Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan
gangguan pertumbuhan pada anak bukan hanya terganggu pertumbuhan fisiknya
saja, melainkan juga terganggu perkembangan otaknya, yang mana tentu akan
sangat mempengaruhi kemampuan dan prestasi di sekolah, produktivitas dan
kreativitas di usia-usia produktif (KEMENKES, 2018). Stunting diidentifikasi
dengan membandingkan tinggi badan mereka dengan referensi yang sesuai usia
dan jenis kelamin (Andrew & Jean, 2014).
Tabel 2.1 Indeks TB/U Menurut Standart Baku WHO 2005
Indeks Ambang Batas Status gizi
TB/U >+2SD
-2SD s/d + 2SD
-3SD s/d <-2SD
<-3SD
Perawakan tinggi
Normal
Peawakan Pendek
Perawakan Sangat pendek
(WHO, 2005)
Secara global, sekitar 1 dari 4 balita mengalami stunting menurut
UNICEF tahun 2013. Di Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar
(Riskesdas) tahun 2013, terdapat 37,2% balita yang mengalami stunting.
Diketahui dari jumlah presentase tersebut, 19,2% anak pendek dan 18,0%
sangat pendek. Prevalensi stunting ini mengalami peningkatan dibandingkan
hasil Riskesdas tahun 2010 yaitu sebesar 35,6%.
7
Stunting pada anak balita merupakan konsekuensi dari beberapa faktor
yang sering dikaitkan dengan lima faktor utama penyebab stunting yaitu
kemiskinan, sosial serta budaya, peningkatan paparan terhadap penyakit
infeksi, kerawanan pangan dan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
(KEMENKES, 2016). Stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja,
tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling
berhubungan satu dengan yang lainnya (Irviani & Ibrahim, 2015). Masa balita
merupakan periode yang sangat peka terhadap lingkungan sehingga diperlukan
perhatian lebih terutama kecukupan gizinya (Khoirun & Siti, 2015).
2.1.2 Penyebab Stunting
a. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
BBLR, yaitu berat bayi lahir kurang dari 2.500 gram akan membawa
risiko kematian, gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak,
termasuk dapat berisiko menjadi pendek jika tidak tertangani dengan
baik (KEMENKES, 2016). Dampak dari bayi yang memiliki berat
lahir rendah akan berlangsung dari generasi ke generasi, anak dengan
BBLR akan memiliki ukuran antropometri yang kurang pada
perkembangannya (Yulidasari, 2015). Besarnya prevalensi BBLR
dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko. Hasil penelitan Ernawati
et al, menemukan 9,5% bayi dengan berat badan lahir rendah dan 22%
di antaranya mengalami stunting
Penelitian menemukan bahwa pada bayi BBLR kecil masa
kehamilan, setelah berusia 2 bulan mengalami gagal tumbuh (growth
falthering) yang menunjukkan risiko untuk mengalami gagal tumbuh
8
pada periode berikutnya. Usia 12 bulan bayi BBLR kecil masa
kehamilan tidak mencapai panjang badan yang dicapai oleh anak
normal. Kejar tumbuh pada anak yang lahir BBLR berlangsung hingga
usia dua tahun. Gagal tumbuh dan kejar tumbuh yang tidak memadai
merupakan suatu keadaan patologis yang menyebabkan kejadian
stunting pada balita (Darwin, et al., 2014).
Balita BBLR memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap
penyakit infeksi, seperti diare dan infeksi saluran pernafasan bawah
serta peningkatan risiko komplikasi termasuk sleep apnea, ikterus,
anemia, gangguan paru-paru kronis, kelelahan, dan hilangnya nafsu
makan dibandingkan dengan anak-anak dengan berat badan lahir yang
normal sehingga mengakibatkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal
(Rahman, et al., 2016).
b. ASI Eksklusif
Pada bayi, ASI sangat berperan dalam pemenuhan nutrisinya.
Konsumsi ASI juga meningkatkan kekebalan tubuh bayi sehingga
menurunkan risiko penyakit infeksi (Johan, et al., 2015). Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, ASI eksklusif adalah ASI
yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa
menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain
(kecuali obat, vitamin dan mineral)
Pemberian MPASI dimulai ketika ASI sudah tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhannya mulai dari usia 6 bulan dalam jumlah dan
9
frekuensi yang cukup sehingga gizi balita terpenuhi (IDAI,2018).
Pemberian ASI pada bayi umur 0-6 bulan sangat penting untuk
pertumbuhan dan status gizi anak (Rahayu & Khairiyati, 2014). Usia 2–
5 tahun merupakan usia rawan terjadinya kurang gizi karena pada usia
ini ASI sudah tidak diberikan sehingga zat gizi yang diterima oleh balita
hanya berasal dari diet saja (Retty, et al., 2016).
Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap
baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi.
Pemberian MP-ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting
untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang
sangat pesat pada periode ini, tetapi sangat diperlukan higiene dan
sanitasi dalam pemberian MP-ASI tersebut. MP-ASI hendaknya
bersifat padat gizi, kandungan serat kasar dan bahan lain yang sukar
dicerna seminimal mungkin, sebab serat yang terlalu banyak jumlahnya
akan mengganggu proses pencernaan dan penyerapan zat-zat gizi
(Mufida, et al., 2015).
c. Pendidikan Ibu yang Rendah
Pengetahuan gizi ibu berperan dalam penentuan pertumbuhan
dan perkembangan anak yang terlihat dari status gizi anak. Kurang
seimbangnya masukan zat-zat gizi dari makanan yang dikonsumsi
mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan (Rahayu & Khairiyati,
2014). Seorang ibu yang memiliki pengetahuan dan sikap gizi yang
kurang akan sangat berpengaruh terhadap status gizi anakya dan akan
10
sukar untuk memilih makanan yang bergizi untuk anak dan keluarganya
(Edwin, et al., 2017).
Ibu dengan pendidikan tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih
luas tentang praktik perawatan anak serta mampu menjaga dan merawat
lingkungannya agar tetap bersih (Cholifatun & Lailatul, 2015). Orang
tua terutama ibu yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi dapat
melakukan perawatan anak dengan lebih baik daripada orang tua
dengan pendidikan rendah. Tingkat pendidikan ibu turut menentukan
mudah tidaknya seorang ibu dalam menyerap dan memahami
pengetahuan gizi yang didapatkan (Khoirun & Siti, 2015).
Departemen Kesehatan, telah melakukan upaya pemberdayaan
masyarakat dengan melakukan sosialisasi mengenai pentingnya PHBS
pada tingkatan rumah tangga. PHBS di rumah tangga dilakukan untuk
mencapai rumah tangga sehat. Rumah tangga sehat adalah rumah
tangga yang melakukan 10 PHBS di rumah tangga yaitu: 1) persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan; 2) memberi ASI ekslusif; 3)
menimbang bayi dan balita; 4) menggunakan air bersih; 5) mencuci
tangan dengan air bersih dan sabun; 6) menggunakan jamban sehat; 7)
memberantas jentik di rumah; 8) makan buah dan sayur setiap hari; 9)
melakukan aktivitas fisik setiap hari; 10) tidak merokok di dalam rumah
(Astuti, et al., 2011)
11
d. Ekonomi Rendah
Sosial ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang
menentukan jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga sehingga
turut menentukkan status gizi keluarga tersebut, termasuk ikut
mempengaruhi pertumbuhan anak (Irviani & Ibrahim, 2015). Status
sosial ekonomi juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
keluarga, apabila akses pangan ditingkat rumah tangga terganggu,
terutama akibat kemiskinan, maka penyakit kurang gizi (malnutrisi)
salah satunya stunting pasti akan muncul (Ngasiyah, 2015). Anak
pada keluarga dengan status ekonomi rendah cenderung
mengkonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas, serta variasi
yang kurang (Setiawan, et al., 2018). Ketidakcukupan gizi dalam
jangka waktu panjang terutama karena kurang energi dan protein
serta beberapa zat mikro lainnya dapat mempengaruhi masalah
stunting (Harahap et al, 2015).
e. Higiene, Sanitasi dan Kualitas Air Buruk
Higiene dan sanitasi merupakan hal yang penting dalam
menentukan kualitas makanan dimana Escherichia coli sebagai
salah satu indikator terjadinya pencemaran makanan yang dapat
menyebabkan penyakit akibat makanan (food borne diseases).
Makanan yang telah dicemari oleh bakteri setelah dikonsumsi
biasanya menimbulkan gejala-gejala seperti muntah-muntah,
demam, sakit perut, gejala terjadi 4-12 jam yang memberi kesan
langsung pada lapisan usus dan menyebabkan peradangan (Yunus,
12
et al., 2015). Akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi yang
buruk dapat meningkatkan kejadian penyakit infeksi yang dapat
membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan
tubuh menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuh dan
terhambatnya pertumbuhan (KEMENKES, 2016).
2.1.3 Pencegahan Stunting
Gagal tumbuh pada periode ini akan mempengaruhi status gizi dan
kesehatan pada usia dewasa. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-
upaya penanggulangan masalah stunting ini mengingat tingginya
prevalensi stunting di Indonesia. Hasil kajian terhadap jenis intervensi
dalam rangka upaya pencegahan stunting pada anak batita diperoleh
sebanyak 16 artikel. Ada 4 jenis intervensi dalam upaya
penanggulangan masalah stunting pada anak batita, yaitu zat gizi
tunggal, kombinasi 2–3 zat gizi, multi-zat-gzi- mikron dan zat gizi plus
penambahan energi. Namun, dari bahan intervensi yang paling banyak
digunakan untuk peningkatan pertambahan panjang linier adalah
mineral seng (Zn), zat besi (Fe), serta kombinasi keduanya, seperti
halnya vitamin A (Rosmalina, et al., 2018)
Setiap puskesmas hanya ada satu orang yang menangani gizi baik
dari tenaga pelaksana gizi atau bidan yang ditugaskan. Pencegahan
stunting terutama pada 1000 HPK bukan hanya menjadi tanggung
jawab program gizi tetapi juga program KIA. Program KIA di
puksemas menjadi tanggung jawab bidan desa. Belum adanya paket
intervensi kelanjutan perawatan kesehatan dan gizi dari konsepsi
13
sampai usia dua tahun sehingga ada kendala dalam pelaksanaan
program gerakan nasional sadar gizi (GERNAS) termasuk pencegahan
stunting (Usumawati, et al,. 2016).
2.2 Short Stature
Perawakan pendek atau short stature adalah istilah yang diterapkan
pada anak yang tingginya 2 standar deviasi (SD) atau lebih di bawah median
untuk anak-anak dari jenis kelamin dan usia kronologis (Rogol, 2018).
Seorang anak dikatakan pendek apabila tinggi badannya berada kurang
dari -2SD dari rerata untuk usia, jenis kelamin dan etniknya. Dengan definisi
tersebut jelas sekali bahwa pendek merupakan suatu definisi statistik, sehingga
setiap etnik (bangsa) harus mempunyai norma tinggi badan tersendiri untuk
mendapatkan keabsahan dan ketepatan dalam menegakkan kriteria atau
diagnosis perawakan pendek. (Soetjinignish, 2016)
2.2.1 Etiologi
Ferry R.J membagi penyebab perawakan pendek menjadi 3 kategori
1. Penyebab non endokrin
a. Perawakan pendek keturunan
b. Pertumbuhan dan pubertas lambat
c. Penyakit infeksi/ kronik
2. Kelainan endokrin
3. Kelainan genetik
Dilaporkan oleh Onenli-Munga (2004) dalam buku tumbuh
kembang anak menyebutkan bahwa keadaan depresi berat pada anak
14
dapat menurunkan hormon pertumbuhan (GH), mengakbatkan
perawakan pendek
Pada anak yang menderita penyakit kronis terdapat gangguan
pertumbuhan akibat dari penyakitnya sendiri maupun karena nafsu
makan yang turun (Soetjinignish, 2016)
2.2.2 Diagnosis
Dalam buku tumbuh kembang anak karangan
Prof.Soetjiningsih pada umumnya diagnosis perawakan pendek
didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, analisis kurva
pertumbuhan, analisis umur tulang kalo diperlukan , pemeriksaan
laboratorium.
Untuk membuat dignosis pendek diperlukan
1. Anamnesis yang teliti tentang berat badan wkatu lahir dan umur
kehamilan, TB ibu dan ayah, penyakit kronis, anamnesis
makanan, perlakuan salah terhadap anak dan sebagainya
2. Pemeriksaan fisik
a. Posisi penderita : terlentang atau berdiri dengan pakaian
seminimal mungkin
b. Bentuk muka
c. Disporposi perawakan
d. Status gizi
e. Anomali tulang
f. Frekuensi pernfasan
15
g. Kulit
3. Pengukuran
a. Tinggi badan (TB)
- Segmen bawah (SB) dari simfisis smapai ujung kaki
- Segmen atas (SA) : TB-SB
- Rasio normal SA/SB :
a. Lahir 1,7
b. 3 tahun 1,3
c. 8 tahun lebih 1,0
Bila rasio SA/SB lebih tinggi berarti ekstremitas bawah
pendek misalnya dispalsia tulang, hipertiroid. Bila rasio
SA/SB lebih rendah berarti tubuh pendek (skoliosis) ata leher
pendek (Sindrom klippel Feil)
b. Rentang Lengan (RL)
1. Nila normal RL-TB adalah
- Lahir s/d 7 tahun -3cm
- 8 tahun s.d 12 tahun 0
- 1 tahun + 1cm pada wanita / 4 cm pada pria
2. Rentang lengan pendek terhadap displasia tulang
3. Lingkar kepala
4. Berat badan
5. Bandingkan dengan acuan baku
16
6. Hitung kenaikan TB/tahun
7. Minta parameter anak waktu lahir, umur orang tua saat
pubertas dan TB orangtua
4. Pemeriksaan penunjang
a. Urinalisis
b. Darah
- Darah rutin
- Gula darah
- Tes fungsi hati
- Tes fungsi tiroid
c. Imagine
- Umur tulang dan analisis tulang
Tabel 2.2 Pemeriksaan Penunjang Pada Kasus Perawakan Pendek Jenis Pemeriksaan Rasionalisasi
Usia tulang Prediksi tinggi akhir, kelainan genetik (Mahdelung
deformity pada mutasi gen SHOX)
Darah tepi lengkap Anemia akibat penyakit kronik
Laju Endap Darah Proses inflamasi
Kimia Fungsi ginjal, hati, kelainan elektroiit akibat kelainan
tubulus ginjal, kaslium & fosfor (gangguan
metabolisme tulang) dan petanda kelainan metabolik
(atas indikasi)
Fungsi Tiroid Fungsi Tiroid
IGF dan atau GH Growth-hormone deficiency
Gonadotropin Gangguan pubertas
Kromosom Pada setiap anak perempuan pendek patologis
(Soetjinignish, 2016)
17
2.3 Pemeriksaan Denver Test
DST merupakan Denver Development Screening Test (DDST)
dirancang untuk memberikan metode penyaringan yang sederhana sebagai
bukti perkembangan lambat pada bayi dan anak-anak. Tes ini mencakup empat
aspek yaitu, aspek sosial, motorik halus, bahasa dan motoric kasar. Tes ini telah
distandarisasi pada 1036 anak normal berusia dua minggu sampai enam tahun.
Defenisi perkembangan atau pertumbuhan pada anak adalah bertambahnya
kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dengan
pola yang teratur sebagai hasil dari proses pematangan (Anastasya, 2019).
2.3.1 Skoring
1. Passed atau lulus (P/L). Anak melakukan uji coba dengan baik, atau
ibu /pengasuh anak memberi laporan (tepat / dapat dipercaya bahwa
anak dapat melakukannya).
2. Failure atau gagal (F/G). Anak tidak dapat melakukan uji coba dengan
baik atau ibu / pengasuh anak memberi laporan (tepat) bahwa anak
tidak dapat melakukannya dengan baik.
3. Refuse atau menolak (R/M). Anak menolak untuk melakukan uji
coba. Penolakan dapat dikurangi dengan mengatakan kepada anak
“apa yang harus dilakukan”, jika tidak menanyakan kepada anak
apakah dapat melakukannya (uji coba yang dilaporkan oleh ibu
/ pengasuh anak tidak diskor sebagai penolakan).
4. By report berarti no opportunity (tidak ada kesempatan). Anak tidak
mempunyai kesempatan untuk melakukan uji coba karena ada
hambatan. Skorini hanya boleh dipakai pada uji coba dengan tanda R
18
2.3.2 Interpretasi Penilaian Individu
1. Lebih (advanced). Bilamana seorang anak lewat pada uji coba yang
terletak di kanan garis umur,dinyatakan perkembangan anak lebih
pada uji coba tersebut.
2. Normal. Bila seorang anak gagal atau menolak melakukan tugas
perkembangan disebelah kanan garis umur dikategorikan sebagai
normal. Demikian juga bila anak lulus (P), gagal (F) atau menolak (R)
pada tugas perkembangan dimana garis umur terletak antara persentil
25 dan 75, maka dikategorokan sebagai normal.
3. Caution / peringatanl. Bila seorang anak gagal (F) atau menolak tugas
perkembangan, dimana garis umur terletak pada atau anatara persentil
75 dan 90.
4. Delay / keterlambatan. Bila seorang anak gagal (F) atau menolak (R)
melakukan uji coba yang terletak lengkap disebelah kiri garis umur
5. No opportunity / tidak ada kesempatan. Pada tugas perkembangan
yangberdasarkan laporan, orang tua melaporkan bahwa anaknya tidak
adakesempatan untuk melakukan tugas perkembangan tersebut. Hasil
ini tidak dimasukkan dalam mengambil kesimpulan.
2.3.3 Kesimpulan
1. Normal : Bila tidak ada keterlambatan dan atau paling banyak satu
caution. Lakukan ulangan pada kontrol berikutnya.
19
2. Suspect / di duga : Bila didapatkan ≥2 caution dan / atau ≥ 1
keterlambatan. Lakukan uji ulang dalam 1 – 2 minggu untuk
menghilangkan factor sesaat seperti rasa takut, keadaan sakit atau
kelelahan.
3. Untestable / tidak dapat diuji: Bila ada skor menolak pada ≥ 1 uji
coba tertelak disebelah kiri garis umuratau menolak pada > 1 uji
coba yang ditembus garis umur pada daerah75–90%. Lakukan uji
ulang dalam 1 – 2 minggu
Gambar 2.1
Denver Development Screening Test
2.4 Pemeriksaan Antropometri
Antropometri berasal dari kata “anthropos” (tubuh) dan “metros”
(ukuran) sehingga antropometri secara umum artinya ukuran tubuh manusia.
Dimensi tubuh yang diukur, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan,
20
lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal
lemak di bawah kulit. Dimensi tubuh yang dibutuhkan pada penelitian ini yaitu
umur dan tinggi badan, guna memperoleh indeks antropometri tinggi badan
berdasar umur (TB/U) (Kusudaryati, 2015).
2.4.1 Umur
Umur adalah suatu angka yang mewakili lamanya kehidupan
seseorang. Usia dihitung saat pengumpulan data, berdasarkan tanggal
kelahiran. Apabila lebih hingga 14 hari maka dibulatkan ke bawah,
sebaliknya jika lebih 15 hari maka dibulatkan ke atas. (Mediana, 2016)
2.4.2 Tinggi badan
Tinggi atau panjang badan ialah indikator umum dalam mengukur
tubuh dan panjang tulang. Alat yang biasa dipakai disebut stadiometer.
Anak dengan keterbatasan fisik seperti kontraktur dan tidak
memungkinkan dilakukan pengukuran tinggi seperti di atas, terdapat cara
pengukuran alternatif. Indeks lain yang dapat dipercaya dan sahih untuk
mengukur tinggi badan ialah: rentang lengan (arm span), panjang lengan
atas (upper arm length), dan panjang 15 tungkai bawah (knee height).
Semua pengukuran di atas dilakukan sampai ketelitian 0,1 cm (Mediana,
2016).
2.4.3 Indeks Antopometri TB/U
Tinggi badan berhubungan dengan antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Indikator tinggi badan
memberikan gambaran ukuran dari pertumbuhan linier yang dicapai dan
dapat digunakan sebagai indeks status gizi atau kesehatan masa lampau.
21
Rendahnya tinggi badan menurut umur didefinisikan sebagai stunting
(Lestari, Kristiana, dan Paramita, 2018). Penilaian status gizi dengan
indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) memberikan indikasi
masalah gizi yang bersifat kronis karena akibat dari keadaan yang
berlangsung lama (Izwardy, 2017).
Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U:
Normal : Zscore -2 s/d 2 SD
Pendek : Zscore -2 s/d -3 SD
Sangat pendek : Zscore <-3,0
(WHO Child Growth Standards)
Gambar 2.2
Grafik Pertumbuhan WHO (TB/U)
22
(WHO Child Growth Standards)
Gambar 2.3
Grafik Pertumbuhan WHO (TB/U)
2.5 Higiene
Penyelenggaraan makanan yang menerapkan higiene dan sanitasi
sesuai ketentuan yang berlaku. Salah satu faktor yang mendukung prinsip
higiene dan sanitasi penyelenggaraan makanan adalah faktor kebersihan
penjamah makanan atau higiene perorangan (Miranti & Adi, 2016). Penyakit
yang ditularkan melalui makanan dapat menyebabkan penyakit yang ringan
dan berat bahkan berakibat kematian diantaranya diakibatkan oleh belum
baiknya penerapan higiene makanan dan sanitasi lingkungan (Yunus, et al.,
2015).
2.5.1 Higiene Perorangan
Higiene perorangan (personal hygiene) penjamah makanan
merupakan perilaku hidup bersih dan sehat penjamah makanan selama
penyelenggaraan makanan untuk mencegah terjadinya kontaminasi
pada makanan mulai dari persiapan bahan makanan sampai penyajian
makanan (Miranti & Adi, 2016)
Sasaran Higiene perorangan menurut Nurul Rakhmawati dan
Wisnu Hadi (2010) meliputi :
1. Rambut dipotong rapi. Untuk laki-laki tidak boleh berambut
panjang. Untuk perempuan apabila panjang diikat rapi. Agar tidak
menganggu pada saat bekerja, dan tidak jatuh pada makanan.
Hindari kebiasaan menyentuh rambut selama memasak.
23
2. Jangan menyentuh hidung atau memasukkan jari tangan kelubang
hidung selama bekerja di dapur.
3. Jangan bersin pada sembarang tempat lebih-lebih didekat makanan
atau peralatan pengolahan makanan.
4. Jangan merokok pada saat memasak.
5. Jangan mengusap-usap mulut atau bibir pada saat bekerja.
6. Bersihkan gigi dan mulut secara teratur untuk menjaga kesehatan
mulut dan gigi, dan mencegah bakteri berkembang biak, dan
menghilangkan bau mulut.
7. Jangan menyentuh telinga atau memasukkan jari ke telinga selama
bekerja di dapur. Bersihkan telinga secara rutin untuk menjaga
kesehatan telinga.
8. Kuku dipotong pendek, dan bersih.
9. Biasakan mencuci tangan dengan sabun sebelum memulai makan
2.5.2 Higiene makanan
Menurut Nurul Rakhmawati dan Wisnu Hadi (2010) higiene makanan
meliputi :
1. Menyortir bahan makanan sebelum disimpan
2. Membuang makanan yang basi atau tidak layak makan.
3. Menyimpan makanan dengan stainless container bertutup.
4. Menyimpan makanan secara terpisah-pisah agar tidak
terkontaminasi dengan bahan makanan lain.
5. Menyimpan makanan sesuai dengan prosedur dari masing-masing
makanan itu.
24
6. Memasak makanan dengan cepat, dan tepat, dan tidak terlalu lama
jaraknya saat diberikan kepada tamu
2.5.3 Higiene Peralatan
Dalam higiene peralatan ini, yang menjadi sasaran meliputi :
1. Peralatan yang digunakan dalam keadaan bersih
2. Kondisi fisik masih baik, tidak berkarat, tidak bocor
3. Simpan makanan menurut jenis dan ukurannya
4. Kembalikan peralatan pada tempatnya setelah digunakan
5. Simpan pealatan dalam keadaan bersih dan kering
2.6 Sanitasi Lingkungan
Sanitasi menurut WHO adalah suatu usaha yang mengawasi beberapa
faktor lingkungan fisik yang berpengaruh kepada manusia, terutama terhadap
hal-hal yang mempunyai efek merusak perkembangan fisik, kesehatan, dan
kelangsungan hidup. Sanitasi makanan adalah meliputi kegiatan usaha yang
ditunjukkan kepada kebersihan dan kemurnian makanan agar tidak
menimbulkan penyakit.
Menurut (Yulia, 2016) sanitasi makanan minuman yang baik perlu
ditunjang oleh kondisi lingkungan dan sarana sanitasi yang baik pula. Sarana
tersebut antara lain:
1.Tersedianya air bersih yang mencukupi, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas
2. Pembuangan air limbah yang tertata dengan baik agar tidak menjadi sumber
pencemar
25
3. Tempat pembuangan sampah yang terbuat dari bahan kedap air, mudah
dibersihkan, dan mempunyai tutup
4.Adanya kloset leher angsa atau plengsengan dengan tutup dan juga adanya
saluran pembuangan akhir tinja (septic tank)
2.7 Kualitas Air
Sebagai kebutuhan dasar dalam kehidupan, air selalu diperlukan
manusia untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Manusia menggunakan
air untuk keperluan sehari-hari seperti untuk minum, mandi, cuci, kakus, dan
sebagainya. Oleh sebab itu, air merupakan benda yang harus selalu ada bagi
manusia. Bagi manusia, air diperlukan untuk menunjang kehidupan, antara lain
dalam kondisi yang layak diminum tanpa mengganggu kesehatan (Gafur, et al.,
2017). Masih terdapat 20 provinsi yang di bawah persentase nasional. Sumber
air minum layak yang dimaksud adalah air minum yang terlindung meliputi air
ledeng (keran), keran umum, hydrant umum, terminal air, penampungan air
hujan (PAH) atau mata air dan sumur terlindung, sumur bor atau pompa, yang
jaraknya minimal 10 meter dari pembuangan kotoran, penampungan limbah,
dan pembuangan sampah. Tidak termasuk air kemasan, air dari penjual
keliling, air yang dijual melalui tangki, air sumur dan mata air tidak terlindung
(KEMENKES, 2018).
Sumber air bersih yang digunakan untuk minum dikategorikan menjadi
air terlindung (PDAM, air mineral dalam kemasan/air isi ulang) dan air tidak
terlindung (sungai, sumur, penampungan air hujan). Kualitas fisik air minum
dikategorikan menjadi dua yaitu memenuhi syarat (tidak keruh, tidak berwarna,
26
tidak berbau dan tidak berasa) dan tidak memenuhi syarat (keruh, berwarna,
berbau dan berasa) menurut penampakan fisik air minum (Sinatarya,2019).
2.7.1 Standar Kualitas Air Minum
Standart kualitas air minum sendiri diatur di3 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 492 / Menkes / Per / IV / 2010 yang berisi parameter
wajib air bisa dikonsumsi yang terdiri dari parameter fisika, mikrobiologi
dan kimia.
Tabel 2.7 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 / Menkes / Per / IV / 2010 Tanggal 19
April 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum
No Jenis Parameter Satuan Kadar maksimum
yang diperbolehkan
1 Parameter yang berhubungan
langsung dengan kesehatan
a. Parameter Mikrobiologi
1 ) E. Coli Jumlah per 100
ml sampel
0
2 ) Total Bakteri Koliform Jumlah per 100
ml sampel
0
b. Kimia an – organik
1 ) Arsen mg / l 0,01
2 ) Flourida mg / l 1,5
3 ) Total Kromium mg / l 0,05
4 ) Kadmium mg / l 0,003
5 ) Nitrit, ( sebagai NO2- ) mg / l 3
6 ) Nitrat, ( sebagai NO3- ) mg / l 50
7 ) Sianida mg / l 0,07
8 ) Selenium mg / l 0,1
2 Parameter yang tidak langsung
berhubungan dengan kesehatan
a. Parameter Fisik
1 ) Bau Tidak berbau
2 ) Warna TCU 15
3 ) Total Zat Padat Terlarut (TDS) mg / l 500
4 ) Kekeruhan NTU 5
5 ) Rasa Tidak berasa
6) Suhu 0C
Suhu udara ± 3
b. Parameter Kimiawi
1 ) Aluminium mg / l 0,2
2 ) Besi mg / l 0,3
27
3 ) Kesadahan mg / l 500
4 ) Khlorida mg / l 250
5 ) Mangan mg / l 0,4
6 ) Ph 6,5 – 8,5
2.7.2 Standart Kualitas Air Minum Secara Fisik Menurut WHO
Menurut ketentuan dari badan dunia (WHO) layak atau tidaknya
suatu air untuk kehidupan manusia ditentukan menurut persyaratan
kualitas secara fisik, secara kimia dan secara biologis yang akan
dijelaskan sebagai berikut. Persyaratan Fisik :
a. Kekeruhan Air
Kekeruhan merupakan efek optis yang terjadi apabila sinar
membentuk material yang tersuspensi di dalam air. Kekeruhan air
dapat disebabkan karena adanya bahan – bahan organik maupun
anorganik seperti lumpur dan buangan dari permukaan tertentu
yang akan mengakibatkan air sungai berwarna keruh. Kekeruhan
ini akan berakibat pada warna air yang akan menjadi lebih tua dari
semestinya.
b. Bau Air
Bau dari air dapat disebabkan karena benda atau unsur asing
yang masuk ke dalam air seperti bangkai binatang, bahan buangan,
ataupun disebabkan karena proses karena bakteri yang menguraikan
senyawa organik. Pada peristiwa penguraian senyawa organik yang
disebabkan karena bakteri tersebut menghasilkan gas – gas yang
berbau menyengat dan bahkan dapat bersifat sebagai racun.
28
c. Rasa Air
Rasa dapat dipengaruhi karena adanya organisme seperti
mikroalgae dan bakteri, adanya limbah padat dan limbah cair
seperti hasil dari pembuangan rumah tangga dan kemungkinan
adanya klor atau sisa – sisa bahan yang digunakan untuk disinfeksi.
5. Warna Air
Warna air hanya terdiri dari warna asli dan warna tampak.
Warna asli atau true color merupakan warna yang diakibatkan karena
adanya substansi yang terlarut. Sedangkan warna yang tampak atau
apprent color adalah mencakup warna substansi yang terlarut beserta
dengan zat yang tersuspensi pada air tersebut.
6. Temperatur atau suhu air
Kenaikan temperatur atau suhu yang dialami air, dapat
mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut (DO = Disvolved
Oxygen), kadar DO yang terlalu rendah akan mengakibatkan bau
yang tidak sedap karena adanya penguraian bahan – bahan organik
maupun anorganik di dalam air secara anaerobik atau yang biasa
disebut dengan degradasi