BAB I asen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

free

Citation preview

BAB I

5

BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangKi hajar dewantara atau mempunyai nama sah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat merupakan salah satu tokoh yang sangat terkenal di dunia pendidikan tanah air. Ki Hajar Dewantara bangkit didalam tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta dan meninggal dalam usia 69 tahun yaitu pada tanggal 26 April 1959. Ki Hadjar Dewantara dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1889. Ki Hadjar Dewantara adalah Putera dari Pangeran Suryaningrat (Paku Alam III), raja dari Pura Pakualaman Yogyakarta. Pada waktu itu ia bernama Suwardi Suryaningrat. Semasa mudanya, ia sangat dipengaruhi oleh suasana yang dilingkupi oleh kesusasteraan Jawa, agama Islam, serta pembicaraan-pembicaraan tentang ajaran yang dipengaruhi oleh Hinduisme. Suasana kesenian, seperti seni gendhing, seni sastera tak asing baginya. Dari suasana yang merupakan perpaduan rasa keindahan dan religi inilah yang kemudian membentuk sikap dan kepribadiannya di masa-masa yang akan datang.

Sebagaimana anak-anak Jawa lainnya yang gemar sekali pertunjukan wayang, dan seringkali menyamakan dirinya dengan beberapa tokoh idolanya dari dunia pewayangan. Ki Hadjar Dewantara sangat mengidolakan tokoh-tokoh seperti Yudhistira (tokoh lambang perdamaian dan cinta kasih), dan Kresna (tokoh yang bijaksana dan politikus cerdas yang berpandangan jauh ke depan).Setelah menamatkan pendidikan di sekolah rendah Belanda, ELS (Europeesche Lagere School), Ki Hadjar Dewantara melanjutkan studinya ke STOVIA di Jakarta. Namun, ia tak sampai menamatkan pelajarannya di sekolah tersebut, karena beasiswa yang setiap bulan diterimanya dari pemerintah telah dicabut oleh yang berwenang dengan alasan bahwa kelancaran dalam kenaikan tingkat tidak berjalan sebagaimana mestinya, berhubung dengan seringnya absen karena sakit.Setelah keluar dari STOVIA, Ki Hadjar Dewantara berpindah-pindah kerja, dimulai dari pabrik gula Kalibagor Banyumas sebagai ahli kimia, beralih kerja di apotek Rathkamp Yogyakarta. Kegiatannya berkorespondensi dengan berbagai macam surat kabar, terutama de Express terlalu banyak menyita waktunya, sehingga kepala apotek memecatnya. Ki Hadjar Dewantara akhirnya memutuskan untuk tetap berkecimpung dalam bidang jurnalistik.Pada tanggal 15 November 1913 pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk mengadakan perayaan 100 tahun kemerdekaan negerinya dari jajahan Perancis (Napoleon). Dalam perayaan itu rakyat Indonesia diwajibkan untuk turut merayakannya dan membiayai dengan memberikan sumbangan dana. Hal ini menimbulkan reaksi dari kalangan nasionalis Indonesia, termasuk Ki Hadjar Dewantara.Dalam majalah de Express tertanggal 19 Juli 1913, Ki Hadjar Dewantara melontarkan kritik yang tajam terhadap rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda tersebut. Kritik tersebut ia tuangkan dalam sebuah artikel berjudul Als ik eens Nederlander was (Andai Aku Seorang Belanda). Isinya pada intinya menyatakan bahwa sebagaimana orang Belanda yang mencintai tanah airnya, maka dia pun mencintai tanah air Indonesia ini dengan sepenuh hati. Berikut ini cuplikan dari artikel tersebut... Andai aku seorang Belanda, tidaklah aku akan merayakan peringatan kemerdekaan di negeri yang masih terjajah itu. Lebih dahulu berilah kemerdekaan kepada rakyat yang masih kita kuasai, barulah boleh orang memperingati kemerdekaannya sendiri ...

Sebagai akibat dari tulisannya itu, Ki Hadjar Dewantara menjalani hukuman pengasingan di Pulau Bangka atas permintaannya sendiri. Kemudian ia meminta hukuman pengasingan ke negeri Belanda, dan permintaan itu dikabulkan oleh pemerintah Belanda. Pada tanggal 6 September 1913, Ki Hadjar Dewantara berangkat menuju negeri Belanda didampingi oleh isterinya, Sutartinah.Dalam pengasingannya di negeri Belanda, Ki Hadjar Dewantara aktif dalam kegiatan organisasi pelajar Indonesia, Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia). Untuk merintis cita-cita memajukan pendidikan di Indonesia, ia juga belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh ijazah pendidikan, Europeesche Akte, yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini, Ki Hadjar Dewantara memperoleh ide-ide dari sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Maria Montessori, Froebel, serta Rabindranat Tagore dari India dengan pergerakan pendidikan Santiniketan. Berbagai aliran pendidikan tersebut diolah dan dijadikan sebagai dasar dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul tentang sejarah pengasingan KI Hajar Dewantara Pada Tahun 1913-1917

Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah :

Apa yang menjadi latar belakang pengasingan KI Hajar Dewantara Pada Tahun 1913-1917?Bagaimana dampak pengasingan KI Hajar Dewantara terhadap pendidikan di Indonesia?

Tujuan PenelitianUntuk mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang pengasingan KI Hajar Dewantara Pada Tahun 1913-1917?Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan dampak pengasingan KI Hajar Dewantara terhadap pendidikan di Indonesia?

Manfaat PenelitianAdapun manfaat penelitian ini yaitu;

Bagi pihak kampus

Sebagai bahan masukan atau sumber referensi berkaitan dengan pengasingan KI Hajar Dewantara Bagi peneliti lain

Sebagai bahan masukan atau dasar untuk pengkajian lebih lanjut tentang pengasingan KI Hajar Dewantara

Landasan TeoriTeori Perubahan Sosial Menurut Sztompka, masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi secara linear. Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur/tatanan didalam masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat.

Pada tingkat makro, terjadi perubahan ekonomi, politik, sedangkan ditingkat mezo terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi, dan ditingkat mikro sendiri terjadi perubahan interaksi, dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah kekuatan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat ganda (Sztompka, 2004). Alfred (dalam Sztompka, 2004), menyebutkan masyarakat tidak boleh dibayangkan sebagai keadaan yang tetap, tetapi sebagai proses, bukan objek semu yang kaku tetapi sebagai aliaran peristiwa terus-menerus tiada henti. Diakui bahwa masyarakat (kelompok, komunitas, organisasi, bangsa) hanya dapat dikatakan ada sejauh dan selama terjadi sesuatu didalamnya, seperti adanya tindakan, perubahan, dan proses tertentu yang senantiasa bekerja. Sedangkan Farley mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan pola prilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu. Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi didalam atau mencakup sistem sosial. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Parson mengasumsikan bahwa ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat itu tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi masalah yang dihadapinya. Sebaliknya, perubahan sosial marxian menyatakan kehidupan sosial pada akhirnya menyebabkan kehancuran kapitalis. Gerth dan Mills (dalam Soekanto, 1983) mengasumsikan beberapa hal, misalnya perihal pribadi-pribadi sebagai pelopor perubahan, dan faktor material serta spiritual yang menyebabkan terjadinya perubahan. Lebih lanjut menurut Soekanto, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan adalah: Keinginan-keinginan secara sadar dan keputusan secara pribadi.Sikap-sikap pribadi yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang berubah.Perubahan struktural dan halangan struktural.Pengaruh-pengaruh eksternal.Pribadi-pribadi kelompok yang menonjol.Unsur-unsur yang bergabung menjadi satu. Peristiwa-peristiwa tertentu.Munculnya tujuan bersama

Selanjutnya Bottomore juga mengatakan bahwa perubahan sosial mempunyai kerangka. Adapun susunan kerangka tentang perubahan sosial, antara lain : Perubahan sosial itu dimulai pada suatu masyarakat mana yang pertama-tama mengalami perubahan. Kondisi awal terjadinya perubahan mempengaruhi proses perubahan sosial dan memberikan ciri-ciri tertentu yang khas sifatnya.Kecepatan proses dari perubahan sosial tersebut mungkin akan berlangsung cepat dalam jangka waktu tertentu.Perubahan-perubahan sosial memang disengaja dan dikehendaki. Oleh karenanya bersumber pada prilaku para pribadi yang didasarkan pada kehendak-kehendak tertentu.

Perubahan sosial selalu mendapat dukungan/dorongan dan hambatan dari berbagai faktor. Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan, adalah:

Kontak dengan kebudayaan lain

Salah satu proses yang menyangkut dalam hal ini adalah difusi. Difusi merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari perorangan kepada perorangan lain, dan dari masyarakat kepada masyarakat lain. Dengan difusi, suatu inovasi baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat disebarkan kepada masyarakat luas di dunia sebgai tanda kemajuan. Sistem pendidikan yang maju Sikap menghargai hasil karya dan keinginan-keinginan untuk maju. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat.

Sistem terbuka memungkinkan adanya gerakan mobilitas sosial vertikal secara luas yang berarti memberi kesempatan perorangan untuk maju atas dasar kemampuan-kemampuanya.Penduduk yang heterogen

Masyarakat-masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang memiliki latar belakang, ras, dan ideologi yang berbeda mempermudahkan terjadinya kegoncangan yang mendorong terjadinya proses perubahan. Selain itu, perubahan sosial juga mendapatkan hambatan-hambatan. Adapun faktor-faktor penghambat tersebut adalah : Kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat. Sikap masyarakat yang masih tradisional. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali atau vested interest. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan. Prasangka terhadap hal-hal yang asing atau baru. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis. Adat atau kebiasaan.Pengasingan Kuasa Menurut Perspektif Politik Modern Konsep pengasingan kuasa juga sudah menjadi suatu pegangan dan prinsip yang telah sebati dalam masyarakat akibat pengalaman sejarah silam dan di aplikasikan dalam sesebuah pemerintahan. Sebab itu Legal Dictionary merumuskan, tiga badan utama dalam pemerintahan iaitu kuasa perundangan, kuasa pentadbiran dan kuasa kehakiman hendaklah di asingkan dari aspek bidangkuasa serta tidak di anggotai oleh individu yang sama Sinha and Dheeraj (1996), Legal Dictionary, Kuala Lumpur: International Law Book Services, hal 189. . Menurut Dicey kewujudan konsep ini di anggap dapat mengelakkan kuasa pentadbiran, perundangan dan mahkamah dari mencerobohi bidang kuasa antara satu sama lain Dicey .1959. An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, c. 10, London: Macmillan, hal 337. . Pengasingan kuasa di anggap penting dalam negara kerana merupakan instrumen check and balance dalam sistem pemerintahan.

Menurut tokoh-tokoh perlembagaan barat, konsep dan teori pengasingan kuasa dalam konteks tamadun masyarakat moden hari ini mula dipelopori oleh Charles Louis Secondat de Montesquieu, iaitu seorang ahli falsafah politik Perancis yang terkenal. Beliau mengemukakan teori tersebut dalam bukunya The Spirit of Laws yang diterbitkan pada tahun 1784. Corry menegasaskan konsep tersebut adalah berpandukan kepada pemerhatian perkembangan dasar perlembagaan Britain dan Perancis ketika berlakunya perubahan daripada sistem pemerintahan monarki mutlak ke tahap pemerintahan kerajaan berparlimen Corry. 1957. Democratic Government and Politics, ed. 2, Toronto: University of Toronto Press, hal 59. Mengikut teori yang dikemukakan oleh Montesquieu, beliau menyatakan dalam sesebuah pemerintahan terdapat tiga sumber kuasa yang perlu di asingkan untuk mencapai kebebasan politik. Montesquieu Kevin Tan Yew Lee, Yeo Tiong Min, Lee Kiat Seng .1991. Constitutional Law in Malaysia and Singapore, Singapore: MLJ Pte. Ltd., hal 15-16 berpendapat rahsia kebebasan orang-orang Inggeris terletak pada pengasingan kuasa dengan mengasingkan fungsi ketiga-tiga kuasa yang sememangnya menjadi cita-cita dan hasrat rakyat seperti mana yang dapat dipetik dalam bukunya, The Spirit of Laws sebagaimana berikut: Kebebasan politik boleh diperolehi apabila tiadanya penyalahgunaan kuasa. Tetapi pengalaman lalu menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang yang mempunyai kuasa berkemungkinan untuk menyalahgunakannya dan meneruskan tindakan tersebut selama yang boleh. Untuk menghalang daripada berlakunya salahguna kuasa, adalah bagi pihak yang berkuasa itu memeriksa di antara satu sama lain. Apabila kuasa legislatif dan eksekutif berada ditangan orang yang sama, tidak akan adanya kebebasan. Demikian juga tidak ada kebebasan sekiranya kuasa kehakiman tidak dipisahkan daripada legislatif dan eksekutif. Segalanya akan berakhir jika orang atau badan yang serupa samada bangsawan atau rakyat, melaksanakan ketiga-tiga kuasa tersebut Montesquieu, Baron De dan Charles de Secondat .1949. The Spirit of Laws, Thomas Nugent (terj.), c.2, Book XI, Ch. I, Vol. 1, New York: Colonial Press, h. 220 .

Montesquieu menegaskan perlu ada pengasingan untuk mengelakkan kezaliman. Dalam hak kebebasan berpolitik, ia hanya didapati apabila tidak ada penyalahgunaan kuasa, tetapi pengalaman menunjukkan setiap orang yang mempunyai kuasa berkemungkinan besar menyalahgunakannya dan akan menggunakan kuasanya sejauhmana yang boleh. Penyalahgunaan kuasa akan membawa kezaliman. Konsep pengasingan kuasa cuba menyekat kezaliman tersebut dari berlaku dengan memberi kebebasan kepada badan-badan yang ada supaya tidak dipengaruhi oleh badan lain, serentak dengan itu sesuatu badan boleh bertindak menghalang kezaliman yang dilakukan oleh badan yang lain. Pemusatan kuasa dianggap sebagai pemerintahan diktator. Konsep pengasingan kuasa yang diperkenalkan cuba menghapuskan pemusatan kuasa berdasarkan lembaran sejarah seperti yang berlaku pada zaman pemerintahan Raja Louis XIV di Perancis. Penekanan terhadap perlunya pengasingan kuasa antara badan-badan yang terlibat dianggap sebagai jalan penyelesaian yang terbaik.Sejarah Konsep Pengasingan Kuasa Menurut Perspektif Barat Konsep pengasingan kuasa telah lama dikenali oleh masyarakat Greek kuno. Tetapi pengasingan kuasa yang dikenali tidaklah sesempurna yang dikenali kini. Seiring dengan peredaran masa dan zaman, pengasingan kuasa ini mengalami perubahan dan penyesuaian tertentu. Kewujudan konsep pengasingan kuasa lebih dikenali berasal dari Eropah yang bermula pada penghujung kurun kelapan belas akibat dari penindasan dan kezaliman yang berterusan oleh pemerintah pada waktu itu. Tokoh yang sinonim dan sering dikaitkan dengan kemunculan konsep ini ialah Montesquieu Al-Qasimi, Zafir. 1992. Nizam al-Hukm fi al-Syariat wa al-Tarikh al-Islami, juz. 1, c.4, Beirut: Dar al-Nafais, hal 402. Walaupun begitu, ide ini sebenarnya pernah diwujudkan oleh beberapa orang tokoh politik terdahulu sebelum itu. Di antaranya ialah Plato (428 S.M-348 S.M), Aristotle (384 S.M-322 S.M) dan John Locke (1632-1704 M).

Plato (428 S.M-348 S.M) adalah orang terawal yang mengemukakan ide tentang pengasingan kuasa dalam negara. Namun pengasingan yang dimaksudkan lebih menjurus kepada ertikata pembagian kuasa kerana beliau mengesyorkan beberapa pembagian fungsi kerajaan kepada beberapa badan yang mempunyai peranan tertentu. Badan-badan tersebut termasuklah badan yang bertanggungjawab menggubal dan membentuk undang-undang negara, badan yang melaksanakan undang-undang tersebut, badan yang mengadili kesalahan dalam negara disamping badan-badan lain yang bertanggungjawab memelihara keamanan negara dan badan yang menguruskan pelbagai hal ehwal negara seperti pendidikan Laylah, Mohd Kamil. 1969. Al-Nuzum al-Siasiyah, Beirut : Dar al-Nahdhah, hal 849 Menurut Plato, perkara terpenting dalam politik adalah untuk mencegah golongan elit daripada melakukan penyalahgunaan kuasa Kuper, Adam and Jessica .2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, cet. 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal 766-767. . Keadaan ini menyebabkan merumuskan ide tentang Perlembagaan Campuran (mixed constitution) yang seterusnya mempengaruhi pandangan tokoh pemikir selepas beliau seperti Montesquieu. Seterusnya ide pembagian kuasa ini dirintis oleh seorang tokoh politik terkenal, Aristotle (384 S.M-322 S.M) dalam bukunya Politics yang membahagikan kuasa kepada tiga badan utama saja iaitu perundangan (deliberation), pemerintahan atau perlaksanaan (commandement) dan kehakiman (justice) Prodjodikoro, Wirjono. 1971. Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Jakarta: P.T Eresco, hal 65. . Uthman Khalil Uthman berpendapat adalah lebih baik tidak memusatkan kuasa kepada satu badan tertentu di samping menitikberatkan kerjasama di antara satu badan dengan satu badan yang lain Uthman Khalil, Uthman .1951. Al-Qanun al-Dusturi, Kaherah: Dar al-Fikr al-Arabi, hal 169. . Aristotle menekankan perbedaan dan pengasingan di antara badan eksekutif dan badan kehakiman Sibley, Mulford Quickert .1970. Political Ideas and Ideologies: A History of Political Thought, New York: Harper and Row, hal 66. Pendapat Aristotle telah diperkembangkan lagi oleh pemikir-pemikir politik pada pemerintahan Rom zaman silam seperti Polybius (200S.M-118 S.M) dan Cicero (106-43 S.M). Kedua-dua pemikir tersebut di samping menyokong ide Aristotle juga telah mencadangkan perlunya mekanisme-mekanisme tertentu bagi mengawal dan mengimbangi kuasa di antara satu dengan yang lain. Kebetulan pula Perlembagaan Kerajaan Republik Rom telah memperkenalkan beberapa mekanisme bagi mengawal agar tiada badan yang memonopoli kuasa pemerintah. Polybius telah menyatakan perlunya pemerintahan memberi perwakilan kepada semua kelas rakyat. Di samping itu, Polybius menekankan tentang perlunya diperkenalkan sistem pengawalan dan keseimbangan kuasa supaya tidak ada kumpulan tertentu yang dapat membolot kuasa pemerintahan. Sekiranya pengawalan kuasa pemerintahan tidak berlaku, maka bagaimana baik sekalipun sebuah kerajaan pasti akan mengalami kemunduran. Namun demikian selepas era pemikiran golongan Rom klasik, teori pemisahan kuasa serta corak pengawalan dan keseimbangan tidak dimajukan atau menjadi tidak popular. Ini mungkin kerana pemikir-pemikir zaman susulan ini lebih meyakini sistem pemerintahan beraja yang mengutamakan pemusatan kuasa. Bagaimanapun pada abad keempat belas, Marsilius Padua (1270-1343) telah mengemukakan pendapat yang agak kontroversi pada masa itu. Walaupun Marsilius tidak menolak badan eksekutif sebagai sebuah komponen pemerintahan yang penting, beliau menegaskan badan perundangan merupakan institusi yang paling penting untuk kemajuan dalam pemerintahan. Beliau menegaskan badan perundangan sebenarnya adalah badan pembuat undang-undang. Oleh yang demikian, ia mewakili kepentingan semua golongan rakyat. Di samping itu beliau menegaskan juga dewan perwakilan rakyat ini merupakan sumber segala kuasa politik. Tambahan pula, Marsilius menegaskan raja atau pemerintah negara hanya merupakan alat yang mewakili kepentingan rakyat yang ditugaskan memerintah bagi pihak rakyat jelata. Namun demikian, sumbangan Marsilius pada ketika itu kurang mendapat sambutan golongan rakyat dan golongan yang berpengaruh. Manakala pada abad keenam belas, Jean Bodin (1530-1596) ketika membincangkan teori kedaulatan menyatakan sistem pemerintahan beraja merupakan salah satu sistem yang baik. Walaupun demikian, Bodin telah menegaskan tugas kehakiman perlu di asingkan daripada kuasa raja. Ini adalah perlu bagi memastikan agar ia sentiasa bertindak adil kepada semua lapisan rakyat. Bodin juga mengakui seorang raja perlu mendapat nasihat daripada penasihat-penasihatnya yang terdiri daripada menteri dan wakil rakyat. Tambahan pula Bodin mencadangkan supaya peranan rakyat dan institusi yang mewakili kepentingan mereka harus di ambilkira dalam proses pemerintahan negara. John Locke (1632-1704 M) adalah seorang ahli falsafah Inggeris dan tokoh pemikir politik yang turut menampilkan ide pembagian kuasa dalam bukunya Two Treaties on Civil Government (1690) membagikan kuasa menjadi tiga bagian iaitu kuasa perundangan (legislative), kuasa pemerintahan (executive) dan kuasa persekutuan (federative) yang masing-masing terpisah di antara satu sama lain Djaelani, Abdul Qadir. 1994. Sekitar Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Media Dawah, hal 114. Berbanding dengan pembagian yang dikemukakan oleh Aristotle tidak menyatakan secara khusus tentang kuasa kehakiman (judiciary) kerana beliau merumuskan kuasa tersebut ke dalam kuasa pemerintahan (executive) Sibley, Mulford Quickert .1970. Political Ideas and Ideologies: A History of Political Thought, New York: Harper and Row, hal 379. Badan legislatif yang mempunyai kuasa dan autoriti yang tertinggi tidak boleh menjalankan kuasa dengan sewenangnya tetapi perlu mewujudkan keadilan dengan tidak mengenepikan undang-undang dan kuasa hakim. Menurut Sibley, kuasa perundangan dan kuasa pemerintahan sepatutnya tidak dipegang oleh pihak yang sama kerana ia akan mewujudkan pengaruh yang besar di antara kedua-dua kuasa tersebut Ibid, hal 380. Montesquieu (1689-1755 M) bukanlah orang pertama yang mendokong prinsip pengasingan kuasa ini kerana ide tersebut ternyata telah wujud sebelum ini. Namun tidak dinafikan beliau merupakan orang yang menjadikan ide tersebut amat penting dalam sesebuah pemerintahan negara sehinggakan beliau lebih dikenali sebagai pelopor utama konsep ini. Dengan erti kata lain, walaupun konsep ini sudah lama diperkenalkan sebelum itu, Montesquieu boleh di anggap sebagai seorang tokoh politik yang menjelaskan dan mengemukakannya dalam bentuk yang sistematik berserta hujah-hujah Kamlin, Muhamad. 1986. Pengantar Pemikiran politik Barat, Selangor: Penerbitan Universiti Kebangsaan Malaysia, hal 183. .Seterusnya tokoh yang turut menyokong ide pembagian kuasa ini ialah Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M). Jean Jacques Rousseau merupakan seorang ahli falsafah yang amat menitikberatkan pengasingan di antara dua kuasa utama iaitu kuasa perundangan dan kuasa eksekutif. Ini kerana beliau berpendapat kedua kuasa itu mempunyai peranan yang berbeda dan tersendiri. Namun demikian Jean Jacques Rousseau berpendapat kuasa kehakiman tidak mempunyai fungsi tertentu kerana perlu tunduk pada arahan kuasa eksekutif yang telah digariskan bidangkuasanya oleh kuasa perundangan. Oleh itu, Rousseau berpendapat kuasa perundangan adalah kuasa yang tertinggi dan berdaulat. Kuasa kehakiman termasuk ke dalam kategori kuasa eksekutif dan tidak wujud pengasingan di antara kedua-dua kuasa ini. Bahkan yang amat ditekankan ialah pengasingan di antara kuasa perundangan dan kuasa eksekutif saja Uthman Khalil, Uthman .1951. Al-Qanun al-Dusturi, Kaherah: Dar al-Fikr al-Arabi, hal 274. Badan perundangan di anggap mempunyai kedaulatan kerana ahlinya dipilih dan diundi oleh rakyat J.J.R. 1991. Darihal Perjanjian Sosial, Puteri Rashidah Megat Ramli (terj.), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, hal 77. Menurut Rousseau kuasa perundangan disifatkan sebagai hamba dan bukannya sebagai tuan kepada orang awam kerana badan ini dilantik oleh rakyat Kamlin, Muhamad. 1986. Pengantar Pemikiran politik Barat, Selangor: Penerbitan Universiti Kebangsaan Malaysia, hal 201. Pandangan Rousseau ini didapati berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh Montesquieu yang menitikberatkan pengasingan kuasa di antara kuasa kehakiman, kuasa perundangan dan eksekutif.Pendidikan Untuk dapat memahami hakikat pendidikan terlebih dahulu kita memahami makna pendidikan, secara etimologi pendidikan berasal dari bahasa yunani pedagogiek yang dalam bahasa inggris diterjemahkan education yang mempunyai arti ilmu yang membicarakan bagaimana memberikan bimbingan kepada anak. Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut pendidikan yang berarti proses mendidik Madyo Ekosusilo, Kasihadi. R. B. 1988. Dasar-Dasar Pendidikan. Semarang: Effhar Offset, hal 12. Menurut Muhammad Ali dalam kamusnya, pendidikan bearti pemeliharaan, latihan, ajaran, bimbingan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet I. Jakarta: Balai Pustaka, hal 82. Pendapat tersebut seirama dengan pengertian pendidikan yang terdapat dalam kamus besar bahasa Indonesia, pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam suatu usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran itu sendiri Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke 2. Jakarta: Balai Pustaka, hal 232.

Sedangkan dalam undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional pasal I, menyebutkan bahwa. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan pelaksanaanya. 2004. Yogyakarta: CV. Tamima Utama, hal 4.Berikut ini beberapa definisi pendidikan menurut beberapa tokoh pendidikan, diantaranya :Rousseau, pendidikan adalah memberi kita pembekalan yang tidak ada pada anak-anak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa Idris, Zahara. 1981. Dasar-Dasar Pendidikan. Angkasa Raya, hal 9.Pengertian pendidikan sebagaimana dikemukakan Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan, umumnja berarti daja upaja untuk mewudjudkan bertumbuhnja budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tumbuh anak; dalam taman siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaja kita dapat memadjukan kesempurnaan hidup, jakni kehidupan dan penghidupan anak-anak jang kita didik selaras dengan dunianja Ki Hajar Dewantara. 1962. Karya Bagian pertama : Pendidikan. Yogyakarta: MLTM, hal 14.Poerbakawatja dan Harahap pendidikan adalah Usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke-kedewasaan yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggungjawab moril dari segala perbuatannya. Orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau orang yang atas dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik, misalnya guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan keagamaan, kepala-kepala asrama, dan sebagainya Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya, hal 11.

Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang berupa bimbingan untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang melalui pengajaran itu sendiri. Sehingga yang menjadi kesimpulan utamanya adalah pendidikan menyangkut persoalan yang luas serta komplek. Pendidikan bukan hanya sifat pengajaran yang hanya mewariskan kemampuan kognitif saja akan tetapi adalah usaha pengerahan seluruh potensi manusia -yang fitrah- dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga pendidikan nantinya berfungsi sangat erat dengan tingkat kebutuhan masyarakat dan sekaligus sebagai proses penyadaran sosial yang signifikan.

Metode PenelitianJenis PenelitianPenelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu metode analisis data di mana datanya tidak berwujud angka melainkan menunjukkan suatu mutu dan kualitas, prestasi, tingkat dari semua variabel penelitian yang bisa dihitung atau diukur secara langsung. Data ini digunakan untuk menjelaskan atau melaporkan data dengan apa adanya kemudian membagi interprestasi terhadap data tersebut Rakhmat, Djalaludin. 2001. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal 15.

Menurut Bogdan dan Taylor sebagaiman dikutip Maleong, mendefinisikan metodelogi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data dekriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati Maleong, Lexy J, 2002. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung, hal 3. Penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fakta dan peristiwa agar memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan-kaitan variabel yang ada. Penelitian deskriptif hanya memaparkan situasi atau peristiwa, tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesa atau membuat prediksi Rakhmat, Djalaludin. 2001. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal 24.Penelitian yang dilakukan oleh penulis berusaha untuk menggambarkan bagaimana sejarah pengasingan KI Hajar Dewantara. Studi ini bertujuan untuk mendiskripsikan atau menggambarkan suatu kasus, dalam hal ini adalah pengasingan KI Hajar DewantaraObjek PenelitianObjek penelitian pada penelitian ini adalah pengasingan KI Hajar Dewantara pada Tahun 1913-1917

Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Studi Dokumentasi. Studi dokumentasi adalah pengumpulan data dari literatur-literatur, majalah, surat kabar dan sumber-sumber lain yang memuat informasi yang relevan dan mendukung penelitian. Data yang dipakai oleh penulis adalah dokumen, arsip-arsip, serta dengan cara mengunjungi langsung kawasan Kotagede, Leaflet yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti, sebagai kelengkapan data.

Teknik Analisis DataTeknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis data kualitatif yaitu analisis data yang dapat menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati Sugiyono. 1999. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta, hal 78. Metode analisis kualitatif menyajikan data yang tidak berwujud angka melainkan suatu mutu, kualitas, prestasi tingkat dari semua variabel penelitian yang biasanya tidak dihitung atau diukur secara langsung. Data ini digunakan mejelaskan atau melaporkan data dengan apa adanya, kemudian memberikan interpretasi terhadap data tersebut Rakhmat, Djalaludin. 2001. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal 27. Deskriptif menurut Mattew Miles dan Michael Huberman sebagaimana dikutip dan diterjemahkan oleh Tjejep Rohendi Rohidi menjelaskan bahwa langkah analisis data dari penelitian-penelitian deskriptif terdiri dari Rohidi, Tjejep Rohendi. 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang Metode Metode Baru. Jakarta: Penerbit UI Press, hal 15-20:

Pengumpulan Data

Mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian dengan menggunakan teknik pengumpulan data atau teori melalui buku-buku, majalah, surat kabar, literatur-literatur dan sumber-sumber lain yang memuat informasi yang relevan dan mendukung dalam penelitian ini.Reduksi Data

Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan atau penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan, reduksi data berlangsung terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Reduksi merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu, mengorganisasi data hingga dapat ditarik kesimpulan.Penyajian Data

Penyajian data merupakan upaya penyusunan, pengumpulan, dan penyerderhanaan informasi kedalam suatu konfigurasi yang mudah dipahami dan memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.Penarikan Kesimpulan

Data yang terkumpul disusun dalam satu kesatuan kemudian dikategorikan sesuai dengan masalah-masalahnya. Dan selanjutnya data tersebut dihubungkan dan dibandingkan antara satu dengan yang lainnya sehingga dapat ditarik kesimpulan dari penyelesaian permasalahan. Kegiatan analisis data merupakan proses siklus yang interaktif, peneliti melakukan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan secara bersamaan dan akan berlanjut terus.Keabsahan DataKeabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan dan keandalan. Menurut Maleong ada beberapa teknik yang digunakan untuk mengukur keabsahan data, yaitu Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya, hal 175:

Perpanjangan keikutsertaanKetekunan pengamatanTrianggulasiPengecekan sejawatKecukupan referensiKajian kasus negatifPengecekan anggota

Untuk memperoleh keabsahan data diperkuat teknik pemeriksaan meliputi pengukuran validitas yaitu pemeriksaan keabsahan data. Caranya dengan menganalisis data yang telah terkumpul dan dibuat laporan informasi yang telah diberikan atau penghalusan data oleh subyek atau informan. Jika kurang sesuai diadakan perbaikkan maupun responden dapat memberikan penjelasan dan informasi yang telah diperoleh serta memanfaatkan teknik Trianggulasi.Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut Ibid, hal 178. Teknik trianggulasi yang digunakan pada penelitian ini adalah trianggulasi sumber.Trianggulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi sumber yaitu membandingkan dsn mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.

Sistematika PenulisanBAB I Pendahuluan, Bab ini memuat : judul, latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Landasan Teori, Metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II Profil KI hajar Dewantara, Bab ini memuat tentang profil KI Hajar DewantaraBab III Pembahasan, bab ini memuat Pengasingan Ki Hajar Dewantara pada Tahun 1913 sampai Tahun 1917 dan dampak pengasingan KI Hajar Dewantara terhadap pendidikan di IndonesiaBAB IVPenutup, Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas Pengasingan Ki Hajar Dewantara pada Tahun 1913 sampai Tahun 1917 dan dampak pengasingan KI Hajar Dewantara terhadap pendidikan di Indonesia