan anomali iklim ENSO. Apabila
terjadi ENSO, arah sirkulasi Walker akan berbalik. Ketika sirkulasi Walker
melemah, angin juga akan melemah sehingga air di Pasifik ekuator barat yang
10
memiliki suhu yang hangat akan menyebar ke arah timur. Kejadian ini dinamakan
El Nino. Apabila sirkulasi Walker sangat kuat, yang berarti angin bertiup lebih
kencang melewati kawasan Pasifik ekuator, maka suhu permukaan laut di Pasifik
ekuator timur akan menjadi lebih dingin karena terjadi upwelling. Kejadian
tersebut disebut La Nina.
Sirkulasi Walker yang melemah, yang berasosiasi dengan El Nino,
menyebabkan kekeringan yang tersebar meluas di Indonesia, kekeringan di timur
laut Brazil, dan banjir bandang di Peru dan Ekuador, serta tenggara Brazil dan
Argentina bagian utara. Ketika terjadi La Nina, sirkulasi Walker yang menguat
akan memicu terjadinya anomali curah hujan (Lau dan Yang, 2002). Hal ini
kemudian menyebabkan fenomena yang terbalik dari El Nino, dimana wilayah
yang kekeringan apabila terjadi El Nino akan mendapatkan curah hujan yang lebih
banyak dari normalnya pada kondisi La Nina, sehingga dapat menyebabkan banjir.
Gambar 1.3 Sirkulasi Walker pada Kondisi Normal dan Kondisi El Nino
Sumber: Australian Coastal Information (2013)
http://www.ozcoasts.gov.au/indicators/climate_change.jsp
Waktu Normal
Waktu El Nino
11
1.5.5 El Nino
Salah satu anomali iklim berskala global adalah El Nino. Istilah El Nino
pertama kali dicetuskan pada abad 19 oleh para nelayan di Peru yang
mendefinisikannya sebagai menghangatnya suhu permukaan laut di sekitar pesisir
saat hari raya natal (Enfield, 1988). Hal ini yang kemudian sering dihubung-
hubungkan dengan penurunan jumlah tangkapan ikan lokal secara mendadak
(Jordan, 1991). Secara meteorologis El Nino didefinisikan sebagai fenomena
peningkatan suhu rata-rata permukaan laut di atas normal di seputar Pasifik
Tengah dan Timur sepanjang garis ekuator. Suhu muka laut di sebelah Utara dan
Timur Laut Australia biasanya bernilai ≥ 28°C pada tahun-tahun normal,
sedangkan di Samudra Pasifik sekitar Amerika Selatan suhu muka lautnya sekitar
± 20°C (Tongkukut, 2011).
Mekanisme El Nino berawal dari menghangatnya suhu permukaan air laut di
Samudra Pasifik sekitar ekuator atau terjadi tekanan udara rendah di daerah
tersebut. Suhu permukaan air laut di perairan Indonesia pada saat yang bersamaan
menjadi dingin yang kemudian membentuk tekanan udara yang tinggi. Perbedaan
tekanan udara yang cukup besar atau peningkatan suhu permukaan laut di
Samudra Pasifik sekitar ekuator yang tinggi dapat menyebabkan massa udara di
Indonesia cenderung bergerak ke arah Samudra Pasifik sekitar ekuator yang
memiliki tekanan udara lebih rendah. Hal ini berdampak pada pengurangan
pembentukan awan di wilayah Indonesia, sehingga secara otomatis juga
mengurangi jumlah curah hujan yang turun di sebagian besar wilayah Indonesia.
Dampak turunannya dapat menyebabkan kekeringan akibat musim kemarau yang
berkepanjangan atau mundurnya awal dari musim hujan apabila dibandingkan
dengan kondisi normal.
Angin Monsoon ialah angin yang berhembus secara periodik setiap enam
bulan dengan arah yang saling berlawanan, dimana pada bulan Oktober-April
angin akan bergerak dari Benua Asia ke Benua Australia. Hal ini disebabkan
matahari pada periode bulan tersebut berada di belahan bumi selatan sehingga
Benua Australia mengalami musim panas. Tekanan udara di atas Benua Australia
pada saat itu berada pada nilai minimum, sebaliknya di atas Benua Asia tekanan
12
udaranya berada pada nilai maksimum, sehingga menyebabkan angin akan
bergerak dari Asia ke Australia. Angin tersebut dinamakan angin Monsoon Asia,
yang melewati Samudra Pasifik dan berpotensi menurunkan hujan di wilayah
Indonesia. Angin Monsoon Asia ini seharusnya melewati Indonesia, akan tetapi
jika El Nino terjadi angin Monsoon Asia tersebut akan berbelok ke Samudra
Pasifik bagian ekuator karena tekanan udara di daerah tersebut sedang turun. Hal
ini yang menyebabkan sirkulasi Monsoon melemah (Tongkukut, 2011).
Terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi terjadinya El Nino, antara
lain:
a. Anomali Suhu Permukaan Laut
Ketika terjadi El Nino, suhu permukaan laut di Samudra Pasifik ekuator
bagian tengah dan timur memanas, yakni suhu berada di atas normal.
Sebaliknya, suhu permukaan laut di Samudra Pasifik ekuator bagian barat atau
di sekitar wilayah perairan Indonesia menjadi lebih dingin dari biasanya, yaitu
suhu berada di bawah normal. Keadaan inilah yang menjadi salah satu
parameter yang mengindikasikan terjadinya El Nino. Kondisi sebaliknya
mengindikasikan terjadinya La Nina.
Berdasarkan intensitasnya, El Nino menurut anomali suhu permukaan laut
dibagi menjadi tiga, yaitu:
− El Nino dikatakan lemah apabila penyimpangan suhu permukaan laut di
Pasifik ekuator mencapai +0,5°C sampai dengan +1.0°C selama minimal
3 bulan berturut-turut.
− El Nino dikatakan sedang apabila penyimpangan suhu permukaan laut di
Pasifik ekuator berkisar antara +1,0°C sampai dengan +1,5°C selama
minimal 3 bulan berturut-turut.
− El Nino dikatakan kuat apabila penyimpangan suhu permukaan laut di
Pasifik ekuator lebih dari +1,5°C selama minimal 3 bulan berturut-turut.
b. Indeks Osilasi Selatan/Southern Oscillation Index (SOI)
El Nino juga memiliki intensitas yang dikategorikan menurut besarnya
penyimpangan suhu muka air laut yang menyebabkan perubahan tekanan udara
13
di atas nilai rata-ratanya. Perubahan tekanan udara tersebut dapat dibaca dengan
Indeks Osilasi Selatan (South Oscillation Index/SOI). Biasanya nilai SOI yang
dipakai untuk kepentingan analisis klimatologi berskala bulanan, sebab nilai
SOI dengan skala harian atau mingguan dapat dipengaruhi oleh pola-pola cuaca
harian. SOI mengindikasikan adanya El Nino ataupun La Nina di Samudra
Pasifik dengan melihat perbedaan tekanan atmosfer antara Tahiti dan Darwin.
Darwin merupakan perwakilan dari wilayah Hindia – Australia, sedangkan
Tahiti mewakili wilayah Amerika Selatan. Ketika El Nino terjadi, tekanan
udara rata-rata di Darwin lebih tinggi daripada di Tahiti, ditunjukkan dengan
nilai SOI yang negatif, sedangkan nilai SOI positif mengindikasikan terjadinya
La Nina (Gambar 1.4). Intensitas El Nino dikatakan semakin kuat apabila nilai
SOI-nya semakin negatif. Hal tersebut dijelaskan oleh Salmawati (2010)
tentang tingkatan intensitas El Nino:
− El Nino dikatakan lemah, apabila nilai SOI -5 s/d 0 dan berlangsung
minimal 3 bulan berturut-turut.
− El Nino dikatakan sedang, apabila nilai SOI -10 s/d -5 dan berlangsung
minimal 3 bulan berturut-turut.
− El Nino dikatakan kuat, apabila nilai SOI lebih kecil dari -10 dan
berlangsung minimal 3 bulan berturut-turut.
c. Curah Hujan
Terjadinya El Nino membawa dampak kekeringan dan curah hujan
menurun dari normalnya di sejumlah wilayah di Indonesia. Wilayah Indonesia
yang terpengaruh dampak El Nino merupakan wilayah Indonesia bagian timur,
termasuk Pulau Bali. Hal ini dapat dilihat dari curah hujan yang biasanya
berkurang dari normalnya di wilayah-wilayah timur Indonesia ketika El Nino
berlangsung. Parameter yang paling berpengaruh untuk melihat dampak El
Nino di Indonesia adalah curah hujan.
14
Gambar 1.4 Grafik Nilai SOI Bulanan
Sumber: Australian Bureau of Meteorology (2014)
http://www.bom.gov.au/climate/current/soi2.shtml
1.5.6 Dampak Kekeringan
Kekeringan yang terjadi di wilayah timur Indonesia biasanya berkaitan
dengan peristiwa El Nino dimana nilai SOI menunjukkan negatif (Prabowo,
Mulyono, dan Nicholls, 2002). Kekeringan akibat berlangsungnya El Nino
memang telah menimbulkan dampak terhadap pertanian di Indonesia. Produksi
beras dan kedelai di Indonesia, sebagai contohnya, mengalami penurunan produksi
yang nyata pada beberapa tahun El Nino. Perlu diperhatikan bahwa dampak
kekeringan akibat El Nino terhadap pangan sebaiknya dihitung dengan
mempertimbangkan musim kemarau hingga akhir tahun (Boer, 1999).
Tanah juga mengalami dampak kekeringan. Kualitas tanah akan menurun
akibat kurangnya kandungan air dalam lengas tanah yang dapat menciptakan
kondisi tekstur yang buruk serta miskin hara. Hal ini harus menjadi perhatian
15
karena produksi tanaman, unsur hara tanah dan lainnya akan terancam (Turyanti,
1995). Kekeringan lahan akibat El Nino tersebut juga dapat memicu kebakaran.
1.5.7 Penanganan Dampak Kekeringan
Penanganan dampak kekeringan disini diasumsikan berasal dari El Nino,
sehingga sumber utama air adalah air hujan. Untuk menghadapi hal tersebut, maka
perlu diperhatikan sifat fisik tanah sebagai penyedia air tanaman, sifat anasir cuaca
terhadap tanah dan tanaman, serta watak tanaman untuk menghindari dari
pengaruh negatif cekaman kekeringan. Pemilihan tanaman yang mampu
beradaptasi terhadap cekaman kekeringan juga perlu dipertimbangkan, sehingga
tanaman mampu bertahan dalam kondisi tersebut.
1.6 Penelitian Sebelumnya
Fenomena El Nino merupakan anomali iklim yang memiliki pengaruh terhadap
iklim global, termasuk di Indonesia. El Nino dapat diidentifikasi dari nilai Southern
Oscillation Index (SOI) yang bernilai negatif. El Nino biasanya menimbulkan
dampak berkurangnya curah hujan yang turun dari rata-rata normalnya sehingga
berpotensi menimbulkan kekeringan. Kekeringan yang dimaksud disini merupakan
kekeringan meteorologis yang dapat diidentifikasi dari indikator utamanya, yakni
kuantitas curah hujan. Standardized Precipitation Index (SPI) merupakan metode
untuk mengetahui jumlah curah hujan yang berkurang dari normalnya dengan
mempertimbangkan skala waktu tertentu. Fenomena El Nino dan kekeringan
merupakan hal penting untuk diteliti mengingat kedua fenomena ini saling berkaitan
dan berpotensi terjadi di Indonesia. Beberapa penelitian terkait telah dilakukan
seperti yang disajikan pada Tabel 1.1.
Abd. Rahman As-syakur (2007) melakukan penelitian tentang hubungan
fluktuasi nilai SOI terhadap curah hujan bulanan. Daerah penelitian bertempat di
Kawasan Batukaru-Bedugul, Bali. Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan
sebagai acuan perencanaan pengelolaan kawasan apabila terjadi fenomena ENSO.
Data curah hujan dan nilai SOI dianalisis secara regresi, sehingga hubungannya
dapat dilihat melalui nilai koefisien determinasi (R2).
16
E. Surmaini dan E. Susanti (2008) mengambil topik penelitian tentang indikator
global dan pengaruhnya terhadap kejadian iklim ekstrim di Indonesia. Tujuan
penelitian tersebut adalah untuk mengetahui faktor apa yang paling berpengaruh
terhadap curah hujan di Indonesia, dampaknya terhadap pergeseran musim, serta
hubungannya dengan kejadian banjir dan kekeringan. Penelitian ini menggunakan
metode analisis regresi antara anomali curah hujan dengan indikator iklim global.
Penelitian ini juga menganalisis dampak El Nino terhadap kerusakan tanaman padi
karena kekeringan di Indonesia.
Andre Herdian (2012) meneliti tentang indeks kekeringan menggunakan
metode Thronthwaite Matter dengan analisis spasial di wilayah Garut, Jawa Barat.
Salah satu hasil penelitian ini berhasil menemukan korelasi antara El Nino dengan
indeks kekeringan yang besar pada tahun itu yang menghasilkan produksi padi
menurun di tahun yang sama.
Danu Triatmoko dkk (2012) melakukan penelitian menggunakan metode SPI
untuk mengidentifikasi kekeringan meteorologis di daerah Pantura, Jawa Barat.
Penelitian ini juga menemukan bahwa pada periode El Nino 1997/1998, 2002/2003,
dan 2006/2007, kekeringan meteorologis di Kabupaten Indramayu dan Subang
mencapai kategori sangat kering.
Penelitian yang akan dilakukan ini bertemakan tentang analisis hubungan El
Nino dengan kekeringan meteorologis menggunakan SPI. Lokasi penelitian
bertempat di Pulau Bali. Nilai SPI yang merepresentasikan kekeringan meteorologis
dibandingkan dengan nilai SOI ketika terjadi fenomena El Nino. Penelitian ini juga
akan menganalisis tentang dampak turunannya serta merumuskan upaya untuk
mengantisipasinya.
Berdasarkan penelitian terdahulu, belum ada penelitian serupa yang
menganalisis hubungan antara El Nino dengan kekeringan meteorologis berdasarkan
nilai SOI dan SPI di Pulau Bali. Abd. Rahman As-syakur (2007) meneliti tentang
hubungan fluktuasi nilai SOI dengan curah hujan bulanan, bukan nilai SPI.
Penelitian tersebut tidak dilakukan di seluruh Pulau Bali, namun hanya di suatu
kawasan tertentu di Bali. E. Surmaini dan E. Susanti (2008) melakukan analisis
regresi antara curah hujan dengan beberapa indikator iklim global di Indonesia.
17
Lingkup penelitian tersebut lebih luas, namun nilai SPI tidak termasuk dalam
analisis regresi. Penelitian tersebut berhasil menemukan korelasi positif antara
kejadian El Nino dengan tingkat kekeringan yang tinggi. Andre Herdian (2012)
menggunakan metode Thronthwaite Matter untuk mendapatkan indeks kekeringan
di Garut, Jawa Barat. Penelitian tersebut juga mengungkapkan produksi padi
menurun pada tahun El Nino yang berasosiasi dengan nilai indeks kekeringan yang
besar pada tahun yang sama. Danu Triatmoko dkk (2012) lebih meneliti tentang
periode kekeringan meteorologis menggunakan SPI di Pantura, Jawa Barat.
Berdasarkan nilai SPI tersebut kemudian dikaitkan dengan 3 periode waktu kejadian
El Nino. Penelitian ini tidak menggunakan metode analisis regresi untuk
menghubungkan antara nilai SPI dengan kejadian El Nino, karena kejadian El Nino
tidak dilihat berdasarkan nilai SOI-nya.
18
No. Nama Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
1. Abd. Rahman As-syakur
(2007)
Identifikasi Hubungan
Fluktuasi Nilai SOI
terhadap Curah Hujan
Bulanan di Kawasan
Batukaru-Bedugul,
Bali
Mengetahui hubungan
antara fluktuasi nilai SOI
dengan besaran curah
hujan di kawasan
Batukaru-Bedugul,
sehingga bisa
dimanfaatkan sebagai
acuan perencanaan
pengelolaan kawasan saat
terjadinya fenomena El
Nino dan La Nina.
Metode pengumpulan data
curah hujan dan nilai SOI
serta dianalisis secara regresi
untuk melihat nilai koefisien
determinasi (R2)
1. Variabilitas hujan pada daerah
penelitian tidak berpengaruh pada
fluktuasi nilai SOI saat musim hujan
kecuali Munduk, sedangkan saat
musim kemarau sangat terlihat jelas
kecuali Gitgit.
2. Saat masa transisi, pengaruh nilai SOI
terhadap variabilitas hujan terlihat
berbeda-beda pada setiap pos hujan.
3. Keberadaan lokasi penelitian yang
berada pada daerah berpola hujan
monsun, adanya Siklus Walker,
keberadaan jalur ITCZ, serta posisi pos
hujan terhadap topografi berpengaruh
terhadap variabilitas hujan sehingga
menyebabkan perbedaan pengaruh
nilai SOI pada masing-masing musim.
Tabel 1.1 Perbandingan antara Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Akan Dilakukan
19
No. Nama Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
2. E. Surmaini dan E. Susanti
(2008)
Indikator Iklim
Global dan
Pengaruhnya terhadap
Kejadian Iklim
Ekstrim di Indonesia
Menganalisis indikator
iklim global yang paling
berpengaruh terhadap
curah hujan di Indonesia,
dampaknya terhadap
pergeseran musim dan
hubungannya dengan
kejadian banjir dan
kekeringan
1. Analisis regresi curah
hujan dengan anomali
SST Nino 3.4, DMI,
SOI, interaksi ASST
dengan DMI, dan
interaksi SOI dengan
DMI.
2. Plot antara anomali
curah hujan dengan
indikator iklim global.
3. Analisis peluang awal
musim hujan dan lama
musim hujan
berdasarkan skenario
indikator iklim.
4. Analisis dampak
kejadian iklim ekstrim
terhadap kejadian banjir
dan kekeringan serta
luas kerusakan tanaman
padi pada lahan sawah di
Indonesia
1. Indikator iklim global yang paling
berpengaruh terhadap hujan di
Indonesia adalah suhu muka laut di
zone Nino 3.4, dan pengaruhnya hanya
signifikan pada musim transisi bulan
Agustus – Nopember, sehingga SST
bulan Mei – Juni dapat digunakan
untuk memprediksi hujan pada periode
musim transisi (Agustus – Nopember).
2. Hubungan SST dengan hujan
menunjukkan korelasi negatif.
3. Dampak El Nino terhadap kerusakan
pertanaman padi di Indonesia karena
kekeringan lebih luas dibandingkan
karena banjir.
3. Andre Herdian (2012) Analisis Spasial
Indeks Kekeringan
Thronthwaite Matter
di Wilayah Garut
Jawa Barat
Untuk mengetahui
karakterisasi kekeringan
di wilayah Garut.
Metode perhitungan neraca
air dihitung dengan
menggunakan Tabel Neraca
Air Thornthwaite Matter dari
data meteorologis dengan
melakukan perhitungan
empiris.
1. Berdasarkan rata-rata curah hujan
(tahun 2001 – 2010), kekeringan
meteorologis di sebagian besar wilayah
Kabupaten Garut terjadi pada periode
Mei hingga September. Sedangkan
untuk Garut Selatan bulan kering
terjadi pada bulan Juni hingga
September.
2. Pada tahun 2006 yang merupakan
tahun El Nino, produksi padi menurun
berkorelasi dengan nilai indeks
kekeringan yang besar pada tahun itu.
Lanjutan Tabel 1.1 Perbandingan Antara Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Akan Dilakukan
20
No. Nama Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
4. Danu Triatmoko, Armi
Susandi, Musa Ali Mustofa,
Erwin E.S. Makmur (2012)
Using Standardized
Precipitation Index
Method for
Identification
Meteorological
Drought in Pantura
West Java Area
Mengidentifikasi tingkat
kekeringan meteorologis
dan melakukan pemetaan
daerah kekeringan
berdasarkan nilai SPI di
wilayah Pantura Jawa
Barat saat fenomena El
Nino terjadi di tahun
1997/1998, 2002/2003,
dan 2006/2007.
Menggunakan metode SPI
(Standardized Precipitation
Index) untuk memonitoring
tingkat kekeringan
meteorologis.
1. Berdasarkan historis curah hujan
(tahun 1981 – 2010), kekeringan
meteorologis di wilayah Kabupaten
Indramanyu dan Subang terjadi pada
periode Juli – Oktober. Sedangkan di
Kab. Karawang terjadi pada bulan Juni
– Nopember.
2. Berdasarkan spasial nilai SPI3 selama
periode El Nino (1997/1998),
(2002/2003), (2006/2007), Kabupaten
Indramayu dan Subang lebih sering
mengalami kekeringan meteorologis
kategori sangat kering.
5. Mira Anantha Yosilia
(2013)
Analisis Hubungan El
Nino Dengan
Kekeringan
Meteorologis
Menggunakan SPI
(Standardized
Precipitation Index)
Di Pulau Bali
Untuk menganalisis
korelasi antara El Nino
dengan kekeringan
meteorologis dan
dibandingkan dengan
dampak turunannya serta
merumuskan usaha untuk
mengantisipasinya.
Berhubungan dengan metode
pengumpulan data curah
hujan yang dianalisis secara
kuantitatif deskriptif dengan
hasil olahan dari software SPI
untuk mengidentifikasi
kekeringan meteorologis dan
dikaitkan dengan nilai SOI-
nya dengan analisis regresi
Sumber: Syakur (2007), Surmaini dan Susanti (2008), Herdian (2012), Triatmoko dkk (2012)
Lanjutan Tabel 1.1 Perbandingan Antara Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Akan Dilakukan
21
1.7 Kerangka Pemikiran
Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang penting dalam siklus
hidrologi. Curah hujan adalah komponen masukan atau input utama, yang mana air
hujan yang jatuh di permukaan tanah meresap ke dalam tanah maupun yang jatuh di
perairan dapat dimanfaatkan oleh manusia. Hal ini secara otomatis membuat
karakteristik hujan, seperti intensitas dan besarnya curah hujan.
Anomali iklim global dapat mempengaruhi indikator iklim lain, salah satunya
adalah curah hujan. Contoh anomali iklim global adalah El Nino. El Nino merupakan
istilah dari peningkatan suhu permukaan laut di atas normal di sekitar Samudra
Pasifik bagian tengah dan timur sepanjang garis khatulistiwa. Peningkatan suhu
permukaan laut ini menyebabkan tekanan udara di atasnya rendah. Sementara itu di
sisi lain, perairan Indonesia mendingin sehingga tekanan udara di atas perairan
Indonesia tinggi. Massa udara di Indonesia pun bergerak ke daerah yang bertekanan
lebih rendah, yakni Samudra Pasifik bagian timur dan tengah sekitar ekuator. Hal ini
menyebabkan pengurangan pembentukan awan yang dapat menginisiasi terjadinya
hujan, akibatnya hujan yang turun di wilayah Indonesia berkurang pula.
Fenomena El Nino dapat diidentifikasi dari nilai SOI (Southern Oscillation
Index) yang negatif. Pengaruh El Nino terhadap curah hujan ialah terjadinya
penurunan curah hujan dari kondisi normalnya di daerah tertentu. Hal ini dapat
ditinjau dengan menggunakan software SPI (Standardized Precipitation Index) yang
mengacu pada asumsi kekeringan meteorologis. Curah hujan bulanan diolah dengan
metode SPI yang kemudian menghasilkan indeks presipitasi yang terstandarisasi.
Nilai indeks tersebut dihubungkan dengan nilai SOI menggunakan metode analisis
regresi, sehingga dapat diketahui hubungan antara El Nino dengan kekeringan
meteorologis.
Kekeringan biasanya diawali dengan kekeringan meteorologis yang mengakar.
Kekeringan meteorologis ini dilihat dari penurunan jumlah curah hujan dari
normalnya sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan air karena kurangnya
22
ketersediaan air. Penurunan curah hujan dapat menyebabkan kekeringan yang bersifat
sementara, bahkan berkepanjangan apabila curah hujan berkurang dalam periode
waktu yang lama. Kekeringan meteorologis ini dapat menjadi acuan untuk peringatan
dini akan kekeringan lainnya, seperti kekeringan pertanian ataupun kekeringan
hidrologis, serta dampak turunannya yang mungkin dapat terjadi. Dampak turunan
yang ditimbulkan dapat bermacam-macam. Penting dilakukan perumusan upaya
antisipasinya yang dapat diadaptasikan apabila terjadi kekeringan. Kerangka
pemikiran ini disajikan pada Gambar 1.5.
Gambar 1.5 Diagram Kerangka Teori
Curah Hujan
El Nino SOI Negatif Standardized Precipitation Index (SPI)
Penurunan Curah Hujan
Kekeringan
Dampak Turunan
Respon/Antisipasi
Adaptasi