18
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketoasidosis Diabetikum merupakan komplikasi akut yang paling serius yang terjadi pada anak anak pada DM tipe 1, dan merupaka kondisi gawat darurat yang menimbulkan morbiditas dan mortalitas, walaupun telah banyak kemajuan yang diketahui baik dari patogenesisnya maupun dalam hal diagbosis dan tata laksananya. Diagnosis KAD didapatkan sekitar 16-80 % pada penderita anak baru dengan DM tipe 1, tergantung lokasi geografi. Di Eropa dan Amerika Utara angkanya berkisar 15-67 %, sedangkan di Indonesia dilaporkan antara 33-66 %. Prevalensi KAD di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 4,6 – 8 per 1000 penderita diabetes, dengan mortalitas kurang dari 5 % atau sekitar 2-5 %. KAD juga merupakan penyebab kematian tersering pada anak dan remaka dengan DM tipe 1, yang diperkirakan setengah dari penyebab kematian penderita DM di bawah usia 24 tahun. Sementara itu di Indonesia belum didapatkan angka yang pasri mengenai hal ini. Diagnosis dan tata laksana yang tepat sangat diperlukan dalam pengelolaan kasus-kasus KAD untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. 1

BAB I KAD

Embed Size (px)

DESCRIPTION

1

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketoasidosis Diabetikum merupakan komplikasi akut yang paling serius yang terjadi pada anak anak pada DM tipe 1, dan merupaka kondisi gawat darurat yang menimbulkan morbiditas dan mortalitas, walaupun telah banyak kemajuan yang diketahui baik dari patogenesisnya maupun dalam hal diagbosis dan tata laksananya. Diagnosis KAD didapatkan sekitar 16-80 % pada penderita anak baru dengan DM tipe 1, tergantung lokasi geografi. Di Eropa dan Amerika Utara angkanya berkisar 15-67 %, sedangkan di Indonesia dilaporkan antara 33-66 %.

Prevalensi KAD di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 4,6 8 per 1000 penderita diabetes, dengan mortalitas kurang dari 5 % atau sekitar 2-5 %. KAD juga merupakan penyebab kematian tersering pada anak dan remaka dengan DM tipe 1, yang diperkirakan setengah dari penyebab kematian penderita DM di bawah usia 24 tahun. Sementara itu di Indonesia belum didapatkan angka yang pasri mengenai hal ini. Diagnosis dan tata laksana yang tepat sangat diperlukan dalam pengelolaan kasus-kasus KAD untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.1.2. Tujuan

1. Tujuan Instruksional Umum

a. Terciptanya pengetahuan mahasiswa mengenai segala hal yang berkaitan dengan konsep gawat darurat penyakit KETOASIDOSIS DIABETIKUM.

2. Tujuan Instruksional Khusus

a. Mahasiswa mampu mengenali dan menyebutkan berbagai tanda dan macammacam klasifikasi dalam KETOASIDOSIS DIABETIKUM.

b. Mahasiswa dapat membuat tindakan perawatan dalam mengatasi atau memecahkan masalah KETOASIDOSIS DIABETIKUM.

BAB II

PEMBAHASAN2.1. Definisi

Keto Asidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relative. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresia osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan dapat sampai menyebabkan syok.

2.2. Etiologi

Terdapat pada orang yang diketahui diabetes oleh adanya stressor yang meningkatkan kebutuhan akan insulin, ini dapat terjadi jika diabetes tidak terkontrol karena ketidak mampuan untuk menjalani terapi yang telah ditentukan. Pencetus yang sering infeksi, stressor-stersor utama lain yang dapat mencetuskan diabetic ketoasidosis adalah pembedahan, trauma, terapi dengan steroid dan emosional.

2.3. Patofisiologi

Adanya defisiensi insulin baik secara relatif maupun absolut yang disertai peningkatan hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone, menyebabkan hiperglikemia disertai peningkatan lipolisis dan produksi keton, yakni: asetoasetat, -hidroksibutirat dan aseton yang merupakan asam kuat dan dapat menyebabkan asidosis metabolik. Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik yang mengakibatkan dehidrasi dan kehilangan mineral dan elektrolit.

2.4. Pathway

2.5. Manifestasi Klinis

1. Poliuria

2. Polidipsi

3. Pengelihatan kabur

4. Lemah

5. Sakit kepala

6. Hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau > pada saat berdiri)

7. Anoreksia

8. Mual

9. Muntah

10. Nyeri abdomen

11. Nafas aseton

12. Hiperventilasi

13. Perubahan status mental (sadar, letargik, koma)

14. Kadar gula darah tinggi (> 240 mg/dl)

15. Terdapat keton di urin

16. Nafas berbau aseton

17. Badan lemas

18. Bisa terjadi ileus sekunder akibat hilangnya K+ karena diuresis osmotik

19. Kulit kering

20. Keringat 48 jam.f. Bila corrected Na < 125 mmol/L atau cenderung menurun lakukan koreksi dengan NaCl dan evaluasi kecepatan hidrasi.g. Kondisi hiponatremia mengindikasikan overhidrasi dan meningkatkan risiko edema serebri.E. Penggantian Kalium

Pada saat asidosis terjadi kehilangan Kalium dari dalam tubuh walaupun konsentrasi di dalam serum masih normal atau meningkat akibat berpindahnya Kalium intraseluler ke ekstraseluler. Konsentrasi Kalium serum akan segera turun dengan pemberian insulin dan asidosis teratasi.

a. Pemberian Kalium dapat dimulai bila telah dilakukan pemberian cairan resusitasi, dan pemberian insulin. Dosis yang diberikan adalah 5 mmol/kgBB/hari atau 40 mmol/L cairan.b. Pada keadaan gagal ginjal atau anuria, pemberian Kalium harus ditunda.

F. Penggantian Bikarbonat

a. Bikarbonat sebaiknya tidak diberikan pada awal resusitasi.

b. Terapi bikarbonat berpotensi menimbulkan:

Terjadinya asidosis cerebral.

Hipokalemia.

Excessive osmolar load.

Hipoksia jaringan.

Terapi bikarbonat diindikasikan hanya pada asidossis berat (pH < 7 dengan bikarbonat serum < 5 mmol/L) sesudah dilakukan rehidrasi awal, dan pada syok yang persistent. Jika diperlukan dapat diberikan 1-2 mmol/kg BB dengan pengenceran dalam waktu 1 jam, atau dengan rumus: 1/3 x (defisit basa x KgBB). Cukup diberikan dari kebutuhan.

G. Pemberian Insulin

a. Insulin hanya dapat diberikan setelah syok teratasi dengan cairan resusitasi.

b. Insulin yang digunakan adalah jenis Short acting/Rapid Insulin (RI).

c. Dalam 60-90 menit awal hidrasi, dapat terjadi penurunan kadar gula darah walaupun insulin belum diberikan.

d. Dosis yang digunakan adalah 0,1 unit/kg BB/jam atau 0,05 unit/kg BB/jam pada anak < 2 tahun.

e. Pemberian insulin sebaiknya dalam syringe pump dengan pengenceran 0,1 unit/ml atau bila tidak ada syringe pump dapat dilakukan dengan microburet (50 unit dalam 500 mL NS), terpisah dari cairan rumatan/hidrasi.

f. Penurunan kadar glukosa darah (KGD) yang diharapkan adalah 70-100 mg/dL/jam.

g. Bila KGD mencapai 200-300 mg/dL, ganti cairan rumatan dengan D5 . Salin.

h. Kadar glukosa darah yang diharapkan adalah 150-250 mg/Dl (target).

i. Bila KGD < 150 mg/dL atau penurunannya terlalu cepat, ganti cairan dengan D10 . Salin.

j. Bila KGD tetap dibawah target turunkan kecepatan insulin.

k. Jangan menghentikan insulin atau mengurangi sampai < 0,05 unit/kg BB/jam.

l. Pemberian insulin kontinyu dan pemberian glukosa tetap diperlukan untuk menghentikan ketosis dan merangsang anabolisme.

m. Pada saat tidak terjadi perbaikan klinis/laboratoris, lakukan penilaian ulang kondisi penderita, pemberian insulin, pertimbangkan penyebab kegagalan respon pemberian insulin.

n. Pada kasus tidak didapatkan jalur IV, berikan insulin secara intramuskuler atau subkutan. Perfusi jaringan yang jelek akan menghambat absorpsi insulin.

H. Tatalaksana edema serebri

Terapi harus segera diberikan sesegera mungkin saat diagnosis edema serebri dibuat, meliputi:

a. Kurangi kecepatan infus.

b. Mannitol 0,25-1 g/kgBB diberikan intravena dalam 20 menit (keterlambatan pemberian akan kurang efektif).

c. Ulangi 2 jam kemudian dengan dosis yang sama bila tidak ada respon.

d. Bila perlu dilakukan intubasi dan pemasangan ventilator.

e. Pemeriksaan MRI atau CT-scan segera dilakukan bila kondisi stabil.

I. Fase Pemulihan

Setelah KAD teratasi, dalam fase pemulihan penderita dipersiapkan untuk: 1) Memulai diet per-oral. 2) Peralihan insulin drip menjadi subkutan.

a. Memulai diet per-oral.

1. Diet per-oral dapat diberikan bila anak stabil secara metabolik (KGD < 250 mg/dL, pH > 7,3, bikarbonat > 15 mmol/L), sadar dan tidak mual/muntah.

2. Saat memulai snack, kecepatan insulin basal dinaikkan menjadi 2x sampai 30 menit sesudah snack berakhir.

3. Bila anak dapat menghabiskan snacknya, bisa dimulai makanan utama.

4. Saat memulai makanan, kecepatan insulin basal dinaikkan menjadi 2x sampai 60 menit sesudah makan utama berakhir.

b. Menghentikan insulin intravena dan memulai subkutan.

1. Insulin iv bisa dihentikan bila keadaan umum anak baik, metabolisme stabil, dan anak dapat menghabiskan makanan utama.

2. Insulin subkutan harus diberikan 30 menit sebelum makan utama dan insulin iv diteruskan sampai total 90 menit sesudah insulin subkutan diberikan.

3. Diberikan short acting insulin setiap 6 jam, dengan dosis individual tergantung kadar gula darah. Total dosis yang dibutuhkan kurang lebih 1 unit/kg BB/hari atau disesuaikan dosis basal sebelumnya.

c. Dapat diawali dengan regimen 2/7 sebelum makan pagi, 2/7 sebelum makan siang, 2/7 sebelum makan malam, dan 1/7 sebelum snack menjelang tidur

2.8. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Glukosa.

Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian pasien mungkin memperlihatkan kadar gula darah yang lebih rendah dan sebagian lainnya mungkin memiliki kadar sampai setinggi 1000 mg/dl atau lebih yang biasanya bergantung pada derajat dehidrasi.

Harus disadari bahwa ketoasidosis diabetik tidak selalu berhubungan dengan kadar glukosa darah. Sebagian pasien dapat mengalami asidosis berat disertai kadar glukosa yang berkisar dari 100 200 mg/dl, sementara sebagian lainnya mungkin tidak memperlihatkan ketoasidosis diabetikum sekalipun kadar glukosa darahnya mencapai 400-500 mg/dl. Natrium.

Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang intravaskuler. Untuk setiap 100 mg / dL glukosa lebih dari 100 mg / dL, tingkat natrium serum diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat natrium serum meningkat dengan jumlah yang sesuai.

Kalium.

Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat dengan perawatan. EKG dapat digunakan untuk menilai efek jantung ekstrem di tingkat potasium.

Bikarbonat.

Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH yang rendah (6,8-7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg) mencerminkan kompensasi respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi metabolik. Akumulasi badan keton (yang mencetuskan asidosis) dicerminkan oleh hasil pengukuran keton dalam darah dan urin. Gunakan tingkat ini dalam hubungannya dengan kesenjangan anion untuk menilai derajat asidosis.

Sel darah lengkap (CBC).

Tinggi sel darah putih (WBC) menghitung (> 15 X 109 / L) atau ditandai pergeseran kiri mungkin menyarankan mendasari infeksi.

Gas darah arteri (ABG).

pH sering 330 mOsm / kg H2O. Jika osmolalitas kurang dari > 330 mOsm / kg H2O ini, maka pasien jatuh pada kondisi koma.

Fosfor

Jika pasien berisiko hipofosfatemia (misalnya, status gizi buruk, alkoholisme kronis), maka tingkat fosfor serum harus ditentukan. Tingkat BUN meningkat.

Anion gap yang lebih tinggi dari biasanya.

Kadar kreatinin

Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) dan Hb juga dapat terjadi pada dehirasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan kadar kreatinin dan BUN serum yang terus berlanjut akan dijumpai pada pasien yang mengalami insufisiensi renal.b. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik untuk ketoasidosis diabetik dapat dilakukan dengan cara:

Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl). Biasanya tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress.

Gula darah puasa normal atau diatas normal.

Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.

Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.

Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas

pada terjadinya aterosklerosis.

1