34
1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menteri Luar Negeri RI tahun 1978-1988 yang juga Guru Besar Universitas Pajajaran Bandung, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa terjadinya hubungan antara satu negara dengan negara yang lain karena adanya rasa saling membutuhkan. Misalnya, hubungan perdagangan tercipta lantaran adanya pembagian kekayaan alam dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia sehingga negara-negara menjalin hubungan dengan mempertukarkan hasil bumi dengan hasil industri. Selain di bidang perdagangan, saling membutuhkan juga terjadi di bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga (Kusumaatmadja, 1982:12). Untuk memformalkan hubungan saling membutuhkan itulah kedua negara membuka hubungan diplomatik. Sejak Indonesia membuka perwakilan di Kairo pada tahun 1950 dan Mesir membuka perwakilan di Jakarta pada tahun 1951, hubungan kedua negara sampai tahun 2010 terlihat erat, harmonis, tidak ada ketegangan apalagi pemutusan hubungan diplomatik. Selama 50 tahun hubungan, Indonesia tidak pernah mem- persona non grata-kan pejabat diplomatik Mesir dan juga sebaliknya, Mesir tidak pernah mendeportasi pejabat diplomatik Indonesia dari lembah sungai Nil. Akan tetapi, di balik keharmonisan tersebut sebenarnya terdapat ketimpangan, ketidakseimbangan dan kepincangan. Indonesia selalu memandang Mesir penting, sebaliknya Mesir hanya memandang Indonesia sebelah mata.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

1  

1  

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menteri Luar Negeri RI tahun 1978-1988 yang juga Guru Besar

Universitas Pajajaran Bandung, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa

terjadinya hubungan antara satu negara dengan negara yang lain karena adanya

rasa saling membutuhkan. Misalnya, hubungan perdagangan tercipta lantaran

adanya pembagian kekayaan alam dan perkembangan industri yang tidak

merata di dunia sehingga negara-negara menjalin hubungan dengan

mempertukarkan hasil bumi dengan hasil industri. Selain di bidang

perdagangan, saling membutuhkan juga terjadi di bidang kebudayaan, ilmu

pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga (Kusumaatmadja, 1982:12).

Untuk memformalkan hubungan saling membutuhkan itulah kedua negara

membuka hubungan diplomatik.

Sejak Indonesia membuka perwakilan di Kairo pada tahun 1950 dan Mesir

membuka perwakilan di Jakarta pada tahun 1951, hubungan kedua negara sampai

tahun 2010 terlihat erat, harmonis, tidak ada ketegangan apalagi pemutusan

hubungan diplomatik. Selama 50 tahun hubungan, Indonesia tidak pernah mem-

persona non grata-kan pejabat diplomatik Mesir dan juga sebaliknya, Mesir tidak

pernah mendeportasi pejabat diplomatik Indonesia dari lembah sungai Nil.

Akan tetapi, di balik keharmonisan tersebut sebenarnya terdapat

ketimpangan, ketidakseimbangan dan kepincangan. Indonesia selalu memandang

Mesir penting, sebaliknya Mesir hanya memandang Indonesia sebelah mata.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

2  

Ketimpangan tersebut bisa dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu kuantitas formasi

perwakilan dan intensitas kunjungan pejabat negara. Pertama, menyangkut

kuantitas formasi perwakilan, jika Indonesia menempatkan banyak diplomat di

KBRI Cairo, Mesir hanya menempatkan beberapa diplomat di Kedutaan Mesir

untuk Indonesia. Sebagai contoh pada tahun 2010, struktur KBRI Kairo terdiri

dari Kepala Perwakilan, Wakil Kepala Perwakilan, Fungsi Politik, Fungsi

Ekonomi, Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya, Fungsi Protokol dan Konsuler,

Atase Pertahanan, Atase Perdagangan, Atase Pendidikan Nasional, Unit

Komunikasi, Bendahara dan Penata Kerumahtanggaan, serta Kepala Sekolah

Indonesia Cairo (SIC). Karena itulah, jumlah pejabat diplomatik (home staff) di

KBRI Kairo mencapai 18 orang dan didukung oleh 37 pegawai setempat (local

staff). Sementara itu, Kedutaan Mesir di Jakarta pada tahun 2010 hanya terdiri

dari Kepala Perwakilan, Wakil Kepala Perwakilan, Atase Perdagangan,

Administrasi dan Keuangan. Karena itulah, jumlah pejabat diplomatik (home

staff) Kedutaan Mesir di Jakarta hanya mencapai 10 orang, ditambah dengan

beberapa pegawai setempat (local staff).

Jumlah pejabat diplomatik yang dikirim suatu negara ke negara lain,

sesungguhnya mampu menunjukkan besar atau kecilnya kepentingan Negara

pengirim ke Negara tujuan. Indonesia menempatkan banyak pejabat diplomatik di

Mesir, menunjukkan besarnya kepentingan Indonesia terhadap Mesir. Sebaliknya,

minimnya jumlah pejabat Mesir yang bertugas di Kedutaan Mesir untuk

Indonesia, bisa dipahami sebagai minimnya kepentingan Mesir terhadap

Indonesia.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

3  

Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain, juga

bisa digunakan sebagai indikator keharmonisan kerjasama antar dua negara. Jika

dalam kurun waktu 1955 sampai dengan 1965 Presiden Soekarno telah

berkunjung ke Mesir sebanyak 6 (enam) kali. Sebaliknya, Perdana Menteri/

Presiden Gamal Abdel Nasser hanya singgah satu kali di Indonesia.

Kedatangannya pun dalam rangka menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) di

Bandung pada tanggal 16-27 April 1955 (Kompas, 26/08/1997: 22).

Setelah itu, Presiden Soeharto, Abdurrahman Wahid, Megawati

Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyuno selalu melakukan kunjungan ke

Mesir. Hanya Presiden Habibie yang tidak sempat berkunjung ke Mesir karena

singkatnya masa jabatannya dan situasi dalam negeri yang belum stabil pasca-

pergantian kepemimpinan nasional. Sementara itu, Presiden Anwar Sadat sama

sekali tidak pernah berkunjung ke Indonesia. Presiden Hosni Mubarak pun selama

masa jabatannya hanya pernah sekali datang ke Indonesia pada tanggal 9-11 April

1983. Oleh karena itulah, pada saat menyerahkan credentials (surat-surat

kepercayaan) kepada Presiden Mubarak pada tanggal 16 Juni 2008, peneliti

menyampaikan bahwa rakyat Indonesia sudah lama merindukan kunjungan

Presiden Mesir, yang kemudian dijawab dengan kata “Insya Allah”, namun

sampai mengundurkan diri pada tahun 2011, ia tidak pernah datang lagi ke

Indonesia.

Selain kepala negara, kunjungan pejabat Indonesia, baik eksekutif,

legislatif maupun yudikatif, di tingkat pusat ataupun daerah, lebih tinggi

jumlahnya dibandingkan pejabat Mesir ke Indonesia. Bahkan kunjungan untuk

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

4  

kepentingan studi banding pun lebih sering dilakukan oleh pihak Indonesia,

sehingga menimbulkan kesan akan banyaknya yang perlu dipelajari dari Mesir,

sekalipun itu dalam bidang-bidang yang sebenarnya Indonesia lebih maju seperti

halnya terkait demokrasi dan hak asasi manusia. Sementara itu, kunjungan pejabat

Mesir betul-betul dibatasi hanya untuk kepentingan yang bersifat mission

oriented.

Kenyataan ini cukup membuktikan bahwa hubungan Indonesia-Mesir yang

berlangsung selama ini tidak seimbang dan berat sebelah. Indonesia terlalu

memandang penting Mesir namun tidak sebaliknya. Ketimpangan ini muncul

justru pada saat Indonesia telah meraih hasil dari perjuangannya untuk

mendapatkan pengakuan internasional sebagai syarat sahnya negara yang

merdeka, dan Mesir tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengakui

kemerdekaan Indonesia. Mesir pula negara pertama yang menandatangani

perjanjian persahabatan dengan Indonesia yang diikuti dengan pembukaan

perwakilan di Kairo dan di Jakarta pada tahun 1950/1951.

Lebih dari itu, Mesir tercatat sebagai negara tempat menuntut ilmu bagi

putra-putri Indonesia sejak sebelum abad 19 masehi. Hubungan Indonesia-Mesir

yang sangat historis dan bahkan emosional, semestinya dijadikan modal penting

bagi kedua negara untuk meningkatkan hubungan dan kerja sama kedua negara ke

tingkat yang lebih strategis, sehingga hubungan menjadi lebih bermakna dan satu

sama lain saling memandang penting.

Dalam kondisi di atas, sebenarnya tidak sedikit dari pejabat dan pengamat

hubungan internasional yang mengeluhkan hubungan Indonesia-Mesir, karena

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

5  

kedua Negara belum mampu memanfaatkan potensi yang dimiliki masing-masing

negara. Seorang pejabat Indonesia, Emil Salim pada Seminar Internasional

Hubungan Indonesia-Timur Tengah di Jakarta pada hari Selasa, tanggal 27 Januari

1976, mengungkapkan keheranannya mengapa hubungan ekonomi antara

Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah tidak bisa terjalin erat. Padahal

menurutnya, hubungan di bidang politik kedua Negara berlangsung baik

(Kompas, 28/1/1976:2).

“Sekalipun antara Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin kerja sama yang erat dalam bidang politik, namun adalah menarik bahwa kerja sama di bidang ekonomi tidak berkembang sebagaimana mestinya,” ujar Emil yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan (Kompas, 28/1/1976:2).

Untuk memperkuat argument atas lemahnya hubungan ekonomi antar

kedua Negara. Emil memaparkan sejumlah data. Misalnya, ekspor Indonesia ke

negara-negara Timur Tengah selama tahun 1975 dan 1976, rata-rata hanya US$ 6

juta setahun. Menurutnya, ini rendah sekali, karena hanya merupakan 0,3 % saja

dari jumlah ekspor (non-migas) Indonesia yang seluruhnya mencapai US$ 2

miliar setahun. Sebaliknya, ekspor Timur Tengah ke Indonesia kurang dari US$

30 juta pada tahun 1974 dan hanya naik menjadi di bawah US$ 60 juta pada tahun

1975. Ini pun, masih menurut Emil, amat rendah karena nilai impor Indonesia

seluruhnya berkisar US$ 4 miliar (Kompas, 28/1/1976:2).

Soal perkreditan, Emil menambahkan bahwa kredit yang diterima

Indonesia dari Timur Tengah terhitung kecil. Dari Mesir misalnya, hanya US$ 4,8

juta, dari Iran US$ 200 juta dan dari Arab Saudi US$ 120 juta. Emil menilai kecil

jumlah tersebut jika dibandingkan dengan jumlah pinjaman yang diterima

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

6  

Indonesia dari kelompok Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) sejak

tahun 1968, yaitu sebesar US$ 5,6 miliar (Kompas, 28/1/1976:2).

Pengamat Timur Tengah, Riza Sihbudi dalam bukunya, Indonesia Timur

Tengah: Masalah dan Prospek, mengatakan bahwa:

“Meskipun secara tradisional hubungan Indonesia dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah telah terjalin berabad-abad, namun hingga kini belum terdapat suatu bentuk hubungan yang melembaga... Begitu pula hubungan dengan Mesir, meskipun merupakan sesama negara pendiri GNB (Gerakan Non Blok), namun sampai saat ini hubungan itu tidak mendapat bentuk yang jelas. Hal ini antara lain terlihat dari tidak adanya kerja sama antara kedua negara dalam memecahkan berbagai permasalahan yang menyangkut kepentingan bersama, khususnya dalam Gerakan Non Blok (Sihbudi, 1997:34).”

Riza berharap, hubungan antara Indonesia dengan negara-negara di Timur

Tengah bisa mencontoh hubungan antara Indonesia dengan negara-negara di

kawasan Asia Pasifik dan Masyarakat Ekonomi Eropa. Dengan negara-negara

Asia Pasifik, Indonesia mempunyai hubungan yang melembaga, yaitu dalam

bentuk pertemuan tingkat menteri “ASEAN-Mitra Dialog”. Dalam forum ini

Indonesia berkesempatan membahas dan merundingkan berbagai masalah politik

dan ekonomi dengan Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia baru, Amerika

Serikat, Kanada dan 12 negara Eropa yang tergabung dalam Masyarakat Eropa

(Sihbudi, 1997:34-35).

Hal yang sama disampaikan Riza saat tampil sebagai pembicara dalam

seminar tentang “Persahabatan Masyarakat Indonesia-Arab” di Balai Sidang

Universitas Indonesia, Depok pada tanggal 5 September 2000. Ia menegaskan

bahwa sampai jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei

1998, hubungan Indonesia-Mesir tidak mendapat bentuk yang jelas. Hal ini

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

7  

terlihat dari tidak adanya kerja sama antara kedua negara dalam memecahkan

berbagai permasalahan yang menyangkut kepentingan bersama (Sihbudi, 2000).

Pandangan serupa juga diakui oleh pihak Mesir. Mohammad Sayed Selim

dalam tulisannya di Surat Kabar Al-Ahram, tanggal 17 Agustus 1997 menyoroti

ketimpangan hubungan Indonesia-Mesir di bidang ekonomi. Menurut Selim yang

saat itu menjabat Direktur Studi Asia Universitas Kairo, ketidakseimbangan

perdagangan kedua negara perlu dicarikan jalan keluar guna meningkatkan dan

menambah volume perdagangan sehingga tercapai keseimbangan. Lebih lanjut ia

memaparkan bahwa pada tahun 1995 nilai perdagangan Indonesia-Mesir

mencapai LE 282 juta, yang 95% di antaranya adalah ekspor Indonesia ke Mesir.

Sedangkan pada tahun 1996 nilai perdagangan Indonesia-Mesir mencapai LE 346

juta, yang 99% di antaranya adalah ekspor Indonesia ke Mesir. Pada tahun 1996

itu ekspor Mesir ke Indonesia tidak lebih dari LE 1 juta. Selim berharap supaya

pertemuan Komisi Bersama Indonesia-Mesir merumuskan dan mengambil

langkah-langkah konkret bagaimana mewujudkan keseimbangan perdagangan.

Kepada para eksportir Mesir juga diharapkan untuk melihat peluang pada pasar

Indonesia yang luas (Al-Ahram, 1997:10).

Tidak hanya itu, beberapa Kepala Perwakilan RI di Mesir mengeluhkan

ketimpangan ini dan berharap supaya diakhiri. Pada seminar Hubungan Indonesia-

Mesir di Kairo, tanggal 21 Juli 1997, Duta Besar Boer Mauna mengatakan bahwa

hubungan Indonesia-Mesir di bidang ekonomi tidak berkembang sesuai yang

diharapkan. Perdagangan antara kedua negara (Indonesia-Mesir) ditandai dengan

ketidakseimbangan. Ekspor Indonesia ke Mesir selama periode 1991-1996

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

8  

mencapai LE. 272.75 juta per tahun, sedangkan impor Indonesia dari Mesir hanya

LE. 8.46 juta per tahun. Pada 1996 Ekspor Indonesia ke Mesir mencapai 347.10

juta, sedangkan impor Indonesia dari Mesir hanya LE. 3.71 juta. Melalui seminar

itu, Boer mengharapkan agar dicarikan kiat-kiat untuk meningkatkan hubungan

perdagangan Indonesia-Mesir (Mauna, 1997).

Duta Besar RI untuk Mesir tahun 1980-1982, Ferdy Selim yang ikut hadir

dalam acara seminar itu mengatakan bahwa hubungan ekonomi Indonesia-Mesir

belum sepenuhnya menggembirakan karena perbedaan dalam memberi prioritas.

Fokus perdagangan Indonesia, menurutnya, terjalin dengan Jepang dan negara-

negara Asia-Pasifik lainnya. Sementara itu, Mesir dan negara-negara Timur

Tengah lainnya masih terbelenggu konflik militer dan politik hingga belum

sepenuhnya dapat mengembangkan potensi ekonominya (Kompas, 1997:22).

Menjelang kunjungan Presiden Soeharto pada Mei 1998, Duta Besar RI

untuk Mesir, N Hassan Wirajuda menyatakan bahwa hubungan politik Indonesia-

Mesir selama ini cukup kuat, namun perlu diperbarui dan ditingkatkan, terutama

karena hubungan baik yang sempat terjalin dulu, selama ini kurang mendapat

perhatian (Kompas, 1998:3). Kepada wartawan Kompas di Jakarta, ia mengatakan

bahwa:

“Ada semacam kesenjangan dalam hubungan Indonesia dengan Timur Tengah, termasuk Mesir. Untuk kawasan Asia dan Pasifik, kita bisa melakukan konsultasi berkala dengan kawasan, melalui forum ASEAN, ARF, ataupun APEC. Sedang dengan kawasan Eropa, kita memiliki forum ASEM. Tapi dengan Timur Tengah, kita tidak mempunyai mekanisme. Bahkan untuk konsultasi sub-kawasan pun kita tidak punya mekanisme. Sepertinya ada rantai yang terputus (Kompas, 1998:3).”

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

9  

Tak lama setelah kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri ke Kairo

pada September 2002, Duta Besar RI untuk Mesir, Bachtiar Aly mengatakan

bahwa hubungan Indonesia-Mesir kini perlu improvisasi, tidak cukup lagi

mengandalkan semangat historis saja. “Kita harus lebih proaktif dalam

mempromosikan Indonesia. Bagaimana kita menumbuhkan dan menggalang

kepercayaan dunia terhadap integritas Indonesia, termasuk di antaranya mampu

mendatangkan investor asing sebanyak mungkin ke Indonesia,” tegas Aly

(Kompas, 2002:3).

Hal yang sama juga peneliti rasakan saat masih bertugas sebagai kepala

perwakilan RI di Mesir. Saat wawancara dengan wartawan Koran Shout

Al-Azhar, peneliti menyampaikan bahwa Indonesia dan Mesir memiliki potensi

besar. Namun, potensi besar itu kurang tergarap secara maksimal. Perdagangan

kedua negara sangat lemah dan memerlukan dorongan kuat dari kedua belah pihak

(Shout al-Azhar, 2010:14).

Peneliti juga pernah menulis di Harian Kompas akan perlunya inovasi

guna menggairahkan kembali pertalian emosional Indonesia-Mesir. Antara lain

melalui sepakbola dan kesenian. Misalnya, juara Liga Indonesia membuat

pertandingan persahabatan ke Mesir melawan juara Liga Mesir. Penyanyi terkenal

Mesir, Amer Diab terbang dengan Garuda dan melantunkan lagu-lagu cintanya di

Monas, Senayan City, dengan latar Borobudur, Prambanan, Tanah Lot dan Pantai

Senggigi (Kompas, 2009:7).

Dari latar belakang di atas, peneliti memandang bahwa persoalan

ketimpangan hubungan Indonesia-Mesir perlu untuk diangkat dalam sebuah

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

10  

penelitian komprehensif, sebab selain permasalahan ini sangat jarang diketahui

oleh mayoritas masyarakat kedua Negara bahkan para pemerati politik luar negeri

di kedua Negara pun mungkin belum banyak yang menyadari realitas di atas.

Sebab, mayoritas masyarakat selama ini memandang bahwa hubungan kedua

negara selalu dipandang normal. Hal terpenting lain yang mendasari pemilihan

judul di atas adalah faktor signifikansi professional, yaitu profesi peneliti sebagai

diplomat, yang pernah bertugas sebagai kepala perwakilan RI di Mesir.

1.2 Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat dan

diamati dalam penelitian ini berpusat pada pertanyaan mengapa hubungan

Indonesia-Mesir sejak tahun 1950 sampai 2010 berlangsung timpang, tidak

seimbang dan berat sebelah. Indonesia memandang penting Mesir, sebaliknya

Mesir tidak memandang penting Indonesia, padahal jika ditilik dari faktor historis,

Mesir adalah negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan

Mesir pula tercatat sebagai negara pertama yang menandatangani perjanjian

persahabatan dengan Indonesia. Hal tersebut dikuatkan dengan hubungan

konsisten kedua negara yang erat, harmonis, tanpa konflik, dan memiliki

persamaan sejarah sebagai negara bekas jajahan, dan bersama-sama

memperjuangkan prinsip luar negeri non-aligned dan anti-kolonialisme, sekaligus

sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

11  

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan untuk mempermudah

dalam pembahasan nantinya, maka rumusan masalah yang peneliti rumuskan

dalam tiga pertanyaan pokok, yaitu sebagai berikut.

1. Bagaimana politik luar negeri Indonesia terhadap Mesir sehingga

Indonesia memandang penting Mesir, dan bagaimana politik luar negeri

Mesir terhadap Indonesia sehingga Mesir tidak memperhitungkan posisi

Indonesia ?

2. Faktor-faktor apakah yang mendasari ketimpangan hubungan Indonesia-

Mesir ?

3. Usaha-usaha apakah yang perlu dilakukan untuk memperbaiki hubungan

Indonesia-Mesir, agar ke depan Indonesia memiliki daya tawar yang

menarik, sehingga dapat merubah paradigma hubungan kedua negara ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian jenis apapun, tentu mempunyai tujuan tertentu dan diharapkan

juga hasil penelitian yang telah dilakukannya mempunyai manfaat tidak hanya

bagi penelitinya sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya,

khusunya yang menaruh minat dan perhatian terhadap masalah kerjasama

Indonesia-Mesir. Untuk itu, di bawah ini dikemukakan tujuan dan manfaat

penelitian, yaitu sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang akan

dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

12  

1. Mendeskripsikan politik luar negeri Indonesia terhadap Mesir sekaligus

menjelaskan realitas ketimpangan hubungan Indonesia-Mesir.

2. Memahami dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendasari

ketimpangan hubungan kedua Negara.

3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rekomendasi atau usulan untuk

memperbaiki hubungan Indonesia-Mesir.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Risalah disertasi ini diharapkan mempunyai manfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan (teoretis) dan pembangunan negara (praktis).

1. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan

a. Mengembangkan Ilmu Hubungan Internasional dan Kajian Timur

Tengah serta sebagai referensi untuk melakukan penelitian lanjutan

yang lebih mendalam.

b. Menambah khazanah pustaka di Tanah Air sebagai sumbangan

pemikiran bagi ilmu pengetahuan.

2. Manfaat bagi pembangunan negara

a. Memberikan masukan kepada Pemerintah Indonesia dalam

pengambilan kebijakan terkait dengan politik luar negeri terhadap

Mesir.

b. Menghasilkan landasan bagi pelaksanaan hubungan luar negeri

Indonesia pada masa-masa mendatang, khususnya hubungan dan

kerjasama antara Indonesia dan Mesir dalam segala bidang, terutama

di bidang perdagangan, pendidikan, kebudayaan, dan lain sebagainya.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

13  

1.4 Tinjauan Pustaka

Sejauh penelusuran peneliti terhadap berbagai sumber pustaka, selama ini

belum ada penelitian dengan judul “Ketimpangan Hubungan Indonesia-Mesir

1950-2010. Adapun pustaka yang ada hubungannya dengan penelitian disertasi ini

adalah sebagai berikut.

Pertama, buku berjudul Sekitar Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir

Tahun 1947, diterbitkan oleh Panitia Peringatan HUT Ke-32 Perjanjian

Persahabatan Indonesia-Mesir, diterbitkan di Jakarta, pada tahun 1978. Buku ini

merupakan kumpulan tulisan dari beberapa tokoh yang menjadi saksi

penandatanganan perjanjian persahabatan Indonesia-Mesir tahun 1947, seperti M.

Rasyidi, AR. Baswedan dan M. Zein Hasan, serta tulisan dari beberapa tokoh

yang mengetahui kedekatan hubungan Indonesia-Mesir, seperti Moh. Natsir

(mantan perdana menteri), Achmad Subardjo (mantan menteri luar negeri),

Mohammad Roem (mantan menteri luar negeri), Sunario (mantan menteri luar

negeri), Roeslan Abdulghani (mantan menteri luar negeri) dan Saifuddin Zuhri

(mantan menteri agama).

Kedua, buku berjudul Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri karya

M. Zein Hassan, diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang Jakarta, pada tahun

1980. Buku ini ditulis oleh pelaku sejarah, yang memimpin Perkumpulan

Kemerdekaan Indonesia di Mesir. Buku ini menguraikan secara lengkap aktivitas

mahasiswa Indonesia di Mesir dalam memperjuangkan pengakuan Mesir secara

khusus dan beberapa Negara di Timur Tengah atas kemerdekaan Indonesia. Dari

buku ini tergambar dua hal: (1) dukungan Mesir terhadap perjuangan

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

14  

kemerdekaan Indonesia; (2) kegigihan para mahasiswa Indonesia dalam

melaksanakan diplomasi, sekalipun mereka bukan diplomat dan belum pernah

mendapatkan pendidikan diplomasi.

Ketiga, buku berjudul “Seminar on the Egyptian Indonesian Relations

from Historic Perspective”, diterbitkan dalam rangka HUT ke-50 Kemerdekaan

RI dan HUT ke-48, Penandatanganan Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir,

diterbitkan di Jakarta, pada tahun 1995. Buku ini berisi laporan kegiatan Seminar

Hubungan Indonesia-Mesir dari Perspektif Sejarah yang diselenggarakan di

Jakarta pada tanggal 26 Juli 1995, berisikan sambutan Menteri Luar Negeri Ali

Alatas, makalah Emil Salim dan Juwono Sudarsono.

Keempat, skripsi Peranan Mesir dalam Revolusi Indonesia Tahun 1945-

1947 oleh Ekalantri Fitriani, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996. Skripsi

ini memaparkan peranan Mesir dalam memberikan dukungan kepada Indonesia

untuk memperoleh pengakuan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat sampai

kedua negara menandatangani perjanjian persahabatan tahun 1947.

Kelima, buku berjudul “Indonesia Timur Tengah: Masalah dan

Prospek” karya Riza Sihbudi, terbitan Gema Insani Press, Jakarta, tahun 1997.

Buku ini mengupas hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah.

Pada Bab I diuraikan hubungan Indonesia-Mesir. Di akhir Bab I, penulis

berkesimpulan bahwa selama kurun waktu 1947-1961, hubungan kedua negara

berjalan cukup baik, karena keduanya menjalankan garis kebijakan luar negeri

yang pada prinsipnya sama dan keduanya memiliki persamaan persepsi terhadap

masalah kolonialisme/imperalisme. Meskipun demikian, menurut penulis, terdapat

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

15  

faktor-faktor yang menghambat bagi peningkatan hubungan kedua negara pada

periode tersebut. Yaitu: terjadinya konflik dalam negeri baik di Indonesia maupun

di Mesir, jauhnya jarak antara keduanya dan keterbatasan kemampuan ekonomi

yang dimiliki kedua negara. Faktor-faktor ini tidak dieksplorasi secara mendalam

oleh penulis, sehingga dengan itu menjadikan perlunya disertasi ini.

Keenam, buku berjudul “Al-‘Alaaqat al-Mishriyyah al-Asiyawiyyah”

(Hubungan Mesir-Asia) karya Muhammad Sayid Salim dan Ibrahim Arafat

(Editor), terbitan Center for Asian Studies, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Politik,

Cairo University, 2000. Buku ini membahas hubungan Mesir dengan negara-

negara Asia. Khusus nya Bab X dibahas hubungan Mesir-Indonesia yang ditulis

oleh Muhammad Sayid Salim. Tulisan Direktur Studi Asia Universitas Kairo ini

tidak jauh beda dengan makalah yang ia sampaikan pada Seminar Hubungan

Indonesia-Mesir di Kairo, tanggal 21 Juli 1997 dan artikel yang ia tulis di Surat

Kabar Al-Ahram, tanggal 17 Agustus 1997. Intinya, ia menguraikan awal

terjadinya hubungan antara Indonesia dan Mesir, lalu dukungan Mesir terhadap

perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan mendapatkan

pengakuan internasional, era kemesraan Soekarno-Nasser dan terakhir membahas

pengaruh krisis ekonomi Indonesia dan pergantian kepemimpinan nasional

terhadap hubungan Indonesia-Mesir.

Ketujuh, tesis Diplomasi Republik Indonesia di Mesir (1947-1948),

Suranta Abd. Rahman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,

2003. Tesis ini menguraikan diplomasi RI pasca-keluarnya rekomendasi dari Liga

Arab supaya negara-negara Arab mengakui Indonesia sebagai negara yang

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

16  

merdeka dan berdaulat, yaitu pengakuan negara-negara Arab dan pembahasan

masalah Indonesia di PBB.

Delapan, buku Potret Hubungan Indonesia-Mesir yang diterbitkan KBRI

Cairo, tahun 2009. Buku ini mendokumentasikan hubungan Indonesia-Mesir sejak

pertama adanya kontak kedua bangsa, jauh sebelum kemerdekaan tahun 1945

sampai tahun 2008. Untuk saat ini, buku tersebut menjadi rujukan utama

hubungan Indonesia-Mesir yang lengkap dengan sumber referensi yang kaya, baik

dari Indonesia maupun Mesir. Karena ditulis dan diterbitkan oleh Pemerintah RI,

dalam hal ini KBRI Cairo, maka buku ini hanya berisi data, rekaman,

dokumentasi, tanpa disertai opini. Disertasi ini dimaksudkan untuk menganalisis

dan mengembangkan sebagian data yang ada di buku tersebut.

Sembilan, buku berjudul Abhãts Nadwat al-‘Alãqãt al-Indûnîsiyyah al-

Mishriyyah yang diterbitkan KBRI Cairo bekerja sama dengan Fakultas Adab dan

Humaniora Suez Canal University, tahun 2011. Buku ini merupakan kumpulan

tulisan/makalah yang disampaikan saat seminar dalam rangka peringatan 63 tahun

hubungan Indonesia-Mesir tanggal 6 Mei 2010. Di antara pemakalahnya adalah

Dr. Amani Khudhair dan Dr. Salwa Farag yang menulis tentang hubungan

Indonesia-Mesir dan Dr. Najwa Ali yang menulis tentang hubungan ekonomi

Indonesia-Mesir. Dapat dikatakan bahwa buku ini menjadi tulisan terakhir yang

mengupas tentang hubungan Indonesia-Mesir.

Dari ke Sembilan buku yang membahas hubungan antara Indonesia dan

Mesir, secara keseluruhan menyimpulkan bahwa hubungan antara Indonesia dan

Mesir sudah terjalin cukup lama dan berlangsung jauh sebelum kemerdekaan.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

17  

Yang sampai saat ini hubungan kedua Negara berjalan dengan baik, tidak pernah

ada masalah. Kalaupun ada yang mengeluhkan kurang maksimalnya hubungan

Indonesia-Mesir itu dilakukan oleh Riza Sihbudi, namun dosen Universitas

Indonesia itu tidak mengeksplorasi secara mendalam keluhan itu. Karena itulah,

peneliti tertarik untuk menelitinya secara mendalam.

1.5 Kerangka Teori

Mohtar Mas’oed dalam buku Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan

Metodologimengatakan:berteori adalah pekerjaan penonton, yaitu pekerjaan

mendeskripsikan apa yang terjadi, menjelaskan mengapa itu terjadi dan mungkin

juga meramalkan kemungkinan berulangnya kejadian itu di masa depan. Yang

dimaksud dengan teori, lanjutnya, adalah suatu bentuk pernyataan yang menjawab

pertanyaan “mengapa”. Jadi, berteori adalah upaya memberi makna pada

fenomena yang terjadi (Masoed, 194:185-186).

Sementara itu, menurut William D. Coplin, teori merupakan sekumpulan

proposisi yang bisa diterapkan ke dalam sekumpulan gejala yang bisa membantu

para sarjana untuk menata dan mengakumulasikan ide-ide mereka (Coplin,

2003:11).

Untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah

di atas, peneliti akan menggunakan teori resiprositas (theory of reciprocity)

sebagai metode dalam menjelaskan fenomena ketimpangan hubungan Indonesia

dan Mesiryang diperkuat dengan teori modern diplomacydan multitrack

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

18  

diplomacysebagai pendekatan sekaligus jalan keluar mengatasi masalah

ketimpangan tersebut.

1.5.1 Resiprositas

Menurut Robert O. Keohane, resiprositas adalah terma yang ambigu karena

muncul di banyak literatur yang berbeda. Masing-masing bidang pemikiran

mendefinisikan resiprositas sesuai dengan tujuan teorinya (Keohane, 1986:3).

Resiprositas juga sering digunakan di bidang psikologi sosial, matematika,

antropologi budaya dan sosiologi. Jadi, hubungan internasional bukanlah satu-

satunya displin ilmu yang menggunakan istilah resiprositas.

Resiprositas merupakan bahasa Latin dari kata “reciprocus” yang tersusun

dari kata retro dan procus, yang artinya memberi dan menerima. Dalam istilah

lain, arti yang pokok adalah saling tukar, mutual exchange (Bruni, 2008:1). Dalam

kamus besar bahasa Indonesia, bentuk kata sifat dari resiprositas adalah resiprokal

yang berarti saling berbalasan. Ini adalah hukum sebab dan akibat. Dalam Kamus

Oxford, resiprositas diartikan sebagai, “the principle that one will treat someone

in a particular way if one is so treated by them (Martin, 2002:40).” Sementara itu,

dalam kamus hukum yang ditulis oleh PH Collin, resiprositas juga dapat berarti:

“an arrangement which applies from one party to another and vice versa”(Collin,

2004:249). Jadi, resiprositas adalah sebuah strategi pembalasan, yaitu kebaikan

dibalas dengan kebaikan dan kejahatan dibalas dengan kejahatan (tit for tat

strategy).

Resiprositas mengandung 2 (dua) makna, yaitu makna kontingensi dan

ekuivalensi. Kontingensi artinya keadaan yang masih diliputi ketidakpastian

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

19  

mengenai kemungkinan, yang akan terselesaikan dengan terjadi atau tidak

terjadinya satu atau lebih peristiwa pada masa yang akan datang. Maksudnya,

bahwa resiprositas menunjukkan aksi “tergantung” pada reaksi yang bermanfaat

dari orang lain dan yang berhenti ketika reaksi yang diharapkan tidak datang.

Perilaku resiprokal membalas keburukan terhadap aksi yang buruk atau membalas

kebaikan terhadap aksi yang baik. Orang akan tersenyum jika ia diberi

senyuman,sebaliknya ia akan berbohong jika dikhianati (Keohane, 1986:5-6).

Adapun makna ekuivalensi adalah keadaan sebanding dan sepadan.

Namun, bukan berarti dipahami secara ketat harus sepadan atau sebanding

untungnya. Ekuivalensi bisa terjadi di antara pihak-pihak yang posisinya sederajat

dan juga bisa terjadi di antara pihak-pihak yang tidak sederajat.

Dalam konteks hubungan Indonesia Mesir, jika ditilik dari makna

ekuivalensi, teori resiprositas peneliti manfaatkan sebagai cara untuk menimbang

dan menganalisis keberimbangan hubungan kedua negara. Tujuannya sangatlah

jelas, jika hubungan kedua negara seimbang, maka peneliti dapat memprediksi

bahwa hubungan antara pemerintah Indonesia dan Mesir pada masa yang akan

datang semakin harmonis. Namun sebaliknya, jika hubungan antara kedua negara

terjadi ketimpangan, dikhawatirkan kedepan akan terjadi permasalahan dalam

hubungan kedua negara.

Pada titik inilah, makna kontingensi dalam teori resiprositas selanjutnya

bisa dipahami. Bahwa jalinan hubungan kerjasama antar dua negara sebenarnya

selalu berada pada keadaan yang tidak pasti. Situasi inilah yang perlu dipahami

oleh setiap pemegang kebijakan luar negeri ataupun para pemerati hubungan antar

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

20  

negara. Untuk itulah, segala kebijakan yang akan lahir bertujuan untuk

menciptakan masa depan yang lebih baik.

Literatur tentang resiprositas dalam hubungan internasional ada yang

mendefinisikannya sebagai kesetaraan manfaat. Ada juga yang mendefinisikan

resiprositas sebagai persamaan konsesi. Namun yang jelas, dalam resiprositas,

kedua belah pihak memerlukan setidaknya kesetaraan manfaat (Keohane, 1986:7).

Walaupun tidak mungkin menentukan ekuivalensi secara tepat, semua sepakat

bahwa ekuivalensi yang rata-rata adalah menjadi bagian dari arti resiprositas.

Resiprositas berkenaan mengenai pertukaran dari nilai-nilai yang kira-kira

ekuivalen, yang aksi dari tiap-tiap bagian bergantung kepada aksi sebelumnya dari

pihak lain, sehingga kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan

dibalas dengan keburukan.

Untuk mempermudah menganalisis keberimbangan hubungan Indonesia

dan Mesir. Peneliti akan menggunakan 3(tiga) indikator. Pertama, frekuensi

kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain. Kedua, jumlah pejabat

diplomatik yang ditugaskan di masing-masing negara. Ketiga, hubungan dan

kerjasama ekonomi.

Jika dikaitkan dengan teori resiprositas, makna kontingensi bisa

diterjemahkan dalam indikator pertama, yaitu frekuensi kunjungan kepala negara

dan pejabat pemerintah di kedua negara yang tidak berlangsung resiprokal.

Sedangkan makna ekuivalensi peneliti gunakan untuk menjelaskan dua indikator

lain yaitu ketimpangan jumlah pejabat diplomatik yang bertugas di masing-

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

21  

masing perwakilan dan ketidak seimbangan hubungan dua negara dalam lingkup

kerjasama perdagangan dan ekonomi.

Walaupun Hukum Internasional tidak menentukan besar/kecilnya

formasi perwakilan. Pasal 11 Konvensi Wina 1961 hanya menyatakan, “Jika

tidak ada persetujuan khusus mengenai besarnya perwakilan, negara penerima

dapat meminta agar besarnya suatu perwakilan selalu dalam batas-batas yang

dianggap pantas dan wajar dengan mempertimbangkan keadaan dan kondisi di

negara penerima dan kebutuhan dari suatu perwakilan. Selanjutnya negara

penerima, dalam batas-batas yang sama dan atas dasar nondiskriminasi dapat

menolak untuk menerima pejabat-pejabat dari kategori tertentu” (Mauna,

2001:485-488).

Dengan demikian, jumlah staf perwakilan tidak dipersoalkan kecuali jika

terlalu banyak. Yang dianggap masalah bukan sedikitnya, tetapi malah

banyaknya. Banyaknya jumlah pejabat diplomatik satu negara dikhawatirkan akan

merugikan negara yang ditempati. Misalnya, pejabat-pejabat diplomatik dari

negara asing itu melakukan mata-mata (spionase).

Menurut pakar hukum internasional yang juga diplomat, Boer Mauna,

pada dasarnya besarnya staf perwakilan bergantung kepada beberapa hal,

diantaranya (1) Volume pekerjaan dan tingkat intensitas hubungan kedua negara,

(2) Faktor kesanggupan negara pengirim (dana dan personil), dan (3) Pentingnya

negara penerima di mata negara pengirim (Mauna, 2001:485-488).

Resiprositas hubungan kedua negara itu dipengaruhi oleh pandangan satu

negara kepada negara yang lain. Seberapa penting negara A bagi negara B.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

22  

Pertanyaannya, apa yang membuat suatu negara itu penting bagi negara yang lain?

Coplin menyebutkan ada 3(tiga) faktor, yaitu letak geografis, hubungan ekonomi

dan ikatan historis. Letak geografis menjadikan suatu negara penting bagi negara

lain. Perbatasan atau wilayah perairan bersama menimbulkan situasi-situasi yang

harus ditangani secara rutin. Dengan demikian, makin jauh jarak suatu negara

dengan negara lain, makin sedikit pula interaksi rutinnya (Coplin, 2003:273).

Selain itu, hubungan ekonomi memengaruhi jumlah dan jenis interaksi

rutin. Perdagangan timbal balik yang padat menimbulkan kondisi-kondisi bagi

interaksi rutin yang luas dan bervariasi bukan saja karena banyaknya tipe masalah

administratif yang bisa ditimbulkan oleh volume perdagangan yang cukup besar,

melainkan juga karena negara-negara yang terlibat banyak dipengaruhi oleh

kebijakan-kebijakan ekonomi masing-masing (Coplin, 2003:273).

Ikatan historis turut memperbesar jumlah interaksi rutin antarnegara.

Negara yang memiliki ikatan historis dengan negara lain, akan melakukan

interaksi rutin. Misalnya karena ikatan kolonial antara bekas negara penjajah dan

negara jajahannya (Holsti, 1988:214). Contoh lainnya seperti negara yang

berhutang jasa kepada negara lain karena pernah mendapatkan pengakuan

kemerdekaan dan kedaulatan dari negara tersebut.

Sementara itu, Morgenthau berpendapat bahwa suatu negara dipandang

penting oleh negara lain, jika memiliki letak geografis, swasembada pangan,

bahan baku dan produksi industri, kesiagaan militer, ukuran dan kualitas

penduduk (Morgenthau, 2010:169). Intinya, suatu negara akan dipandang penting

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

23  

oleh negara lain manakala negara tersebut mempunyai hal-hal yang menjadi target

atau sasaran dari kepentingan nasional (national interest) negara lain.

Jack C. Plano dan Roy Olton mendefinisikan kepentingan nasional

adalah sebagai berikut. Kepentingan nasional adalah tujuan pokok yang paling

penting yang menjadi pedoman para pembuat keputusan di suatu negara dalam

membuat kebijakan politik. Negara akan mengedepankan apa yang paling penting

kebutuhannya secara umum. Termasuk di dalamnya hak untuk mempertahankan

diri, kemerdekaan, integritas wilayah, keamanan, serta kesejahteraan ekonomi

(Plano dan Olton, 1980:9).

Kepentingan nasional merupakan konsep yang paling populer dalam

analisis hubungan internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan,

meramalkan, maupun menganjurkan perilaku internasional. Analisis sering

menggunakan konsep kepentingan nasional sebagai dasar untuk menjelaskan

perilaku suatu negara (Mas’oed, 1994:139).

Meskipun demikian, suatu negara jangan dulu menepuk dada merasa

penting selama hanya mengandalkan kekayaan alam, letak geografis, militer dan

penduduk, tanpa diikuti keunggulan di bidang diplomasi. Tanpa diplomasi,

menurut Morgenthau, semua kekuatan menjadi sia-sia. Diplomasi yang bermutu

tinggi akan membawa keserasian antara tujuan dan sarana diplomasi luar negeri

dengan sumber kekuatan nasional yang tersedia. Diplomasi bermutu tinggi akan

menyadap sumber-sumber kekuatan nasional yang tersembunyi dan mengubah

mereka sepenuhnya dan secara terjamin menjadi realitas politik (Morgenthau,

2010:169).

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

24  

Negara-negara yang tidak mempunyai kekuatan sebagaimana disebutkan

Morgenthau di atas tidak perlu berkecil hati. Masih ada harapan untuk bisa berdiri

sama tinggi dengan negara-negara lain dengan syarat ia memiliki ketangguhan

diplomasi. Diplomasi yang berkualitas dapat bertindak sebagai katalisator untuk

faktor yang berbeda-beda yang membentuk kekuatan (Morgenthau, 2010:169).

Oleh karena itu, efektifitas diplomasi yang dilakukan Negara melalui perantara

para diplomat dalam kondisi normal, harus sama artinya dengan siasat dan taktik

militer para pemimpin militer dalam kondisi masa perang (Morgenthau,

2010:170).

Morgenthau menyebutkan tiga fungsi dasar diplomat. Pertama, bertindak

sebagai wakil simbolis negaranya. Ia berkewajian menghadiri jamuan makan

kenegaraan, resepsi dan kegiatan lain yang diselenggarakan oleh negara, dimana

dia ditugaskan. Sekaligus, ia berkewajiban menyampaikan dan menerima ucapan

selamat dari negara tempat ia ditugaskan (Morgenthau, 2010:620-621).

Kedua, diplomat bertindak sebagai wakil sah negaranya. Ia berhak

membuat pernyataan yang bersifat mengikat, menandatangani kontrak-kontrak

untuk dipatuhinya, seolah-olah ia korporasi. Ia diberi kuasa untuk menandatangani

sebuah perjanjian atau meneruskan dan menerima dokumen-dokumen ratifikasi

dari suatu perjanjian yang telah ditandatangani untuk dilaksanakan sesuai masa

berlaku perjanjian tersebut. Ia berkewajiban memberikan perlindungan hukum

bagi warga negaranya yang berada di negara tempat ia bertugas. Ia dapat mewakili

negaranya pada konferensi atau dalam badan-badan PBB dan memberikan

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

25  

suaranya atas nama dan berdasarkan instruksi-instruksi pemerintahnya

(Morgenthau, 2010:621-622).

Ketiga, diplomat bersama kementerian luar negeri bertugas untuk

menentukan arah politik luar negerinya. Jika kementerian luar negeri adalah pusat

nadi politik luar negeri, maka para diplomat adalah urat-urat nadi yang jauh

letaknya, yang memelihara lalu lintas dua arah antara pusat dan dunia luar. Para

diplomat harus menilai tujuan-tujuan negara lain dan kekuatan sesungguhnya.

Mereka harus mendapatkan informasi-informasi mengenai rencana pemerintah

tempat mereka ditugaskan, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara

langsung kepada pejabat-pejabat pemerintah, pimpinan-pimpinan politik, melalui

pengamatan secara teliti pada pers dan lain-lain. Selanjutnya, mereka harus

mengevaluasi pengaruh yang tersembunyi pada kebijakan-kebijakan pemerintah

yang berlawanan arah di dalam pemerintahan, partai-partai politik dan opini

umum (Morgenthau, 2010:622).

Selain urat nadi, fungsi para diplomat adalah mulut dan tangan sebuah

Negara, sebagai media penyampai kepentingan Negara pengirim melalui kata-kata

dan tindakan-tindakan. Mereka harus mampu “menjual” politik luar negeri ke

negara tempat ditugaskan. Karena itu, daya tarik pribadi diplomat dan

pemahamannya tentang psikologi rakyat negara setempat menjadi prasarat hakiki

(Morgenthau, 2010:621-622).

1.5.2 Modern Diplomacy (R.P. Barston)

Tiga fungsi utama diplomat yang dijelaskan Morgenthau adalah sebagai

wakil simbolis negara, wakil sah negara, dan pemegang kebijakan politik luar

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

26  

negeri bersama Kementerian Luar Negeri negara pengirim. Hal itu sebenarnya

telah mewakili makna diplomasi modern yang dikemukakan oleh Barston dalam

buku Modern Diplomacy, walaupun belum secara menyeluruh. Namun setidaknya

pendapat ini telah merubah wacana klasik yang berkembang pada awal-awal

lahirnya Ilmu Hubungan Internasional, bahwa tugas utama seorang diplomat

hanyalah mereduksi potensi konflik dan menjaga keharmonisan hubungan antar

negara, sehingga terciptalah perdamaian dunia (Barston, 1988:1).

Dalam diplomasi modern, menurut Barston (1988:2) setidaknya ada

enam tugas pokok seorang diplomat yang wajib diketahui dan dijalan kan, Yaitu:

(1) Merepresentasikan Negara, (2) Memberikan Informasi terkait negara dimana

dia ditugaskan/listening post, (3) Memberikan masukan kepada Pemerintah

terkait kebijakan Luar Negeri yang akan dijalankan, (4) Mereduksi potensi konflik

yang muncul dari kerjasama bilateral ataupun multilateral, (5) Menjalankan

kebijakan Politik Luar Negeri, dan (6) Menyesuaikan diri dalam dinamika politik

luar negeri yang dinamis.

Penggunaan teori Modern Diplomasi dalam penelitian ini bertujuan

untuk menjawab dan memberikan jalan keluar atas permasalahan ketimpangan

yang peneliti rasakan dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Mesir.

Sekaligus menguji teori ini, apakah teori diplomasi modern mampu menjawab

tantangan permasalahan diplomasi saat ini atau tidak. Harapan selanjutnya, jika

teori ini memang benar-benar mampu menjawab tantangan, maka peneliti

berharap dapat merekomendasikannya, sebaliknya jika tidak, maka apa yang harus

kita lakukan untuk menyelesaikan persoalan di atas.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

27  

Masih dalam buku Modern Diplomacy, Barston (1988:158) menjelaskan

bahwa jalur ekonomi dan perdagangan sesungguhnya bisa digunakan sebagai

instrumen untuk mempererat hubungan antar negara, selain penggunaan isu

keamanan dan jalur politik tentunya (1988:184).

1.5.3 Multitrack Diplomacy (Dr. Louise Diamond & Ambassador John McDonald)

Multi-Track Diplomasi adalah sistem yang bertujuan menciptakan

perdamaian dalam hubungan Internasional. Sistem ini dikenal dengan multi-track

disebabkan adanya beberapa unsur yang saling terkait antara satu dengan lainnya,

unsur tersebut bisa meliputi (individu, kelompok, institusi ataupun komunitas).

Untuk selanjutnya beberapa unsur ini saling bekerjasama dan saling menopang

demi sebuah tujuan bersama, yaitu terciptanya kehidupan dunia yang harmonis.

Singkatnya, konsep yang ditawarkan di dalam Multi Track Diplomacy

adalah: dalam diplomasi diperlukan kesatuan antara aktor-aktor elit negara dengan

aktor-aktor non-negara. Aktor-aktor negara adalah para diplomat yang dikirim

khusus oleh pemerintahan sebuah negara, sedangkan aktor-aktor non-negara

adalah semua elemen masyarakat sebuah negara yang memiliki kemampuan untuk

melakukan interaksi dan komunikasi dengan pihak pemerintah negara lain

ataupun pihak non pemerintah (Diamond & McDonald, 1996:1). Proses interaksi

inilah yang kemudian memberikan kontribusi positif terhadap hubungan kedua

negara, baik dirasakan secara langsung ataupun tidak.

Penggunaan konsep multitrack diplomacy dalam penelitian ini berdasarkan

keyakinan peneliti bahwasannya dalam proses diplomasi keberadaan aktor resmi

negara haruslah mampu memanfaatkan potensi dan kemampuan aktor-aktor lain.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

28  

Penggunaan konsep ini juga bertujuan untuk melihat kerjasama Internasional antar

negara, yang dalam hal ini Indonesia-Mesir sebagai aspek yang kompleks dengan

aneka ragam aktor.

1.6 Hipotesis

Jika melihat latar belakang masalah, rumusan masalah dan tujuan

penelitian, untuk kemudian dianalisis dengan memanfaatkan teori resiprositas,

maka hipotesis peneliti dalam disertasi ini adalah sebagai berikut.

1. Hubungan Indonesia-Mesir tidak berlangsung resiprokal karena

Indonesia lebih memandang penting Mesir, sedangkan Mesir belum

memberikan perhatian yang serupa.

2. Indonesia memandang penting Mesir karena Mesir memiliki posisi

tawar yang lebih tinggi daripada Indonesia. Sementara itu, Mesir

memandang sebelah mata Indonesia, karena Mesir tidak memiliki

kepentingan yang berarti di Indonesia.

3. Untuk memajukan hubungan bilateral dan meningkatkan kerja sama

yang resiprokal, Indonesia perlu menunjukkan kelasnya sebagai

negara yang patut diperhitungkan oleh Mesir.

1.7 Metodologi Penelitian

Metodologi adalah ilmu tentang metode, sedangkan metode merupakan

cara kerja dalam melakukan kegiatan penelitian. Karena itu, agar kegiatan

penelitian dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan sedikit pun, diperlukan

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

29  

ilmu yang berkaitan dengan metode dan juga diperlukan metodenya. Untuk tu, di

bawah ini dikemukakan prinsip-prinsip dasar yang berkaitan dengan metodologi

dan metode, yaitu yang dapat dijelaskan di bawah ini, yaitu sebagai berikut.

1.7.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah deskriptif analitik,

yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang realitas pada

objek yang diteliti secara objektif dan komprehensif. Data-data yang diperoleh

diklasifikasikan sesuai dengan bidangnya masing-masing dan dianalisis serta

disajikan dengan menguraikan bagian-bagian masalah secara logis dan

komprehensif. Objek penelitiannya pun diuraikan secara terperini, sistematis, dan

runtut sesuai dengan identifikasi masalah yang telah ditentukan di awal

penelitian.

1.7.2 Jangkauan Penelitian

Penelitian ini berfokus pada hubungan dua negara, yaitu Indonesia dan

Mesir, mencakup segala bidang, yaitu bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya,

dan lain sebagainya. Sementara itu, untuk rentang waktu, peneliti membatasi

fokus penelitian dimulai pada tahun 1950 hingga 2010. Alasan logis dipilihnya

tahun 1950 sebagai titik awal penelitian karena pada tahun tersebut pemerintah

Indonesia berhasil membuka perwakilan di Kairo, yang pada tahun berikutnya,

1951 diikuti oleh Mesir dengan membuka perwakilan di Jakarta. Alasan logis

terkait pembatasan fokus penelitian sampai tahun 2010, karena pada tahun

tersebut, Mesir mulai memasuki sejarah dan kondisi pemerintahan yang baru,

yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Presiden Hosni Mubarak.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

30  

1.7.3 Jenis dan Sumber Data

Jika dilihat dari aspek data yang digunakan, penelitian ini termasuk

kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, yang

terkaitan dengan perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan aspek lain secara

holistik. Yang dideskripsikan dalam bentuk kata-kata, pada suatu konteks khusus

yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleog, 2012:6).

Menurut William D. Coplin, sumber data yang memungkinkan untuk

dimiliki para sarjana politik internasional adalah (1) dokumen-dokumen tertulis

yang dihasilkan dari tindakan pemerintah atau tindakan aktor-aktor lain yang

berkaitan dengan peristiwa tertentu; (2) pernyataan-pernyataan politik publik atau

perorangan dan tulisan-tulisan mereka yang berkaitan dengan perumusan

kebijakan luar negeri; (3) publikasi dari lembaga-lembaga yang bertugas mencatat

aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan masalah luar negeri; (4) pendapat atau

komentar para ahli yang pengetahuan dan pemahamannya terhadap peristiwa atau

proses tertentu dianggap sudah diakui (Coplin, 2003:19).

Karena itu, data yang diperoleh selama penelitian berasal dari dua sumber

utama, yaitu:

a. Sumber Primer

Sumber primer berupa data asli yang diperoleh langsung dari tangan

pertama yaitu naskah perjanjian dan data yang didapatkan melalui observasi

(pengamatan), pertemuan langsung saat berdiplomasi dan wawancara dengan

tokoh-tokoh pelaku/saksi yang mengalami atau memiliki informasi.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

31  

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder berupa data yang mengutip dari sumber lain, seperti

laporan tahunan KBRI Kairo, naskah pidato, jurnal, koran, majalah, karya ilmiah,

makalah, buku dan tulisan-tulisan lain yang relevan dengan topik bahasan.

1.7.4 Pengumpulan Data

Ada beberapa cara yang dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data

yang akan disajikan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Observasi dan Pengamatan Langsung.

Profesi peneliti sebagai diplomat, yang dipercaya menjadi Kepala

Perwakilan RI (Duta Besar LB/BP) di Mesir, masa tugas 2007-2011

mempermudah peneliti untuk melakukan pengamatan yang mendalam terhadap

dinamika hubungan Indonesia-Mesir. Pengamatan dilakukan di berbagai

kesempatan, baik ketika berinteraksi dengan pejabat RI ataupun saat berhadapan

dengan masyarakat Indonesia yang berdomisili di Mesir. Pengamatan juga

dilakukan saat berinteraksi dengan pejabat dan masyarakat Mesir sendiri tentunya.

b. Studi Kepustakaan

Informasi yang bersumber dari pustaka, peneliti peroleh dari laporan

tahunan KBRI Kairo, naskah perjanjian, naskah pidato, jurnal, koran, majalah,

karya ilmiah, makalah, buku dan tulisan-tulisan lain yang relevan dengan topik

bahasan.

c. Wawancara

Untuk memperkaya data penelitian, peneliti melakukan wawancara kepada

beberapa tokoh. Wawancara ini diharapkan dapat melengkapi data yang ada, di

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

32  

samping observasi dan studi pustaka. Wawancara ini juga dimaksudkan untuk

menggali informasi lebih dalam, jujur dan obyektif untuk keperluan informasi.

Para tokoh yang dipilih adalah mereka yang dianggap dapat memberikan

informasi terkait dengan hubungan Indonesia-Mesir. Tokoh-tokoh yang berhasil

dimintai pendapatnya antara lain beberapa mantan Menteri Luar Negeri RI yang

masih hidup yaitu Dr. N. Hassan Wirajuda dan Prof. Dr. Alwi Shihab, dan

beberapa mantan Kepala Perwakilan RI di Mesir yang masih hidup, seperti Dr.

Boer Mauna, Dr. N. Hassan Wirajuda, Prof. Dr. Quraish Shihab dan Prof. Dr.

Bachtiar Aly serta beberapa tokoh yang pernah tinggal di Mesir dan dipandang

mengetahui hubungan Indonesia-Mesir, seperti KH. Musthofa Bisri dan Prof. Dr.

Nabilah Lubis, ditambah lagi beberapa warga Mesir yang tinggal dan mengambil

kuliah di Indonesia, seperti Dr. Mahmud Hamzawi.

1.7.5 Pengolahan dan Analisis Data

Semua data yang terkumpul dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk

deskripsi kata-kata yang dilengkapi dengan analisis yang tajam. Dalam proses

analisis data ini melalui beberapa tahap, yaitu meliputi: (1) klarifikasi dan

kategorisasi data, (2) penyajian data, (3) interpretasi secara kualitatif untuk

memperoleh temuan penelitian yang bermakna luas terkait ketimpangan hubungan

Indonesia-Mesir. Analisis data dilakukan dengan menggunakan tipe analisis

deskriptif, normatif dan preskriptif. William D. Coplin menjelaskan tipe analisis

tersebut sebagai berikut (Coplin, 2003:3-4).

Analisis deskriptif, yaitu analisis yang bertujuan untuk mendeskripsikan

apa yang ada atau apa yang sudah ada. Analisis ini menyajikan suatu fotokopi dari

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

33  

peristiwa tertentu atau menjelaskan apa yang telah terjadi. Analisis normatif yaitu

analisis yang bertujuan untuk membuat penilaian (eksplisit atau implisit) terhadap

apa yang dianggap eksis atau yang eksis berdasarkan nilai-nilai yang dimiliki.

Sementara itu, analisis preskriptif yaitu analisis yang bertujuan untuk

memunculkan saran atau anjuran tentang langkah atau tindakan apa yang harus

diambil dalam merealisasi nilai-nilai.

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian untuk disertasi ini disajikan dalam 5(lima) bab. Bab I

Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, hipotesis, metodologi

penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II membahas potensi Indonesia dan

Mesir dalam kerjasama dua negara. Pembahasannya meliputi Letak Geografis

Indonesia dan Mesir, Potensi Ekonomi Indonesia dan Mesir, Situasi Pertahanan

dan Keamanan di Dua Negara, dan Sumber Daya Penduduk di Dua Negara.

Sementara itu, pada bab III membahas Resiprositas Hubungan Diplomatik

Indonesia-Mesir. Pembahasannya meliputi Latar Belakang Hubungan Indonesia-

Mesir, Interaksi Politik Indonesia-Mesir, Formasi Perwakilan Diplomatik dan

Intensitas Kunjungan Kedua Negara, dan Hubungan Ekonomi dan Perdagangan.

Bab IV membahas beberapa faktor penyebab ketimpangan hubungan Indonesia-

Mesir. Pembagasannya meliputi Identitas dan Citra Mesir, Sejarah Hubungan

Masyarakat Dua Negara, dan Prioritas Politik Luar Negeri Indonesia dan Mesir.

Bab V membahas usaha membuat hubungan Indonesia-Mesir berjalan resiprokal.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,

34  

Pembahasannya meliputi Meninjau Kebijakan dan Strategi Hubungan dan

Kerjasama Dua Negara dan Meningkatkan Kualitas Diplomasi. Adapun bab VI

merupakan kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan.