62
245 BAB 7 ORANG WOKRWANA DAN PERKEBUNAN SAWIT: PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE ACTION Bab ini berisikan analisa dan refleksi mengenai keberadaan perkebunan kelapa sawit dan kehidupan Orang Kampung Workwana Distrik Arso, Kabupatan Keerom dalam perspektif Livelihood. Analisa dan refleksi ini difokuskan pada pengalaman penduduk setempat memperjuangkan Livelihood yang berkelanjutan disoroti dari dua hal. Pertama, disajikan sebuah penjelasan dan diskusi mengenai latar belakang dan bentuk-bentuk resistensi penduduk terhadap sistem perkebunan kelapa sawit dan dampaknya dilihat dalam rangka memperjuangkan Livelihood berkelanjutan. Resistensi penduduk dalam tulisan ini juga mau disoroti dan direfleksikan dalam perspektif collective action. Kedua, analisa dan refleksi ini mengulas perjuangan penduduk setempat yang berusaha melakukan strategi coping (coping strategies) dalam memperjuangkan Livelihood-nya. Seluruh bagian analisa dan refleksi ini diawali dengan mengangkat secara garis besar visi paradigma pembangunan berkelanjutan dan visi pembangunan Provinsi Papua. Pembangunan Berkelanjutan di Papua Visi pembangunan Papua menuju terwujudnya Papua Baru menurut Suebu (2007), mengandung prinsip kesinambungan, keseimbangan, efisiensi, efektivitas, kemandirian dan akuntabilitas. Prinsip-prinsip pembangunan tersebut sesungguhnya merujuk pada Undang Undang (UU) R.I, Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam undang-undang tersebut pasal 63,

BAB 7 RANG W SAWIT: PERSPEKTIF COLLECTIVE ACTIONrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/9/D_902008105_VII.pdf · perkebunan kelapa sawit dan kehidupan Orang ... dengan gagasan-gagasan

Embed Size (px)

Citation preview

245

BAB 7

ORANG WOKRWANA DAN PERKEBUNAN

SAWIT: PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN

COLLECTIVE ACTION

Bab ini berisikan analisa dan refleksi mengenai keberadaan

perkebunan kelapa sawit dan kehidupan Orang Kampung Workwana

Distrik Arso, Kabupatan Keerom dalam perspektif Livelihood. Analisa

dan refleksi ini difokuskan pada pengalaman penduduk setempat

memperjuangkan Livelihood yang berkelanjutan disoroti dari dua hal.

Pertama, disajikan sebuah penjelasan dan diskusi mengenai latar

belakang dan bentuk-bentuk resistensi penduduk terhadap sistem

perkebunan kelapa sawit dan dampaknya dilihat dalam rangka

memperjuangkan Livelihood berkelanjutan. Resistensi penduduk

dalam tulisan ini juga mau disoroti dan direfleksikan dalam perspektif

collective action. Kedua, analisa dan refleksi ini mengulas perjuangan

penduduk setempat yang berusaha melakukan strategi coping (coping strategies) dalam memperjuangkan Livelihood-nya. Seluruh bagian

analisa dan refleksi ini diawali dengan mengangkat secara garis besar

visi paradigma pembangunan berkelanjutan dan visi pembangunan

Provinsi Papua.

Pembangunan Berkelanjutan di Papua

Visi pembangunan Papua menuju terwujudnya Papua Baru

menurut Suebu (2007), mengandung prinsip kesinambungan,

keseimbangan, efisiensi, efektivitas, kemandirian dan akuntabilitas.

Prinsip-prinsip pembangunan tersebut sesungguhnya merujuk pada

Undang Undang (UU) R.I, Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam undang-undang tersebut pasal 63,

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

246

terdapat pokok tentang Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan

Hidup. Pasal ini menyebutkan bahwa pembangunan di Provinsi Papua

dikembangkan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan,

pelestarian lingkungan, manfaat dan keadilan dengan memperhatikan

rencana tata ruang wilayah. Kemudian pada pasal 64, tertulis bahwa

pemerintah berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup,

melindungi sumber daya alam, ekosistem, cagar budaya dan

keanekaragaman hayati serta memperhatikan hak-hak masyarakat adat

untuk sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk. Jadi secara prinsipil

dapat dikatakan spirit pembangunan Papua berdasarkan UU No. 21

Tahun 2001 mengandung paradigma pembangunan berkelanjutan

(Sustainable Development) sesuai dengan semangat awal The World Commision on Environment and Development (WCED) yang digagasi

oleh Gro Harlem Brundtland [Bdk. Escobar, 1995; Munck & O’Hearn,

(Edit.) 1999; Mahinney, 2002; Willis, 2005; Rist, 2008]. Berkaitan

dengan gagasan-gagasan pembangunan berkelanjutan, di bawah ini

dimuat penjelasan-penjelasan yang menurut hemat penulis relevan

bagi kita.

Mitchell (1997:31-35), menjelaskan konsep pembangunan

berkelanjutan (sustainable development) dipopulerkan oleh World Commission on Environment and Development pada tahun 1987 yang

diketuai oleh Gro Harlem Bruntland, Perdana Menteri Norwegia saat

itu. Oleh sebab itu komisi tersebut kemudian dinamakan komisi

Brundtland. Dalam laporannya tentang Masa Depan Bersama di Sidang

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Brundtland mengemukakan dua hal

penting, yaitu, pertama, perlunya strategi lingkungan jangka panjang

untuk mencapai pembangunan berkelanjutan; kedua, mengidentifikasi

bagaimana hubungan antarmanusia, sumber daya, lingkungan dan

pembangunan yang terintegrasi dalam kebijakan nasional dan

internasional.

Pembangunan berkelanjutan sebagai suatu paradigma

pembangunan yang sarat makna, mengandung unsur-unsur

fundamental, berorientasi pada kepentingan baik manusia maupun

lingkungan hidup tempat di mana semua makhluk serta sumber daya

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

247

alam berada dan selalu tercukupkan saat ini dan di masa depan. Berikut

akan dikemukakan beberapa pemikiran atau pandangan para

pemerhati masalah pembangunan dan lingkungan serta sumber daya

alam. Misalnya, Tietenberg (2003:95-96) menyatakan bahwa dalam

konsep pembangunan, ada dua hal penting yang dapat digunakan

untuk menginterpretasikan kembali kriteria berkelanjutan terkait

dengan keberadaan sumber daya alam. Pertama, perihal pengalokasian

atau ketersediaan modal secara total tanpa pengurangan nilai dan

teruji. Kedua, perlunya menganalisis atau membandingkan hasil

produksi yang berkelanjutan sebagai investasi yang tidak berkurang.

Berdasarkan konsern yang demikian, Tietenberg (2003:553-560),

kemudian mencatat paham pembangunan berkelanjutan sebagaimana

yang telah dirumuskan oleh Komisi Brundtland sebagai berikut:

“Sustainable development is development that meets the needs of the present withouth compromising the ability of future generations to meet their own needs”.

Sehubungan dengan paham pembangunan berkelanjutan,

Tietenberg pun menawarkan beberapa skenario yang dapat dilakukan

sehubungan dengan bagaimana mencermati persoalan pembangunan

berkelanjutan dan pertumbuhan. Salah satu skenario yang disebut

antara lain yaitu, konsern bukan saja pada tingkat kesejahteraan saat

ini tetapi kesejahteraan yang bertumbuh secara berkelanjutan.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada 3 (tiga) hal penting yang perlu

diperhatikan bila berbicara tentang pembangunan berkelanjutan, yaitu:

pertama, aspek kesejahteraan berkelanjutan secara eksistensial; kedua,

aspek besarnya tingkat kesejahteraan berkelanjutan sekarang ini

berkaitan langsung dengan tingkat kesejahteraan yang akan datang;

ketiga, tindakan-tindakan generasi sebelumnya mempunyai sensivitas

tertentu terhadap tingkat kesejahteraan generasi yang akan datang. Di

sisi lain Komisi Brundtland (Mitchell, 2003:31-35) mengungkapkan

juga bahwa, dalam kenyataan kegiatan-kegiatan pembangunan telah

mengakibatkan munculnya banyak kemiskinan dan kemerosotan serta

kerusakan lingkungan sehingga perlu diusahakan suatu jalan baru

pembangunan yang akan membawa kemajuan kemanusiaan bagi

seluruh dunia. Berdasarkan pemikiran tersebut komisi ini mencatat

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

248

dua konsep kunci pembangunan berkelanjutan yang perlu

diperhatikan, yaitu pertama, terkait soal kebutuhan, khususnya

kebutuhan para fakir miskin di negara berkembang; kedua, adanya

keterbatasan teknologi dan organisasi sosial berhubungan dengan

kapasitas lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia

sekarang ini dan di masa depan.

Dengan menyadari hakekat dan implikasi pembangunan

berkelanjutan maka komisi tersebut kemudian merumuskan pokok-

pokok pikiran yang dapat digunakan untuk mengembangkan

kebijakan pembangunan dan lingkungan. Pokok-pokok pikiran

dimaksud adalah memikirkan kembali makna pembangunan,

mengubah kualitas pertumbuhan, memenuhi kebutuhan dasar akan

lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi, kemudian menjamin

terciptanya keberlanjutan pada setiap tingkat pertumbuhan penduduk,

mengkonservasi dan meningkatkan sumber daya, mengubah arah

teknologi dan mengelola resiko, memadukan pertimbangan lingkungan

dan ekonomi dalam pengambilan keputusan.

Selain pikiran-pikiran di atas kita juga perlu melihat perspektif

etis pembangunan dan lingkungan. Perspektif etis dimaksud diambil

antara lain dari pikiran-pikiran Denis Goulet dan Sony Keraf. Terkait

dengan pemikiran ke dua ahli etika tersebut, pertama akan dibicarakan

secara singkat pertimbangan-pertimbangan etis Denis Goulet terhadap

masalah-masalah pembangunan pada umumnya. Kemudian

pembahasan dilanjutkan dengan mengedepankan pemikiran Sony

Keraf yang menyoroti masalah pembangunan lingkungan di Indonesia.

Menurut Goulet (1995:11-19) kebijakan-kebijakan pembangunan yang

bersifat etis memperhatikan 3 (tiga) rasionalitas. Menurut Goulet, yang

dimaksud dengan rasionalitas dalam perspektif etika pembangunan

adalah suatu prosedur cara berpikir yang menyeluruh sebagai asumsi-

asumsi berpikir yang bersifat metodologis; suatu bangunan kriteria

yang tetap benar dan valid. Menurutnya rasionalitas ada tiga, yaitu

rasionalitas teknis, rasionalitas politis dan rasionalitas etis. Pertama,

rasionalitas teknis. Tujuan rasionalitas ini ialah menyelesaikan sesuatu

dengan tindakan-tindakan konkret dan menggunakan pengetahuan-

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

249

pengetahuan teknis untuk memecahkan persoalan pembangunan.

Dengan demikian segala sesuatu yang menghalangi tujuan

pembangunan dari sisi kepentingan rasionalitas teknis akan

disingkirkan. Kedua, tujuan rasionalitas politis adalah agar institusi

politik tertentu tetap eksis dan berperan serta dalam mempertahankan

posisi. Pendekatannya ialah melakukan kompromi-kompromi,

negosiasi, akomodasi dengan cara-cara yang ramah dan menarik.

Ketiga, rasionalitas etis ingin mengedepankan nilai-nilai yang berpihak

pada manusia. Pendekatannya adalah memberi pertimbangan tentang

sesuatu itu baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, benar atau salah.

Logikanya bisa bersifat keras, bisa pula lunak. Jadi menurut Goulet

apabila pembangunan dilakukan hanya dengan mengutamakan salah

satu rasionalitas, maka akan terjadi proses pereduksian makna antar-

rasionalitas dan akan mengakibatkan terciptanya ketimpangan dalam

pembangunan yang dapat berakibat merugikan manusia. Untuk itu

dibutuhkan suatu interaksi yang mutualistis antar-ketiga rasionalitas

tersebut. Artinya, ketiga rasionalitis hendaknya berperan dan berfungsi

setara, masing-masing rasionalitas mempunyai kontribusi dalam

melihat persoalan pembangunan pada umumnya. Berikut ini akan

diberikan contoh lain tentang perspektif etis dalam pembangunan

berkaitan dengan lingkungan merujuk pada pemikiran Keraf (2006).

Selanjutnya, menurut Keraf (2006:168-173), ada 3 (tiga) hal

penting yang perlu diperhatikan ketika berbicara mengenai

pembangunan yaitu, aspek ekonomi, aspek sosial-budaya dan aspek

lingkungan hidup. Perhatian pada ketiga aspek tersebut

mengisyaratkan adanya suatu cara pandang yang menyeluruh dan

terintegrasi berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang

saling memengaruhi dan saling menentukan satu terhadap yang lain.

Dikatakan oleh Keraf bahwa pandangan ini ingin menyadarkan kita

bahwa, apabila salah satu aspek saja yang diperhatikan dan diberi posisi

yang dominan sementara aspek lain diabaikan maka, kecenderungan

tersebut akan melahirkan gangguan-gangguan yang berakibat pada

munculnya realitas ketimpangan serta kerusakan baik lingkungan

maupun hidup manusia. Agar tidak terjadi kerusakan dan gangguan

dalam berbagai aspek kehidupan manusia maka paradigma

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

250

pembangunan yang integratif dan holistik, mau tak mau harus

ditempatkan dalam semangat dan prinsip pembangunan yang disebut

pembangunan berkelanjutan. Dikatakan juga oleh Keraf (2006:175-

188), suatu paradigma dan praktek pembangunan yang bersifat

berkelanjutan harus ditandai oleh prinsip-prinsip berikut ini. Pertama,

prinsip demokrasi. Prinsip ini menginginkan agar aspirasi masyarakat

menjadi dasar implementasi pembangunan dan bukan kehendak

penguasa atau partai politik tertentu demi terwujudnya kepentingan

bersama dan bukan kepentingan individu atau kelompok. Untuk itu

diperlukan adanya komitmen serta mekanisme politik yang

memungkinkan prinsip pembangunan berkelanjutan diwujudkan atau

direalisasikan. Prinsip ini juga mengandaikan adanya partisipasi

masyarakat dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar

kepentingannya diakomodir, agenda pembangunan yang transparan

dan bersifat akuntabilitas. Sejalan dengan Keraf, Soedjatmoko (1985)

menyatakan pembangunan yang demokratis merupakan pembangunan

yang mendukung, kebebasan dan martabat manusia. Kedua, prinsip

keadilan. Prinsip ini mau menempatkan semua orang dan kelompok

dalam peluang yang sama dalam proses pembangunan termasuk

menikmati hasil-hasilnya. Itu berarti dalam menerapkan prinsip

keadilan tidak ada orang dan kelompok yang diperlakukan secara

istimewa oleh negara. Dengan kata lain semua orang atau kelompok

harus mempunyai peluang dan akses yang sama terhadap sumber-

sumber ekonomi yang diatur negara. Pikiran Keraf tentang prinsip

keadilan yang memberi peluang dan akses bagi seseorang atau

sekelompok orang sesuai dengan pikiran Sen (1999). Menurut Sen,

pembangunan sebagai kebebasan memberi akses kepada seseorang atau

sekelompok orang untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan,

kesehatan, kehidupan ekonomi dan sosial yang aman dan ada

kesetaraan secara politik. Dalam konteks ini juga berlaku prinsip

bahwa orang atau kelompok yang mendapat manfaat ekonomi paling

besar, harus menanggung kerugian yang besar atau membayar secara

proporsional kerusakan yang diakibatkan oleh apa yang dilakukannya

terhadap lingkungan yang tercemar atau rusak. Ketiga, prinsip

keberlanjutan. Prinsip ini mengandung paham bahwa pembangunan

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

251

yang dilaksanakan harus mempertimbangkan aspek sumber daya

ekonomi, sosial budaya dan lingkungan dalam jangka panjang. Dengan

demikian empat prinsip berikut mengharuskan kita memilih alternatif

pembangunan, yaitu yang hemat terhadap sumber daya, hemat dalam

penggunaan energi, meminimalkan adanya limbah dalam setiap

kegiatan pembangunan dan produksi ekonomi serta adanya prinsip

keadilan bagi generasi-generasi berikutnya secara berkelanjutan.

Sehingga kita terhindarkan dari kerugian-kerugian material, spiritual,

sosial-budaya dan terwujud kehidupan yang bermutu.

Dengan begitu dapat dikatakan Mitchell membicarakan

persoalan pembangunan berkelanjutan dari sisi manajemen sedangkan

Goulet dan Keraf menyorotinya secara etis. Menurut hemat penulis,

pandangan-pandangan tersebut penting untuk dirujuk sebagai dasar-

dasar pertimbangan baik dalam manajemen perencanaan maupun

dalam implementasi pembangunan, serta prinsip-prinsip etis yang

digunakan, karena akan membantu mengarahkan kita baik dalam

gagasan maupun dalam praktek pembangunan sesuai dengan semangat

dan paradigma pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks

pembangunan berkelalanjutan inilah gagasan pembangunan Papua

Baru dan pembangunan di Kampung Workwana mau dilihat.

Visi Pembangunan Papua

Realitas kesenjangan hidup yang dialami orang Papua di

kampung-kampung ditandai oleh keadaan tertinggal, miskin, tanpa

akses, tanpa infrastruktur dengan tingkat kemahalan yang luar biasa.

Kondisi yang demikian sesungguhnya berbading terbalik dengan

potensi obyektif alam dan daerah yang amat kaya, sehingga dilukiskan

oleh Suebu (2007) dengan istilah “Paradoks Papua”. Paradoks Papua

dilukiskan sebagai berikut. Di satu sisi realitas Papua yang tertinggal,

miskin, tanpa akses, tanpa infrastruktur dengan tingkat kemahalan

yang luar biasa memiliki keunggulan-keunggulan, yaitu status otonomi

khusus, penduduk sedikit, uang pembangunan tersedia, keadaan alam

yang kaya di sisi lain. Sedangkan Enembe (2015) menyebutnya sebagai

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

252

persoalan “7K”, di Papua. Fenomena 7K, ialah kemiskinan,

ketertinggalan, keterisolasian, kemahalan, kebodohan, ketersisihan dan

kematian.

Mengacu pada fenomena paradox Papua dan permasalahan 7K

Papua yang disebut di atas muncul beberapa pertanyaan yang dapat

ditelaah lebih jauh. Misalnya, sejauh mana keunggulan-keunggulan

Papua sudah dimanfaatkan secara maksimal dalam pembangunan

untuk meningkatkan kesejahteraan hidup orang Papua secara

berkelanjutan? Mengapa sampai saat ini persoslan 7K masih merupakan

masalah aktual pembangunan Papua? Apa saja hambatan dalam

pembangunan berkelanjutan di Papua? Paradigma pembangunan apa

yang dominan dikembangkan di Papua dan mengapa demikian?

Strategi pembangunan apa yang dibutuhkan untuk terwujudnya Papua

bangkit, mandiri dan sejahtera dalam perspektif pembangunan

berkelanjutan?

Sesungguhnya masih terdapat banyak pertanyaan penting dan

mendasar yang bisa diangkat terkait dengan permasalahan

pembangunan di Papua. Beberapa pertanyaan yang sudah dimunculkan

di atas ini dapat dianalogikan sebagai puncuk gunung es di atas lautan

persoalan pembangunan yang ada di Papua. Menurut hemat penulis,

berdasarkan fenomena paradox Papua dan permasalahan 7K di atas

secara eksistensial, maka Suebu dan Enembe mencoba menggagasi

orientasi baru pembangunan Papua yang dimulai dari kampung.

Menurut UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Bab I,

Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf J, menyebutkan istilah kampung

digunakan untuk menggantikan istilah desa. Orientasi dan strategi baru

pembangunan Papua yang lebih adil, bangkit, mandiri dan sejahtera

dilatarbelakangi dua alasan (Muridan, dkk, 2009; Dale & Djonga, 2011,

Suebu, 2011; Tebay, 2012; Enembe, 2016]. Pertama, selama ini kurang

ada perhatian terhadap masyarakat di kampung-kampung yang

menyebabkan masyarakat tetap miskin dan terbelakang. Kedua,

sebagian besar orang asli Papua berdiam di kampung-kampung

terpencil dalam keadaan miskin dan terbelakang.

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

253

Maka gagasan Papua Baru (Suebu, 2007) dirumuskan kembali

oleh Enembe (2016) sebagai visi pembangunan yang disebut Papua

Bangkit, Mandiri dan Sejahtera. Visi pembangunan tersebut ingin

diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan strategis yakni melalui

Pengelolaan Dana dan Penataan Otonomi Khusus, Gerbangmas Hasrat

Papua dan Menuju PON XX 2020. Sedangkan salah satu strategi

pembangunan kampung disebut sebagai Program Strategis

Pembangunan Ekonomi Kampung (PROSPEK).

Harapan ke Depan

Suebu (2007), melalui buku, Kami Menanam, Kami Menyiram, Tuhanlah Yang Menumbuhkan, berusaha mengemas pokok-pokok

pikirannya mengenai persoalan pembangunan Papua yang diharapkan

dapat digunakan sebagai salah satu acuan bersama membangun Papua

baru yang lebih adil dan sejahtera. Suebu pun menyatakan harapannya

dalam tulisan tersebut agar para bupati/walikota, pimpinan instansi

pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat

mengetahui dan menggunakannya sebagai salah satu sumber untuk

mengembangkan program pelayanan masyarakat yang semakin baik

khususnya masyarakat yang hidup di kampung-kampung di seluruh

tanah Papua. Kemudian Suebu menggagasi konsep pembangunan

Papua melalui beberapa kebijakan dasar yaitu, pembangunan yang

bertumpu pada pertumbuhan (Growth Centered Development), bertumpu pada kepentingan rakyat (People Centered Development) dan memelihara stabilitas (Development stability) serta

kesinambungan pembangunan (Development Continuity). Kebijakan

dasar tersebut dilaksanakan berdasarkan 6 (enam) prinsip yaitu

kesinambungan, keseimbangan, efisiensi, efektivitas, kemandirian dan

akuntabilitas. Berdasarkan strategi dan prinsip tersebut dicetuskanlah 4

(empat) agenda utama pembangunan Papua yakni, menata kembali

pemerintah daerah (good governance), membangun Tanah Papua yang

damai dan sejahtera secara adil dan merata bagi semua; dengan titik

berat perhatian pada daerah pedesaan, terpencil dan rakyat miskin di

daerah perkotaan; membangun Tanah Papua yang aman dan damai,

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

254

disiplin, taat hukum dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia;

meningkatkan dan mempercepat pembangunan prasarana dasar

(infrastruktur) di seluruh tanah Papua (darat, laut, udara), tersedianya

air bersih, energi dan sistem telekomunikasi yang memadai bagi

seluruh rakyat. Oleh karena itu dengan Paradoks Papua ia mau

mengungkapkan dua realitas yaitu, penduduk yang miskin (80%) di

atas kekayaan alam yang luar biasa. Padahal menurut Suebu, Papua

mempunyai empat keunggulan (status otonomi khusus, jumlah

penduduk yang sedikit, dana pembangunan tersedia, kekayaan alam)

yang dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Maka salah satu program utama pembangunan di masa

kepemimpinannya ialah pembangunan kampung, yang disebut

Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK). RESPEK

difokuskan pada perbaikan makanan dan gizi, pelayanan kesehatan,

pendidikan dasar, perekonomian rakyat, perumahan dan infrastruktur

kampung. Selain RESPEK, perhatiannya juga tertuju pada

pembangunan sumber daya manusia Papua, infrastruktur dan investasi,

tetap menjadi bagian penting komitmen pembangunannya selama masa

kepemimpinan tahun 2006-2011.

Setelah masa kepemimpinan Suebu dan Hesegem, gagasan

pembangunan mewujudkan wajah baru Papua yang lebih baik ke

depan diteruskan oleh Gubernur Lukas Enembe bersama Wakil

Gubernur Klemen Tinal (20013-2018). Keduanya menggagasi visi

pembangunan, Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera.Visi tersebut

diuraikan secara luas oleh Lukas Enembe, dalam buku Papua, Antara Uang dan Kewenangan (2016). Menurut Enembe, ada tiga pilar utama

pembangunan Papua, yaitu lembaga pemerintahan sebagai eksekutif

(Gubernur), legislatif (DPR) dan Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagai

representasi kultural Orang Asli Papua (OAP). Menurut Enembe,

komunikasi yang lebih intensif diharapkan berlangsung di antara

ketiga lembaga ini karena ketiganya mempunyai peran signifikan

dalam membangun Papua. Ketiga lembaga tersebut diajak Enembe

untuk bersama-sama menggumuli perasaan dan nuansa batin rakyat

Papua yang tinggal di kampung-kampung, rawa-rawa, lembah dan

gunung, pesisir pantai dan pulau-pulau terpencil serta daerah

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

255

perbatasan. Dikatakan oleh Enembe, mereka semua menaruh harapan

besar kepada tiga lembaga ini dan ia merasa berdosa ketika

meninggalkan atau menghancurkan harapan-harapan mereka. Ada

dua agenda besar pembangunan Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera.

Pertama, bagaimana orang Papua bangkit dan tampil berperan dalam

berbagai sektor kehidupan, berani menghadapi tantangan dan

bertanggung jawab; Kedua, membangun kemandirian yang

bertitiktolak dari membangun kemajuan ekonomi rakyat Papua.

Karena kemandirian mengandaikan saling membutuhkan dan

keterbukaan antara pusat dan daerah. Maka kemandirian di sini berarti

memberi kesempatan kepada rakyat Papua merencanakan,

melaksanakan dan mengelola sumber daya alam di wilayahnya secara

mandiri dan bertanggung jawab untuk kesejahteraan rakyat Papua.

Berdasarkan visi dan agenda pembangunan yang demikian, salah satu

fokus perhatian program pembangunan yang dikembangkan Enembe

ialah mengurangi persoalan yang disebut “7K”, yaitu kemiskinan,

ketertinggalan, keterisolasian, kemahalan, kebodohan, ketersisihan dan

kematian. Menurut Enembe, persoalan 7K tersebar secara merata di

seluruh Papua. Fenomena 7K tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.1 di

bawah ini yang ditandai dengan 7 tanda panah, meliputi seluruh

wilayah Provinsi Papua.

Gambar 7.1. Permasalahan 7 K Papua

7 K PAPUA

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

256

Maka menurut Enembe, “Gerakan Bangkit Mandiri dan Sejahtera

Harapan Seluruh Rakyat Papua (Gerbangmas Hasrat Papua), berfokus

pada: (1) Generasi Emas Papua (Gemas Papua): prioritas menuntaskan

buta aksara dan tuntutan wajib belajar 9 tahun, jaminan 1000 hari

pertama kehidupan pada kualitas anak dalam pelayanan kesehatan dan

asupan gizi sejak janin dalam kandungan sampai berusia dua tahun,

peningkatan prestasi olahraga, seni dan budaya serta pengembangan

daya saing SDM Papua; (2) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

(Berdaya Emas): prioritas pada program strategis pembangunan

ekonomi dan kelembagaan kampung (PROSPEK); (3) Percepatan

Pembangunan Infrastruktur dan Prasarana Dasar; (4) Reformasi

Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan. Berdasarkan visi, agenda

besar dan strategi pembangunan tersebut di atas dibuatlah kebijakan

skema penggunaan dana OTSUS 80:20, yakni 80% dana dikelola

kabupaten dan 20% dikelola provinsi. Anggaran tersebut digunakan

dengan sasaran, pengembangan dan pelayanan bidang pendidikan,

kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pemenuhan

infrasrtuktur dasar. Dengan demikian diharapkan dampak

pembangunan akan lebih dirasakan oleh masyarakat Papua yang

berada di daerah, khususnya mereka yang hidup di pelosok-pelosok

kampung bukan yang ada di provinsi. Menurut Enembe, filosofi

PROSPEK bukan sekedar pengalokasian dana ke kampung-kampung

tetapi yang utama ialah menempatkan masyarakat sebagai subyek

pembangunan yang diimplementasikan dengan Pendekatan Kampung

Terpadu (PKT). PKT dilakukan melalui pemetaan komoditas unggulan

daerah, perubahan pola pikir yang terintegrasi tanam, petik, olah dan

jual, melibatkan seluruh SKPD, Kementerian dan Lembaga serta mitra

pembangunan BUMN dan BUMD.

Visi pembangunan Papua Baru, Bangkit Mandiri dan Sejahtera

yang berorientasi pada kampung-kampung dengan strategi Gerakan

Bangkit Mandiri dan Sejahtera Harapan (Gerbangmas Hasrat Papua)

melalui pendekatan PROSPEK dapat dikatakan memberi sejumlah

harapan. Namun menurut penulis harus dikatakan pula sejatinya

terdapat beberapa ganjalan yang bersifat politis dan paradigmatis

tentang pembangunan Papua yang holistik dan berkelanjutan.

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

257

Pertama, belum tersedianya payung hukum sebagai peraturan

pelaksanaan berbentuk Peraturan Daerah Provinsi (PERDASI) maupun

Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) serta aturan turunannya secara

menyeluruh dan terintegrasi di tingkat provinsi, kabupaten dan kota

yang meliputi aspek pembangunan manusia, ekonomi atau

kesejahteraan dan lingkungan hidup sebagai panduan pembangunan

daerah. Kedua, adanya tarik menarik kepentingan politik

pembangunan antara pusat dan daerah serta antara paradigma

pembangunan berkelanjutan dan paradigma pertumbuhan yang

melibatkan intervensi korporasi besar nasional dan transnasional yang

berakibat pada pelanggaran hak-hak dasar masyarakat (Frangky &

Morgan, 2015). Ketiga, terbatasnya pemahaman masyarakat, birokrat,

politisi dan mitra pembangunan lain tentang paradigma pembangunan

berkelanjutan sehingga rasionalitas politis dan teknis lebih menonjol

daripada rasionalitas etis. Keempat, belum diselesaikannya secara

hukum masalah-masalah pelanggaran HAM di Papua dan persoalan

politik Papua melalui dialog Papua Jakarta sehingga menimbulkan

sikap apriori masyarakat terhadap pemerintah. Kelima, Pendekatan

strategi affirmative action yang lebih terbuka dan mandiri melalui

revisi Undang-undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua

(Enembe, 2016) yang berlarut-larut menimbulkan kecurigaan

masyarakat terhadap pemerintah pusat, yakni pemerintah tidak serius

membangun Papua dan hal ini berdampak pada partisipasi masyarakat

dalam pembangunan.

Berdasarkan latar belakang keadaan, tujuan dan strategi

pembangunan Papua serta kendala-kendala yang ada sebagaimana

digambarkan di atas, studi kasus tentang pengembangan kelapa sawit di

Kampung Workwana mau dianalisis dan direfleksikan dari perspektif

Sustainable Livelihood (Kristian Ansaka dkk., 2009, 329-330; Muridan

S. Widjoyo, dkk., 2009; Dale & Djonga, 2011; Tebay, 2012; Majalah

Honai, 2013).

Sesudah melihat pokok-pokok gagasan pembangunan Papua Baru

menurut Suebu dan Enembe, berikut ini dibuat suatu skema visi

pembangunan Papua Baru dimaksud yang telah dijelaskan di atas.

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

258

OTSUS

Gambar 7.2

Latarbelakang dan Tujuan Pembangunan Papua

Workwana dan Realitas Pembangunan

Kampung Workwana sebagai bagian dari Kabupaten Keerom

dan Provinsi Papua diharapkan berkembang juga menuju Papua Baru

yang adil, sejahtera, bangkit dan mandiri. Cita-cita menuju Papua Baru,

didekati dengan pembangunan di bidang ekonomi melalui perkebunan

kelapa sawit, diharapkan berdampak pada aspek kehidupan lain

penduduk setempat. Setelah 32 tahun kelapa sawit dikembangkan di

daerah Keerom, Distrik Arso mengalami perubahan dan perkembangan

sebagai sebuah proses transformasi yang amat berarti dalam berbagai

aspek kehidupan penduduk di daerah tersebut. Akan tetapi

transformasi tersebut sekaligus juga telah menciptakan konflik sosial,

krisis serius yang multidimensi. Krisis tersebut kemudian menjadi

ongkos sosial dan ekonomi yang begitu mahal sebagai beban luar biasa

penduduk setempat. Akibat pendekatan pembangunan yang demikian,

muncullah sikap resistensi penduduk sebagai bentuk sebuah gerakan

sosial masyarakat adat sebagai colletive action. Berikut dibuat suatu

analisa dan refleksi mengenai permasalahan yang disebutkan.

Refleksi atas Resistensi dan Konflik dengan PTPN II

Kesuksesan Indonesia sebagai salah satu negara produsen

minyak kelapa sawit dunia tidak diikuti oleh kisah keberhasilan dan

kesejahteraan masyarakat lokal sebagai petani kelapa sawit atau buruh

Paradoks Papua (Suebu, 2007) & Papua: AntaraUang& Kewenangan (Enembe, 2016)

Papua Baru: adil, damai, sejahtera, bangkit&mandiri

RESPEK (Suebu) dan PROSPEK (Enembe)

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

259

tani pemilik hak ulayat. Justru yang dialami penduduk lokal sebagai

akibat pengembangan industri kelapa sawit ialah terjadinya proses

pemiskinan penduduk asli setempat, pelanggaran hak sosial, ekonomi

dan budaya, hak azasi manusia, kerusakan lingkungan dan konflik-

konflik terkait lahan. Tahun 2010 Sawit Watch mencatat lebih dari 663

warga masyarakat berkonflik dengan lebih dari 172 perusahaan dan

106 orang ditangkap akibat konflik-konflik tersebut.

Konflik sumber daya alam (SDA) karena adanya eksploitasi

yang terjadi baik di Papua maupun di berbagai daerah lain di

Indonesia. Seperti dijelaskan oleh Kompas (16 Februari 2013) bahwa

konflik karena SDA berkaitan dengan usaha pertambangan, kehutanan

dan perkebunan terjadi meluas di 22 provinsi di seluruh Indonesia.

Data berikut menggambarkan konflik SDA dimaksud.

Tabel 7.1

Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia

No Bidang Usaha Jumlah Kasus Luas lahan Keterangan

1. 2. 3.

Perkebunan Kehutanan Tambang

119 72 17

415.000 ha 1.3 juta ha 30.000 ha

Sumber: Kompas, 16 Februari 2013

Konflik-konflik terkait SDA sebagaimana digambarkan di atas

ternyata merupakan masalah yang serius karena berkaitan langsung

dengan nasib hidup rakyat, hak atas tanah, dan hutan serta sumber

daya penghidupan yang ada. Aditjondro (2003), juga melihat bahwa

penanganan konflik-konflik SDA cenderung mengidikasikan

terjadinya kekerasan dan bahkan adanya pelanggaran hak asazi

manusia HAM. Konflik berlatarbelakang kepentingan hak-hak

masyarakat setempat pun terjadi di Papua. Konflik-konflik antara

masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan berkaitan dengan

penggunaan sumber daya hutan masyarakat dan penggunaan lahan-

lahan untuk pengembangan industri perkebunan, seperti digambarkan

di atas, jauh sebelumnya telah terjadi di daerah Keerom dan

Manokwari. Kedua tempat ini memang banyak mengisahkan persoalan

konflik antara masyarakat dan perusahaan karena pengembangan

kelapa sawit di Tanah Papua berawal dari kedua daerah ini.

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

260

Latarbelakang konflik atas tanah sebagaimana digambarkan di

atas dapat dilihat dari penjelasan berikut.Fauzi dan Bachriadi [dalam

Fauzi & Nurjaya (Penyunting), 2000], mengutip Aditjondro (1995),

melihat ada beberapa jenis persoalan konflik tanah di Indoensia. Jenis-

jenis konflik tersebut ialah, (1) konflik mayoritas-minoritas, yang

umum terjadi di Indonesia, (2) konflik antara warga negara dengan

negara, (3) konflik politis-ekologis, (4) konflik antara sistem ekonomi

yang berbeda, (5) konflik antara ekosistem-ekosistem, (6) konflik

antara sistem hukum yang berbeda. Berkaitan dengan konflik lahan

perkebunan masyarakat adat di Workwana dan beberapa kampung di

sekitarnya dengan pemerintah dan perusahaan kelapa sawit, sekurang-

kurangnya mengandung empat jenis konflik, sebagaimana dilihat oleh

Aditjondro. Jenis-jenis konflik tanah di wilayah ini dapat dikatakan

berbentuk, a. konflik antara warga negara dengan negara, b. konflik

politis-ekologis, c. konflik antara sistem-sistem ekonomi yang berbeda

dan d. konflik antara sistem hukum yang berbeda. Selanjutnya akan

direfleksikan konflik-konflik dimaksud dalam perspektif konflik tanah

ulayat penduduk dengan PTPN II dalam pengalaman penduduk di

Workwana.

Pertama, Konflik antara warga negara dan negara. Sebagaimana

diketahui bahwa PTPN II yang beroperasi di wilayah Distrik Arso di

bidang perkebunan sawit, merupakan sebuah badan usaha milik

negara. Sebagai BUMN di daerah PPTPN II, bekerja berdasarkan

regulasi-regulasi, seperti terkait dengan kontrak lahan yang cenderung

tidak berpihak pada rakyat atau masyarakat adat. Sejak awal

berdirinya, dikisahkan oleh penduduk bahwa dari pengalaman terlihat

jelas BUMN ini menggunakan aparat keamanan negara untuk menekan

penduduk memenuhi keinginan perusahaan dan memanfaatkan kuasa

pemerintah memanipulasi luas lahan masyatakat yang digunakan

untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah Distrik Arso.

Fenomena ini terang benderang memperlihatkan wujud perlawanan

negara terhadap warga negara yang bersifat represif dan melanggar

hak-hak ekonomi, sosial dan budaya penduduk setempat (Dale &

Djonga, 2011). Pendekatan-pendekatan tersebut ternyata meninggal-

kan trauma dan luka batin yang mendalam di masyarakat terhadap

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

261

aparat keamaman, rasa benci yang luar biasa terhadap perusahaan dan

pemerintah dan rasa curiga berkepanjagan terhadap kegiatan dan

aktivitas baru dari luar. Gejolak psikologis dan sosial ini berdampak

pada relasi-relasi sosial masyarakat yang menyebakan penduduk

bersikap tertutup terhadap orang lain. Kecuali jika orang yang berelasi

dengan penduduk tersebut dilihat sebagai orang yang jujur, memahami

dan berpihak, orang yang dipercayai dan diyakini pro penduduk

setempat. Kedua, Konflik politik ekologis. Menurut penduduk

setempat pengalihfungsian hutan sebagai lahan sawit merupakan

sebuah kegiatan politik pemerintah di wilayah perbatasan melalui

pendekatan ekonomi. Dikatakan demikian oleh penduduk setempat

karena secara politik daerah ini ada di wilayah perbatasan yang harus

aman dari berbagai gangguan yang dilakukan oleh kelompok separatis

OPM. Karena itu alasan penanaman kelapa sawit merupakan

pendekatan keamaman politik ekologis yang tepat. Dengan kata lain

perkebunan kelapa sawit di daerah ini mempunyai dua fungsi yaitu,

fungsi manifest sebagai kegiatan ekonomi, tetapi juga mengandung

fungsi laten sebagai kegiatan politik bagi keamanan daerah perbatasan.

Dampaknya ialah partisipasi penduduk di bidang pembangunan

ekonomi melalui perkebunan sawit menyisahkan sikap resistensi

penduduk. Karena pendekatan politik ekologis daerah perbatasan ini

telah menimbulkan berbagai krisis dalam kehidupan penduduk

setempat, yaitu krisis ekonomi, krisis lingkungan, krisis kelembagaan

masyarakat, dan krisis sosial budaya dengan ongkos ekonomi dan sosial

yang luar biasa mahal (Sen, 2000; Aditjondro, 2003). c. konflik antara

sistem-sistem ekonomi yang berbeda. Krisis-krisis tersebut di atas, yang

ditimbulkan oleh beroperasinya perkebunan sawit di daerah ini

dilatarbelakangi oleh paradigma dan sistem pendekatan ekonomi

pertumbuhan atau production thingking, yang melihat hutan, tanah

dan manusia sebagai alat dan sumber produksi. Oleh sebab itu kelapa

sawit dilihat sebagai salah satu komoditi unggulan.yang dapat

memenuhi syarat produktivas dan pertumbuhan dimaksud. Dari

cirinya sistem pendekatan ekonomi pertumbuhan cenderung

mengabaikan paradigma pembangunan berkelanjutan karena sifatnya

yang ekstraktif dan mengabaikan sistem ekonomi lain, khusunya

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

262

sistem pendekatan ekonomi subsisten (Barnard dan Spencer, 1996, 288-

291)22, penduduk setempat yang memperhatikan aspek keberlanjutan

lingkungan hidup bagi manusia. [Escobar, 1995; Munck & O’Hearn,

(Ed.), 1999; Acemoglu & Robinson, 2014]. d. Konflik antara sistem

hukum yang berbeda. Secara kelembagaan pertikaian atau konflik ini

memperlihatkan adanya pertarungan yang diungguli dan didominasi

oleh hukum positif negara atas tradisi penduduk setempat. Orang

Workwana, Arsokota dan orang Keerom pada umumnya sebenarnya

mempunyai aturan atau tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang

secara turun-temurun untuk mengatur kehidupan bersama sebagai

suatu masyarakat atau yang dikenal dengan sistem tenurial penduduk

(Patay, 2005; Colchester, at. al., 2007; Marti, dkk., 2008 ). Namun

tradisi tersebut berbenturan dengan hukum positif yang dipakai negara

atau BUMN seperti PTPN II atas nama kepentingan umum atau negara

mengalahkan tradisi atau kebiasaan penduduk setempat. Masalahnya

ialah banyak penduduk tidak memahami aturan hukum yang ada

sehingga masyarakat biasanya menjadi korban atas produk hukum

negara tersebut. Implikasi lain ialah, ketika penduduk menolak hukum

negara, mereka dengan mudah distigma sebagai anti negara, separatis

dan lain-lain. Penggunaan hukum yang berbeda dapat digunakan

penguasa sebagai alat teror dan manipulasi terhadap masyarakat.

Padahal negara seharusnya melindungi atau mengayomi warganya dari

segala bentuk intimidasi dan stigmatisai dan berbagai pendekatan yang

bersifat eksploitatif terhadap penduduk setempat (Bdk. Yunus Ukru,

dkk., 1993; Malak, 2006).

22Menurut Barnard dan Spencer tipe “hunter and gatherer society”memperlihatkan dua hal. Pertama, kelompok ini merupakan suatu kategori sosial, tipe organisasi sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat yang subsisten yaitu kehidupan yang bergantung pada tumbuh-tumbuhan serta binatang-binatang liar yang ada di hutan dan menanam berpindah-pindah. Selain itu tipe organisasi sosial masyarakat seperti ini merupakan bentuk masyarakat egalitarian yang sederhana. Kedua, bentuk masyarakat seperti ini dilihat sebagai suatu simbol solidaritas dari gerakan budaya suatu masyarakat. Pandangan ini dapat dikatakan sejalan dengan studi Boelaars (1986), yang melihat budaya masyarakat Papua terbagi ke dalam beberapa tipe budaya yang melatarbelakangi kehidupan sehari-hari. Boelaars membedakan tipe masyarakat yang disebut peramu dan masyarakat petani.

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

263

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat dikatakan

bahwa masalah hak ulayat dan tuntutan ganti rugi tanah bukan

merupakan urusan yang mudah seperti membalik telapak tangan,

sebagaimana dijelaskan oleh Wenehen (2005) dan Malak (2006). Dari

catatan-catatan di atas jelas terlihat terjadi beberapa kali pelepasan

tanah adat atau tanah ulayat yang dilakukan oleh masyarakat adat di

Arso, baik yang dilepas oleh pemilik yang sah maupun bukan pemilik

hak ulayat yang sah, dengan total luas mencapai 92.410 hektare. Semua

lahan tersebut dilepas dalam kurun waktu sebelas tahun, dari tahun

1981 sampai 1992 sebagaimana dicatat oleh Rosariyanto dan Ansaka,

dkk., serta berdasarkan penjelasan masyarakat. Dari surat-surat

pelepasan yang ada tidak satupun surat yang terbebas dari klaim.

Rosariyanto dkk., dan Ansaka dkk., menyebut alasan masyarakat

mengklaim surat-surat tentang pelepasan tanah ulayat sebagaimana

disampaikan oleh beberapa tokoh adat yang ditemui penulis, karena

hal-hal berikut: tanah ulayat yang dilepaskan diubah tempatnya baik

untuk areal perkebunan maupun lokasi transmigrasi PIR tanpa

koordinasi, pelepasan dilakukan oleh pemilik yang tidak sah, rekognisi

diserahkan kepada pihak yang tidak berwenang karena bukan pemilik

hak ulayat yang sesungguhnya.

Potret penduduk setempat di Workwana memperlihatkan

wajahnya yang sedang mengalami transformasi atau sedang berproses

dalam perubahan. Perubahan itu ditandai oleh situasi di mana mereka

sedang beranjak dari keadaan subsisten, bergantung pada alam, hutan

dengan segala sumber daya penghidupan yang ada di dalamnya, ke

bentuk kehidupan baru yang lebih produktif, sebagai petani kelapa

sawit, peternak, pedagang, pegawai negeri sipil, pegawai swasta dan

lain-lain diterjang berbagai krisis serius. Situasi demikian itulah yang

dimaksud dengan proses transformasi sosial di Workwana dan

sekitarnya yang berwajah destabilisasi, disparitas pendapatan dan sosial

serta deteritorialisasi kehidupan penduduk asli setempat sebagai

dampak pembangunan. Proses transformasi sosial yang sejatinya

mengembangkan, memajukan dan meningkatkan mutu hidup

penduduk setempat ternyata berdampak menimbulkan krisis serius di

beberapa aspek kehidupan orang Kampung Workwana.

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

264

Konflik tersebut tidak berakhir di sini tetapi berlanjut pada

munculnya sikap resistensi penduduk. Seperti telah diuraikan pada Bab

6, resistensi penduduk terhadap PTPN II tidak dilakukan orang

Workwana sebagai penduduk kampung di mana terdapat perkebunan

kelapa sawit tetapi dilakukan secara bersama-sama dengan warga

kampung-kampung tetangga sebagai komunitas masyarakat adat. Oleh

karena itu sikap resistensi penduduk dilihat sebagai colletive action.

Resistensi penduduk dilatarbelakangi oleh berbagai hal berikut.

Adanya kecurigaan penduduk terhadap pemerintah dan perusahaan

yang memanipulasi luas lahan perkebunan sawit dari 5.000 hektare

menjadi 50.000 hektare; kemudian setelah lebih dari 25 tahun masa

tanam ternyata kelapa sawit tidak memberi kesejahteraan kepada

penduduk sebagaimana dijanjikan pada awal pelepasan tanah-tanah

penduduk untuk perkebunan sawit; urusan sawit menimbulkan beban-

beban biaya saat panen, saat memasukkan TBS di pabrik, pemeliharaan

kebun, termasuk penyelesaian beban kredit perusahaan untuk

pengembangan perkebunan sawit, terjadi fluktuasi harga bahkan

sampai mencapai harga terendah yang merugikan penduduk setempat

sebagai petani sawit, hilangnya hutan dan lahan penduduk untuk

mencari nafkah secara subsisten. Keadaan ini kemudian memunculkan

sikap resistensi sebagai collective action penduduk.

Dari perspektif resistensi yang dikembangkan oleh Vinhagen

Stellan (2007) dapat dijelaskan bahwa, resistensi dilihat sebagai sikap

atau tindakan tandingan atas kekuatan-kekuatan dominan dalam

relasi-relasi, proses atau institusi-institusi untuk memperjuangkan

kesetaraan dalam kehidupan bersama. Singkatnya, Vinhagen

menyatakan ada empat hal penting dalam definisi resistensi: (1) ada

suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang;

(2) dalam rangka merespon kekuasaan; (3) menghadapi tantangan

kekuasaan; (4) berisikan kemungkinan mengurangi penguasaan. Ia pun

membedakan dua bentuk resistensi. Resistensi dengan kekerasan yang

pada umumnya digunakan melalui, revolusi, demonstrasi, pemogokan

dan boikot. Sendangkan bentuk-bentuk resistensi tanpa kekerasan

seperti, resistensi diskursif (bentuk simbolik komunikasi dengan

membangun argumen yang baik, atau menyampaikn laporan hasil

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

265

penelitian tandingan, image tandingan, perilaku tandingan); kompetisi,

tidak bekerja sama, bekerja sama selektif, menarik diri, menghentikan

suatu proses, lelucon yang merusakkan.

Bila penduduk di Workwana, Arsokota dan sekitarnya

menunjukkan resistensi mereka dalam berbagai bentuk. Ada protes

melalui surat-menyurat, secara demontrasif berhenti panen (menjual

dan mengontrakan lalan), melakukan pemalangan pabrik dan kebun

Inti perusahaan, mempertahankan wilayah segitiga emas, dan

melakukan upacara adat tanda penghentian kegiatan di perkebunan

sawit. Bila bentuk-bentuk resistensi masyarakat adat ini dibandingkan

dengan bentuk-bentuk resistensi yang disebut Vinhagen, terlihat ada

beberapa perbedaan penting yang dapat disebutkan sebagai berikut.

Resistensi orang Arso berbentuk: tindakan tanpa kekerasan seperti,

menempuh jalur hukum, menjual dan mengontrakan lahan; sedangkan

resistensi dengan kekerasan ialah memalang pabrik dan kebun inti

perusahaan. Bentuk resistensi ketiga ialah upacara adat. Upacara adat

mengandung peringatan, teguran dan sekaligus ancaman. Jadi

reisistensi ketiga mengandung tidak bersifat kekerasan tapi juga

megandung unsur-unsur kekerasan karena terdapat ancaman. Dengan

demikian resistensi dalam kasus ini dapat dikatakan merupakan

colletive action tidak saja dilakukan oleh masyarakat adat Arso tetapi

juga mengikat dan mengandung sanski bagi perusahaan atau pihak lain

yang melanggar apa yang sudah dibuat dalam upacara adat. Selanjutnya

akan direfleksikan dampak kelapa sawit terkait dengan Livelihood

penduduk.

Kelapa Sawit: Tinjauan Livelihood Orang Workwana

Hasil penelitian yang dilakukan penulis di Workwana

memperlihatkan bahwa pembangunan dengan pendekatan production thingking yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi, berdampak

memunculkan polarisasi masyarakat. Polarisasi tersebut menjadikan di

satu pihak ada pemerintah, perusahaan dan pemodal sebagai penguasa,

dan di pihak lain ada masyarakat atau penduduk setempat, sebagai

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

266

entitas yang dikuasai. Artinya secara sosial terkonstruksi sistem dan

struktur sosial ekonomi dan politik yang didominasi penguasa, dan

korporasi bermodal sebagai penentu kebijakan, berhadapan dengan

masyarakat petani dan buruh tani, nelayan, buruh pabrik, orang desa

dan tenaga upahan lainnya sebagai pelaksana kebijakan. Dampak

polarisasi tersebut memunculkan relasi-relasi sosial ekonomi dan

politik yang disosiatif, mengandung relasi dalam kesenjangan atau

ketimpangan yang luar biasa. Relasi yang disosiatif dan timpang

tersebut bermuara pada resistensi masyarakat seperti yang terjadi

dalam pengalaman kasus perkebunan sawit di Distrik Arso. Selanjutnya

akan dijelaskan berbagai bentuk konflik yang bermuara pada sikap

resistensi masyarakat di wilayah Workwana dan sekitarnya.

Di satu sisi harus diakui bahwa berbagai perubahan dan

perkembangan yang bersifat makro telah terjadi dalam kehidupan

masyarakat di tempat ini secara khusus melalui pengembangan

perkebunan kelapa sawit dan kegiatan pembangunan lainnya. Dari

penuturan penduduk, masa-masa emas hasil kelapa sawit bagi mereka

hanya berlangsung beberapa saat, setelah itu warga kembali mengalami

keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama sejak

produksi kelapa sawit terus menurun dan warga berhenti mengurus

kelapa sawit sejak tahun 2000.

Di sisi lain harus dikatakan pula bahwa pendekatan

pembangunan seperti yang telah dilakukan selama ini telah

menimbulkan persoalan-persoalan pembangunan yang signifikan

terhadap Livelihood penduduk asli setempat di Kampung Workwana,

termasuk penduduk kampung-kampung tetangga.

Krisis-krisis Akibat Pengembangan Kelapa Sawit

Kehadiran kelapa sawit sebagai komoditas unggulan yang selalu

dibanggakan dan telah menyebar di seluruh Indonesia ternyata

memunculkan masalah serius dalam kehidupan penduduk asli setempat

karena kelapa sawit menyebakan terjadinya sejumlah krisis yang

berdampak luas dan signifikan bagi kehidupan mereka. Studi tentang

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

267

kelapa sawit di Workwana memperlihatkan munculnya berbagai

krisis,yakni krisis ekologi (lingkungan), ekonomi, kelembagaan dan

sosial budaya.

Krisis yang paling konkrit atau nyata diarasakan dan dialami

ialah krisis ekologi, kemudian krisis ekonomi, sesudah itu krisis

kelembagaan dan krisis sosial-budaya yang berkaitan dengan nilai-nilai

hidup penduduk setempat. Berikut ini dibuat penjelasan mengenai

krisis-krisis dimaksud sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.

Dalam urutan krisis-krisis yang terjadi, krisis lingkungan atau ekologi

di tempatkan paling awal, dan terletak di bawah kemudian disusul

krisis-krisis yang lain.

Gambar 7.3 Jenis-jenis Krisis

Krisis Ekologi (Lingkungan)

Krisis ekologi lebih bersifat krisis material yang langsung

dialami, dan mendasar karena langsung berkaitan dengan unsur

kehidupan yang langsung berkaitan dengan kepentingan hidup

manusia dan berdampak terhadap Livelihood penduduk setempat.

Krisis ekologi atau krisis lingkungan, berkaitan dengan

rusaknya lingkungan dan ekosistem yang berdampak signifikan

merugikan manusia. Untuk menganalisis krisis ekologi, pemikiran-

Sosial-Budaya

Ekonomi

Ekologi

Kelembagaan

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

268

pemikiran yang berhubungan dengan persoalan ekologi digunakan

untuk melihat persoalan dimaksud.

Jain (2001) menjelaskan bahwa, lingkungan hidup terdiri dari

tiga komponen dasar yang saling berhubungan dan memengaruhi yaitu

(1) unsur fisik (pohon, tanah, batu, air dan lain-lain); (2) udara, cuaca

dan angin, dan lain-lain; (3) makhluk hidup (manusia, hewan dan

tumbuh-tumbuhan). Ketiga komponen ini membentuk satu jaringan

yang terpadu dan serasi. Masing-masing komponen berada pada

tempatnya dan berperan membentuk suatu ekosistem kehidupan yang

terpadu. Namun masalah ekologi muncul ketika salah satu komponen

dirusakkan. Artinya adanya perubahan pada salah satu bagian dari

ekosistem yang ada akan memengaruhi pula kesimbangan seluruh

ekosistem.

Merujuk pada pemikiran Jain di atas dapat dikatakan bahwa

ekosistem yang terganggu di wilayah perkebunan kelapa sawit di

daerah Workwana dan sekitarnya karena hutan-hutan ditebang dan

tanah masyarakat dialihfungsikan, berdampak menimbulkan krisis

lingkungan hidup [Aditjondro, 2003, 59-103 & 403-425; Frangky &

Morgan (Penyunting), 2015]. Dampak kerusakan ekologi atau

lingkungan ternyata telah menimbulkan krisis berkepanjangan

berkaitan dengan tersingkirnya Livelihood subsisten (Boelaars, 1989)

penduduk asli di sekitar perkebunan kelapa sawit sebagai suatu

persoalan serius pembangunan di daerah, Ansaka dkk. (2009) mencatat

Perseroan Terbatas Perkebunan Nasional (PTPN) II Tanjung Morawa

Medan telah membuka lahan perkebunan kelapa sawit sekitar 51.310

hektare di daerah Kabupaten Keerom. Dengan demikian hasil studi

kasus di Workwana ini memperlihatkan krisis tersebut ditandai oleh

fenomena-fenomena berikut. Pertama, hutan sebagai tempat dan

sumber Livelihood penduduk asli yang di dalamnya terdapat jenis-jenis

flora dan fauna serta berbagai potensi kekayaan alam, hilang. Selain itu

hutan dengan tutupan humus organik dan sebagai daerah serapan air,

sebagai habitat hewan liar dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat

bagi penduduk sebagai suatu ekosistem yang terpadu pun berubah

fungsi, tidak dapat dimanfaatkan dan sulit ditemukan oleh penduduk

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

269

di sekitarnya. Kedua, terjadi degradasi dan deforestasi hutan yang

berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan alam, tercemarnya

tanah oleh berbagai jenis bahan kimia, meningkatnya bencana banjir di

musim hujan dan kekeringan hebat di musim panas di daerah Distrik

Arso. Fenomena banjir yang parah dialami masyarakat sebagai akibat

degradasi dan deforestasi lingkungan ketika musim hujan, terjadi di

beberapa daerah di wilayah Distrik Arso. Sebaliknya, ketika musim

kemarau daerah ini mengalami kesulitan air bersih untuk konsumsi

dan keperluan rumah tangga. Ketiga, diakui oleh penduduk bahwa

debit air di sumur-sumur masyarakat dari waktu ke waktu terus

menurun dan terjadi peningkatan pencemaran air yang berdampak

pada kesehatan penduduk. Dokter Evi Kepala Balai Pengobatan St

Lusia Workwana menyatakan, air yang keruh itu pada umumnya,

berbau dan terasa asam. Menurut beberapa informan di Workwana,

keadaan air yang sedemikian buruk disebabkan antara lain oleh kelapa

sawit yang ada di daerah ini, yang cukup banyak menyerap air di satu

sisi. Di sisi lain pasokan air terus berkurang akibat hutan-hutan gundul

dan terjadi berbagai pencemaran air karena tanah-tanah mengalami

pencemaran berbagai jenis zat kimia yang digunakan untuk

pemupukan. Menurut informasi penduduk setempat, salah seorang

peniliti asal Jepang beberapa tahun silam menyatakan bahwa di daerah

ini satu pohon sawit setiap hari menyerap air kurang lebih 6 sampai 8

liter. Hal ini dapat dibandingkan dengan hasil Penelitian Lingkungan

Universitas Riau, yang menyebutkan bahwa satu pohon sawit setiap

hari menyerap air sebanyak 12 liter23. Pernyataan-pernyataan tersebut

tentu mengindikasikan bahwa kelapa sawit memang mempunyai

dampak terhadap lingkungan yang memengaruhi ketersediaan air

secara memadai yang dibutuhkan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Keempat, sebagaimana dikatakan penduduk, dengan dibabatnya hutan-

23Syaiful Ahmad mengutip hasil Penelitian Lingkungan Universitas Riau yang menyatakan, dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (ST. Ariful Amri MSc, dalam Riau Online, Pekanbaru). Di samping itu dicacat pula bahwa pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya (https://adekrawie.wordpress.com/2007/07/27/ dampak-ekologi-dan-lingkungan-akibat-perkebunan-sawit-skala-besar/, diunduh 4 November 2016)

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

270

hutan, penduduk setempat mengalami kesulitan memperoleh berbagai

jenis bahan baku lokal berupa kayu, rotan dan lain-lain untuk

keperluan membangun rumah, pembuatan pagar dan keperluan rumah

tangga lainnya. Artinya hilangnya bahan-bahan baku dari hutan

berarti hilang pula berbagai sumber penghidupan yang biasa

dimanfaatkan untuk kepentingan hidup penduduk setempat.

Hilangnya berbagai bahan baku lokal mengakibatkan penduduk

setempat semakin tak berdaya dan terpuruk. Sebagai perbandingan

dapat dilihat hasil Studi Kasus di 5 Pulau Besar di Indonesia Periode

1990 s/d 2010, Majalah Sawit Indonesia, 15 Februari-15 Maret 2014,

yang menyebutkan:

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang mengubah tutupan lahan tidak hanya akan mengurangi stok karbon, akan tetapi juga mengancam kerusakan keaneka-ragaman hayati, berkurangnya cadangan air dan kualitas tanah dan berkurangnya habitat satwa yang dilindungi.

Studi ini sebenarnya bertujuan sebagai bahan masukkan bagi

pemerintah Indonesia untuk mengembangkan perkebunan kelapa

sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Karena krisis ekologi

pada dasarnya bertentangan dengan prinsip etika pembangunan

berkelanjutan (Goulet, 1995 dan Keraf, 2006). Dan dalam perspektif

Community Development menurut Ife Jim (2002), secara ekologis,

pembangunan dilihat lebih holistik, berkelanjutan, beragam dan

seimbang antara berbagai kepentingan di mana manusia merupakan

bagian dari sistem ekologi tersebut. Sejalan dengan pemikiran Ife,

Bjorn Hettne (2001, 347-350) menjelaskan bahwa, proses pembangun-

an yang mengancam sistem ekologi suatu kawasan, merupakan

ancaman kultural bagi kelompok etnis yang hidup di tempat ini. Selain

itu juga krisis ekologi di Papua seperti yang diakibatkan oleh

pembangunan, termasuk kerusakan lingkungan akibat kelapa sawit

disoroti Karel Phil. Erari (Prisma, No. 6 Tahun XXVI, Juni-Juli, 1997)

dan Alua (2004) sebagai penghacuran tanah atau bumi sebagai ibu

yang menafkahi manusia dalam pandangan dunia orang Papua.

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

271

Krisis Ekonomi

Dampak lain yang tidak kalah penting dan mengakibatkan terjadinya

krisis berkepanjangan yang langsung menghancurkan kehidupan

penduduk setempat ialah krisis ekonomi. Menurut Bapak Lamber

Welib, salah seorang tokoh masyarakat dan tokoh Gereja setempat:

makanan sehari-hari orang di kampung ini sebenarnya berasal dari usaha berkebun seperti menanam ubi-ubian, keladi, pisang. Ada juga yang dijual dan uang itu untuk membeli beras dan lain-lain. Selain itu orang kampung juga masih pangkur sagu, berburu binatang liar seperti babi, tikus tanah, burung di hutan dan cari ikan di kali. Tetapi saat ini bahan makanan dari kebun di hutan semakin menipis dan sulit karena hutan-hutan dibabat, kayu-kayu diambil oleh pengusaha kayu dan hutan beralihfungsi sebagai kebun kelapa sawit, perumahan dan lain-lain.

Fenomena ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, hilangnya

aset dan akses ekonomi subsisten penduduk. Keadaan ini ditanggapi

serius oleh penduduk karena hilangnya hak ulayat dan sistem tenurial

setempat dengan segala kekayaan sumber daya kehidupan yang ada

dikalkulasi sebagai kerugian luar biasa bagi orang Workwana dan

kampung-kampung tetangga di sekitarnya saat ini dan anak-cucu

mereka di masa depan. Menurut penduduk setempat pembabatan dan

pengalifungsian hutan-hutan serta tanah masyarakat sebagai pusat

Livelihood setempat sebagai perkebunan kelapa sawit, menghilangkan

aset-aset ekonomi dan menutup akses penduduk menikmati sumber

daya kehidupan yang mereka miliki [Chambers & Conway, 1991;

Krantz, 2001; Kartodiharjo & Jhamtani, (Ed.,), 2006]. Artinya proses

transformasi melalui pembangunan yang terjadi dengan pendekatan

industri perkebunan kelapa sawit sebagai Livelihood baru tidak

otomatis berdampak meningkatkan kehidupan ekonomi penduduk

setempat. Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan pengetahuan dan

keterampilan susbsiten penduduk lokal yang berfungsi bagi kehidupan

Livelihood yang subsisten pula. Penduduk setempat membutuhkan

proses adaptasi kognitif dan kultural sebagai habitus baru

pengembangan kehidupan ekonomi dan bidang-bidang kehidupan

lainnya. Dengan kata lain pengetahuan dan keterampilan subsisten

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

272

menjadi disfungsional terhadap sistem industri perkebunan kelapa

sawit sebagai Livelihood yang baru. Bahkan menurut penduduk

setempat, kondisi yang berujung pada pemutusan hubungan mereka

dalam kesatuannya dengan lingkungan alam sumber Livelihood, dilihat

sebagai proses penyingkiran dan pemiskinan masyarakat. Kedua, krisis

ekonomi ternyata juga menimbulkan krisis psikologis. Penduduk

setempat pun menilai pendekatan pembangunan ini selain

memiskinkan juga menimbulkan kebingungan, tekanan, putus asa dan

trauma dalam hidup. Ungkapan-ungkapan pengalaman penduduk

tersebut dirumuskan oleh John Djonga Pr (Rosariyanto, dkk., 2008),

seorang misionaris yang bekerja sejak tahun 1992 di daerah ini:

Hampir semua orang menjadi bingung, cemas, ragu-ragu dan gelisah karena perubahan yang begitu cepat dan menyeluruh. Tidak sedikit orang yang mengalami shock ekonomi, merasa masa depan suram dan putus asa. Arah hidup menjadi kabur karena tuntutan ekonomi yang luar biasa. Bila hari ini mereka mendapatkan uang maka uang tersebut akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan hati saja. Kebiasaan menyimpan uang atau memanfaatkannya untuk hal-hal yang memang dibutuhkan belum tertanam baik dalam tindakan mereka.

Senada dengan Djonga, tokoh adat masyarakat Workwana

Bapak Herman berujar:

“kerja seperti ini merupakan bentuk penipuan karena harta kekayaan alam kami diambil dengan alasan dipakai untuk kepentingan negara padahal masyarakat tidak mendapat apa-apa”.

Menurut Bapak Herman, saat ini masyarakat hidup dalam

keadaan yang makin hancur dengan penipuan-penipuan yang dibuat

melalui usaha perkebunan kelapa sawit. Dikatakannya, “orang Papua

sebagai pemilik tanah, menjadi korban di atas tanahnya sendiri”. Ia pun

berceritera ketika rombongan yang diikutinya bersilahturahmi dengan

Presiden SBY di istana Negara Jakarta, sebagai perwakilan masyarakat

adat Keerom, ia mengatakan, “Tanah Papua tidak diperjualbelikan tapi

hanya kontrak”. Jadi kehadiran perusahaan untuk mensejahterakan

masyarakat melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, pengembangan

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

273

ekonomi, perumahan, listrik dan air bersih, semuanya hanya

merupakan janji belaka, karena bila diamati secara cermat dan saksama,

saat ini sesungguhnya baik masyarakat Kampung Arsokota maupun

Kampung Workwana sedang berada dalam keadaan terpuruk di

berbagai aspek kehidupan. Menurutnya sistem pembangunan yang

digunakan ini juga merusak masyarakat karena minuman keras (miras)

dipakai untuk membujuk masyarakat, khususnya orang muda diperalat

untuk kepentingan tertentu. Pendapat serupa juga disampaikan salah

seorang tokoh masyarakat di Workwana bahwa, masyarakat sekarang

sedang mengalami luka di hati yang dalam karena di masa lalu

masyarakat disiksa, ditindas dan dibunuh karena kepentingan kelapa

sawit. Ketika itu masyarakat juga sering diperalat untuk demi

kepentingan pemerintah yang menimbulkan sikap saling curiga di

antara warga. Anak-anak muda juga sekarang gampang sekali diperalat

untuk kepentingan tertentu dengan cara memberi minuman keras.

Pengalaman yang mencemaskan, menggelisahkan, pengalaman

shock ekonomi, arah hidup tidak jelas, bahkan putus asa dan traumatis

ini merupakan ekspresi tentang ketidakpastian akan masa depan bagi

penduduk asli, bukan realitas yang dibuat-buat. Kondisi ini merupakan

realitas kehidupan penduduk asli Workwana yang sedang mengalami

frustrasi dan kebingungan karena saat ini mereka berada dalam

keadaan tanpa aset dan akses untuk membangun hidup yang lebih baik.

Ketiga, ketika perkebunan sawit mulai dikembangkan perusahaan

mengambil kredit bank untuk membiayai penyelenggaraan perke-

bunan. Ketika masa panen, penduduk setempat sebagai petani plasma

dan semua peserta PIR, perusahaan memotong hasil penjualan kelapa

sawit petani sebagai beban yang harus diselesaikan petani. Pembayaran

kredit ini dirasakan sebagai beban ganda yang memberatkan petani

karena mereka pun harus membayar ongkos-ongkos seperti, ongkos

truk yang mengangkat TBS ke pabrik, ongkos buruh tani yang

memetik dan memikul sawit serta ongkos makan, rokok dan sejumlah

setoran wajib yang harus diberikan kepada kelompok tani dan lain-

lain. Pengalaman ini terus berlangsung sampai kredit tersebut lunas

terbayar padahal dari waktu ke waktu hasil panen terus menurun

sehingga sejumlah orang menjual lahannya dan melepas kepada pihak

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

274

lain dengan sistem kontrak. Keterlibatan petani Kampung Workwana

sebagai pemilik lahan atau tuan lahan menyelesaikan kredit

perusahaan sebagai suatu proses pertukaran dari sistem yang tidak adil

dan tidak seimbang. Bahkan petani merasa sebagai tuan lahan, mereka

hanya diperas sehingga tak berdaya dan dimiskinkan.

Jadi akselerasi pembangunan melalui pendekatan ekonomi

seperti ini dapat dikatakan telah merongrong hakekat hidup penduduk

lokal yang subsisten dengan kekayaan alam yang mengandung aneka

ragam hayati dan menjadikannya petani perkebunan monokultur yang

tidak beruntung. Pendekatan pembangunan ekonomi yang ekstraktif

(Acemoglu & Robinson, 2014, 77-80) seperti ini ternyata telah

menimbulkan masalah yang serius bagi masa depan manusia Papua.

Lebih dari itu pendekatan ini justru dicurigai oleh penduduk setempat

sebagai realisasi kepentingan dan tujuan politik (fungsi laten)

pembangunan daerah perbatasan atas nama kepentingan dan tujuan

pembangunan ekonomi (fungsi manifest) di daerah. Pandangan dan

penilaian ini muncul di kalangan penduduk setempat karena

pengalaman dengan sistem usaha perkebunan kelapa sawit di wilayah

Workwana telah memosisikan penduduk asli setempat yang semula

merupakan tuan lahan dengan alamnya yang kaya menjadi penduduk

yang tuna lahan dan miskin serta tak berdaya.

Krisis Kelembagaan

Intervensi pembangunan melalui pengembangan perkebunan

kelapa sawit di daerah ini, dalam studi kasus yang dilakukan ternyata

juga memperlihatkan bahwa pembangunan yang dilakukan berdampak

menggusur aspek kelembagaan penduduk asli di Kampung Workwana

dan kampung-kampung sekitarnya. Ketika aspek kelembagaan

masyarakat kampung tergusur akibat pembangunan muncul krisis

serius kelembagaan masyarakat setempat yang sudah terstruktur dalam

hidup masyarakat setempat. Dengan kata lain secara kelembagaan

kampung yang sebelumnya otonom, tidak otonom lagi karena berbagai

intervensi seperti intervensi politik, ekonomi dan lain-lain sebagai

bagian dari sistem dan struktur negara bangsa [Bdk. Kartodiharjo &

Jhamtani (Ed.,), 2006; Kolopaking, (dalam, Satria, dkk., Ed), 2011].

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

275

Krisis kelembagaan yang ditemukan dapat dilihat dari fenomena

berikut: penggunaan undang-undang dan aturan-aturan negara sebagai

dasar hukum untuk pengalihfungsian tanah ulayat demi kepentingan

perkebunan kelapa sawit mengalahkan hukum adat dan hak ulayat

masyarakat setempat; penduduk saling klaim hak ulayat ketika ada

pelepasan tanah adat kepada pihak perusahaan melalui pemerintah

sebagai gejala kapitalisasi tanah adat yang tidak pernah terjadi

sebelumnya; terjadi penggunaan wilayah segi tiga emas oleh oknum-

oknum warga kampung tertentu secara sepihak untuk kepentingan

bisnis pribadi, menimbulkan protes warga kampung tetangga karena

wilayah tersebut merupakan wilayah hutan lindung bersama beberapa

kampung di Distrik Arso. Situasi seperti ini rentan menimbulkan

konflik antarwarga; tokoh-tokoh adat dimanfaatkan oleh PTPN II

sebagai pegawai perusahaan untuk mengamankan kepentingan

perusahaan dari tuntutan-tuntutan masyarakat adat. Hal ini

menimbulkan keadaan dilematis pada tokoh-tokoh adat setempat,

apakah berpihak pada kepentingan masyarakat atau kepentingan

perusahaan; sistem tenurial setempat diabaikan karena dalam transaksi

pelepasan tanah, hak-hak dasar masyarakat di bidang sosial-budaya,

ekonomi dan lingkungan hidup diganti dan dihargai dengan uang serta

barang-barang yang oleh masyarakat dinilai tidak setimpal. Apalagi

cara-cara yang digunakan dalam transaksi tersebut menurut penduduk

setempat bersifat manipulatif, karena janji-janji tidak pernah ditepati

perusahaan, penuh kekerasan dan tidak adil; peran Yuskwondor dan

Sagaiken di wilayah ini sebagai kepala kampung, kepala adat dan

penguasa tanah-tanah yang tidak berpenduduk tidak diperhitungkan

lagi. Dengan begitu dapat dikatakan pendekatan pembangunan yang

dilakukan ternyata bersifat ekstraktif (Acemoglu & Robinson, 2014),

karena kegiatan pembangunan ekonomi tersebut menguras atau

mengeruk kekayaan lingkungan alam sebanyak-banyaknya, meng-

abaikan sistem kelembagaan masyarakat dan sistem sosial-budaya

setempat sehingga berdampak mengakibatkan kerugian besar bagi

penduduk setempat khususnya generasi yang akan datang.

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

276

Krisis Sosial-Budaya

Krisis ekologi, ekonomi dan kelembagaan bagi orang Papua

bukanlah aspek-aspek yang berdiri sendiri. Krisis-krisis tersebut secara

langsung berkaitan dengan world view (Geertz, 1973; Mantovani,

1991; Alua, 2004; Franklin, 2007) penduduk asli di mana terdapat

sistem nilai, struktur, kebiasaan dan sistem sosial sebagai kerangka

acuan hidupnya.

Menurut Geertz, di dalam setiap world view terdapat dua hal

pokok. Pertama, ada aspek moral (dan aspek estetika) sebagai unsur

yang bersifat evaluatif, biasanya disadari sebagai etika dalam suatu

masyarakat. Kedua, terdapat aspek kognitif sebagai unsur esensial,

berupa pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan manusia yang

menjadi pegangan hidup suatu kelompok masyarakat. Aspek kognitif

seperti ini secara filosofis disebut oleh Fay (1997) sebagai “epistemologi

orang dalam”. Maksudnya pengetahuan kelompok masyarakat tertentu

tentang alam, manusia dan kehidupan sosialnya dalam lingkungan

tertentu. Pengetahuan tersebut hanya diketahui oleh kelompok yang

mempunyai pengetahuan tersebut. Implikasi sosialnya ialah kelompok

luar atau kelompok lain perlu memahami apa yang menjadi

pengetahuan setempat termasuk aspek moral yang menjadikannya

tetap eksis. Konsekuensinya, mengabaikan epistemologi orang dalam

berarti meremehkan eksistensi kelompok atau komunitas setempat.

Sejalan dengan pikiran Geertz dan Fay, Franklin Karl J. (2007), dalam

tulisannya berjudul, Framework For A Melanesian Word View, juga

menyatakan bahwa dalam world view suatu kelompok masyarakat

terhimpun paham tentang nilai-nilai hidup dan nilai-nilai tersebut

biasanya digunakan sebagai prinsip moral dan rujukan dalam

bertingkahlaku serta cara memandang kehidupan dan dunia. Apa yang

dijelaskan Geertz, Fay dan Franklin terkait pengetahuan dan nilai-nilai

masyarakat, diuraikan secara lebih terperinci oleh Mantovani Ennio

(1991) dan Alua (2004).

Untuk menganalisis latar belakang krisis yang dialami orang

Workwana ini, penulis menggunakan penjelasan Mantovani dan Alua

untuk memahami permasalahan tersebut. Menurut Mantovani dan

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

277

Alua, kehidupan orang Melanesia pada umumnya, khusunya orang

Papua, dibangun berdasarkan sistem nilai yang secara tradisional ada

dalam world view yang terdiri dari unsur-unsur penting yaitu

community (hubungan darah dan perkawinan), relationships (dengan

leluhur dan tanah) dan exhcange (resiprositas). Nilai-nilai tersebut

merupakan nilai-nilai yang substansial dalam kehidupan penduduk asli

setempat. Berdasarkan nilai-nilai dasar tersebut, pendekatan

pembangunan melalui perkebunan sawit yang membabat habis hutan

dan terjadi penguasaan serta alih fungsi lahan-lahan masyarakat, sudah

jelas bertentangan dan merusak nilai-nilai dasar orang Papua, yang

mengutamakan community, relationship dan exchange. Dikatakan

community dirusakkan karena penghargaan akan kelompok dan

persekutuan hidup dengan pola hubungan yang seimbang dan saling

menghargai, ditransformasikan ke dalam sistem dan struktur sosial

baru lewat sistem PIR yang berwatak kapitalis (Alatas, 1988, 3-47).

Jadi, relasi yang terbangun dalam kasus kelapa sawit ini dapat

dikatakan sebagai berikut. Pemerintah dan perusahaan kelapa sawit

yang memperalat aparat keamanan untuk menekan penduduk

mengalihfungsikan hak ulayatnya di Arsokota dan Workwana, secara

kelembagaan seharusnya berlangsung dalam posisi setara, saling

menghargai sebagai subyek. Akan tetapi dalam kenyataan urusan

tersebut berlangsung dalam pendekatan subyek-obyek, penuh

intimidasi dan ancaman. Artinya, relasi tersebut berlangsung dalam

posisi di mana pemerintah dan perusahaan sebagai entitas yang

superior sedangkan penduduk setempat merupakan entitas yang

inferior. Dengan kata lain, penduduk setempat sebagai pemilik hak

ulayat hanya menjadi obyek pembangunan sedangkan perusahaan dan

penguasa sebagai subyek atas nama pembangunan negara. Kondisi

seperti ini disebut oleh Galtung sebagaimana diulas oleh Marsana

Windhu (1992), sebagai cara-cara penggunaan kekuasaan struktural,

yang di dalamnya terdapat struktur-struktur yang bersifat eksploitasi,

penetrasi, fragmentasi dan marginalisasi. Hal ini tentu bertentangan

dengan pola hubungan kesetaraan yang menghargai hak-hak dasar

manusia dan bertentangan dengan sistem dan struktur penguasaan

wilayah dan sumber-sumber penghidupan yang dimiliki penduduk asli

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

278

setempat sebagaimana digambarkan di atas oleh Mantovani dan Alua.

Kemudian sistem pertukaran atau exchange yang seharusnya

menggambarkan proses resiprositas yang saling menguntungkan tidak

terjadi dalam transaksi jual beli tanah-tanah bahkan seluruh proses

tersebut dianggap tidak adil dan manipulatif yang merugikan pemilik

hak ulayat. Hal-hal inilah yang menjadi latar belakang munculnya

sikap resistensi penduduk.

Dengan demikian dapat dikatakan seluruh sistem baru yang

diintrodusir ke dalam kehidupan penduduk asli di Workwana dan

sekitarnya rentan menimbulkan masalah. Dikatakan rentan karena

exchange tersebut ternyata menimbulkan tuntutan atau klaim-kalim

penduduk setempat atas kepemilikan hutan dan lahan karena

pendekatan yang digunakan pemerintah dan perusahaan tidak

mencerminkan penghargaan baik terhadap lingkungan (sumber hidup),

sistem ekonomi (mata penharian) dan sistem kelembagaan (struktur

sosial dan norma-norma) maupun secara sosio-kultural (nilai-nilai, dan

kebiasaan) terhadap penduduk asli setempat. Contoh, terjadinya klaim-

klaim sebagai bentuk resistensi moral sosial24 penduduk setelah terjadi

pelepasan tanah atas nama kelompok tertentu pada masa-masa awal

pembukaan perkebunan kelapa sawit di daerah ini, yang ditolak oleh

kelompok lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa para pihak terkait

belum semuanya terlibat (Wenehen, 2005) dan sistem pertukaran yang

terjadi tidak saling menguntungkan karena tidak bersifat resiprokal menurut world view setempat. Bahkan kompensasi-kompensasi yang

dibuat perusahaan dan pemerintah terhadap warga masyarakat di

Workwana dan sekitarnya dinilai tidak wajar, tidak seimbang atau

24Perubahan-perubahan yang dihadapi Orang Papua seperti yang dialami Orang Marind di masa lalu dan menimbulkan reaksi tertentu masyarakat digambarkan Boelaars (1986), sebagai moral depression. Keadaan depresi moral muncul dalam sikap apatis, tidak berdaya, keseganan menerima perubahan-perubahan. Pengalaman tersebut berbeda dengan pengalaman Orang Keerom di Workwana, Arsokota dan sekitarnya. Di sini penduduk bereaksi menolak pencaplokan hak ulayat penduduk dan menuntut perlakuan yang lebih adil dari perusahaan dan pemerintah dengan berbagai cara, pemalangan pabrik dan kebun inti serta beberapa upaya lain. Keadaaan ini dapat disebut sebagai moral resistance atau resistensi moral penduduk. Rujukan reisistensi moral ini adalah world view dan etika etnik (Mantovani, 1991).

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

279

tidak sebanding dengan luas lahan yang diberikan. Ketidakseimbangan

itu terlihat dari apa yang dikalkulasi masyarakat berkaitan dengan

luasnya lahan-lahan yang diambil atau dilepas dengan imbalan yang

tidak memadai. Selain itu pengalaman penggunaan segitiga emas pun

oleh masyarakat sebagai milik bersama beberapa kampung di Distrik

Arso menjadi soal ketika dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk

kepetingannya, diklaim oleh kelompok lain sebagai pelanggaran atau

penyalahgunaan kekayaan milik bersama.

Menurut informan yang ditemui di Workwana, keadaan

ekonomi yang semakin sulit sekarang mendorong warga Kampung

Workwana terlibat mengolah kayu di hutan untuk dijual ke luar

Keerom. Dikatakannya, cara-cara demikian hanya menambah dan

memperluas hilangnya tempat berburu dan mencari makan penduduk

di hutan. Karena saat ini hutan sudah habis, pohon-pohan kayu

ditebang, kayunya diambil dan diolah oleh pengusaha kayu yang

kemudian menjualnya ke luar Keerom atau ke luar Papua sementara

penduduk atau warga kampung tidak mendapat apa-apa. Padahal

sesungguhnya dalam sistem tenurial di wilayah Workwana dan Arso

dikenal pembagian tata ruang lahan yang berfungsi untuk berbagai

aktivitas. Sistem tenurial atau tata ruang lahan terdiri dari, dusun sagu

(Na Numui), hutan tempat berburu binatang (Ma Disih), lahan untuk

berkebun (Ma Mandap) dan kali atau telaga, tempat mencari dan

menangkap ikan (Ubyagey). Sistem tenurial ini hilang begitu saja

akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan PTPN

II dan penebangan hutan secara masif yang dilakukan para pengusaha

kayu di wilayah ini dan seluruh wilayah Keerom (Gusbager, 2001 dan

Patay, 2005).

Dari sisi world view, Alua (2004), yang mengutip Whiteman

(1984), menyatakan nilai-nilai sentral bagi orang Melanesia pada

umumnya, termasuk orang Papua adalah nilai kelangsungan hidup

(continuation of life), perlindungan atas hidup (protection of life),

pemeliharaan hidup (maintenance of life) dan perayaan atas hidup

(celebration of life) sebenarnya masih dipegang penduduk asli di

Papua. Dengan merujuk pada Whiteman, Alua mau menyatakan

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

280

bahwa gambaran kehidupan yang dimiliki orang Papua ialah

kehidupan dalam kesatuannya dengan seluruh komsos atau alam

semesta, terjadi secara berkelanjutan. Karena itu relasi-relasi yang

dibangun harus relasi yang benar dan tepat baik dengan manusia

maupun dengan leluhur serta alam termasuk di dalamnya prinsip

mengumpulkan kekayaan dan tidak bersifat eksploitatif. Dengan

prinsip tersebut kehidupan manusia dibangun dan berlangsung terus

sehingga menjamin pula kehidupan generasi berikut. Berdasarkan

pemahaman Whiteman yang dikutip Alua tersebut, harus dikatakan

penetrasi sistem pembangunan seperti yang dialami penduduk di

Workwana dan sekitarnya merupakan upaya sadar yang telah merusak

jati diri manusia dan nilai-nilai hidup orang Papua di Workwana dan

sekitarnya. Karena itu pendekatan ini dapat dikatakan secara langsung

mengancam kehidupan masa kini dan masa depan penduduk secara

berkelanjutan.

Dengan begitu harus dikatakan bahwa seluruh pendekatan

yang digunakan oleh pemerintah melalui PTPN II, secara paradigmatis

dan riil kontekstual bertentangan dengan visi pembangunan Papua

baru secara berkelanjutan yang diamanatkan oleh UU No.21/2001

tentang Otonomi Khusus Papua. Demikian juga pendekatan tersebut

bertentangan dengan visi pembangunan Papua yang adil dan sejahtera

secara berkelanjutan menurut Suebu (2007) dan visi Papua bangkit,

mandiri dan sejahtera menurut Enembe (2016).

Jadi keterpinggiran dan krisis-krisis yang diakibatkan oleh

pendekatan dan pelaksanaan pembangunan seperti yang dialami orang

Workwana sesungguhnya bertentangan dengan semangat

pembangunan berkelanjutan yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip

human security bagi penduduk setempat (Mahbub Ul Haq, dalam

Kanti Bajpai, 2000: 9-36 & Dan Henk, 2005:92-94). Dan Henk

(2005:92-94) menyatakan bahwa:

The concept of security has for too long been interpreted narrowly: as security of territory from external aggeression, or as prortection of national interests in foreign policy or as global security from the threat of a nuclear holocaust. It has been related more to nation-states than to people….

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

281

Forgotten were the legitimate concerns of ordinary people …. For many of them, security symbolized protection from threat of disease, hunger, unemployment, crime, social conflict, political repression, and environmental hazards”.

Mengingat gagasan mengenai human security begitu penting

maka Kanti Bajpai (2000: 9-36), dalam tulisannya tentang Human Security and Measurement, mengajukan beberapa pertanyaan penting.

Pertama, aman bagi siapa?; kedua, aman dari ancaman-ancaman apa?;

ketiga, aman dalam arti apa?. Untuk menjawab dan menjelaskan

pertanyaan-pertanyaan tersebut, Bajpai mengutip pikiran Haq sebagai

berikut. Dikatakannya, menurut Mahbub ul Haq (Bajpai, 2000:10-17),

human security bukan berkaitan dengan keamanan negara-negara dan

bangsa-bangsa tetapi keamanan bagi individu-individu dan masyarakat.

Karena human security harus mengandung: a. economic security.

Maksud economic security ialah suatu kehidupan ekonomi di mana

setiap individu diharapkan dapat menikmati keadaan hidup yang baik

dan aman dari hasil pekerjaan yang dilakukan atau secara sosial

hubungan-hubungan yang ada dapat melindunginya; b. food security.

Food security adalah suatu keadaan yang mana setiap individu dapat

menikmati pangan yang aman, terlihat dari terdapatnya akses untuk

menikmati pangan melalui kekayaan atau aset-aset, pekerjaan atau

pemasukannya: c. health security. Kemudian health security adalah

keadaan terbebasnya individu dari berbagai macam penyakit dan

kemungkinan adanya penyakit serta adanya akses kesehatan untuk

perawatan diri: d. environmental security. Environmental security

adalah keadaan di mana terintegrasinya tanah, udara dan air yang

memungkinkan manusia hidup dengan aman; e. personal security.

Yang dimaksud dengan personal security ialah suatu keadaan yang

menunjukkan adanya individu yang bebas dari kejahatan dan

kekerasan, khususnya perempuan dan anak yang lebih rentan terhadap

kejahatan dan kekerasan: f. community security. Makna community security adalah keadaan martabat komunitas yang secara kultural

berada dalam situasi damai antar-komunitas, yang di dalamnya

individu dapat hidup dan berkembang: g. political security. Political

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

282

security maksudnya ialah suatu situasi di mana ada perlindungan atas

hak-hak azasi manusia dari berbagai kekerasan.

Keterangan:

L.L : Livelihood Lokal (Subsisten)

L.B : Livelihood Baru(Kelapa Sawit)

: Ketergantungan pada livelihoodbaru,industri sawit

: Putusnya hubungan dengan livelihood awal

? : Keadaan tanpa modal-modal dalam LB

Gambar 7.4. Tuan Lahan Menjadi Tunalahan: Perspektif Livelihood

Gambar 7.4 di atas mau menunjukkan posisi penduduk asli

Workwana yang semula dengan Livelihood subsisten mempunyai aset-

aset yang dapat dipakai untuk mengelola hidup (aset atau modal

manusia, finansial, sosial, personal dan alam), mengalami transformasi

sebagai petani kelapa sawit namun justru diterpa krisis ekologi,

ekonomi dan budaya yang menjadikannya penduduk yang hidup

tanpa aset-aset dan tanpa akses. Dengan kata lain proses transformasi

yang terjadi telah memosisikan penduduk asli setempat dari tuan lahan

yang kaya karena alamnya, menjadi penduduk tunalahan tanpa aset

dan akses serta menjebaknya ke dalam kemiskinan tanpa modal-modal

yang seharusnya dimiliki.

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

283

Krisis -krisis Perspektif Sustainable Livelihood

Pada pokok krisis ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial-

budaya, yang terjadi sebagai dampak dari kehadiran kelapa sawit bagi

penduduk di Workwana dan sekitarnya ingin dilihat dari perspektif

Sustainable Livelihood.

Terkait dengan permasalahan yang disebut di atas, lebih jauh

dikatakan oleh Chambers dan Conway, Krantz dan lain-lain bahwa, di

dalam Livelihood ada yang disebut Sustainable livelihood. Prinsip

Sustainable Livelihood amat konsern terhadap berkelanjutan hidup

bagi generasi yang akan datang, baik jangka pendek maupun jangka

panjang di aras lokal dan global. Dalam paham Sustainable Livelihood aset-aset ada berbagai bentuk dan disebut juga sebagai modal-modal

manusia. Oleh karena itu dalam Sustainable Livelihood aset-aset atau

modal-modal yang dimiliki manusia dilihat sebagai potensi penangkal

(coping) untuk menanggulangi tekanan dan goncangan hidup yang

dialami seseorang atau sekelompok orang (Chambers & Conway, 1991;

Krantz Lasse, 2001;). Berdasarkan kekuatan yang dimiliki Sustainable Livelihood sebagai suatu perspektif tentang kehidupan manusia dan

potensi-potensi yang terintegrasi di dalamnya, krisis-krisis yang

disebutkan di atas mau dianalisa dan direfleksikan. Seperti sudah

dijelaskan sebelumnya Sustainable Livelihood mempunyai sejumlah

kekuatan: pertama, kemampuan untuk melihat secara menyeluruh baik

sumber daya alam maupun sumber daya sosial sebagai modal manusia;

kedua, di dalamnya ada pendekatan-pendekatan yang bersifat mikro

dan makro secara berjejaring, memungkinkan untuk mengatasi

kerentanan-kerentanan yang ada dengan cara mengevaluasi dan

memprogramkan pendekatan-pendekatan terhadap persoalan sosial

ekonomi secara lebih realistis. Itulah sebabnya kekuatan-kekuatan

tersebut ingin digunakan dalam berrefleksi tentang krisis-krisis yang

disebutkan di atas.

Secara singkat dapat dikatakan krisis-krisis ekologi, ekonomi,

kelembagaan dan sosial-budaya ternyata berdampak menimbulkan

keterpinggiran dan kesulitan masyarakat di Workwana dan sekitarnya

dalam mencari nafkah sebagaimana biasa didapatkannya dari kekayaan

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

284

alam yang tersedia baginya. Kesulitan hidup ini disebut sebagai

keadaan hidup yang terpinggirkan dan miskin karena tidak ada lagi

Livelihood penduduk yang terdiri aset-aset yang kelihatan (tangible assets) yang dapat diandalkan. Dalam konteks alam Workwana tidak

terdapat lagi berbagai jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-

buahan, sagu dan lain-lain sebagai bahan pokok konsumsi sehari-hari

penduduk dan semakin sulit menemukannya di sekitar kampung dan

hutan-hutan yang tersisa. Selain hilangnya tangible asset, hilang pula

hak-hak dan akses-akses (ingtangible assets) karena terjadi alih fungsi

dan alih kepemilikan berbagai asset yang dimiliki. Keadaan ini tentu

menyebabkan penduduk setempat tak berdaya dan terpinggirkan

karena kehilangan Livelihood yang menjadi tumpuan utama hidupnya.

Perubahan-perubahan yang begitu cepat menghilangkan

kebiasaan-kebiasaan yang selama ini masih dijalani dan mendorong

penduduk Workwana menyesuaikan diri, cara berpikir dan bertindak

menurut paradigma production thingking, employment thingking dan

poverty line thinking (Chambers & Conway, 1991). Artinya bila orang

Workwana ingin melanjutkan kehidupannya atau mengembangkan

Livelihood-nya, mereka harus terlibat berproduksi melalui kebun

kelapa sawit. Itu berarti orang Workwana harus menyatu dengan

perkebunan kelapa sawit baik sebagai petani maupun buruh tani.

Karena bila tidak demikian orang Workwana akan tersingkir dan

semakin sulit mencari nafkah karena Livelihood baru menuntutnya

harus mencari nafkah melalui kelapa sawit. Akibatnya ukuran

kesejahteraan bagi penduduk ini ditentukan menggunakan alat ukur

dunia industri, yakni manusia, tanah dan komoditi menjadi alat

produksi melalui usaha perkebunan kelapa sawit. Karena dari

keterangan para informan setempat, seorang pemilik perkebunan

kelapa sawit dituntut membayar biaya-biaya seperti, administrasi,

kredit perusahaan, ongkos sewa buruh, makan minum buruh, sewa

kendaraan pengangkut TBS, pengeluaran-pengeluaraan ekstra pelancar

di pabrik untuk petugas dan berbagai biaya lainnya yang tidak kecil.

Hal-hal yang disebutkan ini ternyata menjadi beban yang berat bagi

petani penduduk setempat. Tuntutan-tuntutan tersebut makin

membuat hidup petani setempat atau orang asli Workwana terpuruk.

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

285

Suasana ini makin terasa ketika hasil panen dari waktu ke waktu

menurun sesuai dengan usia tanam yang lebih dari 32 tahun. Padahal

sebelumnya petani tersebut adalah tuan lahan, pemilik lahan yang

kapan saja ingin mengolah dan memanfaatkan hutan serta lahannya

yang kaya dapat dilakukan sesuai kebutuhannya. Dengan kata lain

tersingkirnya Livelihood setempat menjadikan orang-orang di

Workwana, termasuk juga penduduk di beberapa kampung sekitar,

atau apa yang disebut Sen (2000) berada dalam keadaan deprivasi. Artinya keadaan deprivasi menyebabkan mereka tersingkir dalam

Sustainable Livelihood karena tersingkir pula aset-aset atau modal-

modal yang dimiliki. Padahal menurut Scoones Ian (1998) dan Krantz

(2001) di dalam Sustainable Livelihood terdapat berbagai kapital, yaitu

natural capital (tanah, air, udara, sumber-sumber daya terbarukan dan

jasa lingkungan, seperti sistem peredaran air, pengolahan limbah dan

lain-lain) economic atau financial capital (uang, kredit/debit, tabungan,

dan aset-aset ekonomi lainnya seperti infrastuktur dasar, alat-alat

produksi dan teknologi) human capital (keterampilan, pengetahuan,

kemampuan kerja dan kesehatan yang baik, kemampuan fisik) dan

social capital (jejaring, hak-hak sosial, relasi sosial, afiliasi-afiliasi dan

asosiasi-asosiasi) yang dibutuhkan untuk mengembangkan hidup. Hal

serupa juga dilihat Sachs (2005) dari studi yang dilakukan di beberapa

tempat di dunia. Ia menyatakan manusia mempunyai berbagai kapital

yang seharusnya ada agar seseorang atau sekelompok orang tetap eksis

dan mampu mengaktualisasikan dirinya dan terhindar dari perangkap

kemiskinan. Kapital-kapital tersebut adalah human capital (kesehatan,

gizi dan skil); business capital (mesin-mesin, berbagai fasilitas, alat

transportasi diperlukan untuk kegiatan pertanian dan industri serta jasa

pelayanan lainnya sebagai modal bisnis); infrastructure (infrakstruktur

seperti jalan, listrik, air dan sanitasi, bandara dan pelabuhan laut,

sistem telekomunikasi); natural capital (modal alam berupa tanah yang

subur dan baik untuk ditanami, ketersediaan keanekaragaman hayati,

berfungsinya ekosistem yang baik); public institutional capital (modal

institusi publik berupa hukum dagang, sistem peradilan, institusi

pemerintah serta kebijakan pelayanan dan pembagian kerja);

knowledge capital (ilmu pengetahuan dan teknologi).

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

286

Perbedaan antara modal-modal yang disebut Scoones, Krantz

dan Sachs di atas terlihat pada peran institusi publik sebagai salah satu

modal yang tidak dijelaskan lebih rinci oleh Scoones dan Krantz.

Namun menurut penulis unsur modal institusi publik yang disebut

Sachs sebenarnya berkaitan dengan modal sosial yang disebutkan

Scoones dan Krantz sebagai salah satu modal sosial. Karena secara

kelembagaan di dalam modal sosial terdapat jejaring, berbagai asosiasi

dan hak-hak yang diatur dalam lembaga-lembaga publik terkait. Jadi

memang terdapat perbedaan penyebutan, tetapi baik modal sosial

menurut Scoones dan Krantz maupun modal institusi publik menurut

Sachs, mempunyai peran dan fungsi yang sama. Perbedaan lain di

antara Sachs dengan penganjur Sustainable Livelihood ialah, Sachs

menekankan input dari luar, sedangkan penggagas Sustainbale Livelihood mengandalkan human capital dan kapital lainnya dari

orang setempat atau penduduk.

Dari studi kasus di Workwana memang terlihat penduduk ini

sedang berada dalam keadaan tunalahan dan menjadi penduduk yang

hidup tanpa beberapa modal yang seharusnya ada. Dengan kata lain

penduduk ini sedang mengalami krisis karena ketiadaan modal-modal

yang mereka miliki seperti disebutkan dalam Sustainable Livelihood

seperti natural capital, economic atau financial capital, human capital dan social capital. Dalam keadaan tunalahan penduduk Workwana

kehilangan beberapa modal seperti natural capital dan economic capital sebagaimana sudah digambarkan sebelumnya yang

menyebabkan mereka mengalami krisis hidup. Namun dari studi kasus

di Workwana terlihat walaupun penduduk kehilangan beberapa modal

hidup, ternyata modal manusia dan modal sosial masih menjadi

kekuatan yang digunakan untuk mensiasati Sustainable Livelihood

sehingga mereka tetap eksis. Berikut akan dijelaskan beberapa

kelompok penduduk yang mampu menyiasati hidup menggunakan

modal-modal yang ada sehingga tetap eksis sampai saat ini.

Kelompok-kelompok dimaksud adalah kelompok perempuan

dan kelompok berpendidikan serta kaum muda tunakarya. Kelompok-

kelompok ini bukan merupakan bagian dari mayoritas penduduk

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

287

kampung akan tetapi keberadaan kelompok ini memberikan perspektif

baru dalam memperjuangkan Livelihood dan Sustainable Livelihood.

Keterpinggiran Orang Workwana: Sebuah Refleksi

Keterpinggiran orang Kampung Workwana khususnya dan pada

umumnya penduduk Kampung Arsokota serta beberapa kampung lain

di sekitarnya terjadi melalui pendekatan-pendekatan pembangunan,

yang bersifat represif, stigmatisasi, terjadi deforestasi, janji-janji palsu,

permainan harga kelapa sawit, pengalihan kepemilikan lahan, dan

program transmigrasi umum dan trasmigrasi petani PIR. Fenomena

keterpinggiran ini mendorong munculnya sikap resistensi penduduk

sebagaimana telah disebutkan lebih dahulu pada Bab 6.

Pertama, Pendekatan represif. Sejarah masuknya kelapa sawit

di daerah ini menyisahkan sejumlah pengalaman yang disebut

“memoria passionis” bagi penduduk di Kampung Workwana, dan

kampung-kampung di sekitarnya. Dikatakan demikian karena dari

ungkapan-ungkapan penduduk dan data-data lain yang ditemui

penulis, diketahui bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah dan

perusahaan kelapa sawit pada awal tahun 1980-an di daerah ini agar

program perkebunan kelapa sawit dapat dikembangkan dilakukan

dengan pendekatan kekerasan dan ancaman senjata. Dalam kondisi

represif tersebut, tidak ada pilihan lain bagi penduduk selain dengan

terpaksa menyerahkan harta tanah ulayatnya untuk negara dan

perusahaan atas nama pembangunan. Memoria passionis ini dirasakan

amat memojokkan penduduk, membuat orang kampung tak berdaya.

Pendekatan-pendekatan tersebut merupakan bentuk perampasan dan

pemaksaan penguasa terhadap penduduk sipil yang tak berdaya.

Pengalaman yang sangat menyakitkan orang Arso pada umumnya ini

sebagai kenangan pahit, selalu diungkapkan orangtua kepada anak-

anaknya. Dengan demikian pengalaman ini bukan hanya menjadi

pengalaman kaum tua, tetapi secara turun temurun akan terus

dikenang orang setempat sebagai sejarah sosial penduduk (Burke, 2015,

20-30). Kekuatan penguasa menundukkan masyarakat dengan cara-

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

288

cara yang licik dan penuh kekerasan menandakan ketidakmampuan

penguasa melakukan negosiasi dengan masyarakat sipil sehingga

bertindak otoriter. Dengan begitu masyarakat setempat menjadi entitas

yang tak berdaya karena ia harus berhadapan dengan tiga kekuatan

yang mempunyai daya tekan amat kuat, yaitu pemerintah, pengusaha

dan militer (Budiardjo C., & Liem S. L., 1988). Hal ini menunjukkan

bahwa setiap bentuk perlawanan penduduk terhadap usaha

perkebunan kelapa sawit, maka akibatnya selalu akan berhadapan

dengan apara keamaman. Kisah Roni Fatagur dari Desa PIR V. Roni

yang pernah ditahan aparat keamanan karena mencoba melarang

perusahaan membuka hutan di daerahnya pada masa-masa awal

perusahaan bergiat membuka lahan perkebunan kelapa sawit walaupun

kemudian ia dikembalikan ke rumahnya oleh seorang anggota polisi

memperlihatkan bahwa, aparat keamanan selalu dipakai sebagai alat

pemukul penguasa. Kisah lain penduduk yang mengalami tekanan luar

biasa di Workwana dan sekitarnya terungkap juga melalui pengalaman

yang diungkapkan oleh jururawat Dimara (KdK.No. 27/Th. V,

Desember 1987), seorang petugas kesehatan, yang dimuat dalam

buletin Kabar dari Kampung.

Kedua, Stigma Separatis. Situasi sosial politik di Papua antara

tahun 1969 sampai tahun 1980-an, boleh dikatakan tidak

menguntungkan bagi orang Papua pada umumnya. Pengalaman

tersebut juga dirasakan oleh orang Keerom yang berada di wilayah

perbatasan bagian utara Papua. Karena ketika itu gerakan-gerakan

Organisasi Papua Merdeka (OPM) berdampak signifikan bagi

penduduk baik di kota-kota maupun di kampung-kampung. Akibatnya

secara sosial politik penduduk selalu dicurigai dan dituduh dengan

stigma sebagai bagian dari OPM. Pengalaman seorang petani kelapa

sawit di Workwana bernama Thomas Wenda memperlihatkan betapa

kuat stigma OPM menyudutkan seseorang atau sekelompok orang. Ia

dituduh oleh aparat keamanan sebagai bagian dari OPM karena

memiliki marga yang sama dengan tokoh OPM Mathias Wenda yang

hidup di sekitar perbatasan. Kecurigaan pihak keamanan membuat

Thomas Wenda ketakutan dan memutuskan untuk keluar dari desa

atau Kampung Workwana. Namun setelah diklarifikasi melalui Bapak

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

289

Lamber Welip di Pos Keamanan Kali Tami, Thomas Wenda

mengurungkan niatnya pulang kampung. Dengan demikian dapat

dikatakan strategi pendekatan stigma membuat penduduk selalu berada

pada posisi tawar yang sangat lemah bahkan tak berdaya.

Ketiga, penghilangan pusat Livelihood penduduk (deforestasi).

Dari Gambar 5.2 tentang Denah Kampung Workwana pada Bab 5,

dalam tulisan ini terlihat jelas bahwa Kampung Workwana nyaris

dikelilingi oleh kebun kelapa sawit. Fenomena ini menunjukkan

bahwa Workwana sedang dikepung oleh kelapa sawit dan dengan

demikain kehilangan hutan tempat penduduk mencari nafkah.

Sehingga penduduk tidak mempunyai pilihan lain untuk berusaha

mencari nafkah karena kehilangan pusat Livelihood susbsisten. Kondisi

ini tentu berdampak pada kehidupan ekonomi rumah tangga dan aspek

kehidupan lainnya. Proses deforestasi berlangsung terhadap hak ulayat

hutan penduduk terjadi setelah pemerintah mengeluarkan berbagai

izin usaha bukan saja untuk pengembangan kelapa sawit di daerah

tetapi juga izin Hak Penguasaan Hutan (HPH) kepada para investor

dari luar Papua. Dampaknya ialah pohon kayu ditebang dan hutan

menjadi gundul, ribuan bahkan jutaan kubik kayu keluar dari

Kabupaten Keerom untuk diekspor. Proses deforestasi masih terus

berlangsung hingga saat ini, terlihat dari setiap hari lebih dari 30 truk

bermuatan kayu olahan melintas dari Keerom ke Kota Jayapura.

Deforestasi juga berdampak bagi penduduk karena membuat penduduk

kehilangan berbagai sumber daya penghidupan, seperti bahan makanan

berupa hewan dan tumbuh-tumbuhan serta berbagai jenis kayu untuk

keperluan rumah tangga. Keadaan ini membuat penduduk semakin tak

berdaya menghadapi berbagai bentuk kegiatan yang bersifat

eksploitatif di kampung dan di sekitarnya.

Keempat, janji-janji yang tidak pernah dipenuhi. Dikatakan

oleh beberapa tokoh masyarakat setempat bahwa tanah ulayat

penduduk diambil perusahaan dengan janji-janji yang menggiurkan.

Dikatakan bahwa perusahaan akan membuat masyarakat hidup

sejahtera, akan dibuatkan rumah sehat, anak sekolah akan dibiayai

sampai ke perguruan tinggi, penduduk kampung akan dijadikan

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

290

karyawan perusahaan, rumah-rumah penduduk akan dipasang listrik,

akan disediakan air bersih sampai di rumah-rumah dan akan

disediakan mobil untuk melayani masyarakat. Karena tergiur oleh

bujukan tersebut secara perlahan tapi pasti, lahan-lahan penduduk

dilepas kepada perusahaan sehingga warga setempat kehilangan tempat

mencari nafkah di hutan. Janji-janji manis itupun tak pernah

diwujudkan dan hanya menyisahkan penyesalan yang luar biasa bagi

penduduk. Menurut orang kampung, berbagai infrastruktur yang

sekarang ada dan berkembang di Workwana bukan hasil usaha PTPN

II tetapi merupakan usaha masyarakat dan dukungan pemerintah

daerah. Padahal orang Workwana sama seperti orang Papua lainnya,

memahami konsep janji sebagai sebuah prinsip pertukaran atau

exchange, bersifat resiprokal, timbal balik yang seimbang antara apa

yang diberi dan apa yang diterima (Bdk. Whiteman, 1984; Mantovani,

1993; Alua, 2004). Karena itu sejumlah tokoh adat dan masyatakat

menyatakan, kegiatan-kegiatan ini merupakan bentuk penipuan

terhadap penduduk.

Kelima, harga sawit yang tidak menentu. Menurut Thomas

Lobai, pendamping petani kelapa sawit di wilayah Distrik Arso,

dilakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pemerintah.

Menurut Thomas, harga kelapa sawit biasanya mengikuti harga mata

uang dolar Amerika, bila dolar menguat harga sawit tinggi. Namun Ia

mencurigai dan menyatakan kemungkinan ada oknum-oknum

tertentu berperan mempermainkan harga kelapa sawit tersebut. Harga

kelapa sawit yang terus merosot di wilayah ini membuat penduduk

tidak tertarik untuk melanjutkan usaha tersebut sehingga terjadilah

penjualan lahan dan mengontrakan lahan. Hal ini membuat penduduk

semakin tak berdaya, karena tidak memiliki lahan usaha dan

bergantung pada hasil kontrak dan jual lahan yang jumlahnya amat

terbatas.

Keenam, kehadiran transmigrasi umum dan PIR, para pencari

kerja dari luar, pedagang dan penduduk lainnya dengan berbagai latar

belakang profesi mempunyai dampak yang besar pada penduduk

setempat. Program transmigrasi yang diharapakan mempercepat proses

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

291

alih pengetahuan dan transfer budaya di bidang pertanian, teknologi

dan ekonomi serta berbagai pengetahuan lain yang diharapkan

mendukung proses pembangunan di daerah, tidak serta merta terjadi

seperti orang membalik telepak tangan. Studi Dale dan Djonga (2011)

di Kabupaten Keerom tentang hak-hak sosial, budaya dan ekonomi

penduduk asli menunjukkan adanya fenomena terabaikan dan

terpinggirkannya penduduk asli setempat di seluruh wilayah

Kabupaten Keerom, termasuk di Workwana dan Arsokota karena

didominasi para transmigran dan generasi keduanya, pencari kerja dari

luar, pedagang dan lain-lain. Keterpinggiran tersebut berkaitan dengan

kegiatan ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, tenaga kerja,

infrastruktur dan lain-lain. Memang harus diakui pula bahwa terdapat

kontribusi signifikan dari kelompok-kelompok yang disebutkan di

atas dalam seluruh proses pembangunan daerah di Kabupaten Keerom

seccara keseluruhan, khususnya di distrik-distrik dan kampung-

kampung. Namun keterpinggiran tersebut dapat dikatakan terjadi

karena adanya persaingan di aspek modal manusia, modal usaha, modal

pengetahuan, modal institusi publik (Sachs, 2005). Modal-modal yang

diharapkan ada ternyata tidak mendukung penduduk setempat

sehingga membuatnya kalah bersaing dengan kelompok-kelompok lain

yang datang di daerah Arso khusunya dan daerah Keerom pada

umumnya. Dari segi usaha atau kegiatan ekonomi misalnya, dapat

dilihat setiap sore hari di pasar Workwana pada Gambar 3.3 dan 3.4

pada Bab 3 tulisan ini. Gambar tersebut menunjukkan kesenjangan

yang besar antara para penjual orang asli Workwana dan penjual-

penjual pendatang dari PIR 1 dan PIR 2 dan sebagainya dilihat dari segi

barang jualan dan modal yang digunakan. Penjual asal Kampung

Workwana umumnya hanya menjual sayur, pinang dan ubi-ubian.

Artinya, modal-modal yang dipunyai golongan penduduk pendatang

berdampak pada kapabilitas yang lebih unggul untuk menguasai aset-

aset daripada penduduk setempat. Gejala kalah bersaing juga terlihat

dari ketidakmampuan sejumlah penduduk setempat dalam memenuhi

kebutuhan sehari-hari sehingga terpaksa harus berutang baik terhadap

pedagang pendatang maupun penjual orang Workwana. Selanjutnya

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

292

akan dianalisis dan direflesikan keadaan orang Workwana dalam

perspektif Livelihood.

Dengan melihat fenomena keterpinggiran di atas harus

dikatakan bahwa pendekatan pembangunan yang mengandalkan

pertumbuhan melalui industri perkebunan kelapa sawit seperti yang

terjadi di wilayah Distrik Arso khususnya di Kampung Workwana,

ternyata berkontribusi menghasilkan kesenjangan hidup bahkan terjadi

keterpinggiran penduduk asli dalam berbagai aspek kehidupan.

Seorang informan di Workwana menyatakan kelapa sawit telah

menyebabkan banyak anak kampung putus sekolah dan menikah di

usia muda yang menyebakan mereka menjadi penganggur di kampung.

Setelah Kabupaten Keerom berdiri, banyak dari antara kaum muda

tersebut mulai berpikir dan menyadari pentingnya pendidikan sekolah

serta ijazah dan dampaknya bagi pekerjaan dan hidup. Pengalaman

keterpinggiran bukan hanya terjadi di Workwana dan Arsokota tetapi

terjadi juga di berbagai kampung di wilayah Kabupaten Keerom

(Ansaka dkk., 2009; Dale dan Djonga, 2011), bahkan terjadi pula di

seantero Papua (Suebu, 2007& Widjoyo M.S. dkk., 2009; Ansaka, dkk.,

2009; Tebay, 2012; Enembe, 2016).

Ketujuh. Pengalaman-pengalaman yang meminggirkan orang

Workwana dan penduduk sekitarnya melalui pendekatan-pendekatan

manipulatif perusahaan dan pemerintah ketika itu, tidak hanya

menimbulkan konflik tetapi berujung pada sikap resistensi penduduk

sebagai suatu collective action yang menjadi gerakan moral sosial

penduduk menolak perusahaan kelapa sawit di daerah ini.

Strategi Coping Orang Workwana

Urusan pengolahan kebun kelapa sawit sudah ditinggalkan dan

diserahkan kepada pihak lain. Tetapi urusan livelihood harus

berlangsung terus karena masih ada generasi berikut. Selain itu

sebenarnya terdapat world view orang Papua sebagai bagian dari orang

Melanesia yang berpikir, hidup harus terus berlangsung, hidup harus

dilindungi, hidup harus dirayakan atau dinikmati (Mantovani, 1991 &

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

293

Alua, 2004). Prinsip ini sejalan dengan paradigma Sustainable Livelihood. Selanjutnya, bagian ini merupakan suatu penjelasan

tentang fenomena kekompok masyarakat dilihat dari perspektif

Sustainable Livelihood yang sedang berinisiatif memperjuangkan nasib

keluarga dan dirinya untuk masa depan yang lebih baik.

Kelompok-kelompok Orang Workwana

Sebelum membahas lebih jauh tentang strategi kelompok-

kelompok dalam mengembangkan Livelihood-nya secara

berkelanjutan, penulis ingin membedakan masyarakat Workwana

menurut cara mereka menanggapi dampak transformasi sosial di

kampung halamannya. Kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok

kaum tua, kelompok perempuan, kelompok terdidik dan kelompok

tunakarya atau tunaskil.

Pertama, kelompok kaum tua dan dewasa. Kelompok kaum tua

ini pada umumnya terdiri dari kaum laki-laki di kampung yang dari sisi

Livelihood sehari-hari bergumul dengan aktivitas subsisten. Kelompok

ini masih berpegang pada tradisi setempat, beraktivtas melalui

kegiatan-kegiatan subsistensi di wilayah yang memungkinkannya

bergiat mempertahankan hidupnya. Kelompok ini juga termasuk

orang-orang yang berjuang mengelola kebun kelapa sawit 32 tahun

lalu dan mengalami masa-masa sulit di awal-awal perubahan dan

perkembangan daerah ini. Menurut informasi penduduk, sebagian

besar dari kelompok ini telah meninggal dunia. Namun dari antara

kaum tua yang ada, beberapa orang direkrut menjadi karyawan

perusahaan sebagai siasat melibatkan penduduk setempat sekaligus

sebagai simbol kerja sama dan pengakuan masyarakat terhadap

perusahaan. Kedua, kelompok perempuan Workwana. Kelompok ini

ternyata merupakan kelompok potensial yang berinisiatif mencari jalan

terhadap kemandekan Livelihood keluarga di kampungnya. Salah satu

prinsip yang dikemukakan kelompok ini kepada penulis ialah adanya

semangat untuk berjuang yakni, “kalau kita berusaha pasti bisa”.

Kelompok paruh baya ini masih tetap semangat berusaha

menanggulangi persoalan tekanan hidup di kampung agar keluarganya

dapat terus bertahan dalam semangat Sustainable Livelihood. Beberapa

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

294

kegiatan yang dilakukan seperti sudah diungkapkan terlebih dahulu

ialah berjualan di pasar Workwana setiap sore hari, mengusahakan kios

dan memelihara ternak di kampung. Dari pengamatan selama

penelitian, pada sore hari di pasar terlihat dengan jelas selain ibu-ibu

paruh baya terdapat juga perempuan-perempuan muda Workwana

berjualan di pasar. Menurut kelompok ini, berjualan di pasar

bermanfaat karena di tempat tersebut ada peluang, barang jualan dibeli

orang dan dengan demikian mereka mendapat uang yang dapat

digunakan untuk keperluan rumah tangga termasuk membiayai anak

sekolah. Selain kegiatan berjualan, terdapat pula sejumlah perempuan

muda dan dewasa bergiat sebagai buruh tani di perkebunan kelapa

sawit di Distrik Arso Timur yang diurus oleh perusahaan Rajawali.

Berkaitan dengan permasalahan hak-hak atas hutan dan tanah yang

terus dipersoalkan masyarakat, menurut kaum perempuan di sini,hal

tersebut merupakan urusan bapak-bapak dan kaum lelaki. Ketiga,

kelompok terdidik atau berpendidikan. Kelompok ini pada umumnya

terdiri dari golongan muda potensial yang berpendidikan sekolah

menengah atas dan perguruan tinggi. Kelompok ini bergiat dalam

berbagai profesi sesuai dengan perkembangan daerah dan peluang yang

ada di Kabupaten Keerom. Terdapat 17 orang, bekerja sebagai pegawai

negeri sipil di Pemda Keerom. Bahkan salah orang putra Workwana

merupakan dosen di sebauh perguruan tinggi negeri di Provinsi Papua

Barat. Mereka ini pada umumnya mempunyai posisi-posisi yang baik di

Pemda Keerom. Ada pula yang bergiat di bidang politik, 1 orang

menjadi anggota legislatif Kabupaten Keerom dan ada pula yang aktif

sebagai pegawai swasta di beberapa lembaga swasta. Selain itu terdapat

pula 5 orang yang berprofesi sebagai pengusaha. Kelompok muda

berpendidikan ini juga menjadi kelompok yang ikut prihatin dengan

situasi daerah, kampungnya dan masyarakat adat terkait perjuangan

warga masyarakat baik di Workwana maupun Arsokota yang terus

menuntut hak atas tanah-tanah yang digunakan sebagai perkebunan

sawit. Hal tersebut menjadi keprihatinan mereka juga karena masalah

hak ulayat berkaitan dengan aset-aset Livelihood orangtua, marga,

keluarga dan masa depan suku atau keretnya. Jadi baik kelompok tua

maupun kelompok muda terdidik sama-sama menyadari betapa

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

295

penting suatu lingkungan hidup berkelanjutan (environmental sustainability) agar sebagai suatu entitas masyarakat terjadi pula

kehidupan sosial yang berkelanjutan (social sustainability) sebagai

unsur-unsur penting Sustainable Livelihood. Keempat, kelompok

tunakarya. Kelompok ini pada umumnya terdiri anak-anak muda yang

tidak bersekolah dan putus sekolah. Kelompok ini pada umumnya

tidak mempunyai keterampilan khusus seperti orangtua mereka

sehingga tidak melanjutkan lagi aktivitas hidup subsisten. Menurut

penuturan informan yang ditemui di Kampung Workwana, kelompok

ini pada umumnya tidak bergiat secara subsisten karena mereka tidak

dibiasakan berburu binatang dan melakukan kegiatan subsisten lainnya

sehingga tidak punya pengalaman seperti orangtua mereka.

Pengalaman seperti orangtua mereka juga tidak diturunkan kepada

kaum muda karena tempat-tempat sumber Livelihood untuk

melakukan aktivitas subsistensi tidak ada lagi. Oleh karena itu mereka

memilih bergiat sebagai tukang ojek, penunggu pos adat yang

menerima setoran dari mobil pengangkut kayu olahan dari berbagai

tempat yang melintas di depan Kampung Workwana dan kegiatan-

kegiatan spontan lain yang dibutuhkan masyarakat. Menurut sekretaris

kampung, kelompok ini juga biasanya melakukan pekerjaan-pekerjaan

tertentu yang diberikan oleh pemerintah kampung seperti

memperbaiki pagar atau memperbaiki rumah warga. Selain itu karena

tanpa keterampilan nampaknya kelompok ini tampil sebagai kelompok

tunakarya yang rentan dipengaruhi dengan minuman keras (miras)

oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengganggu suasana dan

ketenangan masyarakat di kampung.

Strategi Sustainable Livelihood Orang Workwana

Ada berbagai strategi yang ditawarkan dalam mengembangkan

Sustainable Livelihood oleh para penggagas perspektif Livelihood.

Strategi tersebut ingin dilihat dalam pengalaman orang Workwana.

Chambers & Conway, misalnya, menawarkan beberapa strategi

campuran termasuk memanfaatan kebiasaan masyarakat yang

produktif dalam melakukan berbagai usaha. UNDP, menawarkan

strategi adaptasi dengan pendekatan ekonomi yang efektif. Butler &

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

296

Mazur mengusulkan melakukan diversifikasi Livelihood agar food security terjamin. Dan Henk mengedapankan aspek security sesuai

dengan apa yang dapat dilakukan untuk menjamin kelangsungan

hidup, sedangkan Ian Scoones menawarkan selain diversifikasi ada juga

intensifikasi dan ekstensifikasi serta migrasi. Sementara itu Saragih

dkk, menekankan strategi manajemen yang integratif yang pada

umumnya digunakan dalam Sustainable Livelihood dengan

memperhatikan hubungan antara unsur-unsur mikro dan makro dalam

masyarakat secara berkelanjutan sehingga Sustainable Livelihood tetap

berlangsung. Nampaknya setiap situasi dan konteks yang berbeda

mempunyai strategi yang berbeda pula di samping strategi yang

umumnya dapat digunakan sebagai strategi Sustainable Livelihood.

Studi kasus di Workwana menunjukkan, strategi yang digunakan

masyarakat untuk menjawab permasalahan Sustainable Livelihood

sebagai berikut. Dari tawaran-tawaran strategi Sustainable Livelihood

yang disebut Chambers dan Conway serta penggagas strategi lainnya,

dalam studi kasus di Workwana terlihat ada dua strategi utama yang

dilakukan masyarakat atau penduduk untuk menghadapi tekanan dan

goncangan hidup. Strategi-strategi tersebut dapat dikategorikan dalam

dua jenis strategi. Pertama, ada strategi resistensi sebagai gerakan moral

sosial penduduk yang dilakukan oleh kelompok otoritas adat dan

penduduk lainnya. Kedua, ada pula strategi coping (coping strategy)

yang dilakukan kaum perempuan dan kelompok berpendidikan atau

terdidik dan kelompok muda tunakarya.

Pertama, strategi resistensi moral sosial berjejaring. Strategi ini

merupakan suatu perjuangan yang berhubungan langsung dengan hak-

hak penduduk atau masyarakat di Workwana dan sekitarnya. Dari

hasil studi kasus jelas terlihat bahwa penduduk setempat tidak berjuang

sendiri tapi mereka melakukan perjuangan berjejaring dengan berbagai

pihak sebagai suatu pergerakan moral sosial bersama masyarakat.

Strategi ini dijalankan masyarakat adat di wilayah Distrik Arso yang

terdiri dari penduduk Kampung Arsokota, Kampung Workwana dan

beberapa kampung di sekitarnya, lembaga hukum perguruan tinggi dan

swasta, Komnas HAM serta pihak Gereja Katolik. Kedua, strategi

coping. Strategi ini pada umumnya dilakukan secara beragam oleh

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

297

kelompok-kelompok yang berbeda dari Kampung Workwana untuk

menanggulangi masalah tekanan dan goncangan hidup rumah tangga

akibat terputusnya usaha-usaha penduduk membangun Sustainbale Livelihood melalui kebun kelapa sawit. Strategi coping di Workwana

dikembangkan bervariasi dan dilakukan oleh kelompok-kelompok,

seperti kelompok perempuan, kelompok berpendidikan dan kekompok

kaum muda tunakarya.

Oleh karena studi kasus ini menggunakan juga pendekatan

studi fenomenologi maka dari fenomena-fenomena yang mencuat

berkaitan dengan perjuangan Sustainable Livelihood penduduk perlu

dicari arti atau makna serta peran dan fungsi dari usaha-usaha

tersebut.

Pertama, strategi resistensi. Strategi ini berisikan bentuk-

bentuk tuntutan terkait dengan batas waktu penggunaan tanah ulayat

penduduk, perlakukan yang adil dalam imbal beli tanah masyarakat

dihubungkan dengan identitas lokal, identitas marga atau keret dan

suku. Resistensi ini dilakukan secara berjejaring dengan cara membuat

pengaduan-pengaduan dan gugatan hukum melalui Lembaga Bantuan

Hukum Universitas Cenderawsih Jayapura, Komnas HAM Perwakilan

Papua yang difasilitasi oleh SKP Jayapura secara berjenjang sampai ke

pusat di Jakarta. Kedua, resistensi moral sosial ini merupakan bentuk

penolakan terhadap kesewenang-wenangan negara dan korporasi besar

yang telah memperalat aparat keamaman untuk membungkam

masyarakat dan memperdayakan penduduk asli setempat agar dapat

memenuhi program pembangunan BUMN atas nama pembangunan

nasional. Dengan demikian resistensi merupakan strategi masyarakat

mendorong penguasa atau pemerintah mengakui hak komunitas

masyarakat adat di wilayahnya. Sikap resistensi ini telah diperjuangkan

sampai ke Jakarta melalui DPR RI di Jakarta bahkan telah disampaikan

pula kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika itu.

Ketiga, resistensi moral sosial sebagai sebuah usaha memperjuangkan

kembali hak-hak dan aset-aset sebagai unsur pokok Sustainable Livelihood yang menjamin kesejahteraan dan masa depan generasi

yang akan datang. Masalah yang ditemui di sini antara lain seperti

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

298

dikutip Malak (2005), tentang pernyataan Gibb dan Bromley, bahwa

ada tiga jenis klaim terhadap tanah yaitu, klaim negara, klaim pribadi

dan klaim komunal masyarakat adat sebagai pemilik tanah (Wenehen,

2005). Yang lebih rumit lagi menurut Marti Serge (2008), ada beberapa

regulasi yang tidak pro rakyat, misalnya UU No.5/1999 tentang Hak

Guna Usaha (HGU) kepada seseorang atau badan hukum tidak bisa

diklaim masyarakat lokal atas izin negara terhadap HGU tersebut yang

sebelumnya merupakan tanah komunal. Selain itu UU No. 18 Tahun

2004 tentang Perkebunan mengizinkan penggunaan lahan selama 35

tahun dan dapat diperpanjang 3 kali sehingga mencapai 120 tahun.

Kemudian UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal,

menempatkan hak-hak investor di atas hak-hak masyarakat untuk

memperpanjang HGU awal 60 tahun dan dapat diperpanjang lagi

selama 35 tahu. Menurut Marti, regulasi-regulasi ini berlaku untuk

konsesi pertambangan, perkebunan, industri bubur kertas dan

penebangan kayu. Artinya regulasi-regulasi ini memperumit tuntutan

masyarakat atau penduduk lokal karena tidak pro rakyat tetapi pro

penguasa dan korporasi besar dan pemodal besar. Maka dilihat dari

azas keadilan dan prinsip etika pembangunan yang menjadi prinsip

Sustainable Livelihood terkait hak-hak rakyat di bidang sosial, budaya

dan ekonomi, regulasi-regulasi yang tidak pro-rakyat perlu dikaji lagi

karena ternyata dapat mendorong atau menggiring masyarakat

khususnya penduduk lokal masuk ke dalam perangkap kemiskinan,

hidup tanpa modal-modal atau tangible asset yang seharusnya ada

untuk hidup (Scoones, 1998; Krantz, 2001; Sachs, 2005). Jadi strategi

ini dilakukan karena sebenarnya masyarakat setempat sedang berada

dalam keadaan yang disebut oleh Ferguson dan Muray (2001) serta

Morse & McMara, (2013) sebagai vulnerability context. Vulnerabilty context dalam studi kasus ini ditandai oleh keadaan ketersingkiran dan

krisis-krisis, seperti yang telah disebutkan terlebih dahulu.

Kedua, Strategi Coping. Sebagaimana dijelaskan di atas, strategi

ini pada umumnya dilakukan oleh penduduk Kampung Workwana

dengan beragam usaha kegiatan untuk menanggulangi masalah

tekanan dan goncangan hidup rumah tangga akibat terputusnya usaha-

usaha penduduk membangun Sustainable Livelihood melalui kebun

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

299

kelapa sawit. Strategi Sustainable Livelihood yang dikembangkan

bervariasi dan dilakukan juga oleh berbagai kelompok seperti

kelompok perempuan, kelompok berpendidikan dan kekompok muda

tunakarya dengan cara: Satu, memanfaatkan human capital. Ternyata

krisis yang terjadi tidak membuat semua orang di Workwana putus asa

dan hilang akal. Situasi yang ada justru menyadarkan kelompok-

kelompok seperti kaum perempuan, kaum terdidik dan berpendidikan

banting stir, menangkap peluang yang ada, beruhasa membangun

Sustainable Livelihood dengan berbagai cara. Demikian pula golongan

muda putus sekolah, tunakarya yang minim keterampilan berupaya

memanfaatkan berbagai kemungkinan yang dapat dilakukannya untuk

membangun hidup sesuai dengan kapabilitasnya sebagai orang muda.

Dua, terbebaskan dari perangkap kemiskinan. Usaha mengembangkan

Sustainable Livelihood tentunya memberi pesan bahwa penduduk

setempat tidak ingin terjebak dalam perangkap kemiskinan karena

sedang berada dalam vulnerability context, sebagaimana pada

umumnya terjadi ketika Livelihood penduduk hilang. Karena dalam

keadaan demikian diandaikan semua modal-modal atau aset-aset yang

dipunyai penduduk turut hilang padahal sesungguhnya yang tersisa

ialah intangible assets yang merupakan modal manusia yang penting.

Memang bila dlihat dari ungkapan penduduk ketika diwawancarai saat

penelitian berlangsung dikatakan bahwa saat ini mereka tidak

memegang uang lagi seperti masa-masa awal panen kelapa sawi di

Workwana tapi dapat dilihat dari apa yang diusahakan, ternyata

penduduk setempat mempunyai human capital yang dapat difungsikan

dalam menanggulangi tantangan dan tekanan hidup yang dialami. Tiga,

akibat proses interaksi sosial dengan penduduk lain khususnya kaum

pendatang atau transmigran terjadi proses belajar bersama bagaimana

mengembangkan diversifikasi Livelihood untuk menangkal dan

menanggulangi permasalahan Sustainable Livelihood. Empat,

kelompok perempuan menangkap peluang ekonomi melalui pasar dan

usaha keluarga yang dapat dilakukan di rumah. Sedangkan kaum

berpendidikan melihat peluang lain sesuai dengan perkembangan

daerah untuk berprofesi sebagai pegawai negeri, pengusaha atau

politisi. Sedangkan kelompok muda tunakarya memanfaatkan apa yang

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

300

bisa dilakukan bila peluang-peluang yang ada tidak menuntut

keterampilan-keterampilan khusus.

Fenomena yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa di satu

sisi hak-hak masyarakat setempat tetap perlu diperjuangkan dan diatur

kembali, imbal beli melalui penyerahan aset-aset berupa hutan, tanah

dan segala kekayaan alam yang ada di atasnya hendaknya diproses dan

ditata kembali agar mengandung unsur-unsur keadilan dan kepantasan

bagi penduduk. Karena menurut penduduk setempat ketidakadilan dan

ketidakpantasan dalam transaksi imbal beli aset-aset Sustainable Livelihood telah menciptakan vulnerability context (Morse &

McMara, 2013) yang dapat mengekalkan kerentanan serta kemiskinan

baik pada aras individu dan lingkungannya maupun pada konteks yang

lebih luas yakni masyarakat di wilayah Keerom.

Usaha memperjuangkan Livelihood berkelanjutan, dilakukan

bersama-sama penduduk di Workwana, dan orang Arsokota serta

penduduk kampung-kampung sekitarnya sebagai masyarakat adat

Arso. Oleh karena itu usaha tersebut ingin dianalisa dan direflesksi

dalam perspektif collective action.

Perjuangan Sustainable Livelihood Sebagai Collective Action

Studi ini menunjukkan pula bahwa usaha atau perjuangan

mempertahankan Sustainable Livelihood, tidak dilalukan secara

individual tetapi dilakukan secara berkelompok. Karena itu seluruh

tindakan resistensi penduduk setempat dapat dikatakan sebagai

collective action karena resistensi menyatukan penduduk Workwana,

Kampung tetangga Arsokota dan beberapa warga kampung lainnya di

Distrik Arso. Jadi collective action penduduk ini sesungguhnya

mengandung makna sebuah perjuangan demiki kepentingan bersama

orang-orang Arso sebagai masyarakat adat.

Dengan demikian resistensi penduduk di daerah ini dilihat

sebagai collective action (tindakan kolektif) karena diorganisir oleh

kelompok masyarakat adat. Menurut Olson (2002), collective action

biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terorganisasi sesuai

dengan interes kelompok. Kelompok terorganisasi Olson berbeda

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

301

dengan kelompok masyarakat adat Arso. Kelompok terorganisasi yang

dibahas Olson berlatarbelakang kepentingan ekonomi dalam

lingkungan masyarakat industri yakni kelompok buruh. Sedangakan

kelompok terorganisasi dalam studi ini merupakan gerakan sosial yang

ditandai oleh colletive action di bawah payung masyarakat adat yang

memperjuangkan kepentigan hak-hak adat tanah ulayat. Namun

kesamaannya ialah tindakan kelompok-kelompok terorganisasi

tersebut termasuk masyarakat adat di Workwana dan kampung

sekitarnya disebut sebagai colletive action karena terfokus pada

perjuangan kepentingan kelompok.

Collective action orang Workwana dan sekitarnya merupakan

sebuah gerakan moral sosial masyarakat, tidak berlangsung atas nama

kelompok kampung tetapi atas nama masyarakat adat Arso. Karena itu

bentuk resistensi ini merupakan collective action, seperti disebut

Vanni (2014) sebagai sebuah kerjasama yang muncul dari masyarakat

bawah yang berjejaring. Collective action di Workwana dan sekitarnya

dapat dikatakan berjejaring karena merupakan gerakan masyarakat

adat yang disebut masyarakat adat Arso, terdiri dari penduduk

kampung-kampung di Distrik Arso yang muncul dari bawah, yakni

dari kalangan masyarakat setempat. Menurut Vanni, collective action

yang berjejaring merupakan social capital masyarakat. Dengan

demikian collective action orang Workwana dan sekitarnya bila dilihat

dari peranan dan tujuan kelompok sebagaimana dijelaskan oleh Schutz

dan Sandy (2011), ingin mencapaiu tujuan tertentu. Kasus collective action masyarakat adat di Arso bertujuan ingin memengaruhi

pemerintah dan perusahaan untuk mengembalikan hak-hak

masyarakat atas hutan dan tanah yang digunakan baik sebagai

perkebunan kelapa sawit. Salah satu taktik collective action yang

terakhir digunakan oleh kelompok masyarakat adat tersebut pada

akhir tahun 2016 ialah melakukan upacara adat peruhasaan menutup

aktivitas perkebunan. Perjuangan penduduk tidak berhenti di situ

karena dalam perspektif sustainable livelihood ada berbagai strategi

yang dapat dilakukan agar terjadi penguatan kapasiltas dan kapabilitas

penduduk. Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ialah adanya program pemberdayaan.

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

302

Pemberdayaan: Strategi Sustainable Livelihood

Pemberdayaan sebagai strategi sustainable livelihood yang

dibahas di sini berkaitkan dengan perjuangan orang Workwana agar

tetap eksis menghadapi berbagai tekanan dan goncangan hidup.

Perkebunan industri kelapa sawit sebagai sistem ekonomi pasar

yang kapitalistik masuk dalam kehidupan masyarakat asli di kampung

Workwana Distrik Arso Kabupaten Keerom sebagai sistem livelihood

atau bentuk penghidupan baru. Sistem livelihood baru tersebut

mengandaikan adanya kapabilitas penduduk yang sesuai dengan

tuntutan sistem usaha yang baru pula. Diakui atau tidak pendekatan

tersebut telah menyingkirkan livelihood masyarakat setempat dengan

segala kapabilitas, aset dan aktivitas untuk membangun kehidupannya

secara berkelanjutan dan bermakna baik jangka pendek maupun jangka

panjang. Dengan kata lain, hilangnya semua aset yang dimiliki

masyarakat karena alihfungsi dan alihkepemilikan berdampak pada

livelihood penduduk setempat. Tersingkirnya livelihood berarti pula

tersingkir dan terabaikannya nilai-nilai eksistensial dalam world view masyarakat (Geertz, 1973; Mantovani, 1998; Alua, 2004). Dalam studi

tentang kehidupan penduduk asli di kampung Workwana Distrik Arso

menunjukkan tersingkirnya livelihood setempat identik dengan

tersingkirnya nilai-nilai dasar yang ada dalam world view setempat

seperti, community, life, relations, exchange (Ennio Mantovani, 1993).

Tersingkirnya livelihood setempat berarti pula hilangnya kapabilitas

masyarakat untuk mengaktualisasikan diri sebagaimana mestinyta.

Ketiadaan kapabilitas dalam diri seseorang menimbulkan apa yang

disebut Sen (2000) sebagai bentuk deprivasi. Dengan demikian,

tersingkirnya livelihood dapat mengakibatkan muncunya vulnerability context kemiskinan atau deprivasi penduduk setempat karena

hilangnya berbagai capital yang dimilikinya (Krantz, 2001;Sachs,

2005). Tersingkirnya livelihood mengindikasikan terjadi pula proses

eksklusi sosial (social exclusion) masyarakat. Social exclusion (eksklusi

sosial), menunjukkan adanya situasi eksploitasi, penetrasi, fragmentasi

dan marjinalisasi yang menyebabkan masyarakat tidak eksis

sebagaimana mestinya. Social exclusion merupakan suatu proses di

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

303

mana individu atau komunitas masyarakat secara sistemik dihalangi

hak-hak, peluang dan sumber-sumber (seperti perumahan, pekerjaan,

pemeliharaan kesehatan, hak-hak sebagai warga negara, partisipasi

politik, proses-proses lain yang seharusnya dijalani) yang pada

umumnya ada dalam kehidupan warga dan yang merupakan unsur

penting bagi integrasi sosial masyarakat. Adolfo Figuerros dalam

tulisannya berjudul Social Exclusion and Rural Underdevelopment (1999) menjelaskan, secara teoritis ada tiga tipe aset yang

memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi

dan perubahan sosial. Aset-aset yang dimaksud adalah aset ekonomi

(tanah, modal fisik, modal uang dan modal manusia); aset politik (hak-

hak yang tidak dapat diganggu gugat sebagai anggota masyarakat); dan

aset budaya sebagai suatu sistem sosial yang menunjukkan karakteristik

tertentu individu (bahasa, ras, seks, sistem keluarga, pendidikan,

pekerjaan, agama dan asal daerah). Menurut Figuerros, aset ekonomi

menunjukkan kepemilikan pribadi, aset politik dan kultural

menunjukkan prestise seseorang, namun dapat menimbulkan stigma

sosial yang memunculkan diskriminasi dan segregasi sosial. Berkaitan

dengan keterbelakangan pembangunan pedesaan, Figuerros

menyatakan pada umumnya keluarga petani pedesaan sebagai suatu

unit kerja mempunyai tanah, modal fisik dan modal kerja yang

terbatas. Akibatnya, petani tidak dapat menabung dan meningkatkan

kapasitas diri bersumber pada modal-modal yang diperlukan sehingga

secara ekonomi pasar, digolongkan sebagai unsur masyarakat miskin.

Di sisi lain, kehidupan petani bisa berkembang sebab dunia kapitalis

memungkinkan petani bekerja dengan teknologi sebagai ruang bagi

petani setempat untuk mengadopsi inovasi-inovasi dan akan

mempercepat pertumbuhan dengan menghasilkan barang-barang yang

dapat dipasarkan. Namun, hal ini tidak terjadi di dunia ketiga dan

bahkan petani mengalami stagnasi sehingga menimbulkan

keterbelakangan. Selain itu, Glenn C. Loury (2000) dalam makalah,

Social Exclusion and Ethnic Groups: The Challenge to Economics menjelaskan bahwa perlu melakukan apa yang disebut development affirmative action kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan untuk

meningkatkan kapabilitas dan akses sehingga masyarakat tersebut juga

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

304

mampu bersaing dengan orang lain. Pendekatan development affirmative action merupakan tindakan inklusi sosial (social inclusion)

sebagai suatu tindakan afirmatif, yang mengganti keadaan dan

kebiasaan yang mengarah ke eksklusi sosial. Loury mencatat rumusan

Bank Dunia mengenai definisi inklusi sosial, sebagai proses perbaikan

kemampuan dan keadaan yang merugikan manusia, sebagai peluang

dan penghargaan terhadap identitas manusia untuk menempatkannya

sebagai bagian di dalam masyarakat. Oleh karena itu development affirmative action bisa terjadi bila ada strategi proteksi baik secara

politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum maupun bentuk-bentuk

program dan aksi pemberdayaan masyarakat. Karena melalui

pemberdayaan penduduk setempat dapat ditingkatkan kapabilitasnya

sehingga ia mampu melakukan proses coping yang dapat

membebaskannya dari kerentanan yang menjebaknya ke dalam

perangkap kemiskinan. Untuk itu dibutuhkan cara-cara intervensi

yang tepat sebagaimana disarankan oleh pendekatan sustainable livelihood, yang ciri-cirinya berpusat pada rakyat (people-centered),

holistik, dinamis, membangun kapasitas dan kapabiitas lokal,

memperhatikan hubungan makro dan mikro secara berkelanjutan.

Melalui pendekatan-pendekatan yang berjejaring dengan fokus pada

pengembangan ekonomi skala kecil dan peningkatan knowlwdge capital lainnya sehingga terjadi sebuah proses habitus antara berbagai

kapital digambarkan oleh Bourdieu (1986) sebagai berikut. Proses

habitus yang digambarkan Bourdieu diharapkan terjadi melalui proses

berikut: economic capital dapat menjadi cultural capital, cultural capital menghasilkan social capital dan social capital dikembangkan

sebagai economic capital penduduk setempat. Dengan demikian

konteks situasi penduduk yang rentan dan dapat menjadikannya

terjebak ke dalam kemiskinan dapat di atasi. Dalam konteks

Workwana, rumahtanga-rumahtangga diharapkan bisa

mengembangkan sustainable livelihood karena mempunyai kapabilitas

atau sumber daya manusia (human capital). Pengembangan human capital antara lain berkaitan dengan penggunaan alat-alat teknologi

sebagai pendukung berbagai kegiatan usaha dengan cara berjejaring,

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

305

termasuk menabung, untuk membangun sustainable livelihood yang

baru secara berkelanjutan.

Pemberdayaan Rumah Tangga

Seperti telah dijelaskan di atas visi pembangunan di Papua saat

ini diarahkan baik berdasarkan visi pembangunan nasional maupun

visi pembangunan daerah yang dielaborasi dalam konteks otonomi

khusus Papua. Visi pembangunan Papua saat ini dirumuskan Enembe

ialah, Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera (Enembe, 2015). Dengan

visi tersebut, agenda utama pembangunan yang digagasi Enembe dalam

masa kepemimpinannya terdiri dari pokok-pokok perhatian berikut.

Pertama, bagaimana Orang Papua bisa berdiri tegak sesuai harkat dan

martabatnya sebagai Orang Indonesia, berperan dalam berbagai sektor

kehidupan yang dimulai dari kebangkitan individu, keluarga-keluarga

dan komunitas-komunitas. Kedua, bagaimana membangun

kemandirian, bertitik tolak dari kemajuan ekonomi untuk

mewujudkan kesejahteraan Orang Papua, melalui perencanaan,

pelaksanaan dan pengelolaan sumber daya alam secara

bertanggungjawab. Menurut hemat penulis selain mengelola sumber

daya alam secara bertanggungjawab, aspek pengembangan sumber daya

manusia secara berkelanjutan merupakan conditio sine qua non dalam

pembangunan. Maka untuk mewujudkan agenda pembangunan

tersebut penulis memberi perhatian pada bentuk intervensi

pembangunan berdasarkan studi kasus di Kampung Workwana sebagai

berikut. Dari perspektif livelihood, penduduk setempat sendiri

berperan sebagai pelaku yang melakukan penguatan kapabilitas

dirinya. Artinya intervensi pemberdayaan pertama-tama hendaknya

terjadi di dalam komunitas penduduk kampung dengan sasaran utama

pada rumahtangga-rumahtangga. Gambar berikut merupakan hal-hal

yang perlu diperhatikan ketika proses pemberdayaan rumahtangga-

rumahtangga dan kelompok-kelompok dilakukan. Ada tiga aspek yang

perlu diperhatikan, yang berperan memengaruhi kehidupan

rumahtangga-rumahtangga di Workwana. Pertama, memahami kondisi

riil penduduk yang mengalami krisis-krisis dan menjadikannya secara

eksistensial tersingkir atau termarjinalisasi. Kedua menggunakan

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

306

unsur-unsur pokok sustainable livelihood, berpuat pada penduduk,

menggunakan modal manusia atau kapabilitas, kerja berjejaring,

dengan aktivitas ekonomi skala kecil, memanfaatkan akses yang ada.

Ketiga, dengan demikian penduduk diharapkan akan mampu

melakukan coping secara berkelanjutan, sebagai penduduk yang

mandiri sehingga terjadi diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi.

Gambar di bawah ini menggambarkan alur pemberdayaan dimaksud.

Gambar 7.5 Proses Pemberdayaan: Diversifikasi Sustainable Livelihood

Secara konkrit pemberdayaan tersebut dapat dilakukan melalui

rumahtangga-rumahtangga di kampung agar terbentuk rumahtangga-

rumahtangga madiri dan hidup lebih sejahtera. Pemberdayaan

penduduk kampung dapat dilakukan oleh para pihak yang peduli

dengan keadaan penduduk yang rentan terjebak dalam vulnerable context yang dapat memiskinkannya.

• Keadaan termarjinalisasi

• Krisis-krisis

• Aset-aset dan akses

Realitas

•Kapabilitas

•Modal manusia

•Berjejaring

•Aset dan akses

•Aktivitas ekonomi skala kecil

Pemberdayaan penduduk •Coping

berkelanjutan

• Diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi

Sustainable Livelihood