14
BAB 7 DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN SOSIALIS Diskursus dan praktik kemiskinan sosialis menampung kelompok marxis, neo marxis, sosialis demokrat, dan pihak lain yang memandang hubungan dengan pemegang kapital sebagai penyebab kemiskinan. Kemiskinan muncul sebagai konsekuensi interaksi kelas bawah (marhaen, kromo, petani kecil, buruh tani, dan sebagainya) dengan kelas atas dari masyarakat kapitalis dan feudal. Sebagai indikasi kelas bawah, menurut Sensus Penduduk 2010 terdapat 34.746.979 buruh, karyawan dan pegawai. 1 Sebagian lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga mengadvokasi tubuh miskin untuk merebut hak-hak pembangunan (Wahono 2005: 4-9). Deskripsi diskursus ini dapat diambil dari pemahaman sosiologis Aidit tentang pedesaan (Edman 2007: 127-128). Indonesia adalah sebuah bangsa yang dikendalikan oleh baik sistem kapitalis maupun sistem feudalisme, meskipun tentu saja feudalisme yang murni 100% sudah tak lagi di sini. Akan tetapi sisa-sisa feudalisme yang terpenting dan paling serius masih ada di Indonesia sampai dengan saat ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan fakta: Pertama, masih tetap berlangsungnya hak-hak monopoli pada tuan-tuan tanah besar atas tanah-tanah mereka dikerjakan oleh para petani –yang merupakan sebagian besar orang yang tidak mungkin dapat memiliki tanah dan karenanya terpaksa harus menyewa tanah dari tuan tanah dengan berbagai macam persyaratan; Kedua, adanya sistem pembayaran sewa tanah dalam bentuk hasil-hasil panenan kepada para tuan tanah, di mana akibat- akibatnya menimbulkan sejumlah besar daripada sebagian besar kaum petani yang harus hidup dalam kemiskinan; Ketiga, adanya sistem sewa tanah dalam bentuk melakukan pekerjaan pada tanah- tanah milik tuan tanah yang telah menempatkan sebagian terbesar daripada kaum petani pada kedudukan seperti para budak. Terakhir, adanya penumpukan hutang yang demikian membebani sebagian besar kaum petani dan telah menempatkan mereka sebagai para budak milik para tuan tanah. 1 Diunduh dari http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=291&wid=0 pada tanggal 29 Desember 2011 pukul 13.33 WIB.

BAB 7 DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN SOSIALIS · sistem sewa tanah dalam bentuk melakukan pekerjaan pada tanah- ... komunisme primitif, masa feodalisme, masa kapitalisme, dan diakhiri

  • Upload
    dotu

  • View
    217

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 7

DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN SOSIALIS

Diskursus dan praktik kemiskinan sosialis menampung kelompok marxis,

neo marxis, sosialis demokrat, dan pihak lain yang memandang hubungan dengan

pemegang kapital sebagai penyebab kemiskinan. Kemiskinan muncul sebagai

konsekuensi interaksi kelas bawah (marhaen, kromo, petani kecil, buruh tani, dan

sebagainya) dengan kelas atas dari masyarakat kapitalis dan feudal. Sebagai

indikasi kelas bawah, menurut Sensus Penduduk 2010 terdapat 34.746.979 buruh,

karyawan dan pegawai.1 Sebagian lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga

mengadvokasi tubuh miskin untuk merebut hak-hak pembangunan (Wahono

2005: 4-9). Deskripsi diskursus ini dapat diambil dari pemahaman sosiologis Aidit

tentang pedesaan (Edman 2007: 127-128).

Indonesia adalah sebuah bangsa yang dikendalikan oleh baik sistem kapitalis maupun sistem feudalisme, meskipun tentu saja feudalisme yang murni 100% sudah tak lagi di sini. Akan tetapi sisa-sisa feudalisme yang terpenting dan paling serius masih ada di Indonesia sampai dengan saat ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan fakta: Pertama, masih tetap berlangsungnya hak-hak monopoli pada tuan-tuan tanah besar atas tanah-tanah mereka dikerjakan oleh para petani –yang merupakan sebagian besar orang yang tidak mungkin dapat memiliki tanah dan karenanya terpaksa harus menyewa tanah dari tuan tanah dengan berbagai macam persyaratan; Kedua, adanya sistem pembayaran sewa tanah dalam bentuk hasil-hasil panenan kepada para tuan tanah, di mana akibat-akibatnya menimbulkan sejumlah besar daripada sebagian besar kaum petani yang harus hidup dalam kemiskinan; Ketiga, adanya sistem sewa tanah dalam bentuk melakukan pekerjaan pada tanah-tanah milik tuan tanah yang telah menempatkan sebagian terbesar daripada kaum petani pada kedudukan seperti para budak. Terakhir, adanya penumpukan hutang yang demikian membebani sebagian besar kaum petani dan telah menempatkan mereka sebagai para budak milik para tuan tanah.

1 Diunduh dari http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=291&wid=0 pada tanggal 29 Desember 2011 pukul 13.33 WIB.

114

Wilayah pascakolonial memang bukan termasuk pembicaraan Karl Marx –

sumber pemikiran utama dalam diskursus dan praktik ini. Marx dan Engels (1960:

82-95) sekedar menunjukkan perkembangan perjuangan kelas, dimulai dari masa

komunisme primitif, masa feodalisme, masa kapitalisme, dan diakhiri dengan

masa sosialisme. Dengan struktur perekonomian utama masih dalam bidang

pertanian, Indonesia masuk dalam masa feodalisme. Akan tetapi kolonialisme

telah mengenalkan kapitalisme dalam industri dan jasa. Bergabungnya kedua

masa tersebut menunjukkan musuh bersama kelas bawah ialah kelas feodal dan

kelas kolonialis atau neokolonialis.

Kapitalisme yang berujud kolonialisme atau globalisme berasal dari luar

negeri, sedangkan feudalisme berkembang dari sejarah Indonesia sendiri. Hal ini

diindikasikan dari munculnya wong cilik sebagai homologi tubuh miskin yang

sudah ada sebelum penjajahan (Margana 2004: 45, 810).

Bab kaping 14 Kepala ora kena amundhut sakliyane pepundhutan utawa luwih seka pamundhute kang duwe bumi, atawa luwih sakkelare uwong cilik, kelar anyangga papundhutane mau, saupama oleh parentahe kang duwe bumi dikon jaluk luwih seka bobote, atawa papundhutan kang ora pantes, iya enggal awehya weruh marang kepala dhistrik. Terjemahan: Bab 14 Kepala desa tidak berhak meminta pungutan lebih dari pungutan orang yang mempunyai tanah atau lebih dari kemampuan rakyat kecil dalam membayar pungutan tadi, apabila memperoleh perintah dari orang yang mempunyai tanah untuk meminta lebih dari aturannya atau pungutan yang tidak pantas, harus memberitahukan kepala distrik. (Kutipan naskah nomor 84.3 tentang gambaran tugas para kepala desa, seperti bekel, panglawe, paneket, dan penatus di seluruh wilayah Keraton Yogyakarta)

Pemikiran sosialisme diperoleh dari Eropa, namun sejak awal

pertumbuhannya selalu diupayakan disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dalam

upaya penyelarasan tersebut, sosialisme dipandang telah ada di desa sebagaimana

muncul pada musyawarah untuk memecahkan permasalahan (Tjokroaminoto

115

2008: 47-114). Gotong royong di antara anggota masyarakat juga telah

dikembangkan untuk membangun desa.

Sosialisme juga dikaitkan dengan Islam. Nabi Muhammad dipandang

menerapkan sosialisme dalam kehidupan rumahtangga hingga bernegara

(Tjokroaminoto 2008: 47-114). Dalam arena rumahtangga posisi istri setara

suami, dan iapun dapat berbeda pendapat dari suami, bahkan menceraikannya.

Dalam bernegara, sosialisme dioperasikan melalui pewarisan harta agar tidak

terakumulasi pada anak saja, pelarangan rente, monopoli, perdagangan spekulasi,

hingga judi. Sosialisme dinilai dilaksanakan sahabat nabi hingga imperium Islam.

Dalam penyesuaian tersebut teori kelas dari Karl Marx digunakan, namun

dimanipulasi sesuai praktik di Indonesia. Negara, misalnya, dapat terpisah dari

kapital –sebagaimana ditunjukkan oleh perlawanan Soekarno terhadap Amerika

Serikat, Inggris, dan Belanda—karenanya bersama kelas miskin menghadapi

musuh bersama berupa neo-kolonialisme. Hanya ketika negara berhomologi

dengan kelas kapital –ini yang dicontohkan Marx dan Engels (1960: 79-81)—

barulah keduanya sama-sama menjadi musuh kelas miskin.

Menghisap Tubuh

Dikotomi pemikiran untuk mengembangkan diskursus kemiskinan sosialis

berupa marhaen-kapitalis dan sadar-hegemonis. Dikotomi marhaen-kapitalis

mampu menjelaskan hierarki kelas sosial, sementara dikotomi sadar-hegemonis

mengembangkan dinamika untuk menyusun solidaritas di dalam kelas sosial itu

sendiri (Gambar 10).

Tubuh-tubuh masyarakat dipisahkan sebagai kelas atas dan kelas bawah.

Tubuh kelas bawah turut berproduksi, namun operasi kekuasaan dalam produksi

telah menghisap surplus tersebut ke arah kelas atas. Mekanisme kekuasaan untuk

menghisap tersebut beroperasi melalui pemilikan benda-benda yang berfungsi

sebagai alat produksi, dan benda-benda tersebut melekat pada tubuh kelas atas.

Kekuasaan melalui alat produksi berjalan dalam arena produksi.

Dalam feudalisme, tubuh raja memancarkan kekuasaan yang ditangkap

oleh priyayi. Wujud dari kekuasaan priyayi ialah seperangkat tubuh-tubuh yang

116

dinamakan cacah, yang bertugas menghasilkan surplus dari sebidang tanah

pemberian raja (Onghokham 1984: 3-27; Agusta 2010a: 897-915). Peringkat

kekuasaan priyayi terekam dari jumlah cacah yang dikelolanya. Surplus yang

dimiliki priyayi berasal dari hasil produksi tubuh cacah dikurangi upeti untuk raja

(Margana 2004: 68-69, 503-504).

KapitalisNeokolonial/Neoimperialisme

Feodal

MarhaenTerjajah

Wong cilik

Sadar Hegemonik

Gambar 10. Dikotomi Kemiskinan Sosialis

Bab 3 Para priyayi wenang angerehake gawene bekel lan wong cilik, kang dadhi lungguhe mau kaya dhudhuk lumpur, kesrek cecek, tuk tunguk, pondhong pikul karepe priyayi dhewe, utawa priyayi mau nglakoni gawene negara… Bab 5 Para priyayi wenang mundhut pawulu-wetune bumi gadhhuhane lungguhe mau kaparokake, iyo para bekel ora kena mopo, tamtu nyumanggakna ing blabage, ananging para priyayi wajib ambayara alif apa ing lumrahe desa kono … Terjemahan: Bab 3 Para priyayi berwenang menggunakan tenaga bekel dan rakyat kecil yang menjadi bawahannya, seperti untuk pekerjaan dhudhuk lumpur, kesrek cecek, tuk tunguk, pondhong pikul yang sudah jelas merupakan kewajiban priyayi sendiri atau priyayi tadi melaksanakan tugas kerajaan… Bab 5

117

Para priyayi berhak mengambil hasil bumi dari tanah lungguhnya dengan cara maro atau mengambil pajak terserah sesuai yang disenangi, jika sawah tadi dibagi, para bekel harus menurut, dan harus menyerahkan kepadanya blabagnya. Akan tetapi para priyayi wajib membayar alip sesuai adat yang berlaku di desa tersebut… (Kutipan dokumen 14.a berupa peraturan priyayi yang mendapatkan lungguh (patuh), biasa dikenal sebagai Pranatan Patuh. Peraturan dikeluarkan Kesultanan Yogyakarta pada tanggal 23 Juni 1862).

Selama masa kolonial, kapitalisme menyatu dalam tubuh penjajah. Dalam

kolonialisme, mekanisme penghisapan surplus berlangsung melalui segmentasi

posisi dalam proses produksi (Boeke1953: 32-38 ). Segmentasi telah menguatkan

batas-batas kelas, sehingga memustahilkan peningkatan posisi dari pribumi ke

kelas atas. Bersamaan dengan hal tersebut, surplus pribumi semakin lancar

mengalir kepada kelas atas di negara jajahan hingga melintasi samudera ke negara

induk.

Penyesuaian kelas bawah ala Marx dengan kondisi di Indonesia

berlangsung dalam konsep kromo, marhaen, petani kecil, buruh tani, nelayan

kecil, orang miskin. Konsep-konsep ini merupakan tubuh kelas bawah yang dapat

dilekati sedikit alat produksi atau proletar yang hampa dari peralatan tersebut.

Konsep kromo dikenal setidaknya sejak kerajaan Mataram Islam pada abad ke 16

(Agusta 2010a: 897-915), sedangkan konsep marhaen diciptakan Soekarno pada

akhir 1920-an (Soekarno 1965: 167-170, 245-248). Konsep petani kecil, buruh

tani, nelayan kecil dan orang miskin sebagai kelas bawah digunakan akhir-akhir

ini (Wahono 2004: 1-19). Bagaimanapun, beragam tubuh kelas bawah tersebut

tidak mampu menghasilkan surplus yang mencukupi untuk hidup keluarganya.

Percakapan Soekarno kepada petani kecil bernama Marhaen menjelaskan hal ini

(Saksono 2008: 48-49).

"Siapa yang punya semua (dari) yang engkau kerjakan

sekarang ini?". Jawab dia kepada Soekarno, "Saya Juragan". Kemudian Soekarno bertanya lagi, "Apakah Engkau

memiliki tanah ini bersama-sama yang lain?". "O, tidak Gan. Saya sendiri yang punya". "Tanah ini Kau beli?". "Tidak. Warisan Bapak kepada anak turun temurun".

118

"Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tetapi apakah kepunyaanmu juga?".

"Ya, Gan". "Dan cangkul". "Ya, Gan". "Bapak?". "Saya punya, Gan". "Untuk siapa hasil yang Kau kerjakan?". "Untuk saya, Gan". "Apakah cukup untuk kebutuhanmu?". Jawab petani itu dengan kalimat tanya, "Bagaimana

(mungkin) sawah yang begitu kecil ini dapat cukup untuk seorang istri dan empat orang anak?".

Soekarno melanjutkan pertanyaan, "Apakah ada yang dijual dari hasilmu?".

"Hasilnya sekedar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual".

"Kau mempekerjakan orang lain?". "Tidak, Juragan, saya tidak bisa membayarnya". "Apakah Engkau pernah memburuh?". "Tidak, Gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi

jerih payah saya semua untuk saya". Bung Karno kemudian menunjuk ke pondok kecil, "Siapa

yang punya rumah itu?". "Itu gubuk saya, Gan. Hanya gubuk kecil saja, tetapi

kepunyaan saya sendiri".

Haji Misbach mencatat, bahwa kekuasaan menyamarkan operasinya pada

tubuh kelas bawah melalui penciptaan serangkaian kesadaran palsu (Hiqmah

2008:41). Penghilangan perbudakan pada akhir abad ke 19, misalnya, diikuti

dengan pembentukan buruh-bebas (free-labour). Perubahan status sosial tersebut

tidak memperbaiki keadaan kelas bawah, melainkan mempermudah penghisapan

surplus buruh melalui upah yang sangat rendah dan ketiadaan perlindungan antara

individu buruh dan kelompok pengusaha penjajah. Tubuh kelas bawah juga

diidentifikasi dengan kemalasan, dan bisa dicukupi dengan konsumsi uang

sebenggol (f 2,5) sehari (Soekarno 1965: 177-180).

Tubuh marhaen tidak hanya beridentitas buruh industri, melainkan juga

petani kecil dan buruh tani. Meskipun telah merujuk petani dan buruh tani di

pedesaan, namun perhatian yang kuat terhadap mereka baru muncul sejak dekade

1950-an. Walaupun menjadi salah satu partai pemenang Pemilu 1955, pengaruh

Partai Komunis Indonesia (PKI) di industri dan perkotaan kian terdesak oleh

119

Angkatan Darat. Partai kemudian mengalihkan perhatian kepada petani dan buruh

tani di pedesaan. Tidak sepenuhnya menganut teori Marx, peralihan subyek partai

ini diikuti dengan penguatan pengaruh pemikiran Lenin dalam menggerakkan

petani untuk revolusi Bolshevik di Rusia.

PKI membuka hubungan yang erat dengan organisasi petani bernama

Barisan Tani Indonesia (BTI) sejak 1950-an. Rancangan undang-undang agraria

sempat diusulkan PKI pada Desember 19581, diterima berbagai partai lain dan

dicanangkan sebagai Undang-undang Agraria pada November 1959. Undang-

undang ini segera direvisi kembali oleh akademisi, partai-partai dan pemerintah,

lalu diresmikan sebagai UU Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960. Salah satu

aspek penting dari undang-undang pokok tersebut ialah pembatasan luas lahan

yang bisa dimiliki petani. Kelebihan luas lahan harus diambil oleh pemerintah

dengan kompensasi tertentu, lalu dibagikan kepada penggarap dan buruh tani.

BTI dan PKI bergerak lebih lanjut, dengan menyelenggarakan penelitian

partisipatoris pada awal dekade 1960-an. Penelitian tentang jumlah, identitas dan

lingkungan tubuh-tubuh marhaen dikerjakan sekaligus untuk menyadarkannya

dari penghisapan kelas atas. Selain untuk memahami situasi obyektif dinamika

UU Pokok Agraria (Mortimer 2011: 390), penelitian juga membantu

pengintegrasian kader partai ke kalangan petani, serta melatih kader partai dalam

penelitian sosial yang cermat. Mereka menggunakan metode tiga bersama agar

kader partai berintegrasi dengan kelas marhaen, yaitu tinggal bersama kaum tani,

sudah bersantap semeja dengan mereka, sudah bekerja bersama mereka (White

2005: 116-118). Aidit mencatat kehendak meneliti berikut ini (Edman 2007: 141).

Hal ini dimaksudkan untuk mempelajari bentuk-bentuk khusus mengenai kelas-kelas di pedesaan dan hubungan-hubungan yang terjadi antara kelas-kelas tersebut dan terutama mengenai bentuk dan cara-cara eksploitasi yang dilakukan oleh para tuan tanah dan para lintah darat terhadap para petani atau berbagai bentuk eksploitasi yang dialami oleh para buruh, para petani miskin dan para petani menengah.

1 Walaupun demikian, diketahui adanya klaim kebenaran lainnya –yang sebaliknya sepenuhnya menghilangkan peran PKI. Klaim tersebut mengetengahkan peran BTI namun sebelum bergabung dengan PKI, peran akademisi, serta berbagai panitia bentukan pemerintah untuk menyusun rancangan undang-undang agraria tersebut. Setelah diusulkan pemerintah dalam sidang parlemen, disetujui bentuknya adalah UU Pokok Agraria (Wiradi 2000: 132-139).

120

Penelitian yang berorientasi praktik ini telah menghilangkan tubuh-tubuh

tuan tanah dalam kelompok petani di desa. Agitasi selama penelitian berlangsung

juga telah menyadarkan kelas marhaen akan penghisapan surplus ekonomi di

sawah, melatihnya untuk berorganisasi secara rasional, serta menguatkan

keberanian untuk melawan kelas kapitalis. Bagi kader partai yang sebelumnya

terbiasa mengelola buruh industri di kota, pengiriman ke desa kian menguatkan

pengetahuan obyektif tentang desa serta menguatkan kebersamaan antara kelas

atas dan kelas marhaen. Penelitian ini menghasilkan rincian lawan bersama yang

berasal dari dalam negeri, yaitu tuan tanah, rentenir, tukang ijon (membeli harga

pertanian sangat murah sebelum panen), kelas menengah sebagai penghubung

kota dan desa, kapitalis birokratik, serta agen perusahaan negara yang memaksa

petani untuk menjual tanamannya kepada perusahaan tersebut. Hasil penelitian

memberi konsekuensi agar petani kelas bawah memutuskan hubungan dengan

kelas feudal di pedesaan, sebagaimana dituliskan Aidit berikut ini (Edman 2007:

144).

… dalam semua bentuk aktivitas, partai akan mendasarkan diri pada buruh pertanian, para petani miskin, ikatan-ikatan dengan para petani menengah dan upaya netralisasi terhadap para petani kaya dan sebagainya sebagai upaya untuk mengucilkan para tuan tanah dan secara bertahap melakukan serangan terhadap mereka.

Hal ini … menuntut seluruh kader petani agar menjauhkan diri mereka dari para tuan tanah dan para lintah darat dalam kehidupan mereka sehari-hari dan juga secara bertahap memutuskan hubungan-hubungan mereka dengan kelas-kelas penghisap (exploiting classes) di desa-desa.

Hasil penelitian dikembangkan menjadi petunjuk dan pedoman untuk

melaksanakan aksi sepihak selangkah demi selangkah. Memilih titik moderat, BTI

dan PKI mengharapkan aksi-aksi tersebut belangsung adil, menguntungkan, dan

bergerak di batas-batas yang sudah ditetapkan pemerintah, berfokus pada hasil

kecil namun efektif, disertai dengan agitasi terus menerus.

Aksi-aksi sepihak tidak bisa sepenuhnya sesuai dengan peraturan

perundangan, justru di lapangan aksi dilakukan karena peraturan perundangan

tidak berjalan. Tuan tanah dan pemerintah daerah menghalang-halangi

121

pembentukan panitia reforma agraria di kecamatan, atau panitia tidak

menyelesaikan pekerjaan untuk mendata tanah yang melebihi ketentuan luas

pemilikan dalam UU Pokok Agraria. Dalam kondisi sulit tersebut, aksi sepihak

telah efektif dalam mengambil alih kepemilikan lahan tuan tanah, dan

membagikannya kepada petani miskin dan buruh tani. Pada pertengahan dekade

1960-an di wilayah Bandung, Cirebon, Indramayu, dan Karawang, aksi sepihak

sudah menghasilkan 52 ribu kesepakatan, dan 21.750 di antaranya sudah tercapai

dalam bentuk tertulis. Setelah aksi sepihak dilancarkan, di Jawa Barat diperoleh

kesepakatan bagi-hasil sebesar 51.750. Menurut kantor pemerintah, sebanyak 21

ribu Ha telah dibagikan kepada 33.573 penggarap. Aidit menulis perihal aksi

sepihak berikut ini (Edman 2007: 137)

Terdapat beberapa langkah yang harus kita tempuh dalam rangka menjalankan tanggung jawab partai kita yang paling penting; tanggung jawab untuk melakukan penghancuran terhadap sisa-sisa feodalisme, mengobarkan revolusi agraria yang anti feudal, dan merebut tanah-tanah milik para tuan tanah dan membagi-bagikannya secara cuma-cuma kepada pada petani sebagai hak milik pribadi mereka. Revolusi agraria ini adalah esensi daripada revolusi rakyat yang demokratis di Indonesia.

Aksi sepihak dan pemilikan tanah pribadi merupakan transisi menuju

kolektivitas lahan yang dikelola negara untuk para petani. Aidit menulis sebagai

berikut (Edman 2007: 132)

Apakah dengan memberikan tanah kepada para petani untuk dijadikan sebagai hak milik pribadi mereka akan berarti bahwa sistem kepemilikan pribadi adalah sistem kepemilikan yang terbaik dan tidak akan diubah? Tentu saja tidak! Kita tahu bahwa sebagian besar buruh tani dengan berdasarkan berbagai pengalaman mereka, setelah kemenangan revolusi agraria, akan sampai pada kesimpulan bahwa menggabungkan tanah sempit dan segala perlengkapan yang mereka miliki ke dalam sebuah pertanian kolektif besar yang lebih luas yang mencakup wilayah yang luas dan mendapatkan bantuan dari negara dari negara dalam bentuk traktor-traktor, mesin-mesin pemanen dan alat-alat pertanian lainnya. Dengan kata lain, para buruh tani kita akan mengikuti pola pertanian kolektif tersebut yang merupakan jalan menuju pembangunan masyarakat sosialis. Berbagai pengalaman para petani, yang didukung oleh kepemimpinan dan berbagai pelatihan

122

yang dilakukan oleh partai akan menyadari akan hal tersebut sehingga mereka secara sukarela akan meninggalkan prinsip-prinsip kepemilikan tanah secara perorangan.

Hanya di Jawa Timur pada awal tahun 1965 aksi sepihak kelas marhaen

mengalami hambatan dan tindakan balasan dari kaum santri, terutama anggota

Nahdlatul Ulama (NU). Sejak awal 1960-an, pesantren seringkali menerima

sumbangan lahan yang sangat besar dari tuan tanah, terutama untuk meloloskan

diri dari ketentuan pembatasan lahan dalam undang-undang agraria. Wilayah

konflik meliputi Banyuwangi, Jember, Jombang, Kediri, Sidoarjo, Bangil. Aksi-

aksi kekerasan meliputi penikaman, pembacokan, penculikan, membakar rumah,

merusak sawah. Kelas marhaen sendiri masih mengalami hambatan psikologis

untuk melawan kiai di desanya sendiri, sehingga mereka bergerak ke desa-desa

lain (Kuntowijoyo 1994: 11-27). Argumen keagamaan menjadi landasan tindakan

santri, seperti PKI menyerang pesantren sehingga umat Islam perlu

menghilangkan golongan "ateis" ini (Sulistyo 2011: 194-219). Pembunuhan

kepada anggota BTI berlangsung lebih hebat menjelang pergantian pemerintahan

dari Soekarno kepada Soeharto, terutama sepanjang akhir tahun 1965 dan awal

tahun 1966.

Merebut Hak Tubuh Miskin

Tenggelam selama satu dekade, diskursus kemiskinan sosialis muncul

kembali dalam tulisan akademisi dan aktivitas mahasiswa serta lembaga swadaya

masyarakat (LSM). Substansi diskursus berkembang menuju arah, pertama,

penghisapan surplus petani dan golongan miskin oleh perusahaan multinasional

atau dalam arena globalisasi. Kedua, penyadaraan hak-hak asasi petani dan orang

miskin yang diperluas, serta advokasi untuk mendapatkan hak-hak tersebut.

Terlihat identitas kromo dan marhaen melemah, dan berganti menjadi petani

(kecil) dan orang miskin.

Teori-teori keterbelakangan neomarxis dipraktekkan dalam analisis

ketergantungan elite Indonesia terhadap perusahaan multinasional (Arif 2001: 7-

36). Donor internasional juga turut menghisap surplus orang miskin melalui

123

mekanisme penagihan utang luar negeri untuk pembiayaan pembangunan di

Indonesia. Dalam konteks hubungan tersebut, elite di dalam negeri turut

menghisap surplus ciptaan petani dan orang miskin, terutama melalui korupsi dan

pungutan liar (Arif 2006: 157-220).

Bank Dunia ternyata lebih mengutamakan pengurangan permintaan agregat melalui pengurangan pengeluaran pemerintah daripada peringanan beban hutang luar negeri Indonesia. Pembayaran beban hutan luar negeri setiap tahun telah sangat banyak mengurangi permintaan agregat di dalam negeri (Arif 2001: 36).

Berkaitan dengan donor internasional, berkembang pandangan bahwa

kemiskinan semakin dibesarkan hingga ke tingkat global. Pemberdayaan orang

miskin dinilai sebagai pembukaan pasar bagi mereka atau neoliberal, sekaligus

langsung mengaitkan tubuh-tubuh miskin dengan perusahaan multinasional dari

negara maju (Carrol 2010: 84-101; Cavanagh, Retallack, Welch 2004: 81-90;

Pontoh dkk. 2000: 40-128; Rich 2004: 105-120). Program pemberdayaan

dipandang sebagai mekanisme kekuasaan untuk membuka jalan negara maju

masuk langsung ke tubuh-tubuh miskin. Sebagaimana pernah dinilai Haji Misbach

pada awal dekade 1920-an di atas, globalisasi mengulang pembentukan identitas

buruh bebas –atau kini manusia bebas—yang terpencar-pencar (tidak ada

kelompok tubuh miskin di tingkat kecamatan hingga nasional) sehingga posisinya

sangat rendah ketika berhadapan dengan donor internasional.

Organisasi global seperti serangkaian putaran General Agreement on

Tariffs and Trade (GATT) dan pembentukan World Trade Organization (WTO)

dipandang sebagai pembuka pintu pemasaran produk pedesaan negara maju ke

negara miskin, sekaligus upaya mematikan usaha ekonomi warga desa di

Indonesia (Bello 2004: 95-104; Setiawan 2003: 86-106; Shiva 2004: 137-148;

Wiryono 2003: 187-204). Untuk membendung perdagangan bebas yang

merugikan tersebut, LSM melaksanakan advokasi kepada pemerintah dalam

merumuskan kebijakan perdagangan yang menguntungkan petani.

Adapun advokasi kepada petani dan orang miskin diarahkan pada

perluasan makna hak asasi manusia (Wahono 2004: 1-19). Hak asasi bagi tubuh

124

petani dan orang miskin berupa berbagai program pembangunan desa dan layanan

usahatani. Penyadaran dilakukan kepada tubuh tani dan orang miskin, bukan

sekedar guna menumbuhkan kebutuhan akan program pembangunan dan layanan

usahatani, namun secara mendalam memandang hal-hal tersebut sebagai hak yang

harus direbut. Di lingkungan yang berlawanan serta tanpa organisasi terstruktur

hingga ke tingkat nasional, advokasi tersebut sulit berhasil, atau berhasil dalam

jangka waktu yang lama –lebih dari 5 tahun (Wahono 2005: 4-9). Tahapan kritis

menuju pemahaman hak orang miskin disampaikan Wahono (2005: 9).

Begitulah masyarakat Lo-Rejo, bermula dengan pendidikan penyadaran partisipatif lewat CO-PAR yang dilanjutkan dengan pengorganisasian diri mulai dari 12 petani pemberani, telah berhasil mentransformasikan "kebutuhan" menjadi "hak yang diperjuangkan" (bukan sekedar sebagai hak yang diimpikan, alias "keinginan").

Usaha pentransformasian "keinginan" menjadi "kebutuhan" melalui pendidikan penyadaran partisipatif, yang kemudian disambung dengan usaha pentransformasian "kebutuhan" menjadi "hak yang diperjuangkan" melalui pengorganisasian masyarakat, mengangkat harkat dan martabat masyarakat akar rumput. Bukan suntikan dana atau modal, bukan mobilisasi massa, bukan pula instruksi dari atas, tetapi pendidikan penyadaran dan pengorganisasian. Dalam kerangka aksi dan refleksi, pendidikan penyadaran dan pengorganisasian tidak mungkin kalau tidak bertolak dari aksi dan diarahkan oleh refleksi. Aksi itu adalah kenyataan sehari-hari yang dihadapi masyarakat, yang kemudian direfleksikan dalam bentuk analisis sosial, sehingga masyarakat mentransformasikan apa yang menjadi "keinginannya" menjadi apa yang sesungguhnya mereka "butuhkan". Akhirnya berhadapan dengan berbagai macam halangan dari luar dirinya, masyarakat haruslah kembali ke aksi, yakni mentransformasikan "kebutuhan" menjadi "hak yang harus diperjuangkan". Dari proses itu, biasanya inisiatif-inisiatif baru akan muncul dan yang lama akan diberi relevansi barunya, keduanya ditangkap oleh masyarakat sebagai usaha-usaha yang harus diperjuangkan. Apalagi baik pemerintah daerah maupun perusahaan swasta tidak pernah memberikan hak masyarakat, kendati pun mereka menuntutnya. Hak adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, diperebutkan, maka tidak hanya "kebutuhan" bertemu "hak", tetapi "kebutuhan" harus ditransformasikan masyarakat setelah mereka mengalami pendidikan penyadaran dan mengorganisasikan dirinya, sehingga "kebutuhan" diyakini sebagai "hak yang harus diperjuangkan".

125

Diskursus kemiskinan sosialis dikembangkan dari perbedaan kelas atas

dan bawah, di mana kekuatan hubungan berlangsung secara horizontal dalam

kelas yang sama. Akan tetapi di pedesaan hubungan dapat berlangsung secara

vertikal, terutama menurut tradisi keagamaan. Ikatan santri dan kiainya dapat

sangat kuat, sehingga mampu melawan reforma agraria dari aktivis Barisan Tani

Indonesia (BTI). Selain itu, kemunculan petani dari kelas menengah dan atas

dalam organisasi petani menyulitkan tindakan revolusioner, seperti aksi sepihak

pendudukan lahan mereka sendiri (Mortimer 2011: 357, 394, 407-414).

Terlalu banyak kelompok kepemimpinan partai di tingkat

kecamatan dan desa dibentuk dari orang-orang yang akar sosialnya petani kaya ... yang awalnya mengambil perlindungan dari api gerakan petani revolusioner, tetapi yang, karena tingkat budaya mereka lebih tinggi, sanggup menempati posisi-posisi terkemuka dalam waktu singkat di tubuh PKI dan BTI sehingga berhasil meraih kepercayaan para petani untuk beberapa waktu tapi kemudian terbukti mengkhianati perjuangan revolusioner pada akhirnya

Ikhtisar

Diskursus dan praktik kemiskinan sosialis menemukan tubuh-tubuh

miskin setelah surplus produksi yang dihasilkannya dihisap oleh kelas kapitalis.

Berkali-kali konsep sosialisme dari Barat diadaptasikan untuk masyarakat

Indonesia, hingga menemukan kelas miskin terdiri atas marhaen, kromo, petani

kecil, buruh tani, nelayan kecil, buruh nelayan, di samping proletar. Adapun kelas

kapitalis terdiri atas kolonialis, golongan feudal, dan pendukung perdagangan

bebas dalam globalisasi.

Melalui penelitian partisipatoris, ditemukanlah tubuh-tubuh miskin. Oleh

karena tubuh miskin sendiri awalnya tidak menyadari penghisapan surplus

dirinya, maka arena penanggulangan kemiskinan mula-mula dipenuhi tindakan-

tindakan agitasi untuk menyadarkan penghisapan tersebut. Berpandangan surplus

sebagai hak milik tubuh miskin, maka setelah tubuh miskin menyadari mekanisme

penghisapan dalam proses produksi, selanjutnya tubuh-tubuh tersebut diajak

untuk merebut alat produksi. Penguasaan alat produksi, seperti tanah, perahu,

126

peralatan mekanisasi, dan sebagainya, dipandang sebagai jalan untuk keluar dari

kemiskinan.

Sementara dalam bab ini diskursus kemiskinan sosialis mengajak tubuh

miskin untuk merebut alat produksi dari kelas kapitalis, bab berikutnya tubuh

miskin diajak untuk mandiri. Dalam diskursus dan praktik potensi golongan

miskin tersebut, tubuh-tubuh miskin diajak oleh pendamping untuk bersatu dalam

kelompok miskin sendiri.