57
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadaannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penegasan lebih lanjut tentang hal itu antara lain diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). 1 Arti makna dalam fungsi tanah sebagai hak dasar setiap orang terdapat dalam Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang kemudian diratifikasi kedalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 dan dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas standar kehidupan yang memadai. Hak atas standar kehidupan yang memadai dalam hal ini penulis ber pandangan bahwa Negara mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang, perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup secara berkelanjutan. Negara Indonesia sebelum merdeka sebagian besar tata hukum pertanahan yang berlaku adalah Hukum Pertanahan Belanda yang dibuat oleh Pemerintah Belanda. 2 Adapun beberapa periodesasi pemerintahan di era Pemerintah Belanda yang terdiri dari VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie 1602-1799), 1 Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, P.T. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal.7 2 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Edisi Pertama, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso I), hal. 14 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah.

Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadaannya dijamin dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penegasan lebih

lanjut tentang hal itu antara lain diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on

Economic, Social, and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak

Ekonomi, Sosial, dan Budaya).1 Arti makna dalam fungsi tanah sebagai hak dasar

setiap orang terdapat dalam Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi,

Sosial dan Budaya yang kemudian diratifikasi kedalam Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2005 dan dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas standar

kehidupan yang memadai.

Hak atas standar kehidupan yang memadai dalam hal ini penulis ber

pandangan bahwa Negara mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang

layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang, perumahan, dan atas

perbaikan kondisi hidup secara berkelanjutan.

Negara Indonesia sebelum merdeka sebagian besar tata hukum pertanahan

yang berlaku adalah Hukum Pertanahan Belanda yang dibuat oleh Pemerintah

Belanda.2 Adapun beberapa periodesasi pemerintahan di era Pemerintah Belanda

yang terdiri dari VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie 1602-1799),

1 Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,

P.T. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal.7

2 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Edisi Pertama, Kencana Pranada

Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso I), hal. 14

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

2

Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811), Gubernur Thomas Stamford

Rafles (1811-1816), dan yang terakhir adalah masa pemerintahan Gubernur

Johanes van den Bosch.3 Masa politik hukum pertanahan Belanda dalam bentuk

tabel secara sistematis penulis tampilkan di bawah ini.

3 Ibid

No. Masa Pemerintahan Bentuk Kebijakan

Pertanahannya Penerapannya

1

VOC (Verenigde

Oost Indische

Compagnie 1602-

1799).

Politik Pertanian

1) Contingenten adalah pajak atas

hasil tanah pertanian yang

diserahkan kepada penguasa

kolonial (kompeni). Petani harus

menyerahkan sebagian dari hasil

pertaniannya kepada kompeni

tanpa dibayar sepeserpun;

2) Verplichte Leveranten adalah suatu

bentuk ketentuan yang diputuskan

oleh kompeni dengan para raja

tentang kewajiban menyerahkan

seluruh hasil panen dengan

pembayaran yang harganya juga

sudah ditetapkan secara sepihak.

Dengan ketentuan ini, rakyat tani

benar-benar tidak bisa berbuat apa-

apa. Mereka tidak berkuasa atas

apa yang mereka hasilkan;

3) Roerendienste, yaitu kebijakan ini

dikenal dengan nama kerja rodi

yang dibebankan kepada rakyat

Indonesia yang tidak mempunyai

tanah pertanian.

2

Gubernur Herman

Willem Daendles

(1800-1811).

Tanah Partikelir

Kebijakan tanah partikelir adalah

kebijakan yang dilakukan dengan

menjual tanah rakyat indonesia kepada

orang-orang Cina, Arab, maupun

bangsa Belanda sendiri dengan

memiliki sifat, corak istimewa serta

hak pertuanan.

Hak Pertuanan contohnya adalah

sebagai berikut :

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

3

1. Hak untuk mengangkat atau

mengesahkan pemilikan serta

memberhentikan kepala-kepala

kampung atau desa;

2. Hak untuk menuntut kerja paksa

(rodi) atau memungut uang

pengganti kerja paksa dari

penduduk;

3. Hak untuk mengadakan pungutan-

pungutan baik yang berupa uang

maupun hasil pertanian dari

penduduk;

4. Hak untuk mendirikan pasar-pasar;

5. Hak untuk memungut biaya

pemakaian jalan dan

penyeberangan;

6. Hak untuk mengharuskan

penduduk tiga hari sekali

memotong rumput bagi keperluan

tuan tanah, sehari dalam seminggu

untuk menjaga rumah atau gudang-

gudangnya, dan sebagainya.

3

Gubernur Thomas

Stamford Rafles

(1811-1816).

Land Rent atau

Pajak Tanah

Pemilikan tanah-tanah di daerah-

daerah Swapraja di Jawa disimpulkan

bahwa semua tanah milik raja sedang

rakyat hanya sekedar memakai dan

menggarapnya.

Karena kekuasaan telah berpindah

kepada pemerintah Inggris dan sebagai

akibat hukumnya adalah hak pemilikan

atas tanah-tanah tersebut dengan

sendirinya beralih pula kepada Raja

Inggris. Dengan demikian tanah-tanah

yang dikuasai dan digunakan oleh

rakyat itu bukan miliknya, melainkan

milik Raja Ingris. Oleh karena itu,

mereka wajib memberikan pajak tanah

kepada Raja Inggris seperti apa yang

mereka berikan sebelumnya kepada

raja mereka sendiri.

4

Gubernur Johanes

van den Bosch.

Sistem Tanam

Paksa atau

Cultuurstelsel

Dalam sistem tanam paksa ini, petani

dipaksa untuk menanam suatu jenis

tanaman tertentu yang secara langsung

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

4

Hukum pertanahan Belanda dibentuk untuk melaksanakan politik hukum

pertanahan Pemerintah Belanda dengan tujuan kepentingan dan keuntungan

Pemerintah Belanda serta diadakan semata-mata bagi kepentingan para pengusaha

besar.4 Beberapa masa periodesasi politik hukum pertanahan pada era Pemerintah

Belanda dituangkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang terdiri

dari Algameene Maatregel Van Bestur (AMVB) Stb. 1856-64, Agrarische Wet

1870 dan Agrarische Besluit.5

Pada era masa politik hukum pertanahan Belanda yang dimaksud dengan

Algameene Maatregel Van Bestur (AMVB) Stb. 1856-64 adalah peraturan yang di

bentuk Pemerintah Belanda dengan mengapuskan sistem tanam paksa (cultur

stelsel) yang terjadi sejak tahun 1830. Saat masa berlakunya sistem tanam paksa

terdapat pembatasan bagi pengusaha besar swasta untuk berusaha dibidang

perkebunan besar. Pengusahaan tanaman-tanaman untuk ekspor bagi pengusaha

besar swasta yang ingin mengusahakan tanah yang luas harus berdasarkan dengan

Hak Eigendom seperti apa yang dikenal dengan sebutan “Tanah Partikelir”.6 Masa

4 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya, Edisi Revisi, cet.12, Penerbit Djambatan, Jakarta, hal. 40

5 H.M Harba, 2015, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 24

6 Boedi Harsono, op.cit, hal.35

maupun tidak langsung dibutuhkan

oleh pasar internasional pada saat itu.

Hasil pertanian tersebut diserahkan

kepada pemerintah kolonial tanpa

mendapat imbalan apapun. Bagi rakyat

yang tidak mempunyai tanah pertanian

wajib menyerahkan tenaga kerjanya

yaitu seperlima bagian dari masa

kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu

tahunnya.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

5

cultur stelsel sejalan dengan politik monopoli yang dilakukan pemerintah kolonial

untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada massa cultur stelsel tidak

diadakan persewaan tanah. Persewaan tanah mulai diadakan kembali setelah

adanya Algemeene Maatregel van Bestuur (AMVB) yang diundangkan dalam Stb.

1856-64 dibuka kembali kesempatan menyewa tanah dari Pemerintah berdasarkan

ketentuan Pasal 62 Ayat 3 RR.

Periodesasi selanjutnya masa politik hukum pertanahan Pemerintah

Belanda adalah masa Agrarische Wet.7 Agrarische Wet dibentuk atas desakan

pengusaha besar swasta, hal ini dikarenakan sejak tahun 1830 tengah giat-giatnya

dilaksanakan cultuur stelsel (peraturan tanam paksa) dimana pihak pengusaha

swasta terbatas kemungkinannya memperoleh tanah-tanah yang luas dan kuat

haknya dalam jumlah besar sangat terbatas. Dengan lahirnya Agrarische Wet ini,

pengusaha besar swasta asing dalam rangka memperluas usahanya di bidang

perkebunan memperoleh Hak Erfpacth berjangka waktu paling lama 75 tahun,

serta ada kemungkinan tanah dari orang-orang indonesia. Agrarische Wet berhasil

memberikan keuntungan yang besar bagi perkembangan modal asing di Indonesia

dalam lapangan pertanian besar, bahkan dapat memberikan keuntungan yang

besar bagi pemodal besar asing. Sebaliknya, bagi rakyat Indonesia justru

menimbulkan kemiskinan, kesengsaraan, dan penderitaan yang sangat

menyedihkan.8 Pelaksanaan Agrarische Wet diatur lebih lanjut dalam berbagai

7 Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, 2007, Hukum Agraria Indonesia dalam

Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Muchsin, Imam

Koeswahyono, dan Soimin I), hal. 13-14

8 Ibid, hal.15

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

6

peraturan pelaksanaannya antara lain Agrarisch Besluit (Koninklijke Besluit) Stb

1870-118, dan Ordonansi-ordonansi.

Periodesasi politik hukum pertanahan era Pemerintah Belanda yang

terakhir adalah Agrarische Besluit (Koninklijke Besluit) Stb. 1870-118.

Agrarische Besluit adalah suatu peraturan hukum yang dibuat oleh Pemerintah

Belanda dan penerapannya khusus hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Hal

pokok yang sangat penting dalam pelaksanaan politik hukum pertanahan Belanda

adalah pernyataan “domein verklaring” yang merupakan asas dalam ketentuan

Pasal 1 Agrarische Besluit dan dinyatakan: “bahwa semua tanah yang pihak lain

tidak dapat membuktikan sebagai Hak Eigendom-nya, adalah domein (milik)

negara”. Asas ini dinilai oleh bangsa Indonesia kurang menghargai, bahkan

memperkosa hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada Hukum Adat.

Fungsi domein verklaring dalam praktik pelaksanaan perundang-undangan

pertanahan adalah:

a. Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai

pemilik tanah untuk memberikan tanah dengan Hak-Hak Barat yang diatur

dalam KUH Perdata, seperti Hak Erfpacht, Hak Opstal, dan lain-lainnya.

Dalam rangka domein verklaring pemberian tanah dengan Hak Eigendom

dilakukan dengan cara pemindahan Hak Milik Negara kepada penerima

tanah;

b. Di bidang pembuktian pemilikan. Setiap tanah harus ada pemiliknya, dan

setiap pemilik tanah harus dapat membuktikan kepemilikan hak atas

tanahnya, kalau tidak maka tanah tersebut adalah tanah milik Negara.9

Akibat dari adanya politik hukum pertanahan Belanda, maka Hukum

Agraria yang berlaku berstruktur ganda atau dualistik yaitu di satu pihak berlaku

Hukum Tanah Adat yang bersumber pada Hukum Adat dan di lain pihak berlaku

9 H.M Harba, op.cit, hal. 28

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

7

Hukum Tanah Barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam Buku II

KUH Perdata dan merupakan hukum tertulis. Dengan demikian di bidang

penguasaan dan pemilikan tanah, terdapat perbedaan hukum yang berlaku.

Untuk golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan itu dan golongan

Timur Asing berlaku Hukum Tanah Barat berdasarkan ketentuan yang terdapat

dalam Buku II KUH Perdata. Sedangkan untuk golongan Bumi Putera (Pribumi)

berlaku Hukum Tanah Adat yang bersumber pada Hukum Adat. Sehingga

terdapat adanya tanah-tanah yang dikuasai dan dihaki dengan hak-hak atas tanah

berdasarkan Hukum Tanah Barat (KUH Perdata) dan terdapat pula tanah-tanah

yang dikuasai dan dihaki dengan hak-hak atas tanah yang berdasarkan pada

Hukum Tanah Adat. Tanah-tanah yang dikuasai dan dihaki berdasarkan Hukum

Tanah Barat berlaku Buku II KUH Perdata, sedangkan tanah yang dikuasai dan

dihaki berdasarkan Hukum Tanah Adat berlaku Hukum Adat. 10

Dualisme dalam Hukum Tanah bukan karena hak atas tanah yang berbeda

Hukum Perdatanya, melainkan karena perbedaan hukum yang berlaku terhadap

tanahnya. Tanah dalam Hukum Indonesia mempunyai status atau kedudukan

hukum tersendiri, terlepas dari status hukum subyek yang mempunyainya. Tanah-

tanah yang termasuk dalam Hak Barat adalah tanah dengan Hak Eigendom, Hak

Erfacht, Hak Opstal yang disebut tanah-tanah Hak Barat atau tanah-tanah Eropa.

Tanah-tanah yang masuk kedalam hak-hak Indonesia adalah tanah-tanah dengan

Hak Adat. 11

10 H.M Harba, op.cit, hal. 29

11

Boedi Harsono, op.cit, hal.54

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

8

Pada era politik hukum pertanahan Belanda saat berlakunya Agrarische

Wet terkait dengan Hak Guna Bangunan disebut juga sebagai Hak Opstal yakni

sebagai suatu Hak Kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman-tanaman di

atas sebidang tanah orang lain. Sebutan untuk Hak Opstal kemudian beralih

menjadi Hak Guna Bangunan sejak Indonesia membentuk suatu unifikasi hukum

di bidang pertanahan dengan membentuk Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960

Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) (selanjutnya disebut

UUPA). Undang-undang ini dibentuk mengingat ketentuan undang-undang yang

berlaku sebelumnya tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari

pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya sehingga bertentangan

dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional

serta pembangunan semesta.

Terbentuknya UUPA merupakan landasan dan sebagai amanah

konstitusional dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 terkait dengan Hak Menguasai Negara yang selanjutnya

melahirkan wewenang untuk Negara dan ketentuan ini diatur dalam Pasal 2

UUPA. Wewenang tersebut memberikan Negara sebagai organisasi kekuasaan

seluruh rakyat yang salah satunya untuk menentukan dan mengatur hubungan-

hubungan antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi,

air, dan ruang angkasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUPA.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

9

Terkait dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) di atas, A.P.

Parlindungan memberikan pandangannya yaitu :12

Dengan demikian Negara sebagai organisasi kekuasaan mengatur sehingga

membuat peraturan, kemudian menyelenggarakan artinya melaksanakan

(execution) atas penggunaan peruntukan (use), persediaan (reservation) dan

pemeliharaan (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya. Negara juga menentukan dan mengatur

(menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat

dikembangkan dari hak menguasai negara tersebut. Menentukan dan

mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) memiliki arti

bahwa bagaimana seharusnya hubungan antara Orang atau Badan Hukum

dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUPA serta mengutip pendapat A.P.

Parlindungan bahwa wewenang yang dimiliki oleh Negara sejatinya merupakan

wewenang yang diberikan UUPA yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.

Penggunaan wewenang tersebut dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.13

Penulis mengkaji berdasarkan pendapat A.P. Parlindungan terkait dengan

kewenangan Negara sebagai kekuasaan mengatur sehingga membuat peraturan,

atas penggunaan peruntukan, persediaan, dan pemeliharaan dari bumi, air, ruang

angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya14

masih terdapat

kekosongan hukum khususnya dalam hal kepastian hukum terkait dengan

pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang

menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-

undang. UUPA dan peraturan pelaksananya yakni Peraturan Kepala Badan

12 A.P Parlindungan, 1990, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni,

Bandung, (selanjutnya disingkat A.P Parlindungan I), hal. 29

13 Ibid

14

Ibid

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

10

Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan

Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah (selanjutnya

disebut perkaban) secara normatif tidak memiliki kepastian hukum berkaitan

dengan hal tersebut.

Tanah sebagai faktor produksi yang utama harus berada di bawah

kekuasaan Negara. Tanah dikuasai oleh Negara artinya tidak harus dimiliki

Negara. Negara memiliki hak menguasai tanah melalui fungsi Negara untuk

mengatur dan mengurus (regelen en besturen). Hak menguasai Negara dimaksud

adalah memberikan kewenangan kepada lembaga dan hubungan hukum konkret

antara Negara dengan tanah Indonesia.15

Negara berwenang menentukan pengaturan dan penyelenggaraan

peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya. Negara juga

berwenang menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai (bagian dari)

bumi, air, ruang angkasa dan menentukan serta mengatur hubungan-hubungan

hukum antar orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang

angkasa. Hak-hak atas tanah yang diatur oleh Negara diatur dalam ketentuan Pasal

16 ayat (1) UUPA dan dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah terdiri dari Hak

Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak

Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lain yang tidak

termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-

undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam

ketentuan Pasal 53 UUPA.

15 H.M Harba, op.cit, hal. 91

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

11

Kewenangan Negara dalam bidang Hukum Pertanahan merupakan

pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan

penggunaan tanah bersama yang dipunyainya.16

Selain berbagai jenis hak atas

tanah yang diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA tentang hak-hak atas

tanah, kewenangan Negara di bidang pertanahan lainnya adalah mengatur tentang

pembatasan kepemilikan tanah.

Pembatasan kepemilikan tanah secara tegas telah diatur di dalam

ketentuan Pasal 7 UUPA yang menyatakan bahwa untuk tidak merugikan

kepentingan umum maka pemilikan tanah yang melampaui batas tidak

diperkenankan. Dalam penjelasan pasal ketentuan Pasal 7 dinyatakan bahwa asas

yang menegaskan soal pembatasan itu diatur lebih lanjut dalam Pasal 17.

Terhadap azas ini tidak ada pengecualiannya.

Pasal 11 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hubungan hukum antara

orang, termasuk Badan Hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta

wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur agar

tercapai tujuan yang disebut dalam Pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas

kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas. Dalam penjelasan

pasal demi pasal substansi ketentuan Pasal 11 dinyatakan bahwa pasal ini memuat

prinsip perlindungan kepada golongan yang ekonomis lemah terhadap yang kuat.

Golongan yang ekonomis lemah itu bisa warga negara asli maupun keturunan

asing. Demikian pula sebaliknya.

16 Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media,

Yogyakarta, hal. 83.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

12

Pasal 17 ayat (2) UUPA mengatur tentang substansi pembatasan

maksimum dan minimum kepemilikan tanah yang dapat dikuasai oleh Keluarga

atau Badan Hukum:

(1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan

yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau

minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam

Pasal 16 oleh Satu Keluarga atau Badan Hukum;

(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan

dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat;

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud

dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian,

untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut

ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah;

(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang

akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara

berangsur-angsur.

Mengacu pada ketentuan Pasal 17 Ayat (2) UUPA sebagai peraturan

pelaksananya dalam hal pembatasan maksimum penguasaan tanah, oleh

pemerintah selanjutnya dibentuk Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas

Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional ini mengatur secara spesifik

terkait pembatasan kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah yang terdiri dari

Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. Ketentuan

Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013

tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan

Pendafataran Tanah tentang pemberian Hak Milik, menyatakan bahwa Kepala

Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai :

a. Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah pertanian

yang luasnya tidak lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi);

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

13

b. Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian

yang luasnya tidak lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi);

c. Pemberian Hak Milik untuk Badan Hukum Keagamaan dan Sosial yang

telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai

Hak Milik atas Tanah, atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih

dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi).

Pengaturan terkait dengan pemberian Hak Guna Bangunan diatur dalam

ketentuan Pasal 4 dan dinyatakan bahwa Kepala Kantor Pertanahan memberi

keputusan mengenai:

a. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang

luasnya tidak lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi);

b. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang

luasnya tidak lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi); dan

c. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan.

Pasal 9 mengatur lebih lanjut bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai:

a. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang

luasnya lebih dari 3.000 M2 (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari

10.000 M² (sepuluh ribu meter persegi);

b. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang

luasnya lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak

lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi).

Hak Guna Usaha diatur dalam ketentuan Pasal 8 dan dinyatakan bahwa

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai

pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000.000

M2 (dua juta meter persegi).

Pengaturan terkait dengan Hak Pakai diatur dalam ketentuan Pasal 10 dan

dinyatakan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberi

keputusan mengenai:

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

14

a. Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah pertanian

yang luasnya lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi) dan

tidak lebih dari 100.000 M² (seratus ribu meter persegi);

b. Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah non

pertanian yang luasnya lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi) dan

tidak lebih dari 10.000 M2 (sepuluh ribu meter persegi);

c. Pemberian Hak Pakai untuk Badan Hukum swasta, BUMN/BUMD atas

tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu

meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M² (seratus lima puluh ribu

meter persegi).

Penulis berpandangan terkait dengan substansi batas kepemilikan dan

penguasaan hak atas tanah yang terdiri dari Hak milik, Hak Guna Bangunan, Hak

Pakai dan Hak Guna Usaha telah diatur secara tegas di dalam beberapa substansi

pasal Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang

Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran

Tanah yakni dalam ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8 dan Pasal 10 sebagai

peraturan pelaksana dari UUPA. Namun UUPA dan Peraturan Pelimpahan

Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran ini masih

terdapat kekosongan norma hukum terkait dengan pengaturan penguasaan dan

akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan

dengan melampaui ketentuan batas luas yang ditentukan dalam undang-undang.

Pasal yang secara tegas mengatur tentang Hak Guna Bangunan (HGB)

dalam ketentuan UUPA yakni Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 juga tidak

mengatur secara tegas tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap

Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas

luas ketentuan undang-undang.

Dalam substansi ketentuan Pasal 35 UUPA dijelaskan tentang Hak Guna

Bangunan yaitu :

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

15

1. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan

jangka waktu paling lama 30 tahun;

2. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta

keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1)

dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun;

3. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Penjelasan pasal ketentuan Pasal 35 menyatakan bahwa Hak Guna

Bangunan (HGB) adalah berlainan dengan Hak Guna Usaha maka Hak Guna

Bangunan (HGB) tidak mengenai tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas

tanah yang dikuasai oleh Negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang.

Substansi ketentuan pasal 35 ayat (1), (2), dan (3) hanya menjelaskan definisi

Hak Guna Bangunan, jangka waktu berlakunya Hak Guna Bangunan serta masa

perpanjangannya dan beralihnya Hak Guna Bangunan. Secara tegas pasal ini tidak

mengatur tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan

Hukum yang melakukan pelanggaran hukum dalam hal penguasaan Hak Guna

Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang.

Subtansi ketentuan Pasal 36 selanjutnya dijelaskan lebih lanjut bahwa Hak

Guna Bangunan hanya dapat dimiliki oleh :

(1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah ;

a. Warganegara Indonesia;

b. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia.

(2) Orang atau Badan Hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan

tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini

dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu

kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga

terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan, jika ia tidak

memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang

bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut,

maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak

lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

16

Penjelasan substansi Pasal 36 adalah ketentuan pasalnya sama dengan

ketentuan Pasal 30 dan dijelaskan bahwa Hak Guna Bangunan tidak dapat

dimiliki oleh orang asing dan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak

tersebut adalah badan-badan hukum yang bermodal nasional yang progresip, baik

asli maupun tidak asli. Bagi badan-badan hukum yang bermodal asing, Hak Guna

Bangunan hanya dibuka kemungkinannya untuk diberikan jika hal itu diperlukan

oleh undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana.

Substansi Pasal 36 UUPA dan penjelasan pasalnya hanya mengatur siapa

subyek/pihak yang berhak menguasai Hak Guna Bangunan namun tidak mengatur

tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang

menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-

undang.

Dalam proses terjadinya Hak Guna Bangunan selanjutnya diatur dalam

ketentuan Pasal 37 UUPA. Substansi ketentuan pasal ini menyatakan bahwa Hak

Guna Bangunan dapat terjadi pada :

(1) Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara : karena penetapan

Pemerintah;

(2) Mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk otentik antara

pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh

Hak Guna Bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.

Pasal 37 UUPA hanya mengatur tentang terjadinya Hak Guna Bangunan,

dimana Hak Guna Bangunan dapat terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh

Negara dan dari tanah milik perseorangan melalui perjanjian berbentuk otentik

antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak

Guna Bangunan tersebut. Pasal ini secara tegas tidak mengatur tentang pengaturan

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

17

penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna

Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang.

Pasal 38 UUPA selanjutnya mengatur tentang kewajiban pendaftaran Hak

Guna Bangunan bagi pihak pemegang hak serta terkait dengan peralihan dan

hapusnya hak tersebut wajib didaftarkan. Ketentuan pasal ini tidak mengatur

tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang

menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-

undang.

(1) Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian

juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan

menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 ;

(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang

kuat mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan serta sahnya peralihan hak

tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya

berakhir.

Pasal 39 selanjutnya mengatur tentang Hak Guna Bangunan dapat

dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Substansi pasal ini

tidak membahas persoalan tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum

terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui

batas luas ketentuan undang-undang. Demikian pula sama halnya dengan

ketentuan Pasal 40 UUPA hanya menjelaskan hapusnya Hak Guna Bangunan

yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu :

a. Jangka Waktunya Berakhir;

b. Dihentikan Sebelum Jangka Waktunya Berakhir Karena Sesuatu Syarat

Tidak Dipenuhi;

c. Dilepaskan Oleh Pemegang Haknya Sebelum Jangka Waktunya Berakhir;

d. Dicabut Untuk Kepentingan Umum;

e. Diterlantarkan;

f. Tanahnya Musnah;

g. Ketentuan Dalam Pasal 36 Ayat (2).

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

18

Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 penjelasan pasal demi pasalnya adalah

tidak memerlukan penjelasan. Mengenai apa yang ditentukan dalam Pasal 38

sudah dijelaskan di dalam penjelasan umum (angka IV). Substansi dari penjelasan

umum angka IV adalah tentang usaha yang menuju ke arah kepastian hak atas

tanah yang mengatur pendaftaran tanah. Pasal 23, 32 dan 38 ditujukan kepada

para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh

kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah

sebagai suatu instruksi, agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran

tanah yang bersifat “rechts-kadaster”, artinya yang bertujuan menjamin kepastian

hukum. Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada

kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial

ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan

peralatannya.

Secara tegas dalam penjelasan Pasal 40 ini juga tidak mengatur pengaturan

penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna

Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Dalam

ketentuan Pasal 40 huruf (b) dijelaskan hapusnya Hak Guna Bangunan disebabkan

oleh beberapa hal dan salah satunya dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir

karena sesuatu syarat tidak dipenuhi. Sesuatu syarat tidak dipenuhi ini secara

spesifik penggaturannya lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1)

huruf (b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

19

(1) Hak Guna Bangunan hapus karena:

a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam

keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian

pemberiannya;

b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak

Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya

berakhir, karena:

1) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak

dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32; atau

2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban

yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan

antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak

Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan; atau

3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

yang tetap;

c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka

waktu berakhir;

d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;

e. Ditelantarkan;

f. Tanahnya musnah;

g. Ketentuan Pasal 20 ayat (2).

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan

sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan

Presiden.

Substansi ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf (b) Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang membahas tentang hapusnya Hak

Guna Bangunan tidak mengatur bahwa Hak Guna Bangunan dapat berakhir

apabila penguasaan oleh pemegang haknya melebihi batas ketentuan luas yang

ditentukan oleh undang-undang. Pada peraturan pemerintah di atas juga tidak

dijelaskan pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum

dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan

undang-undang.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

20

Kepastian hukum berkaitan dengan pengaturan penguasaan dan akibat

hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan

melampaui batas luas ketentuan undang-undang sangat diperlukan agar tidak

terjadi penguasaan Hak Guna Bangunan melampaui batas luas yang ditentukan

oleh undang-undang dan berpotensi menimbulkan praktek monopoli dalam sektor

properti bila tidak disertai sanksi yang tegas dari instansi yang berwenang dan

ketentuan peraturan perundang-undangan akan menjadi lebih efektif apabila

terdapat sanksi di dalamnya. Kekosongan norma hukum juga terlihat terkait

dengan pengaturan hal di atas dalam beberapa peraturan-peraturan perundang-

undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Secara sistematis penulis

tampilkan dalam bentuk tabel dibawah ini.

No Peraturan Perundang-Undangan Pasal Subtansi dan Argumentasi Penulis

1 Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 38 Tahun 1963

tentang Penunjukan Badan-Badan

Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak

Milik Atas Tanah

Pasal 1 Badan-Badan Hukum yang disebut

dibawah ini dapat mempunyai Hak

Milik atas tanah :

a. Bank-Bank yang didirikan

oleh Negara (selanjutnya

disebut Bank Negara);

b. Perkumpulan-Perkumpulan

Koperasi Pertanian yang

didirikan berdasar atas

Undang-Undang No. 79

Tahun 1958 (Lembaran-

Negara Tahun 1958 No.

139);

c. Badan-Badan Keagamaan

yang ditunjuk oleh Menteri

Pertanian/Agraria, setelah

mendengar Menteri Agama;

d. Badan-Badan Sosial, yang

ditunjuk oleh Menteri

Pertanian/Agraria setelah

mendengar Menteri

Kesejahteraan Sosial.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

21

Penjelasan pasal demi pasal:

Penjelasan pasal demi pasalnya

adalah cukup jelas.

Argumentasi penulis:

Ketentuan Pasal 1 tidak menjelaskan

pengaturan penguasaan dan akibat

hukum terhadap Badan Hukum yang

menguasai Hak Guna Bangunan

dengan melampaui batas luas

ketentuan undang-undang.

2. Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah

Pasal 9 ayat

(1) dan (2)

1. Obyek pendaftaran tanah

meliputi :

a. Bidang-bidang tanah

yang dipunyai dengan

Hak Milik, Hak Guna

Usaha, Hak Guna

Bangunan Dan Hak

Pakai;

b. Tanah Hak Pengelolaan;

c. Tanah Wakaf;

d. Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun;

e. Hak Tanggungan;

f. Tanah Negara.

2. Dalam hal Tanah Negara sebagai

obyek pendaftaran tanah

sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf f, pendaftarannya

dilakukan dengan cara

membukukan bidang tanah yang

merupakan Tanah Negara dalam

daftar tanah.

Penjelasan pasal demi pasal:

Penjelasan pasal demi pasal

ketentuan Pasal 9 ayat (1) adalah

cukup jelas. Penjelasan Pasal 9 Ayat

2 dalam ketentuan pasal demi

pasalnya adalah Pendaftaran tanah

yang obyeknya bidang tanah yang

berstatus Tanah Negara dilakukan

dengan mencatatnya dalam daftar

tanah dan tidak diterbitkan

sertipikat

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

22

Dalam pendekatan perbandingan hukum yang penulis lakukan terhadap

kepemilikan tanah dalam sistem hukum pertanahan yang ada di Australia dengan

subyeknya Badan Hukum dijelaskan dalam Foreign Acquisitions and Takeovers

Act 1975 Pasal 7 dinyatakan bahwa Orang atau Badan Hukum yang membeli real

estate rumah baru dan tanah kosong untuk Resort Pariwisata Terpadu (Integrated

Tourism Resort) luasnya minimal adalah 50 hektar.17

Hal ini tentunya berbeda

dengan sistem Hukum Agraria yang berlaku di Indonesia yang tidak memberikan

17 Listyowati Sumanto, 2016, Aspek Yuridis Kepemilikan Hak Atas Tanah Di Australia, Jurnal

Hukum Prioris, Magister Kenotariatan, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 7

Argumentasi Penulis:

Ketentuan pasal ini tidak

menjelaskan pengaturan penguasaan

dan akibat hukum terhadap Badan

Hukum yang menguasai Hak Guna

Bangunan dengan melampaui batas

luas ketentuan undang-undang.

3. Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 40 Tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

Pasal 21 Tanah yang dapat diberikan dengan

Hak Guna Bangunan adalah Tanah

Negara, Tanah Hak Pengelolaan,

dan Tanah Hak Milik.

Penjelasan pasal demi pasal:

Penjelasan Pasal 21 substansinya

menyatakan bahwa Hak Guna

Bangunan berbeda dengan Hak

Guna Usaha. Hak Guna Bangunan

dapat juga diberikan atas tanah Hak

Pengelolaan dan tanah Hak Milik.

Argumentasi Penulis:

Pasal ini juga tidak mengatur

secara tegas pengaturan penguasaan

dan akibat hukum terhadap Badan

Hukum yang menguasai Hak Guna

Bangunan dengan melampaui batas

luas ketentuan undang-undang.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

23

pengaturan secara pasti/khusus terkait pembatasan tanah minimum bagi Badan

Hukum yang ingin berbisnis di sektor Resort Pariwisata Terpadu. Pembatasan

minimum ini penting adanya untuk memberikan kepastian hukum dan persaingan

yang sehat dalam sektor properti.

Sebagai pendekatan studi kasus guna pengkajian secara komperhensif

dalam penelitian ini, adapun kasus yang dapat penulis deskripsikan dalam

penelitian ini terkait dengan penguasaan Hak Guna Bangunan dengan melebihi

batas luas tanah. Kasus ini terjadi di Bali khususnya di wilayah Tabanan yang

disebut dengan kasus Pan Pacific Bali Nirwana Resort.

Pan Pacific Bali Nirwana Resort berlokasi di Tabanan dan didirikan di

atas lahan seluas 103 hektar dan telah menguasai ratusan hektar tanah rakyat yang

sekaligus merangsek ke radius kesucian Pura Tanah Lot.18

Komponen pariwisata

dan pengambil kebijakan di sektor pariwisata diminta segera menghentikan

kegiatan mengorbankan pura sebagai objek wisata. Penggunaan fasilitas yang

disucikan ini dinilai terdistorsi hanya untuk mencari keuntungan finansial tanpa

mengindahkan kesakralan pura dan taksu Bali. Demikian terungkap dalam hasil

rapat internal Komisi A DPRD Bali, Senin (23/12/2002). Komisi ini menyoroti

kecenderungan pariwisata budaya yang kebablasan menjadi bisnis pengeruk uang

saja. Jika ini dibiarkan terus, inilah awal yang dapat menghancurkan taksu dan

membuat leteh (kotor) tanah Bali.19

18 I Made Ardana Putra, 2003, Bagaimana Pariwisata Budaya Mendatang ? (Artikel Balipost

Edisi 2 Januari 2003), avalaible from; URL;

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/2/op2.htm. Data diakses/diunduh pada hari Minggu

tanggal 19 Mei 2015.

19

Ibid

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

24

Pan Pacific Bali Nirwana Resort terletak di atas tebing curam yang

menghadap ke samudera hindia dan Pura Tanah Lot serta menawarkan lapangan

golf. Resort ini menyediakan kamar-kamar hunian yang mewah dan 5 kolam

renang outdoor yang tersebar di area seluas 103 hektar. Resort juga menawarkan

layanan antar-jemput terjadwal gratis ke daerah Kuta dan Seminyak. Pan Pacific

Bali Nirwana Resort berjarak hanya 200 meter dari Nirwana Bali Golf Course,

dan 45 menit berkendara dari Bandara Internasional Ngurah Rai dan terletak

sejauh 500 meter dari Pura Tanah Lot yang indah.20

Tanah dalam definisi hukum pertanahan memiliki peran penting dalam

kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan

hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi

orang lain. Guna mencegah masalah pertanahan agar tidak sampai menimbulkan

konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan

penggunaan tanah yang disebut dengan Hukum Tanah.21

Jumlah manusia yang semakin bertambah sedangkan luas tanah tetap,

mengakibatkan tanah memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Orang-perorangan,

Badan Hukum, Instansi Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah juga

memerlukan tanah untuk pelaksanaan tugasnya dan untuk kepentingan lain seperti

misalnya pengembangan daerah-daerah pemukiman baru, penyediaan sarana-

prasarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagainya.

Pemeliharaan terhadap kelestarian lingkungan juga tidak kalah penting, agar

nantinya tanah yang merupakan bagian dari aset bangsa Indonesia ini dapat

20 Ibid

21

K. Wantijk Saleh, 1982, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 7

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

25

diwariskan kepada penerus generasi bangsa di massa depan.22

Peran Negara

melalui pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan

keseragaman pengaturan berkaitan dengan pengaturan penguasaan dan akibat

hukum penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui

batas luas ketentuan undang-undang. Hal ini penting untuk dilakukan agar

lingkungan tetap dijaga kelestariannya dan persaingan usaha di sektor industri

properti dapat dikontrol dengan baik oleh pemerintah.

Dengan beranjak dari kekosongan norma hukum berdasarkan pemaparan

latar belakang di atas, menarik bagi penulis untuk mengangkat judul penelitian

yang berjudul “AKIBAT HUKUM PENGUASAAN HAK GUNA

BANGUNAN OLEH BADAN HUKUM YANG MELAMPAUI BATAS

LUAS KETENTUAN UNDANG-UNDANG”.

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, terdapat beberapa

penelitian yang berkaitan dengan Hak Guna Bangunan. Guna menunjukan sisi

orisinalitas penelitian ini dan menghindari adanya plagiat atau pengulangan

penelitian, adapun penelitian tesis terdahulu yang dapat penulis tampilkan, yaitu :

1. Tesis dari Andina Dyah Pujaningrum (mahasiswa Magister Kenotariatan

Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar) yang dibuat pada tahun

2014 dengan judul penelitian “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang

Hak Guna Bangunan Di Atas Hak Milik Atas Tanah Di Kabupaten

Badung”. Dalam penelitian tesis ini membahas tentang adanya

22 A.A. Ayu Ray Saraswati, 2015, Implikasi Hukum Pembebasan Hak Tanggungan Atas

Tanah Hak Guna Bangunan Di Atas Tanah Hak Pengelolaan Yang Izin Pemanfaatan Tanahnya

Dicabut Oleh Gubernur, (tesis), Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana,

Denpasar, hal.2

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

26

kesenjangan antara das sollen dan das sein dimana pemberian Hak Guna

Bangunan di atas Hak Milik atas tanah yang dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan substansinya diberikan selama 30 tahun namun pada

kenyataanya diberikan selama 50 tahun. Permasalahan yang dibahas dalam

penelitian ini adalah apakah yang menjadi hak dan kewajiban bagi

pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang

Hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan serta

bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Guna

Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang Hak Milik atas tanah

yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah hak dan kewajiban dari

pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik serta hak dan

kewajiban pemegang Hak Milik yang di atasnya diberikan Hak Guna

Bangunan dapat dilihat di dalam akta sewa-menyewa, akta perjanjian

pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan, dan akta pemberian Hak

Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. Perlindungan hukum bagi kedua

belah pihak dapat diberikan apabila hak dan kewajiban masing-masing

pihak juga dijalankan. Perlindungan hukum diberikan apabila dalam proses

pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik sudah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangka waktu pemberian Hak

Guna Bangunan yang diberikan selama 50 tahun tentu saja tidak sesuai

dengan aturan yang berlaku. Jika tidak memenuhi aturan yang berlaku

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

27

pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik tidak mendapatkan

perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.

2. Tesis dari I Gede Etha Prianjaya (mahasiswa Magister Kenotariatan Pasca

Sarjana Universitas Udayana Denpasar) yang dibuat pada tahun 2014

dengan judul penelitian “Pemberian Kredit Bank Dengan Jaminan Hak

Guna Bangunan Yang Jangka Waktunya Telah Berakhir Sedangkan

Perjanjian Kreditnya Belum Berakhir”. Dalam penelitian tesis ini

membahas permasalahan tentang bagaimana kedudukan jaminan Hak Guna

Bangunan yang jangka waktunya telah berakhir sedangkan perjanjian

kreditnya belum berakhir dan upaya apakah yang dilakukan oleh pihak bank

terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir sedangkan jaminan Hak

Tanggungan sudah berakhir.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kedudukan kreditur dalam hal

jaminan berupa Hak Guna Bangunan yang sudah berakhir menjadi kreditur

konkurent. Pihak pemegang Hak Tanggungan di dalam pemberian kredit

bank dengan jaminan Hak Guna Bangunan yang mempunyai batas waktu

penguasaan harus sesuai dengan perjanjian kredit ataupun jangka waktu

kredit. Hak Guna Bangunan yang sudah berakhir oleh karena jangka waktu

penguasaan sudah habis maka ketika Hak Guna Bangunan yang dijadikan

jaminan dan sudah dibebani Hak Tanggungan akan ikut berakhir ketika

jangka waktu Hak Guna Bangunan telah berakhir.

Upaya yang dilakukan oleh pihak bank terhadap perjanjian kredit

yang belum berakhir sedangkan jaminan Hak Tanggungan sudah berakhir

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

28

adalah ketika berlangsungnya perpanjangan jangka waktu jaminan yang

menjadi jaminan kredit dengan melakukan perikatan kuasa membebankan

Hak Tanggungan mengingat proses Hak Guna Bangunan masih dalam

proses perpanjangan jangka waktu yang dikenal dengan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Setelah selesainya

perpanjangan jangka waktu terhadap jaminan tersebut maka dilakukan suatu

proses pemasangan Hak Tanggungan kembali oleh pihak bank yang didasari

oleh Surat Kuasa Membebankan Hak Taggungan (SKMHT).

3. Tesis karya A.A Ayu Ray Saraswati (mahasiswa Magister Kenotariatan

Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar) yang dibuat pada tahun 2015

dengan judul penelitian “Implikasi Hukum Pembebanan Hak

Tanggungan Atas Tanah Hak Guna Bangunan Di atas Tanah Hak

Pengelolaan Yang Izin Pemanfaatan Tanahnya Dicabut Oleh

Gubernur”. Dalam penelitian tesis ini membahas permasalahan tentang

bagaimanakah status hukum tanah Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak

Pengelolaan yang telah dicabut izin pemanfaatannya oleh Gubernur dan

akibat hukum pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan di

atas tanah Hak Pengelolaan yang izin pemanfaatan tanahnya telah dicabut

oleh Gubernur.

Kesimpulan dari penelitian tesis ini adalah status hukum Hak Guna

Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang izin pemanfaatan tanahnya

telah dicabut oleh Gubernur menjadi hapus. Namun, tidak serta merta

menghapus hak atas tanah. Atas dasar pencabutan izin pemanfaatan tanah

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

29

ini Gubernur dapat mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Provinsi

untuk membatalkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang memberikan

konsekuensi yuridis pada hapusnya Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak

Pengelolaan. Dicabutnya surat keputusan pemanfaatan tanah hak

pengelolaan oleh Gubernur merupakan wujud dari pengawasan dan kontrol

yang dilakukan sebagai pemegang Hak Pengelolaan. Kewenangan mencabut

izin pemanfaatan tanah ini didasarkan pada delegasi wewenang bidang

pertanahan dari Pemerintah Pusat sebagai konsekwensi Hak Menguasai

Negara Atas Tanah.

Akibat hukum dari pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna

Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang izin pemanfaatan tanahnya

telah dicabut oleh Gubernur menyebabkan Hak Tanggungan menjadi hapus.

Karena dengan hapusnya hak atas tanah maka berakibat pada segala

perbuatan hukum yang dilakukan termasuk pembebanan Hak Tanggungan.

Perjanjian kredit masih tetap ada, hanya saja kreditor tidak lagi memiliki

hak istimewa sebagai pemegang hak tanggungan (kreditur preference) yang

mendapat kedudukan yang diutamakan dalam pelunasan piutangnya atas

jaminan yang diberikan berupa hak atas tanah tersebut.

Berdasarkan pada beberapa penelitian tesis terdahulu di atas, terlihat jelas

perbedaan yang dibahas dalam penelitian ini. Tesis dari Andina Dyah

Pujaningrum membahas permasalahan tentang apakah yang menjadi hak dan

kewajiban bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan

pemegang Hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

30

serta bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Guna

Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang Hak Milik atas tanah yang di

atasnya diberikan Hak Guna Bangunan.

Tesis dari I Gede Etha Prianjaya membahas permasalahan tentang

bagaimana kedudukan jaminan Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya telah

berakhir sedangkan perjanjian kreditnya belum berakhir dan upaya apa yang

dilakukan oleh pihak bank terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir

sedangkan jaminan hak tanggungan sudah berakhir.

Tesis dari A.A Ayu Ray Saraswati membahas permasalahan tentang status

hukum tanah Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang telah

dicabut izin pemanfaatannya oleh Gubernur dan akibat hukum pembebanan Hak

Tanggungan atas Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang izin

pemanfaatan tanahnya telah dicabut oleh Gubernur.

Sedangkan pada penelitian ini dengan judul “Akibat Hukum Penguasaan

Hak Guna Bangunan Oleh Badan Hukum Yang Melampaui Batas Luas Ketentuan

Undang-Undang”, substansi permasalahan yang dibahas adalah bagaimanakah

pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang

menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-

undang. Dengan demikian dalam penelitian tesis ini terlihat jelas perbedaan

permasalahan yang hendak diteliti, sehingga penelitian tesis ini dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah terkait orisinalitasnya atau keasliannya.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

31

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis deskripsikan di

atas, adapun rumusan permasalahan penelitian yang dapat penulis uraikan adalah :

1. Bagaimanakah pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan terhadap Badan

Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang ?

2. Bagaimanakah akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna

Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang ?

1.3.Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini yang hendak dicapai adalah (het

doel van het onderzoek) berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum

terkait dengan paradigma sience as a process (ilmu sebagai proses). Dengan

paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas

kebenaran di bidang obyeknya masing-masing.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus (het doel in het onderhoek) dari penelitian ini adalah

mendalami permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan

permasalahan penelitian yaitu :

1. Untuk mendeskripsikan dan melakukan analisis secara komperhensif

tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan

Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas

ketentuan undang-undang, menghindari terjadinya praktik monopoli

dibidang persaingan usaha properti dalam pembangunan hunian hotel

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

32

dengan status Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum, mengurangi

eksploitasi terhadap alam dalam hal ini tanah secara berlebihan terkait

dengan alih fungsinya serta melaksanakan Catur Tertib Pertanahan yang

terdiri dari tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib

penggunaan tanah, tertib pemeliharaan tanah dan kelestarian lingkungan

hidup.

2. Untuk memberikan kepastian hukum terkait pengaturan penguasaan dan

akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna

Bangunan melampaui batas ketentuan luas undang-undang.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini hasilnya diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran kritis guna memecahkan masalah-masalah hukum yang terjadi di

masyarakat dan memberikan kontribusi keilmuan untuk pembenahan dalam kajian

akademis tentang perlu adanya kepastian hukum secara normatif terkait dengan

pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang

menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-undang

dan hal ini tidak diatur di dalam ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan

Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

33

1.4.2 Manfaat Praktis.

1) Manfaat bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

kritis kepada pihak-pihak (pejabat maupun instansi) yang terkait dengan

pertanahan. Penelitian ini bermanfaat dalam memecahkan permasalahan yang

terkait dengan pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum

yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-

undang dan hal ini tidak diatur di dalam ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan

Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah.

2) Manfaat bagi Subyek Hukum

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang aspek-

aspek hukum pertanahan secara umum dan referensi bagi pihak-pihak yang

bertindak sebagai subyek hukum (orang atau badan hukum) dalam penguasaan

tanah dengan status Hak Guna Bangunan. Referensi yang diberikan adalah terkait

dengan hal pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap subyek hukum

(orang/badan hukum) yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas

ketentuan undang-undang.

3) Manfaat bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi masyarakat

yang memohon ataupun yang memiliki hak atas tanah tentang pengaturan

penguasaan dan akibat hukum bagi pihak yang menguasai Hak Guna Bangunan

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

34

melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang. Hak Guna Bangunan dapat

terjadi di atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara karena penetapan

Pemerintah dan di atas tanah Hak Milik karena perjanjian yang yang dibuat

dengan akta otentik oleh pejabat yang berwenang antara pemilik tanah dengan

pihak yang berkepentingan selaku pemohon Hak Guna Bangunan.

4) Manfaat bagi Penulis

Penelitian ini bermanfaat bagi penulis untuk memberikan tambahan

pengetahuan hukum tentang masalah yang diteliti serta untuk kepentingan

penyelesaian studi. Jawaban dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan akibat hukum dan

sanksi terhadap penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang

melampaui batas luas ketentuan undang-undang.

1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

A. Landasan Teoritis

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, “Kata teori berasal dari kata

theoria yang artinya pandangan atau wawasan”.23

Penulis lebih lanjut mengutip

pendapat Gijssels dalam penjelasannya menyatakan bahwa, “Kata teori dalam

Teori Hukum dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan

pengertian-pengertian yang sehubungan dengan kenyataan yang dirumuskan

sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat

dikaji”.24

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa Teori Hukum adalah

teori-teori mengenai hukum yang merupakan suatu pernyataan atau pandangan

23 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan keenam, Cahaya Atma Pustaka,

Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I), hal. 4

24 Ibid, hal. 5

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

35

yang untuk sementara ini disepakati kebenarannya dan merupakan suatu teori

baku yang disepakati para ahli hukum.

Konsep (concept) adalah kata yang merupakan abstraksi yang

digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.25

Ilmu hukum memiliki banyak

konsep hukum diberbagai bidangnya. Selanjutnya, “Asas hukum adalah suatu

pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma

hukum”.26

J. J. H Bruggink dalam terjemahan Arief Sidhartha menyatakan bahwa

“Asas Hukum” adalah kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai.27

Berdasarkan

hal tersebut dapat diketahui bahwa asas-asas hukum sangatlah penting yang

menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu peraturan

perundang-undangan.

Teori hukum yang digunakan oleh penulis sebagai pisau analisis untuk

mengkaji permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1.5.1. Teori Kepastian Hukum.

Teori Kepastian Hukum memiliki 2 (dua) substansi penting. Substansi

yang pertama adalah adanya ketentuan/aturan yang bersifat umum dapat

memberikan pemahaman kepada Subyek Hukum yang terdiri dari Orang atau

Badan Hukum untuk mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh

dilakukan. Substansi yang kedua adalah merupakan jaminan perlindungan hukum

bagi Subyek Hukum dari kesewenang-wenangan tindakan pemerintah. Dengan

25Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan

Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 47.

26 M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition,

cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya, hal. 56.

27 J. J. H Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, cetakan

kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 123.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

36

adanya aturan hukum yang bersifat umum itu Badan Hukum dapat mengetahui

dan memahami terkait dengan hal-hal apa saja yang dapat dibebankan atau

dilakukan Negara terhadapnya. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal

dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim

antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang

serupa yang telah di putuskan.28

Teori ini memiliki relevansi untuk menganalisis rumusan masalah pertama

untuk memberikan adanya kepastian hukum dalam pengaturan penguasaan Hak

Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan

undang-undang mengingat Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas

Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur secara tegas. Teori ini

juga berfungsi untuk membentuk aturan hukum yang bersifat umum sehingga

Badan Hukum dapat mengetahui apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan

apa yang dapat dibebankan Negara terhadapnya.

1.5.2. Teori Keadilan.

Aristoteles memformulasikan bahwa Filsafat Hukum membedakan

keadilan menjadi 2 (dua) hal yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif. Hal

ini menjadi dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan

keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada

setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat dan perlakuan yang

28 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,

Jakarta, hal.158

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

37

sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law).29

Sedangkan keadilan korektif adalah keadilan yang dimaksudkan untuk

mengembalikan keseimbangan, ketika keseimbangan yang ada terganggu oleh

tindakan yang salah. Keadilan ini bermaksud mengembalikan kondisi atau posisi

yang terganggu menjadi seperti sedia kala.30

Keadilan menurut Jhon Rawls dijelaskan bahwa keadilan itu tidak saja

meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan

mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum

turut serta dalam mendukung upaya tersebut.31

Teori ini memiliki relevansi untuk

menjawab rumusan masalah pertama terkait dengan persoalan pengaturan

penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas

ketentuan undang-undang. UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak

Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah belum memberikan pengaturan

yang adil terkait dengan Penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum

yang melampaui luas ketentuan undang-undang. Penulis dengan mengutip

pendapat Jhon Rawls tentang teori keadilannya berpandangan bahwa di dalam

membentuk suatu ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan

keadilan dan daya paksa dalam hal apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan

yang tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga

mempersoalkan tentang perlu adanya kepastian hukum. Kepastian hukum ini

29 Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Pemikiran Hukum di

Indonesia 1945-1990, Muhamadiyah University Press, Jakarta, hal. 54.

30 Sutarman Yodo, 2013, Aspek Hukum Ekonomi Dalam Kerjasama Daerah, Genta

Publishing, Yogyakarta, hal.37

31

Jhon Rawls dalam Bambang Kusumo, 2009, Teori Keadilan, Erlangga Jakarta, hal. 18

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

38

harus mencerminkan nilai keadilan dan hukum di dalamnya turut serta dalam

mendukung upaya tersebut.

1.5.3. Teori Principles Of Legality

Teori ini berfungsi untuk menjawab kedua permasalahan dalam penelitian

ini. In The Morality of Law, Fuller identifies eight requirements of the rule of law:

Laws must be general (#1), specifying rules prohibiting or permitting

behavior of certain kinds. Laws must also be widely promulgated (#2), or

publicly accessible. Publicity of laws ensures citizens know what the law

requires. Laws should be prospective (#3), specifying how individuals ought to be have in the future rather than prohibiting behavior that occurred in the

past. Laws must be clear (#4). Citizens should be able to identify what the laws

prohibit, permit, or require. Laws must be non-contradictory (#5). One law

cannot prohibit what another law permits. Laws must not ask the impossible

(#6). Nor should laws change frequently; the demands laws make on citizens

should remain relatively constant (#7). Finally, there should be congruence

between what written statute declare and how officials enforce those statutes

(#8).32

Berdasarkan uraian teori hukum dari Lon Fuller di atas dengan

mengartikan secara bebas terhadap apa yang diuraikan dalam teorinya “Principles

Of Legality”, Fuller mengidentifikasi adanya delapan persyaratan dari peraturan

perundang-undangan yaitu:

1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh

berlaku khusus atau untuk individu tertentu;

2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai

jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan secara luas;

3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga

menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undang-undang

harus bersifat prospefektif;

4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus

berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi di

massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum harus

jelas;

5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh

undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa yang

dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh

32 Lon Fuller, 1969, Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press), p. 39.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

39

bertentangan satu dengan lainnya. (Sistem hukum tidak boleh

mengandung peraturan yang kontradiktif);

6. Suatu undang-undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundang-

undangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau

menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus menjangkau

kesanggupan warga negara untuk memenuhinya;

7. Undang-undang tidak boleh sering berubah. Apa yang diminta oleh

undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap;

8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan

ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan

statuta atau peraturan-peraturan tersebut.

Relevansi teori ini adalah digunakan untuk menjawab permasalahan

pertama dan kedua dalam penelitian ini yang berfungsi sebagai tolak ukur

substansi pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik guna

memberikan adanya kepastian hukum. UUPA dan Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan

Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur

secara normatif tentang penguasaan dan akibat hukum bagi Badan Hukum yang

menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan

undang-undang.

Upaya dalam memberikan kepastian hukum kedepan hendaknya dilakukan

dengan mempertimbangkan Teori Principles Of Legality yang terdapat di dalam

angka ke-3, 4 dan ke-8 yakni hukum harus memberikan prospek kedepan, hukum

harus jelas dan harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan

oleh hukum serta bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-

peraturan tersebut.

Makna hukum harus jelas pada angka ke 3 teori Principles Of Legality di

atas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa publisitas hukum

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

40

menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum dan

undang-undang harus bersifat prospefektif. Konsep pemikiran dari teori ini dalam

relevansinya membahas permasalahan dalam penilitian ini adalah dalam hal

undang-undang yang dibentuk harus memberikan sifat yang prospektif dalam arti

menjangkau persoalan-persoalan hukum yang akan terjadi di massa depan dan

masyarakat mengetahui tentang apa yang disyaratkan oleh undang-undang.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013

tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan

Pendafataran Tanah belum menjangkau hal tersebut karena masih terdapat

kekosongan hukum terkait dengan penguasaan dan akibat hukum bagi Badan

Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang

ditentukan undang-undang.

Makna hukum harus jelas pada angka ke 4 teori Principles Of Legality di

atas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa pembentuk

undang-undang harus jelas dalam membuat undang-undang. Teori ini berfungsi

memberikan kejelasan dalam hal diperlukannya adanya pengaturan terkait

penguasaan dan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna

Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-undang dan pengaturannya

tidak diatur di dalam ketentuan UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak

Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. Ketentuan pasal yang dibentuk

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

41

dalam suatu peraturan perundangan-undangan harus memberikan kejelasan,

kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Makna yang terdapat dalam angka ke 8 teori Principles Of Legality

memberikan makna bahwa harus ada kesesuaian antara apa yang ditetapkan oleh

undang-undang dengan bagaimana cara melaksanakan ketentuan undang-undang.

UUPA merupakan undang-undang yang dibentuk dengan menganut sistem

pembatasan kepemilikan dan penguasaan tanah, hendaknya di dalamnya juga

memuat akibat hukum/sanksi apabila ketentuan pembatasan kepemilikan atau

penguasaan luas tanah secara maksimum itu dilanggar sehingga terjadi kesesuaian

antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara

pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut.

1.5.4. Teori Pembentukan Norma.

Teori pembentukan norma hukum menyatakan bahwa suatu aturan hukum

yang dibentuk hendaknya mendeskripsikan :

1. Hukum adalah ide atau konsep umum tentang lembaga-lembaga hukum

yang diabstraksikan dari peristiwa-peristiwa tertentu dari padanya

2. Hukum adalah suatu sistem hukum tertentu secara menyeluruh dan

koheren yang terdapat dalam suatu masyarakat atau negara tertentu

3. Hukum adalah ketentuan normatif tertentu dari Hukum: aturan atau

norma dari suatu sistem hukum tertentu

4. Hukum merupakan abstraksi dari apa yang tampak yaitu Hukum dan

hukum. Jika kita melakukan abstraksi , kita merujuk pada hal-hal konkret

atau dapat diamati. Bagaimana kita dapat mengenali sesuatu kalau tidak

memiliki gambaran untuk membimbing kita. Oleh karena itu kita harus

beranjak dari yang khusus dulu yakni Hukum atau sistem hukum.33

Teori ini memiliki relevansi untuk menjawab rumusan masalah yang

pertama terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan terhadap

33 Antony Allot, 1980, The limit of Law, Butterworths, London, p.28

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

42

Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang yang tidak

diatur didalam ketentuan UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional No 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas

Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah.

1.5.5. Teori Sistem Hukum

Teori sistem hukum ini berfungsi untuk menjawab rumusan masalah yang

kedua. Sistem hukum menurut H.L.A. Hart dalam gagasannya dibagi menjadi dua

yang disebut dengan primary rules dan secondary rules. Kedua bagian tersebut

merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam sistem hukum.

Primery rules menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak

bertindak dan hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum (forms of

law).34

Primary rules (aturan utama) di dalamnya terdapat dua model substansi.

Model pertama adalah primary rules yang di dalamnya memiliki susbtansi yang

disebut dengan aturan sosial (sosial rule) yakni keteraturan perilaku di dalam

beberapa kelompok sosial terkait dengan suatu hal yang umum dan banyak

dijumpai dalam masyarakat. Model kedua adalah aturan itu harus dirasakan

sebagai suatu kewajiban oleh suatu/sebagian besar dalam anggota kelompok

sosial yang relevan. Dari sudut pandang internal, masyarakat merasakan bahwa

aturan hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan, baik untuk tekanan sosial dan

reaksi yang kritis bagi prilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri.35

34 H.L.A. Hart, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford, p. 96

35 Ibid, hal. 96-99

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

43

Model yang kedua apa yang disebut oleh hart dengan secondary rules,

yang dapat disebut “aturan tentang aturan” (rules about rules) dan apa bila di rinci

terdiri dari :

1. Aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap sah

(rules of recognition);

2. Bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan;

3. Bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of

ajudication).

Apabila ditelaah lebih jauh maka rules of ajudication lebih efisien, rules of

change bersifat sedikit kaku dan rules of recognition bersifat reduksionis.36

Teori

ini memiliki relevansi untuk membahas rumusan masalah kedua dalam penelitian

ini adalah berkaitan dengan primary rules dan secondary rules yang harus ada

dalam setiap substansi peraturan perundang-undangan. Kedua bagian tersebut

merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam substansi

sistem hukum yang membentuk suatu peraturan perundang-undangan.

Primary Rules di dalamnya berisi apa yang disebut aturan sosial (sosial

rule) yakni keteraturan perilaku di dalam beberapa kelompok sosial dan suatu hal

yang umum yang banyak dijumpai dalam masyarakat. Secondary Rules disebut

dengan “aturan tentang aturan” (rules about rules) apa bila di rinci meliputi,

Pertama; aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap

sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules

36Ibid

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

44

of change) dan Ketiga; bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan,

dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication).

Keabsahan aturan (rules of recognition) terkait dengan akibat hukum bagi

Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas tanah

yang ditentukan undang-undang masih terdapat kekosongan hukum di dalam

ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun

2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan

Pendafataran Tanah.

Dalam Teori Sistem Hukum dinyatakan bahwa undang-undang idealnya

mempunyai keseragaman aturan sosial (sosial rule) yang berkaitan dengan

keteraturan prilaku Badan Hukum dan undang-undang hendaknya yang

menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap sah. Dua hal ini

hendaknya diatur dalam ketentuan UUPA guna menjamin adanya kepastian

hukum terkait dengan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak

Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang.

1.5.6. Konsep Negara Hukum

Sebagai dasar dan landasan konsep yang paling universal atau umum,

penulis menggunakan konsep Negara Hukum dari Friedrich Julius Stahl. Konsep

ini berfungsi sebagai acuan untuk membahas kedua permasalahan yang terdapat

dalam penelitian ini. Konsep Negara Hukum berfungsi sebagai indikator dalam

memberikan analisa hukum terkait dengan pengaturan penguasaan dan akibat

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

45

hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui

batas luas yang ditentukan undang-undang.

Konsep Negara Hukum sering diterjemahkan dengan istilah “Rechtsstaat”

atau “Rule of Law”. Paham Rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem

hukum Eropa Kontinental, sedangkan paham Rule of Law bertumpu pada sistem

hukum Anglo Saxon atau Common Law System. Paham Rechtsstaat ini

dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant

dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham Rule of Law mulai dikenal setelah

Albert Van Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya yang berjudul

Introduction to Study of The Law of The Constitution.37

Paham Rechtsstaat pada

dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam penelitian ini,

digunakan konsep Negara Hukum dari Friedrich Julius Stahl, karena Indonesia

menganut sistem hukum yang sama yakni sistem hukum Eropa Kontinental,

sehingga terdapat persesuaian atau persamaan-persamaan terkait dengan

penerapan sistem hukum Eropa Kontinental.

Konsep Negara Hukum menurut Julius Stahl yang disebutnya Rechtsstaat

mencakup 4 (empat) elemen yang terdiri dari :

a. Perlindungan hak asasi manusia;

b. Pembagian kekuasaan;

c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;

d. Peradilan tata usaha negara. 38

37 Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan pertama,

CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 3

38 Ibid

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

46

Substansi Konsep Negara Hukum yang memiliki relevansi terhadap

pembahasan permasalahan dalam penelitian ini adalah pemerintahan berdasarkan

undang-undang. Pengaturan penguasaan dan akibat hukum bagi Badan Hukum

yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-

undang pengaturannya perlu diatur di dalam ketentuan undang-undang oleh

pejabat yang berwenang.

Pemerintahan berdasarkan undang-undang memiliki makna bahwa hukum

yang mengatur dan membatasi kekuasaan Negara (pemerintahan). Segala tindakan

pemerintahan harus berdasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan

yang sah dan tertulis. Pengaturan penguasaan dan akibat hukum bagi Badan

Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan

undang-undang hanya bisa diberikan oleh pejabat yang berwenang apabila telah

diatur dalam ketentuan undang-undang. Suatu peraturan akan menjadi lebih

efektif dan mempunyai daya paksa untuk dipatuhi oleh subyek hukum apabila

mempunyai sanksi hukum di dalamnya.

1.5.7. Konsep Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan adalah salah satu jenis dari berbagai jenis hak-hak

atas tanah yang diatur dalam ketentuan Pasal 16 UUPA. Hak Guna Bangunan

konsepnya berawal dari konsep UUPA yang tidak memberikan kewenangan

kepada Negara Republik Indonesia sebagai pemilik hak atas tanah di seluruh

wilayah Indonesia melainkan dikuasai oleh Negara Republik Indonesia dan hal ini

disebut sebagai Hak Menguasai Negara.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

47

Boedi Harsono dalam pendapatnya mengatakan bahwa pemilik bangunan

berbeda dengan pemilik hak atas tanah dimana bangunan tersebut

berada/didirikan. Hal ini juga terjadi persamaan konsep bahwa pemegang Hak

Guna Bangunan dimana bangunan tersebut berada/didirikan dengan pemegang

hak milik atas tanah adalah berbeda. Pada hakekatnya hak yang ditentukan pada

Hak Guna Bangunan bertujuan untuk dipakai secara „tempat untuk membangun

sesuatu di atasnya‟ (bukan diperuntukan untuk usaha pertanian). 39

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dalam

ketentuan Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pengertian bangunan (gedung)

adalah :

Wujud fisik hasil pekerjaan kosntruksi yang menyatu dengan tempat

kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam

tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan

kegiatannya baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan,

kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus.

Berdasarkan definisi di atas dapat disebutkan bahwa bangunan yang

dimaksud dalam ketentuan undang-undang ini adalah:

1. Bangunan tersebut hasil dari pekerjaan manusia;

2. Pembangunannya merupakan salah satu bentuk pemanfaatan ruang;

3. Konstruksinya sebagian atau seluruhnya menyatu dengan tempat

kedudukan di atas/di dalam tanah dan atau air;

4. Berfungsi sebagai tempat kegiatan manusia (ekonomi, keagamaan, sosial,

budaya, dan kegiatan khusus).

Hak Guna Bangunan menurut A.P. Parlindungan adalah suatu hak yang

sebelumnya tidak dikenal dalam perangkat hak-hak atas tanah menurut hukum

adat. Hak ini mulai ada sejak disahkannya UUPA dan diadakan dengan tujuan

untuk memenuhi masyarakat ekonomis yang modern. Hak Guna Bangunan

39 Boedi Harsono, op.cit, hal.285

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

48

sebagai salah satu jenis hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Pasal 16 UUPA

mempunyai sisi pembeda dalam arti terdapat kekhususan dalam karakteristik

haknya. Tujuan pengunaan tanahnya dan batas waktu penguasaannya berbeda

dengan hak atas tanah yang lain. Hak Guna Bangunan hanya dimungkinkan

penggunaan tanahnya untuk keperluan membangun dan memiliki bangunan,

dengan jangka waktu pengunaan yang terbatas, dapat dialihkan kepada pihak lain

dan dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan.40

Konsep Hak Guna Bangunan digunakan untuk mengetahui karakteristik

dari Hak Guna Bangunan. Dengan mengetahui konsep Hak Guna Bangunan ini

dapat menjawab rumusan masalah pertama dalam penelitian ini.

1.5.8. Konsep Politik Hukum.

Politik hukum menurut Moh. Mahfud MD dinyatakan bahwa politik

hukum merupakan legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional

oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi : Pertama, pembangunan hukum yang

berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat

sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada

termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.

Lingkup pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan

dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum

akan dibangun dan ditegakan.41

Konsep politik hukum ini berfungsi untuk

menjawab rumusan masalah pertama dan kedua mengingat masih adanya

40 A.P Parlindungan, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, CV Mandar Maju,,

Bandung, (selanjutnya disingkat A.P. Parlindungan II), hal. 51

41 Moh. Mahfud MD dalam H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar

Grafika, Jakarta, hal. 2

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

49

kekosongan hukum dalam hal pengaturan penguasaan dan akibat hukum bagi

Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas

ketentuan undang-undang.

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

50

B. Kerangka Berpikir

AKIBAT HUKUM PENGUASAAN HAK GUNA BANGUNAN OLEH

BADAN HUKUM YANG MELAMPAUI BATAS LUAS KETENTUAN

UNDANG-UNDANG

Latar Belakang Masalah :

Pasal 7 UUPA pada

prinsipnya menganut sistem

pembatasan kepemilikan dan

penguasaan hak atas tanah.

UUPA dan peraturan

pelaksananya yakni Perkaban

No. 2 Tahun 2013 tentang

Pelimpahan Kewenangan

Pemberian Hak Atas Tanah Dan

Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur secara tegas

akibat hukum dan sanksi hukum

penguasaan Hak Guna Bangunan

yang melebihi batas luas

ketentuan undang-undang.

Rumusan Masalah :

1. Bagaimanakah pengaturan penguasaan Hak

Guna Bangunan terhadap Badan Hukum

yang melampaui batas luas ketentuan

undang-undang ?

2. Bagaimanakah akibat hukum bagi Badan

Hukum yang menguasai Hak Guna

Bangunan dengan melampaui batas luas

yang ditentukan undang-undang ?

Metode Penelitian :

1. Penelitian ini

menggunakan metode

Penelitian Hukum

Normatif yakni beranjak

dari adanya kekosongan norma hukum atau asas

hukum.

2. Pendekatan yang

digunakan adalah

pendekatan peraturan

perundang-undangan,

pendekatan perbandingan

hukum, pendekatan kasus,

dan pendekatan analisis

konsep hukum.

Landasan Teoritis

1. Rumusan Masalah 1:

a. Teori Kepastian Hukum

b. Teori Keadilan

c. Teori Principles Of Legality d. Teori Pembentukan Norma

e. Konsep Negara Hukum

f. Konsep Hak Guna Bangunan

g. Konsep Politik Hukum

2. Rumusan Masalah 2:

a. Teori Sistem Hukum

b. Teori Principles Of Legality

c. Konsep Negara Hukum

d. Konsep Politik Hukum

Sasaran - Sasaran dari penelitian ini adalah untuk memberikan kajian tentang kepastian hukum secara normatif

tentang pengaturan sanksi hukum dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna

Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang.

- Sasaran lain dari penelitian ini adalah untuk menghindari terjadinya praktek bisnis monopoli dibidang

properti dalam hal pembangunan hotel dengan status Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang

melebihi luas batas tanah, serta melaksanakan Catur Tertib Pertanahan yang terdiri dari tertib hukum

pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah, tertib pemeliharaan tanah dan

kelestarian lingkungan hidup.

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

51

1.6. Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian.

Untuk menghimpun bahan yang dipergunakan guna penyusunan dan

pembahasan permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode

Penelitian Hukum Normatif yakni beranjak dari adanya kekosongan norma

hukum atau asas hukum.42

Kekosongan norma hukum dalam penelitian ini

terdapat di dalam ketentuan Pasal 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak

Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur secara tegas

pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang

menguasai hak guna bangunan melebihi batas luas ketentuan undang-undang.

1.6.2 Jenis Pendekatan.

Dalam penelitian hukum normatif dikenal adanya 7 (tujuh) jenis

pendekatan yaitu pendekatan kasus (the case approach), pendekatan perundang-

undangan (the statuta approach), pendekatan fakta (the fact approach),

pendekatan analisis konsep hukum (analitical dan conceptual approach),

pendekatan frasa (words & phrase approach), pendekatan sejarah (historical

approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). 43

Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan

(the statute approach), pendekatan perbandingan hukum (comparative approach)

42 Jhony Ibrahim, 2005, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif” Surabaya, hal. 284

43 H. Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.24

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

52

pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan analisis konsep hukum

(analitical & conseptual approach).

Pendekatan peraturan perundang-undangan adalah penelitian

menggunakan pendekatan perundang-undangan. Dalam penelitian ini diteliti

berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu

penelitian. Peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai

sifat-sifat sebagai berikut:

1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait

antara satu dengan lain secara logis;

2. All-inclussive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu

menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada

kekurangan hukum;

3. Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,

norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkhis.44

Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk

memepelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam

praktik hukum. Kasus-kasus yang telah terjadi dipelajari untuk memperoleh

gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam

praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan dalam

eksplanasi hukum.45

Pendekatan perbandingan hukum adalah pendekatan yang umumnya

dilakukan dengan membandingkan isi aturan hukum negara lain yang spesifik

dengan aturan hukum yang diteliti, atau dapat juga dalam rangka mengisi

kekosongan dalam hukum positif. Penelitian seperti itu hanya dilakukan terhadap

unsur-unsur yang dapat di bandingkan (tertium comparationis) dengan bahan

44 Jhony Ibrahim, op.cit, hal.302

45

Jhony Ibrahim, op.cit, hal.301

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

53

hukum yang menjadi fokus penelitian.46

Penulis dalam penelitian ini melakukan

perbandingan hukum terhadap negara Australia.

Pendekatan analisis konsep hukum adalah analisis terhadap bahan hukum

untuk mengetahui makna yang terkandung oleh istilah-istilah yang digunakan

dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional.47

Hal ini dilakukan

dengan melalui dua cara. Cara pertama, sang peneliti berusaha memperoleh

makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan. Cara

kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktik melalui analisis

terhadap putusan pengadilan.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum.

Berdasarkan atas penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder dalam penelitian hukum normatif, masing-masing dapat diuraikan

sebagai berikut dibawah ini :

Bahan Hukum Primer terdiri dari :

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104;

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang

Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

46 Jhony Ibrahim, op.cit, hal.315

47

Jhony Ibrahim, loc.cit

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

54

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor

3643;

d. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang

Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan

Pendafataran Tanah Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor

107.

Bahan Hukum Sekunder terdiri dari :

1. Buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau

pandangan ahli hukum yang termuat dalam dalam media masa, kamus dan

enslikopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan enslikopedi

hukum kedalam bahan hukum tersier) dan ;

2. Internet dengan menyebut nama dan situsnya.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian

ini adalah dengan menggunakan metode bola salju (snowball method).48

Adapun

metode yang dimaksud dengan metode bola salju adalah menggelinding terus

menerus sampai menemukan titik jenuh, dan hal ini mengacu kepada peraturan

perundang-undangan dan buku-buku hukum dalam daftar pustaka. Pengumpulan

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier di

inventarisasi dan diklasifikasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang

dibahas dalam penelitian ini.

48 I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam

Sistem Peradilan Pidana, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana,

Denpasar, hal.32

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

55

Dengan pengklasifikasian diharapkan dapat memudahkan melakukan

analisis terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian dengan

mengelaborasikan antara bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta

bahan hukum tersier yang dianalisis dan disusun secara sistematis.

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum.

Pada tehnik penulisan analisis bahan hukum dalam penelitian ini

menggunakan tehnik deskripsi dan tehnik penemuan hukum (Rechtsvinding).

Tehnik deskripsi adalah menguraikan adanya suatu kondisi atau posisi dari

proposisi-proposisi hukum atau non hukum.49

Tehnik penemuan hukum

(Rechtsvinding) menggunakan teknik konstruksi hukum. Dalam tehnik konstruksi

hukum, penemuan hukum (Rechtsvinding) dapat dibentuk melalui 2 jenis metode

yaitu:

1. Argumentum a contrario adalah penalaran yang secara konkrit dilakukan

pada ketentuan aturan hukum dalam undang-undang dan hanya berlaku

pada kejadian-kejadian yang secara eksplisit disebut dan tidak berlaku

bagi kejadian yang tidak disebut;

2. Rechtsverfijning atau penghalusan hukum adalah oleh Sudikno

Mertokusumo dinamakan “penyempitan hukum”. Konsep dari penalaran

ini berlawanan dengan analogi. Pada penghalusan hukum yang terjadi

adalah aturan hukum yang dikhususkan.50

49 M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I,

Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 43

50 Sudikno Mertokusumo dalam I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran dan

Argumentasi Hukum (Legal Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit Bali

Aga, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), hal.48

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan

56

Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah proses

penemuan hukum oleh hakim atau aparat penegak hukum lainnya yang ditugaskan

untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa yang konkret.51

Penemuan hukum sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan

hukum yang bersifat umum dengan mengaitkannya pada peristiwa konkret

tertentu. Apabila terjadi kekosongan hukum maka hukum harus dicari dan

ditemukan melalui penemuan hukum.

51 Sudikno Mertokusumo dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Asas Legalitas Dan Penemuan

Dalam Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga, Jogjakarta, (selanjutnya disingkat

Sudikno Mertokusumo III), hal. 56.

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.. BAB 1.pdf · 3. Hak untuk mengadakan pungutan - pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan