Upload
anonymous-m9qzhmpeuc
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 6
Pembahasan
Pada bagian ini akan dilakukan analisa dan pembahasan tentang tingkat
pengetahuan responden, karakteristik responden serta hubungan kejadian
Skabies berdasarkan data yang telah diperoleh dan disajikan diatas.
6.1 Tingkat Pengetahuan Santri Tentang Penyakit Skabies.
Rata-rata santri memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyakit
Skabies, data Tabel 5.5 terdapat 22 orang santri putra memiliki pengetahuan
cukup baik tentang penyakit Skabies, 19 orang santri putra memiliki pengetahuan
yang baik tentang Skabies dan 15 orang santri putra memiliki pengetahuan
kurang baik tentang penyakit Skabies. Data di atas menunjukkan bahwa secara
umum santri memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang penyakit Skabies.
Karena pengetahuan merupakan wahana seseorang untuk berpikir ilmiah.
Melalui pengetahuan yang didapat akan mendasari seseorang dalam mengambil
keputusan rasional dan efektif, sehingga semakin tinggi tingkat pengetahuan
seseorang untuk mengadaptasikan dirinya dalam lingkungan yang baru
(Nursalam, 2001). Dalam hal ini dengan pengetahuan yang memadai, para santri
lebih mudah menerima informasi tentang penyakit Skabies serta upaya
pencegahan. Ada juga yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah berbagai
gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal.
Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk
mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau
dirasakan sebelumnya. (Anymous, 2011). Pengetahuan tentang penyakit
Skabies ini didapatkan dari penyuluhan petugas yang dilakukan di ponpes darul
45
46
istiqomah dalam pelayanan kesehatan pondok pesantren yang dilakukan setiap
bulan. Meskipun demikian pada kenyataannya serangan Skabies masih saja
terjadi dilingkungan Pondok Pesantren Darul Istiqomah.
Tingkat pendidikan santri putra dimulai dari kelas 1 sebagai tingkatan
paling rendah, dan kelas 6 sebagai tingkatan kelas paling tinggi. Menurut
Notoatmodjo, 2007 : 149 menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi proses
belajar, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut
menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan mudah
menerima informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Penyuluhan
yang dilaksanakan setiap bulan, bertempat di masjid atau aula santri putra tanpa
tidak membedakan tingkatan kelas, sehingga petugas memberikan penyuluhan
menggunakan istilah-istilah yang umum digunakan oleh masyarakat awam, juga
mudah dimengerti semua lapisan warga pondok pesantren.
Kondisi dilahan penelitian ternyata tidak demikian. Setelah ditabulasi
didapatkan justru tingkat pengetahuan tentang scabies kategori baik dan cukup
baik sebagian besar berusia 11-13 tahun sebanyak 16 santri putra (67.8%). Hal
ini disebabkan karena akses terhadap informasi mereka lebih mudah, selain
ditunjang dengan lokasi kelas yang berdekatan dengan aula tempat penyuluhan,
juga disebabkan karena mereka lebih rajin mengikuti penyuluhan yang
dilaksanakan tiap bulan. Sementara kelas yang lebih tinggi biasanya kegiatan
belajarnya lebih intensif (belajar kitab, fiqih, alqur`an alhadist) di kelas masing-
masing, frekuensi tatap muka dengan mereka yang tingkatan kelasnya lebih
tinggi tidak sesering dibandingkan dengan kelas dibawahnya.
47
6.2 Kejadian Skabies
Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Darul Istiqomah yang pernah
terkena penyakit Skabies sedikitnya 50 orang (89.3%). Dan 6 orang (10.7%)
diantaranya tidak pernah terkena Skabies. Pada penelitian sebelumnya
disebutkan bahwa santri di pondok pesantren rata-rata 25.49% terserang
Skabies (Depkes RI, 2005), Ini menunjukkan bahwa penyakit Skabies sering
menjadi endemi di sebuah pondok pesantren, tidak terkecuali Pondok Darul
Istiqomah, yang sedang diteliti saat ini.
Skabies merupakan penyakit yang sering terjadi dalam lingkungan
pondok pesantren. Hal ini mendapat perhatian serius karena biasanya santri
menganggap penyakit Skabies yang dideritanya merupakan penyakit yang sudah
biasa terjadi, tanpa tahu upaya apakah yang dapat dilakukan untuk mencegah
serangan penyakit Skabies. Bahkan ada anggapan bahwa tidak dianggap santri
apabila belum terkena penyakit Skabies/gudik. Padahal pada kenyataanya
penyakit tersebut sangat mengganggu aktivitas santri, utamanya pada malam
hari, sehingga menggangu konsentrasi belajar maupun istirahat para santri.
(Harahap, 2000).
Padatnya tingkat hunian di Pondok Pesantren Darul Istiqomah yakni
ruangan kamar dengan luas 4x6 m di huni oleh 15 orang santri. Ini akan
menambah semakin mudahnya penyebaran panyakit Skabies, karena kontak
langsung di tempat hunian yang padat, mempermudah penularan, dan
perkembangan penyakit Skabies. Penyakit ini erat kaitannya dengan kebersihan
perseorangan dan lingkungan, atau banyak orang tinggal secara bersama–sama
di satu tempat yang relatif sempit. Apabila kesadaran yang dimiliki oleh
masyarakat rendah, tingkat keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan
48
penyakit ini juga masih rendah, kurangnya pemantauan oleh petugas wilayah
setempat, faktor lingkungan utamanya dalam penyediaan air bersih, serta
kegagalan pelaksanaan program kesehatan yang sering kita jumpai, akan
menambah panjang permasalahan lingkungan yang ada.
Penularan penyakit ini terjadi ketika orang–orang tidur secara bersama-
sama di satu tempat tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah, yang
menyediakan fasilitas asrama dan pemondokan, serta fasilitas–fasilitas
kesehatan yang dipakai oleh masyarakat luas.
Rata-rata santri putra tinggal di pondok antara 1 s/d 6 tahun. Ini
merupakan indikasi bahwa santri putra tinggal di asrama putra dalam waktu yang
lama. Apabila dalam waktu yang lama mereka tinggal di asrama putra dengan
tingkat hunian yang demikian, maka tidak menutup kemungkinan, serangan
penyakit Skabies yang terjadi karena tingginya kontak langsung sesama santri
dan faktor kebersihan yang kurang terjaga.
6.2 Hubungan tingkat pengetahuan santri putra tentang Skabies
dengan kejadian Skabies
Berdasarkan penelitian diperoleh frekwensi tingkat pengetahuan 22 orang
santri putra memiliki pengetahuan cukup baik tentang penyakit Skabies, 19 orang
santri putra memiliki pengetahuan yang baik tentang Skabies, dan 15 orang
santri putra memiliki pengetahuan kurang baik tentang penyakit Skabies.
Sedangkan kejadian Skabies dari 56 responden, ternyata hanya 6 orang yang
tidak pernah terkena penyakit Skabies.
Setelah dilakukan penghitungan menggunakan SPSS versi 17,
didapatkan hasil uji statistik wilcoxon Z = 0.367 adapun P value adalah 0,744.
49
Dengan demikian, nilai P value penelitian ini adalah lebih besar dari nilai α =
0.05, sehingga H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya tidak ada hubungan antara
tingkat pengetahuan santri tentang penyakit Skabies dengan kejadian Skabies di
Pondok Pesantren Darul Istiqomah. Melihat hasil uji statistik di atas maka
penyebab timbulnya penyakit Skabies di lingkungan Pondok Pesantren Darul
Istiqomah perlu dikaji lebih lanjut. Tidak menutup kemungkinan, terjadinya
Skabies di pondok terjadi karena faktor kebersihan air dan lingkungan, padatnya
tingkat hunian, maupun kebersihan interpersonal. Upaya yang dilakukan oleh
petugas adalah memberikan penyuluhan, mengingatkan kembali tentang
pentingnya menjaga kebersihan badan, tempat tidur, kamar santri serta
kebersihan lingkungan secara umum.
Pendekatan petugas ke pesantren tidak hanya berfokus pada santri,
tetapi upaya pendekatan ke pengasuh untuk lebih meningkatkan kualitas dan
kwantitas sarana dan fasilitas yang ada. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan
status kesehatan santri dan status kesehatan pondok pesantren scara
keseluruhan.
Pengetahuan tentang penyakit skabies ternyata tidak cukup untuk
menanggulangi kejadian Skabies yang menyerang santri tanpa ada upaya dari
santri sendiri untuk menerapkan informasi yang didapat dalam kehidupan sehari-
hari di lingkungan pondok, serta harus ada dukungan dari pemilik yayasan
sebagai pembuat kebijakan di pondok, serta kesadaran warga pondok untuk
melaksanakan pola hidup bersih dan sehat, supaya kualitas kesehatan santri dan
warga pondok menjadi lebih baik.
Selain itu masih ada faktor-faktor lain yang perlu dikaji, antara lain
perilaku kesehatan santri, lingkungan, budaya, sosial ekonomi, kebijakan
50
pemerintah, perilaku petugas dan pengelola/kyai yang harus diteliti, tetapi
penelitian kali ini di fokuskan pada tingkat pengetahuan santri putra tentang
Penyakit Skabies.