Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.
Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadaannya dijamin dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penegasan lebih
lanjut tentang hal itu antara lain diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on
Economic, Social, and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya).1 Arti makna dalam fungsi tanah sebagai hak dasar
setiap orang terdapat dalam Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya yang kemudian diratifikasi kedalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2005 dan dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas standar
kehidupan yang memadai.
Hak atas standar kehidupan yang memadai dalam hal ini penulis ber
pandangan bahwa Negara mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang
layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang, perumahan, dan atas
perbaikan kondisi hidup secara berkelanjutan.
Negara Indonesia sebelum merdeka sebagian besar tata hukum pertanahan
yang berlaku adalah Hukum Pertanahan Belanda yang dibuat oleh Pemerintah
Belanda.2 Adapun beberapa periodesasi pemerintahan di era Pemerintah Belanda
yang terdiri dari VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie 1602-1799),
1 Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
P.T. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal.7
2 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Edisi Pertama, Kencana Pranada
Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso I), hal. 14
1
2
Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811), Gubernur Thomas Stamford
Rafles (1811-1816), dan yang terakhir adalah masa pemerintahan Gubernur
Johanes van den Bosch.3 Masa politik hukum pertanahan Belanda dalam bentuk
tabel secara sistematis penulis tampilkan di bawah ini.
3 Ibid
No. Masa Pemerintahan Bentuk Kebijakan
Pertanahannya Penerapannya
1
VOC (Verenigde
Oost Indische
Compagnie 1602-
1799).
Politik Pertanian
1) Contingenten adalah pajak atas
hasil tanah pertanian yang
diserahkan kepada penguasa
kolonial (kompeni). Petani harus
menyerahkan sebagian dari hasil
pertaniannya kepada kompeni
tanpa dibayar sepeserpun;
2) Verplichte Leveranten adalah suatu
bentuk ketentuan yang diputuskan
oleh kompeni dengan para raja
tentang kewajiban menyerahkan
seluruh hasil panen dengan
pembayaran yang harganya juga
sudah ditetapkan secara sepihak.
Dengan ketentuan ini, rakyat tani
benar-benar tidak bisa berbuat apa-
apa. Mereka tidak berkuasa atas
apa yang mereka hasilkan;
3) Roerendienste, yaitu kebijakan ini
dikenal dengan nama kerja rodi
yang dibebankan kepada rakyat
Indonesia yang tidak mempunyai
tanah pertanian.
2
Gubernur Herman
Willem Daendles
(1800-1811).
Tanah Partikelir
Kebijakan tanah partikelir adalah
kebijakan yang dilakukan dengan
menjual tanah rakyat indonesia kepada
orang-orang Cina, Arab, maupun
bangsa Belanda sendiri dengan
memiliki sifat, corak istimewa serta
hak pertuanan.
Hak Pertuanan contohnya adalah
sebagai berikut :
3
1. Hak untuk mengangkat atau
mengesahkan pemilikan serta
memberhentikan kepala-kepala
kampung atau desa;
2. Hak untuk menuntut kerja paksa
(rodi) atau memungut uang
pengganti kerja paksa dari
penduduk;
3. Hak untuk mengadakan pungutan-
pungutan baik yang berupa uang
maupun hasil pertanian dari
penduduk;
4. Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
5. Hak untuk memungut biaya
pemakaian jalan dan
penyeberangan;
6. Hak untuk mengharuskan
penduduk tiga hari sekali
memotong rumput bagi keperluan
tuan tanah, sehari dalam seminggu
untuk menjaga rumah atau gudang-
gudangnya, dan sebagainya.
3
Gubernur Thomas
Stamford Rafles
(1811-1816).
Land Rent atau
Pajak Tanah
Pemilikan tanah-tanah di daerah-
daerah Swapraja di Jawa disimpulkan
bahwa semua tanah milik raja sedang
rakyat hanya sekedar memakai dan
menggarapnya.
Karena kekuasaan telah berpindah
kepada pemerintah Inggris dan sebagai
akibat hukumnya adalah hak pemilikan
atas tanah-tanah tersebut dengan
sendirinya beralih pula kepada Raja
Inggris. Dengan demikian tanah-tanah
yang dikuasai dan digunakan oleh
rakyat itu bukan miliknya, melainkan
milik Raja Ingris. Oleh karena itu,
mereka wajib memberikan pajak tanah
kepada Raja Inggris seperti apa yang
mereka berikan sebelumnya kepada
raja mereka sendiri.
4
Gubernur Johanes
van den Bosch.
Sistem Tanam
Paksa atau
Cultuurstelsel
Dalam sistem tanam paksa ini, petani
dipaksa untuk menanam suatu jenis
tanaman tertentu yang secara langsung
4
Hukum pertanahan Belanda dibentuk untuk melaksanakan politik hukum
pertanahan Pemerintah Belanda dengan tujuan kepentingan dan keuntungan
Pemerintah Belanda serta diadakan semata-mata bagi kepentingan para pengusaha
besar.4 Beberapa masa periodesasi politik hukum pertanahan pada era Pemerintah
Belanda dituangkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang terdiri
dari Algameene Maatregel Van Bestur (AMVB) Stb. 1856-64, Agrarische Wet
1870 dan Agrarische Besluit.5
Pada era masa politik hukum pertanahan Belanda yang dimaksud dengan
Algameene Maatregel Van Bestur (AMVB) Stb. 1856-64 adalah peraturan yang di
bentuk Pemerintah Belanda dengan mengapuskan sistem tanam paksa (cultur
stelsel) yang terjadi sejak tahun 1830. Saat masa berlakunya sistem tanam paksa
terdapat pembatasan bagi pengusaha besar swasta untuk berusaha dibidang
perkebunan besar. Pengusahaan tanaman-tanaman untuk ekspor bagi pengusaha
besar swasta yang ingin mengusahakan tanah yang luas harus berdasarkan dengan
Hak Eigendom seperti apa yang dikenal dengan sebutan “Tanah Partikelir”.6 Masa
4 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya, Edisi Revisi, cet.12, Penerbit Djambatan, Jakarta, hal. 40
5 H.M Harba, 2015, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 24
6 Boedi Harsono, op.cit, hal.35
maupun tidak langsung dibutuhkan
oleh pasar internasional pada saat itu.
Hasil pertanian tersebut diserahkan
kepada pemerintah kolonial tanpa
mendapat imbalan apapun. Bagi rakyat
yang tidak mempunyai tanah pertanian
wajib menyerahkan tenaga kerjanya
yaitu seperlima bagian dari masa
kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu
tahunnya.
5
cultur stelsel sejalan dengan politik monopoli yang dilakukan pemerintah kolonial
untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada massa cultur stelsel tidak
diadakan persewaan tanah. Persewaan tanah mulai diadakan kembali setelah
adanya Algemeene Maatregel van Bestuur (AMVB) yang diundangkan dalam Stb.
1856-64 dibuka kembali kesempatan menyewa tanah dari Pemerintah berdasarkan
ketentuan Pasal 62 Ayat 3 RR.
Periodesasi selanjutnya masa politik hukum pertanahan Pemerintah
Belanda adalah masa Agrarische Wet.7 Agrarische Wet dibentuk atas desakan
pengusaha besar swasta, hal ini dikarenakan sejak tahun 1830 tengah giat-giatnya
dilaksanakan cultuur stelsel (peraturan tanam paksa) dimana pihak pengusaha
swasta terbatas kemungkinannya memperoleh tanah-tanah yang luas dan kuat
haknya dalam jumlah besar sangat terbatas. Dengan lahirnya Agrarische Wet ini,
pengusaha besar swasta asing dalam rangka memperluas usahanya di bidang
perkebunan memperoleh Hak Erfpacth berjangka waktu paling lama 75 tahun,
serta ada kemungkinan tanah dari orang-orang indonesia. Agrarische Wet berhasil
memberikan keuntungan yang besar bagi perkembangan modal asing di Indonesia
dalam lapangan pertanian besar, bahkan dapat memberikan keuntungan yang
besar bagi pemodal besar asing. Sebaliknya, bagi rakyat Indonesia justru
menimbulkan kemiskinan, kesengsaraan, dan penderitaan yang sangat
menyedihkan.8 Pelaksanaan Agrarische Wet diatur lebih lanjut dalam berbagai
7 Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, 2007, Hukum Agraria Indonesia dalam
Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Muchsin, Imam
Koeswahyono, dan Soimin I), hal. 13-14
8 Ibid, hal.15
6
peraturan pelaksanaannya antara lain Agrarisch Besluit (Koninklijke Besluit) Stb
1870-118, dan Ordonansi-ordonansi.
Periodesasi politik hukum pertanahan era Pemerintah Belanda yang
terakhir adalah Agrarische Besluit (Koninklijke Besluit) Stb. 1870-118.
Agrarische Besluit adalah suatu peraturan hukum yang dibuat oleh Pemerintah
Belanda dan penerapannya khusus hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Hal
pokok yang sangat penting dalam pelaksanaan politik hukum pertanahan Belanda
adalah pernyataan “domein verklaring” yang merupakan asas dalam ketentuan
Pasal 1 Agrarische Besluit dan dinyatakan: “bahwa semua tanah yang pihak lain
tidak dapat membuktikan sebagai Hak Eigendom-nya, adalah domein (milik)
negara”. Asas ini dinilai oleh bangsa Indonesia kurang menghargai, bahkan
memperkosa hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada Hukum Adat.
Fungsi domein verklaring dalam praktik pelaksanaan perundang-undangan
pertanahan adalah:
a. Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai
pemilik tanah untuk memberikan tanah dengan Hak-Hak Barat yang diatur
dalam KUH Perdata, seperti Hak Erfpacht, Hak Opstal, dan lain-lainnya.
Dalam rangka domein verklaring pemberian tanah dengan Hak Eigendom
dilakukan dengan cara pemindahan Hak Milik Negara kepada penerima
tanah;
b. Di bidang pembuktian pemilikan. Setiap tanah harus ada pemiliknya, dan
setiap pemilik tanah harus dapat membuktikan kepemilikan hak atas
tanahnya, kalau tidak maka tanah tersebut adalah tanah milik Negara.9
Akibat dari adanya politik hukum pertanahan Belanda, maka Hukum
Agraria yang berlaku berstruktur ganda atau dualistik yaitu di satu pihak berlaku
Hukum Tanah Adat yang bersumber pada Hukum Adat dan di lain pihak berlaku
9 H.M Harba, op.cit, hal. 28
7
Hukum Tanah Barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam Buku II
KUH Perdata dan merupakan hukum tertulis. Dengan demikian di bidang
penguasaan dan pemilikan tanah, terdapat perbedaan hukum yang berlaku.
Untuk golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan itu dan golongan
Timur Asing berlaku Hukum Tanah Barat berdasarkan ketentuan yang terdapat
dalam Buku II KUH Perdata. Sedangkan untuk golongan Bumi Putera (Pribumi)
berlaku Hukum Tanah Adat yang bersumber pada Hukum Adat. Sehingga
terdapat adanya tanah-tanah yang dikuasai dan dihaki dengan hak-hak atas tanah
berdasarkan Hukum Tanah Barat (KUH Perdata) dan terdapat pula tanah-tanah
yang dikuasai dan dihaki dengan hak-hak atas tanah yang berdasarkan pada
Hukum Tanah Adat. Tanah-tanah yang dikuasai dan dihaki berdasarkan Hukum
Tanah Barat berlaku Buku II KUH Perdata, sedangkan tanah yang dikuasai dan
dihaki berdasarkan Hukum Tanah Adat berlaku Hukum Adat. 10
Dualisme dalam Hukum Tanah bukan karena hak atas tanah yang berbeda
Hukum Perdatanya, melainkan karena perbedaan hukum yang berlaku terhadap
tanahnya. Tanah dalam Hukum Indonesia mempunyai status atau kedudukan
hukum tersendiri, terlepas dari status hukum subyek yang mempunyainya. Tanah-
tanah yang termasuk dalam Hak Barat adalah tanah dengan Hak Eigendom, Hak
Erfacht, Hak Opstal yang disebut tanah-tanah Hak Barat atau tanah-tanah Eropa.
Tanah-tanah yang masuk kedalam hak-hak Indonesia adalah tanah-tanah dengan
Hak Adat. 11
10 H.M Harba, op.cit, hal. 29
11
Boedi Harsono, op.cit, hal.54
8
Pada era politik hukum pertanahan Belanda saat berlakunya Agrarische
Wet terkait dengan Hak Guna Bangunan disebut juga sebagai Hak Opstal yakni
sebagai suatu Hak Kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman-tanaman di
atas sebidang tanah orang lain. Sebutan untuk Hak Opstal kemudian beralih
menjadi Hak Guna Bangunan sejak Indonesia membentuk suatu unifikasi hukum
di bidang pertanahan dengan membentuk Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) (selanjutnya disebut
UUPA). Undang-undang ini dibentuk mengingat ketentuan undang-undang yang
berlaku sebelumnya tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari
pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya sehingga bertentangan
dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional
serta pembangunan semesta.
Terbentuknya UUPA merupakan landasan dan sebagai amanah
konstitusional dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terkait dengan Hak Menguasai Negara yang selanjutnya
melahirkan wewenang untuk Negara dan ketentuan ini diatur dalam Pasal 2
UUPA. Wewenang tersebut memberikan Negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat yang salah satunya untuk menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi,
air, dan ruang angkasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUPA.
9
Terkait dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) di atas, A.P.
Parlindungan memberikan pandangannya yaitu :12
Dengan demikian Negara sebagai organisasi kekuasaan mengatur sehingga
membuat peraturan, kemudian menyelenggarakan artinya melaksanakan
(execution) atas penggunaan peruntukan (use), persediaan (reservation) dan
pemeliharaan (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Negara juga menentukan dan mengatur
(menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat
dikembangkan dari hak menguasai negara tersebut. Menentukan dan
mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) memiliki arti
bahwa bagaimana seharusnya hubungan antara Orang atau Badan Hukum
dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUPA serta mengutip pendapat A.P.
Parlindungan bahwa wewenang yang dimiliki oleh Negara sejatinya merupakan
wewenang yang diberikan UUPA yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.
Penggunaan wewenang tersebut dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.13
Penulis mengkaji berdasarkan pendapat A.P. Parlindungan terkait dengan
kewenangan Negara sebagai kekuasaan mengatur sehingga membuat peraturan,
atas penggunaan peruntukan, persediaan, dan pemeliharaan dari bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya14
masih terdapat
kekosongan hukum khususnya dalam hal kepastian hukum terkait dengan
pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang
menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-
undang. UUPA dan peraturan pelaksananya yakni Peraturan Kepala Badan
12 A.P Parlindungan, 1990, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni,
Bandung, (selanjutnya disingkat A.P Parlindungan I), hal. 29
13 Ibid
14
Ibid
10
Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah (selanjutnya
disebut perkaban) secara normatif tidak memiliki kepastian hukum berkaitan
dengan hal tersebut.
Tanah sebagai faktor produksi yang utama harus berada di bawah
kekuasaan Negara. Tanah dikuasai oleh Negara artinya tidak harus dimiliki
Negara. Negara memiliki hak menguasai tanah melalui fungsi Negara untuk
mengatur dan mengurus (regelen en besturen). Hak menguasai Negara dimaksud
adalah memberikan kewenangan kepada lembaga dan hubungan hukum konkret
antara Negara dengan tanah Indonesia.15
Negara berwenang menentukan pengaturan dan penyelenggaraan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya. Negara juga
berwenang menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai (bagian dari)
bumi, air, ruang angkasa dan menentukan serta mengatur hubungan-hubungan
hukum antar orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang
angkasa. Hak-hak atas tanah yang diatur oleh Negara diatur dalam ketentuan Pasal
16 ayat (1) UUPA dan dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah terdiri dari Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak
Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lain yang tidak
termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-
undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam
ketentuan Pasal 53 UUPA.
15 H.M Harba, op.cit, hal. 91
11
Kewenangan Negara dalam bidang Hukum Pertanahan merupakan
pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan
penggunaan tanah bersama yang dipunyainya.16
Selain berbagai jenis hak atas
tanah yang diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA tentang hak-hak atas
tanah, kewenangan Negara di bidang pertanahan lainnya adalah mengatur tentang
pembatasan kepemilikan tanah.
Pembatasan kepemilikan tanah secara tegas telah diatur di dalam
ketentuan Pasal 7 UUPA yang menyatakan bahwa untuk tidak merugikan
kepentingan umum maka pemilikan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan. Dalam penjelasan pasal ketentuan Pasal 7 dinyatakan bahwa asas
yang menegaskan soal pembatasan itu diatur lebih lanjut dalam Pasal 17.
Terhadap azas ini tidak ada pengecualiannya.
Pasal 11 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hubungan hukum antara
orang, termasuk Badan Hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta
wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur agar
tercapai tujuan yang disebut dalam Pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas
kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas. Dalam penjelasan
pasal demi pasal substansi ketentuan Pasal 11 dinyatakan bahwa pasal ini memuat
prinsip perlindungan kepada golongan yang ekonomis lemah terhadap yang kuat.
Golongan yang ekonomis lemah itu bisa warga negara asli maupun keturunan
asing. Demikian pula sebaliknya.
16 Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media,
Yogyakarta, hal. 83.
12
Pasal 17 ayat (2) UUPA mengatur tentang substansi pembatasan
maksimum dan minimum kepemilikan tanah yang dapat dikuasai oleh Keluarga
atau Badan Hukum:
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam
Pasal 16 oleh Satu Keluarga atau Badan Hukum;
(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan
dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat;
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud
dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian,
untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah;
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang
akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara
berangsur-angsur.
Mengacu pada ketentuan Pasal 17 Ayat (2) UUPA sebagai peraturan
pelaksananya dalam hal pembatasan maksimum penguasaan tanah, oleh
pemerintah selanjutnya dibentuk Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional ini mengatur secara spesifik
terkait pembatasan kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah yang terdiri dari
Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. Ketentuan
Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan
Pendafataran Tanah tentang pemberian Hak Milik, menyatakan bahwa Kepala
Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai :
a. Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah pertanian
yang luasnya tidak lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi);
13
b. Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian
yang luasnya tidak lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi);
c. Pemberian Hak Milik untuk Badan Hukum Keagamaan dan Sosial yang
telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai
Hak Milik atas Tanah, atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih
dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi).
Pengaturan terkait dengan pemberian Hak Guna Bangunan diatur dalam
ketentuan Pasal 4 dan dinyatakan bahwa Kepala Kantor Pertanahan memberi
keputusan mengenai:
a. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang
luasnya tidak lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi);
b. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang
luasnya tidak lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi); dan
c. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan.
Pasal 9 mengatur lebih lanjut bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai:
a. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang
luasnya lebih dari 3.000 M2 (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari
10.000 M² (sepuluh ribu meter persegi);
b. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang
luasnya lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak
lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi).
Hak Guna Usaha diatur dalam ketentuan Pasal 8 dan dinyatakan bahwa
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai
pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000.000
M2 (dua juta meter persegi).
Pengaturan terkait dengan Hak Pakai diatur dalam ketentuan Pasal 10 dan
dinyatakan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberi
keputusan mengenai:
14
a. Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah pertanian
yang luasnya lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi) dan
tidak lebih dari 100.000 M² (seratus ribu meter persegi);
b. Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah non
pertanian yang luasnya lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi) dan
tidak lebih dari 10.000 M2 (sepuluh ribu meter persegi);
c. Pemberian Hak Pakai untuk Badan Hukum swasta, BUMN/BUMD atas
tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu
meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M² (seratus lima puluh ribu
meter persegi).
Penulis berpandangan terkait dengan substansi batas kepemilikan dan
penguasaan hak atas tanah yang terdiri dari Hak milik, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai dan Hak Guna Usaha telah diatur secara tegas di dalam beberapa substansi
pasal Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran
Tanah yakni dalam ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8 dan Pasal 10 sebagai
peraturan pelaksana dari UUPA. Namun UUPA dan Peraturan Pelimpahan
Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran ini masih
terdapat kekosongan norma hukum terkait dengan pengaturan penguasaan dan
akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan
dengan melampaui ketentuan batas luas yang ditentukan dalam undang-undang.
Pasal yang secara tegas mengatur tentang Hak Guna Bangunan (HGB)
dalam ketentuan UUPA yakni Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 juga tidak
mengatur secara tegas tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap
Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas
luas ketentuan undang-undang.
Dalam substansi ketentuan Pasal 35 UUPA dijelaskan tentang Hak Guna
Bangunan yaitu :
15
1. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun;
2. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta
keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1)
dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun;
3. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Penjelasan pasal ketentuan Pasal 35 menyatakan bahwa Hak Guna
Bangunan (HGB) adalah berlainan dengan Hak Guna Usaha maka Hak Guna
Bangunan (HGB) tidak mengenai tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas
tanah yang dikuasai oleh Negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang.
Substansi ketentuan pasal 35 ayat (1), (2), dan (3) hanya menjelaskan definisi
Hak Guna Bangunan, jangka waktu berlakunya Hak Guna Bangunan serta masa
perpanjangannya dan beralihnya Hak Guna Bangunan. Secara tegas pasal ini tidak
mengatur tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan
Hukum yang melakukan pelanggaran hukum dalam hal penguasaan Hak Guna
Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang.
Subtansi ketentuan Pasal 36 selanjutnya dijelaskan lebih lanjut bahwa Hak
Guna Bangunan hanya dapat dimiliki oleh :
(1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah ;
a. Warganegara Indonesia;
b. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
(2) Orang atau Badan Hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan
tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini
dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu
kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga
terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan, jika ia tidak
memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang
bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut,
maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak
lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
16
Penjelasan substansi Pasal 36 adalah ketentuan pasalnya sama dengan
ketentuan Pasal 30 dan dijelaskan bahwa Hak Guna Bangunan tidak dapat
dimiliki oleh orang asing dan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak
tersebut adalah badan-badan hukum yang bermodal nasional yang progresip, baik
asli maupun tidak asli. Bagi badan-badan hukum yang bermodal asing, Hak Guna
Bangunan hanya dibuka kemungkinannya untuk diberikan jika hal itu diperlukan
oleh undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana.
Substansi Pasal 36 UUPA dan penjelasan pasalnya hanya mengatur siapa
subyek/pihak yang berhak menguasai Hak Guna Bangunan namun tidak mengatur
tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang
menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-
undang.
Dalam proses terjadinya Hak Guna Bangunan selanjutnya diatur dalam
ketentuan Pasal 37 UUPA. Substansi ketentuan pasal ini menyatakan bahwa Hak
Guna Bangunan dapat terjadi pada :
(1) Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara : karena penetapan
Pemerintah;
(2) Mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk otentik antara
pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh
Hak Guna Bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.
Pasal 37 UUPA hanya mengatur tentang terjadinya Hak Guna Bangunan,
dimana Hak Guna Bangunan dapat terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dan dari tanah milik perseorangan melalui perjanjian berbentuk otentik
antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak
Guna Bangunan tersebut. Pasal ini secara tegas tidak mengatur tentang pengaturan
17
penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna
Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang.
Pasal 38 UUPA selanjutnya mengatur tentang kewajiban pendaftaran Hak
Guna Bangunan bagi pihak pemegang hak serta terkait dengan peralihan dan
hapusnya hak tersebut wajib didaftarkan. Ketentuan pasal ini tidak mengatur
tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang
menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-
undang.
(1) Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian
juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 ;
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang
kuat mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan serta sahnya peralihan hak
tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhir.
Pasal 39 selanjutnya mengatur tentang Hak Guna Bangunan dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Substansi pasal ini
tidak membahas persoalan tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum
terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui
batas luas ketentuan undang-undang. Demikian pula sama halnya dengan
ketentuan Pasal 40 UUPA hanya menjelaskan hapusnya Hak Guna Bangunan
yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
a. Jangka Waktunya Berakhir;
b. Dihentikan Sebelum Jangka Waktunya Berakhir Karena Sesuatu Syarat
Tidak Dipenuhi;
c. Dilepaskan Oleh Pemegang Haknya Sebelum Jangka Waktunya Berakhir;
d. Dicabut Untuk Kepentingan Umum;
e. Diterlantarkan;
f. Tanahnya Musnah;
g. Ketentuan Dalam Pasal 36 Ayat (2).
18
Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 penjelasan pasal demi pasalnya adalah
tidak memerlukan penjelasan. Mengenai apa yang ditentukan dalam Pasal 38
sudah dijelaskan di dalam penjelasan umum (angka IV). Substansi dari penjelasan
umum angka IV adalah tentang usaha yang menuju ke arah kepastian hak atas
tanah yang mengatur pendaftaran tanah. Pasal 23, 32 dan 38 ditujukan kepada
para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh
kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah
sebagai suatu instruksi, agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran
tanah yang bersifat “rechts-kadaster”, artinya yang bertujuan menjamin kepastian
hukum. Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada
kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial
ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan
peralatannya.
Secara tegas dalam penjelasan Pasal 40 ini juga tidak mengatur pengaturan
penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna
Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Dalam
ketentuan Pasal 40 huruf (b) dijelaskan hapusnya Hak Guna Bangunan disebabkan
oleh beberapa hal dan salah satunya dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir
karena sesuatu syarat tidak dipenuhi. Sesuatu syarat tidak dipenuhi ini secara
spesifik penggaturannya lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1)
huruf (b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
19
(1) Hak Guna Bangunan hapus karena:
a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian
pemberiannya;
b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak
Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya
berakhir, karena:
1) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak
dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32; atau
2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban
yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan
antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak
Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan; atau
3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap;
c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktu berakhir;
d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
e. Ditelantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g. Ketentuan Pasal 20 ayat (2).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan
sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan
Presiden.
Substansi ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf (b) Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang membahas tentang hapusnya Hak
Guna Bangunan tidak mengatur bahwa Hak Guna Bangunan dapat berakhir
apabila penguasaan oleh pemegang haknya melebihi batas ketentuan luas yang
ditentukan oleh undang-undang. Pada peraturan pemerintah di atas juga tidak
dijelaskan pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum
dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan
undang-undang.
20
Kepastian hukum berkaitan dengan pengaturan penguasaan dan akibat
hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan
melampaui batas luas ketentuan undang-undang sangat diperlukan agar tidak
terjadi penguasaan Hak Guna Bangunan melampaui batas luas yang ditentukan
oleh undang-undang dan berpotensi menimbulkan praktek monopoli dalam sektor
properti bila tidak disertai sanksi yang tegas dari instansi yang berwenang dan
ketentuan peraturan perundang-undangan akan menjadi lebih efektif apabila
terdapat sanksi di dalamnya. Kekosongan norma hukum juga terlihat terkait
dengan pengaturan hal di atas dalam beberapa peraturan-peraturan perundang-
undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Secara sistematis penulis
tampilkan dalam bentuk tabel dibawah ini.
No Peraturan Perundang-Undangan Pasal Subtansi dan Argumentasi Penulis
1 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 1963
tentang Penunjukan Badan-Badan
Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak
Milik Atas Tanah
Pasal 1 Badan-Badan Hukum yang disebut
dibawah ini dapat mempunyai Hak
Milik atas tanah :
a. Bank-Bank yang didirikan
oleh Negara (selanjutnya
disebut Bank Negara);
b. Perkumpulan-Perkumpulan
Koperasi Pertanian yang
didirikan berdasar atas
Undang-Undang No. 79
Tahun 1958 (Lembaran-
Negara Tahun 1958 No.
139);
c. Badan-Badan Keagamaan
yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria, setelah
mendengar Menteri Agama;
d. Badan-Badan Sosial, yang
ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah
mendengar Menteri
Kesejahteraan Sosial.
21
Penjelasan pasal demi pasal:
Penjelasan pasal demi pasalnya
adalah cukup jelas.
Argumentasi penulis:
Ketentuan Pasal 1 tidak menjelaskan
pengaturan penguasaan dan akibat
hukum terhadap Badan Hukum yang
menguasai Hak Guna Bangunan
dengan melampaui batas luas
ketentuan undang-undang.
2. Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah
Pasal 9 ayat
(1) dan (2)
1. Obyek pendaftaran tanah
meliputi :
a. Bidang-bidang tanah
yang dipunyai dengan
Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna
Bangunan Dan Hak
Pakai;
b. Tanah Hak Pengelolaan;
c. Tanah Wakaf;
d. Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun;
e. Hak Tanggungan;
f. Tanah Negara.
2. Dalam hal Tanah Negara sebagai
obyek pendaftaran tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf f, pendaftarannya
dilakukan dengan cara
membukukan bidang tanah yang
merupakan Tanah Negara dalam
daftar tanah.
Penjelasan pasal demi pasal:
Penjelasan pasal demi pasal
ketentuan Pasal 9 ayat (1) adalah
cukup jelas. Penjelasan Pasal 9 Ayat
2 dalam ketentuan pasal demi
pasalnya adalah Pendaftaran tanah
yang obyeknya bidang tanah yang
berstatus Tanah Negara dilakukan
dengan mencatatnya dalam daftar
tanah dan tidak diterbitkan
sertipikat
22
Dalam pendekatan perbandingan hukum yang penulis lakukan terhadap
kepemilikan tanah dalam sistem hukum pertanahan yang ada di Australia dengan
subyeknya Badan Hukum dijelaskan dalam Foreign Acquisitions and Takeovers
Act 1975 Pasal 7 dinyatakan bahwa Orang atau Badan Hukum yang membeli real
estate rumah baru dan tanah kosong untuk Resort Pariwisata Terpadu (Integrated
Tourism Resort) luasnya minimal adalah 50 hektar.17
Hal ini tentunya berbeda
dengan sistem Hukum Agraria yang berlaku di Indonesia yang tidak memberikan
17 Listyowati Sumanto, 2016, Aspek Yuridis Kepemilikan Hak Atas Tanah Di Australia, Jurnal
Hukum Prioris, Magister Kenotariatan, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 7
Argumentasi Penulis:
Ketentuan pasal ini tidak
menjelaskan pengaturan penguasaan
dan akibat hukum terhadap Badan
Hukum yang menguasai Hak Guna
Bangunan dengan melampaui batas
luas ketentuan undang-undang.
3. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
Pasal 21 Tanah yang dapat diberikan dengan
Hak Guna Bangunan adalah Tanah
Negara, Tanah Hak Pengelolaan,
dan Tanah Hak Milik.
Penjelasan pasal demi pasal:
Penjelasan Pasal 21 substansinya
menyatakan bahwa Hak Guna
Bangunan berbeda dengan Hak
Guna Usaha. Hak Guna Bangunan
dapat juga diberikan atas tanah Hak
Pengelolaan dan tanah Hak Milik.
Argumentasi Penulis:
Pasal ini juga tidak mengatur
secara tegas pengaturan penguasaan
dan akibat hukum terhadap Badan
Hukum yang menguasai Hak Guna
Bangunan dengan melampaui batas
luas ketentuan undang-undang.
23
pengaturan secara pasti/khusus terkait pembatasan tanah minimum bagi Badan
Hukum yang ingin berbisnis di sektor Resort Pariwisata Terpadu. Pembatasan
minimum ini penting adanya untuk memberikan kepastian hukum dan persaingan
yang sehat dalam sektor properti.
Sebagai pendekatan studi kasus guna pengkajian secara komperhensif
dalam penelitian ini, adapun kasus yang dapat penulis deskripsikan dalam
penelitian ini terkait dengan penguasaan Hak Guna Bangunan dengan melebihi
batas luas tanah. Kasus ini terjadi di Bali khususnya di wilayah Tabanan yang
disebut dengan kasus Pan Pacific Bali Nirwana Resort.
Pan Pacific Bali Nirwana Resort berlokasi di Tabanan dan didirikan di
atas lahan seluas 103 hektar dan telah menguasai ratusan hektar tanah rakyat yang
sekaligus merangsek ke radius kesucian Pura Tanah Lot.18
Komponen pariwisata
dan pengambil kebijakan di sektor pariwisata diminta segera menghentikan
kegiatan mengorbankan pura sebagai objek wisata. Penggunaan fasilitas yang
disucikan ini dinilai terdistorsi hanya untuk mencari keuntungan finansial tanpa
mengindahkan kesakralan pura dan taksu Bali. Demikian terungkap dalam hasil
rapat internal Komisi A DPRD Bali, Senin (23/12/2002). Komisi ini menyoroti
kecenderungan pariwisata budaya yang kebablasan menjadi bisnis pengeruk uang
saja. Jika ini dibiarkan terus, inilah awal yang dapat menghancurkan taksu dan
membuat leteh (kotor) tanah Bali.19
18 I Made Ardana Putra, 2003, Bagaimana Pariwisata Budaya Mendatang ? (Artikel Balipost
Edisi 2 Januari 2003), avalaible from; URL;
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/2/op2.htm. Data diakses/diunduh pada hari Minggu
tanggal 19 Mei 2015.
19
Ibid
24
Pan Pacific Bali Nirwana Resort terletak di atas tebing curam yang
menghadap ke samudera hindia dan Pura Tanah Lot serta menawarkan lapangan
golf. Resort ini menyediakan kamar-kamar hunian yang mewah dan 5 kolam
renang outdoor yang tersebar di area seluas 103 hektar. Resort juga menawarkan
layanan antar-jemput terjadwal gratis ke daerah Kuta dan Seminyak. Pan Pacific
Bali Nirwana Resort berjarak hanya 200 meter dari Nirwana Bali Golf Course,
dan 45 menit berkendara dari Bandara Internasional Ngurah Rai dan terletak
sejauh 500 meter dari Pura Tanah Lot yang indah.20
Tanah dalam definisi hukum pertanahan memiliki peran penting dalam
kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan
hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi
orang lain. Guna mencegah masalah pertanahan agar tidak sampai menimbulkan
konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan
penggunaan tanah yang disebut dengan Hukum Tanah.21
Jumlah manusia yang semakin bertambah sedangkan luas tanah tetap,
mengakibatkan tanah memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Orang-perorangan,
Badan Hukum, Instansi Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah juga
memerlukan tanah untuk pelaksanaan tugasnya dan untuk kepentingan lain seperti
misalnya pengembangan daerah-daerah pemukiman baru, penyediaan sarana-
prasarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagainya.
Pemeliharaan terhadap kelestarian lingkungan juga tidak kalah penting, agar
nantinya tanah yang merupakan bagian dari aset bangsa Indonesia ini dapat
20 Ibid
21
K. Wantijk Saleh, 1982, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 7
25
diwariskan kepada penerus generasi bangsa di massa depan.22
Peran Negara
melalui pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan
keseragaman pengaturan berkaitan dengan pengaturan penguasaan dan akibat
hukum penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui
batas luas ketentuan undang-undang. Hal ini penting untuk dilakukan agar
lingkungan tetap dijaga kelestariannya dan persaingan usaha di sektor industri
properti dapat dikontrol dengan baik oleh pemerintah.
Dengan beranjak dari kekosongan norma hukum berdasarkan pemaparan
latar belakang di atas, menarik bagi penulis untuk mengangkat judul penelitian
yang berjudul “AKIBAT HUKUM PENGUASAAN HAK GUNA
BANGUNAN OLEH BADAN HUKUM YANG MELAMPAUI BATAS
LUAS KETENTUAN UNDANG-UNDANG”.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, terdapat beberapa
penelitian yang berkaitan dengan Hak Guna Bangunan. Guna menunjukan sisi
orisinalitas penelitian ini dan menghindari adanya plagiat atau pengulangan
penelitian, adapun penelitian tesis terdahulu yang dapat penulis tampilkan, yaitu :
1. Tesis dari Andina Dyah Pujaningrum (mahasiswa Magister Kenotariatan
Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar) yang dibuat pada tahun
2014 dengan judul penelitian “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang
Hak Guna Bangunan Di Atas Hak Milik Atas Tanah Di Kabupaten
Badung”. Dalam penelitian tesis ini membahas tentang adanya
22 A.A. Ayu Ray Saraswati, 2015, Implikasi Hukum Pembebasan Hak Tanggungan Atas
Tanah Hak Guna Bangunan Di Atas Tanah Hak Pengelolaan Yang Izin Pemanfaatan Tanahnya
Dicabut Oleh Gubernur, (tesis), Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana,
Denpasar, hal.2
26
kesenjangan antara das sollen dan das sein dimana pemberian Hak Guna
Bangunan di atas Hak Milik atas tanah yang dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan substansinya diberikan selama 30 tahun namun pada
kenyataanya diberikan selama 50 tahun. Permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini adalah apakah yang menjadi hak dan kewajiban bagi
pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang
Hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan serta
bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Guna
Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang Hak Milik atas tanah
yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah hak dan kewajiban dari
pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik serta hak dan
kewajiban pemegang Hak Milik yang di atasnya diberikan Hak Guna
Bangunan dapat dilihat di dalam akta sewa-menyewa, akta perjanjian
pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan, dan akta pemberian Hak
Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. Perlindungan hukum bagi kedua
belah pihak dapat diberikan apabila hak dan kewajiban masing-masing
pihak juga dijalankan. Perlindungan hukum diberikan apabila dalam proses
pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik sudah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangka waktu pemberian Hak
Guna Bangunan yang diberikan selama 50 tahun tentu saja tidak sesuai
dengan aturan yang berlaku. Jika tidak memenuhi aturan yang berlaku
27
pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik tidak mendapatkan
perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.
2. Tesis dari I Gede Etha Prianjaya (mahasiswa Magister Kenotariatan Pasca
Sarjana Universitas Udayana Denpasar) yang dibuat pada tahun 2014
dengan judul penelitian “Pemberian Kredit Bank Dengan Jaminan Hak
Guna Bangunan Yang Jangka Waktunya Telah Berakhir Sedangkan
Perjanjian Kreditnya Belum Berakhir”. Dalam penelitian tesis ini
membahas permasalahan tentang bagaimana kedudukan jaminan Hak Guna
Bangunan yang jangka waktunya telah berakhir sedangkan perjanjian
kreditnya belum berakhir dan upaya apakah yang dilakukan oleh pihak bank
terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir sedangkan jaminan Hak
Tanggungan sudah berakhir.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah kedudukan kreditur dalam hal
jaminan berupa Hak Guna Bangunan yang sudah berakhir menjadi kreditur
konkurent. Pihak pemegang Hak Tanggungan di dalam pemberian kredit
bank dengan jaminan Hak Guna Bangunan yang mempunyai batas waktu
penguasaan harus sesuai dengan perjanjian kredit ataupun jangka waktu
kredit. Hak Guna Bangunan yang sudah berakhir oleh karena jangka waktu
penguasaan sudah habis maka ketika Hak Guna Bangunan yang dijadikan
jaminan dan sudah dibebani Hak Tanggungan akan ikut berakhir ketika
jangka waktu Hak Guna Bangunan telah berakhir.
Upaya yang dilakukan oleh pihak bank terhadap perjanjian kredit
yang belum berakhir sedangkan jaminan Hak Tanggungan sudah berakhir
28
adalah ketika berlangsungnya perpanjangan jangka waktu jaminan yang
menjadi jaminan kredit dengan melakukan perikatan kuasa membebankan
Hak Tanggungan mengingat proses Hak Guna Bangunan masih dalam
proses perpanjangan jangka waktu yang dikenal dengan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Setelah selesainya
perpanjangan jangka waktu terhadap jaminan tersebut maka dilakukan suatu
proses pemasangan Hak Tanggungan kembali oleh pihak bank yang didasari
oleh Surat Kuasa Membebankan Hak Taggungan (SKMHT).
3. Tesis karya A.A Ayu Ray Saraswati (mahasiswa Magister Kenotariatan
Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar) yang dibuat pada tahun 2015
dengan judul penelitian “Implikasi Hukum Pembebanan Hak
Tanggungan Atas Tanah Hak Guna Bangunan Di atas Tanah Hak
Pengelolaan Yang Izin Pemanfaatan Tanahnya Dicabut Oleh
Gubernur”. Dalam penelitian tesis ini membahas permasalahan tentang
bagaimanakah status hukum tanah Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak
Pengelolaan yang telah dicabut izin pemanfaatannya oleh Gubernur dan
akibat hukum pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan di
atas tanah Hak Pengelolaan yang izin pemanfaatan tanahnya telah dicabut
oleh Gubernur.
Kesimpulan dari penelitian tesis ini adalah status hukum Hak Guna
Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang izin pemanfaatan tanahnya
telah dicabut oleh Gubernur menjadi hapus. Namun, tidak serta merta
menghapus hak atas tanah. Atas dasar pencabutan izin pemanfaatan tanah
29
ini Gubernur dapat mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Provinsi
untuk membatalkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang memberikan
konsekuensi yuridis pada hapusnya Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak
Pengelolaan. Dicabutnya surat keputusan pemanfaatan tanah hak
pengelolaan oleh Gubernur merupakan wujud dari pengawasan dan kontrol
yang dilakukan sebagai pemegang Hak Pengelolaan. Kewenangan mencabut
izin pemanfaatan tanah ini didasarkan pada delegasi wewenang bidang
pertanahan dari Pemerintah Pusat sebagai konsekwensi Hak Menguasai
Negara Atas Tanah.
Akibat hukum dari pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna
Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang izin pemanfaatan tanahnya
telah dicabut oleh Gubernur menyebabkan Hak Tanggungan menjadi hapus.
Karena dengan hapusnya hak atas tanah maka berakibat pada segala
perbuatan hukum yang dilakukan termasuk pembebanan Hak Tanggungan.
Perjanjian kredit masih tetap ada, hanya saja kreditor tidak lagi memiliki
hak istimewa sebagai pemegang hak tanggungan (kreditur preference) yang
mendapat kedudukan yang diutamakan dalam pelunasan piutangnya atas
jaminan yang diberikan berupa hak atas tanah tersebut.
Berdasarkan pada beberapa penelitian tesis terdahulu di atas, terlihat jelas
perbedaan yang dibahas dalam penelitian ini. Tesis dari Andina Dyah
Pujaningrum membahas permasalahan tentang apakah yang menjadi hak dan
kewajiban bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan
pemegang Hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan
30
serta bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Guna
Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang Hak Milik atas tanah yang di
atasnya diberikan Hak Guna Bangunan.
Tesis dari I Gede Etha Prianjaya membahas permasalahan tentang
bagaimana kedudukan jaminan Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya telah
berakhir sedangkan perjanjian kreditnya belum berakhir dan upaya apa yang
dilakukan oleh pihak bank terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir
sedangkan jaminan hak tanggungan sudah berakhir.
Tesis dari A.A Ayu Ray Saraswati membahas permasalahan tentang status
hukum tanah Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang telah
dicabut izin pemanfaatannya oleh Gubernur dan akibat hukum pembebanan Hak
Tanggungan atas Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang izin
pemanfaatan tanahnya telah dicabut oleh Gubernur.
Sedangkan pada penelitian ini dengan judul “Akibat Hukum Penguasaan
Hak Guna Bangunan Oleh Badan Hukum Yang Melampaui Batas Luas Ketentuan
Undang-Undang”, substansi permasalahan yang dibahas adalah bagaimanakah
pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang
menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-
undang. Dengan demikian dalam penelitian tesis ini terlihat jelas perbedaan
permasalahan yang hendak diteliti, sehingga penelitian tesis ini dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah terkait orisinalitasnya atau keasliannya.
31
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis deskripsikan di
atas, adapun rumusan permasalahan penelitian yang dapat penulis uraikan adalah :
1. Bagaimanakah pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan terhadap Badan
Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang ?
2. Bagaimanakah akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna
Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang ?
1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini yang hendak dicapai adalah (het
doel van het onderzoek) berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum
terkait dengan paradigma sience as a process (ilmu sebagai proses). Dengan
paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas
kebenaran di bidang obyeknya masing-masing.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus (het doel in het onderhoek) dari penelitian ini adalah
mendalami permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan
permasalahan penelitian yaitu :
1. Untuk mendeskripsikan dan melakukan analisis secara komperhensif
tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan
Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas
ketentuan undang-undang, menghindari terjadinya praktik monopoli
dibidang persaingan usaha properti dalam pembangunan hunian hotel
32
dengan status Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum, mengurangi
eksploitasi terhadap alam dalam hal ini tanah secara berlebihan terkait
dengan alih fungsinya serta melaksanakan Catur Tertib Pertanahan yang
terdiri dari tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib
penggunaan tanah, tertib pemeliharaan tanah dan kelestarian lingkungan
hidup.
2. Untuk memberikan kepastian hukum terkait pengaturan penguasaan dan
akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna
Bangunan melampaui batas ketentuan luas undang-undang.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini hasilnya diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran kritis guna memecahkan masalah-masalah hukum yang terjadi di
masyarakat dan memberikan kontribusi keilmuan untuk pembenahan dalam kajian
akademis tentang perlu adanya kepastian hukum secara normatif terkait dengan
pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang
menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-undang
dan hal ini tidak diatur di dalam ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah.
33
1.4.2 Manfaat Praktis.
1) Manfaat bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
kritis kepada pihak-pihak (pejabat maupun instansi) yang terkait dengan
pertanahan. Penelitian ini bermanfaat dalam memecahkan permasalahan yang
terkait dengan pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum
yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-
undang dan hal ini tidak diatur di dalam ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah.
2) Manfaat bagi Subyek Hukum
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang aspek-
aspek hukum pertanahan secara umum dan referensi bagi pihak-pihak yang
bertindak sebagai subyek hukum (orang atau badan hukum) dalam penguasaan
tanah dengan status Hak Guna Bangunan. Referensi yang diberikan adalah terkait
dengan hal pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap subyek hukum
(orang/badan hukum) yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas
ketentuan undang-undang.
3) Manfaat bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi masyarakat
yang memohon ataupun yang memiliki hak atas tanah tentang pengaturan
penguasaan dan akibat hukum bagi pihak yang menguasai Hak Guna Bangunan
34
melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang. Hak Guna Bangunan dapat
terjadi di atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara karena penetapan
Pemerintah dan di atas tanah Hak Milik karena perjanjian yang yang dibuat
dengan akta otentik oleh pejabat yang berwenang antara pemilik tanah dengan
pihak yang berkepentingan selaku pemohon Hak Guna Bangunan.
4) Manfaat bagi Penulis
Penelitian ini bermanfaat bagi penulis untuk memberikan tambahan
pengetahuan hukum tentang masalah yang diteliti serta untuk kepentingan
penyelesaian studi. Jawaban dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan akibat hukum dan
sanksi terhadap penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang
melampaui batas luas ketentuan undang-undang.
1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
A. Landasan Teoritis
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, “Kata teori berasal dari kata
theoria yang artinya pandangan atau wawasan”.23
Penulis lebih lanjut mengutip
pendapat Gijssels dalam penjelasannya menyatakan bahwa, “Kata teori dalam
Teori Hukum dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan
pengertian-pengertian yang sehubungan dengan kenyataan yang dirumuskan
sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat
dikaji”.24
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa Teori Hukum adalah
teori-teori mengenai hukum yang merupakan suatu pernyataan atau pandangan
23 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan keenam, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I), hal. 4
24 Ibid, hal. 5
35
yang untuk sementara ini disepakati kebenarannya dan merupakan suatu teori
baku yang disepakati para ahli hukum.
Konsep (concept) adalah kata yang merupakan abstraksi yang
digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.25
Ilmu hukum memiliki banyak
konsep hukum diberbagai bidangnya. Selanjutnya, “Asas hukum adalah suatu
pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma
hukum”.26
J. J. H Bruggink dalam terjemahan Arief Sidhartha menyatakan bahwa
“Asas Hukum” adalah kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai.27
Berdasarkan
hal tersebut dapat diketahui bahwa asas-asas hukum sangatlah penting yang
menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu peraturan
perundang-undangan.
Teori hukum yang digunakan oleh penulis sebagai pisau analisis untuk
mengkaji permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1.5.1. Teori Kepastian Hukum.
Teori Kepastian Hukum memiliki 2 (dua) substansi penting. Substansi
yang pertama adalah adanya ketentuan/aturan yang bersifat umum dapat
memberikan pemahaman kepada Subyek Hukum yang terdiri dari Orang atau
Badan Hukum untuk mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan. Substansi yang kedua adalah merupakan jaminan perlindungan hukum
bagi Subyek Hukum dari kesewenang-wenangan tindakan pemerintah. Dengan
25Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan
Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 47.
26 M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition,
cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya, hal. 56.
27 J. J. H Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, cetakan
kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 123.
36
adanya aturan hukum yang bersifat umum itu Badan Hukum dapat mengetahui
dan memahami terkait dengan hal-hal apa saja yang dapat dibebankan atau
dilakukan Negara terhadapnya. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal
dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim
antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang
serupa yang telah di putuskan.28
Teori ini memiliki relevansi untuk menganalisis rumusan masalah pertama
untuk memberikan adanya kepastian hukum dalam pengaturan penguasaan Hak
Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan
undang-undang mengingat Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur secara tegas. Teori ini
juga berfungsi untuk membentuk aturan hukum yang bersifat umum sehingga
Badan Hukum dapat mengetahui apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan
apa yang dapat dibebankan Negara terhadapnya.
1.5.2. Teori Keadilan.
Aristoteles memformulasikan bahwa Filsafat Hukum membedakan
keadilan menjadi 2 (dua) hal yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif. Hal
ini menjadi dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan
keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada
setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat dan perlakuan yang
28 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta, hal.158
37
sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law).29
Sedangkan keadilan korektif adalah keadilan yang dimaksudkan untuk
mengembalikan keseimbangan, ketika keseimbangan yang ada terganggu oleh
tindakan yang salah. Keadilan ini bermaksud mengembalikan kondisi atau posisi
yang terganggu menjadi seperti sedia kala.30
Keadilan menurut Jhon Rawls dijelaskan bahwa keadilan itu tidak saja
meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan
mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum
turut serta dalam mendukung upaya tersebut.31
Teori ini memiliki relevansi untuk
menjawab rumusan masalah pertama terkait dengan persoalan pengaturan
penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas
ketentuan undang-undang. UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak
Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah belum memberikan pengaturan
yang adil terkait dengan Penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum
yang melampaui luas ketentuan undang-undang. Penulis dengan mengutip
pendapat Jhon Rawls tentang teori keadilannya berpandangan bahwa di dalam
membentuk suatu ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan
keadilan dan daya paksa dalam hal apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan
yang tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga
mempersoalkan tentang perlu adanya kepastian hukum. Kepastian hukum ini
29 Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Pemikiran Hukum di
Indonesia 1945-1990, Muhamadiyah University Press, Jakarta, hal. 54.
30 Sutarman Yodo, 2013, Aspek Hukum Ekonomi Dalam Kerjasama Daerah, Genta
Publishing, Yogyakarta, hal.37
31
Jhon Rawls dalam Bambang Kusumo, 2009, Teori Keadilan, Erlangga Jakarta, hal. 18
38
harus mencerminkan nilai keadilan dan hukum di dalamnya turut serta dalam
mendukung upaya tersebut.
1.5.3. Teori Principles Of Legality
Teori ini berfungsi untuk menjawab kedua permasalahan dalam penelitian
ini. In The Morality of Law, Fuller identifies eight requirements of the rule of law:
Laws must be general (#1), specifying rules prohibiting or permitting
behavior of certain kinds. Laws must also be widely promulgated (#2), or
publicly accessible. Publicity of laws ensures citizens know what the law
requires. Laws should be prospective (#3), specifying how individuals ought to be have in the future rather than prohibiting behavior that occurred in the
past. Laws must be clear (#4). Citizens should be able to identify what the laws
prohibit, permit, or require. Laws must be non-contradictory (#5). One law
cannot prohibit what another law permits. Laws must not ask the impossible
(#6). Nor should laws change frequently; the demands laws make on citizens
should remain relatively constant (#7). Finally, there should be congruence
between what written statute declare and how officials enforce those statutes
(#8).32
Berdasarkan uraian teori hukum dari Lon Fuller di atas dengan
mengartikan secara bebas terhadap apa yang diuraikan dalam teorinya “Principles
Of Legality”, Fuller mengidentifikasi adanya delapan persyaratan dari peraturan
perundang-undangan yaitu:
1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh
berlaku khusus atau untuk individu tertentu;
2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai
jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan secara luas;
3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga
menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undang-undang
harus bersifat prospefektif;
4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus
berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi di
massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum harus
jelas;
5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh
undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa yang
dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh
32 Lon Fuller, 1969, Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press), p. 39.
39
bertentangan satu dengan lainnya. (Sistem hukum tidak boleh
mengandung peraturan yang kontradiktif);
6. Suatu undang-undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundang-
undangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau
menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus menjangkau
kesanggupan warga negara untuk memenuhinya;
7. Undang-undang tidak boleh sering berubah. Apa yang diminta oleh
undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap;
8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan
ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan
statuta atau peraturan-peraturan tersebut.
Relevansi teori ini adalah digunakan untuk menjawab permasalahan
pertama dan kedua dalam penelitian ini yang berfungsi sebagai tolak ukur
substansi pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik guna
memberikan adanya kepastian hukum. UUPA dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur
secara normatif tentang penguasaan dan akibat hukum bagi Badan Hukum yang
menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan
undang-undang.
Upaya dalam memberikan kepastian hukum kedepan hendaknya dilakukan
dengan mempertimbangkan Teori Principles Of Legality yang terdapat di dalam
angka ke-3, 4 dan ke-8 yakni hukum harus memberikan prospek kedepan, hukum
harus jelas dan harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan
oleh hukum serta bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-
peraturan tersebut.
Makna hukum harus jelas pada angka ke 3 teori Principles Of Legality di
atas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa publisitas hukum
40
menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum dan
undang-undang harus bersifat prospefektif. Konsep pemikiran dari teori ini dalam
relevansinya membahas permasalahan dalam penilitian ini adalah dalam hal
undang-undang yang dibentuk harus memberikan sifat yang prospektif dalam arti
menjangkau persoalan-persoalan hukum yang akan terjadi di massa depan dan
masyarakat mengetahui tentang apa yang disyaratkan oleh undang-undang.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan
Pendafataran Tanah belum menjangkau hal tersebut karena masih terdapat
kekosongan hukum terkait dengan penguasaan dan akibat hukum bagi Badan
Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang
ditentukan undang-undang.
Makna hukum harus jelas pada angka ke 4 teori Principles Of Legality di
atas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa pembentuk
undang-undang harus jelas dalam membuat undang-undang. Teori ini berfungsi
memberikan kejelasan dalam hal diperlukannya adanya pengaturan terkait
penguasaan dan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna
Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-undang dan pengaturannya
tidak diatur di dalam ketentuan UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak
Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. Ketentuan pasal yang dibentuk
41
dalam suatu peraturan perundangan-undangan harus memberikan kejelasan,
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Makna yang terdapat dalam angka ke 8 teori Principles Of Legality
memberikan makna bahwa harus ada kesesuaian antara apa yang ditetapkan oleh
undang-undang dengan bagaimana cara melaksanakan ketentuan undang-undang.
UUPA merupakan undang-undang yang dibentuk dengan menganut sistem
pembatasan kepemilikan dan penguasaan tanah, hendaknya di dalamnya juga
memuat akibat hukum/sanksi apabila ketentuan pembatasan kepemilikan atau
penguasaan luas tanah secara maksimum itu dilanggar sehingga terjadi kesesuaian
antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara
pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut.
1.5.4. Teori Pembentukan Norma.
Teori pembentukan norma hukum menyatakan bahwa suatu aturan hukum
yang dibentuk hendaknya mendeskripsikan :
1. Hukum adalah ide atau konsep umum tentang lembaga-lembaga hukum
yang diabstraksikan dari peristiwa-peristiwa tertentu dari padanya
2. Hukum adalah suatu sistem hukum tertentu secara menyeluruh dan
koheren yang terdapat dalam suatu masyarakat atau negara tertentu
3. Hukum adalah ketentuan normatif tertentu dari Hukum: aturan atau
norma dari suatu sistem hukum tertentu
4. Hukum merupakan abstraksi dari apa yang tampak yaitu Hukum dan
hukum. Jika kita melakukan abstraksi , kita merujuk pada hal-hal konkret
atau dapat diamati. Bagaimana kita dapat mengenali sesuatu kalau tidak
memiliki gambaran untuk membimbing kita. Oleh karena itu kita harus
beranjak dari yang khusus dulu yakni Hukum atau sistem hukum.33
Teori ini memiliki relevansi untuk menjawab rumusan masalah yang
pertama terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan terhadap
33 Antony Allot, 1980, The limit of Law, Butterworths, London, p.28
42
Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang yang tidak
diatur didalam ketentuan UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah.
1.5.5. Teori Sistem Hukum
Teori sistem hukum ini berfungsi untuk menjawab rumusan masalah yang
kedua. Sistem hukum menurut H.L.A. Hart dalam gagasannya dibagi menjadi dua
yang disebut dengan primary rules dan secondary rules. Kedua bagian tersebut
merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam sistem hukum.
Primery rules menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak
bertindak dan hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum (forms of
law).34
Primary rules (aturan utama) di dalamnya terdapat dua model substansi.
Model pertama adalah primary rules yang di dalamnya memiliki susbtansi yang
disebut dengan aturan sosial (sosial rule) yakni keteraturan perilaku di dalam
beberapa kelompok sosial terkait dengan suatu hal yang umum dan banyak
dijumpai dalam masyarakat. Model kedua adalah aturan itu harus dirasakan
sebagai suatu kewajiban oleh suatu/sebagian besar dalam anggota kelompok
sosial yang relevan. Dari sudut pandang internal, masyarakat merasakan bahwa
aturan hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan, baik untuk tekanan sosial dan
reaksi yang kritis bagi prilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri.35
34 H.L.A. Hart, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford, p. 96
35 Ibid, hal. 96-99
43
Model yang kedua apa yang disebut oleh hart dengan secondary rules,
yang dapat disebut “aturan tentang aturan” (rules about rules) dan apa bila di rinci
terdiri dari :
1. Aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap sah
(rules of recognition);
2. Bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan;
3. Bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of
ajudication).
Apabila ditelaah lebih jauh maka rules of ajudication lebih efisien, rules of
change bersifat sedikit kaku dan rules of recognition bersifat reduksionis.36
Teori
ini memiliki relevansi untuk membahas rumusan masalah kedua dalam penelitian
ini adalah berkaitan dengan primary rules dan secondary rules yang harus ada
dalam setiap substansi peraturan perundang-undangan. Kedua bagian tersebut
merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam substansi
sistem hukum yang membentuk suatu peraturan perundang-undangan.
Primary Rules di dalamnya berisi apa yang disebut aturan sosial (sosial
rule) yakni keteraturan perilaku di dalam beberapa kelompok sosial dan suatu hal
yang umum yang banyak dijumpai dalam masyarakat. Secondary Rules disebut
dengan “aturan tentang aturan” (rules about rules) apa bila di rinci meliputi,
Pertama; aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap
sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules
36Ibid
44
of change) dan Ketiga; bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan,
dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication).
Keabsahan aturan (rules of recognition) terkait dengan akibat hukum bagi
Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas tanah
yang ditentukan undang-undang masih terdapat kekosongan hukum di dalam
ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun
2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan
Pendafataran Tanah.
Dalam Teori Sistem Hukum dinyatakan bahwa undang-undang idealnya
mempunyai keseragaman aturan sosial (sosial rule) yang berkaitan dengan
keteraturan prilaku Badan Hukum dan undang-undang hendaknya yang
menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap sah. Dua hal ini
hendaknya diatur dalam ketentuan UUPA guna menjamin adanya kepastian
hukum terkait dengan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak
Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang.
1.5.6. Konsep Negara Hukum
Sebagai dasar dan landasan konsep yang paling universal atau umum,
penulis menggunakan konsep Negara Hukum dari Friedrich Julius Stahl. Konsep
ini berfungsi sebagai acuan untuk membahas kedua permasalahan yang terdapat
dalam penelitian ini. Konsep Negara Hukum berfungsi sebagai indikator dalam
memberikan analisa hukum terkait dengan pengaturan penguasaan dan akibat
45
hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui
batas luas yang ditentukan undang-undang.
Konsep Negara Hukum sering diterjemahkan dengan istilah “Rechtsstaat”
atau “Rule of Law”. Paham Rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem
hukum Eropa Kontinental, sedangkan paham Rule of Law bertumpu pada sistem
hukum Anglo Saxon atau Common Law System. Paham Rechtsstaat ini
dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant
dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham Rule of Law mulai dikenal setelah
Albert Van Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya yang berjudul
Introduction to Study of The Law of The Constitution.37
Paham Rechtsstaat pada
dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam penelitian ini,
digunakan konsep Negara Hukum dari Friedrich Julius Stahl, karena Indonesia
menganut sistem hukum yang sama yakni sistem hukum Eropa Kontinental,
sehingga terdapat persesuaian atau persamaan-persamaan terkait dengan
penerapan sistem hukum Eropa Kontinental.
Konsep Negara Hukum menurut Julius Stahl yang disebutnya Rechtsstaat
mencakup 4 (empat) elemen yang terdiri dari :
a. Perlindungan hak asasi manusia;
b. Pembagian kekuasaan;
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
d. Peradilan tata usaha negara. 38
37 Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan pertama,
CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 3
38 Ibid
46
Substansi Konsep Negara Hukum yang memiliki relevansi terhadap
pembahasan permasalahan dalam penelitian ini adalah pemerintahan berdasarkan
undang-undang. Pengaturan penguasaan dan akibat hukum bagi Badan Hukum
yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-
undang pengaturannya perlu diatur di dalam ketentuan undang-undang oleh
pejabat yang berwenang.
Pemerintahan berdasarkan undang-undang memiliki makna bahwa hukum
yang mengatur dan membatasi kekuasaan Negara (pemerintahan). Segala tindakan
pemerintahan harus berdasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan
yang sah dan tertulis. Pengaturan penguasaan dan akibat hukum bagi Badan
Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan
undang-undang hanya bisa diberikan oleh pejabat yang berwenang apabila telah
diatur dalam ketentuan undang-undang. Suatu peraturan akan menjadi lebih
efektif dan mempunyai daya paksa untuk dipatuhi oleh subyek hukum apabila
mempunyai sanksi hukum di dalamnya.
1.5.7. Konsep Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan adalah salah satu jenis dari berbagai jenis hak-hak
atas tanah yang diatur dalam ketentuan Pasal 16 UUPA. Hak Guna Bangunan
konsepnya berawal dari konsep UUPA yang tidak memberikan kewenangan
kepada Negara Republik Indonesia sebagai pemilik hak atas tanah di seluruh
wilayah Indonesia melainkan dikuasai oleh Negara Republik Indonesia dan hal ini
disebut sebagai Hak Menguasai Negara.
47
Boedi Harsono dalam pendapatnya mengatakan bahwa pemilik bangunan
berbeda dengan pemilik hak atas tanah dimana bangunan tersebut
berada/didirikan. Hal ini juga terjadi persamaan konsep bahwa pemegang Hak
Guna Bangunan dimana bangunan tersebut berada/didirikan dengan pemegang
hak milik atas tanah adalah berbeda. Pada hakekatnya hak yang ditentukan pada
Hak Guna Bangunan bertujuan untuk dipakai secara „tempat untuk membangun
sesuatu di atasnya‟ (bukan diperuntukan untuk usaha pertanian). 39
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pengertian bangunan (gedung)
adalah :
Wujud fisik hasil pekerjaan kosntruksi yang menyatu dengan tempat
kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam
tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan,
kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus.
Berdasarkan definisi di atas dapat disebutkan bahwa bangunan yang
dimaksud dalam ketentuan undang-undang ini adalah:
1. Bangunan tersebut hasil dari pekerjaan manusia;
2. Pembangunannya merupakan salah satu bentuk pemanfaatan ruang;
3. Konstruksinya sebagian atau seluruhnya menyatu dengan tempat
kedudukan di atas/di dalam tanah dan atau air;
4. Berfungsi sebagai tempat kegiatan manusia (ekonomi, keagamaan, sosial,
budaya, dan kegiatan khusus).
Hak Guna Bangunan menurut A.P. Parlindungan adalah suatu hak yang
sebelumnya tidak dikenal dalam perangkat hak-hak atas tanah menurut hukum
adat. Hak ini mulai ada sejak disahkannya UUPA dan diadakan dengan tujuan
untuk memenuhi masyarakat ekonomis yang modern. Hak Guna Bangunan
39 Boedi Harsono, op.cit, hal.285
48
sebagai salah satu jenis hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Pasal 16 UUPA
mempunyai sisi pembeda dalam arti terdapat kekhususan dalam karakteristik
haknya. Tujuan pengunaan tanahnya dan batas waktu penguasaannya berbeda
dengan hak atas tanah yang lain. Hak Guna Bangunan hanya dimungkinkan
penggunaan tanahnya untuk keperluan membangun dan memiliki bangunan,
dengan jangka waktu pengunaan yang terbatas, dapat dialihkan kepada pihak lain
dan dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan.40
Konsep Hak Guna Bangunan digunakan untuk mengetahui karakteristik
dari Hak Guna Bangunan. Dengan mengetahui konsep Hak Guna Bangunan ini
dapat menjawab rumusan masalah pertama dalam penelitian ini.
1.5.8. Konsep Politik Hukum.
Politik hukum menurut Moh. Mahfud MD dinyatakan bahwa politik
hukum merupakan legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional
oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi : Pertama, pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Lingkup pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan
dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum
akan dibangun dan ditegakan.41
Konsep politik hukum ini berfungsi untuk
menjawab rumusan masalah pertama dan kedua mengingat masih adanya
40 A.P Parlindungan, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, CV Mandar Maju,,
Bandung, (selanjutnya disingkat A.P. Parlindungan II), hal. 51
41 Moh. Mahfud MD dalam H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 2
49
kekosongan hukum dalam hal pengaturan penguasaan dan akibat hukum bagi
Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas
ketentuan undang-undang.
50
B. Kerangka Berpikir
AKIBAT HUKUM PENGUASAAN HAK GUNA BANGUNAN OLEH
BADAN HUKUM YANG MELAMPAUI BATAS LUAS KETENTUAN
UNDANG-UNDANG
Latar Belakang Masalah :
Pasal 7 UUPA pada
prinsipnya menganut sistem
pembatasan kepemilikan dan
penguasaan hak atas tanah.
UUPA dan peraturan
pelaksananya yakni Perkaban
No. 2 Tahun 2013 tentang
Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah Dan
Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur secara tegas
akibat hukum dan sanksi hukum
penguasaan Hak Guna Bangunan
yang melebihi batas luas
ketentuan undang-undang.
Rumusan Masalah :
1. Bagaimanakah pengaturan penguasaan Hak
Guna Bangunan terhadap Badan Hukum
yang melampaui batas luas ketentuan
undang-undang ?
2. Bagaimanakah akibat hukum bagi Badan
Hukum yang menguasai Hak Guna
Bangunan dengan melampaui batas luas
yang ditentukan undang-undang ?
Metode Penelitian :
1. Penelitian ini
menggunakan metode
Penelitian Hukum
Normatif yakni beranjak
dari adanya kekosongan norma hukum atau asas
hukum.
2. Pendekatan yang
digunakan adalah
pendekatan peraturan
perundang-undangan,
pendekatan perbandingan
hukum, pendekatan kasus,
dan pendekatan analisis
konsep hukum.
Landasan Teoritis
1. Rumusan Masalah 1:
a. Teori Kepastian Hukum
b. Teori Keadilan
c. Teori Principles Of Legality d. Teori Pembentukan Norma
e. Konsep Negara Hukum
f. Konsep Hak Guna Bangunan
g. Konsep Politik Hukum
2. Rumusan Masalah 2:
a. Teori Sistem Hukum
b. Teori Principles Of Legality
c. Konsep Negara Hukum
d. Konsep Politik Hukum
Sasaran - Sasaran dari penelitian ini adalah untuk memberikan kajian tentang kepastian hukum secara normatif
tentang pengaturan sanksi hukum dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna
Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang.
- Sasaran lain dari penelitian ini adalah untuk menghindari terjadinya praktek bisnis monopoli dibidang
properti dalam hal pembangunan hotel dengan status Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang
melebihi luas batas tanah, serta melaksanakan Catur Tertib Pertanahan yang terdiri dari tertib hukum
pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah, tertib pemeliharaan tanah dan
kelestarian lingkungan hidup.
51
1.6. Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian.
Untuk menghimpun bahan yang dipergunakan guna penyusunan dan
pembahasan permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
Penelitian Hukum Normatif yakni beranjak dari adanya kekosongan norma
hukum atau asas hukum.42
Kekosongan norma hukum dalam penelitian ini
terdapat di dalam ketentuan Pasal 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak
Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur secara tegas
pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang
menguasai hak guna bangunan melebihi batas luas ketentuan undang-undang.
1.6.2 Jenis Pendekatan.
Dalam penelitian hukum normatif dikenal adanya 7 (tujuh) jenis
pendekatan yaitu pendekatan kasus (the case approach), pendekatan perundang-
undangan (the statuta approach), pendekatan fakta (the fact approach),
pendekatan analisis konsep hukum (analitical dan conceptual approach),
pendekatan frasa (words & phrase approach), pendekatan sejarah (historical
approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). 43
Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan
(the statute approach), pendekatan perbandingan hukum (comparative approach)
42 Jhony Ibrahim, 2005, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif” Surabaya, hal. 284
43 H. Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.24
52
pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan analisis konsep hukum
(analitical & conseptual approach).
Pendekatan peraturan perundang-undangan adalah penelitian
menggunakan pendekatan perundang-undangan. Dalam penelitian ini diteliti
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu
penelitian. Peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut:
1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait
antara satu dengan lain secara logis;
2. All-inclussive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada
kekurangan hukum;
3. Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkhis.44
Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk
memepelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam
praktik hukum. Kasus-kasus yang telah terjadi dipelajari untuk memperoleh
gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam
praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan dalam
eksplanasi hukum.45
Pendekatan perbandingan hukum adalah pendekatan yang umumnya
dilakukan dengan membandingkan isi aturan hukum negara lain yang spesifik
dengan aturan hukum yang diteliti, atau dapat juga dalam rangka mengisi
kekosongan dalam hukum positif. Penelitian seperti itu hanya dilakukan terhadap
unsur-unsur yang dapat di bandingkan (tertium comparationis) dengan bahan
44 Jhony Ibrahim, op.cit, hal.302
45
Jhony Ibrahim, op.cit, hal.301
53
hukum yang menjadi fokus penelitian.46
Penulis dalam penelitian ini melakukan
perbandingan hukum terhadap negara Australia.
Pendekatan analisis konsep hukum adalah analisis terhadap bahan hukum
untuk mengetahui makna yang terkandung oleh istilah-istilah yang digunakan
dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional.47
Hal ini dilakukan
dengan melalui dua cara. Cara pertama, sang peneliti berusaha memperoleh
makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan. Cara
kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktik melalui analisis
terhadap putusan pengadilan.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum.
Berdasarkan atas penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder dalam penelitian hukum normatif, masing-masing dapat diuraikan
sebagai berikut dibawah ini :
Bahan Hukum Primer terdiri dari :
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104;
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
46 Jhony Ibrahim, op.cit, hal.315
47
Jhony Ibrahim, loc.cit
54
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor
3643;
d. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan
Pendafataran Tanah Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
107.
Bahan Hukum Sekunder terdiri dari :
1. Buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau
pandangan ahli hukum yang termuat dalam dalam media masa, kamus dan
enslikopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan enslikopedi
hukum kedalam bahan hukum tersier) dan ;
2. Internet dengan menyebut nama dan situsnya.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.
Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan metode bola salju (snowball method).48
Adapun
metode yang dimaksud dengan metode bola salju adalah menggelinding terus
menerus sampai menemukan titik jenuh, dan hal ini mengacu kepada peraturan
perundang-undangan dan buku-buku hukum dalam daftar pustaka. Pengumpulan
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier di
inventarisasi dan diklasifikasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini.
48 I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam
Sistem Peradilan Pidana, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana,
Denpasar, hal.32
55
Dengan pengklasifikasian diharapkan dapat memudahkan melakukan
analisis terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian dengan
mengelaborasikan antara bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta
bahan hukum tersier yang dianalisis dan disusun secara sistematis.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum.
Pada tehnik penulisan analisis bahan hukum dalam penelitian ini
menggunakan tehnik deskripsi dan tehnik penemuan hukum (Rechtsvinding).
Tehnik deskripsi adalah menguraikan adanya suatu kondisi atau posisi dari
proposisi-proposisi hukum atau non hukum.49
Tehnik penemuan hukum
(Rechtsvinding) menggunakan teknik konstruksi hukum. Dalam tehnik konstruksi
hukum, penemuan hukum (Rechtsvinding) dapat dibentuk melalui 2 jenis metode
yaitu:
1. Argumentum a contrario adalah penalaran yang secara konkrit dilakukan
pada ketentuan aturan hukum dalam undang-undang dan hanya berlaku
pada kejadian-kejadian yang secara eksplisit disebut dan tidak berlaku
bagi kejadian yang tidak disebut;
2. Rechtsverfijning atau penghalusan hukum adalah oleh Sudikno
Mertokusumo dinamakan “penyempitan hukum”. Konsep dari penalaran
ini berlawanan dengan analogi. Pada penghalusan hukum yang terjadi
adalah aturan hukum yang dikhususkan.50
49 M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 43
50 Sudikno Mertokusumo dalam I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran dan
Argumentasi Hukum (Legal Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit Bali
Aga, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), hal.48
56
Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah proses
penemuan hukum oleh hakim atau aparat penegak hukum lainnya yang ditugaskan
untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa yang konkret.51
Penemuan hukum sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan
hukum yang bersifat umum dengan mengaitkannya pada peristiwa konkret
tertentu. Apabila terjadi kekosongan hukum maka hukum harus dicari dan
ditemukan melalui penemuan hukum.
51 Sudikno Mertokusumo dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Asas Legalitas Dan Penemuan
Dalam Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga, Jogjakarta, (selanjutnya disingkat
Sudikno Mertokusumo III), hal. 56.