32
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra indigenous Australia (Aborigin) semakin berkembang dan terus diapresiasi di tengah-tengah sastra Australia. Kemunculan sastra indigenous di Australia memang bukan hal baru. Sekitar tahun 1970 isu tentang konflik sosial di Australia diangkat oleh Patrick White dalam sebuah karyanya yang berjudul Voss. Dari konflik sosial yang diangkat tersebut semakin mendorong kemunculan suara indigenous dalam karya sastra. Sastra indigenous mengangkat isu-isu yang dialami oleh masyarakat Aborigin seperti indigeneity, hibriditas, kepemilikan tanah, identitas, maupun marginalisasi. Menurut Whitlock dan Osborne, berkembangnya sastra indigenous di Australia karena: sastra indigenous (1) menghadirkan „an emerging story‟: isu yang dimunculkan memang terjadi dan dialami oleh masyarakat indigenous Australia yang dihadirkan dalam cerita oleh penulis indigenous; (2) menjadi skala sejarah global: menjadi tolak ukur akuntabilitas kesejarahan indigenous Australia; (3) sebagai bentuk perhatian lebih dan aksi terhadap punahnya indigenous di Australia (Whitlock and Osborne, 2013:). Karya-karya indigenous Australia juga menjadi sebuah bentuk upaya untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi masyarakat indigenous. Seperti yang dinyatakan oleh seorang peneliti bahasa dan budaya Aborigin, John Bradely, bahwa setiap tahun setidaknya ada dua suku Aborigin yang punah (Zable dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94891/potongan/S2-2016...2 Bradely et al, 2011)1. Hal ini menjadi perhatian tersendiri bagi penulis-penulis

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra indigenous Australia (Aborigin) semakin berkembang dan terus

diapresiasi di tengah-tengah sastra Australia. Kemunculan sastra indigenous di

Australia memang bukan hal baru. Sekitar tahun 1970 isu tentang konflik sosial di

Australia diangkat oleh Patrick White dalam sebuah karyanya yang berjudul Voss.

Dari konflik sosial yang diangkat tersebut semakin mendorong kemunculan suara

indigenous dalam karya sastra. Sastra indigenous mengangkat isu-isu yang

dialami oleh masyarakat Aborigin seperti indigeneity, hibriditas, kepemilikan

tanah, identitas, maupun marginalisasi. Menurut Whitlock dan Osborne,

berkembangnya sastra indigenous di Australia karena: sastra indigenous (1)

menghadirkan „an emerging story‟: isu yang dimunculkan memang terjadi dan

dialami oleh masyarakat indigenous Australia yang dihadirkan dalam cerita oleh

penulis indigenous; (2) menjadi skala sejarah global: menjadi tolak ukur

akuntabilitas kesejarahan indigenous Australia; (3) sebagai bentuk perhatian lebih

dan aksi terhadap punahnya indigenous di Australia (Whitlock and Osborne,

2013:).

Karya-karya indigenous Australia juga menjadi sebuah bentuk upaya

untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi masyarakat indigenous. Seperti

yang dinyatakan oleh seorang peneliti bahasa dan budaya Aborigin, John Bradely,

bahwa setiap tahun setidaknya ada dua suku Aborigin yang punah (Zable dalam

2

Bradely et al, 2011)1. Hal ini menjadi perhatian tersendiri bagi penulis-penulis

keturunan Aborigin seperti Alexis Wright, Maria Munkara, Melissa Lucashenko,

maupun Kim Scott untuk berkontribusi terhadap indigenous melalui karya sastra

dengan mengangkat isu tentang indigenous. Diantara berbagai penulis keturunan

Aborigin, Kim Scott memiliki posisi yang berpengaruh terhadap kesusastraan

indigenous maupun kesustraan Australia. Scott menjadi salah satu penulis yang

ikut memperluas berkembangnya digital humanities dimana informasi tentang

karya sastra Australia (khususnya Aborigin) dan perkembangannya dapat diakses;

yaitu melalui database AusLit dan Blackwords. Selain itu, Scott juga melihat

perlunya menjaga keberlangsungan Aborigin di Australia melalui karya-karyanya.

Seperti pendapat Dixon bahwa karya sastra Aborigin melihat kembali ke dalam

Australia melalui konteks yang lebih lokal sehingga menempatkan posisinya yang

berbeda dengan sastra non-indigenous yang hampir selalu dipengaruhi oleh

konteks internasional (Dixon dalam Whitlock dan Osborne, 2013: 2). Konteks

lokal yang dibawa oleh Scott secara lebih spesifik yaitu kelompok Aborigin

Nyoongar yang menempati wilayah Australia bagian barat. Melalui karyanya,

Scott menjadi penulis yang berdedikasi tinggi terhadap komunitasnya (Nyoongar)

dan terhadap bahasa Nyoongar. Dedikasi Scott ini mampu merevitalisasi bahasa

dan identitas Nyoongar; sehingga banyak kritik sastra Australia menyebutkan

karya Scott ini masuk dalam lingkup sastra regional.

Kehadiran karya Scott, Benang, menyematkan posisi Scott semakin

signifikan di tengah perkembangan sastra Australia. Benang merupakan karya

1 Dikutip dari artikel yang berjudul Language and Politics in Indigenous Writing

(www.overland.org.au 13 Maret 2015)

3

kedua setelah karya perdana Scott yang berjudul True Country. Benang

mendapatkan penghargaan Miles Franklin di tahun 2000 yang merupakan

penghargaan prestisius di kancah sastra Australia. Scott menjadi sastrawan

keturunan Aborigin pertama yang mendapatkan Miles Franklin Literary Award.

Karyanya yang ketiga, That Deadman Dance, juga kembali memperoleh

penghargaan Miles Franklin di tahun 2011. Sebelum That Deadman Dance, Scott

sempat berkolaborasi dengan penulis indigenous, Hazel Brown, yang

menghasilkan karya berjudul Kayang and Me. Akan tetapi pencapaian Scott

bukan sekedar pada penghargaan tersebut. Apresiasi dan atensi terhadap novel

Benang mampu menempatkannya pada posisi yang kuat di dalam maupun luar

Australia. Benang menjadi titik pijak Scott pertama untuk diterima dan dikenal

khalayak secara meluas baik di Australia maupun di luar Australia. Di Australia

sendiri, Benang diakui sebagai karya sastra kanon Australia. Benang tetap

konsisten menjadi acuan artefak literatur Australia, terutama indigenous Australia.

Dari semua karya yang dihasilkan, Benang dan That Deadman Dance

menjadi dua karya yang paling disorot publik. Selain karena penghargaan Miles

Franklin untuk kedua novel tersebut, isu dan pembacaan terhadap kedua novel

tersebut mendapat banyak perhatian dari peneliti dan akademisi sastra. Pada

dasarnya isu yang diangkat oleh Scott selalu berkaitan dengan indigenous. Hanya

saja Scott mampu menciptakan konteks yang lebih kekinian dalam kedua novel

tersebut—meskipun bersetting di pertengahan abad ke-20, novel Scott

mengangkat isu yang kekinian sehingga masih kontekstual untuk dibaca masa

sekarang; yaitu tentang Aborigin di masyarakat pascakolonial Australia. Seperti

4

yang digambarkan dalam True Country, yaitu tentang keturunan Aborigin dan

komunitas Aborigin Kimberly. Cerita dalam True Country sangat dekat dengan

kisah hidup Scott sebagai guru; mengajar untuk masyarakat Aborigin demi

kebaikan masa depan Aborigin; dan juga menampilkan refleksi diri Scott melalui

komunitas Aborigin Kimberly. True Country bisa disebut sebagai novel

autobiografi, sedangkan Kayang and Me lebih mengarah ke sejarah yang ditulis

dalam bentuk novel.

Dalam That Deadman Dance, Scott mengangkat kisah orang Nyoongar

yang juga merupakan bagian dari diri Scott (sebagai keturunan Nyoongar), yang

juga lekat dengan atribut-atribut sebagai Aborigin Nyoongar (seorang shaman,

penari, pencerita, dan juga komedian); yaitu yang bernama Bobby Wabalanginy.

Bobby seorang yang cerdik, imaginatif, menyenagkan, dan terbuka terhadap hal-

hal baru; Bobby yang juga menciptakan tarian „that deadman’ tersebut. Setelah

kedatangan bangsa Eropa di Albany, Bobby tumbuh dan bersahabat baik dengan

orang-orang kulit putih. Akan tetapi lambat laun banyak orang Aborigin yang

tidak suka dengan berkembangnya koloni tersebut; dan muncul berbagai

pertentangan di sisi orang Eropa maupun Aborigin. Ketegangan antara kedua

pihak makin memuncak, dan tetua adat Nyoongar mendorong Bobby untuk

mengambil salah satu sisi, antara dunia yang lama atau yang baru (Aborigin atau

white).

5

Sedangkan dalam karyanya Benang, Scott mengangkat kisah keturunan

Nyoongar yang mengalami „breed out‟2

(pengadaopsian anak-anak Aborigin

untuk dijadikan kulit putih). Novel ini juga menampilkan bagaimana

pemerintahan kulit putih Australia melakukan „breeding out‟ untuk

menghilangkan ke-aborigin-an dalam diri masyarakat Aborigin. Neville sebagai

anggota dari kepemerintahan setempat mencanangkan konsep skema generasi

melalui proses breed out ini. Sedangkan Harley, sebagai tokoh utama, yang

mengalami proses breed out tersebut mencoba untuk kembali melihat dirinya

sebagai bagian dari Aborigin. Novel Benang menampilkan ide-ide untuk

menciptakan dan menghapuskan suatu ras, generasi tertentu; yang kemudian

memunculkan istilah „the first-whiteman born‟. Selain itu Benang juga

menghubungkan ide kolonial melalui representasi „breeding out’ tersebut dengan

efek yang ditimbulkan dari kolonialisme terhadap indigenous Australia.

Di tengah-tengah berkembangnya kesusastraan Australia, Benang sebagai

karya sastra Aborigin yang dirasa masih penting untuk dibahas maupun diteliti.

Novel ini berkembang di masyarakat Australia yang mayoritas adalah kulit putih;

dan di tengah kepunahan masyarakat Aborigin di Australia. Suara Aborigin dalam

Benang bisa diasumsikan sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep kolonial

kulit putih; dan juga sebagai bentuk selebrasi identitas (untuk menjadi bagian dari)

Aborigin. Akan tetapi identitas Aborigin menjadi polemik; benturan antara

kondisi dan pengalaman kultural mempertanyakan kembali akan identitas

Aborigin. Kolonialisme yang pernah dialami masyarakat Aborigin memunculkan

2 Memisahkan anak-anak Aborigin dari orangtuanya untuk menghilangkan keaboriginan mereka

dengan diadopsi orang kulit putih (Webby, hlm.10)

6

persoalan tentang identitas Aborigin. Melalui ruang-ruang alternatif yang

diciptakan dalam Benang, Scott memperlihatkan keberadaan Aborigin dengan

identitasnya yang problematis dalam konteks pascakolonial Australia. Novel ini

juga memberikan ruang untuk keluar dari idealisme identitas Aborigin melalui

bentuk-bentuk pembenaran politis melalui penggambaran yang ada dalam novel.

Kim Scott dapat dikategorikan ke dalam penulis pascakolonial. Hal

tersebut berlandaskan asusmsi bahwa Australia sebagai pascakolonial yaitu

sebagai settler colonies3 dan keterkaitannya dengan kekuatan imperial. Seperti

pendapat Aschroft bahwa Australia sebagai pascakolonial menyingkap adanya

wacana kolonial dan kompleksitas terhadap kekuatan imperial; sehingga

kebanyakan sastra Australia adalah sebuah kritik terhadap masa lalu kolonial

Australia (Aschroft dalam O‟Reilly, 2010: 15). Scott memunculkan isu mengenai

perlawanan terhadap idealisme identitas Aborigin dalam novelnya. Sehingga

novel Benang ini menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian ini berusaha

mengungkapkan ruang pascakolonial yang ada di dalam novel Benang dengan

membongkar ruang kolonial kulit putih dan menawarkan alternatif tentang

identitas Aborigin dalam novel Benang. Dengan teori spatial politics

permasalahan tersebut di atas berusaha untuk dijawab dan diselesaikan dalam

penelitian ini.

3 Dalam diskurs pascakolonial, istilah ini digunakan untuk membedakan antara koloni yang

diinvasi dan yang diduduki. Settler colonies adalah koloni yang diduduki; dimana sekelompok

bangsa Eropa yang menduduki memarginalkan masyarakat indigenous untuk menjadi mayoritas

(Aschroft et al., 2001: 211)

7

1.2 Rumusan Masalah

Sebagaimana latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, masalah yang

akan diteliti dalam tesis ini adalah ruang pascakolonial dan hubungannya dengan

identitas indigenous Australia (Aborigin). Sehingga dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

a) Bagaimana ruang pascakolonial digambarkan dalam novel Benang?

b) Bagaimana korelasi antara ruang dengan identitas pascakolonial?

c) Bagaimana posisi konstruksi ruang dan identitas dalam konteks pascakolonial

Australia?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ruang pascakolonial yang

digambarkan dalam Benang, menelusuri korelasi antara ruang dengan identitas,

dan menjelaskan posisi konstruksi ruang dan identitas dalam konteks

pascakolonial Australia dengan memberikan analisis argumentatif tentang ruang

dan identitas indigenous Australia dalam konteks pascakolonial Australia melalui

novel karya Kim Scott yang berjudul Benang dengan menggunakan teori spatial

politics dari Sara Upstone.

1.4 Manfaat Penelitian

Implementasi dari hasil penelitian ini diharapkan bisa menyediakan

manfaat praktik maupun teoritik. Secara praktik, hasil penelitian ini diharapkan

mampu memberikan kontribusi kepada studi sastra Australia, secara khusunya

yaitu studi sastra indigenous Australia. Penelitian ini diharapkan mampu memberi

8

kontribusi kepada sastra indigenous Australia, sebagai medium untuk

menyampaikan isu-isu mengenai indigeneity dan ruang pascakolonial. Studi

tentang indigenous Australia seringkali luput dari cakupan studi sastra Inggris; ini

karena studi sastra Inggris lebih mencakup sastra Inggris dan Amerika saja. Selain

itu, secara teoritik, penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu referensi

untuk kajian sastra indigenous Australia yang menggunakan teori pascakolonial

dengan melihat novel pascakolonial sebagai objek kajian penelitian ini.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai sastra indigenous Australia masih jarang terutama di

Indonesia. Bahkan di negara-negara yang memiliki studi tentang sastra dari

„settler colonies‟, kajiannya lebih mengutamakan sastra dari Canada dan Amerika.

Sampai saat ini penulis belum menemukan adanya penelitian mengenai isu seperti

identitas yang dikaitkan dengan spatial politics dalam novel Kim Scott, Benang.

Penelitian Victoria Reeve yang berjudul Emotion and Narratives of

Heartland: Kim Scott’s Benang and Peter Carey’s Jack Maggs mendiskusikan

tentang bagaimana emosi bisa mendorong naratif atau naratif dapat

mempengaruhi emosi pembaca. Heartland yang diangkat dalam penelitian Reeve

ini adalah sebagai tempat yang dikontestasikan untuk menemukan keterikatan

antara diri dan „tanah‟. Dengan persepektif tersebut menunjukan adanya sudut

pandang dari Aborigin dalam melihat Australia. Berangkat dari sudut pandang

Aborigin tersebut, Reeve menekankan sebuah perlawanan terhadap asumsi besar

tentang tanah Australia sebagai terra nullius atau tanah kosong.

9

Berbeda dengan Reeve, Kristya Harman (2004) dalam penelitian tesisnya

mempertanyakan tentang „whiteness‟ dalam konteks kolonial Australia dari sudut

pandang Aborigin. „Whiteness‟ dilekatkan dengan kekuasaan—penelitian Harman

melihat keterkaitan antara whiteness dengan kekuasaan. Tesis Harman yang

berjudul Reading Whiteness in Kim Scott’s Benang (From The Heart) ini

menyimpulkan bahwa saat whiteness itu „invisible‟ (tidak nampak) dan mampu

merasialialkan ras lain, kekuasaan itu semakin nampak, tetapi saat whiteness itu

dibuat menjadi „visible‟ (nampak) maka kekuasaan menjadi hilang.

Dalam artikel penelitiannya yang berjudul As Australia Decolonizes:

Indigenizing Settler Nationalism And The Challenges Of Settler/Indigenous

Relations, Moran menyelidiki tentang nasionalisme di negara settler colonies;

secara khusus, artikel penelitian Moran ini membahas ide relasional antara

indigenous dan ke-Aboriginianan. Penelitian Moran mempermasalahkan tentang

nasionalisme di settler colonies yang diklaim bahwa nasionalisme itu bukan milik

indigenous; padahal pada kenyataanya hak-hak indigenous terutama terhadap

tanah tidak mengakomodasi masyarakat indigenous sebagai bagian dari Australia

dan nasionalisme Australia. Moran mengikuti perkembangan nasionalisme dalam

konteks historis Australia; dan juga menganggap nasionalisme tersebut masuk

dalam kategori periode kontemporer. Dengan adanya eksklusi baik secara kultural

maupun sosial terhadap masyarakat indigenous, terutama dalam hal kepemilikan

tanah yaitu bahwa Aborigin tidak memiliki kepentingan kepemilikan terhadap

10

tanah; sehingga settle4r kemudian mengklaim kepemilikan tanah tersebut untuk

para settler bukan indigenous. Hubungan dengan kepemilikan tanah ini menjadi

sebuah „orginary‟ (menjadi hal yang pertama, asli atau benar-benar ada untuk

pertama kali) dan difungsikan sebagai kepentingan untuk membangun

nasionalisme settler.

Hasil penelitian ini yaitu bahwa nasionalisme di negara settler colonies ini

dibangun melalui „perampasan‟ masyarakat indigenous (dari segi kepemilikan

maupun kultural). Oleh karena itu, mengenali budaya indigeous dan ke-

Aboriginian memberikan kemungkinan untuk menjaga agar hak-hak indigenous

itu terus dapat diterima. Selain itu, „indigenizing settler nationalism‟ (membuat

nasionalisme settler menjadi indigenous) di sini menekankan bahwa keterkaitan

antara indigenous dengan Australia sebagai nation; bahwa tanah Australia bukan

sepenuhnya milik settler; bahwa settler juga harus berbagi. Artikel penelitian ini

tidak menyebutkan secara jelas objek material yang digunakan untuk meneliti.

Artikel ini mengungkapakan permasalahan begitu saja; yaitu dengan

mempermasalahkan kasus berdasarkan kesejarahan tanpa objek material

penelitian melainkan hanya objek formal saja, yaitu tentang nasionalisme settler.

Meskipun begitu, penelitian ini menggunakan pendekatan historis untuk melihat

secara lebih teliti tentang isu tersebut.

Berbeda dengan penelitian Moran, Simona meneliti tentang ke-Aboriginan

berdasarkan dari bagaimana ke-Aboriginan itu digambarkan, direpresentasikan,

dan diinterpretasikan. Menurut Simona, penggambaran tentang Aborigin hanya

4 Dalam wacana kolonial, settlers merujuk pada orang-orang eropa yang pindah dari negaranya

untuk menempati wilayah tertentu dengan tujuan untuk tetap tinggal di negara yang diinvasi

ataupun diduduki (Aschroft et al., 2005: 210)

11

sedikit yang diungkap berdasarkan budaya Aborigin. Kemudian interpretasi

tentang Aborigin dan ke-Aboriginan mereka juga tidak sedikit yang membentuk

bias (Aborigin ditempatkan dalam konteks „whites‟). Kritik-kritik terhadap

Aborigin dan ke-Aboriginan dalam produksi seni dapat membantu menempatkan

Aborigin dan ke-Aboriginan mereka di luar konteks „whites‟. Simona melihat

permasalahan ini dalam pertunjukan seni seperti drama. Drama yang berjudul

Gulpili mengankat isu tersebut, yaitu seorang Aborigin yang terperangkap dalam

dua dunia. Gulpilil berpakaian dan memakai atribut tradisional untuk menekankan

keterikatan dengan identitas Aborigin. Dalam cerita Gulpilil tersebut, David

Gulpilil menyebutkan bagaimana keterikatannya dengan keturunan Aborigin dan

adanya keterikatan dengan tanah Aborigin. Dalam melihat isu yang diangkat

dalam drama Gulpilil ini, Simona menggunakan kritik dari Acheite yaitu tentang

testimonio critique yang menyebutkan adanya relasi dengan hal politis dan potensi

untuk subversi. Menurut Simona, drama Gulpilil ini mengotentikasi identitas

Aborigin berdasarkan pada budaya dan garis keturunan/silsilah; dan juga

menentang image Aborigin yang stereotipikal (yaitu yang berdasarkan perspektif

„whites‟). Simona mengungkapkan bahwa adanya negosiasi yang kompleks antara

bagaimana Aborigin digambarkan, direpresentasikan, dan diinterpretasikan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian terhadap karya

Kim Scott, Benang, masih mengungkapkan persoalan tentang kekuasaan kulit

putih terhadap Aborigin dan dilawan dengan perspektif Aborigin. Meskipun

begitu, kedua penelitian tersebut di atas tentang novel Benang, tidak menjangkau

permasalahan identitas Aborigin maupun kaitannya dengan spatial politics.

12

Penelitian yang lain terhadap sastra indigenous Australia yang mengangkat

permasalahan nasionalisme maupun kaitannya dengan kondisi pascakolonial juga

belum menyentuh pada permasalahan akan identitas Aborigin dan kaitannya

dengan spatial politics. Untuk itu, peneliti mengangkat isu tentang identitas

Aborigin dan melihat kaitannya dengan spatial politics—bahwa Kim Scott dalam

Benang menciptakan ruang untuk resisten terhadap idealisme kolonial terhadap

identitas Aborigin.

1.6 Landasan Teori

Teori yang akan digunakan dalam menjawab rumusan masalah di atas

adalah teori tentang pascakolonial, secara khusus yaitu tentang ruang dan

kaitannya dengan identitas. Teori ruang pascakolonial diuraikan oleh Sara

Upstone dalam bukunya, Spatial Politics in the Postcolonial Novel. Selain itu,

konteks pascakolonial Australia dan konsep indigeneity juga akan dilihat dalam

kaitannya dengan ruang dan identitas.

1.6.1 Pascakolonialisme

Pada awalnya „pasca‟ dalam pascakolonial merujuk pada periode atau

kronologi, di penghujung 1970-an, „pasca‟ tidak lagi merujuk pada periode

maupun kronologi; tetapi pascakolonialisme ini digunakan oleh para kritikus

sastra untuk mendiskusikan berbagai macam efek yang ditimbulkan dari sebuah

proses kolonialisme, seperti yang disebutkan oleh Aschroft et al. seperti efek

secara kultural maupun secara sosialnya (Aschroft et al., 2001: 189).

13

“From the late 1970s critics have been using the term ‘postcolonial’ to

discuss various cultural/political/linguistic effects and experiences

triggeres off by colonization which gave rise to the so-called colonial

discourse theory.” (Polak, 2005: 136)

Polak juga menegaskan bahwa „pasca‟ dalam pascakolonial tidak berarti

kronologi (periode setelah kolonialisme) tetapi lebih mengarah sebagai produk

dari kolonialisme. Teritikus seperti Said, Bhabha, dan Spivak menekankan pada

„to distinguish postcolonial studies as a field from colonial discourse theory per

se, which formed only one aspect of many approaches and interests that the term

postcolonial sought to embrace‟—„pasca‟ yang berarti untuk menjelaskan

sebagai kajian (studi), membedakannya dari teori wacana kolonial (Aschroft

dalam Polak, 2005: 136). Menurut Mishra, „pascakolonialisme‟ juga bukan berarti

sebuah penanda atau batasan dari sebuah periode, tetapi menunjukan adanya

seperangkat „heterogenous moments‟ yang muncul dari proses kesejarahan yang

berbeda (Mishra dalam Polak, 2005: 137).

Teori pascakolonial ini menginvestigasi adanya kolonialisme Eropa dan

melihat bagaimana respon dari masyarakat yang memiliki pengalaman

kolonialisme tersebut. Berawal dari konsep pemikiran Said tentang wacana Timur,

yaitu adanya keterkaitan pengetahuan Barat dengan kekuasaan kolonial;

kekuasaan beroperasi dalam ilmu pengetahuan dan juga sebaliknya, sehingga

Timur menjadi sebuah produksi ilmu pengetahuan bagi Barat sebagai landasan

untuk menanamkan kekuasaan “the processes by which the West ‘knows’ the

Orient have been a way of exerting power over it (Aschroft dan Ahluwalia, 1999:

8)”. Teori pascakolonial mempertanyakan kembali bagaimana pengalaman

material yang dialami oleh terjajah (Timur) dipahami di luar dari proses-proses

14

representasi tersebut. Keteraturan atau batas yang rigid sebagai warisan kolonial

tidak bisa benar-benar terwujud, hal ini menimbulkan pertentangan yang justru

mengaburkan batas-batas tersebut. Dengan kata lain, teori pascakolonial ini akan

membongkar warisan-warisan kolonialisme.

1.6.2 Ruang Pascakolonial dan Ruang dalam Beberapa Skala

Adapun teori pascakolonial yang akan digunakan dalam penelitian ini

yaitu teori spatial politics dari Upstone. Teori ini menawarkan sebuah pandangan

pascakolonial yang lebih spesifik tentang ruang. Menurut Upstone konsep

pascakolonial dalam politik ruang yaitu sebuah konsep alternatif, bahwa ruang

tidak hanya berakar pada politik sebuah negara tetapi direfleksikan melalui ruang-

ruang yang membentuk pengalaman pascakolonial (Upstone, 2007: 1). Ruang-

ruang yang dipaparkan Upstone ini meliputi ruang bangsa (nation), perjalanan

(journey), kota (city), rumah (home), dan tubuh (body).

Space (ruang) direpresentasikan melalui place (tempat) yang bisa

diidentifikasi; sedangkan ruang menjadi sebuah konsep dari identifikasi tersebut.

Upstone menggunakan ruang untuk menjelaskan fluiditas (kecairan) dan

keterbukaan dari ruang yang dianggap berbeda dengan tempat yang lebih fisikal.

Dengan adanya kolonisasi, ruang dapat dimanifestasikan secara fisik, misalnya

melalui teritori. Manifestasi secara fisik ini memudahkan penguasa kolonial untuk

melakukan pemetaan, sehingga ruang tersebut bisa dibatasi dengan konstruksi

kolonial.

15

Dalam pemahaman pascakolonial, batas kolonial dibaca sebagai myth

(mitos) karena sengaja diciptakan; batas kolonial bukan sesuatu yang natural.

Batas-batas yang dibuat oleh penguasa kolonial tersebut merupakan tindakan yang

dilakukan secara sadar dan sengaja dengan tujuan untuk mengamankan

kekuasaannya. Upstone menggunakan istilah overwriting dalam penjelasan

tentang ruang; yaitu apa yang pernah dituliskan dihapus kemudian digantikan

dengan representasi yang baru—ruang yang sebelumnya digantikan dengan ruang

yang baru (bisa melalui pergeseran skala ataupun ruang alternatif). Dalam

penghapusan tersebut (apa yang pernah ditulis) akan menyisakan jejak.

Dari perlakuan penguasa kolonial justru menampilkan keberagaman

muncul dalam ruang. Keberagaman ini dapat dibaca sebagai pelanggaran terhadap

batas kolonial, yang disebut sebagai chaos. Dalam konteks pascakolonial, chaos

bukan dilihat sebagai sesuatu yang negatif tetapi chaos merupakan konsep yaitu

melepas sesuatu yang sudah tetap dan membuka ruang tersebut dengan beberapa

kemungkinan melalui pola pemahaman dan pengalaman baru ”[…] postspace

must be read as acknowledging the chaos inherent in both conceptual space and

its realization in material place” (Upstone, 2009: 16). Ruang yang memunculkan

chaos melihat adanya keberagaman dalam ruang yang oleh penguasa kolonial

dibatasi dan didefinisikan melalui praktik imperialisme.

Pelanggaran terhadap batas kolonial kemudian akan memunculkan

postspace; yaitu ruang alternatif yang diciptakan oleh penulis-penulis

pascakolonial sebagai ruang yang memungkinkan adanya resistensi dan (atau)

subversi. Karya sastra dipandang sebagai ruang yang mampu memunculkan

16

alternatif dan juga resistensi. Sehingga dalam studi pascakolonial tentang ruang

ini melihat kemungkinan ruang alternatif dan resistensi tersebut dalam sebuah

karya sastra.

Dalam Upstone ruang dijelaskan dalam beberapa skala yaitu skala nation,

perjalanan, kota, rumah, dan yang paling personal adalah skala tubuh. Dalam

nation terdapat sebuah konstruksi kolonial serta tempat dimana kontrol kolonial

terhadap indigenous itu ada. Nation menjadi sebuah perpanjangan hierarki

kolonial yang kehilangan sisi politisnya. Hal ini tercermin dari adanya eksklusi

dan eksploitasi terhadap indigenous. Nation juga menjadi tempat dimana

penyatuan atas nilai-nilai yang diasosiasikan dengan bangsa dijadikan sebuah

nasionalisme—adanya homogenizing (homogenisasi), sehingga nasionalisme

dilihat sebagai alat untuk menghomogenkan nation.

Pandangan tersebut berbeda dengan pascakolonial bahwa batas kolonial

tersebut bisa dioverwrite; yaitu dengan melihat adanya suara-suara heterogen di

dalam ruang nation. Suara heterogen ini dibaca sebagai chaos yang yang bisa

menggeser nation keluar atau melampaui batas kolonial, yaitu postspace yang

mampu memberikan alternatif dalam melihat nation dengan mengangkat

„selfhood‟ (nilai tentang diri) yang bisa menghancurkan image komunal

(homogen). Kemudian, alternatif yang ditawarkan yaitu penggeseran dari nation

menjadi transnation. Bentuk resistensi pada ruang nation berpindah pusat ke

transnation, karena menurut Gilroy dalam Upstone: transnation lebih mewadahi

suara yang heterogen tersebut (Upstone, 2009: 32). Meskipun begitu resistensi

17

memungkinkan adanya pergeseran skala (baik ke yang lebih kecil ataupun lebih

besar) yang dioperasikan secara lebih politis.

Selain nation, perjalanan dilihat sebagai ruang yang lebih chaotic (tidak

teratur) dan tanpa batas. Bagi penulis pascakolonial perjalanan menjadi sangat

penting karena melepaskan banyak ketegangan akan lokasi yang pasti. Ruang

perjalanan menjadi representasi untuk keluar dari batas nation karena adanya

transferal (perpindahan) tubuh dari satu ruang ke ruang yang lain. Perpindahan ini

memanfaatkan chaos sebagai akibat dari adanya aturan dan batas kolonial.

Dalam pandangan ruang pascakolonial, perjalanan dipahami sebagai ruang

yang terus bergerak merepresentasikan adanya perpindahan dengan menolak

konsep waktu dan lokasi yang pasti. Berbeda dengan colonial journey (perjalanan

dalam pandangan kolonial) yang menolak adanya kecairan, pergerakan, ataupun

ketidakteraturan, sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut ini:

“Indeed, while the colonial journey may be seen as the process of travel in

the literal sense, it is not necessarily one of movement in the sense of

representing change, making the colonial journey into paradox centered

around the colonial traveller’s transferal of their own values to new

setting. The colonial traveller is continually denying the fragility of new

constructions of belonging: the tumultuous (chaotic) nature of relocation

is quickly lost. […] in the postcolonial narrative is often a new kind of

journey: one with no final arrival or departure, without the desire for

settlement but instead filled with potential of constant, chaotic movement.”

(Upstone, 2009: 59)

Konsep kolonial memandang yang semula unknown, misterius, dan tidak

teridentifikasi kemudian dipetakan sehingga bisa dikontrol. Padahal perjalanan

menjadi suatu ruang yang melampaui batas—yang lebih besar dari skala nation,

ruang yang mewadahi suara hibrid. Upstone melihat adanya re-play dalam ruang

perjalanan, yaitu pengulangan tidak sempurna ditujukan untuk resistensi atau

18

subversi. Pengulangan diakibatkan dari refleksi masa lampau yang dioverwrite

seiring munculnya chaos. Sehingga menawarkan ruang alternatif yang ditandai

dengan: adanya posisi limbo dan disjunction (keterpisahan). Posisi limbo ini

mengesampingkan teritori dan waktu yang pasti (Upstone, 2009: 80). Upstone

juga menggunakan istilah Spivak yaitu strategic nomadism; bukan hanya sampai

ke tempat tujuan tetapi benar-benar bergerak, menciptakan suatu perjalanan yang

memecah konsep teritori yang pasti, ruang yang cair, dan mewadahi banyak suara

beragam. Sehingga identitas yang muncul adalah the nomad.

Dari skala perjalanan, alternatif lain yang ditawarkan adalah skala yang

lebih kecil yaitu ruang kota. Penulis pascakolonial mempertanyakan keeratan

hubungan antara kota yang imajiner (kota yang diimpikan) dengan realitas

materil. Kota imajiner dilekatkan dengan wacana utopia; bahwa kota

direpresentasikan dengan kesempurnaan, sesuai dengan yang diimajinasikan, dan

diidealkan. Dengan begitu wacana utopia ini mengesampingkan realitas yang ada.

Idealisasi ini memberikan kontrol pada ruang urban tersebut.

Representasi kota pascakolonial tidak semata-mata menolak utopia. Dalam

novel pascakolonial, utopia dihadirkan dalam konsep yang tradisional: yaitu yang

menawarkan „nowhere‟ (tidak berada pada masa lampau maupun bergantung pada

masa depan) sebagai letak dasar realitas yang ditolak dengan menghadirkan

dystopia; “[…] they illuminate the intensly subjective nature of urbanity: the one

person’s utopia is another’s dystopia” (Upstone, 2009: 93). Realitas yang ditolak

itu memunculkan ketimpangan yang ditandai dengan adanya pengotak-kotakan

(labyrinth) di dalam ruang kota. Dengan ketimpangan yang ada dalam ruang kota

19

menjadikan kota sebagai ruang untuk resistensi dan subversi melalui displacement

dan karnivalisasi. Displacement dapat dilihat melalui ekspresi identitas dan

hubungan antar individu di ruang publik atau ruang yang lebih terbuka, yang

menumbuhkan rasa „menjadi bagian‟ dari kota tersebut. Karnivalisasi dapat dilihat

dari hibriditas yang ada dalam ruang kota. Sehingga identitas yang muncul yaitu

identitas heterogen yang bisa melemahkan wacana kekuasaan dalam ruang publik.

Ini merupakan sebuah strategi bahwa identintas yang bersifat heterogen berusaha

dihomogenkan oleh kekuatan kolonial; dalam ruang ini terdapat resistensi

terhadap wacana kolonial tersebut.

Rumah menjadi ruang yang lebih kecil dan lebih fisikal. Berdasarkan

wacana kolonial, rumah difungsikan sebagai: lokasi yang diidealkan dan

diapolitisasi. Contoh: domesticity—ruang domestik yang nilai politisnya ditolak,

digunakan untuk mengkonstruksi ruang. Rumah sebagai ruang kolonial seringkali

tidak dilihat apa adanya sebagai rumah; yaitu dimana ada kontestasi kekuasaan.

Pandangan kolonial tersebut menentukan hierarki ruang rumah seperti misalnya

hierarki gender bahwa laki-laki memegang peranan politis dan publik.

Pascakolonial melihat rumah sebagai ruang dimana ada strategi untuk

resisten dan subversif terhadap wacana kolonial. Sedangkan rumah kolonial

dilihat sebagai sesuatu yang pasti, berakar, dan stabil (George dalam Upstone,

2009: 117); rumah terjaga, rapi dengan tujuan untuk memperthankan batas

kolonial melalui praktek domestik. Kompleksitas yang ada di dalam rumah justru

memberi refleksi akan ketidakteraturan yang terdapat pada ruang rumah;

menggeser apa yang diidealkan ke realitas sehingga ruang menolak wacana

20

kolonial. Rumah pascakolonial melihat adanya konsep deteritorialisasi:

menghilangkan batas yang pasti dan memungkinkan adanya signifikasi baru

terhadap ruang domestik. Rumah sebagai ruang yang lebih cair yang mengungkap

adanya ruang marginalisasi dimana sektor privat terpisah dari yang publik

(Upstone, 2009: 133). Ruang rumah pascakolonial juga merepresentasikan

nostalgia dan juga percampuran berbagai budaya.

“The home is no longer a metaphor for a national ideal, denied in order to

secure its strategic function. Rather, it is now an acknowledged metaphor

for a fluid frame of mind that intends to dissolve solid notions. This is

precisely the distanced and provisional metaphor—the postcolonial—that

I have outlined.” (Upstone, 2009: 134)

Penulis pascakolonial melihat rumah sebagai ruang yang dipolitisasi yang

difungsikan secara metonimi; dan berhubungan dengan tempat dimana

memungkinkan adanya resistensi mensubversi wacana kolonial. Secara singkat,

ruang rumah sebagai cara untuk mempertanyakan adanya perbedaan kelas dalam

masyarakat dan membuka diri menjadi sebuah ruang politis.

Dalam teks pascakolonial, wilayah yang sering dipandang penting untuk

dilihat yaitu dalam skala yang lebih luas dan general; akan tetapi Upstone

memaparkan ke dalam skala yang lebih privat seperti tubuh. Dalam pembacaanya

terhadap teks-teks pascakoloial, Upstone melihat peran yang sangat signifikan

dari „tubuh‟ sebagai ruang dimana dominasi kolonial dan kontrol bisa ditanamkan.

Sebagai ruang kolonial, tubuh dianggap memiliki sejarah kolonial dengan batas-

batas yang pernah dipetakan oleh penguasa kolonial. Upstone melihat bahwa

tubuh itu definitive atau terdefinisikan, seperti dalam kutipan berikut:

“The postcolonial novel can, therefore, one level to be seen to reflect the

centrality of the body to colonial power, the fact that the body is an

21

imperial target and, indeed, bears a legacy of bodies marked and defined

by outside forces” (Upstone, 2009: 151).

Pandangan Upstone tersebut, tubuh yang terkoloni (the colonized body) bisa

ditandai dan didefinisikan melalui kekuatan dari luar, yang berarti kontrol atas

tubuh tersebut menjadi sebuah kekuatan dari luar yang membatasi tubuh yang

terkoloni tersebut. Pandangan Upstone ini dipengaruhi oleh pandangan Foucault

tentang tubuh yaitu tubuh dilihat sebagai produk budaya sehingga bisa

dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan dari luar melalui wacana tentang tubuh

(Upstone, 2009: 161-2).

Melalui metafora dan metonimi, tubuh kemudian didefinisikan. Nilai-nilai

kolonial dilekatkan kepada tubuh yang terkoloni. Definisi melalui penandaan

maupun klasifikasi yang manipulatif tersebut sebagai bukti adanya kontrol untuk

menguasai tubuh tersebut, sedangkan definisi dan penandaan yang manipulatif

tersebut menyebabkan tubuh terbatasi seakan batas itu stabil dan homogen. Dari

semua pengalaman kolonial tersebut yang dialami oleh tubuh, dalam pandangan

pascakolonial, jejak-jejak tersebut masih tertinggal. Dalam tubuh yang terkoloni

tersebut ada ruang yang terhubung dengan pengalaman dan waktu dimana jejak-

jejak kolonisasi pernah terjadi. Sehingga tubuh dianggap sebagai ruang

pascakolonial, yaitu ada tautan antara jejak masa lampau dan ada reaksi serta efek

dari jejak kolonial yang pernah ditinggalkan tersebut.

Dalam konteks pascakolonial, tubuh tidak lagi kaku dengan batas-batas

kolonial tetapi mempertanyakan definisi yang sudah tetap tersebut. Dalam hal ini,

penulis-penulis novel pascakolonial memberikan negosiasi yang kompleks

tentang tubuh. Negosiasi tersebut bukan sebuah penolakan terhadap tubuh itu

22

sendiri tetapi lebih melihat bagaimana tubuh tersebut memiliki kemungkinan

diimperialisasi, sehingga menolak apa yang telah didefinisikan oleh penguasa

kolonial tersebut (Upstone, 2009: 162). Tubuh menjadi ruang yang cair, yang bisa

keluar dari batas kolonial. Dalam level ini, Upstone menggunakan istilah „chora‟

yang digagas oleh Ponty. Chora melawan apropriasi ruang kolonial; bagian dari

tubuh atau teritori yang lain (Upstone, 2009: 163). Sehingga chora menjadi ruang

yang cair, yang bukan menjadi salah satu biner yang dioposisikan; keluar dari

kategorisasi yang absolut. Tubuh chora ini dilihat memiliki kemampuan untuk

bertransformasi, karena sifatnya yang cair, “[…] how the body can shift time

frames and how the boundaries of the body may become fluid [...]” (Upstone,

2009: 168).

Dalam istilah yang dikonsepkan oleh Upstone, chora memiliki posisi

seperti postspace, yaitu memiliki kecairan, bahwa tubuh sebagai ruang yang

berada melampaui batas atau bahkan tanpa batas. Batas-batas yang dilanggar ini

menimbulkan chaos, akan tetapi chaos ini dilihat sebagai potensi untuk tubuh

bertransformasi. Lokasi potensial ini juga sebagai strategi spasial yang sering

dilakukan oleh para penulis pascakolonial; yaitu dengan membongkar serta

memungkinkan untuk menanmkan pandangan-pandangan baru terhadap tubuh di

luar dari tradisi kolonial yang pernah membatasi. Strategi ini, oleh Upstone,

dipandang potensial untuk melakukan resistensi dan menyingkap jejak kekuatan

individu. Chora berperan menjadi ambiguitas antara tubuh yang memasuki tubuh

lain dengan penolakan-penolakan atas definisi bentuk fisik; tubuh yang berada

dalam postspace untuk memecah oposisi dialektik (Upstone, 2009: 179).

23

1.6.3 Korelasi Ruang dengan Identitas Pascakolonial

Upstone menyebutkan bahwa puncak dari totalisasi atau keabsolutan yang

diciptakan oleh penguasa kolonial berdampak pada lokalitas dan hak-hak

indigenous; selain itu juga sebagai tindakan dukungan terhadap konstruksi

identitas (Upstone, 2009: 5). Ruang fakta-fakta yang dinegosiasikan melalui ruang

yang dituliskan kembali menjadi penekanan terhadap identitas. Efek material yang

ditimbulkan dari kolonisasi bukan hanya pada teritori tetapi juga pembentukkan

identitas bagi yang dikoloni; sehingga identitas dipandang erat hubungannya

dalam melihat permasalahan pascakolonial.

“The identity created in such a space quite often potrays the indigenous

citizen as an absolute space also, with a body marked by characteristics

that can accorded not on the basis of community, but on the basis of an

imperial perception: a fixed boundary and a foreign language. In the

colonial appropriation of space it is identity that risks being lost, as the

imposition of an absolute threatens to oppress all it subsumes.” (Upstone,

2009: 6)

Kutipan tersebut di atas menjelaskan bahwa identitas dibentuk dalam

sebuah ruang absolut; dan keabsolutan sebagai bentuk kolonial ini dipraktikan

melalui batas-batas seperti apropriasi maupun manipulasi. Pandangan kolonial

yang membentuk identitas tersebut pada akhirnya mengesampingkan pandangan

yang berbasis komunitasnya; seperti contohnya identitas Aborigin yang dibentuk

berdasarkan wacana kolonial adalah tidak berdasar pada pandangan atau persepsi

Aborigin. Perbedaan inilah yang pada akhirnya menimbulkan „chaos‟—bahwa

idealisme atau batas kolonial itu dikacaukan dengan kemungkinan atau pola

pemahaman yang lain.

24

Dari penjelasan di atas, identitas erat hubungannya dengan persoalan

dalam masyarakat pascakolonial. Upstone menegaskan bahwa ruang yang chaotic

atau kacau menjadi sumber penulisan kembali terhadap kondisi masyarakat

pascakolonial dan isu yang diakibatkan oleh kondisi tersebut, yaitu identitas

(Upstone, 2009: 15). Ruang membuka kemungkinan dan potensi adanya

transformasi identitas ataupun adanya identitas yang dioverwrite. Dengan adanya

peran ruang sebgai sumber atau situs untuk menuliskan kembali identitas, maka di

dalam ruang terdapat negosiasi—menawarkan untuk keluar dari batas absolut

yang coba diperlakukan dalam ruang tersebut. Dengan hadirnya chaos dalam

ruang, identitas dalam interpretasi baru menjadi sebuah identitas alternatif, yang

memungkinkan juga adanya penolakan terhadap idealisme atau kategorisasi

absolut terhadap identitas tersebut.

1.6.4 Konteks Pascakolonial Australia dan Konteks Indigenous Australia

Sastra Australia bukan hanya menjadi sebuah produk kolonialisme tetapi

juga sebagai tinjauan tentang akar kesejarahan Australia sebagai nation yang

bukan hanya berdasarkan pada batas geografisnya saja. Sastra Australia, menurut

Huggan, lebih konstitutif daripada reflektif (Huggan, 2007: vi); yang berarti

bahwa sastra Australia menjadi bagian dari relasi sosial di Australia. Melalui

wacana yang diproduksi dalam teks-teks sastra, wacana tentang isu rasial juga

terus diproduksi di dalam ataupun di luar konteks nasional. Secara historis,

Australia sebagai negara settler colonies—negara yang didatangi oleh kulit putih

untuk dihuni; dengan latar kesejarahan sebagai settler colonies ini, Australia

25

mencakup isu tentang relasi sosial. Oleh karena itu, munculnya antagonisme

terhadap ras tertentu menimbulkan isu tentang identitas nasional yang kabur.

Sastra Australia pada akhirnya mencapai titik dimana ada sebuah selebrasi akan

nilai-nilai tertentu mengenai nasional; hal ini bukan berarti selalu merespon

tentang nation tetapi adanya kecenderungan yang disebut dengan Australianness

yang menjadi fokus dalam pembahasan sastra Australia ini.

Pemikiran Huggan tentang Australianness masih terbilang kabur, terutama

dalam cakupan indigenous Australia (Aborigin) dan dalam teks-teks literatur

Aborigin terutama yang ditulis oleh penulis keturunan Aborigin. Berdasarkan apa

yang disampaikan oleh Huggan, sastra Australia telah membantu Australia

menjaga Australianness atau ke-Australiaannya. Australia dalam konteks

pascakolonial tidak dilihat sebagai nation yang tunggal—Australia terdiri dari

banyak nation yang saling bercampur; yang kemudian disebut sebagai

transnasional. Kompleksitas tersebut—transnasional—membongkar adanya batas

yang keluar dari nation. Berhubungan dengan pemikiran yang diangkat oleh

Huggan tentang Australianness dan transnasional, sastra indigenous Australia

(Aborigin) juga mempertanyakan batas nasional tersebut serta hubungannya

dengan konstruksi identitas yang menjadi tema besar dalam sastra Australia.

Konsep-konsep Huggan kurang mewadahi bagi sastra indigenous

Australia (Aborigin), karena (1) sastra Australia yang Huggan sebutkan adalah

sastra yang merespon kepentingan nasional, yaitu nation yang disebut setelah

kedatangan para settlers; cakupan ini kurang merepresentasikan sastra indigenous

Australia. Selain itu, (2) ide tentang Australianness menjelaskan kompleksitas

26

akan perbedaan budaya dan adanya identitas yang tidak tunggal untuk menjadi

bagian dari Australia; sedangkan indigenous Australia (Aborigin) tersebut tidak

termasuk dalam klasifikasi kelompok etnik tertentu. Untuk memasukan

indigenous ke dalam kelompok etnik tertentu adalah terlalu hegemonik;

sebagaimana dijelaskan oleh Van den Berg bahwa kelompok etnik adalah

klasifikasi hegemonik yang konstruktif dari pandangan kulit putih terhadap non-

whites (Van den Berg, 36). Sedangkan Van den Berg menyebutkan bahwa

Aborigin telah tinggal di tanah Australia sekitar 60.000 tahun lebih sebelum

kedatangan settlers.

Pandangan Van den Berg ini didukung oleh pandangan Ashcroft tentang

pembacaan sastra Australia sebagai pascakolonial. Ashcroft berpendapat bahwa

wacana yang ada dalam sastra Australia mengajak diri untuk menolak adanya

wacana dominan yang ditimbulkan dari imperialisme (Ashcroft dalam O‟Reilly,

2010: 18). Munculnya transformasi dan banyak kemungkinan dalam sastra

Australia menjadi salah satu bentuk resistensi terhadap wacana dominan imperial

(Aschroft) atau pandangan hegemonik (Van den Berg). Dalam sastra Australia,

resistensi ini muncul melalui representasi ruang, tempat, bahasa, dan sejarah

(Ashcroft dalam O‟Reilly, 2010: 19). Seperti halnya Upstone juga melihat adanya

kemungkinan untuk resistensi dalam novel pascakolonial melalui ruang-ruang

yang diciptakan oleh penulis pascakolonial dalam representasi yang berbeda-beda.

Huggan lebih menyoroti ruang nation yang bergeser menjadi transnasional

dalam sastra Australia, hal ini kurang mewadahi sastra Aborigin yang kurang bisa

masuk dalam kategori yang disebutkan oleh Huggan. Ruang yang transnasional

27

tersebut memunculkan identitas yang tidak tunggal; tetapi identitas ini lebih

ditujukan pada kelompok imigran yang datang setelah settlers. Hal ini menjadi

problematis dalam cakupan sastra Australia dan dalam melihat isu-isu tentang

indigenous berdasarkan konteks indigenous. Konsep yang ditawarkan oleh

Timperly melalui indigeneity membantu dalam melihat isu-isu indigenous tersebut

dalam konteks indigenous Australia (Aborigin). Indigeneity didasarkan pada

sebuah konstelasi; yaitu melihat objek dengan deskripsi dan eksplanasi yang

komprehensif. Konstelasi yaitu dengan menggabungkan beberapa aspek yang

berbeda untuk melihat suatu objek; yaitu seperti pengalaman dan kesejarahan

pada kelompok Aborigin tertentu. Indigeneity digunakan untuk melihat bagaimana

indigenous dilihat bedasarkan konteks indigenous dan melihat bagaimana menjadi

bagian dari kelompok masyrakat indigenous tersebut—self identification.

Timperly mengungkapkan bahwa beberapa pandangan tentang indigenous masih

opresif, sehingga perlu adanya pemahaman tentang indigenous dengan melihat

ruang lain yang direfleksikan melali pengalaman dan kesejarahan yang berbeda,

“This diverse definition may also reduce the possibility of collective action

and power through deemphasizing shared histories, identities, and

characteristics of indigenous peoples (Timperley, 2014: 11).

Jadi untuk melihat identitas indigenous bukan didasarkan pada aksi kolektif

maupun kekuatan kolektif untuk mendapatkan hak-hak indigenous, tetapi

berdasarkan pada konstelasi seperti yang telah dijelaskan di atas.

Indigeneity yang dijelaskan oleh Timperley ini menunjukan adanya ruang

alternatif untuk melihat identitas indigenous, yaitu bukan berdasarkan pada

konsep Huggan tentang ruang transnasional yang membentuk identitas tidak

28

tunggal, tetapi didasarkan pada ruang yang membentuk pengalaman dan

kesejarahan berbeda di tiap kelompok masyarakat indigenous. Dalam Upstone

dijelaskan bahwa ruang yang membentuk pengalaman adalah ruang yang lebih

personal seperti rumah dan tubuh. Sehingga ruang rumah dan tubuh ini

ditawarkan sebagai alternatif dari ruang nation. Indigeneity yang didasarkan pada

konstelasi ini menolak adanya definisi atau identitas yang opresif; pandangan dari

kulit putih terhadap Aborigin. Sehingga menempatkan identitas Aborigin bukan

dalam ruang nation Australia tetapi pada pengalaman dan kesejarahannya, yaitu

melalui ruang rumah dan tubuh. Identitas indigenous yang muncul bukan lagi

identitas nasional ataupun transnasional, melainkan identitas yang keluar dari

batas tersebut, memecah oposisi dialektik yang ditetapkan oleh kolonial, yaitu

berdasarkan konteks indigenous Australia (Aborigin). Secara khusus, kelompok

Aborigin yang akan dibahas adalah Nyoongar, yang terdapat dalam novel Benang.

1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu cara tertentu yang digunakan dalam

suatu penelitian untuk memecahkan atau menjawab masalah yang diajukan.

Terdapat dua metode dalam penelitian, yakni (1) metode pengumpulan data yang

berarti seperangkat cara atau teknik untuk mendapatkan fakta-fakta empirik terkait

dengan masalah penelitian sastra, dan (2) metode analisis data, yakni seperangkat

cara atau teknik untuk menarik relasi antara satu data dan data lain yang bermuara

pada suatu pengetahuan ilmiah (Faruk, 2012:24-5). Di dalam metode tersebut

terdapat cara untuk memperoleh pengetahuan tentang adanya objek sehingga

29

dapat membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis yang dibuat. Oleh

karena itu, pengetahuan yang benar adalah yang sesuai dengan objek

(Poedjawijatna dalam Faruk, 2012: 23).

Sehingga, sebelum kedua langkah metode tersebut dilaksanakan, maka

perlu ditentukan terlebih dahulu objek dari penelitian ini. Objek penelitian

merupakan fakta emprik yang dimungkinkan adanya penyelidikan ilmiah dan

pemerolehan pengetahuan ilmiah. Objek penelitian ini kemudian bisa

dikategorikan menjadi objek material dan objek formal. Objek material yaitu

objek yang menjadi lapangan penelitian; sedangkan objek formal adalah objek

yang dilihat dari sudut pandang tertentu (Faruk, 2012: 23). Objek material dalam

penelitian ini yaitu novel Benang karya Kim Scott. Dari novel tersebut, peneliti

menentukan objek formal penelitian yaitu ruang pascakolonial serta kaitannya

dengan identitas.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa ada dua tahap meneliti,

pengumpulan data dan analisis data. Metode pertama akan diaplikasikan untuk

mengumpulkan data dari objek material dan formal penelitian ini. Setelah data

dikumpulkan, tahap selanjutnya yaitu menganislis data tersebut. Analisis data ini

berdasarkan teori yang digunakan dalam peneletian ini, yaitu teori politik spasial

Sara Upstone untuk mengungkap dan menjawab pertanyaan dari permasalahan

penelitian.

30

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, data yang dikumpulkan yaitu terdiri dari data primer

dan data sekunder. Data primer didapatkan dari objek material yaitu novel Benang

karya Kim Scott. Kemudian data sekunder diperoleh dari buku, artikel, jurnal,

maupun hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan penelitian. Baik data

primer dan sekunder kemudian akan diseleksi sesuai dengan objek formal

penelitian.

Dalam proses pengumpulan data, yang pertama kali dilakukan yaitu

dengan membaca novel Benang karya Kim Scott. Kemudian mengidentifikasi

narasi dan dialog di dalam novel Benang sesuai dengan aspek kajian penelitian

ini, yaitu tentang bagaimana ruang pascakolonial digambarkan dalam novel,

korelasi ruang dengan identitas, serta konstruksi ruang dan identitas dalam

konteks pascakolonial Australia. Setelah itu, data tersebut diseleksi sesuai aspek-

aspek tersebut. Untuk mendukung proses penyeleksian dan pengelompokan data,

tahap ini didukung oleh sekelompok data sekunder seperti jurnal, artikel

penelitian, dan buku-buku yang berkaitan dengan objek material dan formal

penelitian ini.

1.7.2 Metode Analisis Data

Data yang sudah diseleksi dan dikelompokkan ini kemudian akan

dianalisis dengan menghubungkan satuan-satuan tekstual tersebut sesuai dengan

konsep teoritis yang digunakan, yaitu teori spatial politics. Pertama, penulis akan

menggambarkan ruang yang melanggar batas—yang berisikan chaos dan

31

mengalami overwriting. Selanjutnya peneliti menjelaskan adanya korelasi ruang

dengan identitas Aborigin—konsep mengenai ruang menjadi sumber untuk

penulisan kembali (overwrite) kondisi masyarakat pascakolonial seperti identitas;

menjelaskan posisi ruang dalam konstruksi identitas. Selanjutnya, posisi ruang

dan identitas tersebut dilihat dalam konteks pascakolonial Australia. Proses

menganalisis data ini dilakukan dengan menjawab pertanyaan permasalahan

penelitian berdasarkan data yang telah dikelompokkan tersebut sesuai dengan

teori politik spasial.

1.8 Hipotesis dan Variabel

Hipotesis merupakan sebuah kesimpulan atau jawaban sementara yang

ditetapkan berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian (Faruk,

2012: 21). Adapun hipotesis dari pertanyaan masalah yang telah dirusmuskan di

atas adalah sebagai berikut:

a) Ruang pascakolonial dalam novel Benang dapat digambarkan melalui

chaos yang ada pada ruang dalam beberapa skala.

b) Ruang berkorelasi dengan identitas pascakolonial dengan menjadikan

ruang sebagai sumber untuk menuliskan kembali (overwrite) kondisi

masyarakat pascakolonial (seperti identitas).

c) Posisi konstruksi ruang dan identitas dalam konteks pascakolonial

Australia adalah saling mempengaruhi.

Dari hipotesis yang telah disebutkan di atas, maka variabel yang dapat

ditentukan yaitu ruang, chaos, overwriting, identitas, dan konteks pascakolonial.

32

Variabel independen yaitu chaos dan konteks pascakolonial; sedangkan ruang,

identitas, dan overwriting termasuk variabel dependen karena ruang dipengaruhi

oleh chaos, identitas dipengaruhi oleh ruang dan konteks pascakolonial,

sedangkan overwriting terjadi akibat adanya chaos dalam ruang.

1.9 Sistematika Penyajian

Tesis ini terdiri dari empat bab dan tiap bab dibagi ke beberapa subbab.

Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari sembilan subbab yaitu latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis dan variabel, metode penelitian, dan

sistematika penyajian laporan. Bab II yaitu analisis tentang penggambaran ruang

pascakolonial dalam novel Kim Scott, Benang. Bab III merupakan penjelasan

bagaimana keterkaitan ruang dengan identitas indigenous Australia. Bab IV yaitu

analisis tentang posisi ruang dan identitas indigenous Australia dalam konteks

pascakolonial Australia. Bab terakhir berisi kesimpulan dari tesis ini.