37
20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Film dan Sejarahnya 1. Definisi Film Pengertian secara harfiah film (sinema) adalah cinemathographie yang berasal dari cinema dan tho atau phytos yang berarti cahaya serta graphie atau graph yang berarti gambar. Jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar dapat melukis gerak dengan cahaya seseorang harus menggunakan alat khusus, yang disebut dengan kamera. (id.wikipedia.org) Definisi film menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang- dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan bahan hasil penemuan teknologi

BAB 2.doc

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PAGE 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Film dan Sejarahnya

1. Definisi Film

Pengertian secara harfiah film (sinema) adalah cinemathographie yang berasal dari cinema dan tho atau phytos yang berarti cahaya serta graphie atau graphyang berarti gambar. Jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar dapat melukis gerak dengan cahaya seseorang harusmenggunakan alat khusus, yang disebut dengan kamera. (id.wikipedia.org)Definisi film menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yangdibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan bahan hasil penemuanteknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpasuara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.

Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastik yang dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini seringdisebut seluloid. Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominan digunakan untuk menyimpan pantulan cahaya yangtertangkap lensa. Pada generasi berikutnya fotografi bergeser pada penggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan gambar.

Dalam bidang sinematografi, media penyimpan ini telah mengalami perkembangan yang pesat. Berturut-turut dikenal sebagai mediapenyimpan seluloid ( film ), pita analog, dan yang terakhir media digital ( pita, cakram, memori chip ). Bertolak dari pengertian ini maka filmpada awalnya adalah karya sinematografi yang memanfaatkan media seluloid sebagai penyimpannya.

Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat diproduksi tanpa menggunakan seluloid ( media film ). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film yang menggunakan media seluloid padatahap pengambilan gambar. Pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat disimpan padamedia yang fleksibel. Hasil akhir karya sinematografi dapat disimpan pada media seluloid, analog maupun digital.

Secara umum, film dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. Keduanya saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolahnya. Dalam film cerita, unsur naratif adalah perlakuan terhadap cerita filmnya, sedangkan unsur semantik merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film.

Pratista dalam buku Memahami Film menyatakan bahwa secara umum film dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :

a. Film dokumenter

Fokus utama dalam film dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian namun merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi atau otentik. Film dokumenter dapat digunakan untuk berbagai macam maksud dan tujuan seperti informasi atau berita, biografi, pengetahuan, pendidikan, hingga sebagai sarana propaganda dalam bidang politik.

b. Film fiksi

Film fiksi adalah film yang terikat oleh plot. Dari sisi cerita, film fiksi sering menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata serta memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal. Manajemen produksinya lebih kompleks karena biasanya menggunkan pemain serta kru dalam jumlah yang besar.

c. Film Eksperimental

Film eksperimental tidak memiliki plot namun memiliki struktur. Strukturnya sangat dipengaruhi oleh insting subyektif sineas seperti gagasan, ide, emosi, serta pengalaman batin mereka. Film eksperimental umumnya berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena mereka menggunakan simbol-simbol personal yang mereka ciptakan sendiri.

Film adalah salah satu media massa yang tidak hanya menyajikan hiburan bagi yang orang yang menontonnya, tetapi juga memiliki fungsi yang beragam. Seiring dengan berjalannya waktu, industri perfilman dunia terus bergerak dinamis. Film dijadikan sarana informasi yang dikemas artistik mengenai kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya sebuah bangsa melalui konten yang diusung dalam film tersebut. Film memiliki potensi yang besar dalam menyalurkan pendidikan sehingga dapat membentuk dan mengubah perilaku penontonnya. Bahkan beberapa perusahaan menggunakan film untuk mengiklankan produk dan jasa mereka dengan tujuan pemasaran dan hal-hal bersifat komersil lainnya. Namun petikan menarik Marshall McLuhan dalam bukunya yang berjudul Understanding Media (Campbell, 223:2005) yang mengatakan bahwa :

The movie is not only a supreme expression of mechanism, but paradoxically it offers as product the most magical of costumer commodities, namely dreams. ( Film tidak hanya merupakan ekspresi tertinggi dari mekanisme, tapi secara paradoks ia menawarkan produk yang paling magis bagi komoditas konsumen, yaitu mimpi ).Film bisa menjadi bumerang bagi siapa saja yang tidak mampu menyaring pesan dan informasi yang terkandung dalam sebuah film. Ini menyadarkan kita bahwa apa yang disajikan film tidak semuanya memiliki muatan positif. Merupakan tantangan tersendiri bagi masyarakat untuk lebih cerdas memilih tontonan yang berkualitas agar tidak terjebak dalam realitas dan lingkungan tiruan dari media yang kompleks.

2. Sejarah FilmIndustri dan seni perfilman dibangun dari sebuah ilusi optik pada tahun 1830. Ketika serangkaian gambar diam yang berbeda diproyeksikan pada layar secara cepat, manusia menafsirkannya sebagai gerakan yang berkelanjutan. Fenomena tersebut kemudian diteliti oleh investor bernama Joseph Plateau dan William George Horner. Pada tahun 1839, salah satu inovasi penting bagi sinema fotografi telah lahir. Louis Daguerre mengembangkan sebuah metode untuk membuat foto-foto pada piringan logam yang disebut daguerreotype.

Teknologi penting lainnya adalah tenaga listrik yang pertama kali dimanfaatkan hasil penemuan induksi elektromagnetik oleh fisikawan Inggris, Michael Faraday dan fisikawan Amerika, Joseph Hendry pada tahun 1931. Kemudian muncullah seluloid, plastik komersial pertama yang digunakan untuk membuat gerakan gambar dalam film diciptakan oleh John Wesley Hyatt pada tahun 1869. Pada tahun 1870-an, bola lampu pijar ditemukan dan dimasukkan dalam proyektor.

Namun penemuan-penemuan tersebut belum cukup untuk membangun sebuah industri perfilman seperti sekarang ini . Penemu dan pengusaha Amerika, Thomas Alva Edison, adalah orang pertama yang menyadari bahwa film bisa dijadikan objek komersial yang dapat menarik perhatian penonton. Dia merancang sebuah perangkat yang disebut Kinetoscope. Kinetoscope adalah sebuah mesin berbentuk kotak kayu. Penonton bisa mengintip ke dalam kotak dan menonton film pendek yang lucu setelah memasukkan koin ke dalam kotak tersebut. Film pertama Edison yang berjudul Kinetoscope Records dirilis pada tanggal 14 April 1894 di bengkel Kinetoscope di New York. Hak ciptanya dilindungi pada tanggal 7 Januari 1894 oleh Kinetoscope Edison of A Sneeze.

Investor Perancis Louis dan Auguste Lumiere mempelajari lebih jauh tentang Kinetoscope tersebut. Pada tahun 1895, mereka memperkenalkan sebuah mesin yang disebut Cinematographe yang dapat memproyeksikan film ke dalam layar. Mesin tersebut memungkinkan penonton menyaksikan film secara bersama-sama tanpa harus mengintip secara individual. Tidak mau kalah, Edison dengan cepat juga menciptakan sistem sendiri untuk memproyeksikan film ke dalam layar yang diberi nama Vitascope dan mulai digunakan pada tahun 1896.

Pada tahun 1902, film A Trip to the Moon karya George Melies membuat penonton terpesona. Film luar biasa berdurasi 13 menit tersebut menggunakan efek khusus dengan 30 set yang berbeda. Tiga tahun kemudian, Lumiere bersaudara mempelopori pita film dengan lebar 35mm, 1,33 x 1 gambar dan kecepatan 16 bingkai per detik yang kemudian menjadi standar di industri perfilman.

James Stuart Blackton, salah satu pendiri Vitagraph, membuat salah satu film kartun animasi pertama pada tahun 1906 yang berjudul Humorous Phases of a Funny Face. Pada tahun 1917 kegiatan produksi film di Hollywood sudah berlangsung secara konsisten. Amerika Serikat mendominasi pasar perfilman di Eropa pada akhir Perang Dunia I. Film-film Amerika Serikat dipandang sebagai representasi internasional yang positif. Bahkan pada tahun 1920 terdapat lebih dari 20.000 bioskop film beroperasi di Amerika Serikat.

Perkembangan teknologi perfilman berlanjut pada 1922 dengan dibuatnya film pertama yang menggunakan teknologi dua warna yang diberi berjudul Toll of The Sea. Lalu pada tahun 1926, Warner Bros dan Western Electric memperkenalkan proses sinkronisasi suara untuk film yang disebut Vitaphone. Sementara itu ditahun yang sama, proses rekaman suara yang disebut Movietone secara paten dibeli oleh William Fox.

The Academy of Motion Picture Arts and Sciences, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan untuk meningkatkan kualitas artistik dari media film dibentuk pada tahun 1927. Di tahun yang sama, Roxy Theater di New York dibuka sebagai bioskop terbesar di dunia dengan kapasitas untuk 6.214 penonton. Pada tahun 1932, Kodak juga ikut memebrikan kontribusi terhadap industri perfilman dengan memperkenalkan pita film 8mm bagi para pembuat film amatir. Lalu tiga tahun kemudian film tiga warna pertama yang menggunakan fitur Technicolor dirilis dengan judul Becky Sharp.

Kondisi kenegaraan ternyata juga turut mempengaruhi genre film. Hal tersebut terbukti sebab pada tahun 1941, saat Amerika Serikat semakin dekat memasuki Perang Dunia II, film perang menjadi sangat popular. Indutri perfilman terus mengalami perkembangan terutama pada tahun 1952 dimana film 3 dimensi (3D) pertama berjudul Bwana Devil, dirilis. Film dan kacamata 3 dimensi menjadi hal yang baru namun tidak dapat mencapai kesuksesan seperti yang diharapkan. Sedangkan pada tahun 1961, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa pemerintah daerah dan negara memiliki kewenangan untuk melakukan sensor pada film.

Teknologi yang semakin canggih membuat film di produksi secara apik. Pada tahun 1977, film Star Wars menuai hasil yang luar biasa dengan menggunakan trek suara stereo Dolby. Studio 20th Century-Fox juga mulai merilis film melalui video rekaman di tahun yang sama. India juga tak ingin ketinggalan dalam bidang industri perfilman dengan membangun Badan Pengembangan Perfilman Nasional dalam mempromosikan film India pada tahun 1980. Bahkan seorang tokoh India, Mahatma Gandhi, telah menjadi inspirasi. Hal tersebut terbukti pada tahun 1983, film Gandhi (1982) berhasil memenangkan delapan Acedemy Awards dari beberapa kategori seperi film terbaik, sutradara terbaik dan aktor terbaik.

Seiring tingginya frekuensi produksi film dan meningkatnya jumlah penonton, memunculkan motif kriminal baru. Pada tahun 1989, The Motion Picture Export Association mengeluh bahwa pembajakan film dan biaya distribusi kuota ke luar negeri oleh industri film Amerika menghabiskan biaya sebesar satu milyar dolar per tahunnya.

Selanjutnya pada tahun 1995, Walt Disney Pictures membuat terobosan dengan merilis Toy Story sebagai film animasi panjang pertama yang dibuat melalui teknologi komputer. Tahun 1999, terdapat format file digital untuk mengompres dan memainkan video dan audio yang disebut MPEG. Teknologi yang dapat diperoleh di komputer rumahan tersebut menimbulkan kekhawatiran industri film akan meningkatnya angka pembajak film.

Pasang surut industri perfilman dunia telah membawa para pembuat, pelaku dan penikmat film sampai pada tahap seperti sekarang ini. Tahap dimana perkembangan teknologi dan kreativitas para produsen film yang mampu menyajikan pertunjukkan layar perak yang tidak hanya memanjakan mata, menghibur, namun juga mampu menginspirasi khalayaknya.

B. Film sebagai Representasi dan Realitas Sosiokultural

Sihabuddin (20:2011) menyatakan bahwa budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara siapa, tentang apa, dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan pesan. Sebenarnya, seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat tergantung pada budaya kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beragam pula praktik-praktik komunikasi. OSullivan dalam bukunya Studying The Media : An Introduction menyatakan bahwa selain buku, video, rekaman, surat kabar, dan komik, film juga merupakan media yang memiliki konsekuensi dari sifat pesan itu sendiri serta memiliki kemampuan teknis untuk merekam dan mereproduksi pesan dalam bentuk yang bervariasi sebagai hasil dari informasi dan keabadian sejarah. Representasi merujuk kepada konstruksi segala bentuk media (terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan, bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film. (www.aber.ac.uk)

Irawanto (2004) berpendapat bahwa film merupakan ekspresi budaya yang digarap dengan menggunakan kaidah sinematografi dan mencerminkan budaya pembuatnya. Di negara kita, pemanfaatan film sebagai duta budaya bangsa menjadi sangat efektif karena penonton dapat melihat kesenian dan kebudayaan Indonesia. Namun film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu dalam dirinya, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tersebut diproduksi dan kemudian dikonsumsi oleh masyarakat. Jadi, terdapat semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam aktivitas menonton film sebagai representasi budaya.Masih dalam buku yang sama, OSullivan juga menjelaskan bahwa budaya mengutamakan cara kita memahami dan berhubungan dengan situasi sosial. Kita disosialisasikan ke dalam situasi tertentu dari orientasi budaya atau cara untuk memahami dunia, dan ini mencakup dua dimensi tertentu. Pertama-tama, budaya mengacu pada keyakinan, nilai, dan kerangka acuan di mana kita belajar untuk memahami pengalaman kita setiap hari dan berkelanjutan. Kedua, setiap definisi budaya harus mencakup cara orang komunikasi sebagai fokus utama karena menyoroti pandangan yang oleh Murdock (1974) dinyatakan bahwa budaya tersebut bukan hanya mengenai koleksi benda-benda, tetapi akumulasi pemahaman dan tanggapan menghadapi serangkaian kondisi sosial.Film dan budaya memiliki hubungan timbal balik. Pembuatan film tidak hanya terinspirasi dari sebuah budaya namun saat ini film justru dapat menciptakan budaya baru. Littlejohn (409:2009) menjelaskan bahwa lingkungan tiruan yang dibentuk media memberitahu apa yang harus kita lakukan. Lingkungan ini membentuk selera, pilihan, kesukaan, dan kebutuhan kita. Oleh sebab itu, nilai-nilai dan perilaku sebagian besar orang sangat dibatasi oleh realitas yang disimulasikan dalam media. Kita mengira bahwa kebutuhan pribadi kita terpenuhi, tetapi kebutuhan ini sebenarnya adalah kebutuhan yang disamakan yang dibentuk oleh penggunaan tanda-tanda dalam media.

Bagi Marshall McLuhan dan Harold Adams Innis (dalam Littlejohn), media merupakan perpanjangan pikiran manusia, jadi media yang menonjol dalam penggunaan membiaskan masa historis apa pun. Tesis McLuhan adalah bahwa manusia beradaptasi terhadap lingkungan melalui keseimbangan atau rasio pemahaman tertentu, dan media utama masa tersebut menghadirkan rasio pemahaman tertentu yang memengaruhi persepsi. Bagaimana pun hubungan yang terjalin antara film dan budaya, representasi di sini harus dilihat sebagai upaya menyajikan ulang sebuah realitas. Dalam usaha ini, film tidak akan pernah disajikan sebagai realitas aslinya. Film sebagai repesentasi budaya hanyalah sebagai second hand reality. Hal tersebut disebabkan oleh adanya sentuhan dan cara pandang sutradara yang turut memengaruhi bagaimana pesan dalam sebuah film disajikan.

C. Stereotip

1. Amerika Serikat sebagai Negara Multi Ras

Dalam We Are American : Voices of The Immigrant Experience dituliskan bahwa sampai sekarang, sebagian besar ahli percaya bahwa imigran pertama yang datang ke Amerika berasal dari Asia sekitar 14.000 tahun yang lalu. Namun para ilmuwan masa kini menentang teori lama tersebut dengan mengatakan bahwa terjadi migrasi tunggal yang melintasi sebuah jembatan tanah dari Siberia sekitar 20.000 tahun yang lalu atau bahkan lebih awal.

Dari tahun ke tahun, jumlah imigran yang datang ke Amerika Serikat terus mengalami pertumbuhan. Di tahun 1961-1970 tercatat ada 3.321.677 imigran sedangkan di tahun 1991-2000 telah bertambah hingga mencapai angka 9.000.000 imigran. Para imigran datang dari benua Amerka, Asia, Afrika dan Eropa. Beberapa negara tersebut antara lain Italia, Inggris, China, India, dan Kuba. Namun Mexico menjadi negara penyumbang terbesar imigran di Amerika Serikat.

Menurut Hoobler (6 : 2003), para imigran memiliki banyak alasan untuk pergi dari tanah kelahiran mereka. Ada yang mencoba untuk keluar dari kemiskinan serta faktor kurangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak. Banyak yang menderita penganiayaan karena konflik agama, kondisi politik serta ketahanan dan keamanan negara yang tidak stabil. Selain itu, beberapa diantara mereka bertujuan untuk mencari petualangan dan kehidupan yang baru karena mereka tidak puas dengan kehidupan yang mereka miliki di negara asal mereka.

Para calon imigran biasanya telah mendengar atau membaca tentang Amerika sebelum mereka datang. Mereka biasanya menerima surat dari teman atau saudara yang sudah pernah ke Amerika atau mendengar cerita tentang kebebasan dan kemakmuran yang ditawarkan Amerika. Bagi banyak orang, kebebasan yang ditawarkan Amerika Serikat adalah apa yang mereka cari. Orang-orang bisa memilih apa pun pekerjaan yang sesuai dengan bakat mereka, menjalankan agama apapun, berbicara dan menulis sesuka hati. Peluang pun banyak tersedia bahkan imigran memiliki hak yang sama atas kekayaan negara seperti ketika berada di negara asli mereka.

Hidup di Amerika Serikat akan menjadi tantangan besar bagi para pendatang. Salah satunya mengenai keberagaman dan perbedaan budaya yang mencolok dari negara asal mereka. Khususnya bagi imigran yang berasal dari negara yang mayoritas Muslim, mereka akan mengalami kecanggungan terhadap lingkungan yang sangat berbeda di Amerika Serikat. Salah seorang remaja berusia 17 tahun asal Irak bernama Besama mengaku terkejut dengan gaya hidup remaja Amerika Serikat yang sangat bebas. Hal tersebut berbeda jauh dengan budaya yang ada di Irak. Para remaja Irak akan mendapatkan masalah dengan polisi setempat jika ketahuan sedang berkencan di depan umum. Bahkan jika ada seorang wanita yang sedang hamil namun belum menikah, maka wanita tersebut akan dihukum mati.Selain masalah perbedaan budaya, keputusan untuk menetap di negara adidaya seperti Amerika Serikat akan memberikan banyak tekanan dan menuntut tanggung jawab yang besar. Seorang pelajar asal Korea Selatan bernama Michael mendapatkan tekanan dari orang tuanya untuk meraih kesuksesan di Amerika Serikat. Hal tersebut bisa menjadi beban atau justru menjadi motivasi bagi mereka yang jauh dari rumah. Untuk kasus Michael, ia mendapatkan tekanan dari berbagai sisi, bahkan untuk urusan percintaan. Mungkin itu dikarenakan Korea dikenal sebagai The Hermit Kingdom ( Kerajaan Pertapa ) karena mereka ingin mengisolasi diri dari budaya lain dan tetap menjaga originalitas budaya mereka.

Bagi para imigran asal Afrika, kasusnya akan berbeda. Mereka menerima banyak pendapat yang buruk mengenai negara maupun etnis mereka. Sebagian besar dari orang Amerika Serikat lebih suka mengingat keburukan bangsa Afrika dan kulit hitam dan mengabaikan hal-hal baik. Kebanyakan orang Amerika yang menonton orang Afrika di televisi, menganggap bahwa orang Afrika kotor, jorok, dan tidak menggunakan pakaian. Bahkan ketika seorang anak asal Ethiopia bertanya, Apakah kau tahu Ethiopia? . Anak Amerika membalasnya dengan berkata, Apakah itu negara tanpa hujan dimana orang-orang mati kelaparan? Beberapa orang kulit hitam berusaha untuk mengubah pandangan orang Amerika dengan memberikan penjelasan mengenai betapa indah dan eksotisnya alam negara mereka.

Para imigran yang terus-menerus datang dengan bekal keberanian dan kekuatan telah memberikan energi baru kepada Amerika. Tentu saja, kondisi di Amerika Serikat kadang-kadang sulit. Beberapa pendatang baru mungkin telah meraih kesuksesan besar, namun beberapa diantaranya juga memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan. Di Amerika, semua imigran dibawa ke lahan baru yang menuntut keterampilan, bakat dan ambisi mereka. Kehidupan mereka diubah sehingga mampu menyeberangi batas-batas yang dapat mengubah hidup mereka.

Perjalanan yang ditempuh para pendatang tersebut dapat berbahaya dan sulit. Namun mereka selalu punya mimpi untuk membimbing mereka dan menjadikan itu sebagai The Dream of America (Impian Amerika). Bahwa mimpi yang dibawa para imigran menjadi jantung dari impian Amerika itu sendiri.

2. Hubungan Umat Muslim dan Warga Amerika Serikat

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu kategori pandangan dunia adalah agama, karena dalam agama, pada umumnya terdapat ajaran mengenai bagaimana seharusnya manusia berhubungan dengan dirinya sendiri, orang lain, tanah, alam semesta, dan Zat yang menciptakannya. Mulyana (35:2008) menyatakan bahwa setiap agama memiliki ajaran yang khas mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungan di luar dirinya. Tidak mengherankan jika orang-orang berbeda agama membahas sifat ke-Tuhanan atau bagaimana Tuhan harus disembah, sering ada perdebatan, karena mereka menganut ajaran berbeda mengenai pokok tersebut.

Saefullah (160:2007) mengatakan bahwa doktrin agama bersifat ideal. Ia menghendaki para pemeluknya untuk mengamalkan doktrin tersebut dalam bentuknya yang paling baik. Namun, dalam kenyataannya seringkali pengamalan tersebut jauh dari bentuk ideal yang dikehendaki agama tersebut. Agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Semua agama, misalnya, menyerukan perdamaian, persatuan dan persaudaraan, namun pada tataran pengamalannya, ia menampakkan diri sebagai kekuatan yang garang, beringas, penyebar konflik, bahkan tak jarang menimbulkan peperangan. Menerut peneliti, mungkin inilah yang dialami oleh beberapa umat Muslim yang menginterpretasikan definisi Jihad dalam agama Islam sebagai bentuk penyerangan brutal yang dapat merugikan banyak manusia terlepas dari status keagamaan mereka.

Shihab dalam bukunya berjudul Membedah Islam di Barat menyatakan bahwa Islam selama ini dianggap menjadi ancaman terhadap eksistensi Kristen yang melihat dirinya terungguli, maka objektivitas dan kejujuran dari pihak Kristen tidak akan membantu perjuangannya. Literatur-literatur Kristen tentang Islam, khususnya sebelum Krusada (berarti Salib), pada umumnya berisi pencemaran ajaran agama Islam. Agama Islam antara lain digambarkan sebagai agama palsu yang menyimpang dari kebenaran. Disebutkan pula bahwa mereka yang menerima agama ini terdiri atas manusia-manusia yang tingkat kecerdasannya sangat rendah. Agama ini lebih menitik beratkan pada kenikmatan kehidupan material dan tidak mengindahkan nilai luhur spiritual. Contohnya, Islam memperbolehkan pria menikah dengan beberapa perempuan sekaligus.

Hubungan yang penuh dengan prasangka tersebut semakin memburuk tatkala peristiwa 11 September terjadi. Peristiwa tersebut meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan warga Amerika Serikat. Stereotip terhadap umat Muslim terus mengemuka ke permukaan yang berujung pada tindakan-tindakan yang bersifat rasial, seperti diskriminasi. Umat Muslim menjadi kaum minoritas yang tertindas dan terabaikan dari lingkungan sosial mereka.

Seperti yang telah di bahas sebelumnya, stereotip merupakan suatu bentuk generalisasi. Sternberg (383:2008) menjelaskan bahwa kita mungkin sedang mengamati contoh atau perangkat contoh tertentu dari sejumlah pola. Dari situ kita lalu menggeneralisasikan secara berlebihan observasi-observasi terbatas itu. Kemudian kita mulai berasumsi kalau semua contoh ke depan menunjukkan pola tersebut juga. Tentunya, ketika stereotip digunakan untuk menargetkan kambing hitam tertentu untuk dianiaya masyarakat, maka konsekuansi-konsekuensi sosial yang mematikan pun diarahkan kepada target-target stereotip tersebut. Stereotip dapat menghambat kemampuan pemecahan masalah individu yang menggunakannya. Orang-orang ini membatasi pikiran mereka karena telah menggunakan perangkat stereotip-stereotip tersebut.

Warga Amerika Serikat mungkin akan sulit meninggalkan sentimen-sentimen terhadap Islam. Hal ini terbukti ketika beberapa pihak memberikan sedikit perhatian terhadap umat Muslim di Amerika Serikat. Sebuah institusi Amerika Serikat dikritik karena mengakomodasi Muslim atas pembayaran pajak. Selain itu, Universitas Michigan-Dearborn dan suatu perguruan tinggi negeri di Minnesota telah dikritik karena mengakomodasi upacara keagamaan Islam dengan membangun tempat wudhu bagi mahasiswa Muslim dengan menggunakan uang pajak. Para kritikus menganggap bahwa perlakukan ini adalah pelanggaran terhadap konstitusi AS yang menyatakan pemisahan antara kepentingan agama dan negara. (startribun.com)Di Amerika Serikat sendiri, selain sebagai imigran, umat Muslim tumbuh cukup pesat. Bahkan penjara bisa jadi adalah penyokong pertumbuhan Islam di AS. Perkiraan resmi menyatakan bahwa persentase dari narapidana Muslim adalah sekitar 15-29% dari populasi penjara. Diperkirakan, sekitar 80% dari narapidana berpindah agama ke Islam. Populasi narapidana Muslim telah mencapai 350 ribu jiwa pada tahun 2003 dengan pertambahan sekitar 30 ribu hingga 40 ribu setiap tahunnya. Kebanyakan narapidana yang berpindah ke Islam adalah keturunan Afrika. ( www.wikipedia.com )Seorang profesor dalam bidang komunikasi internasional bernama Dr. Mikhail Waller mengatakan dalam sebuah testimoninya bahwa golongan Islamis radikal, yang dicurigai oleh pemerintah AS menjadi perekrut di dalam penjara untuk menjadikan pengikutnya sebagai kader demi mendukung mereka dalam usaha-usaha anti Amerika.

Namun di antara maraknya kecenderungan suara negatif Kristen terhadap Islam, muncullah sedikit cendekiawan Kristen yang berusaha melepaskan diri dari belenggu sikap yang bersifat subjektif dan prejudis. Memasuki abad ke 21 ini, terdapat sekelompok cendekiawan Kristen yang mulai memberikan pengakuan terhadap besarnya peran Al-Quran dalam pembentukan moral spiritual komunitas Islam. Para cendekiawan Kristen, yang dikenal beraliran orientalis, telah berupaya membersihkan noda yang dengan sengaja dilekatkan pada ajaran Islam dan Nabi Muhammad.

Bahkan salah satu cendekiawan Kristen bernama Wilfred Cantwell Smith, yang juga dikenal sebagai penggagas perbandingan antara Al-Quran dengan Perjanjian Baru, melakukan studi hubungan Kristen-Islam. Bagi Smith, merupakan kekeliruan untuk menempatkan kedudukan Al-Quran sejajar dengan Perjanjian Baru. Al-Quran merupakan wahyu Ilahi yang abadi, bagian dari ucapan Tuhan yang tidak sepadan dengan Perjanjian Baru yang lahir dari ungkapan manusia, meskipun Perjanjian Baru juga merupakan inspirasi yang bersumber dari Tuhan. Banyaknya tragedi yang mengatasnamakan agama seharusnya mampu menyadarkan kita sebagai makhluk sosial untuk lebih bertoleransi dan bijaksana dalam menghadapi perbedaan yang bersifat prinsipil. Bahwa keputusan untuk menggunakan kekerasan, baik secara fisik maupun mental, justru akan semakin memperlebar jurang pemisah antar kedua agama yang bertikai. D. Analisis Isi Kuantitatif

Kriyantono mengutip Berelseon & Kerlinger ( dalam Wimmer & Dominick ) yang mendefinisikan analisis isi sebagai suatumetode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematis, objektif, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak.Sebagai sebuah metode,analisis isimemiliki akar intelektual yang sangat panjang. Bahkan disebut sebagai metode tafsir yang paling tua. Tetapi istilah Content Analysis baru masuk dalam kamusWebsters Dictionary of the English Language pada awal 1960-an. Sejatinya, secara praktik metode ini sudah lama dipakai para ahli di banyak bidang, mulai filsafat, agama, politik, dan retorika hingga bahasa, seni, sosiologi, antropologi, komunikasi, dan psikologi.

Dalam bukunya berjudul Analisis Isi, Eriyanto mengulas secara singkat mengenai sejarah analisis isi. Neuendorf dalam Eryanto menyatakan analisis isi dipakai sejak 4.000 tahun lalu pada masa Romasi kuno. Sementara Krippendorff melihat penggunaan analisis isi pertama kali dapat dilacak hingga abad XVIII di Swedia. Krippendorff menguraikan sebuah peristiwa menyangkut sebuah buku popular yang berisi 90 himne berjudul Nyanyian Zion (Song of Zion). Buku ini lolos dari sensor negara, tetapi menimbulkan kontroversi di kalangan gereja ortodoks di Swedia. Kalangan gereja khawatir bahwa nyanyian yang terdapat dalam buku ini menyimpang dari ajaran gereja. Kalangan gereja kemudian mengumpulkam sejumlah sarjana untuk membuat penelitian mengenai nyanyian (himne) ini. Sebagian para sarjana menghitung simbol-simbol agama yang ada dalam nyanyian. Sementara sarjana lain menghitung simbol-simbol yang sama yang terdapat dalam buku Nyanyian Zion. Ternyata dari hasil penelitian ini tidak ada perbedaan simbol di antara keduanya. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa awal bagaimana analisis isi dipakai untuk menyelidiki isi dengan jalan menguraikan isi, melakukan kategorisasi, dan menghitung karakteristik dari isi ini.

Perkembangan analisis isi terjadi pada abad XIX yang ditandai oleh dibukanya studi mengenai jurnalisme dan surat kabar di Amerika. Sekolah-sekolah kewartawanan tumbuh pesat yang melahirkan kebutuhan akan penelitian empiris terhadap fenomena persuratkabaran. Sejak saat itu, banyak bermunculan studi mengenai analisis isi terhadap surat kabar.

Meski telah dipakai sejak abad XVIII, analisis isi masih belum memperoleh status sebagai metode ilmiah. Krippendorff ( dalam Eryanto ) menyatakan fase penting dari analisis isi terjadi pada 1920-an. Ada dua perkembangan penting yang memengaruhi pertumbuhan analisis isi sebagai suatu metode ilmiah. Pertama, pertumbuhan metode penelitian empiris dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua, pemakaian metode analisis isi oleh ilmuwan sosial.

Analisis isi terbebas dari kerangka atau perspektif tertentu karena tidak berangkat dari renungan filosofis, melainkan dari sebuah kejadian atau peristiwa. Tetapi praktiknya merupakan metode kuantitatif. Metode ini berawal dari kesadaran manusia akan kegunaan simbol, angka, dan bahasa.Eriyanto (2011:10) menjelaskan bahwa penggunaan analisis isi terdapat dalam tiga aspek. Pertama, analisis isi ditempatkan sebagai metode utama. Kedua, analisis isi dipakai sebagai salah satu metode saja dalam penelitian. Ketiga, analisis isi dipakai sebagai bahan pembanding untuk menguji kesahihan dan kesimpulan yang telah didapat dari metode lain. Tingkat validitas pada analisis isi ditentukan oleh penarikan kesimpulan dan kesesuaian dengan teori yang berlaku. Jika reliabilitas merujuk pada konsistensi internal dari metode analisis isi, maka validitas merujuk pada konsistensi eksternal dari keseluruhan riset atau teori yang terkait.

Bell (dalam Ekomodyo) menyatakan bahwa analisis isi bisa menyajikan deskripsi dimensi-dimensi kuantitatif dan representasi suatu teks. Metode ini dapat digunakan untuk menyajikan peta latar belakang (background map) dari representasi teks itu. Setelah menggunakan analisis isi, Bell menyarankan peneliti dapat menginterpretasikan teks dengan metode kualitatif, seperti metode semiotik atau interpretasi teks individual.

PAGE