34
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Alasan Pemilihan Judul Dalam sebuah penelitian, judul merupakan bagian yang penting dalam menentukan arah penelitian kita. Penulisan judul sendiri harus disesuaikan dengan pokok dari isi penelitian yang akan kita lakukan. Judul dapat membantu pembaca untuk lebih cepat mengetahui fokus dari penelitian yang akan dibaca. Judul dalam sebuah karya penulisan berfungsi sebagai alat untuk menunjukkan kepada pembaca tentang hakekat dari objek dan fokus dari penelitian, wilayah, serta metode yang dipergunakan. Judul dalam penelitian ini sendiri yaitu : “Program Keluarga Harapan dalam Konteks Penanggulangan Kemiskinan” Pemilihan judul tersebut tentu dilandasi oleh beberapa alasan yang menurut peneliti sangat rasional. Alasan tersebut merujuk pada aspek aktualitas, orisinalitas, serta relevansi dengan ilmu yang peneliti geluti yakni Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Hal ini disebabkan ketiga aspek tersebut adalah bagian yang harus dipertimbangkan guna memastikan urgensi dari sebuah penelitian. Berikut ini akan dijelaskan rasionalisasi alasan pemilihan judul berdasarkan ketiga aspek tersebut, yakni : 1.1 Aktualitas Isu kebijakan sosial adalah isu yang sentral dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Melalui kebijakan sosial, maka pemerintah mengimplementasikan

BAB I PENDAHULUAN 1. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/96200/potongan/S1-2016... · PKH (Program Keluarga Harapan), yang menjadi fokus kebijakan dalam

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Alasan Pemilihan Judul

Dalam sebuah penelitian, judul merupakan bagian yang penting dalam

menentukan arah penelitian kita. Penulisan judul sendiri harus disesuaikan dengan

pokok dari isi penelitian yang akan kita lakukan. Judul dapat membantu pembaca

untuk lebih cepat mengetahui fokus dari penelitian yang akan dibaca. Judul dalam

sebuah karya penulisan berfungsi sebagai alat untuk menunjukkan kepada

pembaca tentang hakekat dari objek dan fokus dari penelitian, wilayah, serta

metode yang dipergunakan. Judul dalam penelitian ini sendiri yaitu :

“Program Keluarga Harapan dalam Konteks Penanggulangan

Kemiskinan”

Pemilihan judul tersebut tentu dilandasi oleh beberapa alasan yang

menurut peneliti sangat rasional. Alasan tersebut merujuk pada aspek aktualitas,

orisinalitas, serta relevansi dengan ilmu yang peneliti geluti yakni Pembangunan

Sosial dan Kesejahteraan. Hal ini disebabkan ketiga aspek tersebut adalah bagian

yang harus dipertimbangkan guna memastikan urgensi dari sebuah penelitian.

Berikut ini akan dijelaskan rasionalisasi alasan pemilihan judul berdasarkan ketiga

aspek tersebut, yakni :

1.1 Aktualitas

Isu kebijakan sosial adalah isu yang sentral dalam upaya penanggulangan

kemiskinan. Melalui kebijakan sosial, maka pemerintah mengimplementasikan

2

segala program yang terkait dengan penanganan masalah sosial. Kemiskinan

adalah salah satu masalah sosial yang kini masih menjadi fokus penanganan oleh

pemerintah. Sejauh ini begitu banyak program kebijakan penanggulangan

kemiskinan yang diterapkan oleh pemerintah, baik itu BLT (Bantuan Langsung

Tunai), BLSM (Bantuan Langsung Sementara Msyarakat), PNPM (Program

Nasional Pemberdayaan Masyarakat), BSM (Bantuan Siswa Miskin), maupun

PKH (Program Keluarga Harapan), yang menjadi fokus kebijakan dalam

penelitian ini.

Pada era Presiden Jokowi sendiri terdapat beberapa program kebijakan

sosial yang diimplementasikan yakni seperti, Kartu Indonesia Pintar, Kartu

Indonesia sehat, Kartu Indonesia Sejahtera, dsb. Keseluruhan program tersebut

bertujuan untuk membantu masyarakat miskin, dengan harapan mereka dapat

lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup. PKH sendiri merupakan

kebijakan yang telah diterapkan sejak tahun 2008, dan sedang diperpanjang pada

Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Adapun meski berbagai kebijakan sosial

telah diterapkan, pada faktanya angka kemiskinan di Indonesia masih cukup

tinggi. PKH yang telah diselenggarakan selama tujuh tahun ternyata masih perlu

diperdebatkan efektifitas program tersebut dalam mengentaskan kemiskinan,

karena di wilayah Desa Nglegi yang menjadi objek penelitian ini masih cukup

banyak peserta PKH yang berada dalam level rumah tangga sangat miskin

(RTSM). Maka melalui penelitian ini, akan dikaji lebih jauh fenomena dibalik

belum efektifnya kebijakan ini dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi para

peserta.

3

1.2 Orisinalitas

Suatu penelitian hakekatnya harus merujuk pada nilai keaslian suatu karya.

Penilitian dalam konteks akademik adalah sebuah naskah intelektual yang harus

dipastikan keasliannya. Segala bentuk plagiasi adalah suatu tindakan yang sama

sekali tidak bisa ditolerir, karena sejatinya naskah akademik akan menjadi rujukan

dalam menciptakan kebijakan dan aturan yang akan diberlakukan di masa depan.

Sejauh ini begitu banyak penelitian yang meniliti mengenai PKH. Beberapa

contoh yakni penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Rokhoul Alamin yang

berjudul “Analisis Peran Pendamping dalam PKH pada Suku Dinas Sosial Jakarta

Utara”, kemudian penelitian mengenai “Implementasi Kebijakan PKH dalam

memutus rantai kemiskinan di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto” yang

dilakukan oleh Slamet Agus Purwanto.

Diantara beberapa penelitian tersebut, penelitian ini memiliki fokus objek

dan lokasi yang berbeda. Peneliti memastikan bahwa penelitian ini belum pernah

dilakukan pada penelitian sebelumnya. Penelitian ini berfokus pada fenomena

dibalik penyebab kegagalan PKH dalam mencapai tujuannya untuk

penanggulangan kemiskinan, dengan berkaca pada realitas implementasi PKH

yang terjadi di Desa Nglegi, yang mana para peserta PKH saat ini telah menerima

bantuan tersebut sejak tahun 2008, namun keadaan mereka relatif tetap sama.

Tidak mengalammi perubahan dalam hal kesejahteraan ekonomi. Penelitian ini

sendiri mengambil sampel di Desa Nglegi, yang penulis pastikan belum ada

penelitian PKH dengan mengambil objek serupa di wilayah tersebut.

4

1.3 Relevansi dengan Ilmu PSDK

Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan adalah salah satu bagian dari

ilmu sosial yang banyak memberikan kontribusi dalam upaya mengatasi berbagai

persoalan sosial di Indonesia. Disiplin Ilmu ini mempelajari berbagai aspek yang

akan medorong terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dengan

berlandaskan pada nilai keadilan dan kesetaraan. Dalam rangka mempelajari

aspek tersebut maka jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan membagi

fokus studinya ke dalam 3 fokus, yaitu : Corporate Social Responsbility (CSR)

atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Community Development atau

Pemberdayaan Masyarakat, serta Social Policy atau Kebijakan Sosial.

Pada penelitian ini, judul yang diambil peneliti yakni terkait dengan

Program Keluarga Harapan (PKH) dalam konteks penannggulangan kemiskinan.

PKH sendiri merupakan salah satu bentuk kebijakan sosial yang

diimplementasikan untuk mengatasi persoalan sosial. Adapun kebijakan

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fokus studi yang dikembangkan oleh

jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Oleh karena itu penelitian ini

memiliki kaitan erat terhadap pengembangan ilmu Pembangunan Sosial dan

kesejahteraan dalam bidang studi kebijakan. Hasil dari penelitian ini nantinya

dapat menjadi rujukan dalam mengembangkan studi kebijakan yang tentunya

memberikan manfaat bagi civitas akademika dan masyarakat.

2. Latar Belakang

Kemiskinan di Indonesia merupakan persoalan klasik yang hingga kini

belum mampu diuraikan secara tuntas, meskipun telah terjadi sejak puluhan tahun

silam, bahkan semenjak masa awal didirikan bangsa ini. Pada era Orde Lama

5

tingkat kemiskinan pernah mencapai sekitar 70% dari total populasi di Indonesia.

Hal ini terjadi lantaran adanya instabilitas ekonomi nasional yang dipicu oleh

inflasi hingga mencapai presentase lebih dari 650%. Di masa Orde Baru

penanggulangan kemiskinan masih menjadi prioritas masalah utama yang

ditangani oleh pemerintah melalui berbagai upaya program yang digawangi

beberapa departemen maupun kementerian terkait. Walhasil pada dekade 80-an,

presentase kemiskinan berhasil ditekan hingga sekitar 11,3 % (Booth,2000). Hal

ini disebabkan stabilitas ekonomi yang sudah mulai membaik. Pemerintah secara

terang-terangan membuka investasi asing, serta pemberian proteksi bagi usaha

ekonomi dalam negeri yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Pencapaian gemilang ini begitu mencuri perhatian dunia kala itu, Hal ini

tertuang dalam laporan World Bank (1993) yang bertajuk: “The East Asian

Miracle” yang menempatkan Indonesia menjadi salah satu macan asia dalam

daftar “The High Performing Asian Economics (HPAEs)” sejajar dengan Korea

Selatan, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Selama tiga dekade rezim

Soeharto, perekonomian rata-rata tumbuh sebesar 7%, Pencapaian ini memacu

perekonomian nasional menjadi lebih bergairah kala itu. Ekspansi industrialisasi

terjadi hingga pelosok daerah dan menyerap jutaan tenaga kerja baik yang terdidik

maupun tidak (Purwanto, 2007 ; 296). Hal yang perlu digarisbawahi yakni prestasi

tersebut ternyata tidak berbuah manis bagi kemajuan bangsa Indonesia pasca

runtuhnya Orde Baru, meskipun fondasi ekonomi Indonesia begitu kokoh saat itu,

namun seakan-akan tidak berarti apa-apa ketika krisis ekonomi dunia menerpa

hingga meluluhlantahkan ekonomi dengan seketika. Krisis ini menghantam pada

pertengahan tahun 1990-an yang menular ke berbagai daerah hingga

6

mengakibatkan angka kemiskinan kembali melonjak tajam mencapai 23,4% di

tahun 1999 (BPS,2002). Inilah warisan pekerjaan rumah yang hingga kini masih

mencoba diselesaikan di era Reformasi.

Mengentaskan kemiskinan mutlak dilakukan oleh pemerintah, sesuai

dengan amanah dari konstitusi yang tercantum dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar tahun 1945, bahwa negara mempunyai tanggung jawab penuh

untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pada isi UUD 1945 juga kembali ditekankan dalam pasal 34 ayat 1, yang mana

fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Landasan hukum

tersebut mempertegas peran negara untuk bertanggung jawab dalam memenuhi

kebutuhan dasar yang layak khususnya bagi para warga yang memiliki

keterbatasan dalam ekonomi. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap

pemerintah yang berkuasa untuk memberlakukan kebijakan berupa bantuan baik

secara langsung maupun tidak langsung kepada warga miskin dengan harapan

dapat mengurangi beban serta meningkatkan kesejahteraan mereka. Kemiskinan

adalah kekurangan yang nyata dalam hal kesejahteraan (Bank Dunia, 2000).

Adapun dengan tingginya angka kemiskinan di Indonesia yang diwariskan oleh

orde baru tentu menjadikan pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintahan di era

reformasi. Perlu suatu desain program pengentasan kemiskinan yang terkawal

dengan baik dan berkesinambungan, agar dapat membenahi masalah kemiskinan

secara menyeluruh dan kompatibel. Tentu program yang digalakan harus

mengandung unsur-unsur pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas

nasional, yang mana ini menjadi strategi dasar dalam menuju kesejahteraan.

7

Pasca Orde Baru berbagai kebijakan diluncurkan guna menguraikan

kemiskinan yang sudah terlanjur kembali menjamur. Pada era transisi dari orde

baru ke reformasi (1998-2004) dilaksanakan program penanggulangan kemiskinan

berbasis masyarakat di berbagai sektor, antara lain Jaring Pengaman Sosial,

Program Penanggulangan Kemiskinan dan Perkotaan, Program Pembangunan

Prasarana Pendukung Desa Tertinggal, Program Pengembangan Kecamatan (Era

BJ Habibie), Jaring Pengaman Sosial, Kredit Ketahanan Pangan, Program

Penanggulangan Kemiskinan dan Perkotaan (Era Gusdur), Pembentukan Komite

Penanggulangan Kemiskinan, dan Program Penanggulangan Kemiskinan di

Perkotaan (Era Megawati) (Royat ,2010 ; 46). Alhasil serangkaian program

tersebut cukup efektif dalam menurunkan angka kemiskinan hingga 16,66% dan

meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) mencapai 68,7% (BPS,2004).

Selama kurun waktu tahun 1999-2004, berbagai program tersebut masih

berjalan secara parsial, sehingga distribusi bantuan tidak terdistribusi secara tepat

sasaran dan belum efektif dalam mendorong kesejahteraan masyarakat secara

optimal. Oleh sebab itu pada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono dibentuklah TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan

Kemiskinan) yang bertujuan untuk melakukan sinergi melalui sinkronisasi,

harmonisasi dan integrasi program-program penanggulangan kemiskinan yang

telah berjalan selama pemerintahan sebelumnya (TNP2K, 2014). Adanya tim ini

diharapkan dapat menciptakan kebijakan sosial yang berkesinambungan hingga

dirasakan lebih bermanfaat oleh masyarakat miskin dan memberikan

perkembangan positif dalam mengatasi kemiskinan.

8

Kebijakan sosial merupakan sebuah organ penting bagi suatu negara dalam

mengurangi angka kemiskinan. Melalui implementasi kebijakan sosial, maka

masyarakat dapat lebih berdaya terutama dalam mengakses berbagai kebutuhan

dasar. Menurut TH. Marshall yang dikutip Richard Titmus, kebijakan sosial

adalah kebijakan pemerintah yang menyangkut berbagai upaya yang langsung

berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat, dengan menyelenggarakan

pelayanan sosial dan melakukan pekerjaan sosial (Titmuss, 1974). Oleh karena itu

suatu kebijakan sosial semestinya merupakan rangkaian program yang terintegrasi

sebagai upaya yang lebih bersinergi guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

TNP2K sebagai tim yang bertugas mempercepat penanggulangan

kemiskinan memiliki pekerjaan dalam menyelaraskan program yang sebelumnya

terfragmentasi di bawah beberapa kementerian menjadi terunifikasi, agar tujuan

pembangunan dan pengentasan kemiskinan bisa secara lebih cepat dan akurat.

Program tersebut antara lain Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),

Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Miskin (Raskin), Bantuan Siswa Miskin

(BSM), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan Kredit Usaha

Rakyat (KUR) (TNP2K,2014). Sejumlah program tersebut merupakan

serangkaian program yang dilaksanakan secara tersruktur melalui hubungan yang

saling bersinergi. Pada penelitian ini penulis tidak akan mengupas lebih detail

semua program tersebut, melainkan hanya terfokus pada salah satu program yaitu

Program Keluarga Harapan (PKH).

PKH merupakan kebijakan conditional cash transfer (CCT) pertama di

Indonesia yang diberikan pemerintah kepada rumah tangga yang tergolong sangat

miskin (RTSM) dengan kategori dan syarat tertentu. Sasaran dari program ini

9

yaitu RTSM yang masih memiliki anak sedang menempuh pendidikan dasar,

balita (bayi di bawah lima tahun), serta ibu hamil. Insentif yang diberikan sendiri

yaitu pada aspek pendidikan dan kesehatan dengan total bantuan bisa mencapai

Rp. 2.800.000,00/keluarga dalam kurun waktu satu tahun. Pemberian bantuan

PKH tersebut mewajibkan RTSM untuk mengikuti persyaratan yang ditetapkan

program yaitu; menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan dan menghadiri

kelas minimal 85% dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung, dan

melakukan kunjungan rutin ke fasilitas kesehatan bagi anak usia 0-6 tahun, ibu

hamil dan ibu yang dalam masa nifas.

Demi menjaga ketepatan penggunaan alokasi dana, maka bantuan harus

diterima langsung oleh ibu atau wanita dewasa yang notabene berurusan langsung

dengan kebutuhan rumah tangga dan mengurus anak. Hal ini karena pada

umumnya ibu bertanggungjawab atas kesehatan, nutrisi, dan pendidikan anak.

Penggunaan dana sendiri dipantau langsung oleh pendamping PKH yang bertugas

di setiap kecamatan, sehingga potensi terjadinya penyelewengan dana sangat

minim dapat terjadi. Program ini mulai digulirkan pada tahun 2007 dengan tujuh

provinsi sebagai wilayah uji coba yang menjangkau sekitar 388.000 Rumah

Tangga. Kemudian pada tahun 2008 cakupan peserta bertambah hingga mencapai

636.414 rumah tangga yang terdapat pada 13 provinsi, meliputi 72 kabupaten dan

631 kecamatan. Hingga tahun 2012 jumlah penerima tidak terlalu meningkat

cukup signifikan yakni hanya sekitar 1.500.000 rumah tangga. Jumlah ini masih

sedikit dibanding dengan jumlah secara keseluruhan RTSM pada saat itu yang

mencapai sekitar 6.500.000 rumah tangga (UPPKH Kemensos, 2014).

10

Berdasarkan aturan yang terdapat pada pelaksaanaan program PKH, setiap

peserta PKH akan diwajibkan mengikuti agenda resertifikasi yang dilaksanakan

pada tahun ke lima sejak mereka menerima program. Resertifikasi yakni suatu

peninjauan kembali yang dilakukan oleh pihak terkait terhadap kondisi peserta

penerima PKH, guna menentukan apakah peserta tersebut kembali menjadi

peserta PKH (Transisi) ataukah mereka dianggap sudah tidak layak menjadi

peserta (Graduasi). Oleh karena itu pada tahun 2013 silam, Kemensos, TNP2K,

dan Bappenas, bekerja sama dalam melakukan kegiatan resertifikasi. Alhasil

temuan yang diperoleh yakni bagi peserta PKH tahun 2007 yang dinyatakan

tergraduasi atau dinyatakan tidak lagi mendapatkan hak sebagai peserta yaitu

sebanyak 98.207 peserta, sedangkan peserta PKH tahun 2008 tergraduasi

sebanyak 54.629 peserta (Widianto, 2014). Mereka yang tergraduasi adalah

mereka yang berdasarkan penilaian tertentu ataupun telah mengalami peningkatan

kesejahteraan atau sudah tidak memenuhi syarat sebagai peserta PKH, sehingga

dianggap tidak layak untuk kembali memperoleh hak sebagai peserta PKH.

Penurunan jumlah peserta tersebut sebenarnya belum terlalu berdampak terhadap

turunnya kemiskinan di Indonesia.

Selain Indonesia, Negara yang melakukan kebijakan serupa dengan

keluarga sebagai sasaran penerima bantuan yaitu Brazil, dengan nama Bolsa

Familia. Konten dari program ini hampir sama dengan PKH, hanya terdapat

tambahan program berupa peningkatan nutrisi, dan pemberian uang bagi keluarga

yang pendapatannya di bawah upah minimum. Ketika pertama kali diterapkan

pada tahun 2003, Bolsa Familia menjangkau 3,6 juta keluarga dengan anggaran

sebesar US$ 3,4 miliyar. Selang tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 2006,

11

program ini mengalami penambahan anggaran US$ 8,5 milyar dengan

menjangkau jumlah penerima sebesar 11,2 juta keluarga. Angka tersebut hampir

menjangkau 100 persen jumlah penduduk miskin di Brazil pada masa itu (Pero V,

Szerman D, 2010; 81-83). Jika dilihat dari pelaksanaan program di kedua Negara

tersebut terdapat perbedaan tingkat progresivitas dalam menjangkau sasaran,

dimana Brazil berhasil hampir memberikan kepada 100 % warganya, sedangkan

Indonesia hingga 3 tahun pelaksanaan bahkan belum mampu menjangkau 50 %

jumlah RTSM.

Lalu jika diamati laju penurunan angka RTSM di kedua negara dalam

jangka waktu tiga tahun selama awal penerapan kedua program baik PKH maupun

bolsa familia terdapat perbedaan tingkat presentase. Survey yang dilakukan World

Bank berdasarkan indikator dengan rumah tangga sangat miskin yang memiliki

pendapatan di bawah US$ 1,25/hari mencatat bahwa pada tahun 2003 angka

rumah tangga miskin di Brazil sebesar 12,1%, lalu pada tahun 2006 mencapai 7%,

terdapat penurunan angka kemiskinan dengan presentase sekitar 42%. Di sisi lain

angka rumah tangga sangat miskin di Indonesia pada tahun 2008 yaitu sebanyak

23%, kemudian di tahun 2011 angka tersebut turun menjadi 16%, artinya tingkat

kemiskinan hanya dapat di tekan hingga 30% dan lebih rendah daripada Brazil.

Perbedaan pencapaian ini tentu harus ditelisik lebih jauh, apalagi kedua-duanya

sama-sama sedang dalam posisi segara negara berkembang.

Dalam konteks tersebut terlihat meskipun mengimplementasi dua program

dengan konten yang hampir sama tetapi laju penurunan angka rumah tangga

miskin di Indonesia tidak secepat Brazil begitupun dengan jangkauan sasaran

yang dicapai. Pada konteks penerapan PKH di Indonesia sesungguhnya sudah

12

sangat baik, yakni dengan memberikan bantuan pada dua elemen yang sangat vital

yaitu berupa pendidikan dan kesehatan. Kedua hal ini apabila disinkronisasikan

tentu mampu mendorong rumah tangga sangat miskin untuk lebih sejahtera.

Pendidikan adalah instrument bagi seseorang yang digunakan dalam

meningkatkan kualitas diri. Berbekal pendidikan yang mumpuni, maka seseorang

juga dapat meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga berimbas pada tercapainya

tingkat ekonomi dan kualitas hidup yang lebih baik. Begitupun kesehatan sangat

berhubungan dengan kondisi fisik, yang mana apabila seseorang memiliki kondisi

fisik yang prima baik jasmani maupun rohani tentu mereka dapat menjalankan

aktivitas produktif dengan sebaik-baiknya. Ketika seseorang memiliki kesehatan

yang baik, tentu ini juga akan memudahkan mereka dalam upaya peningkatan

kesejahteraan. Kedua aspek tersebut merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat

yang menurut Midgley menjadi salah satu element untuk mewujudkan

kesejahteraan.

Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten dengan tingkat

penduduk miskin yang cukup tinggi di Provinsi Yogyakarta. Bahkan berdasarkan

keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal 2005 nomor:

001/KEP/M-PDT/II/2005 tanggal 7 Februari 2005, Gunungkidul dikategorikan

sebagai salah satu kabupaten tertinggal di Indonesia dari jumlah keseluruhan

sebanyak 199 kabupaten (Bappeda Gunungkidul, 2013). Berdasarkan data yang

dihimpun BPS pada tahun 2012, tingkat kemiskinan Kabupaten Gunungkidul

adalah yang tertinggi kedua setelah Kabupaten Kulonprogo yakni dengan

presentase sebesar 22,72%, sementara Kulonprogo sendiri menempati peringkat

pertama dengan penduduk miskin sebesar 23,22%. Pada wilayah lainnya tingkat

13

kemiskinan relatif pada level sedang-rendah, seperti Kota Yogyakarta yang

mememiliki presentase sebesar 9,38%, Kabupaten Sleman dengan tingkat

kemiskinan pada kisaran 10,44%, selanjutnya yang terakhir yakni Kabupaten

Bantul dengan tingkat kemiskinan bertengger di angka 16,97% (BPS, 2012).

Merujuk pada data tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi kemiskinan

di Gunungkidul cukup memprihatinkan apabila dibandingkan dengan regional lain

dalam provinsi DIY. Selama ini kebijakan sosial dalam upaya pengentasan

kemiskinan di Gunungkidul memang telah dilakukan secara masif oleh

pemerintah, Sayangnya upaya tersebut belum memperoleh hasil yang memuaskan.

Sampai saat ini jumlah penerima bantuan program sosial di Gunungkidul masih

cukup banyak diantara wilayah kabupaten/kota di Provinsi DIY.

PKH adalah salah satu dari sekian program yang dijadikan ujung tombak

pemerintah daerah dalam mengentaskan kemiskinan di wilayah ini. Sejak

digulirkan program ini pada tahun 2008 silam, jumlah penerima di Kabupaten

Gunungkidul yaitu sebanyak 9.233 KK dari keseluruhan jumlah RTSM sebesar

9.470 KK. Angka tersebut adalah jumlah RTSM yang terverifikasi dengan kata

lain telah memenuhi syarat mutlak sebagai penerima PKH. Program bantuan ini

terdistribusikan secara merata dengan mencakup seluruh 18 kecamatan di

Kabupaten Gunungkidul. Dari 9.233 RTSM penerima PKH, terbanyak di

Kecamatan Saptosari sebanyak 946 KK, Semin 899 KK, Gedangsari 792 KK,

Semanu 758 KK, Tanjungsari 604 KK, Rongkop 592 KK, Tepus 560 KK dan

Kecamatan Girisubo 547 KK, sementara pada kecamatan lainnya jumlah

penerima PKH hanya dibawah 400 KK. Pada tahun 2015 terjadi penurunan

jumlah peserta PKH yakni menjadi sebesar 6.542 KK di Kabupaten Gunungkidul.

14

Dari total penerima PKH di DIY kala itu sebanyak 28.319 KK (Dikutip dari

Gunungkidulkab.go.id, 10 November 2015). Ini merupakan hasil dari pelaksanaan

sertifikasi pada tahun 2013 silam. Angka ini tergolong masih cukup besar

dibanding dengan kabupaten lainnya, seperti Kulonprogo yang berjumlah 2.417

KK, Kota Yogyakarta 3.233 KK, dan Sleman 3.034 KK. Angka ini hanya lebih

rendah dari Kabupaten Bantul yang memiliki peserta sebanyak 13.093 KK

(UPPKH DIY, 2015).

Kemudian berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS, pada tahun 2014

angka kemiskinan di Gunungkidul hanya turun menjadi sebesar 21,7 % dari tahun

2012 yang memiliki presentase 22,72% (BPS, 2014). Adapun dengan jumlah

peserta PKH yang masih tergolong tinggi, diiringi oleh tren penurunan

kemiskinan yang tidak terlalu signifikan, mengindikasikan bahwa persoalan

kemiskinan masih begitu akut di daerah ini. Banyaknya program yang

diselenggarakan oleh pemerintah, termasuk PKH, ternyata tidak serta merta

mampu menurunkan angka kemiskinan dengan signifikan. Sebagaimana yang

telah dijelaskan sebelumnya bahwa cakupan program PKH yaitu pada pendidikan

dan kesehatan. Jika dikontekstualisasikan dengan keadaan sekarang, maka

sesungguhnya implementasi kebijakan itu sangat ideal diterapkan di Gunungkidul

yang notabene memiliki tingkat pendidikan maupun kesehatan yang masih begitu

memprihatinkan. Pertama yakni dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia

(IPM), IPM Kabupaten Gunungkidul adalah yang terendah diantara regional lain

di Provinsi DIY, yakni sebesar 71,11%. Kemudian pada tingkat angka melek

huruf pun juga menempati posisi terendah di DIY yaitu sebesar 84,97% ,

begitupun dengan tingkat rata-rata lama sekolah yang hanya 7,70 % (BPS,2012).

15

Lalu jika melongok pada bidang kesehatan, di tahun 2013 masih terdapat

catatan suram diaspek kesehatan yang perlu dibenahi, diantaranya yaitu masih

adanya kasus kematian ibu hamil yang mencapai sebanyak 8 kasus, kemudian di

tahun 2014 terdapat 7 kasus, sedangkan untuk tahun 2015 hingga bulan april 2015

sebanyak 2 kasus. Pada tahun 2013 juga masih terdapat 109 kasus kematian bayi

dan di tahun 2014 terdapat 28 kematian bayi (Dikutip dari Kabarhandayani.com,

27 April 2015). Catatan statistik tersebut mencerminkan bahwa pendidikan dan

kesehatan masih perlu dilakukan pembenahan terutama dalam hal pemberian

pelayanan, baik yang bersifat kuratif dan persusif kepada masyarakat.

Kebijakan PKH telah berjalan sejak tahun 2008 di Kabupaten

Gunungkidul, Bertahun-tahun kebijakan ini diselenggarakan seharusnya mampu

memberikan dampak positif di masyarakat terutama dalam hal pengentasan

kemiskinan, namun ternyata data diatas mencerminkan masih terdapat persoalan

pendidikan dan kesehatan yang perlu dibenahi. Di sisi lain kedua bidang tersebut

sangat menentukan dalam mewujudkan tercapainya target PKH untuk memutus

rantai kemiskinan.

Kemudian presentase kemiskinan juga masih tinggi, yang mana dalam

rentang waktu antara 2012-2014 angka presentase masih bergelut dalam kisaran

21%-22%, hanya turun 1 persen dalam kurun waktu dua tahun. Data ini

mengindikasikan bawasannya kebijakan pemerintah yang diterapkan selama ini

belum memberikan dampak yang signifikan untuk menurunkan angka

kemiskinan. Salah satu kebijakan tersebut termasuk PKH yang selama ini telah

diselengarakan sejak tahun 2008 di Kabupaten Gunungkidul. Hampir selama tujuh

tahun program ini terselenggara, belum memperlihatkan prestasi gemilang dalam

16

mencapai tujuan untuk pengentasan kemiskinan. Sebagai upaya mengungkapkan

penyebab dibalik fenomena ini maka peneliti mengambil sampel penelitian di

wilayah Desa Nglegi, Kecamatan Patuk.

Sebagian besar peserta PKH di desa ini telah menerima bantuan sejak

tahun 2008. Selama program ini berjalan hanya ada dua orang peserta yang

tergraduasi, itu pun bukan karena peningkatan kesejahteraan, melainkan anak

beliau sudah lulus dari bangku sekolah, sehingga sudah tidak memenuhi syarat

untuk menjadi peserta. Para peserta PKH yang ada sekarang ini pun mengakui

bahwa keadaan mereka sebenarnya sama saja dari sebelum menerima PKH,

ataupun setelah menerima. Peserta PKH di tahun 2016 ini mayoritas telah menjadi

peserta PKH sejak tahun 2008. Kondisi ekonomi mereka tetap dan tidak

mengalami perubahan, padahal pada aturan PKH tertera bahwa batas masyarakat

menjadi peserta PKH yaitu enam tahun, Setelah enam tahun para peserta harus

lebih mandiri untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.

Terdapat persoalan dimana kebijakan PKH yang telah berjalan di Desa

Nglegi selama tujuh tahun ini ternyata belum memberikan dampak yang

signifikan dalam menanggulangi kemiskinan para peserta, padahal sejatinya

tujuan PKH yakni untuk memutuskan rantai kemiskinan. Maka dalam penelitian

ini, peneliti akan berupaya untuk mengupas dibalik fenomena peran kebijakan

PKH dalam penanggulangan kemiskinan di Desa Nglegi, Kecamatan Patuk,

Kabupaten Gunungkidul.

17

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diangkat, maka rumusan

masalah yang akan di angkat pada penelitian ini yaitu :

Mengapa PKH tidak mampu menanggulangi kemiskinan yang dialami oleh

peserta PKH di Desa Nglegi, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul?

4. Tujuan Penelitian

4.1 Tujuan Operasional

1. Penelitian ini adalah karya yang ditujukan untuk memenuhi tugas skripsi, yang

mana dapat menjadi sebuah referensi bagi pengembangan wawasan kebijakan

pada jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.

2. Sebagai referensi bagi pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul dalam

mengetahui perkembangan kebijakan PKH terutama dalam konteks

penanggulangan kemiskinan.

3. Menjadi referensi bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam melakukan

evaluasi pelaksanaan PKH agar ke depan mampu lebih efektif dalam

mendorong kesejahteraan bagi para peserta.

4.2 Tujuan Substansial

Secara Substansial, penelitian ini bertujuan untuk memahami secara lebih

detail penyebab belum berhasilnya kebijakan pemerintah yang salah satunya yakni

kebijakan PKH dalam mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul.

Dengan mengambil sampel kebijakan PKH, maka hasil penelitian ini akan

mengungkapkan dibalik penyebab kegagalan tersebut dengan mengambil

persepektif dari sisi masyarakat dalam menggunakan bantuan yang diperoleh.

18

Tentunya diharapkan penelitian ini menjadi referensi bagi segenap pihak yang

terlibat dalam pelaksanan PKH untuk mengembangkan PKH agar lebih baik dan

mendekati tujuan yang di harapkan.

5. Tinjauan Pustaka

Dalam memaparkan tinjauan pustaka, peneliti akan mengungkapkan

beberapa konsep terlebih dahulu terkait kebijakan dan kemiskinan, kemudian

setelah itu baru dijelaskan analisis tentang teori yang akan peneliti gunakan dalam

menjelaskan temuan yang didapatkan peneliti dalam penelitian ini. Berikut ini

adalah konsep dan penjelasan teori tersebut.

5.1 Konsep Studi Kebijakan

Substansi penelitian ini dikerangkai oleh studi kebijakan sebagai fondasi

utama dalam mensistemisasi kebijakan PKH secara rinci dan utuh. Ini diperlukan,

mengingat PKH merupakan salah satu bentuk kebijakan yang dikategorikan dalam

kebijakan sosial yang menjadi bagian dalam kebijakan publik. “Kebijakan” atau

“policy” digunakan dalam menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang

pejabat, suatu kelompok, maupun suatu Lembaga Pemerintah) atau sejumlah aktor

dalam kegiatan tertentu. Kebijakan ditetapkan tidak dengan serampangan,

melainkan bersumber dari proses pembahasan antar pihak dengan memperhatikan

beberapa aspek yang berkaitan, demi menghasilkan keputusan yang tepat dan

berdampak baik bagi suatu kolompok. Hal ini sebagaimana pendapat dari Carl

Friedrich yang memandang bahwa sebuah kebijakan sebagai suatu arah tindakan

yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu

lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang terhadap

kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka

19

mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atas suatu maksud

tertentu.

Suatu kebijakan hakikatnya diputuskan dalam rangka mencapai suatu

tujuan tertentu, maka dari pada itu sebuah kebijakan publik diberlakukan

pemerintah demi tujuan dan kepentingan bagi kebaikan masyarakat. Perlu

digarisbawahi bahwa tidak semua kebijakan dapat dikategorikan dalam kebijakan

publik, karena kebijakan publik hanya dapat ditetapkan oleh pemerintah dan demi

kepentingan masyarakat, sedangkan yang tidak dikeluarkan oleh pemerintah atau

organisasi non pemerintah maupun lembaga lainnya, tidak bisa disebut dengan

kebijakan publik. Kebijakan merupakan bagian dari sebuah instrument

pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur

negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya

publik. Dalam mewujudkan pelaksanaan kebijakan yang efektif, maka kebijakan

publik harus melalui beberapa tahap yang terdiri atas proses perumusan,

implementasi, dan evaluasi kebijakan (Leo Agustino, 2008 : 7). Ketiganya

menjadi syarat mutlak dalam proses pentahapan kebijakan publik yang harus

dilalui, agar kebijakan tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dan juga

diketahui tingkat efektivitas serta dampaknya secara menyeluruh.

PKH dalam hal ini merupakan salah satu kebijakan sosial. Hal ini

dikarenakan sifat kebijakan ini yang berasal dari pemerintah dan ditujukan bagi

masyarakat guna mengatasi persoalan kemiskinan. Ranah pengoperasian PKH

sendiri bersentuhan langsung pada suatu unit keluarga yang dikomandoi oleh

Kementerian Sosial. Menurut Tumanggor (2010), pembangunan harus

memperkuat fungsi keluarga sebagai lembaga masyarakat menjadi keluarga

20

berketahanan sosial, misalnya melalui program perlindungan sosial terhadap

kelompok rentan, dan penyandang masalah sosial, sebab keluarga merupakan

penyangga sentra kesejahteraan sosial. Menurut The Organization for Economic

Cooperation and Development (OECD), perlindungan sosial merujuk pada

“kebijakan dan tindakan yang memperkuat kapasitas kaum miskin dan warga

yang rentan agar terlepas dari kemiskinan dan dapat menyikapi resiko maupun

peristiwa yang terjadi tiba-tiba yang menghantam kehidupan mereka”.

Perlindungan sosial dimaksud meliputi bantuan sosial, jaminan sosial, dan standar

minimum upah pekerja. Bantuan tunai secara umum dipandang sebagai salah satu

instrument bagi bantuan sosial (OECD, 2009 ; 2). Dalam hal ini, PKH yang

memberikan bantuan tunai terhadap peserta merupakan salah satu program

bantuan sosial yang bertujuan untuk melakukan perlindungan sosial bagi para

peserta yang notabene sangat rentan menghadapi gejolak perekonomian.

Terdapat dua jenis bantuan tunai, yakni Bantuan Tunai Bersyarat atau

Conditional Cash Transfer (CCT) dan tak bersyarat. Perbedaannya adalah bahwa

bantuan tunai tak bersyarat merupakan bantuan bagi orang-orang/kelompok yang

berbasis pada kriteria penerima yang sebelumnya sudah ditentukan. Transfer

sosial semisal pensiun bagi warga yang sudah tua, hambatan fisik, anak-anak, dll,

merupakan bantuan tunai tanpa syarat yang lazim dijalankan oleh beberapa

negara. Menurut Rawlings dan Rubio (2003), CCT adalah bagian dari program

pengembangan generasi baru yang berusaha membantu peningkatan akumulasi

modal manusia pada orang muda sebagai cara untuk memutuskan siklus

kemiskinan antar generasi. Seperti namanya, CCT memberikan uang kepada

keluarga-keluarga miskin dengan persyaratan investasi modal manusia seperti

21

menyekolahkan atau membawa anak ke pusat kesehatan regular (Togiaratua,

2012;3) .

Jika diamati berdasarkan konten program, maka dapat dipastikan bahwa

model kebijakan PKH dikategorikan sebagai bantuan sosial bersyarat (CCT).

Karena program ini mewajibkan para penerimanya untuk mengalokasikan bantuan

dalam peningkatan kualitas SDM melalui bidang pendidikan dan kesehatan.

Dengan meningkatnya kualitas SDM pada anggota RTSM, maka peluang peserta

untuk keluar dari jeratan kemiskinan akan semakin besar, sehingga cita-cita

pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan dapat tercapai. Selain itu adanya

bantuan ini juga dapat menjadi fondasi bagi para peserta untuk menghadapi resiko

ekonomi yang dapat muncul sewaktu-waktu.

Sebelum Indonesia sebenarnya kebijakan ini telah populer di beberapa

negara, dan cukup berhasil dalam menekan angka kemiskinan. Negara-negara

tersebut mayoritas berasal dari bagian Amerika Latin seperti, Meksiko, Honduras,

Jamaica, Kolumbia, Ekuador dan Brazil, yang notabene memilki posisi strata

sama dengan Indonesia yakni golongan negara dunia ketiga. Melalui kebijakan

ini, negara tersebut dianggap berhasil menurunkan tingkat kemiskinannya, salah

satunya Brazil melalui program bolsa familia. Adanya program ini sukses

menurunkan angka kemiskinan dengan presentase sebesar 42% dalam kurun

waktu tiga tahun yakni dari tahun 2003 hingga 2006 (Pero, Szerman, 2010 : 83).

Lalu Meksiko sendiri melaksanakan program CCT yang disebut dengan Progresa

melalui dua cara, pertama, dana tunai yang diterima dapat dipakai untuk

memenuhi kebutuhan mendesak, kedua, dana tunai diharapkan berperan sebagai

sarana pemutus kemiskinan melalui peningkatan investasi bagi anak keluarga

22

miskin dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan gizi. Program ini mewajibkan

penerima memenuhi hal-hal yang dipersyaratkan, seperti menyekolahkan anak,

menggunakan fasilitas layanan kesehatan, dan memperbaiki gizi, terutama untuk

ibu dan anak. Peserta hanya boleh mendapatkan bantuan bila persyaratannya

dipenuhi. Penerima dana adalah para ibu rumah tangga. Salah satu faktor kunci

keberhasilan Progresa adalah rancangan awalnya yang dibuat dengan seksama

dan didahului dengan uji coba yang dipantau dan dievaluasi oleh lembaga

independen (Komite, 2007).

Adanya pencapaian tersebut membuat Indonesia berkeinginan turut serta

untuk menginisasi program ini kepada masyarakat dengan terfokus pada

pengembangan di bidang pendidikan dan kesehatan. Pada akhirnya di tahun 2008

Program Keluarga Harapan diluncurkan, dengan harapan dapat mencapai

keberhasilan seperti negara-negara sebelumnya yang telah cukup sukses dalam

menekan angka kemiskinan dan peningkatan partisipasi di bidang pendidikan dan

kesehatan.

5.2 Konsep Kemiskinan

Kemiskinan bagi Indonesia merupakan masalah pembangunan yang

menyangkut banyak aspek, baik dari aspek ekonomi, struktural, maupun budaya.

Secara umum, kemiskinan diartikan sebagai kondisi ketidakmampuan pendapatan

dalam mencukupi kebutuhan pokok sehingga kurang mampu untuk menjamin

kelangsungan hidup (Suryawati, 2004 : 122). Kemampuan pendapatan untuk

mencukupi kebutuhan pokok berdasarkan standard harga tertentu sangat rendah,

sehingga kurang menjamin terpenuhinya standard kualitas hidup pada umumnya.

Berdasarkan pengertian ini, maka kemiskinan secara umum didefinisikan sebagai

23

suatu kondisi ketidakmampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pokok

dan kebutuhan lainnya yang dapat menjamin terpenuhinya standard kualitas

hidup.

Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004, kemiskinan adalah kondisi sosial

ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhinya hak-hak

dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang

bermartabat. Kebutuhan dasar yang menjadi hak seseorang atau sekelompok

orang meliputi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan,

air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari

perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam

penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik. Terdapat klasifikasi tertentu dalam

menentukan tipologi kemiskinan seseorang. Berdasarkan jenisnya kemiskinan

terdiri dari :

1. Kemiskinan absolut, yaitu keadaan yang mana pendapatan kasar

bulanan tidak mencukupi untuk membeli keperluan minimum.

2. Kemiskinan Relatif, yaitu kemiskinan yang dilihat berdasarkan

perbandingan antara suatu kebutuhan dengan tingkat pendapatan

lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya pada masyarakat

desa tertentu, namun bisa jadi termiskin pada masyarakat desa yang

lain.

Menurut penyebabnya, kemiskinan terdiri dari :

1. Kemiskinan Struktural, yaitu kondisi dimana sekelompok orang berada

di dalam wilayah kemiskinan dan tidak ada peluang bagi mereka untuk

keluar dari kemiskinan. Secara teoritis ada dua hal yang yang membuat

24

seseorang terlepas dari kemiskinan struktural, yaitu : Gizi yang baik

selama masa balita dan pendidikan yang memadai.

3. Kemiskinan Kultural, yaitu budaya yang membuat orang miskin, yang

dalam antropologi kemiskinan Koentjraraningrat disebut sebagai

budaya miskin. Hal ini seperti masyarakat yang pasrah dengan

keadaannya dan menganggap bahwa mereka miskin karena turunan,

atau karena dulu orangtuanya atau nenek moyangnya juga miskin,

sehingga sangat minim sekali upaya untuk maju.

Sejatinya, kondisi masyarakat yang disebut miskin dapat diketahui

berdasarkan kemampuan pendapatan dalam memenuhi standard hidup (Nugroho,

1995). Pada prinsipnya, standard hidup di suatu masyarakat tidak sekedar

tercukupinya kebutuhan akan pangan, akan tetapi juga tercukupinya kebutuhan

akan kesehatan maupun pendidikan. Tempat tinggal ataupun pemukiman yang

layak merupakan salah satu dari standard hidup atau standard kesejahteraan

masyarakat di suatu daerah. Berdasarkan kondisi ini, suatu masyarakat disebut

miskin apabila memiliki pendapatan jauh lebih rendah dari rata-rata pendapatan,

sehingga tidak banyak memiliki kesempatan untuk menyejahterakan dirinya

(Suryawati, 2004).

Menurut Robert Chambers, masyarakat miskin sulit keluar dari belenggu

kemiskinan bukan semata-mata karena mereka pemalas, boros, tidak bekerja

keras, dan menyerah pada nasib. Selama ini mereka mungkin terlihat tidak

menabung, tidak selalu terlihat sedang bekerja, dan berpenampilan seperti

menyerahkan diri pada nasib, tetapi menurut Chambers terdapat bukti-bukti yang

menunjukkan bahwa penampilan mereka seperti itu bukan karena mereka malas

25

dan tidak mau bekerja, melainkan ada faktor lain yang mendasari mereka

melakukan hal tersebut, sebagai contoh perilaku tidak menabung dan tidak

melakukan investasi dikarenakan ada keperluan lain yang mereka anggap lebih

penting seperti untuk konsumsi, jaminan kebutuhan pokok, menutupi keperluan

karena ketidakpastian penggarapan lahan, atau karena rongrongan sanak keluarga

yang memerlukan bantuan dan pertolongan. Kemudian terlihat berperilaku malas,

bukan berarti mereka pasrah pada nasib atau tidak mau bekerja, melainkan mereka

memilih untuk menyimpan tenaga yang akan digunakan pada kerjaan yang begitu

menguras tenaga fisik mereka. Selanjutnya penampilan mereka yang lemah, tidak

mengerti dan penurut mungkin itu merupakan siasat bagi mereka agar dapat

dengan mudah memperoleh pekerjaan sehari-hari, mendapat pinjaman dari

tengkulak, tuan tanah, atau membebaskan diri dari ancaman hukuman atau

perampasan.

Pandangan bahwa orang desa itu tidak berpengetahuan dan tolol, juga

tidak berdasar sama sekali, karena menurut Chambers itu adalah bagian dari

strategi mereka untuk merendah (Chambers, 1994 ; 137). Jadi sejauh ini menurut

Chambers banyak sekali pandangan yang salah yang beredar di luar sana terkait

cara mendefinisikan kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang tak

mengerti mengenai kehidupan orang miskin, namun mereka secara sewenang-

wenang memberikan stereotip yang cenderung negatif.

Beragam upaya dan siasat tersebut digunakan oleh orang miskin agar

mereka tetap mampu untuk menjalani hidup. Keadaan yang demikian mereka

alami selama bertahun-tahun hingga membuat mereka terbelenggu dalam

keterkaitan mata rantai kemiskinan yang belum juga terputus. Rantai kemiskinan

26

ini menurut Chambers yang menyandera para orang miskin, sehingga mereka

harus rela merasakan kehidupan serba terbatas dalam waktu yang sangat lama.

Kemiskinan, kelemahan jasmani, isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan

merupakan lima poin jebakan kemiskinan yang sangat mempengaruhi dalam

melanggengkan kemiskinan. Paling tidak salah satu rantai tersebut harus terputus,

apabila orang miskin ingin mencapai kondisi kesejahteraan yang lebih baik.

PKH dalam hal ini merupakan salah satu kebijakan yang memiliki tujuan

dalam penanggulangan kemiskinan. Melalui pemberian insentif pada bidang

pendidikan dan kesehatan diharapkan dapat memutus rantai kemiskinan yang

selama ini telah menyandera para peserta, namun pada faktanya di lapangan

keadaan ekonomi yang sama masih dirasakan para peserta PKH. Para peserta

merasakan bahwa adanya PKH hanya membantu dalam hal pendidikan dan

kesehatan, belum sepenuhnya dapat membantu mereka dalam pengembangan

ekonomi rumah tangga. Lantas melalui penelitian ini akan dikupas lebih jauh

terkait penyebab kegagalan PKH berdasarkan perspektif teori perangkap

kemiskinan. Hal ini mengingat kelima aspek tersebut sangat kongruen dengan

kondisi para peserta PKH selama ini, dimana kemiskinan yang telah menjerat

mereka mengakibatkan mereka mengalami kelemahan pada berbagai aspek dan

juga ketidakberdayaan. Terlebih bagi masyarakat desa yang memiliki keterbatasan

dalam mengakses berbagai kebutuhan dasar termasuk pendidikan dan kesehatan.

27

5.3 Analisis Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Teori

Chambers

Begitu banyak sisi yang dapat dikaji dalam menguraikan segala bentuk

penyebab kemiskinan. Terjadinya kemiskinan yang turun temurun pada

masyarakat bukan semata-mata kehendak takdir, melainkan terdapat berbagai

penyebab yang membuat keadaan mereka tidak mengalami perubahan. Menurut

Chambers (Chambers, 1995 ; 145-151) dalam mengkaji kemiskinan pada rumah

tangga, terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan dan menjadi suatu kolaborasi

mata rantai. Mata rantai ini disebut lingkaran setan, sindrom kemiskinan, atau

perangkap kemiskinan. Kekuatan tiap mata rantainya berbeda-beda, untuk

mengetahui lebih detail mengenai mata rantai tersebut, berikut ini akan dijelaskan

satu per satu, yaitu :

1. Kemiskinan

Rumah tangga yang miskin sedikit sekali mengalami kekayaan. Tempat

tinggalnya kecil, terbuat dari kayu, bambu, jerami dll. Dilengkapi sedikit

sekali perabot rumah tangga. Sedikit sekali mempunyai lahan garapan,

bahkan ada yang tidak punya sama sekali, sehingga tidak dapat

menunjang kebutuhan hidup. Ini adalah faktor yang paling menentukan

dibandingkan faktor-faktor lainnya. Kemiskinan mengakibatkan

kelemahan jasmani karena kekurangan makan, yang pada gilirannyaa

menyebabkan kekurangan gizi dan menjadikan daya tahan tubuh rendah

terhadap infeksi, padahal tidak ada uang untuk berobat. Kemiskinan juga

membuat mereka menjadi tersisih karena tidak mampu sekolah, tidak

memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap, dan juga membuat

28

mereka sangat terbatas dalam mengakses informasi. Keadaan darurat

yang terjadi pun membuat mereka harus menanggung resiko ekonomi,

ketika harus berhutang karena tidak memiliki bekal yang cukup dalam

mengatasi resiko tersebut.

2. Kelemahan Jasmani

Adapun kelemahan jasmani yakni ketika seseorang tidak memiliki fisik

yang memadai dalam meningkatkan produktivitasnya, Akibatnya mereka

mendapatkan upah yang rendah dan terkadang tersisihkan karena tidak

kuat untuk mengikuti pekerjaan yang dituntut kepadanya. Kelemahan ini

mengakibatkan mereka tidak memiliki terobosan untuk mencari sumber

nafkah lain yang dapat meningkatkan ekoomi rumah tangga mereka.

Terlebih apabila suatu rumah tangga tersebut lebih banyak tanggungan

keluarga daripada pencari nafkah. Ketergantungan yang tinggi ini

mengakibatkan pemberian beban yang berat kepada salah satu pihak,

sehingga mengakibatkan tidak semua anggota keluarga dapat memenuhi

kebutuhannya dengan baik. Kelemahan jasmani juga membuat mereka

begitu terbatas untuk mengakses berbagai akses informasi dan

pengetahuan yang bermanfaat, terutama bagi kaum wanita yang

mengharuskan mereka untuk mengurus anak. Keadaan yang demikian

membuat mereka sangat rentan dalam mengatasi krisis atau keadaan

darurat. Tubuh yang lemah menjadikan mereka tidak berdaya, karena

kekurangan tenaga untuk berorganisasi dan berpolitik, karena sejatinya

orang yang lemah tidak berani berbuat hal yang macam-macam.

29

3. Isolasi

Rumah tangga yang terisolasi akan terputus hubungannya dengan dunia

luar. Tempat tinggalnya begitu terpencil, sehingga sangat minim untuk

mendapatkan informasi yang terjadi di lingkungan luar. Pendidikan yang

rendah dan tempat tinggal yang jauh menyebabkan para masyarakat

miskin sangat sulit untuk merasakan pelayanan dan bantuan pemerintah.

Mereka yang buta huruf akan menjauhkan dari segala informasi yang

mempunyai nilai ekonomi dan juga peluang untuk mendapatkan kredit

menjadi tertutup. Isolasi memperkuat kerentanan, usaha pertanian

dilahan kecil lebih sering gagal, dan bantuan pun tidak dapat segera

didatangkan apabila terjadi hal yang mendesak seperti kelaparan dan

wabah penyakit. Keterisolasian juga menyebabkan kurangnya hubungan

dengan para pemimpin politik atau bantuan hukum.

4. Kerentanan

Rumah tangga yang rentan sangat sedikit sekali memiliki penyangga

untuk menghadapi kebutuhan yang mendadak. Kebutuhan sehari-hari

dipenuhi dengan sedikit uang, bahkan tak jarang harus menukarkan

barang ataupun meminjam uang. Musibah, kewajiban sosial, dan biaya

tidak produktif menjadikan rumah tangga ini semakin melarat. Mata

rantai ini adalah yang paling banyak memiliki hubungan dalam memicu

terjadinya kemiskinan. Kerentanan ini terjadi karena adanya keadaan

yang membuat orang miskin harus mengorbankan harta yang dimilikinya

untuk menghadapi keadaan darurat. Dalam memenuhi kebutuhan yang

mendesak ini membuat mereka kehilangan kekayaan yang akan sulit

30

dipenuhi kembali pada masa yang akan datang, dikarenakan kebutuhan

yang mereka peroleh di luar dari kemampuan ekonomi mereka selama

ini. Selanjutnya kerentanan yang menimpa mereka terjadi dalam waktu

yang cukup panjang, hingga membuat mereka berada dalam lilitan

kemiskinan. Menurut Chambers, setidaknya ada 5 hal yang sangat

mempengaruhi seseorang untuk tetap berada dalam lilitan kemiskinan,

yaitu :

1. Kewajiban Adat

Kewajiban adat ini biasanya berupa kewajiban membayar mahar ,

biaya perhelatan pernikahan, dan kematian yang sebenarnya sangat

memberatkan orang miskin. Selama ini stereotip bawasannya orang

miskin tidak mau menabung dan boros merupakan salah satu hal

yang keliru, karena adanya biaya upacara adat dan kewajiban sosial

lainnya tidak dapat disangkal menjadi penyebab mereka tetap

miskin, dan tidak jarang membuat mereka harus terjerat hutang.

Adapun biaya kebutuhan sosial ini menjadikan banyak orang miskin

semakin menderita, karena sering kali mereka harus menjual lahan

garapannya untuk menutupi biaya tersebut.

2. Musibah

Hal ini diwujudkan dalam berbagai macam bentuk, mungkin karena

buatan manusia sendiri seperti pencurian, kebakaran rumah,

peperangan antar suku, dan pembunuhan, yang mana kerap kali

dapat memiskinkan suatu keluarga ataupun menyingkirkan petani

31

dari lahan garapan mereka sebagai sumber penghidupannya. Suatu

keluarga dapat saja terpukul karena kehilangan aspek yang menjadi

sumber penghidupan mereka sehari-hari, misalkan kehilangan hewan

yang selama ini menjadi tumpuan bagi petani atau peternak untuk

membantu memenuhi kebutuhan mereka sehar-hari. Musibah lainnya

juga dapat disebabkan oleh alam seperti, banjir, kekeringan, wabah

hama, dan penyakit, serta kelaparan. Bahaya kelaparan mungkin

merupakan sebab utama bagi orang miskin terpaksa menjual garapan

dan hewan ternak.

3. Ketidakmampuan Fisik

Aspek ini terjadi karena penyakit yang menimpa seseorang, masa

kehamilan, melahirkan, atapun luka setelah kecelakaan. Akibat dari

ketidakmampuan fisik ini ada dua, pertama, bagi orang dewasa,

kehilangan tenaga atau menurunnya kemampuan untuk bekerja dan

mendapatkan penghasilan, berarti menghentikan dan mengurangi

arus makanan dalam rumah tangga. Kedua, penyembuhan kesehatan

selalu makan biaya yang cukup banyak, baik untuk pengobatan

penyakit, persalinan, ataupun cidera. Dalam hal pergi ke klinik atau

rumah sakit pun diperlukan uang untuk ongkos angkutan, obat-

obatan, ongkos perawatan, dan makanan serta keperluan sehari-hari

baik bagi orang yang sakit ataupun keluarga yang mengantar.

Terlebih penyakit yang berkepanjangan dapat betul-betul

menyengsarakan.

4. Pengeluaran tidak produktif

32

Pengeluaran ini sangat bermacam-macam, termasuk merokok,

minum-minum, penyalahgunaan narkotika, serta konsumsi lain yang

sebenarnya melemahkan tubuh. Asal mulanya juga bermacam-

macam, seperti menderita rugi dalam usaha, menghadapi proses

pengadilan dan main judi. Biaya sekolah juga bisa saja menjadi

pengeluaran tidak produktif jika anak tersebut tidak menjadi apa-apa

dan tidak memberikan nilai investasi positif bagi orang tua. Namun,

apapun bentuk pengeluaran yang tidak produktif ini, apabila uangnya

diperoleh melalui pinjaman, maka pembayaran bunga pinjaman dan

kewajiban lainnya akan menyebabkan kemiskinan.

5. Pemerasan

Biasanya ini dikarenakan tuntutan atau tindakan tidak sah yang

dilakukan oleh para penguasa. Bentuknya bermacam-macam,

misalkan dengan menerapkan suku bunga yang tinggi bagi pinjaman

rakyat kecil, kemudian tipuan dan ancaman kekerasan dalam

penjualan tanah ataupun hewan ternak, adalah bentuk pemerasan lain

yang juga melaratkan orang miskin. Akibat pemerasan ini biasanya

rakyat kecil tidak mampu berbuat apa-apa karena ekonomi yang

terbatas, pun akses sosial dan politik yang kurang memadai. Pada

akhirnya memaksa mereka untuk menyerahkan harta dan pindah ke

lokasi lain untuk menghindari sanksi sosial.

5. Ketidakberdayaan

Aspek ini mendorong proses kemiskinan dalam berbagai bentuk, antara

lain yaitu pemerasan oleh kaum yang lebih kuat. Orang yang tidak

33

berdaya seringkali terbatas atau tidak mempunyai akses terhadap

bantuan pemerintah. Seandainya mereka mendapatkan bantuan

pemerintah, bantuan tersebut tidak dapat mereka manfaatkan secara

optimal, dikarenakan pendidikan mereka yang rendah, sehingga

kapasitas mereka sangat terbatas. Kemudian mereka juga kerap kali

terhalang atau terhambat memperoleh bantuan hukum, serta membatasi

kemampuannya untuk menuntut upah yang layak atau menolak suku

bunga. Menempatkan dirinya selalu pada pihak yang dirugikan dalam

setiap transaksi jual beli, dan mereka hampir tidak memiliki pengaruh

apa-apa terhadap pemerintah dalam mengambil keputusan tentang

pelayanan dan bantuan yang perlu diberikan kepada golongan lemah itu

sendiri.

Kelima hal ini penulis pilih sebagai acuan teori untuk mengambil

perspektif yang berbeda dalam mencari tahu penyebab kegagalan PKH yang

sejauh ini belum mampu mengentaskan kemiskinan secara optimal. Sebagaimana

yang kita ketahui bersama bahwa selama ini telah begitu banyak kajian yang

mengevaluasi pelaksanaan kebijakan namun hanya melihat pelaksanaan kebijakan

di tataran praktis. Evaluasi tersebut hanya mengacu pada data angka-angka yang

hanya memperlihatkan ketercapaian pelaksanaan program dengan indikator yang

telah mereka tetapkan. Tetapi dalam penelitian ini, peneliti akan mengamati

penyebab kegagalan kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan dari sisi yang

berbeda yakni berdasarkan cara masyarakat dalam memanfaatkan bantuan yang

didapatkan. Menggali realitas empirik dari para peserta PKH dalam

34

memanfaatkan bantuan PKH yang diterima selama ini.

Sesungguhnya terdapat banyak hal yang melatarbelakangi para peserta

sehingga belum mampu mengoptimalkan bantuan yang diperoleh untuk mengatasi

kemiskinan. Dalam melihat penyebab ketidakmampuan tersbut, maka peneliti

menggunakan Teori Chambers sebagai pisau analisis untuk mengungkap fakta

terkait penyebab PKH yang belum secara optimal menanggulangi kemiskinan.

Adapun perangkap kemiskinan merupakan salah satu penyebab yang membuat

masyarakat mengalami keadaan ekonomi yang sama, meskipun telah disokong

dengan berbagai bantuan baik itu dari masyarakat maupun pemerintah. Maka

begitu sia-sia ketika berbagai bantuan terus menerus diberikan tetapi para peserta

belum dapat keluar dari perangkap tersebut.

Teori ini akan membantu peneliti untuk menggali penyebab para peserta

PKH yang masih belum mengalami perubahan perkembangan ekonomi dari

sebelum hingga sesudah menerima bantuan PKH. Poin-poin rantai kemiskinan

yang diungkapkan oleh Chambers peneliti rasa begitu relevan dengan kondisi

peserta PKH yang ada di desa Nglegi. Dalam hal kemiskinan misalnya, seluruh

peserta PKH adalah para rumah tangga sangat miskin (RTSM) berdasarkan

indikator yang dimiliki oleh BPS. Keadaan miskin yang mereka rasakan tidak

terlepas dari latarbelakang pendidikan mereka yang rendah. Kemudian dalam

menjalani kehidupan di pedesaan tentu terdapat berbagai pengeluaran biaya yang

dialokasikan sewaktu-waktu baik itu untuk acara di level masyarakat maupun

musibah yang datang sewaktu-waktu. Dengan kondisi yang demikian maka

penulis yakini teori milik Chambers sangat relevan untuk menjadi silet dalam

mengungkapkan dibalik kegagalan PKH dalam pengentasan kemiskinan.