Upload
hoangthien
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Alasan Pemilihan Judul
Dalam sebuah penelitian, judul merupakan bagian yang penting dalam
menentukan arah penelitian kita. Penulisan judul sendiri harus disesuaikan dengan
pokok dari isi penelitian yang akan kita lakukan. Judul dapat membantu pembaca
untuk lebih cepat mengetahui fokus dari penelitian yang akan dibaca. Judul dalam
sebuah karya penulisan berfungsi sebagai alat untuk menunjukkan kepada
pembaca tentang hakekat dari objek dan fokus dari penelitian, wilayah, serta
metode yang dipergunakan. Judul dalam penelitian ini sendiri yaitu :
“Program Keluarga Harapan dalam Konteks Penanggulangan
Kemiskinan”
Pemilihan judul tersebut tentu dilandasi oleh beberapa alasan yang
menurut peneliti sangat rasional. Alasan tersebut merujuk pada aspek aktualitas,
orisinalitas, serta relevansi dengan ilmu yang peneliti geluti yakni Pembangunan
Sosial dan Kesejahteraan. Hal ini disebabkan ketiga aspek tersebut adalah bagian
yang harus dipertimbangkan guna memastikan urgensi dari sebuah penelitian.
Berikut ini akan dijelaskan rasionalisasi alasan pemilihan judul berdasarkan ketiga
aspek tersebut, yakni :
1.1 Aktualitas
Isu kebijakan sosial adalah isu yang sentral dalam upaya penanggulangan
kemiskinan. Melalui kebijakan sosial, maka pemerintah mengimplementasikan
2
segala program yang terkait dengan penanganan masalah sosial. Kemiskinan
adalah salah satu masalah sosial yang kini masih menjadi fokus penanganan oleh
pemerintah. Sejauh ini begitu banyak program kebijakan penanggulangan
kemiskinan yang diterapkan oleh pemerintah, baik itu BLT (Bantuan Langsung
Tunai), BLSM (Bantuan Langsung Sementara Msyarakat), PNPM (Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat), BSM (Bantuan Siswa Miskin), maupun
PKH (Program Keluarga Harapan), yang menjadi fokus kebijakan dalam
penelitian ini.
Pada era Presiden Jokowi sendiri terdapat beberapa program kebijakan
sosial yang diimplementasikan yakni seperti, Kartu Indonesia Pintar, Kartu
Indonesia sehat, Kartu Indonesia Sejahtera, dsb. Keseluruhan program tersebut
bertujuan untuk membantu masyarakat miskin, dengan harapan mereka dapat
lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup. PKH sendiri merupakan
kebijakan yang telah diterapkan sejak tahun 2008, dan sedang diperpanjang pada
Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Adapun meski berbagai kebijakan sosial
telah diterapkan, pada faktanya angka kemiskinan di Indonesia masih cukup
tinggi. PKH yang telah diselenggarakan selama tujuh tahun ternyata masih perlu
diperdebatkan efektifitas program tersebut dalam mengentaskan kemiskinan,
karena di wilayah Desa Nglegi yang menjadi objek penelitian ini masih cukup
banyak peserta PKH yang berada dalam level rumah tangga sangat miskin
(RTSM). Maka melalui penelitian ini, akan dikaji lebih jauh fenomena dibalik
belum efektifnya kebijakan ini dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi para
peserta.
3
1.2 Orisinalitas
Suatu penelitian hakekatnya harus merujuk pada nilai keaslian suatu karya.
Penilitian dalam konteks akademik adalah sebuah naskah intelektual yang harus
dipastikan keasliannya. Segala bentuk plagiasi adalah suatu tindakan yang sama
sekali tidak bisa ditolerir, karena sejatinya naskah akademik akan menjadi rujukan
dalam menciptakan kebijakan dan aturan yang akan diberlakukan di masa depan.
Sejauh ini begitu banyak penelitian yang meniliti mengenai PKH. Beberapa
contoh yakni penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Rokhoul Alamin yang
berjudul “Analisis Peran Pendamping dalam PKH pada Suku Dinas Sosial Jakarta
Utara”, kemudian penelitian mengenai “Implementasi Kebijakan PKH dalam
memutus rantai kemiskinan di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto” yang
dilakukan oleh Slamet Agus Purwanto.
Diantara beberapa penelitian tersebut, penelitian ini memiliki fokus objek
dan lokasi yang berbeda. Peneliti memastikan bahwa penelitian ini belum pernah
dilakukan pada penelitian sebelumnya. Penelitian ini berfokus pada fenomena
dibalik penyebab kegagalan PKH dalam mencapai tujuannya untuk
penanggulangan kemiskinan, dengan berkaca pada realitas implementasi PKH
yang terjadi di Desa Nglegi, yang mana para peserta PKH saat ini telah menerima
bantuan tersebut sejak tahun 2008, namun keadaan mereka relatif tetap sama.
Tidak mengalammi perubahan dalam hal kesejahteraan ekonomi. Penelitian ini
sendiri mengambil sampel di Desa Nglegi, yang penulis pastikan belum ada
penelitian PKH dengan mengambil objek serupa di wilayah tersebut.
4
1.3 Relevansi dengan Ilmu PSDK
Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan adalah salah satu bagian dari
ilmu sosial yang banyak memberikan kontribusi dalam upaya mengatasi berbagai
persoalan sosial di Indonesia. Disiplin Ilmu ini mempelajari berbagai aspek yang
akan medorong terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dengan
berlandaskan pada nilai keadilan dan kesetaraan. Dalam rangka mempelajari
aspek tersebut maka jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan membagi
fokus studinya ke dalam 3 fokus, yaitu : Corporate Social Responsbility (CSR)
atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Community Development atau
Pemberdayaan Masyarakat, serta Social Policy atau Kebijakan Sosial.
Pada penelitian ini, judul yang diambil peneliti yakni terkait dengan
Program Keluarga Harapan (PKH) dalam konteks penannggulangan kemiskinan.
PKH sendiri merupakan salah satu bentuk kebijakan sosial yang
diimplementasikan untuk mengatasi persoalan sosial. Adapun kebijakan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fokus studi yang dikembangkan oleh
jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Oleh karena itu penelitian ini
memiliki kaitan erat terhadap pengembangan ilmu Pembangunan Sosial dan
kesejahteraan dalam bidang studi kebijakan. Hasil dari penelitian ini nantinya
dapat menjadi rujukan dalam mengembangkan studi kebijakan yang tentunya
memberikan manfaat bagi civitas akademika dan masyarakat.
2. Latar Belakang
Kemiskinan di Indonesia merupakan persoalan klasik yang hingga kini
belum mampu diuraikan secara tuntas, meskipun telah terjadi sejak puluhan tahun
silam, bahkan semenjak masa awal didirikan bangsa ini. Pada era Orde Lama
5
tingkat kemiskinan pernah mencapai sekitar 70% dari total populasi di Indonesia.
Hal ini terjadi lantaran adanya instabilitas ekonomi nasional yang dipicu oleh
inflasi hingga mencapai presentase lebih dari 650%. Di masa Orde Baru
penanggulangan kemiskinan masih menjadi prioritas masalah utama yang
ditangani oleh pemerintah melalui berbagai upaya program yang digawangi
beberapa departemen maupun kementerian terkait. Walhasil pada dekade 80-an,
presentase kemiskinan berhasil ditekan hingga sekitar 11,3 % (Booth,2000). Hal
ini disebabkan stabilitas ekonomi yang sudah mulai membaik. Pemerintah secara
terang-terangan membuka investasi asing, serta pemberian proteksi bagi usaha
ekonomi dalam negeri yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Pencapaian gemilang ini begitu mencuri perhatian dunia kala itu, Hal ini
tertuang dalam laporan World Bank (1993) yang bertajuk: “The East Asian
Miracle” yang menempatkan Indonesia menjadi salah satu macan asia dalam
daftar “The High Performing Asian Economics (HPAEs)” sejajar dengan Korea
Selatan, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Selama tiga dekade rezim
Soeharto, perekonomian rata-rata tumbuh sebesar 7%, Pencapaian ini memacu
perekonomian nasional menjadi lebih bergairah kala itu. Ekspansi industrialisasi
terjadi hingga pelosok daerah dan menyerap jutaan tenaga kerja baik yang terdidik
maupun tidak (Purwanto, 2007 ; 296). Hal yang perlu digarisbawahi yakni prestasi
tersebut ternyata tidak berbuah manis bagi kemajuan bangsa Indonesia pasca
runtuhnya Orde Baru, meskipun fondasi ekonomi Indonesia begitu kokoh saat itu,
namun seakan-akan tidak berarti apa-apa ketika krisis ekonomi dunia menerpa
hingga meluluhlantahkan ekonomi dengan seketika. Krisis ini menghantam pada
pertengahan tahun 1990-an yang menular ke berbagai daerah hingga
6
mengakibatkan angka kemiskinan kembali melonjak tajam mencapai 23,4% di
tahun 1999 (BPS,2002). Inilah warisan pekerjaan rumah yang hingga kini masih
mencoba diselesaikan di era Reformasi.
Mengentaskan kemiskinan mutlak dilakukan oleh pemerintah, sesuai
dengan amanah dari konstitusi yang tercantum dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar tahun 1945, bahwa negara mempunyai tanggung jawab penuh
untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pada isi UUD 1945 juga kembali ditekankan dalam pasal 34 ayat 1, yang mana
fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Landasan hukum
tersebut mempertegas peran negara untuk bertanggung jawab dalam memenuhi
kebutuhan dasar yang layak khususnya bagi para warga yang memiliki
keterbatasan dalam ekonomi. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap
pemerintah yang berkuasa untuk memberlakukan kebijakan berupa bantuan baik
secara langsung maupun tidak langsung kepada warga miskin dengan harapan
dapat mengurangi beban serta meningkatkan kesejahteraan mereka. Kemiskinan
adalah kekurangan yang nyata dalam hal kesejahteraan (Bank Dunia, 2000).
Adapun dengan tingginya angka kemiskinan di Indonesia yang diwariskan oleh
orde baru tentu menjadikan pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintahan di era
reformasi. Perlu suatu desain program pengentasan kemiskinan yang terkawal
dengan baik dan berkesinambungan, agar dapat membenahi masalah kemiskinan
secara menyeluruh dan kompatibel. Tentu program yang digalakan harus
mengandung unsur-unsur pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas
nasional, yang mana ini menjadi strategi dasar dalam menuju kesejahteraan.
7
Pasca Orde Baru berbagai kebijakan diluncurkan guna menguraikan
kemiskinan yang sudah terlanjur kembali menjamur. Pada era transisi dari orde
baru ke reformasi (1998-2004) dilaksanakan program penanggulangan kemiskinan
berbasis masyarakat di berbagai sektor, antara lain Jaring Pengaman Sosial,
Program Penanggulangan Kemiskinan dan Perkotaan, Program Pembangunan
Prasarana Pendukung Desa Tertinggal, Program Pengembangan Kecamatan (Era
BJ Habibie), Jaring Pengaman Sosial, Kredit Ketahanan Pangan, Program
Penanggulangan Kemiskinan dan Perkotaan (Era Gusdur), Pembentukan Komite
Penanggulangan Kemiskinan, dan Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (Era Megawati) (Royat ,2010 ; 46). Alhasil serangkaian program
tersebut cukup efektif dalam menurunkan angka kemiskinan hingga 16,66% dan
meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) mencapai 68,7% (BPS,2004).
Selama kurun waktu tahun 1999-2004, berbagai program tersebut masih
berjalan secara parsial, sehingga distribusi bantuan tidak terdistribusi secara tepat
sasaran dan belum efektif dalam mendorong kesejahteraan masyarakat secara
optimal. Oleh sebab itu pada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dibentuklah TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan) yang bertujuan untuk melakukan sinergi melalui sinkronisasi,
harmonisasi dan integrasi program-program penanggulangan kemiskinan yang
telah berjalan selama pemerintahan sebelumnya (TNP2K, 2014). Adanya tim ini
diharapkan dapat menciptakan kebijakan sosial yang berkesinambungan hingga
dirasakan lebih bermanfaat oleh masyarakat miskin dan memberikan
perkembangan positif dalam mengatasi kemiskinan.
8
Kebijakan sosial merupakan sebuah organ penting bagi suatu negara dalam
mengurangi angka kemiskinan. Melalui implementasi kebijakan sosial, maka
masyarakat dapat lebih berdaya terutama dalam mengakses berbagai kebutuhan
dasar. Menurut TH. Marshall yang dikutip Richard Titmus, kebijakan sosial
adalah kebijakan pemerintah yang menyangkut berbagai upaya yang langsung
berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat, dengan menyelenggarakan
pelayanan sosial dan melakukan pekerjaan sosial (Titmuss, 1974). Oleh karena itu
suatu kebijakan sosial semestinya merupakan rangkaian program yang terintegrasi
sebagai upaya yang lebih bersinergi guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
TNP2K sebagai tim yang bertugas mempercepat penanggulangan
kemiskinan memiliki pekerjaan dalam menyelaraskan program yang sebelumnya
terfragmentasi di bawah beberapa kementerian menjadi terunifikasi, agar tujuan
pembangunan dan pengentasan kemiskinan bisa secara lebih cepat dan akurat.
Program tersebut antara lain Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),
Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Miskin (Raskin), Bantuan Siswa Miskin
(BSM), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan Kredit Usaha
Rakyat (KUR) (TNP2K,2014). Sejumlah program tersebut merupakan
serangkaian program yang dilaksanakan secara tersruktur melalui hubungan yang
saling bersinergi. Pada penelitian ini penulis tidak akan mengupas lebih detail
semua program tersebut, melainkan hanya terfokus pada salah satu program yaitu
Program Keluarga Harapan (PKH).
PKH merupakan kebijakan conditional cash transfer (CCT) pertama di
Indonesia yang diberikan pemerintah kepada rumah tangga yang tergolong sangat
miskin (RTSM) dengan kategori dan syarat tertentu. Sasaran dari program ini
9
yaitu RTSM yang masih memiliki anak sedang menempuh pendidikan dasar,
balita (bayi di bawah lima tahun), serta ibu hamil. Insentif yang diberikan sendiri
yaitu pada aspek pendidikan dan kesehatan dengan total bantuan bisa mencapai
Rp. 2.800.000,00/keluarga dalam kurun waktu satu tahun. Pemberian bantuan
PKH tersebut mewajibkan RTSM untuk mengikuti persyaratan yang ditetapkan
program yaitu; menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan dan menghadiri
kelas minimal 85% dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung, dan
melakukan kunjungan rutin ke fasilitas kesehatan bagi anak usia 0-6 tahun, ibu
hamil dan ibu yang dalam masa nifas.
Demi menjaga ketepatan penggunaan alokasi dana, maka bantuan harus
diterima langsung oleh ibu atau wanita dewasa yang notabene berurusan langsung
dengan kebutuhan rumah tangga dan mengurus anak. Hal ini karena pada
umumnya ibu bertanggungjawab atas kesehatan, nutrisi, dan pendidikan anak.
Penggunaan dana sendiri dipantau langsung oleh pendamping PKH yang bertugas
di setiap kecamatan, sehingga potensi terjadinya penyelewengan dana sangat
minim dapat terjadi. Program ini mulai digulirkan pada tahun 2007 dengan tujuh
provinsi sebagai wilayah uji coba yang menjangkau sekitar 388.000 Rumah
Tangga. Kemudian pada tahun 2008 cakupan peserta bertambah hingga mencapai
636.414 rumah tangga yang terdapat pada 13 provinsi, meliputi 72 kabupaten dan
631 kecamatan. Hingga tahun 2012 jumlah penerima tidak terlalu meningkat
cukup signifikan yakni hanya sekitar 1.500.000 rumah tangga. Jumlah ini masih
sedikit dibanding dengan jumlah secara keseluruhan RTSM pada saat itu yang
mencapai sekitar 6.500.000 rumah tangga (UPPKH Kemensos, 2014).
10
Berdasarkan aturan yang terdapat pada pelaksaanaan program PKH, setiap
peserta PKH akan diwajibkan mengikuti agenda resertifikasi yang dilaksanakan
pada tahun ke lima sejak mereka menerima program. Resertifikasi yakni suatu
peninjauan kembali yang dilakukan oleh pihak terkait terhadap kondisi peserta
penerima PKH, guna menentukan apakah peserta tersebut kembali menjadi
peserta PKH (Transisi) ataukah mereka dianggap sudah tidak layak menjadi
peserta (Graduasi). Oleh karena itu pada tahun 2013 silam, Kemensos, TNP2K,
dan Bappenas, bekerja sama dalam melakukan kegiatan resertifikasi. Alhasil
temuan yang diperoleh yakni bagi peserta PKH tahun 2007 yang dinyatakan
tergraduasi atau dinyatakan tidak lagi mendapatkan hak sebagai peserta yaitu
sebanyak 98.207 peserta, sedangkan peserta PKH tahun 2008 tergraduasi
sebanyak 54.629 peserta (Widianto, 2014). Mereka yang tergraduasi adalah
mereka yang berdasarkan penilaian tertentu ataupun telah mengalami peningkatan
kesejahteraan atau sudah tidak memenuhi syarat sebagai peserta PKH, sehingga
dianggap tidak layak untuk kembali memperoleh hak sebagai peserta PKH.
Penurunan jumlah peserta tersebut sebenarnya belum terlalu berdampak terhadap
turunnya kemiskinan di Indonesia.
Selain Indonesia, Negara yang melakukan kebijakan serupa dengan
keluarga sebagai sasaran penerima bantuan yaitu Brazil, dengan nama Bolsa
Familia. Konten dari program ini hampir sama dengan PKH, hanya terdapat
tambahan program berupa peningkatan nutrisi, dan pemberian uang bagi keluarga
yang pendapatannya di bawah upah minimum. Ketika pertama kali diterapkan
pada tahun 2003, Bolsa Familia menjangkau 3,6 juta keluarga dengan anggaran
sebesar US$ 3,4 miliyar. Selang tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 2006,
11
program ini mengalami penambahan anggaran US$ 8,5 milyar dengan
menjangkau jumlah penerima sebesar 11,2 juta keluarga. Angka tersebut hampir
menjangkau 100 persen jumlah penduduk miskin di Brazil pada masa itu (Pero V,
Szerman D, 2010; 81-83). Jika dilihat dari pelaksanaan program di kedua Negara
tersebut terdapat perbedaan tingkat progresivitas dalam menjangkau sasaran,
dimana Brazil berhasil hampir memberikan kepada 100 % warganya, sedangkan
Indonesia hingga 3 tahun pelaksanaan bahkan belum mampu menjangkau 50 %
jumlah RTSM.
Lalu jika diamati laju penurunan angka RTSM di kedua negara dalam
jangka waktu tiga tahun selama awal penerapan kedua program baik PKH maupun
bolsa familia terdapat perbedaan tingkat presentase. Survey yang dilakukan World
Bank berdasarkan indikator dengan rumah tangga sangat miskin yang memiliki
pendapatan di bawah US$ 1,25/hari mencatat bahwa pada tahun 2003 angka
rumah tangga miskin di Brazil sebesar 12,1%, lalu pada tahun 2006 mencapai 7%,
terdapat penurunan angka kemiskinan dengan presentase sekitar 42%. Di sisi lain
angka rumah tangga sangat miskin di Indonesia pada tahun 2008 yaitu sebanyak
23%, kemudian di tahun 2011 angka tersebut turun menjadi 16%, artinya tingkat
kemiskinan hanya dapat di tekan hingga 30% dan lebih rendah daripada Brazil.
Perbedaan pencapaian ini tentu harus ditelisik lebih jauh, apalagi kedua-duanya
sama-sama sedang dalam posisi segara negara berkembang.
Dalam konteks tersebut terlihat meskipun mengimplementasi dua program
dengan konten yang hampir sama tetapi laju penurunan angka rumah tangga
miskin di Indonesia tidak secepat Brazil begitupun dengan jangkauan sasaran
yang dicapai. Pada konteks penerapan PKH di Indonesia sesungguhnya sudah
12
sangat baik, yakni dengan memberikan bantuan pada dua elemen yang sangat vital
yaitu berupa pendidikan dan kesehatan. Kedua hal ini apabila disinkronisasikan
tentu mampu mendorong rumah tangga sangat miskin untuk lebih sejahtera.
Pendidikan adalah instrument bagi seseorang yang digunakan dalam
meningkatkan kualitas diri. Berbekal pendidikan yang mumpuni, maka seseorang
juga dapat meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga berimbas pada tercapainya
tingkat ekonomi dan kualitas hidup yang lebih baik. Begitupun kesehatan sangat
berhubungan dengan kondisi fisik, yang mana apabila seseorang memiliki kondisi
fisik yang prima baik jasmani maupun rohani tentu mereka dapat menjalankan
aktivitas produktif dengan sebaik-baiknya. Ketika seseorang memiliki kesehatan
yang baik, tentu ini juga akan memudahkan mereka dalam upaya peningkatan
kesejahteraan. Kedua aspek tersebut merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat
yang menurut Midgley menjadi salah satu element untuk mewujudkan
kesejahteraan.
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten dengan tingkat
penduduk miskin yang cukup tinggi di Provinsi Yogyakarta. Bahkan berdasarkan
keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal 2005 nomor:
001/KEP/M-PDT/II/2005 tanggal 7 Februari 2005, Gunungkidul dikategorikan
sebagai salah satu kabupaten tertinggal di Indonesia dari jumlah keseluruhan
sebanyak 199 kabupaten (Bappeda Gunungkidul, 2013). Berdasarkan data yang
dihimpun BPS pada tahun 2012, tingkat kemiskinan Kabupaten Gunungkidul
adalah yang tertinggi kedua setelah Kabupaten Kulonprogo yakni dengan
presentase sebesar 22,72%, sementara Kulonprogo sendiri menempati peringkat
pertama dengan penduduk miskin sebesar 23,22%. Pada wilayah lainnya tingkat
13
kemiskinan relatif pada level sedang-rendah, seperti Kota Yogyakarta yang
mememiliki presentase sebesar 9,38%, Kabupaten Sleman dengan tingkat
kemiskinan pada kisaran 10,44%, selanjutnya yang terakhir yakni Kabupaten
Bantul dengan tingkat kemiskinan bertengger di angka 16,97% (BPS, 2012).
Merujuk pada data tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi kemiskinan
di Gunungkidul cukup memprihatinkan apabila dibandingkan dengan regional lain
dalam provinsi DIY. Selama ini kebijakan sosial dalam upaya pengentasan
kemiskinan di Gunungkidul memang telah dilakukan secara masif oleh
pemerintah, Sayangnya upaya tersebut belum memperoleh hasil yang memuaskan.
Sampai saat ini jumlah penerima bantuan program sosial di Gunungkidul masih
cukup banyak diantara wilayah kabupaten/kota di Provinsi DIY.
PKH adalah salah satu dari sekian program yang dijadikan ujung tombak
pemerintah daerah dalam mengentaskan kemiskinan di wilayah ini. Sejak
digulirkan program ini pada tahun 2008 silam, jumlah penerima di Kabupaten
Gunungkidul yaitu sebanyak 9.233 KK dari keseluruhan jumlah RTSM sebesar
9.470 KK. Angka tersebut adalah jumlah RTSM yang terverifikasi dengan kata
lain telah memenuhi syarat mutlak sebagai penerima PKH. Program bantuan ini
terdistribusikan secara merata dengan mencakup seluruh 18 kecamatan di
Kabupaten Gunungkidul. Dari 9.233 RTSM penerima PKH, terbanyak di
Kecamatan Saptosari sebanyak 946 KK, Semin 899 KK, Gedangsari 792 KK,
Semanu 758 KK, Tanjungsari 604 KK, Rongkop 592 KK, Tepus 560 KK dan
Kecamatan Girisubo 547 KK, sementara pada kecamatan lainnya jumlah
penerima PKH hanya dibawah 400 KK. Pada tahun 2015 terjadi penurunan
jumlah peserta PKH yakni menjadi sebesar 6.542 KK di Kabupaten Gunungkidul.
14
Dari total penerima PKH di DIY kala itu sebanyak 28.319 KK (Dikutip dari
Gunungkidulkab.go.id, 10 November 2015). Ini merupakan hasil dari pelaksanaan
sertifikasi pada tahun 2013 silam. Angka ini tergolong masih cukup besar
dibanding dengan kabupaten lainnya, seperti Kulonprogo yang berjumlah 2.417
KK, Kota Yogyakarta 3.233 KK, dan Sleman 3.034 KK. Angka ini hanya lebih
rendah dari Kabupaten Bantul yang memiliki peserta sebanyak 13.093 KK
(UPPKH DIY, 2015).
Kemudian berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS, pada tahun 2014
angka kemiskinan di Gunungkidul hanya turun menjadi sebesar 21,7 % dari tahun
2012 yang memiliki presentase 22,72% (BPS, 2014). Adapun dengan jumlah
peserta PKH yang masih tergolong tinggi, diiringi oleh tren penurunan
kemiskinan yang tidak terlalu signifikan, mengindikasikan bahwa persoalan
kemiskinan masih begitu akut di daerah ini. Banyaknya program yang
diselenggarakan oleh pemerintah, termasuk PKH, ternyata tidak serta merta
mampu menurunkan angka kemiskinan dengan signifikan. Sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa cakupan program PKH yaitu pada pendidikan
dan kesehatan. Jika dikontekstualisasikan dengan keadaan sekarang, maka
sesungguhnya implementasi kebijakan itu sangat ideal diterapkan di Gunungkidul
yang notabene memiliki tingkat pendidikan maupun kesehatan yang masih begitu
memprihatinkan. Pertama yakni dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia
(IPM), IPM Kabupaten Gunungkidul adalah yang terendah diantara regional lain
di Provinsi DIY, yakni sebesar 71,11%. Kemudian pada tingkat angka melek
huruf pun juga menempati posisi terendah di DIY yaitu sebesar 84,97% ,
begitupun dengan tingkat rata-rata lama sekolah yang hanya 7,70 % (BPS,2012).
15
Lalu jika melongok pada bidang kesehatan, di tahun 2013 masih terdapat
catatan suram diaspek kesehatan yang perlu dibenahi, diantaranya yaitu masih
adanya kasus kematian ibu hamil yang mencapai sebanyak 8 kasus, kemudian di
tahun 2014 terdapat 7 kasus, sedangkan untuk tahun 2015 hingga bulan april 2015
sebanyak 2 kasus. Pada tahun 2013 juga masih terdapat 109 kasus kematian bayi
dan di tahun 2014 terdapat 28 kematian bayi (Dikutip dari Kabarhandayani.com,
27 April 2015). Catatan statistik tersebut mencerminkan bahwa pendidikan dan
kesehatan masih perlu dilakukan pembenahan terutama dalam hal pemberian
pelayanan, baik yang bersifat kuratif dan persusif kepada masyarakat.
Kebijakan PKH telah berjalan sejak tahun 2008 di Kabupaten
Gunungkidul, Bertahun-tahun kebijakan ini diselenggarakan seharusnya mampu
memberikan dampak positif di masyarakat terutama dalam hal pengentasan
kemiskinan, namun ternyata data diatas mencerminkan masih terdapat persoalan
pendidikan dan kesehatan yang perlu dibenahi. Di sisi lain kedua bidang tersebut
sangat menentukan dalam mewujudkan tercapainya target PKH untuk memutus
rantai kemiskinan.
Kemudian presentase kemiskinan juga masih tinggi, yang mana dalam
rentang waktu antara 2012-2014 angka presentase masih bergelut dalam kisaran
21%-22%, hanya turun 1 persen dalam kurun waktu dua tahun. Data ini
mengindikasikan bawasannya kebijakan pemerintah yang diterapkan selama ini
belum memberikan dampak yang signifikan untuk menurunkan angka
kemiskinan. Salah satu kebijakan tersebut termasuk PKH yang selama ini telah
diselengarakan sejak tahun 2008 di Kabupaten Gunungkidul. Hampir selama tujuh
tahun program ini terselenggara, belum memperlihatkan prestasi gemilang dalam
16
mencapai tujuan untuk pengentasan kemiskinan. Sebagai upaya mengungkapkan
penyebab dibalik fenomena ini maka peneliti mengambil sampel penelitian di
wilayah Desa Nglegi, Kecamatan Patuk.
Sebagian besar peserta PKH di desa ini telah menerima bantuan sejak
tahun 2008. Selama program ini berjalan hanya ada dua orang peserta yang
tergraduasi, itu pun bukan karena peningkatan kesejahteraan, melainkan anak
beliau sudah lulus dari bangku sekolah, sehingga sudah tidak memenuhi syarat
untuk menjadi peserta. Para peserta PKH yang ada sekarang ini pun mengakui
bahwa keadaan mereka sebenarnya sama saja dari sebelum menerima PKH,
ataupun setelah menerima. Peserta PKH di tahun 2016 ini mayoritas telah menjadi
peserta PKH sejak tahun 2008. Kondisi ekonomi mereka tetap dan tidak
mengalami perubahan, padahal pada aturan PKH tertera bahwa batas masyarakat
menjadi peserta PKH yaitu enam tahun, Setelah enam tahun para peserta harus
lebih mandiri untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Terdapat persoalan dimana kebijakan PKH yang telah berjalan di Desa
Nglegi selama tujuh tahun ini ternyata belum memberikan dampak yang
signifikan dalam menanggulangi kemiskinan para peserta, padahal sejatinya
tujuan PKH yakni untuk memutuskan rantai kemiskinan. Maka dalam penelitian
ini, peneliti akan berupaya untuk mengupas dibalik fenomena peran kebijakan
PKH dalam penanggulangan kemiskinan di Desa Nglegi, Kecamatan Patuk,
Kabupaten Gunungkidul.
17
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diangkat, maka rumusan
masalah yang akan di angkat pada penelitian ini yaitu :
Mengapa PKH tidak mampu menanggulangi kemiskinan yang dialami oleh
peserta PKH di Desa Nglegi, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul?
4. Tujuan Penelitian
4.1 Tujuan Operasional
1. Penelitian ini adalah karya yang ditujukan untuk memenuhi tugas skripsi, yang
mana dapat menjadi sebuah referensi bagi pengembangan wawasan kebijakan
pada jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
2. Sebagai referensi bagi pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul dalam
mengetahui perkembangan kebijakan PKH terutama dalam konteks
penanggulangan kemiskinan.
3. Menjadi referensi bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam melakukan
evaluasi pelaksanaan PKH agar ke depan mampu lebih efektif dalam
mendorong kesejahteraan bagi para peserta.
4.2 Tujuan Substansial
Secara Substansial, penelitian ini bertujuan untuk memahami secara lebih
detail penyebab belum berhasilnya kebijakan pemerintah yang salah satunya yakni
kebijakan PKH dalam mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul.
Dengan mengambil sampel kebijakan PKH, maka hasil penelitian ini akan
mengungkapkan dibalik penyebab kegagalan tersebut dengan mengambil
persepektif dari sisi masyarakat dalam menggunakan bantuan yang diperoleh.
18
Tentunya diharapkan penelitian ini menjadi referensi bagi segenap pihak yang
terlibat dalam pelaksanan PKH untuk mengembangkan PKH agar lebih baik dan
mendekati tujuan yang di harapkan.
5. Tinjauan Pustaka
Dalam memaparkan tinjauan pustaka, peneliti akan mengungkapkan
beberapa konsep terlebih dahulu terkait kebijakan dan kemiskinan, kemudian
setelah itu baru dijelaskan analisis tentang teori yang akan peneliti gunakan dalam
menjelaskan temuan yang didapatkan peneliti dalam penelitian ini. Berikut ini
adalah konsep dan penjelasan teori tersebut.
5.1 Konsep Studi Kebijakan
Substansi penelitian ini dikerangkai oleh studi kebijakan sebagai fondasi
utama dalam mensistemisasi kebijakan PKH secara rinci dan utuh. Ini diperlukan,
mengingat PKH merupakan salah satu bentuk kebijakan yang dikategorikan dalam
kebijakan sosial yang menjadi bagian dalam kebijakan publik. “Kebijakan” atau
“policy” digunakan dalam menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang
pejabat, suatu kelompok, maupun suatu Lembaga Pemerintah) atau sejumlah aktor
dalam kegiatan tertentu. Kebijakan ditetapkan tidak dengan serampangan,
melainkan bersumber dari proses pembahasan antar pihak dengan memperhatikan
beberapa aspek yang berkaitan, demi menghasilkan keputusan yang tepat dan
berdampak baik bagi suatu kolompok. Hal ini sebagaimana pendapat dari Carl
Friedrich yang memandang bahwa sebuah kebijakan sebagai suatu arah tindakan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang terhadap
kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka
19
mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atas suatu maksud
tertentu.
Suatu kebijakan hakikatnya diputuskan dalam rangka mencapai suatu
tujuan tertentu, maka dari pada itu sebuah kebijakan publik diberlakukan
pemerintah demi tujuan dan kepentingan bagi kebaikan masyarakat. Perlu
digarisbawahi bahwa tidak semua kebijakan dapat dikategorikan dalam kebijakan
publik, karena kebijakan publik hanya dapat ditetapkan oleh pemerintah dan demi
kepentingan masyarakat, sedangkan yang tidak dikeluarkan oleh pemerintah atau
organisasi non pemerintah maupun lembaga lainnya, tidak bisa disebut dengan
kebijakan publik. Kebijakan merupakan bagian dari sebuah instrument
pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur
negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya
publik. Dalam mewujudkan pelaksanaan kebijakan yang efektif, maka kebijakan
publik harus melalui beberapa tahap yang terdiri atas proses perumusan,
implementasi, dan evaluasi kebijakan (Leo Agustino, 2008 : 7). Ketiganya
menjadi syarat mutlak dalam proses pentahapan kebijakan publik yang harus
dilalui, agar kebijakan tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dan juga
diketahui tingkat efektivitas serta dampaknya secara menyeluruh.
PKH dalam hal ini merupakan salah satu kebijakan sosial. Hal ini
dikarenakan sifat kebijakan ini yang berasal dari pemerintah dan ditujukan bagi
masyarakat guna mengatasi persoalan kemiskinan. Ranah pengoperasian PKH
sendiri bersentuhan langsung pada suatu unit keluarga yang dikomandoi oleh
Kementerian Sosial. Menurut Tumanggor (2010), pembangunan harus
memperkuat fungsi keluarga sebagai lembaga masyarakat menjadi keluarga
20
berketahanan sosial, misalnya melalui program perlindungan sosial terhadap
kelompok rentan, dan penyandang masalah sosial, sebab keluarga merupakan
penyangga sentra kesejahteraan sosial. Menurut The Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD), perlindungan sosial merujuk pada
“kebijakan dan tindakan yang memperkuat kapasitas kaum miskin dan warga
yang rentan agar terlepas dari kemiskinan dan dapat menyikapi resiko maupun
peristiwa yang terjadi tiba-tiba yang menghantam kehidupan mereka”.
Perlindungan sosial dimaksud meliputi bantuan sosial, jaminan sosial, dan standar
minimum upah pekerja. Bantuan tunai secara umum dipandang sebagai salah satu
instrument bagi bantuan sosial (OECD, 2009 ; 2). Dalam hal ini, PKH yang
memberikan bantuan tunai terhadap peserta merupakan salah satu program
bantuan sosial yang bertujuan untuk melakukan perlindungan sosial bagi para
peserta yang notabene sangat rentan menghadapi gejolak perekonomian.
Terdapat dua jenis bantuan tunai, yakni Bantuan Tunai Bersyarat atau
Conditional Cash Transfer (CCT) dan tak bersyarat. Perbedaannya adalah bahwa
bantuan tunai tak bersyarat merupakan bantuan bagi orang-orang/kelompok yang
berbasis pada kriteria penerima yang sebelumnya sudah ditentukan. Transfer
sosial semisal pensiun bagi warga yang sudah tua, hambatan fisik, anak-anak, dll,
merupakan bantuan tunai tanpa syarat yang lazim dijalankan oleh beberapa
negara. Menurut Rawlings dan Rubio (2003), CCT adalah bagian dari program
pengembangan generasi baru yang berusaha membantu peningkatan akumulasi
modal manusia pada orang muda sebagai cara untuk memutuskan siklus
kemiskinan antar generasi. Seperti namanya, CCT memberikan uang kepada
keluarga-keluarga miskin dengan persyaratan investasi modal manusia seperti
21
menyekolahkan atau membawa anak ke pusat kesehatan regular (Togiaratua,
2012;3) .
Jika diamati berdasarkan konten program, maka dapat dipastikan bahwa
model kebijakan PKH dikategorikan sebagai bantuan sosial bersyarat (CCT).
Karena program ini mewajibkan para penerimanya untuk mengalokasikan bantuan
dalam peningkatan kualitas SDM melalui bidang pendidikan dan kesehatan.
Dengan meningkatnya kualitas SDM pada anggota RTSM, maka peluang peserta
untuk keluar dari jeratan kemiskinan akan semakin besar, sehingga cita-cita
pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan dapat tercapai. Selain itu adanya
bantuan ini juga dapat menjadi fondasi bagi para peserta untuk menghadapi resiko
ekonomi yang dapat muncul sewaktu-waktu.
Sebelum Indonesia sebenarnya kebijakan ini telah populer di beberapa
negara, dan cukup berhasil dalam menekan angka kemiskinan. Negara-negara
tersebut mayoritas berasal dari bagian Amerika Latin seperti, Meksiko, Honduras,
Jamaica, Kolumbia, Ekuador dan Brazil, yang notabene memilki posisi strata
sama dengan Indonesia yakni golongan negara dunia ketiga. Melalui kebijakan
ini, negara tersebut dianggap berhasil menurunkan tingkat kemiskinannya, salah
satunya Brazil melalui program bolsa familia. Adanya program ini sukses
menurunkan angka kemiskinan dengan presentase sebesar 42% dalam kurun
waktu tiga tahun yakni dari tahun 2003 hingga 2006 (Pero, Szerman, 2010 : 83).
Lalu Meksiko sendiri melaksanakan program CCT yang disebut dengan Progresa
melalui dua cara, pertama, dana tunai yang diterima dapat dipakai untuk
memenuhi kebutuhan mendesak, kedua, dana tunai diharapkan berperan sebagai
sarana pemutus kemiskinan melalui peningkatan investasi bagi anak keluarga
22
miskin dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan gizi. Program ini mewajibkan
penerima memenuhi hal-hal yang dipersyaratkan, seperti menyekolahkan anak,
menggunakan fasilitas layanan kesehatan, dan memperbaiki gizi, terutama untuk
ibu dan anak. Peserta hanya boleh mendapatkan bantuan bila persyaratannya
dipenuhi. Penerima dana adalah para ibu rumah tangga. Salah satu faktor kunci
keberhasilan Progresa adalah rancangan awalnya yang dibuat dengan seksama
dan didahului dengan uji coba yang dipantau dan dievaluasi oleh lembaga
independen (Komite, 2007).
Adanya pencapaian tersebut membuat Indonesia berkeinginan turut serta
untuk menginisasi program ini kepada masyarakat dengan terfokus pada
pengembangan di bidang pendidikan dan kesehatan. Pada akhirnya di tahun 2008
Program Keluarga Harapan diluncurkan, dengan harapan dapat mencapai
keberhasilan seperti negara-negara sebelumnya yang telah cukup sukses dalam
menekan angka kemiskinan dan peningkatan partisipasi di bidang pendidikan dan
kesehatan.
5.2 Konsep Kemiskinan
Kemiskinan bagi Indonesia merupakan masalah pembangunan yang
menyangkut banyak aspek, baik dari aspek ekonomi, struktural, maupun budaya.
Secara umum, kemiskinan diartikan sebagai kondisi ketidakmampuan pendapatan
dalam mencukupi kebutuhan pokok sehingga kurang mampu untuk menjamin
kelangsungan hidup (Suryawati, 2004 : 122). Kemampuan pendapatan untuk
mencukupi kebutuhan pokok berdasarkan standard harga tertentu sangat rendah,
sehingga kurang menjamin terpenuhinya standard kualitas hidup pada umumnya.
Berdasarkan pengertian ini, maka kemiskinan secara umum didefinisikan sebagai
23
suatu kondisi ketidakmampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pokok
dan kebutuhan lainnya yang dapat menjamin terpenuhinya standard kualitas
hidup.
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004, kemiskinan adalah kondisi sosial
ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhinya hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Kebutuhan dasar yang menjadi hak seseorang atau sekelompok
orang meliputi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan,
air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari
perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam
penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik. Terdapat klasifikasi tertentu dalam
menentukan tipologi kemiskinan seseorang. Berdasarkan jenisnya kemiskinan
terdiri dari :
1. Kemiskinan absolut, yaitu keadaan yang mana pendapatan kasar
bulanan tidak mencukupi untuk membeli keperluan minimum.
2. Kemiskinan Relatif, yaitu kemiskinan yang dilihat berdasarkan
perbandingan antara suatu kebutuhan dengan tingkat pendapatan
lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya pada masyarakat
desa tertentu, namun bisa jadi termiskin pada masyarakat desa yang
lain.
Menurut penyebabnya, kemiskinan terdiri dari :
1. Kemiskinan Struktural, yaitu kondisi dimana sekelompok orang berada
di dalam wilayah kemiskinan dan tidak ada peluang bagi mereka untuk
keluar dari kemiskinan. Secara teoritis ada dua hal yang yang membuat
24
seseorang terlepas dari kemiskinan struktural, yaitu : Gizi yang baik
selama masa balita dan pendidikan yang memadai.
3. Kemiskinan Kultural, yaitu budaya yang membuat orang miskin, yang
dalam antropologi kemiskinan Koentjraraningrat disebut sebagai
budaya miskin. Hal ini seperti masyarakat yang pasrah dengan
keadaannya dan menganggap bahwa mereka miskin karena turunan,
atau karena dulu orangtuanya atau nenek moyangnya juga miskin,
sehingga sangat minim sekali upaya untuk maju.
Sejatinya, kondisi masyarakat yang disebut miskin dapat diketahui
berdasarkan kemampuan pendapatan dalam memenuhi standard hidup (Nugroho,
1995). Pada prinsipnya, standard hidup di suatu masyarakat tidak sekedar
tercukupinya kebutuhan akan pangan, akan tetapi juga tercukupinya kebutuhan
akan kesehatan maupun pendidikan. Tempat tinggal ataupun pemukiman yang
layak merupakan salah satu dari standard hidup atau standard kesejahteraan
masyarakat di suatu daerah. Berdasarkan kondisi ini, suatu masyarakat disebut
miskin apabila memiliki pendapatan jauh lebih rendah dari rata-rata pendapatan,
sehingga tidak banyak memiliki kesempatan untuk menyejahterakan dirinya
(Suryawati, 2004).
Menurut Robert Chambers, masyarakat miskin sulit keluar dari belenggu
kemiskinan bukan semata-mata karena mereka pemalas, boros, tidak bekerja
keras, dan menyerah pada nasib. Selama ini mereka mungkin terlihat tidak
menabung, tidak selalu terlihat sedang bekerja, dan berpenampilan seperti
menyerahkan diri pada nasib, tetapi menurut Chambers terdapat bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa penampilan mereka seperti itu bukan karena mereka malas
25
dan tidak mau bekerja, melainkan ada faktor lain yang mendasari mereka
melakukan hal tersebut, sebagai contoh perilaku tidak menabung dan tidak
melakukan investasi dikarenakan ada keperluan lain yang mereka anggap lebih
penting seperti untuk konsumsi, jaminan kebutuhan pokok, menutupi keperluan
karena ketidakpastian penggarapan lahan, atau karena rongrongan sanak keluarga
yang memerlukan bantuan dan pertolongan. Kemudian terlihat berperilaku malas,
bukan berarti mereka pasrah pada nasib atau tidak mau bekerja, melainkan mereka
memilih untuk menyimpan tenaga yang akan digunakan pada kerjaan yang begitu
menguras tenaga fisik mereka. Selanjutnya penampilan mereka yang lemah, tidak
mengerti dan penurut mungkin itu merupakan siasat bagi mereka agar dapat
dengan mudah memperoleh pekerjaan sehari-hari, mendapat pinjaman dari
tengkulak, tuan tanah, atau membebaskan diri dari ancaman hukuman atau
perampasan.
Pandangan bahwa orang desa itu tidak berpengetahuan dan tolol, juga
tidak berdasar sama sekali, karena menurut Chambers itu adalah bagian dari
strategi mereka untuk merendah (Chambers, 1994 ; 137). Jadi sejauh ini menurut
Chambers banyak sekali pandangan yang salah yang beredar di luar sana terkait
cara mendefinisikan kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang tak
mengerti mengenai kehidupan orang miskin, namun mereka secara sewenang-
wenang memberikan stereotip yang cenderung negatif.
Beragam upaya dan siasat tersebut digunakan oleh orang miskin agar
mereka tetap mampu untuk menjalani hidup. Keadaan yang demikian mereka
alami selama bertahun-tahun hingga membuat mereka terbelenggu dalam
keterkaitan mata rantai kemiskinan yang belum juga terputus. Rantai kemiskinan
26
ini menurut Chambers yang menyandera para orang miskin, sehingga mereka
harus rela merasakan kehidupan serba terbatas dalam waktu yang sangat lama.
Kemiskinan, kelemahan jasmani, isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan
merupakan lima poin jebakan kemiskinan yang sangat mempengaruhi dalam
melanggengkan kemiskinan. Paling tidak salah satu rantai tersebut harus terputus,
apabila orang miskin ingin mencapai kondisi kesejahteraan yang lebih baik.
PKH dalam hal ini merupakan salah satu kebijakan yang memiliki tujuan
dalam penanggulangan kemiskinan. Melalui pemberian insentif pada bidang
pendidikan dan kesehatan diharapkan dapat memutus rantai kemiskinan yang
selama ini telah menyandera para peserta, namun pada faktanya di lapangan
keadaan ekonomi yang sama masih dirasakan para peserta PKH. Para peserta
merasakan bahwa adanya PKH hanya membantu dalam hal pendidikan dan
kesehatan, belum sepenuhnya dapat membantu mereka dalam pengembangan
ekonomi rumah tangga. Lantas melalui penelitian ini akan dikupas lebih jauh
terkait penyebab kegagalan PKH berdasarkan perspektif teori perangkap
kemiskinan. Hal ini mengingat kelima aspek tersebut sangat kongruen dengan
kondisi para peserta PKH selama ini, dimana kemiskinan yang telah menjerat
mereka mengakibatkan mereka mengalami kelemahan pada berbagai aspek dan
juga ketidakberdayaan. Terlebih bagi masyarakat desa yang memiliki keterbatasan
dalam mengakses berbagai kebutuhan dasar termasuk pendidikan dan kesehatan.
27
5.3 Analisis Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Teori
Chambers
Begitu banyak sisi yang dapat dikaji dalam menguraikan segala bentuk
penyebab kemiskinan. Terjadinya kemiskinan yang turun temurun pada
masyarakat bukan semata-mata kehendak takdir, melainkan terdapat berbagai
penyebab yang membuat keadaan mereka tidak mengalami perubahan. Menurut
Chambers (Chambers, 1995 ; 145-151) dalam mengkaji kemiskinan pada rumah
tangga, terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan dan menjadi suatu kolaborasi
mata rantai. Mata rantai ini disebut lingkaran setan, sindrom kemiskinan, atau
perangkap kemiskinan. Kekuatan tiap mata rantainya berbeda-beda, untuk
mengetahui lebih detail mengenai mata rantai tersebut, berikut ini akan dijelaskan
satu per satu, yaitu :
1. Kemiskinan
Rumah tangga yang miskin sedikit sekali mengalami kekayaan. Tempat
tinggalnya kecil, terbuat dari kayu, bambu, jerami dll. Dilengkapi sedikit
sekali perabot rumah tangga. Sedikit sekali mempunyai lahan garapan,
bahkan ada yang tidak punya sama sekali, sehingga tidak dapat
menunjang kebutuhan hidup. Ini adalah faktor yang paling menentukan
dibandingkan faktor-faktor lainnya. Kemiskinan mengakibatkan
kelemahan jasmani karena kekurangan makan, yang pada gilirannyaa
menyebabkan kekurangan gizi dan menjadikan daya tahan tubuh rendah
terhadap infeksi, padahal tidak ada uang untuk berobat. Kemiskinan juga
membuat mereka menjadi tersisih karena tidak mampu sekolah, tidak
memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap, dan juga membuat
28
mereka sangat terbatas dalam mengakses informasi. Keadaan darurat
yang terjadi pun membuat mereka harus menanggung resiko ekonomi,
ketika harus berhutang karena tidak memiliki bekal yang cukup dalam
mengatasi resiko tersebut.
2. Kelemahan Jasmani
Adapun kelemahan jasmani yakni ketika seseorang tidak memiliki fisik
yang memadai dalam meningkatkan produktivitasnya, Akibatnya mereka
mendapatkan upah yang rendah dan terkadang tersisihkan karena tidak
kuat untuk mengikuti pekerjaan yang dituntut kepadanya. Kelemahan ini
mengakibatkan mereka tidak memiliki terobosan untuk mencari sumber
nafkah lain yang dapat meningkatkan ekoomi rumah tangga mereka.
Terlebih apabila suatu rumah tangga tersebut lebih banyak tanggungan
keluarga daripada pencari nafkah. Ketergantungan yang tinggi ini
mengakibatkan pemberian beban yang berat kepada salah satu pihak,
sehingga mengakibatkan tidak semua anggota keluarga dapat memenuhi
kebutuhannya dengan baik. Kelemahan jasmani juga membuat mereka
begitu terbatas untuk mengakses berbagai akses informasi dan
pengetahuan yang bermanfaat, terutama bagi kaum wanita yang
mengharuskan mereka untuk mengurus anak. Keadaan yang demikian
membuat mereka sangat rentan dalam mengatasi krisis atau keadaan
darurat. Tubuh yang lemah menjadikan mereka tidak berdaya, karena
kekurangan tenaga untuk berorganisasi dan berpolitik, karena sejatinya
orang yang lemah tidak berani berbuat hal yang macam-macam.
29
3. Isolasi
Rumah tangga yang terisolasi akan terputus hubungannya dengan dunia
luar. Tempat tinggalnya begitu terpencil, sehingga sangat minim untuk
mendapatkan informasi yang terjadi di lingkungan luar. Pendidikan yang
rendah dan tempat tinggal yang jauh menyebabkan para masyarakat
miskin sangat sulit untuk merasakan pelayanan dan bantuan pemerintah.
Mereka yang buta huruf akan menjauhkan dari segala informasi yang
mempunyai nilai ekonomi dan juga peluang untuk mendapatkan kredit
menjadi tertutup. Isolasi memperkuat kerentanan, usaha pertanian
dilahan kecil lebih sering gagal, dan bantuan pun tidak dapat segera
didatangkan apabila terjadi hal yang mendesak seperti kelaparan dan
wabah penyakit. Keterisolasian juga menyebabkan kurangnya hubungan
dengan para pemimpin politik atau bantuan hukum.
4. Kerentanan
Rumah tangga yang rentan sangat sedikit sekali memiliki penyangga
untuk menghadapi kebutuhan yang mendadak. Kebutuhan sehari-hari
dipenuhi dengan sedikit uang, bahkan tak jarang harus menukarkan
barang ataupun meminjam uang. Musibah, kewajiban sosial, dan biaya
tidak produktif menjadikan rumah tangga ini semakin melarat. Mata
rantai ini adalah yang paling banyak memiliki hubungan dalam memicu
terjadinya kemiskinan. Kerentanan ini terjadi karena adanya keadaan
yang membuat orang miskin harus mengorbankan harta yang dimilikinya
untuk menghadapi keadaan darurat. Dalam memenuhi kebutuhan yang
mendesak ini membuat mereka kehilangan kekayaan yang akan sulit
30
dipenuhi kembali pada masa yang akan datang, dikarenakan kebutuhan
yang mereka peroleh di luar dari kemampuan ekonomi mereka selama
ini. Selanjutnya kerentanan yang menimpa mereka terjadi dalam waktu
yang cukup panjang, hingga membuat mereka berada dalam lilitan
kemiskinan. Menurut Chambers, setidaknya ada 5 hal yang sangat
mempengaruhi seseorang untuk tetap berada dalam lilitan kemiskinan,
yaitu :
1. Kewajiban Adat
Kewajiban adat ini biasanya berupa kewajiban membayar mahar ,
biaya perhelatan pernikahan, dan kematian yang sebenarnya sangat
memberatkan orang miskin. Selama ini stereotip bawasannya orang
miskin tidak mau menabung dan boros merupakan salah satu hal
yang keliru, karena adanya biaya upacara adat dan kewajiban sosial
lainnya tidak dapat disangkal menjadi penyebab mereka tetap
miskin, dan tidak jarang membuat mereka harus terjerat hutang.
Adapun biaya kebutuhan sosial ini menjadikan banyak orang miskin
semakin menderita, karena sering kali mereka harus menjual lahan
garapannya untuk menutupi biaya tersebut.
2. Musibah
Hal ini diwujudkan dalam berbagai macam bentuk, mungkin karena
buatan manusia sendiri seperti pencurian, kebakaran rumah,
peperangan antar suku, dan pembunuhan, yang mana kerap kali
dapat memiskinkan suatu keluarga ataupun menyingkirkan petani
31
dari lahan garapan mereka sebagai sumber penghidupannya. Suatu
keluarga dapat saja terpukul karena kehilangan aspek yang menjadi
sumber penghidupan mereka sehari-hari, misalkan kehilangan hewan
yang selama ini menjadi tumpuan bagi petani atau peternak untuk
membantu memenuhi kebutuhan mereka sehar-hari. Musibah lainnya
juga dapat disebabkan oleh alam seperti, banjir, kekeringan, wabah
hama, dan penyakit, serta kelaparan. Bahaya kelaparan mungkin
merupakan sebab utama bagi orang miskin terpaksa menjual garapan
dan hewan ternak.
3. Ketidakmampuan Fisik
Aspek ini terjadi karena penyakit yang menimpa seseorang, masa
kehamilan, melahirkan, atapun luka setelah kecelakaan. Akibat dari
ketidakmampuan fisik ini ada dua, pertama, bagi orang dewasa,
kehilangan tenaga atau menurunnya kemampuan untuk bekerja dan
mendapatkan penghasilan, berarti menghentikan dan mengurangi
arus makanan dalam rumah tangga. Kedua, penyembuhan kesehatan
selalu makan biaya yang cukup banyak, baik untuk pengobatan
penyakit, persalinan, ataupun cidera. Dalam hal pergi ke klinik atau
rumah sakit pun diperlukan uang untuk ongkos angkutan, obat-
obatan, ongkos perawatan, dan makanan serta keperluan sehari-hari
baik bagi orang yang sakit ataupun keluarga yang mengantar.
Terlebih penyakit yang berkepanjangan dapat betul-betul
menyengsarakan.
4. Pengeluaran tidak produktif
32
Pengeluaran ini sangat bermacam-macam, termasuk merokok,
minum-minum, penyalahgunaan narkotika, serta konsumsi lain yang
sebenarnya melemahkan tubuh. Asal mulanya juga bermacam-
macam, seperti menderita rugi dalam usaha, menghadapi proses
pengadilan dan main judi. Biaya sekolah juga bisa saja menjadi
pengeluaran tidak produktif jika anak tersebut tidak menjadi apa-apa
dan tidak memberikan nilai investasi positif bagi orang tua. Namun,
apapun bentuk pengeluaran yang tidak produktif ini, apabila uangnya
diperoleh melalui pinjaman, maka pembayaran bunga pinjaman dan
kewajiban lainnya akan menyebabkan kemiskinan.
5. Pemerasan
Biasanya ini dikarenakan tuntutan atau tindakan tidak sah yang
dilakukan oleh para penguasa. Bentuknya bermacam-macam,
misalkan dengan menerapkan suku bunga yang tinggi bagi pinjaman
rakyat kecil, kemudian tipuan dan ancaman kekerasan dalam
penjualan tanah ataupun hewan ternak, adalah bentuk pemerasan lain
yang juga melaratkan orang miskin. Akibat pemerasan ini biasanya
rakyat kecil tidak mampu berbuat apa-apa karena ekonomi yang
terbatas, pun akses sosial dan politik yang kurang memadai. Pada
akhirnya memaksa mereka untuk menyerahkan harta dan pindah ke
lokasi lain untuk menghindari sanksi sosial.
5. Ketidakberdayaan
Aspek ini mendorong proses kemiskinan dalam berbagai bentuk, antara
lain yaitu pemerasan oleh kaum yang lebih kuat. Orang yang tidak
33
berdaya seringkali terbatas atau tidak mempunyai akses terhadap
bantuan pemerintah. Seandainya mereka mendapatkan bantuan
pemerintah, bantuan tersebut tidak dapat mereka manfaatkan secara
optimal, dikarenakan pendidikan mereka yang rendah, sehingga
kapasitas mereka sangat terbatas. Kemudian mereka juga kerap kali
terhalang atau terhambat memperoleh bantuan hukum, serta membatasi
kemampuannya untuk menuntut upah yang layak atau menolak suku
bunga. Menempatkan dirinya selalu pada pihak yang dirugikan dalam
setiap transaksi jual beli, dan mereka hampir tidak memiliki pengaruh
apa-apa terhadap pemerintah dalam mengambil keputusan tentang
pelayanan dan bantuan yang perlu diberikan kepada golongan lemah itu
sendiri.
Kelima hal ini penulis pilih sebagai acuan teori untuk mengambil
perspektif yang berbeda dalam mencari tahu penyebab kegagalan PKH yang
sejauh ini belum mampu mengentaskan kemiskinan secara optimal. Sebagaimana
yang kita ketahui bersama bahwa selama ini telah begitu banyak kajian yang
mengevaluasi pelaksanaan kebijakan namun hanya melihat pelaksanaan kebijakan
di tataran praktis. Evaluasi tersebut hanya mengacu pada data angka-angka yang
hanya memperlihatkan ketercapaian pelaksanaan program dengan indikator yang
telah mereka tetapkan. Tetapi dalam penelitian ini, peneliti akan mengamati
penyebab kegagalan kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan dari sisi yang
berbeda yakni berdasarkan cara masyarakat dalam memanfaatkan bantuan yang
didapatkan. Menggali realitas empirik dari para peserta PKH dalam
34
memanfaatkan bantuan PKH yang diterima selama ini.
Sesungguhnya terdapat banyak hal yang melatarbelakangi para peserta
sehingga belum mampu mengoptimalkan bantuan yang diperoleh untuk mengatasi
kemiskinan. Dalam melihat penyebab ketidakmampuan tersbut, maka peneliti
menggunakan Teori Chambers sebagai pisau analisis untuk mengungkap fakta
terkait penyebab PKH yang belum secara optimal menanggulangi kemiskinan.
Adapun perangkap kemiskinan merupakan salah satu penyebab yang membuat
masyarakat mengalami keadaan ekonomi yang sama, meskipun telah disokong
dengan berbagai bantuan baik itu dari masyarakat maupun pemerintah. Maka
begitu sia-sia ketika berbagai bantuan terus menerus diberikan tetapi para peserta
belum dapat keluar dari perangkap tersebut.
Teori ini akan membantu peneliti untuk menggali penyebab para peserta
PKH yang masih belum mengalami perubahan perkembangan ekonomi dari
sebelum hingga sesudah menerima bantuan PKH. Poin-poin rantai kemiskinan
yang diungkapkan oleh Chambers peneliti rasa begitu relevan dengan kondisi
peserta PKH yang ada di desa Nglegi. Dalam hal kemiskinan misalnya, seluruh
peserta PKH adalah para rumah tangga sangat miskin (RTSM) berdasarkan
indikator yang dimiliki oleh BPS. Keadaan miskin yang mereka rasakan tidak
terlepas dari latarbelakang pendidikan mereka yang rendah. Kemudian dalam
menjalani kehidupan di pedesaan tentu terdapat berbagai pengeluaran biaya yang
dialokasikan sewaktu-waktu baik itu untuk acara di level masyarakat maupun
musibah yang datang sewaktu-waktu. Dengan kondisi yang demikian maka
penulis yakini teori milik Chambers sangat relevan untuk menjadi silet dalam
mengungkapkan dibalik kegagalan PKH dalam pengentasan kemiskinan.