Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang ajarannya diyakini mempunyai kesempurnaan
nilai bagi kehidupan manusia, Islam telah berada dalam struktur kehidupan
semenjak 14 Abad yang silam dengan ditandai oleh kenabian dan kerasulan
Muhammad saw. Awal babak baru bagi dunia kemanusiaan telah dimulai,
Muhammad saw sebagai seorang yang revolusioner telah memberikan tatanan
kehidupan yang baru dalam struktur kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan
terarah pada satu fokus yaitu tatanan kehidupan yang disesuaikan dengan nilai-
nilai serta hukum dalam ajaran Islam. Di antaranya dalam bidang muamalah yang
dalam hal ini dikhusukan pada bidang asuransi Islam.1
Sebagai umat Islam tentu harus berpegang kepada hukum agama Islam,
bukan hanya hubungan (ibadah) kepada Allah tetapi mencakup juga bermuamalah
kepada sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hukum Islam memiliki
kemampuan berevolusi dan berkembang dalam menghadapi soal-soal dunia Islam
masa kini. Semangat dan prinsip umum agama Islam tetap berlaku baikdimasa
lampau, masa kini dan masa yang akan datang, dalam banyak hal, pola hukum
Islam menyerahkan soal-soal rincian kepada akal manusia. Tentu saja akal bertaut
dan berpedoman kepada wahyu dan bidang yang luas yang telah ditetapkan
1AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam; Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teorirtis, dan Praktis, (Jakarta : Prenada Media, 2004).
2
sesuai fungsinya, Tidak adanya rincian inilah yang memberikan elastisitas luas
kepada Islam.2
Seiring berjalannya waktu, dan perubahan kondisi kehidupan manusia maka
timbul permasalahan-permasalahan yang hukumnya tidak dijelaskan secara
tersurat maupun tersirat baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits yang mana
membuat para ulama Islam harus merumuskan hukum permasalahan tersebut
berdasarkan pedoman-pedoman pokok dari Al-Qur’an maupun Hadits.3
Asuransi pada awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk
arisan untuk meringankan beban keungan seseorang. Secara sederhana konsep
asuransi adalah persiapan yang dipersiapkan oleh sekelompok orang yang masing-
masing menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga
apabila kerugian tersebut menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi
anggota kelompok itu, maka kerugian akan di tanggung bersama.4 Oleh karena
itu masalah Asuransi ini dalam Islam termasuk bidang hukum ijtihad, artinya
untuk menentukan hukumnya asuransi, halal atau haram masih dibutuhkan
peranan akal pikiran para ulama fiqh melalui ijtihad.5
Dikalangan umat Islam ada yang beranggapan bahwa asuransi tidak islami,
orang yang melakukan asuransi sama saja mengingkari rahmat Allah swt, karena
2 MA. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta : (Dana Bakti Prima Yasa,
1997). hal 27 3 .Abdul Karim Zaidan,“Mudhal Liddirasaty Syariah Islamiyah“ Cet I (Beirut – Lebanon
: Resalah Publishers, 2009) hal 65 4 Muhammad Muslehuddin, “Insurence In Islamic Law”, alih Bahasa Wardana, Cet.I
(Jakarta : Bumi Aksara, 1995) hal 3 5 Warkum Sumitro. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga terkait ( BMI dan
Takaful ) Di Indonesia. Cet III (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2002 ) hal 177
3
Allah swt lah yang telah menentukan segala-galanya dan yang memberi rezeki
kepada makhluknya.
Dikarenakan itulah terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama
Islam dan cendikiawan muslim tentang hukum asuransi, setidaknya ada 3 (tiga)
pendapat, yaitu :
Pertama : pendapat yang mengharamkan asuransi, pendapat ini antara lain
dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqhus Sunnah,6 Yusuf al-
Qaradhawi dalam bukunya al-Halal wa al-Haram fi al-Islam. Pengharaman
didasari beberapa alasan antara lain yaitu bahwa pada hakikatnya sama saja
dengan judi, kemudian asuransi juga dianggap mengandung unsur yang tidak jelas
dan tidak pasti, juga karena asuransi mengandung unsur riba.7
Kedua : Pendapat yang membolehkan asuransi, antara lain : Ahmad Zarqa
dalam bukunya yang berjudul Aqdut Ta’min Wa mauqifus Syariah al-Islamiyah
Minhu, Muhammad Yusuf Musa, Abdul Wahab Khalaf, dan Abdurrahman Isa,
Pembolehan asuransi oleh pendapat kedua ini antara lain adalah karena tidak
adanya nash Alquran maupun nash Hadits yang melarang asuransi juga karena
kedua pihak yang berjanji (Perusahaan Asuransi dan Nasabahnya) dengan penuh
kerelaan dan atas dasar saling meridhoi, serta merupakan perbuatan yang
melayani kepentingan umum.8
6 Sayyid Sabiq. Fiqhus Sunnah. (Beirut-Lebanon : Resalah Publishers, 2008) Jilid 3 hal
246 - 247 7 Yusuf Qaradhawi. al-Halal wa al-haram fi al-Islam. (Darul Baydho – Mesir : Darul
Ma’rifah 1985). hal 263 - 267 8 Muhammad Syakir Sula. Asuransi Syariah (Life and General) Konsep Dan Sistem
Operasional. (Jakarta : Gema Insani, 2004). hal 71-72 & 75
4
Ketiga : Pendapat yang membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan
mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial, pendapat ini
dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, Alasannya membolehkan asuransi
yang bersifat sosial (Saling menolong) adalah halal dan sebagai perkara yang
alami yang perlu diadakan; sedangkan alasan yang mengharamkan asuransi yang
bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat pertama
yaitu hakikatnya sama dengan judi, kemudian asuransi juga dianggap
mengandung unsur yang tidak jelas dan tidak pasti, juga karena asuransi
mengandung unsur riba.9
Perbedaaan pendapat dikalangan para ulama dan cendikiwan muslim terkait
boleh tidaknya asuransi dalam Islam sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad
Syakir sula dalam bukunya10 bahwa “Sesungguhnya perbedaan pendapat
dikalangan para ahli hukum Islam sekarang mengenai masalah hukum asuransi
disebabkan mereka tidak mempunyai gambaran yang luas (utuh) tentang ta’min
‘asuransi’ itu sendiri, menurut yang dimaksud para ahli hukum syariah”, serta
bagaimana konsep, sistem, operasional, serta kontrak-kontrak asuransi dalam
praktiknya.
Selain itu, dengan melihat fenomena pada masyarakat yang terjadi saat ini,
kebutuhan akan asuransi terus bertambah malah berkembang dengan pesat
seakan-akan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarat sekarang ini, dengan
adanya perbedaan pemahaman diantara para ulama dan ahli hukum Islam tentang
hukum asuransi, merupakan bukti bahwa ketentuan boleh dan tidaknya asuransi
9 Muhammad Syakir Sula. Asuransi Syariah. hal 62 10 Muhammad Syakir Sula. Asuransi Syariah. hal 76
5
merupakan persoalan yang tidak tetap, yang mana masih ada kemungkinan untuk
berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Bisa dilihat pendapatnya Yusuf Qaradhawi dalam bukunya al-Halal wa al-
Haram fi al-Islam, walaupun dia termasuk dalam kelompok ulama yang
mengharamkan asuransi, tapi sesungguhnya dalam bukunya dia tidak menolak
asuransi secara mutlak. Tetapi dia memberikan solusi bahwa asuransi masih dapat
diterima apabila disesuaikan dengan prinsip syari'at Islam.11
Dari pernyataan diatas dapat dijadikan kerangka teori untuk lebih
memahami tentang ketentuan hukum asuransi, oleh karena itu penulis tertarik
untuk mengkaji pendapat Yusuf Qaradhawi tentang asuransi.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, terdapat
beberapa hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini antara lain:
1. Apa metode penetepan hukum asuransi menurut Yusuf Qaradhawi?
2. Bagaimana telaah pemikiran Yusuf Qaradhawi tentang asuransi?
C. TUJUAN PENELITAN
Dengan melihat pokok permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pendapat metode penetapan hukum Asuransi menurut
Yusuf Qaradhawi.
11 Yusuf Qaradhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Darul Baydho – Mesir : Darul
Ma’rifah 1985), hal 263 - 267
6
2. Menganalisis pemikiran Yusuf Qaradhawi tentang asuransi termasuk
asuransi jiwa.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Secara Teoritis :
Sebagai bagian dari upaya pengembangan ilmu, terutama yang berkaitan
dengan studi islam dalam hubungannya dengan ekonomi khususnya
tentang asuransi.
2. Secara Praktis :
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir penulis guna
memperoleh gelar Magister Ekonomi Syariah pada Program Studi
Ekonomi Syariah di Program Pasca Sarjana UIN Raden Fatah Palembang
dan Sebagai bahan masukan yang dapat digunakan oleh lembaga asuransi,
terutama asuransi Islam.
E. TINJAUAN PUSTAKA
Pada masa sekarang ini banyak pemikir yang membahas persoalan tentang
asuransi syariah. Sehingga tidak heran apabila banyak pemikir yang menuangkan
ide pemikiranya ke dalam buku. Dalam memandang proses penulisan penelitian
ini, penulis membutuhkan literatur-literatur buku yang berkaitan dengan
permasalahan, sekaligus menjadikannya bahan referensi dalam penelitian ini,
sedangkan dalam beberapa kajian penelitian/karya tulis berbentuk tesis, dari yang
penulis temukan hasil penelitiannya tidak terfokus terhadap metode penetapan
7
hukum asuransi menurut Yusuf Qaradhawi serta tinjauan praktek asuransi yang
ada saat ini bagaimana implementasinya dengan pendapat yang dikemukakan
olehnya, diantaranya :
Sri Wahyuningsih12 dalam tesisnya “Asuransi Syariah sebagai lembaga
keuangan umat : Suatu tinjauan terhadap keberadaan asuransi syariah menurut
UU.No.2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian” menjelaskan dalam Islam
konsep dan perjanjian asuransi merupakan persoalan baru yang menimbulkan
perdebatan dikalangan ulama tentang status hukumnya menurut syari’at Islam.
Seiring dengan mulai dikembangkannya sistem ekonomi Islam modern, maka
muncullah alternatif pengganti asuransi konvensional yang diperdebatkan ulama
tersebut dengan asuransi yang didasarkan atas nilai-nilai Islam.
Ahmad Bunyan Wahid13 dalam tesisnya “Asuransi dalam pandangan
Muhamadiyah dan Nahdatul ulama” diuraikan bagaimana Fatwa majlis tarjih dan
Lajnah bahsul masa’il memformalkan hukum asuransi. Bahwa asuransi yang
diperbolehkan adalah asuransi yang bersifat sosial yang diselenggarakan oleh
pemerintah.
Kuat Ismanto14 dalam tesisnya “ Studi asas hukum Islam tentang asuransi “
menjelaskan prinsip-prinsip hukum tentang asuransi. Kesimpulan yang dihasilkan
bahwa sebenarnya prinsip-prinsip dasar asuransi tidak bertentangan dengan
12Sri Wahyuningsih, “Asuransi Syariah sebagai lembaga keuangan umat : Suatu tinjauan
terhadap keberadaan asuransi Syariah menurut UU NO.2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian”. Thesis Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah, tidak dipublikasikan,
Palembang, 2009. 13Ahmad Bunyan Wahid, “Asuransi dalam pandangan Muhamadiyah dan Nahdatul
ulama” Thesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, tidak dipublikasikan,Yogyakarta, 2001. 14 Kuat Ismanto “Studi asas hukum Islam tentang asuransi “Thesis Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, dipublikasikan,Yogyakarta, 2005.
8
syariat Islam. Prinsip-prinsip itu ditempatkan sebagai syarat sahnya akad dan
termasuk syarat yang diakui, bukan syarat yang bertentangan dengan akad.
SITHA P.N., Nyanyu Verawaty15 Dalam tesisnya “Penerapan prinsip
Mudharabah pada Asuransi Syariah : Studi kasus pada Asuransi Takaful cabang
Palembang” menjelaskan bahwa penerapan prinsip mudharabah pada PT Asuransi
Takaful Cabang Palembang sudah sesuai dengan prinsip syariah yang diatur di
dalam fatwa DSN dan telah memenuhi standar ketentuan yang ada.
Deasita Diah susanti16 dalam tesisnya “Tinjauan Yuridis terhadap
pelaksanaan perjanjian asuransi jiwa syariah pada PT.Asuransi Takaful keluarga”
tipe penelitian ini yuridis normatif dengan pendekatan perundangan-undangan,
pendekatan konsep, serta analisis, penelitian ini meneliti apakah ketentuan tentang
asuransi yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum perdata, kitab undang-
undang hukum dagang dan undang –undang no 2 tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian juga berlaku dan digunakan dalam perjanjian asuransi jiwa dengan
prinsip syariah.
F. KERANGKA TEORI
Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia, manusia akan
memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi,
15 SITHA P.N., Nyanyu Verawaty, “Penerapan prinsip Mudharabah pada Asuransi
Syariah :: Studi kasus pada Asuransi Takaful cabang Palembang” Thesis Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada (UGM), tidak dipublikasikan, Yogyakarta, 2008. 16Deasita Diah susanti, “Tinjauan Yuridis terhadap pelaksanaan perjanjian asuransi jiwa
syariah pada PT.Asuransi Takaful keluarga” Thesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia
(UI), dipublikasikan, Jakarta,2011.
9
baik dalam aspek material dan spiritual, dalam jangka pendek maupun dalam
jangka panjang.
Manusia menginginkan kebahagian dan kesejahteraan dalam hidupnya
namun seringkali hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi,
kenyataannya musibah dan bencana yang terjadi dalam kehidupan manusia baik
berupa kehilangan materi atau non materi sewaktu-waktu pasti akan terjadi, oleh
karena itu manusia mulai berfikir bagaimana cara untuk memperkecil resiko dan
juga dampak keuangan yang mungkin timbul.
Namun upaya tersebut seringkali tidak memadai, sehingga tercipta
kebutuhan akan mekanisme mengalihkan resiko, Berbagai macam cara ditempuh
manusia untuk mengatasi resiko antara lain dengan cara risk sharing (membagi
resiko dengan pihak lain) atau biasa yang disebut dengan lembaga asuransi.
Asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit)
yang sudah pasti sebagai pengganti (subsitusi) kerugian-kerugian besar yang
belum pasti. 17
Akan tetapi asuransi adalah hal yang baru yang belum dikenal baik pada
masa nabi masih hidup ataupun pada masa-masa awal Islam. Al-Qur’an tidak
menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktik asuransi seperti
yang ada pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi
atau al-ta’min secara nyata dalam Al-Qur’an. Walaupun begitu Al-Qur’an masih
mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada
dalam praktik asuransi, seperti nilai dasar tolong-menolong, kerja sama, atau
17 AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam;, hal 104
10
semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian (peril) di masa
mendatang18.
Sehingga menjadikan perlunya dikaji hukum akan asuransi tersebut, dalam
Islam pemahaman atas segala hukum agama yang berasal dari syariat Islam baik
yang bersifat aqidah, akhlaq, ibadah atau mua’malah disebut juga atau termasuk
dalam pengertian dari arti termologi fiqih19, dalam pengertian yang lain adalah
pengetahuan atas hukum-hukum syariat dengan jalan berijtihad (mencari dalil-
dalil syara’)20,
Pada Dasarnya Tujuan dari Maqasid Syariah adalah mencari/mendatangkan
manfaat/Maslahat (جلب المصالح) dan mencegah/menolak bahaya/Mafsadah
berdasarkan hal ini maka teori yang digunakan untuk mencari atau ,(درع المفاسد)
menentukan kemaslahatan dari asuransi bisa menggunakan salah satu kaidah usul
fiqih yaitu Maslahatil Mursalah.
Penggunaan Maslahatil Mursalah sebagai salah satu metode untuk
menentukan atau mendapatkan hukum sudah berjalan sejak lama. Adalah Imam
Malik dan pengikutnya yang mempelopori Maslahatil Mursalah sebagai sarana
atau metode penetapan hukum.21
Bahkan Imam Malik dan pengikutnya (Madzhab Maliki) ,termasuk juga
Imam Ahmad dan pengikutnya mentakhshis nash Al-Qur’an dengan
menggunakan Maslahat. Prinsip Maslahat yang dipegang oleh Imam Malik dan
18 AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, hal 105
19 Abdul Karim Zaidan, “Madhal Liddirasati Syariah Islamiyah” hal 61 20Abdul Malik Aljuwainiy, “Syarhul Waraqat” (Beirut-Lebanon : Muassasah Alkutub
Assaqafiyah “tanpa tahun terbit”) hal 5 21 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, ( Kairo-Mesir : Dar Al-Fikr Al-Arabi 1985)
hal. 280
11
Imam Ahmad merupakan sarana yang produktif dalam menghasilkan ketetapan
hukum-hukum fiqih, terutama dalam bidang muamalat.22
Maslahat al-mursalah adalah salah satu kaidah dari dalil-dalil syar’i yang
bertujuan untuk menentukan suatu hukum/ (من أدلة األحكام) , yang digunakan
ketika suatu kemaslahatan yang terjadi tidak dijelaskan oleh nash-nash/dalil syar’i
baik yang terdapat dari Al-Qur’an maupun dari Hadits yang membolehkannya
atau yang melarangnya.23
Maslahat al-mursalah digunakan untuk mendapatkan suatu hukum syar’i
dari sebuah kemaslahatan atau permasalahan yang mana dari kemaslahatan ini
jelas terdapat suatu manfaat yang berguna atau sangat dibutuhkan atau bisa juga
jelas menolak atau menghilangkan suatu kemudharatan(bahaya).24
Banyak permasalahan yang dibangun atas prinsip Maslahatil Mursalah
contohnya pada masa Abu Bakar As-Shiddiq yaitu mengumpulkan Al-Qur’an
dalam satu mushaf,25 termasuk Kemaslahatan yang dinilai jelas terdapat suatu
manfaat yang berguna akan tetapi tidak terdapat nash/dalil syar’i baik yang
mutlak membolehkannya atau yang melarangnya, maka disimpulkan untuk
membolehkan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf, contoh lain dalam
rangka mencegah kezhaliman adalah hukuman mati bagi sekelompok orang yang
berkerjasama atau terlibat membunuh hanya satu orang dengan zhalim atau tanpa
haknya, maka sekelompok orang tadi semuanya wajib qisas di bunuh.
22Romli SA, “Konsep Maslahat dan kedudukannya dalam pembinaan Tasyri”
(Palembang : Rafah Press 2010), hal 157 23 Abdul Karim Zaidan, “ Al-Wajiz Fi Usulil Fiqh “ (Beirut-Lebanon:Resalah Publishers
2009) Cet I, hal 188 24 Abdul Karim Zaidan, “ Al-Wajiz Fi Usulil Fiqh “hal 188 25 Romli SA, “Konsep Maslahat,” hal 157
12
G. METODE PENELITIAN
Kajian penelitian yang diangkat dalam tesis ini digolongkan dalam bentuk
kajian/ penelitian pustaka (Library Research), menurut Saifuddin Azmar,
Penelitian (research) merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka
pemecahan suatu persoalan. Hasil penelitian tidak pernah dimaksudkan sebagai
suatu pemecahan (solusi) langsung bagi permasalahan yang dihadapi, karena
penelitian merupakan bagian saja dari usaha pemecahan masalah yang lebih besar.
Fungsi penelitian adalah mencarikan penjelasan dan jawaban terhadap
permasalahan serta mencarikan alternatif bagi kemungkinan yang dapat
digunakan untuk pemecahan masalah.26
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif, yang
berarti mengkaji permasalahan dengan cara menelusuri dan mencari dan menelaah
bahan berupa data dari literatur- literatur yang berhubungan dengan judul
penelitian, baik yang berupa buku, artikel, dan karangan.27
2. Sumber Data
a. Data primer adalah sumber data yang berkaitan langsung dengan
kajian penelitian. Data primer dalam penelitian ini diperoleh
langsung dari buku karangan Yusuf Qaradhawi yaitu al-Halal wa al-
Haram fi al-Islam. Dengan sub judul Syirkatu Ta’min.
b. Data Sekunder adalah jenis data yang dapat dijadikan sebagai
pendukung data pokok, atau dapat pula didefinisikan sebagai sumber
26Saifudin Azmar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), cet. II, hal. 1 27Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Ando Offset, 1990), hal. 9.
13
yang mampu atau dapat memberikan informasi atau data tambahan
yang dapat memperkuat data pokok.28 Adapun sumber data
pendukung berupa buku-buku, jurnal, majalah, internet dan pustaka
lain yang berkaitan dengan tema penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Kajian ini adalah penelitian pustaka, maka yang digunakan adalah mengkaji
dan mentelaah literatur sumber data primer yang mempunyai relevansi dengan
penelitian ini, dalam hal ini bearti kitab Yusuf Qaradhawi, serta mengkaji dan
mempelajari data sekunder yang berupa buku-buku referensi tentang asuransi baik
itu undang-undang asuransi atau bahan-bahan tertulis seperti jurnal, surat kabar,
majalah, internet dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan
penelitian ini.
4. Analisis Data
Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode
induktif yaitu metode berpikir yang berangkat dari fakta yang khusus, peristiwa
yang konkrit, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus itu
ditarik generalisasi yang mempunyai sifat umum.29
Sebagaimana penelitian pustaka, maka dalam menganalisis data,
penyusunannya menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu data yang
dikumpulkan, dirumuskan, dijelaskan dan kemudian dianalisa. Selain itu, juga
28 Suryadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998), hal
85. 29 Sutrisno Hadi, Metodoogi Research, hal 42.
14
akan menjelaskan dan menafsirkan data-data yang ada, menjadi suatu rumusan
yang sistematis dan analitis.30
Dengan metode ini nantinya penyusun dapat menyimpulkan pemikiran atau
pendapat Yusuf Qaradhawi tentang hukum asuransi dan menyimpulkan
bagaimana implementasi praktek asuransi saat ini menurut pendapat Yusuf
Qaradhawi.
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan terhadap permasalahan
yang diangkat maka pembahasan ini disusun secara sistematis sesuai tata urutan
pembahasan yang ada dan saling berhubungan satu sama yang lain.
Diawali bab satu yang memuat tentang pendahuluan, yang berisi hal-hal
yang melatar belakangi penelitian yang nantinya menjadi dasar dari perumusan
pokok masalah dan tujuan dari penelitian ini. Kemudian tinjauan pustaka yang
menunjukkan posisi penelitian ini dibanding penelitian yang lain. Selanjutnya
ialah kerangka teoritik dan metode penelitian, yang menjelaskan perangkat teori
yang digunakan untuk memecahkan permasalahan dan metode yang tepat dalam
menentukan pendekatan masalah tersebut serta sistematika pembahasan.
Pada bab dua membahas landasan teori mengenai salah satu kaidah usul fiqh
: Maslahatil Mursalah sebagai sarana atau metode penetepan hukum serta
gambaran umum tentang kemaslahatan sebagai tujuan ditetapkannya suatu
hukum syara’ atau lebih dikenal dengan istilah Maqashid al-Syariah.
30 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), cet. III, hal. 63.
15
Pada bab ketiga membahas mengenai tinjauan umum tentang asuransi
syariah yang meliputi antara lain: definisi atau pengertian dari asuransi syariah,
sejarah kemunculan asuransi syariah, jenis dan macam- macam produk asuransi
syariah serta pendapat ulama tentang praktik asuransi yang berkembang saat ini.
Bab keempat mengenai biografi dari Yusuf Qaradhawi yang berisi profil,
latar belakang pedidikan serta karier dan aktivitasnya hingga sekarang, berikut
tentang karya-karyanya yang ditulis olehnya baik berupa kitab-kitab ataupun
buku-buku kecil.
Bab kelima yang merupakan pokok dari penelitian ini, berisi analisa
pendapat atau istimbat hukum/metode penetapan hukum tentang asuransi menurut
Yusuf Qaradhawi dan menganalisa bagaimana telaah pemikiran Yusuf Qaradhawi
tentang asuransi, yang mana walaupun dia tidak membolehkan praktek asuransi
tapi dia memberi pengecualian yang memungkinkan praktek asuransi ini
diperbolehkan.
Pada bab terakhir berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan
merupakan jawaban dari pokok masalah yang ada. Saran-saran memuat masukan-
masukan yang berkaitan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian ini.
16
BAB II
ASURANSI DAN KEMASLAHATAN
A. TEORI MASLAHAT AL-MURSALAH
Menemukan hukum syar’i dalam syariat Islam untuk suatu kemaslahatan
yang terjadi harus melalui sumbernya, dan itu tidak boleh berlandaskan hawa
nafsu semata akan tetapi harus melalui metode atau kaidah yang telah diterima
oleh semua ulama kaum muslimin atau sebagian dari mereka, diantara banyak
metode penetapan suatu hukum tersebut ialah kaidah maslahatil mursalah.
1. Al-adillat Al-ahkam dan pembagiannya
Al-Quran dan Hadits adalah dua sumber pokok untuk menentukan suatu
hukum atau syariat dalam agama Islam, semua permasalahan atau kemaslahatan
yang terjadi harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh
Al-Quran dan Hadits baik secara tersurat maupun tersirat.
Telah disepakati oleh para ulama Islam dari seluruh mazhab bahwa segala
tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan yang ada di dalam ibadah
dan mu’amalah, atau berupa pidana dan perdata yang terjadi dalam
perjanjian/aqad atau pengelolaan (al-Tasharruf) dalam syariat Islam, semuanya
itu mempunyai hukum. Hukum-hukum itu sebagian telah dijelaskan didalam
nash-nash Al-Quran dan Hadits/Sunnah, sebagiannya lagi belum dijelaskan,
Namun demikian, syariat Islam telah membuat dalil dan tanda-tanda bagi hukum
tersebut, sehingga seorang ulama Mujtahid dengan media dalil dan tanda-tanda itu
17
mampu melahirkan ketetapan dan penjelasan tentang hukum yang belum
dijelaskan tersebut.31
Selain Al-Quran dan Hadits yang menjadi sumber hukum Islam, para ulama
Islam juga telah menetapkan beberapa cara atau pedoman dalam istinbath/
menentukan suatu hukum, yang lebih dikenal disebut dalam syariat dalil-
dalil/tanda yang bertujuan menentukan hukum (أدلة األحكام), para ulama telah
membagi dalil-dalil ini ada yang disebut Mashadir Ashliyah (sumber pokok)
yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya karena keberadaan dalil-dalil hukum
disebutkan secara tekstual didalam nash, dan Mashadir Thabi’iyah (sumber yang
dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yaitu : Dalil-dalil yang dirumuskan
melalui ijtihad dengan menggunakan metode penalaran ra’yu (pemikiran) dan
disebut pula dengan dalil aqli, yang disepakati oleh jumhur ulama dari bagian ini
ialah: Ijma dan Qiyas. Adapun yang menjadi ikhtilaf/perbedaan ialah: Istihsan,
Istishab, Maslahah Mursalah, Urf, Syar’u Man qablana, dan Mazhab as-Shahaby.
Secara rinci disebutkan oleh Abdul Karim Zaidan32 pembagian dalil-dalil ini
sebagai berikut :
Bagian pertama : yang disepakati bersama dan yang terdapat perbedaan
pendapat. Ini terbagi menjadi 3 macam bentuk :
1. Dalil yang disepakati seluruh ulama-ulama muslimin, yang termasuk
bagian ini adalah al-Qur’an dan Hadits/as-Sunnah,
31 Abdul Wahab Al-Khallaf “ Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Ilmu Ushulul Fiqh)/
penerjemah, Noer Iskandar al-barsany,Moh.Tolchah Mansoer, Cet 7 (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada) 2000, hal : 1 32 Abdul Karim Zaidan “Al-Wajiz Fi Usulil Fiqh“ Cet I, (Beirut-Lebanon : Resalah
Publishers 2009) hal 115
18
2. Dalil yang disepakati oleh sebagian besar ulama-ulama muslimin, yang
termasuk bagian ini adalah Ijma’ dan Qiyas. (yang menyelisihi Ijma’
sebagian dari kelompok Mu’tazilah dan sebagian kelompok khawarij33,
dan yang menyelisihi Qiyas adalah Mazhab Ja’fariyah34 dan Mazhab
Adzahiriyah35),
3. Dalil yang terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama muslimin,
yang termasuk bagian ini adalah al-Urf Muktabarah, al-Istishab, al-
Istihsan, al-Mashalihul Mursalah, Syar’u Man qablana, dan Mazhab as-
Shahaby.
Bagian Kedua : Dalil-Dalil yang bersumber kepada Nash (Naqliyah) dan
pendapat/hasil dari pemikiran(Ar-Ra’yu/Aqliyah). Ini terbagi menjadi 2 macam
bentuk :
1. Dalil Naqliyah : yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan As-Sunnah (Hadist), dan
yang termasuk juga dari bagian ini adalah : Ijma’, Mazhab as-Shahaby, dan
Syar’u Man Qablana (Syariat umat-umat terdahulu),
2. Dalil Aqliyah : yaitu dalil yang bersumber dari hasil penelitian (النظر) atau
hasil pemikiran, dan itu adalah Qiyas, dan yang termasuk juga dari bagian ini
adalah : al-Istihsan, al-Istishab, dan al-Mashalihul Mursalah.
Dengan kata lain, dalil-dalil yang disepakati ulama itu mencakup Al-Qur'an,
as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, karena Ijma dan Qiyas hampir seluruh mazhab
33 Muhammad Zapzaap “ Muzakarat Fi usul Fiqh” hal 63 (Dikutip oleh Abdul Karim
Zaidan di kitab AL-Wajiz Fi Usulil Fiqh hal 115) 34 Al-Alamah Sayyid Ali haidary “ Usul Al Istimbat “ Juz 2 hal 258 (Dikutip oleh Abdul
Karim Zaidan di kitab AL-Wajiz Fi Usulil Fiqh hal 115) 35 Ibnu Hazm Adzahiri “ Al-Ihkam Fi Usulil Ahkam “ Juz 7 hal 53 (Dikutip oleh Abdul
Karim Zaidan di kitab AL-Wajiz Fi Usulil Fiqh hal 115)
19
mempergunakannya, meskipun derajatnya tidak sama ketika digunakan dalam
mengistinbathkan hukum.
Setelah apa yang telah disebutkan diatas ada dalil yang disepakati dan ada
yang terdapat perbedaan, akan tetapi urutan untuk mengetahui suatu hukum syar’i
harus pertama kali merujuk kepada Al-Qur’an, karena nash-nash Al-Qur'an
merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw menjadi
rujukan utama dalam istinbath hukum, apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an
kembali ke as-Sunnah, Karena as-Sunnah merupakan sabda Nabi saw, di mana di
samping berfungsi sebagai penjelas dari apa yang terdapat dalam nash Al-Qur'an
juga menetapkan hukum-hukum yang tidak dijelaskan oleh Al-Qur'an. Apabila
masih tidak ditemukan juga maka merujuk kepada Ijma’, karena Ijma’ sejatinya
bersandar dari apa yang terdapat dalam nash Al-Qur’an atau Sunnah, apabila
belum juga ditemukan juga merujuk kepada Qiyas.
Apabila dari keempat sumber tadi masih belum ditemukan juga maka
digunakan lah metode-metode penetapan melalui ijtihad dengan menggunakan
metode penalaran ra’yu (pemikiran) diantaranya ialah al-Mashalihul Mursalah
walaupun keberadaannya menimbulkan perdebatan (ikhtilaf) di kalangan ulama
mazhab ushul. Hal ini disebabkan karena sebagian mereka memandang dan
menjadikannya sebagai dalil dalam istinbath hukum, sementara yang lain
menolaknya.
2. Kajian maslahat
Kajian tentang tujuan hukum yang dalam istilah usul fiqh disebut dengan
Maqashid al-syari’ah ( مقاصد الشريعة) tidak lain adalah menyangkut pembahasan
20
tentang maslahat36. Abu Ishaq al-Syatibi37 mengatakan bahwa ditinjau dari segi
maksud Syari’, sesungguhnya penetapan hukum syariah tidak lain ialah untuk
mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia baik didunia maupun diakhirat.
Begitu juga apa yang dijelaskan oleh Izzuddin Bin Abdi Salam38 Sesungguhnya
syariah keseluruhannya adalah Mashalih (Kemaslahatan), baik itu menolak
keburukan atau mencari kemanfaatan.
Lebih terperinci lagi dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan39 bahwa
sesungguhnya tujuan dari Maqashid al-syari’ah tidak lain adalah merealisasikan
kemaslahatan umat manusia dan menjaga kemaslahatan tersebut serta
menghindarkan meraka dari kerusakan atau marabahaya, akan tetapi yang
dimaksud kemaslahatan ini (tujuan dari Maqashid al-syari’ah) bukanlah
kemaslahatan yang dipandang menurut pendapat manusia itu sendiri, yang
bermanfaat baginya berdasarkan hawa nafsu belaka, melainkan kemaslahatan
yang berdasarkan timbangan syariat bukan berdasarkan pertimbangan hawa nafsu
dan syahwat. Para ulama ushul memahami bahwa Allah swt tidaklah
mensyari’atkan hukum-hukumNya kecuali untuk kemaslahatan bagi seluruh umat
36 Maslahat atau kemaslahatan yang semula berasal dari bahasa arab yang selanjutnya
diserap menjadi bahasa Indonesia mengandung makna yang sama dengan arti asalnya, yaitu
sesuatu yang mendatangkan kebaikan, berguna dan bermanfaat atau kepentingan. Pengertian ini
selanjutnya dapat dilihat dalam “Kamus Umum Bahasa Indonesia” disusun oleh W.J.S
poerwadarmita diolah kembali oleh pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, edisi ketiga,
Penerbit PT Balai Pustaka (Persero), 2011, hal 750 37 Abi Ishaq al-Syatibi, “Al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah” (Darul Hadist:Al-
Qahirah/Mesir) 2006, Juz 2 hal 262 38 Izzudin Bin Abdi Salam, “Qowaidul Ahkam” Juz 1 hal. 9 (Dikutip Abdul Karim Zaidan
dalam Kitab “Madhal Liddirasaty Syariah Islamiyah” hal 45) 39 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 299
21
manusia dan menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia ini
dari kemaksiatan dan perbuatan dosa.40
Said Ramadhan al- Buthy41 menjelaskan dengan panjang lebar kriteria
maslahah menurut syari’ah. Beliau menyimpulkan bahwa maslahat mempunyai
tiga kriteria:
Pertama : Maslahat harus mengandung dua dimensi masa, yaitu dunia dan
akhirat. Dalam istilah singkatnya bisa disebut sebagai maslahat yang berwawasan
dunia dan akhirat. Bagi orang-orang yang tidak beriman, kehidupan akhirat
dipandang absurd atau kadang-kadang dipahami sebagai kehidupan yang
fatamorganik. Untuk itu mereka sering mengabaikan maslahah yang bersifat
ukhrawi. Bagi orang-orang yang beriman, kehidupan akhirat dipandang sebagai
kelanjutan dari kehidupan dunia. Karenanya mereka meyakini adanya maslahat
atau manfaat yang bersifat ukhrawi, sebagaimana halnya mereka merasakan
maslahat duniawi.
Kedua : Maslahat tidak hanya terbatas pada sisi dan norma material semata,
tetapi juga harus mengandung norma spiritual agar maslahat tersebut bisa
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Sebagian Filosof menentang adanya
maslahat rohaniah (yang bersifat spiritual). Karena maslahat rohani menurut
pandangan mereka akan terwujud dengan sendirinya jika kebutuhan jasmani
terpenuhi., Kebanyakan filosof tidak mempercayai maslahat yang bersifat spiritual
ini. Karena itu setiap maslahat atau manfaat yang tidak bisa dinikmati secara
40 Romli SA.” Konsep Maslahat dan Kedudukannya dalam pembinaan Tasyri’” hal 77 41 Said Ramadhan Al-Buthy, “Dhawaabith al-Maslahah,” Cet V, ( Daar al-Muttahidah
1990) hal.45
22
material tidaklah disebut sebagai maslahat. Sejak jaman dulu semua orang
mengerti bahwa riba itu tidak dilegalkan oleh agama. Tapi setelah mereka tahu
bahwa ternyata riba mendatangkan keuntungan (kemaslahatan material), maka
akhirnya mereka membolehkan riba demi untuk memenuhi kebutuhan jasmani
yang bersifat material.
Ketiga : Norma maslahat yang ditetapkan oleh agama merupakan dasar
pijakan bagi maslahat-maslahat lainnya. Semua maslahat harus menginduk pada
norma agama. Dan apabila pertentangan antara suatu kemaslahatan (baca:
maslahat yang mutlak) dengan kemaslahatan agama, maka maslahat agama harus
didahulukan demi menjaga dan melestarikan eksistensi agama. Pertentangan
dimaksud tentunya berupa pertentangan antar norma. Norma atau nilai yang
terdapat dalam maslahat agama berorentasi pada pandangan-pandangan yang telah
digariskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedang norma kemaslahatan non
agama tentu terlepas dari pandangan-pandangan keagamaan.
Selanjutnya, Abdul Karim Zaidan42 menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan maslahat adalah :
المصلحة هي جلب المنفعة و دفع المضرة, أي : المفسدة
Artinya : Maslahat adalah meraih manfaat dan menolak kemudharatan atau
kerusakan.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwasanya yang termasuk kategori
maslahat apabila permasalahan itu memberi sebuah kemanfaatan atau untuk
menghilangkam kerusakan. Abdul Karim Zaidan43 menjelaskan bahwa dilihat dari
42 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 187 43 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 187
23
sisi positif/keharusan adanya kemaslahatan ( إيجابي ) yaitu keharusan terwujudnya
manfaat, sedangkan dari sisi negatif/keharusan peniadaan atau penolakan
kerusakan ( سلبي ) yaitu menghilangkan dan menghindarkan kerusakan.
Senada dengan itu, al-Ghazali44 menjelaskan pula bahwa yang dimaksud
dengan Maslahat ialah memelihara maksud atau tujuan syara’ dalam pengertian
meraih manfaat dan menolak kerusakan. Lebih jelasnya dia berkata : " yang saya
maksudkan bukan maslahat zhahir yaitu menarik suatu manfaat dan menolak
kemudharatan, karena itu merupakan tujuan seluruh manusia dalam mencapai apa
yang mereka inginkan, akan tetapi yang saya maksudkan dengan maslahat adalah
menjaga tujuan syariat. Adapun tujuan syariat ada lima, menjaga agama
menjaga ,(حفظ العقل) menjaga akal ,(حفظ النفس) menjaga jiwa ,(حفظ الدين)
keturunan (حفظ النسل), dan menjaga harta (حفظ المال). Dari sini, maka segala
sesuatu yang mengandung penjagaan terhadap lima asas tersebut disebut
maslahat, sebaliknya segala sesuatu yang menghilangkan lima prinsip dasar
syariat ini disebut mudharat dan menolaknya merupakan kemaslahatan.45
Defenisi yang lebih rinci dikemukakan oleh Quthub Musthafa Sanu46
sebagai berikut :
المحافظة على مقصود الشرع المتمثل كل ما فيه منفعة و درع كل ما فيه مفسدة .
مقصود الشرع من الخلق عند اكثر العلماء األصول : أن يحفظ عليهم دينهم و نفو سهم و و
عقولهم و عرضهم و أموالهم, و هذه األمور الخمسة تعرف بالكليات الضروريات الخمس.
44 Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul”Juz 1, Cet I, ( Beirut-Lebanon : Resalah
Publishers ) 1997, hal 416 45 Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul” hal 417 46 Quthub Musthafa Sanu.”Mu’jam Musthalahat Ushul al-Fiqh” hal 415 (Dikutip oleh
Romli SA dalam “Konsep Maslahat dan Kedudukannya dalam pembinaan Tasyri’” hal 80)
24
Artinya : (Maslahat) ialah memelihara maksud syara’ yang terkait dengan
semua apa saja yang bermanfaat dan menghilangkan (menolak) segala apa saja
yang bisa menimbulkan kerusakan.
Maksud syara’ disini dikalangan Ulama Ushul adalah menyangkut
melindungi / memelihara kepentingan manusia baik yang berhubungan dengan
agama, jiwa, akal, kemuliaan / martabat dan harta mereka. Dan hal ini yang
kemudian dikenal dengan istilah lima kepentingan umum yang utama.
Dari beberapa arti dan pengertian yang telah disebutkan, dapat dipahami
bahwa setiap sesuatu, apa saja yang mengandung manfaat di dalamnya baik untuk
memperolah kemanfaatan kebaikan, maupun untuk menolak kemudharatan
(keburukan), maka semua itu disebut dengan Maslahat.47
3. Pembagian maslahat
Maslahat ditinjau dari segi maksud Syari’ terbagi menjadi 3 tingkatan :48
a. Maslahah al- Darûriyah
Maslahah al-darûriyah ialah suatu kemaslahatan yang harus terpenuhi
berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia didunia dan di akhirat.
Demikian penting kemaslahatan ini, apabila luput dalam kehidupan
manusia akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tatanan
kehidupan manusia, dan di akhirat hilangnya kemenangan, kenikmatan
(mendapat surga), malah kembali dengan kerugian (siksa neraka). Dan
dimaksud dengan Maslahah al-darûriyah : menjaga agama ( حفظ الدين),
menjaga jiwa ( ) menjaga akal,( حفظ النفس menjaga keturunan,( حفظ العقل
( ) dan menjaga harta ,( حفظ النسل Senada dengan apa yang .( حفظ المال
47 Romli SA,” Konsep Maslahat dan Kedudukannya dalam pembinaan Tasyri” hal 81 48 Abi Ishaq al-Syatibi, “Al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah” hal 265 - 267
25
diungkapkan oleh al-Ghazâlî,49 bahwa al-Usulul khomsa harus benar-
benar dijaga dalam tingkatan darûriyah yang mana ia adalah tingkatan
kemaslahatan yang paling kuat.
Ditambahkan oleh Abdul Karim Zaidan50 yang dimaksud dengan
tujuan syar’i ialah : pertama merealisasikan umat manusia untuk
mencapainya, kedua untuk menjaga keberlangsungannya, beliau
mencontohkan : agama (tujuan syariat mencapainya) iman dan rukun-
rukunnya, pokok-pokok ibadah seperti sholat, puasa , haji , zakat, ini
semua harus ada dan tercapai dalam kehidupan umat manusia, (sedangkan
tujuan syariat menjaga keberlangsungannya) menyeru kepada perkara-
perkara tersebut, mewajibkan jihad bagi yang ingin menghalangi atau
membatalkannya. Jiwa : dengan adanya pernikahan, (menjaga
keberlangsungannya) kewajiban makan dan minum dan mengharamkan
bunuh diri. Akal : dengan anugerah dari Allah swt kepada semua manusia
(menjaga keberlangsungannya) mengharamkan apa saja yang merusaknya
missalkan hal-hal yang memabukkan. Keturunan : dengan pernikahan
syar’i, (menjaga keberlangsungannya) mengharamkan Zina, dan
mengharamkan menggugurkan bayi bagi yang hamil kecuali dalam
keadaan darurat (menurut syar’i). Harta : dengan membolehkan
bermua’malah dan mewajibkan berusaha mendapatkannya (kerja),
(menjaga keberlangsungannya) mengharamkan mencuri, mengambilkan
hak orang lain secara zhalim.
49 Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul” hal 417 50 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 299 - 300
26
b. Maslahah al- Hâjiyah
Maslahah al-Hajiyah adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia
untuk menyempurnakan atau memberi kemudahan dalam kemaslahatan
pokok mereka dan menghilangakan kesulitan yang dihadapi. Jika tidak
dapat diwujudkan maka tidak sampai menghancurkan tatanan kehidupan
manusia akan tetapi dapat mendatangkan kesusahan, kesulitan dan
kesempitan. Contoh dalam ibadah ada yang disebut dengan rukhsoh
(keringanan). Menurut al-Ghazâlî51 maslahah al-hajiyah adalah
kemaslahatan hidup manusia yang tidak pada tingkat pokok (darûri).
Bentuk kemaslahatannya tidak langsung bagi pemenuhan kebutuhan
pokok yang lima, tetapi secara tidak langsung menuju kearah yang sama
seperti dalam memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup
manusia, apabila tidak dipenuhi maka tidak sampai secara langsung
menyebabkan rusaknya lima unsur pokok itu.
Sesuai dengan firman Allah swt :
) : ١٨٥البقرة) Artinya : (Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. bersyukur. (Q.S Al-Baqarah : 185 )
c. Maslahah al-Tahsîniyah
Maslahah al-tahsîniyah adalah mempergunakan semua yang layak dan
pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik, dan menjauhi
keadaan-keadaan yang tidak pantas, dan ini mencakup dalam wilayah budi
51 Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul” hal 418
27
pekerti yang baik (Makarimul Akhlaq), ditambahkan oleh Abdul Karim
Zaidan52 ” kalaupun ini tidak dapat direalisasikan, tidaklah akan merusak
sendi tatanan kehidupan manusia atau mendatangkan kesulitan, kesusahan
bagi umat manusia, melainkan menjadikan kehidupan mereka menyelisihi
kemuliaan dan budi pekerti yang baik. Contohnya dalam ibadah : syariat
memerintahkan menutup aurat, memakai pakaian yang indah ketika pergi
ke masjid, dalam mua’malah : melarang jual-beli barang najis/kotor,
melarang berlebih-lebihan, dalam adab : adab makan dan minum, makan
dengan menggunakan tangan kanan, dalam hukuman : melarang
membunuh wanita dan anak-anak ketika dalam perang.
Kemudian maslahah yang ditinjau dari segi eksistensinya/pandangan syariat dan
ada tidaknya dalil yang langsung mengaturnya, maslahah ini dibagi menjadi tiga
macam:53
1. Maslahah al-Mu'tabarah adalah suatu kemaslahtan yang dijelaskan dan
diakui keberadaannya secara langsung oleh nash . Untuk memelihara dan
mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia, seperti menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Syariat Islam telah mewajibkan berjihad
untuk menjaga agama :
52 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 301 53 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 187
28
Artinya “Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu
adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu,
Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui. (Q.S Al-Baqarah :216 )
Syariat Islam juga mewajibkan qisas untuk menjaga keselamatan jiwa :
Artinya “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas54
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi
ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”
(Q. S. Al-Baqarah : 178)
Syariat Islam juga mengharamkan minuman keras dan memberlakukan
hukuman bagi pemabuk untuk menjaga kesehatan akalnya :
54 Qisas ialah hukuman yang semisal dengan kejahatan yang dilakukan atas diri manusia.
Misalkan menghilangkan jiwa seseorang (membunuh) dibalas dengan jiwanya (dibunuh).
29
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah
adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan” ( Q.S. Al-Maidah : 90 )
Demikian pula untuk untuk memelihara kehormatan manusia, Islam
melarang melakukan qazaf55 dan zina. Misalnya larangan zina ditemukan dalam
surat Al-Isra’ ayat 32:
Artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”
Untuk memelihara dan menjamin keamanan kepemilikan harta, Islam
menetapkan hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian :
Artinya “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
( Q.S. Al-Maidah : 38 )
Atas dasar inilah maka Maslahah al-Mu'tabarah yang diakui
keberadannya menurut syariat maka ia sebagai hujjah/dalil, yang hasilnya
55 Qazaf : menuduh wanita baik-baik/muslimah dengan tuduhan berzinah tanpa disertai
bukti ( tuduhan palsu )
30
dikembalikan kepada Qiyas56, maka setiap kejadian/permasalahan yang tidak
adanya nash tentang hukum hal itu, akan tetapi permasalahan tersebut sama
illat57nya dengan permasalahan yang ada nash dan telah ditetapkan hukumnya
dalam syariat, maka hukum permasalahan tadi dihukumi dengan hukum yang
sama, dikarenakan memiliki illat yang sama.58 Contohnya : diharamkan minum
khomr atas dasar memabukkan, jadi setiap apa saja baik itu berupa minuman atau
makanan yang memabukkan, maka makanan dan minuman tadi diharamkan. Ini
diqiyaskan kepada khomr.
2. Maslahah Al-Mulghâh
Maslahah al-mulghâh adalah suatu kemaslahatan yang bertentangan
dengan ketentuan nash yang ada. Karenanya, segala bentuk kemaslahatan
seperti ini tidak diakui keberadaannya oleh Syara’, contohnya :
menyamakan bagian anak perempuan dengan anak laki-laki dalam hal
warisan, jelas ini bertentangan dengan nash yang telah ditetapkan dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11 :
Artinya “Allah mensyari'atkan ( mewajibkan) bagimu tentang (pembagian
warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagaian dua orang anak perempuan59 “
Contoh lain, dalam menentukan kafarat orang yang melakukan hubungan
suami-istri dengan sengaja pada siang hari bulan ramadhan. Berdasarkan
56 Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul” hal 415 57 Sesuatu yang menjadi dasar dibangunnya suatu hukum Syar’i 58 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 187 59 Bagian laki-laki dua kali dari bagian perempuan karena kewajiban laki-laki lebih berat
dari perempuan,seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah ( lihat Q.S An-Nisa
ayat 34)
31
hadîts Nabi, orang yang melakukan demikian maka kafaratnya adalah
memerdekakan budak, jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan
berturut jika masih belum mampu juga memberi makan 60 orang fakir
miskin. Dan dalam kasus ini jumhur ulama mengatakan hukum kafaratnya
sesuai urutan ketentuan yang disebutkan dalam hadits60. Dan ini terjadi
ada orang yang melakukan hubungan suami istri dengan sengaja pada
siang bulan ramadhan, Mengingat orang ini adalah raja / penguasa, maka
ulama menetapkan kafarat bagi penguasa ini berpuasa 2 bulan berturut-
turut. Ketentuan ini dengan pertimbangan apabila kafaratnya
memerdekakan budak tentu ia dapat membayar dengan mudah karena
banyak hartanya dan kembali melakukan pelanggaran dengan mudah pula.
Atas dasar kemaslahatan inilah mewajibkan baginya puasa untuk
mencegahnya mengulangi perbuatannya, dan jelas ini adalah pendapat
yang keliru, karena menyelisihi Nash yang ada. Dan jika ini dibiarkan
maka akan mengubah semua ketentuan/batasan-batasan yang telah
ditetapkan dalam syariat dan Nash yang ada, disebabkan oleh perubahan
keadaan.61
3. Maslahah Al-Mursalah
Maslahah Al-Mursalah ialah maslahah yang tidak ada dalil/nash hukum
dari Syariat yang mengingkarinya atau pun yang mengakuinya.
Dikalangan para ulama ushul juga disebut dengan al-Istislah62., Ia
60 Abdullah bin Abdurrahman A~li Bassam. “Taysiir al-A’lam Syarhu Umdatul Ahkam”.
Juz I (Maktabah Imam Al-Wadi’I : Sana’a/Yaman) 2009 , hal 314-316 61 Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul” hal 416 62 Romli SA,” Konsep Maslahat dan Kedudukannya dalam pembinaan Tasyri’ hal 85
32
dikatakan maslahah karena mendatangkan kebaikan dan menolak
keburukan, dan dikatakan mursalah, kerana tiada dalil khas dari Syariat
yang mengakuinya atau yang mengingkarinya.
Tujuan umum pembentukan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan umat manusia, disatu pihak, kemaslahatan manusia itu
secara faktual terus berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan
manusia itu sendiri dan laju modernisasi di segala lapangan kehidupan.
Sementara di pihak lain, nash-nash hukum baik dari Al-Qur’an maupun
as-Sunnah terbatas, sehingga tidak mungkin lagi kemaslahatan manusia
yang tidak terbatas itu secara lahir seluruhnya ada ketentuan hukumnya.
Oleh karena itu tidak jarang didapati kasus-kasus yang tidak diketahui
status hukumnya baik dari nash Al-Qur’an, as-Sunah maupun Ijma’, untuk
menempuh jalan qiyas erat sekali hubungannya dengan nash dan
senantiasa terikat dengan ketentuan-ketentuan yang tidak mudah dipenuhi,
padahal kasus-kasus tersebut membutuhkan pemecahan dengan segera.
jika kasus-kasus yang tidak terselesaikan dengan dalil-dalil tersebut di atas
dibiarkan begitu saja tanpa adanya penyelesaian seterusnya, niscaya
pembentukan hukum hanya akan terkunci dan kemaslahatan manusia yang
dibutuhkan di setiap masa dan tempat menjadi terabaikan. Berarti
pembentukan hukum tidak memperhatikan kemaslahatan manusia, hal
tersebut tidaklah sesuai dengan maksud dan tujuan Syariat yang selalu
ingin mewujudkan kemaslahatan manusia.
33
Oleh karena itu dasar menjadikan Maslahah Al-Mursalah sebagai hukum
Islam adalah penelitian terhadap nash-nash, baik dari Al-Qur’an maupun
as-Sunnah telah membuktikan bahwa semua hukum Islam yang ditetapkan
oleh Allah dan RasulNya atas hambanya, baik dalam bentuk perintah
maupun larangan, pastilah mengandung kebaikan, manfaat, serta faedah
yang nyata bagi kehidupan manusia dan tidak ada satupun hukum syara’
yang sepi dari kemaslahatan, manfaat atau faedah tersebut. Meskipun bagi
sebagian orang yang tidak cakap atau yang memiliki akal pikiran yang
kotor, hukum syara’ tersebut dirasakan tidak membuahkan kemaslahatan,
akan tetapi bagi orang yang cerdas yang memiliki akal pikirannya yang
bersih tentunya dapat menemukan dan merasakan kemaslahatan dan
manfaat serta faedah yang nyata dari hukum syara’ tersebut dalam
kehidupannya.63
Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa Maslahah Al-Mursalah adalah suatu
kemaslahatan atau kejadian yang mana tidak terdapat dalam Nash-Nash
Syar’i yang menetapkan hukumnya dan tidak ada pula illat yang menjadi
dasar syar’i untuk menetapkan suatu hukum, tetapi kemaslahatan ini atau
kejadian ini mengandung suatu kebaikan atau mendatangkan suatu
manfaat.
B. MASLAHATUL AL-MURSALAH SEBAGAI LANDASAN
HUKUM.
63 Muhammad Abu Zahra, Ushul Al-Fiqh, hal 277
34
Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama, sesungguhnya semua praktik
kegiatan seputar peribadatan tidak akan menjadikan Maslahah Al-Mursalah
sebagai sumber untuk menetapkan hukum. Dikarenakan semua urusan seputar
peribadatan berdasarkan ketentuan dalil/Nash yang telah ditetapkan oleh syariat.
Lain halnya jika dalam praktik dalam hal mua’malah, para ulama berbeda
pendapat tentang Maslahah Al-Mursalah dijadikan sumber atau landasan untuk
menetapkan suatu hukum syar’i. dapat kita klasifikasikan menjadi 2 pendapat64 :
1. Yang menolak Maslahah Al-Mursalah sebagai sumber hukum adalah
ulama Mazhab Az-Zhahiriyah, mereka menolak Qiyas sebagai sumber
penetapan hukum, maka begitu pula mereka menolak Maslahah Al-
Mursalah.
Ulama Mazhab Syafi’iyah dan Mazhab Hanafiyah mereka juga
menolak Maslahah Al-Mursalah sebagai landasan hukum, akan tetapi
banyak ditemukan dalam menentukan ijtihad/pendapat hukum fiqih
dalam mazhab mereka berdasarkan dan dilandasi oleh maslahat.
2. Yang menerima Maslahah Al-Mursalah sebagai landasan hukum serta
menetapkan dan mengakuinya sebagai salah satu dari sumber tasyri’(
penetapan hukum syariat) adalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin
Hambal. Dan adapula dari golongan ulama yang membolehkan
Maslahah Al-Mursalah sebagai landasan hukum dengan syarat
64 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 188
35
maslahat tersebut harus memiliki sifat : al-darûriyah, Qat’iyah65,
kulliyah66. diantaranya Al-Ghazali67.
Perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para ulama seputar boleh
tidaknya menjadikan Maslahah Al-Mursalah sebagai salah satu dari sumber
tasyri’, tidak terlepas dari perbedaan hujjah/dalil yang mereka yakini.
a. Hujjah/dalil pendapat ulama yang menolak Maslahah Al-Mursalah68
1. Sesungguhnya Syariat Islam yang agung, telah mensyariatkan kepada
umat manusia apa-apa yang akan mewujudkan semua kamaslahatan
mereka, dan tidak mungkin terjadi atau sesuatu yang tertinggal dari
sebuah kemaslahatan kecuali telah disyariatkan ketentuannya.
Menetapkan hukum syariat berdasarkan maslahah mursalah berarti
menganggap syari’at Islam meninggalkan suatu kemaslahatan yang
belum terselesaikan ketentuan dan hukumnya, Hal ini bertentangan
dengan firman Allah yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu
saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Q.S. Al-Qiyamah : 36)
2. Maslahah Al-Mursalah menimbulkan keraguan didalamnya
dikarenakan ia terletak diantara Maslahah al-Mu'tabarah dan Maslahah
al-mulghâh. dan tidaklah ia disamakan dengan Maslahah al-
Mu'tabarah lebih utama, daripada disamakan dengan Maslahah al-
65 . Perkara yang sudah pasti jelas bukan prasangka atau hanya persepsi semata. 66 . bersifat menyeluruh bukan sebagian. 67. Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul” hal 421 68 . Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 189
36
mulghâh. Jika kemaslahatan itu tidak memiliki dalil/nash yang
mengakuinya dengan sendirinya termasuk dalam kemaslahatan yang
ditolak.
3. Pembentukan hukum syara’ berdasarkan Maslahah Al-Mursalah berarti
membiarkan orang-orang bodoh untuk menentukan hukum dalam
syariat, maka akan terjadi ketidak jelasan dalam hukum syariat itu
sendiri, demikian juga membuka pintu hawa nafsu para pemimpin,
atau para hakim untuk menetapkan hukum Islam menurut selaranya
atau kemauannya sendiri dengan alasan kemaslahatan.
b. Hujjah/dalil pendapat ulama yang menerima Maslahah Al-Mursalah69
1. Sesungguhnya syariat Islam bertujuan untuk merealisasikan
kemaslahatan bagi umat manusia, sesuai dengan apa yang ada pada
nash-nash/hukum-hukum syariat, maka menerima Maslahah Al-
Mursalah sebagai metode menetapkan hukum tidaklah menyalahi tabiat
dasar syariat (merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia).
2. Sesungguhnya kemaslahatan pada kehidupan manusia akan selalu
berjalan mengikuti gerak zaman oleh karena itu kemaslahatan manusia
juga akan berganti dan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi
yang melingkupinya. Apabila syariat Islam hanya dibatasi pada hukum-
hukum yang sudah ada saja, padahal problematika dan kemaslahatan
selalu muncul dan berkembang, maka akan membawa kesulitan bagi
umat manusia.
69 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 190
37
3. Para Mujtahid dikalangan para sahabat dan orang2 yang datang setelah
mereka, para tabi’in menjadiakan pendapat dari ijtihad mereka adalah
keberlangsungan akan kemaslahatan bagi umat manusia. Yang tidak
lain hal ini menjadikan kemaslahatan sebagai landasan penetepan suatu
hukum dalam syariat.
C. SYARAT-SYARAT PENERAPAN MASLAHAH
Walaupun terdapat perbedaan dalam menetapkan Maslahah Al-Mursalah
sebagai salah satu dari adillatul ahkam, akan tetapi para ulama mazhab maliki
yang menerima Maslahah Al-Mursalah sebagai salah satu sumber penetapan
hukum, tetap memberikan beberapa syarat suatu kemaslahatan termasuk dalam
Maslahah Al-Mursalah diantaranya:70
1. Bentuk mashlahah tersebut harus selaras dengan tujuan-tujuan syari’at,
yakni bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip dasarnya, dan juga tidak menabrak garis ketentuan nash atau
dalil-dalil yang qath’i. Baik dari Al-Qur’an, hadits atau Ijma’, dengan
kata lain bahwa kemashlahatan tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan
syari’at yaitu mendatangkan manfaat dan menolak bahaya, dan juga
merupakan bagian keumumannya, maka tidak sah menganggap suatu
kemaslahatan yang menuntut persamaan hak waris antara hak laki-laki
dan perempuan. Kemaslahatan semacam ini sia-sia karena
bertentangan dengan nash Al-Qur’an.
70 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 191
38
2. Kemashlahatan tersebut adalah kemashlatan yang rasional, maksudnya
secara rasional/bisa diterima oleh akal manusia, bukan suatu hal yang
mustahil sehingga terdapat peruntutan wujud kemashlahatan terhadap
penerapan hukum.
3. Kemaslahatan itu harus dilakukan untuk menjaga perkara al-
Darûriyah. Baik dalam perkara primer maupun kebutuhan yang
sifatnya sekunder, dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi,
Dengan pengertian seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu
tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.
4. maslahah itu harus memiliki hakikat/ada manfaat yang jelas , bukan
khayalan semu, bukan hanya semata-mata dugaan, atau prediksi yang
kosong belakang. Dengan hanya mempertimbangkan adanya
kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkannya.
misalnya yang anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan talak itu
berada di tangan wanita bukan lagi ditangan pria adalah maslahat yang
palsu.
5. mashlahah yang menjadi acuan penetapan hukum haruslah bersifat umum
atau universal , bukan bersifat khusus, kepentingan individu atau kelompok
tertentu. Hukum tidak di tetapkan demi kemaslahatan khusus para
pimpinan atau pembesar saja, Kemaslahatan itu harus untuk mayoritas
umat. contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah
orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang
membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang
39
membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka
akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum
muslimin memerangi orang Islam yang membentengi orang kafir maka
tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi
orang kafir tersebut. Demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin
seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh
mereka.
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada dasarnya Yusuf Qaradhawi tidak secara mutlaq menolak asuransi,
dikarenakan ide dan tujuan dari asuransi tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariat, akan tetapi yang menjadi penolakannya ialah praktik kerja dan
sistem yang terdapat didalamnya yang sangat jauh dari aturan yang telah
ditetapkan dalam syariat, hal inilah yang menjadikan asuransi haram bagi umat
Islam, tetapi karena kebutuhan dan kemaslahatannya sangat besar maka harus
dicari penggantinya, jika tidak ada minimal menggubah praktik dan sistem dalam
asuransi kedalam aturan yang sesuai ajaran Islam. Oleh karena itu metode yang
digunakan oleh Yusuf Qaradhawi dalam menentukan hukum perasuransian adalah
berpegang pada prinsip bahwa dalil (nas) kulli (berlaku umum) selama tidak ada
40
petunjuk bahwa dalil itu berlaku khusus, serta mempertimbangkan akan tujuan
dan kemanfaatannya dengan menggunakan analogi atau pemikiran yang benar
tanpa didasari hawa nafsu, dan juga selama maslahat tersebut tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariat yang Qath’i.
Sedangkan pendapat Yusuf Qaradhawi terhadap asuransi yang
berkembang saat ini tidak diperbolehkan jika dalam praktiknya terdapat unsur
ketidakjelasan, riba, penipuan dan kezhaliman. Lain halnya dengan asuransi
Syariah, semua produk dan jenis asuransi yang ditawarkan (pendidikan,
kesehatan, kerugian materi dll), termasuk asuransi jiwa walaupun diharamkan,
tetapi karena alasan ataupun dalil yang digunakan tidak dijelaskan secara
terperinci dan juga bertolak belakang dengan metode penetapan hukum yang
menjadi landasannya dalam mengambil kesimpulan, belum lagi ini sudah masuk
dalam kategori maslahah al-hajiyat/kemaslahatan untuk menghilangkan
kesusahan atau meringankan beban, maka semua produk asuransi syariah dapat
disesuaikan dengan pendapat Yusuf Qaradhawi, jika dalam praktiknya konsep
yang digunakan adalah sebagai mitra usaha (investasi modal), akad at-
ta’awuni/tabarru’ (tolong-menolong), atau akad ( عُ بَِشْرِط اْلِعَوِض (التَبَرُّ
“sumbangan untuk mendapatkan ganti”.
SARAN
Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan adalah pertama : kepada
lembaga-lembaga atau perusahaan-perusahan asuransi harus menerapkan konsep
dan sistem yang benar-benar sesuai dengan aturan syariat, sehingga umat tidak
41
ragu-ragu untuk berpartisipasi didalamnya., Kedua : ajakan dan anjuran kepada
setiap umat muslim untuk lebih berhati-hati dalam berasuransi, kalau pun harus
berpartisipasi didalamnya hendaklah dipelajari betul sistem dan konsep pada
perusahaan asuransi tersebut, dan pilihlah perusahaan asuransi yang benar-benar
menerapkan sistem dan aturan syariat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Perwataatmadja, Karnaen, Membumikan Ekonomi Islam, (Usaha kami:Depok),
1996.
Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam; Suatu Tinjauan
Analisis Historis, Teorirtis, dan Praktis, Jakarta : Prenada Media, 2004, Ed.
1, Cet. 1
Ali Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. “Taysiirul A’lam Syarhu Umdatul
Ahkam”. Juz I , Maktabah Imam Al-Wadi’I : Sana’a/Yaman, 2009
Ali, Zainuddin, Hukum Asuransi Syariah (Sinar Grafika:Jakarta), 2008.
Azmar, Saifuddin “ Metode Penelitian “,Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1999.cet II.
Al - Buthy, Said Ramadhan, “Dhawaabith al-Maslahah,” Cet V, Daar al-
Muttahidah, 1990 .
Dahlan, Abdul Aziz, (ed.), “Al-Qaradawi, Yusuf, Einsklopedi Hukum Islam,
(Jakarta: PT. Ichitiar Baru Van Hoeve, 2006).Jilid 5, cet. Ke-7
42
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung : PT Syaamil
Cipta Media, 2005.
Departemen Pendidikan Nasional, “Kamus Umum Bahasa Indonesia” edisi ketiga,
Penerbit PT Balai Pustaka (Persero), 2011
Diah susanti, Deasita. Thesis “Tinjauan Yuridis terhadap pelaksanaan perjanjian
asuransi jiwa syariah pada PT.Asuransi Takaful keluarga” Universitas
Indonesia.
Fatawa Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmiah Dan Fatwa 15/268-269 , Hukum
Asuransi Dalam Islam,Terj. Muhammad Iqbal A.qhazali, 2010.
Al - Ghazali, Muhammad, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul”Juz 1, Cet I, Beirut-
Lebanon : Resalah Publisher, 1997.
Hadi, Sutrisno, “Metodologi Research”, Yogyakarta : Andi Offset, 1990.
Hafidhuddin, Didin, dan Masyhuril Khamis., “Takaful dan Kemajuan Umat”,
Republika 16 Januari 2001.
Ibnu Katsir , Imaduddin Abi al-Fida’ Ismail, “Tafsir al-Qur’an al-Adzim” Dar al-
Afaq al-Arabiyah : Al-Qahirah, Mesir ,2006, jilid I
Ismanto, Kuat. Thesis “Studi asas hukum Islam tentang asuransi “UIN Sunan
Kalijaga.
Al- Juwainy, Abdul Malik. “ Syarhul Waraqa t”, Beirut – Lebanon :
Muassasah al-kutubu as-saqafiyah ( tanpa tahun terbit).
Kasmir, Bank dan Lembaga keuangan Lainnya, (Jakarta: Rajawali Press), 2008
43
Al - Khallaf , Abdul Wahab. “ Kaidah-Kaidah Hukum Islam : ( Ilmu Ushulul
Fiqh)”, Terj. Noer Iskandar al-barsany, Moh.Tolchah Mansoer, Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada, 2000, Cet 7.
Mannan,Muhammad Abdul., “Teori dan Praktek Ekonomi Islam “, Yogyakarta :
Dana Bakti Prima Yasa, 1997.
Muslehuddin, Muhammad “Insurence In Islamic Law”, Alih Bahasa Wardana,
Jakarta : Bumi Aksara, 1995 , Cet.I
An-Nawawi, Muhyiddin, , “al-Minhaj Syarhu Shohih Muslim”,( Dar al-Marefah :
Beirut/Lebanon ) Cet 15, jilid 11-12
An-Nawawi, Muhyiddin, “Syarhu Hadist Arbain An-Nawawi ”,( Dar Ibnu hazem :
Beirut/Lebanon ), 1997.
Nazir, Moh.”Metode Penelitian”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Cet. III.
Qaradhawi, Yusuf. “Al-Halal wa Al- Haram Fil Islam” Darul Baydho – Mesir :
Darul Ma’rifah, 1985.
Qaradhawi, Yusuf. “Hukum Zakat” terj. Salman Harun, Didin
Hafidhuddin,Hasanuddin. Jakarta : PT Pustaka Litera AntarNusa, 2004,
Cet VII
Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, ( Jakarta: Zikrul
Hakim)
SA, Ramli. “Konsep Maslahat dan kedudukannya dalam pembinaan Tasyri”
(Palembang : Rafah Press 2010) .
Sabiq, Sayyid. “ Fiqhus Sunnah”. Beirut - Lebanon : Resalah Publishers, 2008.
Cet.I
44
Sudarsono, Heri.“Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,( Yogyakarta: Ekonisia ).
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, ( Jakarta : PT Rajagrafindo Persada )
Sula, Muhammad Syakir. “Asuransi Syariah (Life and General) Konsep Dan
Sistem Operasional”. Jakarta: Gema Insani. 2004.
Sumitro, Warkum. “Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga terkait (
BMI dan Takaful ) Di Indonesia”. Jakarta : Raja Grafindo Persada,2002.
Cet III
Suryabrata, Suryadi. “Metodologi Penelitian” Jakarta: Raja Grafindo
Persada,1998.
Al- Syatibi, Abi Ishaq. “Al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah” , Darul Hadist : Al-
Qahirah/Mesir, 2006, Juz 2
Talimah, Ishom, “Manhaj Fikih Yusuf Qaradhawi”, Terj.Samson Rahman, Jakarta
: Pustaka Al-Kautsar, 2001
Training & Development Department, Basic Training Modul 2002, (Training &
Development Department Asuransi Syariah Takaful:Jakarta),2002.
Triandaru, Sigit dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain,
( Jakarta: Salemba Empat ).
Verawaty, SITHA P.N., Nyanyu, Tesis “Penerapan prinsip Mudharabah pada
Asuransi Syariah :: Studi kasus pada Asuransi Takaful cabang Palembang”
Wahid, Ahmad Bunyan. Thesis “ Asuransi dalam pandangan Muhamadiyah dan
Nahdatul Ulama” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
45
Wahyuningsih, Sri. Thesis “Asuransi Syariah sebagai lembaga keuangan umat :
Suatu tinjauan terhadap keberadaan asuransi Syariah menurut UU NO.2
Tahun 1992 tentang usaha perasuransian”. IAIN Raden Fatah Palembang.
Wirdyaningsih,dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, ( Jakarta : Kencana
Prenada Media ).
Zahrah, Abu Muhammad, “ Ushul Al-Fiqh “ ( Kairo-Mesir : Dar Al-Fikr Al-
Arabi 1985).
Zaidan, Abdul Karim, “ Mudhal Liddirasaty Syariah Islamiyah “, beirut-lebanon :
Resalah Publishers, 2009, Cet. I.
Zaidan, Abdul Karim, “al-Wajiz Fi Syarhi al-Qawaidul al-Fiqhiyah”, Resalah
Publishers : Beirut/Lebanon, 2006, Cet I
Zaidan, Abdul Karim, “Al-Wajiz Fi Usulil Fiqh “, beirut-lebanon : Resalah
Publishers, 2009, Cet.I.
(( Internet ))
Aji, “Definisi dan Fungsi Asuransi”, Asuransi Mobil, diakses dari
http://www.asuransi-mobil.com/asuransi-definisi.htm pada tanggal 12
September 2015 Jam 23:08.
http://www.asuransi.dkt-news.com/2014/08/sejarah-asuransi.html diakses pada
tanggal 30 September 2015.
http://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/asuransi-jiwa-murni-al-khairat/
diakses tanggal 30 september 2015.
http://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/asuransi-jiwa-falah/ diakses
tanggal 30 september 2015. http://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/asuransi-dana-pendidikan-fulnadi/
diakses tanggal 30 september 2015.
http///:Wikipedia.com/biografi-Yusuf-Qaradawi/- diakses tanggal 26 Januari 2016
http://www.asuransi-mobil.com/asuransi-definisi.htmhttp://www.asuransi.dkt-news.com/2014/08/sejarah-asuransi.htmlhttp://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/asuransi-jiwa-murni-al-khairat/http://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/asuransi-jiwa-falah/http://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/asuransi-dana-pendidikan-fulnadi
46
http://www.dakwatuna.com/2010/01/25/5441/perasuransian-dan-hukum-asuransi-dalam-
islam-bagian-ke-1 diakses pada tanggal 09 November 2015. Jam 11:00
http://www.dakwatuna.com/2010/01/25/5441/perasuransian-dan-hukum-asuransi-dalam-islam-bagian-ke-1http://www.dakwatuna.com/2010/01/25/5441/perasuransian-dan-hukum-asuransi-dalam-islam-bagian-ke-1
SITHA P.N., Nyanyu Verawaty Dalam tesisnya “Penerapan prinsip Mudharabah pada Asuransi Syariah : Studi kasus pada Asuransi Takaful cabang Palembang” menjelaskan bahwa penerapan prinsip mudharabah pada PT Asuransi Takaful Cabang Palembang sudah sesuai...C. SYARAT-SYARAT PENERAPAN MASLAHAHWalaupun terdapat perbedaan dalam menetapkan Maslahah Al-Mursalah sebagai salah satu dari adillatul ahkam, akan tetapi para ulama mazhab maliki yang menerima Maslahah Al-Mursalah sebagai salah satu sumber penetapan hukum, tetap memberikan beberapa sy...1. Bentuk mashlahah tersebut harus selaras dengan tujuan-tujuan syari’at, yakni bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasarnya, dan juga tidak menabrak garis ketentuan nash atau dalil-dalil yang qath’i. Baik dari Al-Qur...2. Kemashlahatan tersebut adalah kemashlatan yang rasional, maksudnya secara rasional/bisa diterima oleh akal manusia, bukan suatu hal yang mustahil sehingga terdapat peruntutan wujud kemashlahatan terhadap penerapan hukum.3. Kemaslahatan itu harus dilakukan untuk menjaga perkara al- Darûriyah. Baik dalam perkara primer maupun kebutuhan yang sifatnya sekunder, dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi, Dengan pengertian seandainya maslahat yang dapat diterima a...4. maslahah itu harus memiliki hakikat/ada manfaat yang jelas , bukan khayalan semu, bukan hanya semata-mata dugaan, atau prediksi yang kosong belakang. Dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbu...5. mashlahah yang menjadi acuan penetapan hukum haruslah bersifat umum atau universal , bukan bersifat khusus, kepentingan individu atau kelompok tertentu. Hukum tidak di tetapkan demi kemaslahatan khusus para pimpinan atau pembesar saja, Kemaslahata...