Upload
dotu
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 7
DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN SOSIALIS
Diskursus dan praktik kemiskinan sosialis menampung kelompok marxis,
neo marxis, sosialis demokrat, dan pihak lain yang memandang hubungan dengan
pemegang kapital sebagai penyebab kemiskinan. Kemiskinan muncul sebagai
konsekuensi interaksi kelas bawah (marhaen, kromo, petani kecil, buruh tani, dan
sebagainya) dengan kelas atas dari masyarakat kapitalis dan feudal. Sebagai
indikasi kelas bawah, menurut Sensus Penduduk 2010 terdapat 34.746.979 buruh,
karyawan dan pegawai.1 Sebagian lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga
mengadvokasi tubuh miskin untuk merebut hak-hak pembangunan (Wahono
2005: 4-9). Deskripsi diskursus ini dapat diambil dari pemahaman sosiologis Aidit
tentang pedesaan (Edman 2007: 127-128).
Indonesia adalah sebuah bangsa yang dikendalikan oleh baik sistem kapitalis maupun sistem feudalisme, meskipun tentu saja feudalisme yang murni 100% sudah tak lagi di sini. Akan tetapi sisa-sisa feudalisme yang terpenting dan paling serius masih ada di Indonesia sampai dengan saat ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan fakta: Pertama, masih tetap berlangsungnya hak-hak monopoli pada tuan-tuan tanah besar atas tanah-tanah mereka dikerjakan oleh para petani –yang merupakan sebagian besar orang yang tidak mungkin dapat memiliki tanah dan karenanya terpaksa harus menyewa tanah dari tuan tanah dengan berbagai macam persyaratan; Kedua, adanya sistem pembayaran sewa tanah dalam bentuk hasil-hasil panenan kepada para tuan tanah, di mana akibat-akibatnya menimbulkan sejumlah besar daripada sebagian besar kaum petani yang harus hidup dalam kemiskinan; Ketiga, adanya sistem sewa tanah dalam bentuk melakukan pekerjaan pada tanah-tanah milik tuan tanah yang telah menempatkan sebagian terbesar daripada kaum petani pada kedudukan seperti para budak. Terakhir, adanya penumpukan hutang yang demikian membebani sebagian besar kaum petani dan telah menempatkan mereka sebagai para budak milik para tuan tanah.
1 Diunduh dari http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=291&wid=0 pada tanggal 29 Desember 2011 pukul 13.33 WIB.
114
Wilayah pascakolonial memang bukan termasuk pembicaraan Karl Marx –
sumber pemikiran utama dalam diskursus dan praktik ini. Marx dan Engels (1960:
82-95) sekedar menunjukkan perkembangan perjuangan kelas, dimulai dari masa
komunisme primitif, masa feodalisme, masa kapitalisme, dan diakhiri dengan
masa sosialisme. Dengan struktur perekonomian utama masih dalam bidang
pertanian, Indonesia masuk dalam masa feodalisme. Akan tetapi kolonialisme
telah mengenalkan kapitalisme dalam industri dan jasa. Bergabungnya kedua
masa tersebut menunjukkan musuh bersama kelas bawah ialah kelas feodal dan
kelas kolonialis atau neokolonialis.
Kapitalisme yang berujud kolonialisme atau globalisme berasal dari luar
negeri, sedangkan feudalisme berkembang dari sejarah Indonesia sendiri. Hal ini
diindikasikan dari munculnya wong cilik sebagai homologi tubuh miskin yang
sudah ada sebelum penjajahan (Margana 2004: 45, 810).
Bab kaping 14 Kepala ora kena amundhut sakliyane pepundhutan utawa luwih seka pamundhute kang duwe bumi, atawa luwih sakkelare uwong cilik, kelar anyangga papundhutane mau, saupama oleh parentahe kang duwe bumi dikon jaluk luwih seka bobote, atawa papundhutan kang ora pantes, iya enggal awehya weruh marang kepala dhistrik. Terjemahan: Bab 14 Kepala desa tidak berhak meminta pungutan lebih dari pungutan orang yang mempunyai tanah atau lebih dari kemampuan rakyat kecil dalam membayar pungutan tadi, apabila memperoleh perintah dari orang yang mempunyai tanah untuk meminta lebih dari aturannya atau pungutan yang tidak pantas, harus memberitahukan kepala distrik. (Kutipan naskah nomor 84.3 tentang gambaran tugas para kepala desa, seperti bekel, panglawe, paneket, dan penatus di seluruh wilayah Keraton Yogyakarta)
Pemikiran sosialisme diperoleh dari Eropa, namun sejak awal
pertumbuhannya selalu diupayakan disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dalam
upaya penyelarasan tersebut, sosialisme dipandang telah ada di desa sebagaimana
muncul pada musyawarah untuk memecahkan permasalahan (Tjokroaminoto
115
2008: 47-114). Gotong royong di antara anggota masyarakat juga telah
dikembangkan untuk membangun desa.
Sosialisme juga dikaitkan dengan Islam. Nabi Muhammad dipandang
menerapkan sosialisme dalam kehidupan rumahtangga hingga bernegara
(Tjokroaminoto 2008: 47-114). Dalam arena rumahtangga posisi istri setara
suami, dan iapun dapat berbeda pendapat dari suami, bahkan menceraikannya.
Dalam bernegara, sosialisme dioperasikan melalui pewarisan harta agar tidak
terakumulasi pada anak saja, pelarangan rente, monopoli, perdagangan spekulasi,
hingga judi. Sosialisme dinilai dilaksanakan sahabat nabi hingga imperium Islam.
Dalam penyesuaian tersebut teori kelas dari Karl Marx digunakan, namun
dimanipulasi sesuai praktik di Indonesia. Negara, misalnya, dapat terpisah dari
kapital –sebagaimana ditunjukkan oleh perlawanan Soekarno terhadap Amerika
Serikat, Inggris, dan Belanda—karenanya bersama kelas miskin menghadapi
musuh bersama berupa neo-kolonialisme. Hanya ketika negara berhomologi
dengan kelas kapital –ini yang dicontohkan Marx dan Engels (1960: 79-81)—
barulah keduanya sama-sama menjadi musuh kelas miskin.
Menghisap Tubuh
Dikotomi pemikiran untuk mengembangkan diskursus kemiskinan sosialis
berupa marhaen-kapitalis dan sadar-hegemonis. Dikotomi marhaen-kapitalis
mampu menjelaskan hierarki kelas sosial, sementara dikotomi sadar-hegemonis
mengembangkan dinamika untuk menyusun solidaritas di dalam kelas sosial itu
sendiri (Gambar 10).
Tubuh-tubuh masyarakat dipisahkan sebagai kelas atas dan kelas bawah.
Tubuh kelas bawah turut berproduksi, namun operasi kekuasaan dalam produksi
telah menghisap surplus tersebut ke arah kelas atas. Mekanisme kekuasaan untuk
menghisap tersebut beroperasi melalui pemilikan benda-benda yang berfungsi
sebagai alat produksi, dan benda-benda tersebut melekat pada tubuh kelas atas.
Kekuasaan melalui alat produksi berjalan dalam arena produksi.
Dalam feudalisme, tubuh raja memancarkan kekuasaan yang ditangkap
oleh priyayi. Wujud dari kekuasaan priyayi ialah seperangkat tubuh-tubuh yang
116
dinamakan cacah, yang bertugas menghasilkan surplus dari sebidang tanah
pemberian raja (Onghokham 1984: 3-27; Agusta 2010a: 897-915). Peringkat
kekuasaan priyayi terekam dari jumlah cacah yang dikelolanya. Surplus yang
dimiliki priyayi berasal dari hasil produksi tubuh cacah dikurangi upeti untuk raja
(Margana 2004: 68-69, 503-504).
KapitalisNeokolonial/Neoimperialisme
Feodal
MarhaenTerjajah
Wong cilik
Sadar Hegemonik
Gambar 10. Dikotomi Kemiskinan Sosialis
Bab 3 Para priyayi wenang angerehake gawene bekel lan wong cilik, kang dadhi lungguhe mau kaya dhudhuk lumpur, kesrek cecek, tuk tunguk, pondhong pikul karepe priyayi dhewe, utawa priyayi mau nglakoni gawene negara… Bab 5 Para priyayi wenang mundhut pawulu-wetune bumi gadhhuhane lungguhe mau kaparokake, iyo para bekel ora kena mopo, tamtu nyumanggakna ing blabage, ananging para priyayi wajib ambayara alif apa ing lumrahe desa kono … Terjemahan: Bab 3 Para priyayi berwenang menggunakan tenaga bekel dan rakyat kecil yang menjadi bawahannya, seperti untuk pekerjaan dhudhuk lumpur, kesrek cecek, tuk tunguk, pondhong pikul yang sudah jelas merupakan kewajiban priyayi sendiri atau priyayi tadi melaksanakan tugas kerajaan… Bab 5
117
Para priyayi berhak mengambil hasil bumi dari tanah lungguhnya dengan cara maro atau mengambil pajak terserah sesuai yang disenangi, jika sawah tadi dibagi, para bekel harus menurut, dan harus menyerahkan kepadanya blabagnya. Akan tetapi para priyayi wajib membayar alip sesuai adat yang berlaku di desa tersebut… (Kutipan dokumen 14.a berupa peraturan priyayi yang mendapatkan lungguh (patuh), biasa dikenal sebagai Pranatan Patuh. Peraturan dikeluarkan Kesultanan Yogyakarta pada tanggal 23 Juni 1862).
Selama masa kolonial, kapitalisme menyatu dalam tubuh penjajah. Dalam
kolonialisme, mekanisme penghisapan surplus berlangsung melalui segmentasi
posisi dalam proses produksi (Boeke1953: 32-38 ). Segmentasi telah menguatkan
batas-batas kelas, sehingga memustahilkan peningkatan posisi dari pribumi ke
kelas atas. Bersamaan dengan hal tersebut, surplus pribumi semakin lancar
mengalir kepada kelas atas di negara jajahan hingga melintasi samudera ke negara
induk.
Penyesuaian kelas bawah ala Marx dengan kondisi di Indonesia
berlangsung dalam konsep kromo, marhaen, petani kecil, buruh tani, nelayan
kecil, orang miskin. Konsep-konsep ini merupakan tubuh kelas bawah yang dapat
dilekati sedikit alat produksi atau proletar yang hampa dari peralatan tersebut.
Konsep kromo dikenal setidaknya sejak kerajaan Mataram Islam pada abad ke 16
(Agusta 2010a: 897-915), sedangkan konsep marhaen diciptakan Soekarno pada
akhir 1920-an (Soekarno 1965: 167-170, 245-248). Konsep petani kecil, buruh
tani, nelayan kecil dan orang miskin sebagai kelas bawah digunakan akhir-akhir
ini (Wahono 2004: 1-19). Bagaimanapun, beragam tubuh kelas bawah tersebut
tidak mampu menghasilkan surplus yang mencukupi untuk hidup keluarganya.
Percakapan Soekarno kepada petani kecil bernama Marhaen menjelaskan hal ini
(Saksono 2008: 48-49).
"Siapa yang punya semua (dari) yang engkau kerjakan
sekarang ini?". Jawab dia kepada Soekarno, "Saya Juragan". Kemudian Soekarno bertanya lagi, "Apakah Engkau
memiliki tanah ini bersama-sama yang lain?". "O, tidak Gan. Saya sendiri yang punya". "Tanah ini Kau beli?". "Tidak. Warisan Bapak kepada anak turun temurun".
118
"Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tetapi apakah kepunyaanmu juga?".
"Ya, Gan". "Dan cangkul". "Ya, Gan". "Bapak?". "Saya punya, Gan". "Untuk siapa hasil yang Kau kerjakan?". "Untuk saya, Gan". "Apakah cukup untuk kebutuhanmu?". Jawab petani itu dengan kalimat tanya, "Bagaimana
(mungkin) sawah yang begitu kecil ini dapat cukup untuk seorang istri dan empat orang anak?".
Soekarno melanjutkan pertanyaan, "Apakah ada yang dijual dari hasilmu?".
"Hasilnya sekedar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual".
"Kau mempekerjakan orang lain?". "Tidak, Juragan, saya tidak bisa membayarnya". "Apakah Engkau pernah memburuh?". "Tidak, Gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi
jerih payah saya semua untuk saya". Bung Karno kemudian menunjuk ke pondok kecil, "Siapa
yang punya rumah itu?". "Itu gubuk saya, Gan. Hanya gubuk kecil saja, tetapi
kepunyaan saya sendiri".
Haji Misbach mencatat, bahwa kekuasaan menyamarkan operasinya pada
tubuh kelas bawah melalui penciptaan serangkaian kesadaran palsu (Hiqmah
2008:41). Penghilangan perbudakan pada akhir abad ke 19, misalnya, diikuti
dengan pembentukan buruh-bebas (free-labour). Perubahan status sosial tersebut
tidak memperbaiki keadaan kelas bawah, melainkan mempermudah penghisapan
surplus buruh melalui upah yang sangat rendah dan ketiadaan perlindungan antara
individu buruh dan kelompok pengusaha penjajah. Tubuh kelas bawah juga
diidentifikasi dengan kemalasan, dan bisa dicukupi dengan konsumsi uang
sebenggol (f 2,5) sehari (Soekarno 1965: 177-180).
Tubuh marhaen tidak hanya beridentitas buruh industri, melainkan juga
petani kecil dan buruh tani. Meskipun telah merujuk petani dan buruh tani di
pedesaan, namun perhatian yang kuat terhadap mereka baru muncul sejak dekade
1950-an. Walaupun menjadi salah satu partai pemenang Pemilu 1955, pengaruh
Partai Komunis Indonesia (PKI) di industri dan perkotaan kian terdesak oleh
119
Angkatan Darat. Partai kemudian mengalihkan perhatian kepada petani dan buruh
tani di pedesaan. Tidak sepenuhnya menganut teori Marx, peralihan subyek partai
ini diikuti dengan penguatan pengaruh pemikiran Lenin dalam menggerakkan
petani untuk revolusi Bolshevik di Rusia.
PKI membuka hubungan yang erat dengan organisasi petani bernama
Barisan Tani Indonesia (BTI) sejak 1950-an. Rancangan undang-undang agraria
sempat diusulkan PKI pada Desember 19581, diterima berbagai partai lain dan
dicanangkan sebagai Undang-undang Agraria pada November 1959. Undang-
undang ini segera direvisi kembali oleh akademisi, partai-partai dan pemerintah,
lalu diresmikan sebagai UU Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960. Salah satu
aspek penting dari undang-undang pokok tersebut ialah pembatasan luas lahan
yang bisa dimiliki petani. Kelebihan luas lahan harus diambil oleh pemerintah
dengan kompensasi tertentu, lalu dibagikan kepada penggarap dan buruh tani.
BTI dan PKI bergerak lebih lanjut, dengan menyelenggarakan penelitian
partisipatoris pada awal dekade 1960-an. Penelitian tentang jumlah, identitas dan
lingkungan tubuh-tubuh marhaen dikerjakan sekaligus untuk menyadarkannya
dari penghisapan kelas atas. Selain untuk memahami situasi obyektif dinamika
UU Pokok Agraria (Mortimer 2011: 390), penelitian juga membantu
pengintegrasian kader partai ke kalangan petani, serta melatih kader partai dalam
penelitian sosial yang cermat. Mereka menggunakan metode tiga bersama agar
kader partai berintegrasi dengan kelas marhaen, yaitu tinggal bersama kaum tani,
sudah bersantap semeja dengan mereka, sudah bekerja bersama mereka (White
2005: 116-118). Aidit mencatat kehendak meneliti berikut ini (Edman 2007: 141).
Hal ini dimaksudkan untuk mempelajari bentuk-bentuk khusus mengenai kelas-kelas di pedesaan dan hubungan-hubungan yang terjadi antara kelas-kelas tersebut dan terutama mengenai bentuk dan cara-cara eksploitasi yang dilakukan oleh para tuan tanah dan para lintah darat terhadap para petani atau berbagai bentuk eksploitasi yang dialami oleh para buruh, para petani miskin dan para petani menengah.
1 Walaupun demikian, diketahui adanya klaim kebenaran lainnya –yang sebaliknya sepenuhnya menghilangkan peran PKI. Klaim tersebut mengetengahkan peran BTI namun sebelum bergabung dengan PKI, peran akademisi, serta berbagai panitia bentukan pemerintah untuk menyusun rancangan undang-undang agraria tersebut. Setelah diusulkan pemerintah dalam sidang parlemen, disetujui bentuknya adalah UU Pokok Agraria (Wiradi 2000: 132-139).
120
Penelitian yang berorientasi praktik ini telah menghilangkan tubuh-tubuh
tuan tanah dalam kelompok petani di desa. Agitasi selama penelitian berlangsung
juga telah menyadarkan kelas marhaen akan penghisapan surplus ekonomi di
sawah, melatihnya untuk berorganisasi secara rasional, serta menguatkan
keberanian untuk melawan kelas kapitalis. Bagi kader partai yang sebelumnya
terbiasa mengelola buruh industri di kota, pengiriman ke desa kian menguatkan
pengetahuan obyektif tentang desa serta menguatkan kebersamaan antara kelas
atas dan kelas marhaen. Penelitian ini menghasilkan rincian lawan bersama yang
berasal dari dalam negeri, yaitu tuan tanah, rentenir, tukang ijon (membeli harga
pertanian sangat murah sebelum panen), kelas menengah sebagai penghubung
kota dan desa, kapitalis birokratik, serta agen perusahaan negara yang memaksa
petani untuk menjual tanamannya kepada perusahaan tersebut. Hasil penelitian
memberi konsekuensi agar petani kelas bawah memutuskan hubungan dengan
kelas feudal di pedesaan, sebagaimana dituliskan Aidit berikut ini (Edman 2007:
144).
… dalam semua bentuk aktivitas, partai akan mendasarkan diri pada buruh pertanian, para petani miskin, ikatan-ikatan dengan para petani menengah dan upaya netralisasi terhadap para petani kaya dan sebagainya sebagai upaya untuk mengucilkan para tuan tanah dan secara bertahap melakukan serangan terhadap mereka.
Hal ini … menuntut seluruh kader petani agar menjauhkan diri mereka dari para tuan tanah dan para lintah darat dalam kehidupan mereka sehari-hari dan juga secara bertahap memutuskan hubungan-hubungan mereka dengan kelas-kelas penghisap (exploiting classes) di desa-desa.
Hasil penelitian dikembangkan menjadi petunjuk dan pedoman untuk
melaksanakan aksi sepihak selangkah demi selangkah. Memilih titik moderat, BTI
dan PKI mengharapkan aksi-aksi tersebut belangsung adil, menguntungkan, dan
bergerak di batas-batas yang sudah ditetapkan pemerintah, berfokus pada hasil
kecil namun efektif, disertai dengan agitasi terus menerus.
Aksi-aksi sepihak tidak bisa sepenuhnya sesuai dengan peraturan
perundangan, justru di lapangan aksi dilakukan karena peraturan perundangan
tidak berjalan. Tuan tanah dan pemerintah daerah menghalang-halangi
121
pembentukan panitia reforma agraria di kecamatan, atau panitia tidak
menyelesaikan pekerjaan untuk mendata tanah yang melebihi ketentuan luas
pemilikan dalam UU Pokok Agraria. Dalam kondisi sulit tersebut, aksi sepihak
telah efektif dalam mengambil alih kepemilikan lahan tuan tanah, dan
membagikannya kepada petani miskin dan buruh tani. Pada pertengahan dekade
1960-an di wilayah Bandung, Cirebon, Indramayu, dan Karawang, aksi sepihak
sudah menghasilkan 52 ribu kesepakatan, dan 21.750 di antaranya sudah tercapai
dalam bentuk tertulis. Setelah aksi sepihak dilancarkan, di Jawa Barat diperoleh
kesepakatan bagi-hasil sebesar 51.750. Menurut kantor pemerintah, sebanyak 21
ribu Ha telah dibagikan kepada 33.573 penggarap. Aidit menulis perihal aksi
sepihak berikut ini (Edman 2007: 137)
Terdapat beberapa langkah yang harus kita tempuh dalam rangka menjalankan tanggung jawab partai kita yang paling penting; tanggung jawab untuk melakukan penghancuran terhadap sisa-sisa feodalisme, mengobarkan revolusi agraria yang anti feudal, dan merebut tanah-tanah milik para tuan tanah dan membagi-bagikannya secara cuma-cuma kepada pada petani sebagai hak milik pribadi mereka. Revolusi agraria ini adalah esensi daripada revolusi rakyat yang demokratis di Indonesia.
Aksi sepihak dan pemilikan tanah pribadi merupakan transisi menuju
kolektivitas lahan yang dikelola negara untuk para petani. Aidit menulis sebagai
berikut (Edman 2007: 132)
Apakah dengan memberikan tanah kepada para petani untuk dijadikan sebagai hak milik pribadi mereka akan berarti bahwa sistem kepemilikan pribadi adalah sistem kepemilikan yang terbaik dan tidak akan diubah? Tentu saja tidak! Kita tahu bahwa sebagian besar buruh tani dengan berdasarkan berbagai pengalaman mereka, setelah kemenangan revolusi agraria, akan sampai pada kesimpulan bahwa menggabungkan tanah sempit dan segala perlengkapan yang mereka miliki ke dalam sebuah pertanian kolektif besar yang lebih luas yang mencakup wilayah yang luas dan mendapatkan bantuan dari negara dari negara dalam bentuk traktor-traktor, mesin-mesin pemanen dan alat-alat pertanian lainnya. Dengan kata lain, para buruh tani kita akan mengikuti pola pertanian kolektif tersebut yang merupakan jalan menuju pembangunan masyarakat sosialis. Berbagai pengalaman para petani, yang didukung oleh kepemimpinan dan berbagai pelatihan
122
yang dilakukan oleh partai akan menyadari akan hal tersebut sehingga mereka secara sukarela akan meninggalkan prinsip-prinsip kepemilikan tanah secara perorangan.
Hanya di Jawa Timur pada awal tahun 1965 aksi sepihak kelas marhaen
mengalami hambatan dan tindakan balasan dari kaum santri, terutama anggota
Nahdlatul Ulama (NU). Sejak awal 1960-an, pesantren seringkali menerima
sumbangan lahan yang sangat besar dari tuan tanah, terutama untuk meloloskan
diri dari ketentuan pembatasan lahan dalam undang-undang agraria. Wilayah
konflik meliputi Banyuwangi, Jember, Jombang, Kediri, Sidoarjo, Bangil. Aksi-
aksi kekerasan meliputi penikaman, pembacokan, penculikan, membakar rumah,
merusak sawah. Kelas marhaen sendiri masih mengalami hambatan psikologis
untuk melawan kiai di desanya sendiri, sehingga mereka bergerak ke desa-desa
lain (Kuntowijoyo 1994: 11-27). Argumen keagamaan menjadi landasan tindakan
santri, seperti PKI menyerang pesantren sehingga umat Islam perlu
menghilangkan golongan "ateis" ini (Sulistyo 2011: 194-219). Pembunuhan
kepada anggota BTI berlangsung lebih hebat menjelang pergantian pemerintahan
dari Soekarno kepada Soeharto, terutama sepanjang akhir tahun 1965 dan awal
tahun 1966.
Merebut Hak Tubuh Miskin
Tenggelam selama satu dekade, diskursus kemiskinan sosialis muncul
kembali dalam tulisan akademisi dan aktivitas mahasiswa serta lembaga swadaya
masyarakat (LSM). Substansi diskursus berkembang menuju arah, pertama,
penghisapan surplus petani dan golongan miskin oleh perusahaan multinasional
atau dalam arena globalisasi. Kedua, penyadaraan hak-hak asasi petani dan orang
miskin yang diperluas, serta advokasi untuk mendapatkan hak-hak tersebut.
Terlihat identitas kromo dan marhaen melemah, dan berganti menjadi petani
(kecil) dan orang miskin.
Teori-teori keterbelakangan neomarxis dipraktekkan dalam analisis
ketergantungan elite Indonesia terhadap perusahaan multinasional (Arif 2001: 7-
36). Donor internasional juga turut menghisap surplus orang miskin melalui
123
mekanisme penagihan utang luar negeri untuk pembiayaan pembangunan di
Indonesia. Dalam konteks hubungan tersebut, elite di dalam negeri turut
menghisap surplus ciptaan petani dan orang miskin, terutama melalui korupsi dan
pungutan liar (Arif 2006: 157-220).
Bank Dunia ternyata lebih mengutamakan pengurangan permintaan agregat melalui pengurangan pengeluaran pemerintah daripada peringanan beban hutang luar negeri Indonesia. Pembayaran beban hutan luar negeri setiap tahun telah sangat banyak mengurangi permintaan agregat di dalam negeri (Arif 2001: 36).
Berkaitan dengan donor internasional, berkembang pandangan bahwa
kemiskinan semakin dibesarkan hingga ke tingkat global. Pemberdayaan orang
miskin dinilai sebagai pembukaan pasar bagi mereka atau neoliberal, sekaligus
langsung mengaitkan tubuh-tubuh miskin dengan perusahaan multinasional dari
negara maju (Carrol 2010: 84-101; Cavanagh, Retallack, Welch 2004: 81-90;
Pontoh dkk. 2000: 40-128; Rich 2004: 105-120). Program pemberdayaan
dipandang sebagai mekanisme kekuasaan untuk membuka jalan negara maju
masuk langsung ke tubuh-tubuh miskin. Sebagaimana pernah dinilai Haji Misbach
pada awal dekade 1920-an di atas, globalisasi mengulang pembentukan identitas
buruh bebas –atau kini manusia bebas—yang terpencar-pencar (tidak ada
kelompok tubuh miskin di tingkat kecamatan hingga nasional) sehingga posisinya
sangat rendah ketika berhadapan dengan donor internasional.
Organisasi global seperti serangkaian putaran General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT) dan pembentukan World Trade Organization (WTO)
dipandang sebagai pembuka pintu pemasaran produk pedesaan negara maju ke
negara miskin, sekaligus upaya mematikan usaha ekonomi warga desa di
Indonesia (Bello 2004: 95-104; Setiawan 2003: 86-106; Shiva 2004: 137-148;
Wiryono 2003: 187-204). Untuk membendung perdagangan bebas yang
merugikan tersebut, LSM melaksanakan advokasi kepada pemerintah dalam
merumuskan kebijakan perdagangan yang menguntungkan petani.
Adapun advokasi kepada petani dan orang miskin diarahkan pada
perluasan makna hak asasi manusia (Wahono 2004: 1-19). Hak asasi bagi tubuh
124
petani dan orang miskin berupa berbagai program pembangunan desa dan layanan
usahatani. Penyadaran dilakukan kepada tubuh tani dan orang miskin, bukan
sekedar guna menumbuhkan kebutuhan akan program pembangunan dan layanan
usahatani, namun secara mendalam memandang hal-hal tersebut sebagai hak yang
harus direbut. Di lingkungan yang berlawanan serta tanpa organisasi terstruktur
hingga ke tingkat nasional, advokasi tersebut sulit berhasil, atau berhasil dalam
jangka waktu yang lama –lebih dari 5 tahun (Wahono 2005: 4-9). Tahapan kritis
menuju pemahaman hak orang miskin disampaikan Wahono (2005: 9).
Begitulah masyarakat Lo-Rejo, bermula dengan pendidikan penyadaran partisipatif lewat CO-PAR yang dilanjutkan dengan pengorganisasian diri mulai dari 12 petani pemberani, telah berhasil mentransformasikan "kebutuhan" menjadi "hak yang diperjuangkan" (bukan sekedar sebagai hak yang diimpikan, alias "keinginan").
Usaha pentransformasian "keinginan" menjadi "kebutuhan" melalui pendidikan penyadaran partisipatif, yang kemudian disambung dengan usaha pentransformasian "kebutuhan" menjadi "hak yang diperjuangkan" melalui pengorganisasian masyarakat, mengangkat harkat dan martabat masyarakat akar rumput. Bukan suntikan dana atau modal, bukan mobilisasi massa, bukan pula instruksi dari atas, tetapi pendidikan penyadaran dan pengorganisasian. Dalam kerangka aksi dan refleksi, pendidikan penyadaran dan pengorganisasian tidak mungkin kalau tidak bertolak dari aksi dan diarahkan oleh refleksi. Aksi itu adalah kenyataan sehari-hari yang dihadapi masyarakat, yang kemudian direfleksikan dalam bentuk analisis sosial, sehingga masyarakat mentransformasikan apa yang menjadi "keinginannya" menjadi apa yang sesungguhnya mereka "butuhkan". Akhirnya berhadapan dengan berbagai macam halangan dari luar dirinya, masyarakat haruslah kembali ke aksi, yakni mentransformasikan "kebutuhan" menjadi "hak yang harus diperjuangkan". Dari proses itu, biasanya inisiatif-inisiatif baru akan muncul dan yang lama akan diberi relevansi barunya, keduanya ditangkap oleh masyarakat sebagai usaha-usaha yang harus diperjuangkan. Apalagi baik pemerintah daerah maupun perusahaan swasta tidak pernah memberikan hak masyarakat, kendati pun mereka menuntutnya. Hak adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, diperebutkan, maka tidak hanya "kebutuhan" bertemu "hak", tetapi "kebutuhan" harus ditransformasikan masyarakat setelah mereka mengalami pendidikan penyadaran dan mengorganisasikan dirinya, sehingga "kebutuhan" diyakini sebagai "hak yang harus diperjuangkan".
125
Diskursus kemiskinan sosialis dikembangkan dari perbedaan kelas atas
dan bawah, di mana kekuatan hubungan berlangsung secara horizontal dalam
kelas yang sama. Akan tetapi di pedesaan hubungan dapat berlangsung secara
vertikal, terutama menurut tradisi keagamaan. Ikatan santri dan kiainya dapat
sangat kuat, sehingga mampu melawan reforma agraria dari aktivis Barisan Tani
Indonesia (BTI). Selain itu, kemunculan petani dari kelas menengah dan atas
dalam organisasi petani menyulitkan tindakan revolusioner, seperti aksi sepihak
pendudukan lahan mereka sendiri (Mortimer 2011: 357, 394, 407-414).
Terlalu banyak kelompok kepemimpinan partai di tingkat
kecamatan dan desa dibentuk dari orang-orang yang akar sosialnya petani kaya ... yang awalnya mengambil perlindungan dari api gerakan petani revolusioner, tetapi yang, karena tingkat budaya mereka lebih tinggi, sanggup menempati posisi-posisi terkemuka dalam waktu singkat di tubuh PKI dan BTI sehingga berhasil meraih kepercayaan para petani untuk beberapa waktu tapi kemudian terbukti mengkhianati perjuangan revolusioner pada akhirnya
Ikhtisar
Diskursus dan praktik kemiskinan sosialis menemukan tubuh-tubuh
miskin setelah surplus produksi yang dihasilkannya dihisap oleh kelas kapitalis.
Berkali-kali konsep sosialisme dari Barat diadaptasikan untuk masyarakat
Indonesia, hingga menemukan kelas miskin terdiri atas marhaen, kromo, petani
kecil, buruh tani, nelayan kecil, buruh nelayan, di samping proletar. Adapun kelas
kapitalis terdiri atas kolonialis, golongan feudal, dan pendukung perdagangan
bebas dalam globalisasi.
Melalui penelitian partisipatoris, ditemukanlah tubuh-tubuh miskin. Oleh
karena tubuh miskin sendiri awalnya tidak menyadari penghisapan surplus
dirinya, maka arena penanggulangan kemiskinan mula-mula dipenuhi tindakan-
tindakan agitasi untuk menyadarkan penghisapan tersebut. Berpandangan surplus
sebagai hak milik tubuh miskin, maka setelah tubuh miskin menyadari mekanisme
penghisapan dalam proses produksi, selanjutnya tubuh-tubuh tersebut diajak
untuk merebut alat produksi. Penguasaan alat produksi, seperti tanah, perahu,
126
peralatan mekanisasi, dan sebagainya, dipandang sebagai jalan untuk keluar dari
kemiskinan.
Sementara dalam bab ini diskursus kemiskinan sosialis mengajak tubuh
miskin untuk merebut alat produksi dari kelas kapitalis, bab berikutnya tubuh
miskin diajak untuk mandiri. Dalam diskursus dan praktik potensi golongan
miskin tersebut, tubuh-tubuh miskin diajak oleh pendamping untuk bersatu dalam
kelompok miskin sendiri.