Upload
dotuyen
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Korupsi sudah lama melanda Negara Indonesia dan sudah menyentuh
semua aspek kehidupan masyarakat, baik dari aspek ekonomi, sosial dan budaya.
Fenomena ini semakin berkembang karena selama ini masyarakat dalam
berinteraksi, selalu memikirkan untuk mendapat keuntungan bagi dirinya. Hal ini
yang menyebabkan sebagaian besar warga masyarakat malas untuk melaporkan
oknum pejabat negara, birokrat, konglomerat dan oknum aparat hukum yang
melakukan korupsi.1
Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam tindak pidana khusus karena
bersumber pada peraturan perundang-undangan di luar KUHP.2 Di Indonesia
tindak pidana korupsi dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Selain tindak pidana khusus, tindak
pidana korupsi juga digolongkan sebagai Extra ordinary Crime atau kejahatan
luar biasa yang juga membutuhkan penanganan luar biasa.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam
pemberantasan korupsi dengan menetapkan berbagai strategi nasional, lebih-lebih
di era reformasi ini, pemerintah telah membentuk suatu lembaga yaitu lembaga
1.
Marwan Effendy, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Referensi, Jakarta, hlm. 3. 2.
Adami Chazawi, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT.Alumni,Bandung,
hlm. 1.(selanjutnya disingkat Adami Chazawi I )
2
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pembentukan Komisi Pemberantasan
Korupsi ini dibentuk agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat ditangani
secara profesional, intensif dan berkesinambungan, sehingga apa yang menjadi
tujuan KPK dapat tercapai, yakni untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dibentuknya Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ini didasari oleh ketentuan Pasal 43
ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jucto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan
bahwa “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai
berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Sejak berdirinya lembaga KPK maka institusi yang memiliki kewenangan
dalam melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi adalah Kepolisian,
Kejaksaan dan KPK. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan “KPK adalah Lembaga Negara
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun”. Kekuasaan manapun yang dimaksud yakni
semua aspek yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota
Komisi secara individu baik dari pihak legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun
pihak lain yang berkaitan dengan kasus korupsi yang sedang atau akan ditangani.
Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 menyatakan
bahwa “Penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.” Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih
3
dahulu telah dilakukan proses penyelidikan oleh penyelidik pada suatu perkara
tindak pidana yang terjadi.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP merumuskan yang dimaksud
dengan Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang
untuk melakukan penyidikan. Namun, dalam hal tertentu Jaksa juga memiliki
kewenangan sebagai penyidik terhadap perkara atau tindak pidana khusus, seperti
perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi, hal ini tercantum dalam
Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa “Kejaksaan mempunyai
wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu.”
Pasal 1 angka 5 KUHAP menyatakan pengertian penyelidikan adalah
“Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.”
Pengertian tersebut terlihat bahwa penyelidikan merupakan tindakan
tahap pertama permulaan penyidikan, namun pada tahap penyelidikan
penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang dianggap atau diduga sebagai suatu tindak pidana.3 Sedangkan pada
penyidikan, titik beratnya tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta
3.
M.Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Penyidikan Dan Penuntutan ( Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 101.
4
mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang
serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.
Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana sangat mempengaruhi tahap
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dan bila suatu penyidikan
berhenti di tengah jalan karena suatu hal, misalkan tidak ditemukannya alat bukti
yang cukup atau peristiwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana maka
dalam hal ini KUHAP memberikan kewenangan penghentian penyidikan kepada
penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang
telah dimulainya. Hal ini tercantum dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang
menyatakan bahwa : “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu
kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya.” Berdasarkan Pasal 109 ayat
(2) KUHAP tersebut setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak
penyidik secara resmi harus menerbitkan Suatu Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3).4
Berbeda dengan Kejaksaan dan Kepolisian sebagai penyidik suatu
tindak pidana, KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) dalam setiap penyidikan yang dilakukannya. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang menyebutkan “Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.”
4.
Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktis Dan
Permasalahannya, P.T. Alumni , Bandung, hlm.54.
5
Kewenangan KPK yang tidak dapat mengeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) dan penuntutan ini menimbulkan pro dan kontra
dalam masyarakat5, karena sebagian besar masyarakat menganggap bahwa tidak
berwenangnya KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) sebagai hukum dasar tertinggi di Indonesia,
hal tersebut dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.” Dan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Serta
hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP.
Pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada tindak
pidana korupsi ini juga menciptakan pencitraan negatif terhadap kinerja aparat
penegak hukum, karena dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) oleh penyidik selalu menjadi bahan pembicaraan di masyarakat
bahwa penegak hukum tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak
pidana korupsi yang terjadi di negara ini, sehingga masyarakat menghendaki agar
pelaku tindak pidana korupsi dapat diproses secara hukum sehingga mendapatkan
sanksi hukuman yang seadil-adilnya, pemberian Surat Perintah Penghentian
5. Taufiqurrohman, “Pro-Kontra Ide KPK Bisa Menerbitkan SP3 “, Kompas Rabu, 17 Juni
2015, hlm. 1.
6
Penyidikan (SP3) pada pelaku tindak pidana korupsi dinilai dapat menghancurkan
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka tidak berwenangnya KPK
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dapat dilihat dari dua
sudut pandang yang berbeda, yang pertama ditinjau dari sudut pandang hak-hak
yang dimiliki oleh seorang tersangka pada tindak pidana korupsi sekilas,
ketentuan dalam Pasal tersebut dinilai melanggar hak asasi tersangka yang juga
merupakan warga negara, sebab tanpa adanya Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3), maka seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh
KPK seolah-olah tidak lagi memiliki kesempatan untuk dipulihkan kehormatan
dan martabatnya, padahal filosofi adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3) adalah sebagai bahan koreksi bagi instrumen penegak hukum untuk
memulihkan kehormatan dan martabat tersangka, bila penyidik ternyata tidak
memiliki cukup bukti untuk meneruskan kasus ke tingkat penuntutan. Maka tanpa
adanya mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), KPK akan
memaksakan setiap kasus yang ditanganinya untuk diteruskan ke tahapan yang
lebih tinggi yaitu tahap penuntutan dan persidangan.
Berbeda halnya jika kita melihat dari sudut pandang lain, yaitu dari sudut
pandang yang kedua bahwa latar belakang dibentuknya KPK adalah sebagai
salah satu lembaga untuk menegakan hukum di Indonesia dalam usaha
pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini tercantum dan tercermin dalam
Undang-Undang No.30 Tahun 2002 bahwa wewenang yang dimiliki KPK berada
di luar sistem hukum material dan formal Undang-Undang hukum pidana yang
7
konvensional. Contoh tindakan yang tergolong non-konvensional dalam Undang-
Undang No. 30 Tahun 2002 adalah kewenangan untuk : Melakukan penyadapan
dan merekam pembicaraan (Pasal 12 ayat (1) huruf a), Supervisi terhadap instansi
lain (Pasal 6 huruf b), Mengambil alih penyidikan yang dilakukan oleh instansi
lain (Pasal 8), Melakukan penyelidikan, penyidikan dan sekaligus penuntutan
(Pasal 6 huruf c), sehingga dengan adanya kewenangan yang sangat luas tersebut
KPK disebut sebagai lembaga superbody.
Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan juga mengungkapkan bahwa
“Awalnya KPK dibentuk oleh DPR RI karena melihat situasi pemberantasan
korupsi yang perlu dikuatkan, kewenangan penyidikan bukan hanya dari
Kejaksaan Agung ataupun Polri, Dalam posisi itulah kita awalnya menyusun
dalam Undang-Undang KPK yang isinya menyatakan bahwa KPK tidak bisa
melakukan SP3.”6 Oleh karena itu semuanya dikembalikan lagi kepada landasan
sosiologis, yuridis dan filosofis Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jucto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi itu sendiri yang berusaha mewujudkan clean government dan menegakan
keadilan bagi mereka yang melakukan perbuatan menyimpang.
Terjadinya beberapa kasus pada tahun 2014-2015 belakangan ini
menimbulkan pandangan negatif masyarakat pada KPK, mereka menilai bahwa
dengan tidak berwenangnya KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
6.
Ibid.
8
Penyidikan (SP3) maka kinerja KPK dianggap tidak maksimal serta kurang teliti
dalam melaksanakan tugasnya dan memaksakan suatu kasus untuk diteruskan ke
tahapan yang lebih tinggi yaitu tahap penuntutan dan persidangan, contoh kasus
yang terjadi yaitu dikabulkannya pengajuan praperadilan penetapan tersangka
oleh Pengadilan Negeri yang berwenang, terkait kasus korupsi yang dilakukan
oleh Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, Mantan Wali Kota Makassar
Ilham Arief Sirajuddin, Dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi
Poernomo, Hakim menyatakan penetapan status tersangka pada kasus tindak
pidana korupsi tidak sah karena KPK tidak memiliki cukup alat bukti serta tidak
mengikuti prosedur yang berlaku.
Contoh Kasus Komisaris Jenderal Pol. Budi Gunawan misalnya, Hakim
Sarpin menyebutkan bahwa “KPK, dalam persidangan, menyebut penetapan
tersangka sudah melalui dua alat bukti kuat. Namun, dalam persidangan KPK
hanya menyerahkan nomor register sprindik. Penetapan tersangka Budi Gunawan,
harus dibatalkan karena tidak memiliki alat bukti kuat.”7
Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen dan
bukan merupakan lembaga inti penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia, mempunyai prosedur khusus yang digunakan untuk menegakan
hukum, salah satunya adalah KPK tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sehingga akibatnya setiap kasus
7.
Imam Sukamto ,” Lima Dalil Hakim Sarpin Menangkan Budi Gunawan” Kompas
Selasa, 17 Februari 2015.
9
korupsi yang ditangani oleh KPK harus betul-betul sesuai dengan qualifikasi yang
menjadi kewenangan KPK dan kasus tersebut harus dilanjutkan sampai proses
persidangan dipengadilan. Menurut penulis hal ini perlu dikaji lebih dalam lagi
dan dicarikan solusi yang tepat sehingga mekanisme proses penangganan tindak
pidana korupsi tetap menjujung tinggi nilai-nilai keadilan serta tetap menghormati
hak asasi setiap warga negara, sehingga tidak ada lagi persepsi penilaian negatif
masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dan KPK dalam menanggani
kasus korupsi di Indonesia. berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis
membuat penelitian ilmiah yang berjudul “URGENSI PENERBITAN SURAT
PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) OLEH KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA
KORUPSI DI INDONESIA”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka
dari itu ada dua rumusan masalah yang akan penulis angkat sebagai rumusan
masalah dari skripsi ini, yaitu :
1. Bagaimanakah koordinasi antara penyidik dari Kepolisian, Kejaksaan dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan tindak pidana
korupsi di Indonesia ?
2. Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berwenang untuk
menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam
penanganan tindak pidana korupsi ?
10
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Agar suatu masalah tidak keluar dari pokok permasalahan, maka dalam
penulisan skripsi ini ruang lingkup masalahnya hanya dibatasi pada :
1. Untuk rumusan masalah yang pertama akan di bahas tentang koordinasi
terkait tugas, wewenang dan fungsi dari Kepolisian, Kejaksaan dan KPK,
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk penanganan tindak
pidana korupsi.
2. Untuk rumusan masalah yang kedua akan di bahas tentang tidak
berwenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menerbitkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam perkara korupsi.
1.4.Orisinalitas Penelitian
Penulis menyatakan bahwa sesungguhnya penelitian yang berjudul “Urgensi
Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia” ini
merupakan pemikiran asli penulis. Beberapa penelitian terdahulu dengan jenis
yang sama ada dalam perpustakaan skripsi dan internet diantaranya :
1. Pluralisme Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Tesis
Tahun 2006) Oleh I Ketut Sudjana, Universitas Udayana. Dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana sinkronisasi dan koordinasi penyidikan dalam penyidikan
tindak pidana korupsi yang dilakukan Polisi, Jaksa dan KPK di
Indonesia?
11
b. Bagaimana cara penyelesaian/proses penyidikan tindak pidana korupsi ?
2. Ketidakwenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Untuk
Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)(Analisis
Hukum Islam Terhadap Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)) Skripsi Tahun 2009, Oleh
Ahmad Muzamil, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang.
Dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah latar belakang lahirnya ketententuan ketidakwenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengeluarkan surat
perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam Pasal 40 Undang-undang
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ?
b. Bagaimanakah tinjauan hukum pidana Islam terhadap ketidakwenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengeluarkan surat
perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam Pasal 40 Undang-undang
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ?
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pembelajaran,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
2. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu hukum dalam bidang
peradilan tentang Urgensi Penerbitan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Sehingga harapan penulis nantinya
12
masyarakat dapat mengetahui pentingnya penerbitan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
3. Untuk dapat mengembangkan diri pribadi mahasiswi ke dalam kehidupan
bermasyarakat.
1.5.2 Tujuan Khusus
Disamping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara spesifik
diharapkan mampu :
1. Agar kita dapat mengetahui tentang koordinasi terkait tugas, wewenang
dan fungsi dari Kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia untuk penanganan tindak pidana korupsi.
2. Agar kita dapat mengetahui alasan tidak berwenangnya KPK menerbitkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia.
1.6. Manfaat Penelitian
1.6.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum, terutama tentang
koordinasi terkait tugas, wewenang dan fungsi dari KPK, Kepolisian, dan
Kejaksaan tersebut, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk penanganan
tindak pidana korupsi dan alasan tidak berwenangnya KPK menerbitkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia
13
1.6.2.Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi hukum
positif dan memberikan pemikiran untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi
pemerintah dan seluruh aparat penegak hukum seperti Jaksa, Hakim, Polisi,
Advokat, Lembaga Pemasyarakatan serta lembaga lain yang terkait permasalahan
ini seperti KPK ataupun lembaga lainnya yang dalam menanggani serta
menyelesaikan permasalahan tentang koordinasi tugas,wewenang dan fungsi dari
KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi serta
Kewenangan Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
1.7. Landasan Teoritis
Pengertian atau asal kata korupsi menurut Fockema Andrea dalam Andi
Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang
berarti penyuapan. Kata corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpore yang
berarti merusak, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun
kebanyak bahasa Eropa seperti dalam bahasa Inggris : corruption, corrupt,
Perancis : corruption dan Belanda : corruptie.8
Menurut Subekti, korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya
diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi,
unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri
8. Andi Hamzah , 2006, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional Dan
Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta ,hlm.4. (selanjutnya disingkat Andi Hamzah I).
14
dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang negara untuk
kepentingannya.9
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyimpulkan
bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya. Soedarsono menyimpulkan bahwa korupsi adalah
penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat
seseorang bekerja untuk kepentingan pribadi atau orang lain.10
Berdasarkan hal tersebut maka, pemerintah telah membentuk suatu
lembaga yaitu lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tujuan
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini adalah agar pemberantasan
tindak pidana korupsi dapat ditangani secara profesional, intensif dan
berkesinambungan, sehingga apa yang menjadi tujuan KPK dapat tercapai, yakni
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) ini didasari oleh ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jucto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa “Dalam waktu
paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
9. Muzadi, 2004, Menuju Indonesia Baru, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Bayumedia Publishing, Malang, hlm.22. 10.
Poerwadarminta. 1976, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta.
hlm.121.
15
Sejak berdirinya lembaga KPK maka institusi yang memiliki kewenangan
dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi
adalah Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 menyebutkan bahwa “KPK adalah Lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun”. Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 menyatakan bahwa “Penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik
pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Pengertian penyidik menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP Penyidik adalah
“Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan
penyidikan”. Namun, dalam hal tertentu Jaksa juga memiliki kewenangan
sebagai penyidik terhadap perkara atau tindak pidana khusus, seperti perkara Hak
Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi, hal ini tercantum dalam Pasal 30 ayat
(1) huruf d Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
“Kejaksaan mempunyai wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu”.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang berfungsi
sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan
korupsi (trigger mechanism) KPK memiliki tugas dan wewenang yang cukup
berbeda, diantaranya melakukan kordinasi dan supervisi, termasuk melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi. Hal ini berbeda
16
dengan kewenangan yang dimiliki oleh komisi-komisi anti korupsi yang pernah di
bentuk sebelumnya. Selain itu dalam pelaksanaan tugasnya, KPK bertanggung
jawab hanya kepada publik atau kepada masyarakat, KPK hanya memberi laporan
secara berkala saja kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) hal ini tercantum dalam Pasal 20 Undang-Undang
No.30 Tahun 2002.
Setiap penyidikan perkara pidana, tidak tertutup kemungkinan menemukan
jalan buntu sehingga tidak mungkin lagi melanjutkan penyidikan. Dalam situasi
demikian, penyidik diberi kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan,
Hal ini tercantum dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa :
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut
Umum, tersangka atau keluarganya”. Berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP
tersebut setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak penyidik secara
resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).11
Penghentian penyidikan adalah tindakan penyidik menghentikan
penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena untuk
membuat suatu terang peristiwa yang diduga dan menentukan pelaku sebagai
tersangkanya tidak terdapat cukup bukti atau dari hasil penyidikan diketahui
bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
11.
Lilik Mulyadi, 2007, Op.cit, .hlm. 54.
17
dihentikan demi hukum.12
Sedangkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3) adalah merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada Penuntut Umum
bahwa perkara dihentikan penyidikannya.
Penghentian penyidikan dapat dilakukan dengan alasan-alasan
sebagaimana berikut:13
a) Karena tidak cukup bukti
Tindakan penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana karena untuk membuat suatu terang peristiwa itu dan
menentukan pelaku-pelaku sebagai tersangkanya tidak terdapat cukup bukti atau
dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
b) Karena bukan merupakan tindak pidana
Penyidikan telah dilakukan dan ternyata terungkap fakta-fakta yang
tadinya dipersangkakan perbuatan pidana namun ternyata bukan perbuatan pidana,
maka penyidik harus menghentikan penyidikan. Terhadap penghentian penyidikan
dengan alasan bukan merupakan perkara pidana, penyidik tidak dapat
mengadakan penyidikan ulang karena perkara tersebut bukan merupakan lingkup
hukum pidana. Kecuali bila ditemukan indikasi yang kuat membuktikan
sebaliknya.
c) Penyidikan dihentikan demi hukum
12.
Harun M. Husein, Penyidikan Dan Penentuan Dalam Proses Pidana, 1991, Rineka
Cipta, Jakarta, hlm.311. 13.
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm.150.
18
Penghentian penyidikan demi hukum ini dikaitkan dengan alasan-alasan
hukum yang mengakibatkan penyidikan tidak dapat dilanjutkan, yaitu:
1. Hapusnya hak menuntut pidana karena nebis in idem (Pasal 76 KUHP)
2. Tersangka pelaku tindak pidana meninggal dunia (Pasal 77 KUHP)
3. Kadaluwarsa (lewat waktu) Hal ini juga kadang berkaitan dengan
kepentingan pribadi korban yang merasa keberatan jika perkaranya
diketahui orang banyak (Pasal 78 KUHP)
Berbeda dengan Kejaksaan dan Kepolisian sebagai penyidik suatu
tindak pidana, KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) dalam setiap penyidikan yang dilakukannya14
. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 yang
menyatakan “Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan
surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak
pidana korupsi”.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini, merupakan penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif ialah metode penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka,15
yang diteliti dan dikaji dalam
penulisan ini adalah Pasal-Pasal dan proses penerapan Pasal terkait dengan
14.
Emerson Yuntho, Tanpa Tahun, "Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi", URL :
Http://Www.Hukumonline.Com/Detail.Asp?Id=11608&Cl=Kolom, Diakses Pada Rabu, 16
September 2015, Pukul 22:10:21 WITA. 15.
Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 13.
19
koordinasi tugas, wewenang dan fungsi KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam
penanganan tindak pidana korupsi serta Penerbitan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, serta literatur-
literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang hendak diteliti.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa jenis pendekatan,
yaitu : pendekatan kasus (case approach), pendekatan Fakta (fact approach),
pendekatan frasa (words & pharase approach), pendekatan sejarah (historical
approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
perbandingan (comparative approach), pendekatan konsep (conseptual
approach), pendekatan analisis (analytical approach), pendekatan filasafat
(philosophical approach).16
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian untuk
skripsi ini digunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konsep (conseptual approach).
1.8.3 Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian
kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah menggunakan
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Dalam penelitian ini sumber bahan hukum yang dimaksudkan adalah
sebagai berikut :
16.
Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta, hlm.
93.
20
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat
karena dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4168).
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi ((Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4168).
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
21
Tahun 2004 Nomor 67,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4401).
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yang meliputi antara lain : buku-buku hukum
(literatur), artikel, makalah, thesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum seperti
dokumen dan surat-surat perjanjian yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu
berupa kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan
sebagainya.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan-bahan hukum diawali dengan kegiatan inventarisasi,
dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum ke dalam suatu
sistem informasi, sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan
hukum tersebut. Bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan dengan studi
dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap sumber-sumber bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, selanjutnya dilakukan inventarisasi
bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan atau pengutipan dengan
menggunakan sistem kartu. Masing-Masing kartu diberikan identitas sumber
bahan hukum yang dikutip dan halaman dari sumber kutipan. Di samping itu,
diklasifikasikan menurut sistematika rencana skripsi, sehingga ada kartu untuk
bahan-bahan Bab I, Bab II, dan seterusnya, kecuali untuk bagian penutup.
22
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan-bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan secara
analisis Kualitatif deskriptif, artinya, analisa dilakukan dengan menguraikan dan
menjelaskan masalah terkait secara detail dari berbagai aspek sesuai dengan
lingkup penelitian, selanjutnya dilakukan penilaian berdasarkan pada alasan-
alasan yang bersifat penalaran hukum, yakni dengan mengemukakan doktrin dan
asas-asas yang ada terkait dengan permasalahan.