14
MODEL IMPLEMENTASI RISET PROGRAM SARJANA BIDANG MIPA DAN PENDIDIKAN MIPA PEMODELAN (IMPLEMENTATION MODEL OF UNDERGRADUATE RESEARCH PROGRAM IN SCIENCE AND SCIENCE EDUCATION) BAB 23 Agus Setiabudi Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI ABSTRACT Undergraduate Research (UR) is a well known academic tradition adequate to synthesize undergraduate competences. UR experience is critical but benefiting for students especially those considering graduate school, research, or academic careers. The process of researching a topic in the primary literature, designing experiments, implementing those experiments, and analyzing the results is essential in developing the analytical skills necessary to become a true scientist. This is an educational model that reflects a curriculum in the direction of developing students as participants in research and inquiry. Furthermore, UR experience is one of the ways that students make close personal connections with faculty mentors. Collaborative research under UR speaks to some of our most fundamental educational objectives by providing a personalized education, exemplifying engaged pedagogy, and promoting students’ intellectual independence and maturation. This chapter reviewed UR concepts and models, such as laboratory research model and UR in combination with industrial practices, and teaching practice. Reports that evaluate UR implementations, as well as model and suggestion for successful UR mentoring are also examined. Keywords: Industrial and Practice, Inquiry Learning, Laboratory Research Model, Teaching Practice, Undergraduate Research

BAB 23 - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._KIMIA/196808031992031-AGUS... · SCIENCE AND SCIENCE EDUCATION) BAB 23 Agus Setiabudi Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA

  • Upload
    lykhanh

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

MODEL IMPLEMENTASI RISET PROGRAM SARJANA BIDANG MIPA DAN PENDIDIKAN MIPA PEMODELAN (IMPLEMENTATION MODEL OF UNDERGRADUATE RESEARCH PROGRAM IN SCIENCE AND SCIENCE EDUCATION)

BAB 23

Agus Setiabudi

Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI

ABSTRACT Undergraduate Research (UR) is a well known academic tradition adequate to synthesize undergraduate competences. UR experience is critical but benefiting for students especially those considering graduate school, research, or academic careers. The process of researching a topic in the primary literature, designing experiments, implementing those experiments, and analyzing the results is essential in developing the analytical skills necessary to become a true scientist. This is an educational model that reflects a curriculum in the direction of developing students as participants in research and inquiry. Furthermore, UR experience is one of the ways that students make close personal connections with faculty mentors. Collaborative research under UR speaks to some of our most fundamental educational objectives by providing a personalized education, exemplifying engaged pedagogy, and promoting students’ intellectual independence and maturation. This chapter reviewed UR concepts and models, such as laboratory research model and UR in combination with industrial practices, and teaching practice. Reports that evaluate UR implementations, as well as model and suggestion for successful UR mentoring are also examined. Keywords: Industrial and Practice, Inquiry Learning, Laboratory Research

Model, Teaching Practice, Undergraduate Research

Pendahuluan

Undergraduate Research atau riset program sarjana (RPS) adalah aktivitas akademis seorang mahasiswa bekerjasama dengan dosen mentor yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan baru. RPS memiliki karakteristik berupa upaya pengembangan pengetahuan atau pemahaman baru untuk memajukan ilmu pengetahuan melalui kegiatan penelitian yang dilaksanakan dengan bantuan dosen pembimbing yang berperan sebagai mentor. Topik penelitian RPS merupakan kajian dari dosen pembimbing, dilaksanakan dengan pembimbingan yang regular dan terpogram untuk mengarahkan mahasiswa dalam memperoleh hasil penelitian yang produktif. Pertemuan dosen dengan mahasiswa dilakukan secara terjadwal untuk merencanakan, menilai resiko pelaksanaan penelitian, dan melakukan reviu atas hasil penelitian (The American Chemical Society’s Committee on Professional Training, 2006). Implementasi RPS umumnya meliputi penelusuran pustaka pada topic riset, merencanakan aktivitas eksperimen, menganalisa hasil dan memkomunikasikanya.

Berkembangnya aktivitas RPS berkaitan erat dengan kepercayaan yang dianut di kalangan akademisi bahwa pelibatan mahasiswa dalam proses inkuiri merupakan bentuk nyata pembelajaran konstruktivisme dimana proses integrasi pengetahuan baru dengan pengetahuan lama dikonstruksi dan direkonstruksi secara berkelanjutan oleh inndividu pembelajar (Hunter et.al. 2006). Dengan kata lain RPS merupakan satu bentuk pembelajaran inkuiri. Berbagai literatur menggambarkan bahwa keterlibatan mahasiswa dalam program RPS dan inkuiri dapat dilaksanakan dalam empat bentuk sebagaimana diperlihatkan pada gmbar 1 (Jenkins & Healey 2009).

Model RPS pada gambar 1 memiliki dua sumbu yang menggambarkan intensitas keterlibatan mahasiswa dan kedalaman substansi penelitian. Sumbu vertikal menggambarkan kontinum keterlibatan, sedangkan sumbu horizontal menggambarkan kontinum kedalaman riset yang dikerjakan para mahasiswa yaitu penekanan pada konten riset pada satu ekstrim dan penekanan pada proses penelitian atau penyelesaian masalah pada ekstrim lainya. Sekema ini memberi gambaran sekaligus pilihan yang dapat diambil oleh perguruan tinggi dalam mengimplementasikan program RPS. Pada keempat skema keterlibatan dan kedalaman proses dan masalah penelitian tersebut terkandung aspek paedagogis yang berbeda-beda.

Model RPS ini juga menggambarkan bahwa perguruan tinggi yang menyelenggarakan aktivitas dengan tekanan pada aspek pengajaran berada pada setengah bagian bawah dari diagram tersebut (daerah III dan IV). Disisi lain kompetensi mahasiswa akan banyak berkembang saat perguruan tinggi menyelenggarakan setengah diagram bagian atas (daerah I dan II). Dalam bentuk mata kuliah biasa (bukan program RPS dalam kerangka penyelesaian akhir studi mahasiswa), setengah diagram bagian

atas dapat diimplementasikan dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah atau Problem-Based Learning (PBL).

Gambar 1. Hakekat riset program sarjana berdasarkan keterlibatan mahasiswa dan kedalaman penelitian

Secara konseptual, RPS dan perkuliahan yang diselenggarakan dengan

model pada daerah setengah atas akan mampu memfasilitasi terselenggaranya pendidikan secara mandiri, mengoptimalkan keterlibatan pedagogis peserta didik, serta mengembangkan kebebasan intelektual dan kedewasaan. Implementasi RPS juga menjadikan hubungan akademik antara mahasiswa dengan dosen mentor menjadi lebih intens dibandingkan dengan proses pendidikan sebelumnya yang umumnya dilaksanakan dengan perkuliaahan biasa (Elgren & Hensel 2006). Dalam RPS mahasiswa secara nyata dikondisikan untuk terlibat dalam proses inkuiri yang merupakan salah satu cara untuk memperbaiki proses dan motivasi belajar mahasiswa.

Karena karakteristiknya yang menuntut kemandirian mahasiswa, RPS dengan model penelitian mandiri dan tutorial merupakan program yang dilaksanakan dalam rangka penyelesaian studi mahasiswa yang umumnya dilaksanakan pada dua semester terakhir program sarjana. Pelaksanaan program ini diyakini mampu memberikan pengalaman yang sangat penting dan berharga terutama bagi mahasiswa yang akan melanjutkan studi dan memproyeksikan diri untuk meniti karir pada bidang alademik atau bidang penelitian. Di beberapa perguruan tinggi, pelaksanaan program PPS telah berdampak pada jumlah mahasiswa yang berminat melanjutkan studi dan

peningkatan jumlah mahasiswa yang tertarik pada karir bidang akademik dan riset.

Model Pelaksanaan RPS

Model pelaksanaan RPS yang berkembang di berbagai perguruan tinggi sangat bervariasi, di antaranya tergantung pada disiplin ilmu. Pada tulisan ini, model yang diuraikan terbatas pada bidang MIPA dan Pendidikan MIPA serta bidang ilmu lain yang beririsan seperti teknik. Model pelaksanaan program RPS adalah model riset laboratorium, model kombinasi RPS dengan industri, dan model kombinasi RPS dengan pembelajaran oleh mahasiswa di sekolah.

1. Model Riset Laboratorium

Model riset laboratorium merupakan model RPS yang cocok dilaksanakan untuk program studi sarjana pada disiplin ilmu sains dan teknik. Aktivitas RPS terutama dilakukan mahasiswa di laboratorium. Pelaksanaan model riset laboratorium dapat dilaksanakan dengan skema kegiatan sebagaimana diperlihatkan pada gambar 2. Model seperti ini telah dilaksanakan di Program Studi Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia dan memiliki kemiripan dengan pelaksanaan RPS pada beberapa perguruan tinggi sebagaimana dilaporkan pada berbagai literatur (Ramamurthy 2006; Jinghuan 2007)

Sebelum memasuki masa RPS, para mahasiswa mendapat pengenalan tentang riset dan metodologinya. Pengenalan riset dapat dilakukan dengan mengadakan aktivitas ekspose untuk topik-topik penelitian oleh calon dosen mentor dari kelompok-kelompok bidang riset yang ada di program studi. Pengenalan topik-topik riset ini merupakan tahap yang penting agar mahasiswa memiliki ‘dasar’ untuk penentuan minat risetnya. Sedangkan pengenalan metodologi riset dilakukan secara formal melalui perkuliah metodologi penelitian kimia. Dengan berbekal pengetahuan tentang metodologi riset dan bidang-bidang riset yang dikembangkan pada program studinya, mahasiswa memiliki independensi untuk memilih kelompok bidang penelitian yang akan menjadi bidang riset program RPS sesuai dengan minatnya masing-masing. Saat pemilihan minat bidang riset inilah mahasiswa mulai terlibat dengan proses pembentukan kemandirian dan independensi melalui RPS.

Gambar 2. Model riset laboratorium program sarjana sains dan teknik

Untuk menyelaraskan minat dan pengetahuan mahasiswa dengan bidang riset yang akan ditekuninya, selanjutnya para mahasiswa diharuskan melalui tahap pengkajian secara mendalam artikel-artikel ilmiah yang relevan. Hasil pengkajian ini selanjutnya dipresentasikan pada forumyang dihadiri dosen pada bidang penelitian yang dipilih. Dalamstruktur kurikulum di Program Studi Kimia UPI, aktivitas ini dilaksanakan secara formal melalui perkuliahan Seminar Kimia. Pada saat inilah interaksi akademis antara mahasiswa dengan calon dosen mentor RPS mulai dilaksanakan. Calon dosen mentor RPS membimbing mahasiswa untuk memahami artikel ilmiah yang relevan yang akan menjadi dasar pengetahuan bagi mahasiswa untuk mengenal masalah pada bidang penelitian yang menjadi pilihannya. Calon dosen RPS juga memberikan wawasan kepada mahasiswa tentang topik dan hasil terkini pada bidang riset yang akan ditekuni. Pada tahap ini mahasiswa juga dapat melakukan perbandingan tentang riset yang berkembang di berbagai tempat (yang diperolehnya melalui pengkajian artikel ilmiah dari jurnal) dengan riset di program studinya (yang diperoleh melalui tahap pengenalan riset dan penjelasan dosen mentor). Dalam diagram hakekat riset program sarjana berdasarkan keterlibatan mahasiswa dan kedalaman penelitian (gambar 1). Aktivitas ini merupakan aktivitas pada wilayah kiri bawah (model III) yaitu mempelajari riset.

Tahap RPS selanjutnya adalah pelaksanaan riset oleh mahasiswa yang terutama dilaksanakan di Laboratorium. Tergantung kepada desain dari program studi, model RPS yang dilakukan dapat berupa penelitian mandiri (model II) atau penelitian dengan tutorial (model I). Dengan melaksanakan model RPS seperti ini, paling tidak dua wilayah aktivitas inkuiri sudah dilaksanakan para mahasiswa, yaitu model III dengan I atau II.

Pelaksanaan RPS dengan model riset laboratorium, biasanya melibatkan pendanaan external yang dikelola oleh dosen mentor. Perguruan tinggi di Indonesia telah didorong dan difasilitasi untuk dapat melaksanakan program riset yang melibatkan mahasiswa melalui RPS. Beberapa skema pendanaan penelitian di bawah program DP2M-DIKTI (2009) telah mensyaratkan keterlibatan mahasiswa dalam pelaksanaan penelitian. Keuntungan bagi mahasiswa adalah dari sisi biaya penelitian. Paling tidak sebagian biaya penelitian, menjadi tanggungan dosen mentor. Di sisi lain dengan arahan yang baik, mahasiswa dapat pula memberikan hasil penelitian yang produktif yang relevan dengan tujuan penelitian dosen mentor.

Model Kombinasi RPS dengan Kerja Industri

Pelaksanaan pendidikan yang dilaksanakan melalui kerjasama pemerintah, industri, dan perguruan tinggi dalam pembangunan kehidupan sosial telah lama menjadi keinginan semua pihak. Pada model pelaksanan pendidikan seperti ini, universitas bertugas menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan, dan pada saat yang sama melakukan pengembangan keterampilan dan pengetahuan untuk kelangsungan kehidupan sosial. Di sisi lain, pihak industri menyediakan perangkat ekonomi untuk pengembangan kehidupan social. Sedangkan pemerintah, paling tidak pada level institusi penyedia tenaga kerja merupakan fasilitator bagi dua pihak lainnya.

Program magang mahasiswa di industri, seperti praktek kerja lapangan atau sejenisnya, merupakan upaya untuk memfungsikan konsep kerjasama universitas dengan Industri. Model kombinasi RPS dengan kerja industri, merupakan pengembangan dari program magang mahasiswa di Industri tersebut. Sebagi rujukan, pada paper ini akan dibahas pengembangan yang dilakukan di University of Cincinnati yang dinamakan Cooperative Program (Co-op) (Palomera-Garcia 2003). Co-op mengimplementasikan strategi perkuliahan secara terstruktur yang mengintegrasikan pembelajaran di kelas dengan pengalaman kerja produktif yang berhubungan dengan latar belakang akademik mahasiswa atau karir yang diinginkannya. Program seperti ini memberikan pengalaman kepada mahasiswa untuk mengintegrasikan teori ke dalam praktek. Stake-holders tang terlibat pada kegiatan akan mendapat keuntungan dari sisinya masing-masing. Mahasiswa mendapatkan pengalaman praktek kerja yang dapat digunakan sebagai rekam jejak sehingga dapat mengoptimalkan peluang kerjanya. Dari program magang ini, pihak universitas mendapatkan penguatan kemitraan dengan industri, perbaikan kurikulum, dan kesempatan membekali mahasiswa dengan pengalaman dan latar belakang professional. Sedangkan pihak industri mendapat keuntungan, misalnya dalam hal rekrutmen tenaga kerja. Tenaga

kerja yang direkrut dari mahasiswa program magang, dapat diasumsikan telah melaksanakan program in-job training sehingga mempersingkat tahapan penerimaan tenaga kerja di perusahaan tersebut.

Pengembangan atas model magang tradisional seperti program Co-op telah dilakukan dengan mengkombinasikan penelitian mahasiswa melalui program RPS. Secara skematis, integrasi RPS dalam program Co-op ini diperlihatkan pada gambar 3. Hasil kombinasi ini memiliki tiga tahapan kegiatan yaitu, pra Co-op, Co-op, dan post Co-op.

Pada tahap Pra Co-op, para mahasiswa mulai berinteraksi dengan dosen/kelompok dosen yang akan membimbingnya sebagai dosen mentor. Dalam tahap ini dosen mentor memberikan bimbingan tentang bentuk kegiatan magang dan program tambahan yang akan dikerjakan oleh mahasiswa pada program Co-op. Pada program tambahan yang direncanakan harus terkandung aktivitas yang berkaitan dengan RPS. Jenis kegiatan yang akan dilakukan tersebut berdasar kepada kesepakatan dosen mentor dengan pihak industri.

Gambar 3. Model Kombinasi RPS dengan praktek/magang industri

Pada tahap Co-op¸ mahasiswa melakukan dua aktivitas secara bersamaan yaitu magang dan melakukan program tambahan yang sangat berkaitan dengan topik RPS-nya. Pada progam magang, mahasiswa melakukan aktivitas yang sifatnya latihan penerapan pengetahuan akademik pada pekerjaan nyata yang ada di industri. Sedangkan program tambahan adalah aktivitas yang berkaitan dengan industri tetapi memerlukan pengembangan melalui aktivitas research. Program tambahan ini diselesaikan pada tahap Post Co-op di kampus dengan melibatkan dosen mentor secara lebih dominan.

Kombinasi RPS dengan Praktek Pembelajaran Mahasiswa di Sekolah

Model kombinasi RPS dengan praktek industri dapat diadaptasi unttuk pelaksanaan RPS bagi program pendidikan/penyiapan guru. Program magang bagi program pendidikan/penyiapan guru sekolah adalah program praktek mengajar di sekolah. Sedangkan program tambahan terkait RPS dapat berupa pendalaman tentang school-focused research. Program seperti ini teah dilaksanakan di Canterbury Christ Church University (Healey 2009). Karena riset untuk program RPS dengan skema school-focused research harus melibatkan situasi atau ujicoba di sekolah tempat para mahasiswa melakukan magang, maka pilihan topik penelitian dapat berupa inovasi pembelajaran atau classroom action research.

Salah satu contoh kombinasi RPS dengan praktek mengajar dilakukan oleh Finkelstein yang mengintegrasikan perkuliahan ilmu fisika (pada topik-topik tertentu), teori teori tentang belajar dan pembelajaran, komunitas pembelajaran fisika sekolah, dan penelitian pendidikan fisika. Pada program ini, sebelum mahasiswa terjun ke sekolah, mahasiswa diharuskan mengikuti kuliah/workshop selama dua minggu tentang penguatan konsep dan teori pembelajaran yang merupakan persiapan dalam kerangka RPS. Kerangka dasar kombinasi RPS dengan praktek pembelajaran di sekolah ini diperlihatkan pada gambar 4 (Finkelstein 2000). Semula, program ini diperuntukan bagi mahasiswa program fisika yang memiliki minat menjadi guru.

Gambar 4. Kerangka dasar kombinasi RPS dengan praktek pembelajaran

mahasiswa di sekolah (Finkelstein 2000)

Sebagai disiplin ilmu, fisika berkaitan dengan aspek konten dan teori pembelajarannya. Sedangkan sisi pendidikan memiliki konsern dalam sisi teori dan praktek pembelajaran. Di luar wilayah ilmu fisika dan pendidikan, disebut Finkelstein sebagai wilayah Outreach. Outreach merupakan wilayah

layanan universitas di luar konteks perkuliahan secara langsung. Pada wilayah outreach ini pihak universitas harus secara proaktif melakukan layanan. Termasuk pada wilayah ini adalah pemecahan masalah pembelajaran di sekolah. Misalnya bagaimana melakukan blending konten ilmu fisika dengan praktek pembelajaran.

Pada tahap awal, mahasiswa calon guru fisika mengikuti program persiapan dalam bentuk penguatan sejumlah konsep fisika esensial, teori tentang pembelajaran, dan tentang research pendidikan fisika. Kemudian para mahasiswa diminta untuk mengembangkan rencana pembelajaran dalam topik dan konsep (seperti disampaikan pada program penguatan) untuk digunakan dalam pembelajaran di sekolah. Mahasiswa juga melakukan pengembangan kurikulum yang relevan dengan seting kelas dan seting di luar kelas.

Praktek pembelajaran fisika dilakukan di SMP dan SMA dimana para mahasiswa didorong untuk menerapkan kurikulum yang dikembangkannya sendiri di bawah supervisi dosen mentor dan guru pamong. Setiap minggu mahasiswa dan dosen mentor mencatat secara rinci pengalaman, kurikulum, implementasi pembelajaran, dan refleksi yang dilaksanakan. Catatan-catatan yang dibuat harus direncanakan dengan baik sehingga dapat dijadikan bahan bagi penulisan karya tulis tugas akhir mahasiswa. Bidang kajian RPS dengan skema di atas dapat meliputi, inovasi pembelajaran, pengembangan bahan pembelajaran, atau pengembangan teori pembelajaran.

Dimensi dan Manfaat RPS

Sebagai aktivitas riset yang dilaksanakan dengan bantuan dosen mentor, RPS memiliki berbagai dimensi yang menyangkut komponen proses dan produk riset, komponen mahasiswa dan dosen mentor, serta mahasiswa sebagai individu dan komunitas akademik. Tabel 1 memperlihatkan dimensi dari pelaksanaan RPS (Beckham & Hensel 2007). Pada setiap dimensi, sisi yang menjadi penekanan (apakah pada ekstrim kiri atau kanan) sangat tergantung pada kebutuhan dan kondisi perguruan tinggi.

Tabel 1. Dimensi pelaksanaan RPS Berpusat pada proses Berpusat pada hasil

Mahasiswa dengan kemampuan baik Seluruh mahasiswa

Inisiatif mahasiswa Inisiatif dosen

Berbasis kurikulum Co-kurikuler

Kolaboratif Individual

Orisinal berdasar ukuran mahasiswa Orisinal berdasar ukuran ilmu

Multi/interdisiplin Berbasis satu disiplin ilmu

Melibatkan hanya komunitas kampus Melibatkan komunitas profesional

Posisi pasti pada kontinum dari setiap dimensi merupakan pilihan

yang sangat tergantung pada kondisi masing-masing perguruan tinggi pelaksana RPS. Pada dimensi proses dan hasil riset misalnya, jika RPS dilaksanakan bukan oleh mahasiswa pada tingkat akhir bobot proses penelitian sebaiknya lebih besar daripada hasil dan sebaliknya. Sedangkan pada dimensi keterlibatan kelompok mahasiswa, pilihan program dapat jatuh kepada kontinum seluruh masiswa jika sumber daya untuk melaksanakan RPS sudah memenuhi. Pada dimensi pelibatan mahasiswa, pilihan dapat jatuh pada mahasiswa dengan kemampuan baik saja apabila ada ekspektasi perguruan tinggi bahwa RPS harus berorientasi produk atau dalam rangka melatih mahasiswa yang akan melanjutkan studi ke jenjang pasca sarjana. Demikian juga dengan dimensi RPS yang lainya.

Apapun dimensi dan model pelaksanaan RPS yang diimplementasikan, berbagai keuntungan dapat diraih mahasiswa yang melaksanakannya sebagaimana dibuktikan dari berbagai survey. Keuntungan dimaksud berupa pengalaman dan keterampilan baik yang bersifat akademis maupun manfaat pengembangan soft skill (Lopato 2004; Fraser et al. 2007) yang meliputi: a. berfikir dan bekerja seperti seorang ilmuwan; RPS memberi

pengalaman dalam menerapkan keterampilan dan pengetahuan, pemahaman tentang hakekat pengetahuan ilmiah dan proses pelaksanaan penelitian

b. bertindak sebagai seorang professional; RPS dapat membentuk/melatih sikap dan perilaku yang diperlukan untuk menjadi seorang propfessional seperti bekerja secara independen,

melibatkan kemampuan intelektual dalam pekerjaan, dan mengembangan identitas professional

c. mengembangkan kepribadian; RPS dapat membentuk kepercayaan diri untuk bekerja sebagai seorang ilmuwan/akademisi, mengembangkan hubungan kolegial dengan dosen dan sejawat

d. memperoleh kejelasan tentang salah satu bidang pekerjaan; RPS memberi pengalaman yang dapat digunakan untuk memvalidasi bidang pekerjaan yang akan dipilih dan menjadi interest mahasiswa

e. memperkuat persiapan karir; meliputi meningkatnya kesiapan lulusan untuk melanjutkan studi/bekerja secara professional, pengalaman pada dunia nyata, dan keterlibatan dalam jejaring kerja pada bidangnya

f. meningkatakan soft skill ; RPS dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi, menulis, berorganisasi, dan bekerja di laboratorium

Survey yang dilakukan terhadap mahasiswa program RPS menunjukkan bahwa manfaat tersebut dapat dirasakan oleh sebagaian besar mahasiswa program RPS (Lopato 2004). Melaksanakan Mentoring RPS yang Efektif dan Berhasil

Meskipun menjadi mentor pada program RPS sudah menjadi pekerjaan rutin para dosen, akan tetapi pembimbingan yang efektif dan berhasil memerlukan pola dan totalitas. Pada program studi yang melaksanakan program sarjana dan pascasarjan secara terintegrasi, metode umum yang sering digunakan dalam melakukan pembimbingan terhadap mahasiswa RPS adalah mencangkokannya kepada penelitian mahasiswa pasca sarjana. Metode seperti ini memiliki berbagai keuntungan seperti lebih terprogramnya aktivitas mahasiswa RPS disamping terbantunya mahasiswa pascasarjan dalam mengerjakan topic penelitiannya. Akan tetapi tanpa pola pembimbingan yang baik dari mahasiswa pasca dan dosen mentor metode seperti ini sering menggiring mahasiswa RPS untuk bekerja seperti seorang teknisi.

Dengan paradigma bahwa hasil RPS mahasiswa bisa menjadi produktif dan bermanfaat bagi penelitian dosen mentor secara keseluruhan pembimbingan yang efektif dan berhasil sangat penting untuk dilakukan. Ukuran keefektifan dan keberhasilan mentoring adalah mahasiswa mampu menyelesaikan program RPS sesuai dengan hasil yang diharapkan dan waktu yang ditetapkan (Whiteside et al. 2007). Ada dua kelompok aktivitas yang harus dilakukan dosen mentor dalam melakukan pembimbingan RPS, yaitu mengelola waktu dan sumber daya, dan membina hubungan yang baik dengan mahasiswa (Shellito et al. 1998).

Terkait waktu dan sumber daya terdapat tiga aspek yang harus dilakukan, yaitu: (a) mengembangkan program riset yang terukur dengan memperhatikan minat dan keampuan mahasiswa, (b) menjamin

ketersediaan kebutuhan riset (bahan dan peralatan), dan (c) menghargai komitmen waktu mahasiswa.

Memilih cakupan topik riset untuk mahasiswa yang juga sesuai dengan keamampuan mahasiswa menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan RPS. Topik riset yang telalu luas dan mendalam sebaiknya dikelompokan menjadi beberapa tahapan dan sub topik yang lebih kecil untuk dikerjakan beberapa orang mahasiswa. Untuk topik riset di laboratorium, ketersediaan peralatan penunjang riset dan bahan-bahan (kimia) yang diperlukan sebaiknya terjamin. Waktu pelaksanaan RPS dapat menjadi sangat panjang apabila keperluan-keperluan kebutuhan riset masih harus dicari saat pelaksanaan.

Pada aspek hubungan dosen mentor dengan mahasiswa, terdapat enam aspek yang harus dilakukan seorang mentor, yaitu (a) memahami dan mengkomunikasikan ekspektasi mutuallistik, (b) mengalokasikan waktu dengan mahasiswa, (c) memahami mahasiswa secara individual, (d) memberikan umpan balik yang positif dan konstruktif, (e) menyediakan diri untuk ‘didekati’ dan memberi semangat, (f) memposisikan mahasiswa sebagai ‘kolega’ dalam riset yang sedang dikerjakan, (g) melakukan bimbingan karier, dan (h) bimbingan lanjutan.

Selain dosen mentor yang memiliki harapan agar hasil riset mahasiswa dapat produktif, para mahasiswa juga memiliki ekspektasi tersendiri. Perlu difahami bahwa setiap mahasiswa memiliki motivasi dan ekspektasi yang unik. Terbukanya motivasi dan ekspektasi mahasiswa tersebut dapat membantu dosen mentor memahami karakteristik mahasiswa bimbingannya. Alokasi waktu yang disediakan dosen pembimbing tampaknya merupakan faktor yang paling menentukan. Beberapa riset tentang pelaksanaan RPS menunjukkan bahwa, waktu layanan yang disediakan oleh dosen mentor merupakan komponen terbesar kepuasan mahasiswa atas proses mentoring. Faktor-faktor psikologis dalam proses mentoring, seperti menempatkan mahasiswa sebagai ‘kolega riset’, sikap positf dosen seperti memberikan motivasi dan umpan balik, mudah diakses dan terbuka juga merupakan faktor yang sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA Beckman M, N Hensel. 2007. Making Explicit the Implicit: Defining

Undergraduate Research. Councilon Undergraduate Reseach 29(4) Carson S. 2007. A New Paradigm for Mentored Undergraduate Research in

Molecular Microbiology. CBE—Life Sciences Education 6:343–349. Elgren T, N Hensel. 2006. Undergraduate Research Experience, Synergies

Between Scholarship and Teaching. AAC&U. Fraser GA, AC Crook, JR Park. 2007. A Tool for Mapping Research Skills in

Undergraduate Curricula. Bioscience e-Journal 9 Finkelstein ND. 2000. Teaching Physics in Context: a model for

coordinating education, outreach, and research, Department of Physics, University of Maryland, College Park, MD, March 30, Available at

http://www.colorado.edu/physics/EducationIssues/papers/JoSoTL_Finkelstein.pdf

Hunter A, SL Laursen, E. Seymour. 2006. Becoming a Scientist: The Roleof Undergraduate Research in Students’ Cognitive, Personal, and Professional Development. Science Education DOI 10.1002/sce

Jenkins A, M Healey. 2005. Institutional strategies to link teaching and research. York: The Higher Education Academy: Available at www.heacademy.ac.uk/resources/publications/ papersandmonographs (accessed 31/10/2008)

Jenkins A, M Healey. 2009. Developing undergraduate research and inquiry. The Higher Education Academy.

Jinghuan S. 2007. Strengthening Undergraduate Research through Building Practice Competence for Innovation: Context and the Experiences of Tsinghua University in China. J Higher Education and Lifelong Learning 15:163-174

Lopatto D. 2004. Survey of Undergraduate Research Experiences (SURE): First Findings. Cell Biology Education 3:270–277,

Ramamurthy B. 2006. Work in Progress: A Synergistic Undergraduate Research Model Leveraging Capstone-Style Projects and Grid Computing. 36th ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference

Shelito C, K. Shea, G Weissmann, Muekker-Solger, Davis. 1999. Successful Mentoring of Undergraduate Researchers; Tips for Creating Positive Student Research Experience. J College Science Teaching 30 (7):460-464

The American Chemical Society’s Committee on Professional Training. 2006.

Whiteside U, DW Pantelone, D Hunter-Reel, J Eland, M Larimer. 2007. Initial Suggestions for Supervising and Mentoring Undergraduate

Research Assistants at Large Research Universities, Int’l J Teaching and Learning in Higher Education 19 (3):325-330