Upload
dhik-ka
View
12
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
re
Citation preview
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEP
2.1 Konsep Stroke
2.1.1 Definisi Stroke
Stroke atau bencana peredaran darah di otak, yang juga disebut sebagai
serangan otak (brain attack) merupakan penyebab cacat (disabilitas, invaliditas)
utama pada kelompok usia di atas 45 tahun (Lumbantobing, 2007).
Stroke adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan
aliran darah dalam batang otak yang dapat timbul secara mendadak dalam
beberapa detik atau secara cepat dalam beberapa jam dengan gejala atau tanda-
tanda sesuai dengan daerah yang terganggu (Sutrisno, 2007).
Stroke adalah kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang
disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada
siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008).
2.1.2 Klasifikasi Stroke
2.1.2.1 Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. 80% stroke
adalah stroke Iskemik. Stroke iskemik ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
2.1.2.1.1 Stroke Trombotik: proses terbentuknya thrombus yang membuat
penggumpalan.
2.1.2.1.2 Stroke Embolik: Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
2.1.2.1.3 Hipoperfusion Sistemik: Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian
tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.
2.1.2.2 Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah otak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada
penderita hipertensi.
Stroke hemoragik ada 2 jenis, yaitu:
2.1.2.2.1 Hemoragik Intraserebral: pendarahan yang terjadi didalam jaringan
otak. Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus
stroke, terdiri dari 80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan
serebelum. Gejala klinis :
1) Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas
dan dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah
yaitu nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarhan
retina, dan epistaksis.
2) Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese
dan dapat disertai kejang fokal / umum.
3) Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks
pergerakan bola mata menghilang dan deserebrasi
4) Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya
papiledema dan perdarahan subhialoid.
2.1.2.2.2 Hemoragik Subaraknoid: pendarahan yang terjadi pada ruang
subaraknoid (ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan
yang menutupi otak). Gejala klinis :
1) Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis,
berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit.
2) Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah
dan kejang.
3) Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa
menit sampai beberapa jam.
4) Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
5) Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik
perdarahan subarakhnoid.
6) Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau
hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan
pernafasan. (Muttaqin, 2008).
2.1.3 Penyebab Stroke
2.1.3.1 Thrombosis Cerebral.
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapa menimbulkan oedema dan kongesti
di sekitarnya.Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau
bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan
penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral.Tanda dan
gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam sete;ah thrombosis.
Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak :
2.1.3.1.1 Atherosklerosis
Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya
kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Manifestasi klinis
atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme
berikut :
1) Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah.
2) Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis.
3) Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan kepingan
thrombus (embolus)
4) Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan
terjadi perdarahan.
2.1.3.1.2 Hypercoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental , peningkatan viskositas /hematokrit meningkat dapat
melambatkan aliran darah serebral.
2.1.3.1.3 Arteritis ( radang pada arteri )
2.1.3.2 Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan
darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung
yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung
cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan dibawah ini
dapat menimbulkan emboli :
2.1.3.2.1 Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease.
(RHD)
2.1.3.2.2 Myokard infark
2.1.3.2.3 Fibrilasi, keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan
ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu
kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus kecil.
2.1.3.2.4 Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya
gumpalan-gumpalan pada endocardium.
2.1.3.3 Haemorhagi
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang
subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi
karena atherosklerosis dan hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak
menyebabkan perembesan darah kedalam parenkim otak yang dapat
mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang
berdekatan ,sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga
terjadi infark otak, oedema, dan mungkin herniasi otak. Penyebab perdarahan otak
yang paling lazim terjadi :
2.1.3.3.1 Aneurisma Berry,biasanya defek kongenital.
2.1.3.3.2 Aneurisma fusiformis dari atherosklerosis.
2.1.3.3.3 Aneurisma myocotik dari vaskulitis nekrose dan emboli septis.
Malformasi arteriovenous, terjadi hubungan persambungan pembuluh
darah arteri, sehingga darah arteri langsung masuk vena.
2.1.3.3.4 Ruptur arteriol serebral, akibat hipertensi yang menimbulkan
penebalan dan degenerasi pembuluh darah.
2.1.3.4 Hypoksia Umum
2.1.3.4.1 Hipertensi yang parah.
2.1.3.4.2 Cardiac Pulmonary Arrest
2.1.3.4.3 Cardiac output turun akibat aritmia
2.1.3.5 Hipoksia setempat
2.1.3.5.1 Spasme arteri serebral , yang disertai perdarahan subarachnoid.
2.1.3.5.2 Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain. (Muttaqin,
2008).
2.1.4 Patofisiologi
Hipertemsi kronik menyebakan pembuluh darah arteriole mengalmi
perubahan perubahan patologik pada dinding pembuluh darah tersebut
berupa hipohialinosis, nekrosis, fibrinoid, serta timbulnya Anuerisma tipe
bouchard. Kenaikan darah yang atau dalam jumlah yang secara mencolok dapat
menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama pada sore dan pagi hari. Jika
pembuluh darah tersebut pecah maka perdarahabn dapat berlanjut sampai dengan
6 jam dan jika volumenya berserakan merusak struktur anatomi otak
dan menimbulkan gejala klinik. Jika perdarahan yang terjadi kecil ukuranya maka
masa darah hanya dapat merusak dan menyela diatara selaput akson,
masa putih tanpa merusaknya, pada keadaaan ini absorbsi darah kan
diikuti dengan pulihnya fungsi
neurologi. Sedangkan pada perdarahn yang luas terjadi destruksi masa
otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat menyebabkan
herniasi otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang kelauar serta iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron di daerqah yang terkena
darahdan disekitarnya tertekan lagi, jumlah darah yang keluar menetukan
prognosis. Apabila volume darah lebih dari 60 cc maka resiko kematain sebasar
93 % , pada perdarahan lebar perdarahan serebral dengan volume antara 30-60 cc
diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 73 % tetapi volume 5 cc pada pons
sudah berakibat fatal. (Sutrisno, 2007).
2.1.5 Faktor Resiko
2.5.1.1 Yang tidak dapat diubah:
2.5.1.1.1 Usia
Semakin bertambah tua usia anda, semakin tinggi risikonya.
Setelah bersia 55 tahun, risikonya berlipat ganda setiap kurun waktu
sepuluh tahun. Dua pertiga dari semua serangan stroke terjadi pada orang
yang berusia diatas 65 tahun. Tetapi, itu tidak berarti bahwa stroke hanya
terjadi pada orang lanjut usia karena stroke dapat menyerang semua
kelompok umur.
2.5.1.1.2 Jenis kelamin
Pria lebih berisiko terkena stroke daripada wanita, tetapi penelitian
menyimpulkan bahwa justru lebih banyak wanita yang meninggal karena
stroke. Risiko stroke pria 1,25 lebih tinggi dari pada wanita, tetapi
serangan stroke pada pria terjadi di usia lebih muda sehingga tingkat
kelangsungan hidup juga lebih tinggi. Dengan perkataan lain, walau lebih
jarang terkena stroke, pada umunya wanita terserang pada usia lebih tua,
sehingga kemungkinan meninggal lebih besar.
2.5.1.1.3 Keturunan
Nampaknya, stroke terkait dengan keturunan. Faktor genetik yang
sangat berperan antar lain adalah tekanan darah tinggi, penyakit jantung,
diabetes dan cacat pada bentuk pembuluh darah. Gaya hidup dan pola
suatu keluarga juga dapat mendukung risiko stroke. Cacat pada bentuk
pembuluh darah mungkin merupakan faktor genetik yang paling
berpengaruh dibandingkan faktor risiko stroke yang lain.
2.5.1.1.4 Ras dan etnik
Ada perbedaan risiko stroke diantara kelompok ras dan etnik.
Timbulnya stroke yang menyebabkan kematian di antara orang Afro-
Amerika hampir dua kali lipat dibandingkan orang Amerika kulit putih.
Pada usia antara 45-55 tahun tingkat kematian yang disebabkan stroke
pada orang Afco-Amerika mencapai empat hingga lima kali lipat
dibandingkan pada orang Amerika kulit putih. Tetapi, setelah usia 65
tahun, tingkat kematian karena stroke pada orang Amerika kulit putih
meningkat dengan pesat dan menyamai tingkat kematian pada orang Afco-
Amerika juga cenderung terpengaruh penyakit genetik, seperti diabetes
dan anemia sel sabit yang lebih memungkinkan terjadinya serangan stroke.
Orang Amerika keturunan Spayol dan Indian mempunyai risiko
stroke dan tingkat kematian yang mirip dengan orang Amerika kulit putih.
Pada orang Asia-Amerika risiko stroke dan kematian juga mirip dengan
orang Amerika kulit putih, walau orang Asia di Jepang, Cina, dan Negara
lain di Timur Jauh memiliki risiko stroke dan tingkat kematian yang lebih
tinggi daripada orang Amerika kulit putih. Ini menandakan bahwa
lingkungan dan gaya hidup memegang peran penting dalam risiko stroke.
2.5.1.2 Yang dapat diubah:
2.1.5.2.1 Penyakit kardiovaskuler
Penyakit jantung yang termasuk risiko stroke adalah penyakit
jantung terutama penyakit yang disebut atrial fibrillation, yakni penyakit
jantung dengan denyut jantung yang tidak teratur di bilik kiri atas. Denyut
jantung di atrium kiri ini mencapai empat kali lebih cepat dibandingkan di
bagian-bagian lain jantung. Ini menyebabkan aliran darah menjadi tidak
teratur dan secara insidentil terjadi pembentukan gumpalan darah.
Gumpalan-gumpalan inilah yang kemudian dapat mencapai otak dan
menyebabkan stroke.
2.1.5.2.2 Hipertensi.
Hipertensi (tekanan darah tinggi) merupakan faktor resiko utama
yang menyebabkan pengerasan dan penyumbatan arteri. Penderita
hipertensi memiliki faktor resiko stroke empat hingga enam kali lipat
dibandingkan orang yang tanpa hipertensi dan sekitar 40-90% pasien
stroke ternyata menderita hipertensi sebelum terkena stroke. Hipertensi
dapat menyebabkan pecahnya atau menyempitnya pembuluh darah otak.
Jika pembuluh darah otak pecah maka terjadi perdarahan dan jika
menyempit akan menyebabkan penurunan aliran darah ke otak sehingga
sel otak dapat mengalami kematian.
2.1.5.2.3 Obesitas
Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar
kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah,
salah satunya pembuluh darah otak.
2.1.5.2.4 Kolesterol tinggi
Tingginya kadar kolesterol LDL dengan rendahnya HDL dapat
meningkatkan terjadinya aterosklerosis, penebalan dinding pembuluh
darah yang diikuti dengan penurunan elastisitas pembuluh darah,
akibatnya terjadi gangguan aliran darah ke otak.
2.1.5.2.5 Diabetes
Penderita diabetes memiliki risiko tiga kali lipat terkena stroke dan
mencapai tingkat tertinggi pada usia 50-60 tahun. Pada pasien diabetes
mellitus akan terjadi penebalan dinding pembuluh darah otak yang
berukuran besar. Hal ini jelas akan mengganggu aliran darah otak, yang
pada akhirnya menyebabkan infark sel otak.
2.1.5.2.6 Merokok
Merokok merupakan faktor risiko stroke yang sebenarnya paling
mudah diubah. Perokok berat menghadapi risiko lebih besar dibandingkan
perokok ringan. Merokok hampir melipat gandakan risiko stroke iskemik,
terlepas dari faktor risiko yang lain, dan dapat juga meningkatkan risiko
subaraknoid hemoragik hingga 3,5%. Merokok adalah penyebab nyata
kejadian stroke, yang lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda
ketimbang usia tengah baya atau lebih tua. Sesungguhnya, risiko stroke
menurun dengan seketika setelah berhenti merokok dan terlihat jelas
dalam periode 2-4 tahun setelah berhenti merokok. Perlu diketahui bahwa
merokok memicu produksi fibrinogen (faktor penggumpal darah) lebih
banyak sehingga merangsang timbulnya aterosklerosis.
Pada pasien perokok, kerusakan yang diakibatkan stroke jauh lebih
parah karena dinding bagian dalam (endothelial) pada sistem pembuluh
darah otak (serebrovaskular) biasanya sudah menjadi lemah. Ini
menyebabkan kerusakan yang lebih besar lagi pada otak sebagai akibat
bila terjadi stroke tahap kedua.
2.1.5.2.7 Penyalahgunaan obat
Penggunaan obat-obatan terlarang seperti kokain dan senyawa
olahannya dapat menyebabkan stroke, disamping memicu faktor risiko
yang lain seperti hipertensi, penyakit jantung dan penyakit pembuluh
darah. Kokain juga menyebabkan gangguan denyut jantung (aritmia) atau
denyut jantung lebih cepat. Masing-masing menyebabkan pembentukan
gumpalan darah.
2.1.5.2.8 Konsumsi alkohol
Secara umum, peningkatan konsumsi alkohol meningkatkan
tekanan darah sehingga memperbesar risiko stroke, baik yang infark
maupun hemoragik. Konsumsi alkohol secara berlebihan dapat
mempengaruhi jumlah platelet sehingga mempengaruhi kekentalan dan
penggumpalan darah, yang menjurus ke perdarahan di otak serta
memperbesar risiko stroke infark.
2.1.5.2.9 Kurang aktifitas fisik
Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik
termasuk kelenturan pembuluh darah (pembuluh darah menjadi kaku),
salah satunya pembuluh darah otak.
2.1.6 Gejala Stroke
Menurut (Muttaqin, 2008) gejala stroke antara lain:
2.1.6.1 Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan atau tungkai atau satu sisi tubuh.
2.1.6.2 Kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh.
2.1.6.3 Hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran
2.1.6.4 Penglihatan ganda
2.1.6.5 Pusing
2.1.6.6 Bicara tidak jelas (Pelo)
2.1.6.7 Sulit memikirkan atau mengucapkan dan kata-kata yang tepat
2.1.6.8 Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh
2.1.6.9 Pergerakan yang tidak biasakan
2.1.6.10 Hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih
2.1.6.11 Ketidakseimbangan atau terjatuh
2.1.6.12 Pingsan
2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Juwono, 2003) pemeriksaan diagnostik stroke antara lain:
2.1.7.1 Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma
atau malformasi vaskuler.
2.1.7.2 Lumbal Pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada
intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses
inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna
likuor masih normal sewaktu hari - hari pertama.
2.1.7.3 CT Scan ( Computerized Tomography Scanner )
Pemindahan ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya
secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal,
kadang pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
2.1.7.4 MRI ( Magnetic Resonance Imaging )
Menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi dan besar /
luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan
area yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
2.1.7.5 Foto thorax
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran
ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada
penderita.
2.1.7.6 Pemeriksaan Laboratorium
2.1.7.6.1 Pemeriksaan darah lengkap
Darah yang diperiksa antara lain jumlah sel darah merah, sel darah
putih, leukosit, trombosit, dan lain - lain. Jumlah sel di hitung untuk
mengetahui apakah pasien juga menderita anemia sejenis penyakit
kekurangan zat besi dalam darah. Sedangkan leukosit untuk melihat
sistem imun pasien.
2.1.7.6.2 Tes darah koagulasi
Tes ini terdiri dari empat pemeriksaan yaitu protrombin time, partial
tromboplastin time, international normalized ratio, dan agregrasi
trombosit. Keempat tes ini gunanya untuk mengukur seberapa cepat
darah pasien menggumpal.
2.1.7.6.3 Tes kimia darah
Cek darah ini digunakan untuk melihat kandungan kadar gula darah,
kolesterol, asam urat.
2.1.8 Penatalaksanaan
Menurut (Weiner, 2003) penatalaksanaan stroke antara lain:
2.1.8.1 Penatalaksanaan di rumah sakit
2.1.8.1.1 Posisi tubuh dalam keadaan berbaring dengan posisi miring (lateral
decubitus) dan diubah-ubah setiap 2 jam. Apabila ada peningkatan
Tekanan Intrakranial (TIK), kepala penderita sebaiknya dalam posisi
lebih tinggi 300 dari badan selama 24 jam, dan diubah setelah lewat 24
jam pertama.
2.1.8.1.2 Hindari pemberian minuman atau makanan peroral diruang gawat
darurat sebelum dilakukan penilaian pasti mengenai fungsi menelan.
Bila kesadaran pasien baik (composmentis), pasien dapat didudukkan
dengan penyangga, kepala agak ditekuk dan miring ke sisi yang sehat,
kemudian diberi minum 1sendok teh air putih dan bila tersedak maka
dilakukan penyedotan. Bila berhasil, dicoba untuk meminum langsung
dari gelas sedikit demi sedikit.
2.1.8.1.3 Hindari pemasangan kateter menetap. Bila kandung kemih penuh, perlu
dikosongkan dengan kateter nelaton secara intermiten.
2.1.8.1.4 Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan
lendir dengan sering dan oksigenasi, jika perlu lakukan trakeostomi,
membantu pernafasan.
2.1.8.1.5 Mengendalikan tekanan darah berdasarkan kondisi klien, termasuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
2.1.8.1.6 Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
2.1.8.2 Terapi stroke hemoragik pada serangan akut
2.1.8.2.1 Saran operasi diikuti dengan pemeriksaan.
2.1.8.2.2 Masukkan klien ke unit perawatan saraf untuk dirawat dibagian bedah
saraf.
2.1.8.2.3 Penatalaksanaan umum di bagian saraf.
2.1.8.2.4 Penatalaksanaan khusus pada kasus:
1) Subarachnoid hemorrhage dan intraventricular hemorrhage
2) Kombinasi antara parenchymatous dan subarachnoid hemorrhage.
3) Parenchymatous hemorrhage.
2.1.8.2.5 Neurologis
1) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya.
2) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak.
2.1.8.2.6 Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah
1) Antifibrinolitik untuk meningkatkan mikrosirkulasi dosis kecil.
(1) Aminocaproic acid 100-150 ml% dalam cairan isotonik 2 kali selama
3-5 hari, kemudian satu kali selama 1-3 hari.
(2) Antagonis untuk pencegahan permanen: Gordox dosis pertama
300.000 IU kemudian 100.000 IU 4x per hari IV: Contrical dosis
pertama 30.000 ATU, kemudian 10.000 ATU x 2 per hari selama 5-10
hari.
2) Natri Etamsylate (Dynone) 250 mg x 4 hari IV sampai 10 hari.
3) Kalsium mengandung obat: Rutinium, Vicasolum, Ascorbicum.
4) Profilaksis Vasospasme
(1) Calcium channel antagonist (Nimotop 50 ml [10 mg per hari IV
diberikan 2 mg per jam selama 10-14 hari]).
(2) Awasi peningkatan tekanan darah sistolik klien 5-20 mg, koreksi
gangguan irama jantung, terapi penyakit jantung komorbid.
(3) Profilaksis hipostatik pneumonia, emboli arteri pulmonal, luka tekan,
cairan purulen pada luka kornea, kontraksi otot dini. Lakukan
perawatan respirasi, jantung, penatalaksanaan cairan dan elektrolit,
kontrol terhadap tekanan edema jaringan otak dan peningkatan TIK,
perawatan klien secara umum, dan penatalaksanaan pencegahan
komplikasi.
(4) Terapi infus, pemantauan (monitoring )AGD, tromboembolisme arteri
pulmonal, keseimbangan asam basa, osmolaritas darah dan urine,
pemeriksaan biokimia darah.
(5) Berikan dexason 8+4+4+4 mg IV (pada kasus tanpa DM, perdarahan
internal, hipertensi maligna) atau osmotik diuretik (2 hari sekali
Rheugloman (manitol) 15% 200 ml IV diikuti oleh 20 mg Lasix
minimal 10 - 15 hari kemudian).
(6) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian jaringan
otak.
(7) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya.
2.1.8.3 Penanganan dan perawatan stroke di rumah
2.1.8.3.1 Berobat secara teratur ke dokter.
2.1.8.3.2 Jangan menghentikan atau mengubah dan menambah dosis obat tanpa
petunjuk dokter.
2.1.8.3.3 Minta bantuan petugas kesehatan atau fisioterapi untuk memulihkan
kondisi tubuh yang lemah atau lumpuh.
2.1.8.3.4 Perbaiki kondisi fisik dengan latihan teratur di rumah.
2.1.8.3.5 Bantu kebutuhan klien.
2.1.8.3.6 Motivasi klien agar tetap bersemangat dalam latihan fisik.
2.1.8.3.7 Periksa tekanan darah secara teratur.
2.1.8.3.8 Segera bawa klien ke dokter atau rumah sakit jika timbul tanda dan
gejala stroke.
2.2 Tinjauan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data
untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.
Adapun pengkajian yang dilakukan pada klien dengan stroke hemoragik
adalah sebagai berikut:
2.2.1.1 Identitas Klien dan Keluarga
Identitas klien mencakup inisial klien, umur (kebanyakan terjadi pada usia
tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, agama, suku bangsa, status, tanggal
MRS/ pukul, tanggal pengkajian/ pukul, nomor register, diagnosa medis,, inisial
informan, hubungan keluarga, umur, alamat, pekerjaan. (Mutaqin, 2008)
2.2.1.2 Riwayat Keperawatan
2.2.1.2.1 Keluhan Utama
Keluhan utama pada klien dengan gangguan sistem persarafan biasanya
akan terlihat bila sudah terjadi disfungsi neurologis. Keluhan yang sering
didapatkan meliputi nyeri kepala yang berat atau hebat yang biasanya tiba-tiba,
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi,
nyeri otot, kaku kuduk, sakit punggung, tingkat kesadaran menurun (GCS <15),
akral dingin, dan ekspresi rasa takut (Muttaqin, 2008)
2.2.1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan serangkaian wawancara yang
dilakukan perawat untuk menggali permasalahan klien dari timbulnya keluhan
utama pada gangguan system persarafan sampai pada saat pengkajian. Disini
diperlukan keahlian, pengetahuan, dan pengalaman dari perawat dalam menyusun
setiap pertanyaan yang sistematis agar dapat mendukung bagaimana keluhan
utama menjadi muncul. Contohnya adalah jika keluhan utama nyeri maka perlu
diuraikan bagaimana proses nyeri tersebut terjadi, hal yang ditanyakan pada
riwayat penyakit sekarang meliputi pengkajian nyeri secara PQRST. Apabila klien
sudah lama dirawat di rumah sakit atau pindahan dari ruangan lain maka penting
ditanyakan apakah keluhan utama masih sama seperti pada saat masuk rumah
sakit, kemudian diuraikan bagaimana tindakan dan pengobatan yang sudah
didapat klien.
Pada gangguan neurologis, riwayat penyakit sekarang mungkin didapatkan
meliputi adanya riwayat trauma, riwayat jatuh, keluhan mendadak lumpuh pada
saat klien sedang melakukan aktivitas, keluhan pada gastrointestinal seperti mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separuh
badan atau gangguan fungsi otak yang lain, gelisah, letargi, lelah apatis,
perubahan pupil, pemakaian obat-obatan (sedative, antipsikotik, perangsang
saraf), dan lain-lain. (Mutaqin, 2008)
2.2.1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian riwayat penyakit dahulu dalam menggali permasalahan yang
mendukung masalah saat ini pada klien dengan defisit neurologi adalah sangat
penting. Pertanyaan sebaiknya diarahkan pada penyakit-penyakit yang dialami
sebelumnya yang kemungkinan mempunyai hubungan dengan masalah yang
dialami klien sekarang, misalnya adanya riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, aspirin, vasodilator, obat-obat
aditif, kegemukan. (Muttaqin, 2008)
2.2.1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Anamnesis akan adanya riwayat keluarga yang menderita hipertensi dan
diabetes mellitus yang memberikan hubungan dengan beberapa masalah disfungsi
neurologis seperti masalah stroke hemoragik. (Muttaqin, 2008)
2.2.1.2.5 Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Kesehatan
Apakah klien dan keluarga mengerti akan sakit yang diderita oleh klien,
tindakan apa yang keluarga ketahui jika ada salah satu anggota keluarga ada yang
sakit, kebiasaan klien sehari-hari (riwayat perokok, pengguna alkohol, pengguna
obat kontrasepsi oral).
2) Pola Nutrisi dan Metabolik
Pada klien dengan stroke hemoragik akan mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan makan dan minum, hal ini dapat diketahuai bahwa klien
kesulitan menelan dengan gejala nafsu makan hilang, mual muntah, kehilangan
sensasi pada lidah, pipi dan tenggorokan.
3) Pola Eliminasi
Pada klien dengan stroke hemoragik akan mengalami perubahan dalam
kebutuhan eliminasinya, baik kebutuhan bak dan bab, biasanya terjadi
inkontinensia urine dan pada pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Pada klien dengan stroke hemoragik biasanya akan mengalami kesukaran
untuk istirahat karena kejang otot atau nyeri otot.
5) Pola Aktivitas dan Istirahat
Pada klien dengan stroke hemoragik akan mengalami kesulitan dalam
melakukan aktifitas karena kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis
(hemiplegi), merasa mudah lemah, susah untuk istirahat.
6) Pola Sensori dan Pengetahuan
Pada klien dengan stroke hemoragik akan mengalami gangguan pada
system neurosensorinya, dangan tanda-tanda seperti kelemahan/paralisis, afasia,
kehilangan kemampuan untuk mengenali rangsangan visual, pendengaran,
kekakuan muka, juga ditemukan adanya gangguan penurunan kesadaran seperti
koma, dan bisa diketahui dengan gejala pusing, sakit kepala,
kesemutan/kelemahan, penglihatan menurun, penglihatan ganda, gangguan rasa
pengecapan dan penciuman.
7) Pola Hubungan Interpersonal dan Peran
Pada klien dengan stroke hemoragik biasanya akan mengalami kesulitan
dalam melakukan sosial dengan lingkungan sekitarnya. Adanya perubahan
hubungan dan peran karena klien mengalami kerusakan untuk berkomunikasi
akibat gangguan bicara.
8) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Pada klien dengan stroke hemoragik akan merasakan suatu perubahan
keadaan emosional, klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah
dan tidak kooperatif.
9) Pola Reproduksi dan Seksual
Pada klien dengan gangguan stroke hemoragik biasanya terjadi penurunan
gairah seksual akibat dari beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang,
anti hipertensi, antagonis histamine.
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien dengan stroke hemoragik biasanya mengalami kesulitan untuk
memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan
berkomunikasi.
11) Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Pada klien dengan stroke hemoragik biasanya jarang melakukan ibadah
karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan atau kelumpuhan pada tubuh.
(Muttaqin, 2008)
2.2.1.3 Pemeriksaan Fisik
2.2.1.3.1 Keadaan Umum
Mengalami penurunan kesadaran, gizi: tampak kurus / sedang / gemuk,
tampak sakit: ringan / sedang / berat, posisi klien, suara bicara: kadang mengalami
gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang bisa bicara / afasia.
2.2.1.3.2 Tanda-tanda Vital
Tekanan darah meningkat, nadi bervariasi
2.2.1.3.3 Pemeriksaan Fisik
Rambut: keadaan bersih / kotor, warna hitam / merah / putih (beruban),
penyebaran rambut rata / tidak, bau / tidak.
Wajah: tampak simetris / tidak (mencong kesalah satu sisi), tampak rileks /
menyeringai / ketakutan / pucat.
Mata: pupil isokor / anisokor, konjungtiva normal / anemis, sklera
normal / ikterus, tampak cowong / tidak.
Hidung: lubang hidung simetris / tidak, sekret ada / tidak, ada pernafasan
cuping hidung / tidak, terpasang alat bantu pernafasan / tidak (O2).
Mulut: tampak simetris / mencong kesalah satu sisi, mukosa bibir lembab /
kering, lidah bersih / kotor.
Leher: ada pembesaran kelenjar tyroid / tidak, ada pembesaran vena
jugularis / tidak, ada benjolan / tidak.
Telinga: bentuk simetris / tidak, ada serumen / tidak.
2.2.1.3.4 Pemeriksaan Integumen
Kulit: jika klien kekurangan oksigen, kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan jelek. Disamping itu perlu juga dikaji
tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol, akral hangat / dingin.
Kuku: perlu dilihat adanya clubbing finger, sianosis
2.2.1.3.5 Pemeriksaan Thorax / paru
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
nafas, penggunaan otot bantu pernafasan. Auskultasi bunyi nafas tambahan seperti
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret dan kemampuan batuk
yang menurun yang sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat
kesadaran koma.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian inspeksi
pernafasannya tidak ada kelainan. Palpasi thoraks didapatkan taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi nafas tambahan.
2.2.1.3.6 Pemeriksaan Jantung
Biasanya normal, kecuali klien dengan penyakit jantung terutama penyakit
yang disebut atrial fibrillation, akan terdengan denyut jantung yang tidak teratur
di bilik kiri atas.
2.2.1.3.7 Pemeriksaan Abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bedrest yang lama, dan
kadang terdapat kembung.
2.2.1.3.8 Pemeriksaan Kelamin dan Daerah Sekitar
Klien dengan stroke mungkin mengalami inkontinensia urine sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan tekhnik
steril. Inkontinansia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis
luas.
2.2.1.3.9 Pemeriksaan Ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan / hemiparase pada salah satu sisi tubuh.
2.2.1.3.10 Pemeriksaan Neurologi
1) Pemeriksaan kesadaran
GCS: nilai maksimum untuk orang sadar dan terjaga adalah 15, nilai
minimum 3 menandakan klien tidak memberikan respon. Jika nilai keseluruhan 8
atau dibawahnya, klien dinyatakan koma.
2) Pemeriksaan saraf
Saraf cranial I atau saraf olfaktorius. Biasanya pada klien stroke tidak ada
kelainan pada fungsi penciuman.
Saraf cranial II atau saraf optikus. Gangguan hubungan visual-spasial
(mendapat hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada
klien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
Saraf cranial III atau saraf okulomotorius. Jika akibat stroke
mengakibatkan paralisis, pada satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan
kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
Saraf cranial IV atau saraf trochlearis. Kelumpuhan nervus ini jarang
dijumpai. Bilapun ada kelumpuhan dapat menyebabkan terjadinya diplopia
(melihat ganda) bila mata dilirikkan ke arah ini. Penderitanya juga mengalami
kesukaran bila naik atau turun tangga dan membaca buku karena harus melirik ke
arah bawah.
Saraf cranial V atau saraf trigeminus. Pada beberapa keadaan stroke
menyebabkan paralisis saraf trigeminus, penurunan kemampuan koordinasi
gerakan mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi lateral, serta
kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan eksternus.
Saraf cranial VI atau saraf abdusen. Kelumpuhan nervus ini jarang terjadi,
bilapun ada kelumpuhan, pasien akan terganggu jika melirik ke arah luar (lateral,
temporal).
Saraf cranial VII atau saraf fasialis. Persepsi pengecapan dalam batas
normal (bisa membedakan rasa manis dan asin), wajah asimetris, otot wajah
tertarik ke bagian sisi yang sehat.
Saraf cranial VIII atau saraf akustikus. Tidak ditemukan adanya tuli
konduktif tuli persepsi.
Saraf cranial IX atau saraf glosofaringeus. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk membedakan rasa pahit.
Saraf cranial X atau saraf vagus. Terjadi kelumpuhan dalam kemampuan
menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut.
Saraf cranial XI atau saraf aksesoris. Tidak ada atropi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf cranial XII atau saraf hipoglosus. Lidah simetriss, terdapat deviasi
pada satu sisi dan fasikulasi.
2.2.1.4 Pemeriksaan Diagnostik
2.2.1.4.1 Pemeriksaan Radiologi
1) Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma
atau malformasi vaskuler.
2) Lumbal Pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada
intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses
inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna
likuor masih normal sewaktu hari - hari pertama.
3) CT Scan
Pemindahan ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya
secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal,
kadang pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
4) MRI
Menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi dan besar /
luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan
area yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
5) Foto thorax
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran
ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada
penderita.
2.2.1.4.2 Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap
Darah yang diperiksa antara lain jumlah sel darah merah, sel darah putih,
leukosit, trombosit, dan lain - lain. Jumlah sel di hitung untuk mengetahui
apakah pasien juga menderita anemia sejenis penyakit kekurangan zat besi
dalam darah. Sedangkan leukosit untuk melihat sistem imun pasien.
2) Tes darah koagulasi
Tes ini terdiri dari empat pemeriksaan yaitu protrombin time, partial
tromboplastin time, international normalized ratio, dan agregrasi
trombosit. Keempat tes ini gunanya untuk mengukur seberapa cepat darah
pasien menggumpal.
3) Tes kimia darah
Cek darah ini digunakan untuk melihat kandungan kadar gula darah,
kolesterol, asam urat.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon individu,
keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau potensi sebagai
dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan
sesuai kewenangan perawat.
Adapun diagnosa keperawatan pada klien dengan stroke infark sebagai
berikut:
2.2.2.1 Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan infark jaringan otak,
oklusi otak, vasospasme, dan edema otak serebral yang ditandai dengan: keluarga
mengatakan klien tidak sadar, keadaan umum lemah, tampak pucat, ada
perubahan tingkat kesadaran, gangguan / kehilangan memori, mual, batuk,
perubahan reflek, perubahan kekuatan otot, kejang, pergerakan tidak terkontrol,
perubahan turgor kulit, demam, kesulitan menelan, perubahan respon motorik,
paralisis, ketidaknormalan dalam berbicara, perubahan tanda-tanda vital.
2.2.2.2 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekresi
secret dan ketidakmampuan batuk efektif sekunder akibat cedera
serbrovaskuler yang ditandai dengan adanya sekret pada saluran pernapasan,
suaran napas ronkhi, adanya suara nafas tambahan, klien tidak sadar, keadaan
umum lemah, tampak batuk tidak efektif, frekuensi pernafasan, irama dan
kedalaman pernafasan abnormal, sianosis, gelisah.
2.2.2.3 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/ hemiplagia,
kerusakan neuromuskular pada ekstremitas yang ditandai dengan ketidak
mampuan bergerak , keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan/kontrol otot,
aktifitas dibantu total ( total care ).
2.2.2.4 Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan penekanan pada
saraf sensori, penurunan penglihatan yang ditandai dengan disorientasi terhadap
waktu tempat dan orang, konsentrasi buruk berubahan proses berpikir yang kacau
2.2.2.5 Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia
sekunder akibat cedera serebrovaskuler yang ditandai dengan keadaan umum
lemah, terjadi penurunan BB 20% atau lebih dari berat badan ideal, sulit
membuka mulut, mukosa bibir kering, hasil Hb abnormal, konjungtiva anemis,
sulit menelan, kelemahan otot, mual dan muntah, nafsu makan turun.
2.2.2.6 Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan
pada area bicara di hemisfer otak yang ditandai dengan kerusakan artikulasi, tidak
dapat berbicara, disartria, afasia, kata-kata tidak dimengerti, tidak mampu
memahami bahasa lisan dan tulisan, bicara pelo, bicara gagap, keinginan menolak
untuk berbicara.
2.2.2.7 Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) berhubungan dengan lesi
pada neuron motor atas yang ditandai dengan ketidakmampuan dalam eliminasi
urine, klien tidak sadar, atau tidak dapat mengungkapkan keinginan untuk
berkemih, keadaan umum lemah, inkontinensia urine, distensi kandung kemih.
2.2.2.8 Gangguan eliminasi alvi(kontispasi) berhubungan dengan defek stimulasi
saraf, otot dasar pelviks lemah, intake cairan yang tidak adekuat dan imobilitas
sekunder akibat stroke yang ditandai dengan pasien belum BAB selama 4
hari/konstipasi, teraba distensi abdomen, keadaan umum lemah, tidak dapat
defekasi secara spontan, konsistensi feses keras, teraba masa di abdomen , bising
usus turun, bunyi pekak pada perkusi abdomen.
2.2.2.9 Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan bedrest total yang
ditandai dengan: klien atau keluarga mengatakan tidak sadar, keadaan umum
lemah, klien bed rest, terdapat lesi, eritema, edema, kekeringan membran mukosa,
lidah kotor, pruritus.
2.2.2.10 Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler,
penurunan kekuatan otot dan penurunan kesadaran yang ditandai dengan klien
atau keluarga mengatakan lumpuh sebagian atau seluruhnya, keadaan umum
lemah, klien bed rest, penurunan tingkat kesadaran, kerusakan anggota gerak,
perubahan tanda-tanda vital. (Sutrisno, 2007)
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah,
mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa
keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi.
Adapun intervensi yang dilakukan pada klien dengan stroke hemoragik
yang sesuai dengan diagnosa yang muncul adalah sebagai berikut:
2.2.3.1 Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan infark jaringan otak,
oklusi otak, vasospasme, dan edema otak serebral yang ditandai dengan: keluarga
mengatakan klien tidak sadar, keadaan umum lemah, tampak pucat, ada
perubahan tingkat kesadaran, gangguan / kehilangan memori, mual, batuk,
perubahan reflek, perubahan kekuatan otot, kejang, pergerakan tidak terkontrol,
perubahan turgor kulit, demam, kesulitan menelan, perubahan respon motorik,
paralisis, ketidaknormalan dalam berbicara, perubahan tanda-tanda vital.
Tujuan jangka pendek: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien
merasa tenang, dan kesadaran berangsur-angsur normal.
Tujuan jangka panjang: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan
perfusi jaringan kembali efektif
Kriteria hasil:
1) Klien tidak gelisah
2) Tingkat kesadaran membaik (GCS meningkat)
3) Pupil isokor, reflek cahaya (+)
4) Klien dapat berkomunikasi dengan jelas
5) Klien menunjukkan fungsi otonom yang utuh
6) TTV stabil
Intervensi:
1) Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab-sebab
peningkatan TIK dan akibatnya
R/ Keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan
2) Baringkan klien ( bedrest ) dengan posisi terlentang tanpa bantal
R/ Perubahan pada TIK dapat menyebabkan herniasi otak
3) Observasi dan catat tanda-tanda vital
R/ Variasi mungkin terjadi oleh karena tekanan serebral pada daerah
vasomotor otak. Hipertensi dapat menjadi faktor pencetus.
4) Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 derajat dengan letak jantung (beri
bantal tipis) atau head elevasi 30°
R/ Mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan drainage vena dan
memperbaiki sirkulasi serebral
5) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
R/ Batuk dan mengejan dapat meningkatkan TIK dan potensial terjadi
perdarahan
6) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung
R/ Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan
TIK
7) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian terapi cairan intravena dan
obat-obatan seperti warfarin (Coumadin), heparin, citicolin.
R/ Dapat digunakan untuk meningkatkan / memperbaiki aliran darah
serebral dan selanjutnya dapat mencegah pembekuan saat embolus
merupakan factor masalahnya.
8) Monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen
R/ Adanya kemungkinan alkalosis disertai pelepasan oksigen pada tingkat
sel dapat menyebabkan terjadinya iskemik serebral
2.2.3.2 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekresi
secret dan ketidakmampuan batuk efektif sekunder akibat cedera
serbrovaskuler yang ditandai dengan adanya sekret pada saluran pernapasan,
suaran napas ronkhi, adanya suara nafas tambahan, klien tidak sadar, keadaan
umum lemah, tampak batuk tidak efektif, frekuensi pernafasan, irama dan
kedalaman pernafasan abnormal, sianosis, gelisah.
Tujuan jangka pendek: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien
mampu meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan nafas agar tetap
bersih, bunyi nafas normal dan klien dapat batuk.
Tujuan jangka panjang: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan jalan
nafas kembali efektif.
Kriteria hasil:
1) Mempunyai jalan nafas yang paten
2) Pada pemeriksaan auskultasi, bunyi nafas terdengar bersih
3) Mempunyai irama dan frekuensi pernafasan dalam rentang normal
4) Menunjukkan batuk yang efektif
Intervensi:
1) Jelaskan kepada klien mengapa terdapat penumpukan secret di saluran
pernapasan dan kegunaan batuk efekif .
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
2) Beri minum hangat jika keadaan memungkinkan
R/ Membantu pengenceran secret sehingga mempermudah pemngeluaran
3) Ajarkan pasien batuk efektif.
R/ Batuk yang efektif dapat mengeluarkan secret dari saluran pernapasan.
4) Lakukan pengisapan lender, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau
lebih
R/ Pengisapan lender dilakukan untuk mengurangi adanya penumpukkan
secret dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya
hipoksia.
5) Kolaborasi dalam pemberian bronkodilator
R/ Mengatur ventilasi dan melepaskan secret karena relaksasi notot
brokosposme.
6) Observasi keadaan umum TTV
R/ Mengetahui keberhasilan tindakan
2.2.3.3 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/ hemiplagia,
kerusakan neuromuskular pada ekstremitas yang ditandai dengan ketidak
mampuan bergerak , keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan/kontrol otot,
aktifitas dibantu total ( total care).
Tujuan jangka panjang: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien
dapat melakukan aktifitas seperti biasanya.
Kriteria hasil:
1) Klien dapat menggerakkan bagian tubuh yang mengalami kelemahan
2) Klien dapat mengubah sendiri posisi tubuh secara mandiri dengan atau
tanpa alat bantu
3) Kekuatan otot
Intervensi:
1) Jelaskan pada pasien akibat dari terjadinya imobilitas fisik
R/ Imobilitas fisik akan menyebabkan otot-otot menjadi kaku sehingga
penting diberikan latihan gerak.
2) Ubah posisi pasien tiap 2 jam
R/ Menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah
yang jelek pada daerah yang tertekan
3) Ajarkan pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstrimitas yang
sakit
R/ Gerakan aktif memberikan dan memperbaiki massa, tonus dan kekuatan
otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
4) Anjurkan pasien melakukan gerak pasif pada ekstrimitas yang tidak sakit
R/ Mencegah otot volunter kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak
dilatih untuk digerakkan
5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien
5 5
5 5
R/ Peningkatan kemampuan daam mobilisasi ekstremitas dapat
ditingkatkan dengan latihan fisik dari tim fisioterapi
6) Observasi kemampuan mobilitas pasien
R/ Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan gerak pasien setelah di
lakukan latihan dan untuk menentukan intervensi selanjutnya.
2.2.3.4 Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan penekanan pada
saraf sensori, penurunan penglihatan yang ditandai dengan disorientasi terhadap
waktu tempat dan orang, konsentrasi buruk berubahan proses berpikir yang kacau.
Tujuan jangka pendek: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan
orientasi dan konsentrasi klien membaik
Tujuan jangka panjang: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan tidak
terjadi gangguan sensori persepsi
Kriteria hasil:
1) Adanya perubahan kemampuan yang nyata
2) Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat dan orang
Intervensi:
1) Tentukan kondisi patologis klien
R/ Untuk mengetahui tipe dan lokasi yang mengalami gangguan
2) Kaji gangguan penglihatan terhadap perubahan persepsi
R/ Untuk mempelajari kendala yang berhubungan dengan disorientasi
klien
3) Latih klien untuk melihat suatu objek dengan telaten dan seksama
R/ Agar klien tidak kebinggungan dan lebih konsentrasi
4) Observasi respon prilaku klien seperti menanggis, bahagia, bermusuhan,
halusinasi setiap saat
R/ Untuk mengetahui keadaan emosi klien.
2.2.3.5 Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia
sekunder akibat cedera serebrovaskuler yang ditandai dengan keadaan umum
lemah, terjadi penurunan BB 20% atau lebih dari berat badan ideal, sulit
membuka mulut, mukosa bibir kering, hasil Hb abnormal, konjungtiva anemis,
sulit menelan, kelemahan otot, mual dan muntah, nafsu makan turun.
Tujuan jangka pendek: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan berat
badan klien meningkat dan tidak terjadi mual muntah.
Tujuan jangka panjang: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan
nutrisi klien terpenuhi
Kriteria hasil:
1) Tidak terjadi penurunan berat badan
2) Tidak terjadi mual dan muntah
3) Nafsu makan pasien bertambah
Intervensi:
1) Jelaskan pentingnya nutrisi bagi klien
R/ Nutrisi yang adekuat membantu meningkatkan kekuatan otot
2) Kaji kemampuan klien dalam mengunyah dan menelan
R/ Untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan kepada klien
3) Letakkan kepala lebih tinggi pada waktu selama & sesudah makan
R/ Memudahkan klien untuk menelan
4) Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual
dengan menekan ringan di atas bibir / bawah dagu jika dibutuhkan
R/ Membantu dalam melatih kembali sensoro dan meningkatkan kontrol
muskuler
5) Kolaborasi dalam pemberian cairan parenteral atau memberi makanan
melalui NGT
R/ Membantu memberi cairan dan makanan pengganti jika klien tidak
mampu memasukan secara peroral.
2.2.3.6 Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan
pada area bicara di hemisfer otak yang ditandai dengan kerusakan artikulasi, tidak
dapat berbicara, disartria, afasia, kata-kata tidak dimengerti, tidak mampu
memahami bahasa lisan dan tulisan, bicara pelo, bicara gagap, keinginan menolak
untuk berbicara.
Tujuan jangka pendek: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien
dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu
mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat.
Tujuan jangka panjang: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien
dapat berkomunikasi dengan baik.
Kriteria hasil:
1) Terciptanya komunikasi dimana kebutuhan klien dapat terpenuhi
2) Klien mampu merespon setiap berkomunikai secara verbal maupun isyarat
Intervensi:
1) Kaji tipe disfungsi, misalnya klien tidak mengerti tentang kata-kata atau
masalah berbicara atau tidak mengerti bahasa sendiri
R/ Membantu menentukan kerusakan area pada otak dan menentukan
kesulitan klien dengan sebagian atau seluruh proses komunikasi
2) Perintahkan klien untuk menyebutkan nama suatu benda yang
diperlihatkan
R/ Menguji afasia ekspresif, misalnya klien dapat mengenal benda tersebut
tetapi tidak mampu menyebutkan namanya
3) Pilih metode komunikasi alternative misalnya mendemonstrasikan secara
visual gerakan tangan
R/ Memberikan komunikasi dasar sesuai dengan stuasi individu
4) Antisipasi dan bantu kebutuhan klien
R/ Membantu menurunkan frustasi karena ketergantungan atau
ketidakmampuan berkomunikasi
5) Ucapkan langsung kepada klien berbicara pelan dan tenang, gunakan
pertanyaan dengan jawaban “ya” atau “tidak” dan perhatikan respon klien
R/ Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya
informasi yang lebih banyak pada satu waktu tertentu. Sebagai proses
latihan kembali untuk lebih mengembangkan komunikasi lebih lanjut dan
lebih kompleks akan menstimulasi memori dan dapat meningkatkan
asosiasi ide/kata.
6) Konsultasikan dengan / rujuk kepada ahli terapi wicara
R/ Pengkajian secara individual kemampuan bicara dan sensori, motorik
dan kognitif berfungsi untuk mengidentifikasi kekurangan/kebutuhan
terapi
2.2.3.7 Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) berhubungan dengan lesi
pada neuron motor atas yang ditandai dengan ketidakmampuan dalam eliminasi
urine, klien tidak sadar, atau tidak dapat mengungkapkan keinginan untuk
berkemih, keadaan umum lemah, inkontinensia urine, distensi kandung kemih..
Tujuan jangka pendek: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan
masukan dan keluaran urine seimbang.
Tujuan jangka panjang: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan
pemenuhan eliminasi urine terpenuhi.
Kriteria hasil:
1) Klien mampu mempertahankan keseimbangan masukan/haluaran dengan
urine jernih dan tidak bau
2) Kebutuhan eliminasi urine terpenuhi
Intervensi:
1) Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering
R/ Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi
kandung kemih yang berlebih
2) Ajarkan membatasi masukan cairan selama malam
R/Pembatasan cairan pada malam hari mencegah terjadinya enuresis
3) Ajarkan tehnik untuk mencetuskan refleks berkemih ( rangsangan
kutaneus dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal)
R/ Melatih dan membantu penggosongan kandung kemih
4) Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada
jadwal yang telah direncanakan
R/ Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung
volume urien sehingga memerlukan untuk lebih sering berkemih
5) Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikit 2000cc
perhari bila tidak ada kontraindikasi)
R/ Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran kemih dan
batu ginjal.
2.2.3.8 Gangguan eliminasi alvi(kontispasi) berhubungan dengan defek stimulasi
saraf, otot dasar pelviks lemah, intake cairan yang tidak adekuat dan imobilitas
sekunder akibat stroke yang ditandai dengan pasien belum BAB selama 4
hari/konstipasi, teraba distensi abdomen, keadaan umum lemah, tidak dapat
defekasi secara spontan, konsistensi feses keras, teraba masa di abdomen , bising
usus turun, bunyi pekak pada perkusi abdomen.
Tujuan jangka pendek: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien
dapat bab dan tidak terjadi konstipasi.
Tujuan jangka panjang: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan
pemenuhan eliminasi alvi terpenuhi.
Kriteria hasil:
1) Klien dapat secara spontan dan lancar tanpa menggunakan obat
2) Konsistensi feses lembek berbentuk
3) Tidak teraba massa di kolon
4) Bising usus normal 8-35x/menit
Intervensi:
1) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyebab konstipasi.
R/ Konstipasi disebabkan oleh karena penurunan peristaltic usus.
2) Anjurkan pada pasien untuk makan makanan yang mengandung serat.
R/ Diet seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltik dan
eliminasi reguler
3) Bila pasien mampu minum, berikan asupan cairan yang cukup (2 liter/hari)
jika tidak ada kontraindikasi.
R/ Masukan cairan adekuat membantu mempertahankan konsistensi feses
yang sesuai pada usus dan membantu eliminasi reguler
4) Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan pasien.
R/ Aktivitas fisik membantu eliminasi dengan memperbaiki tonus otot
abdomen dan merangsang nafsu makan dan peristaltic
5) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pelunak feses (laksatif,
supositoria, enema)
R/ Pelunak feses meningkatkan efisiensi pembasahan air usus, yang
melunakkan massa feses dan membantu eliminasi.
2.2.3.9 Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan bedrest total yang
ditandai dengan: klien atau keluarga mengatakan tidak sadar, keadaan umum
lemah, klien bed rest, terdapat lesi, eritema, edema, kekeringan membran mukosa,
lidah kotor, pruritus.
Tujuan jangka pendek: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan tidak
timbul kemerahan pada kulit akibat bed rest total.
Tujuang jangka panjang: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan
tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil:
1) Klien mampu berpartisipasi terhadap pencegahan luka
2) Mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
3) Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka
Intervensi:
1) Anjurkan untuk melakukan latihan mobilisasi
R/ Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah
2) Ubah posisi tiap 2 jam
R/ Menghindari tekanan yang berlebihan pada daerah yang menonjol
3) Observasi terhadap eritema, kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap
kehangatan dan pelunakan jaringan tiap mengubah posisi
R/ Mempertahankan keutuhan kulit
4) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin, hindari trauma dan panas
pada kulit.
R/ Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler
5) Beri bantalan lunak pada daerah tubuh yang menonjol dan tertekan
R/ Bantalan lunak dapat mengurangi tekanan pada daerah yang menonjol
2.2.3.10 Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler,
penurunan kekuatan otot dan penurunan kesadaran yang ditandai dengan klien
atau keluarga mengatakan lumpuh sebagian atau seluruhnya, keadaan umum
lemah, klien bed rest, penurunan tingkat kesadaran, kerusakan anggota gerak,
perubahan tanda-tanda vital.
Tujuan jangka pendek: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan
kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi.
Tujuan jangka panjang: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien
dapat merawat dirinya sendiri tanpa bantuan.
Kriteria hasil:
1) Klien mampu mendemonstrasikan tekhnik / perubahan gaya hidup untuk
memenuhi kebutuhan perawatan diri
2) Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat
kemampuan sendiri
3) Klien mampu mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas memberikan
bantuan sesuai kebutuhan
Intervensi:
1) Jelaskan pada klien dan keluarga perawatan diri yang benar.
R/ Keterlibatan keluarga begitu berarti dalam proses penyembuhan
2) Tingkatkan harga diri klien dan penentuan diri klien.
R/ Dengan mengetahui apa yang diinginkan klien, perawat dapat
memberikan perawatan yang lebih baik
3) Hilangkan dan bersihkan bau, kurangi kekeringan serta sel yang mati
dengan cara perawatan kulit
R/ Dengan perawatan kulit dapat bersihkan dan hilangkan bau badan dan
kulit menjadi lembab
4) Rangsang sirkulasi darah, kendorkan otot, buat rasa nyaman denagn cara
mandikan klien.
R/ Memandikan dapat memberikan rasa segar pada klien, serta pijatan/
masase selama dimandikan dapat melancarkan sirkulasi
6) Kurangi nyeri dapat dilakukan dengan cara rawat gigi dan mulut secara
teratur
R/ Rawat gigi secara teratut dan benar membersihkan kuman/sisa makanan
yang menyebabkan nyeri dan bau
7) Cegah infeksi daerah kepala dengan cara perawatan rambut seperti
mencuci, menyisir atau mencukur rambut
R/ Perawatan rambut dapat mencegah infeksi dan memberikan rasa
nyaman dan segar
8) Cegah terjadi infeksi dan pertahankan kebersihan daerah genetalia
R/ Pembersihan genetalia mencegah infeksi dan bau pada daerah genetalia
(Sutrisno, 2007).
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang spesifik. pelaksanaannya disesuaikan dengan intervensi
yang dilakukan dan disesuaikan dengan kondisi, fasilitas dan tenaga yang ada.
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah langkah akhir dalam proses keperawatan, pada tahap ini
dapat diketahui apakah tujuan dalam proses keperawatan sudah dicapai atau
belum, masalah apa yang sudah dipecahkan dan apa yang perlu dikaji,
direncanakan, dilaksanakan dan dinilai kembali. Keberhasilan pencapaian tujuan
dalam pelayanan keperawatan mempunyai beberapa alternative, yaitu:
2.2.5.1 Permasalahan dapat teratasi, yaitu keadaan pasien sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan dan tujuan tersebut tercapai.
2.2.5.2 Permasalahan teratasi sebagian, yaitu bila pasien mampu menunjukkan
perilaku tetapi tidak memenuhi semua criteria dan standar yang ditetapkan.
2.2.5.3 Permasalahan tidak teratasi, jika pasien tidak mampu dan tidak memenuhi
sama sekali perilaku yang sesuai dengan pernyataan tujuan. Timbul masalah baru,
jika ditemukan keluhan dan masalah baru yang sebelumnya tidak ada pada diri
pasien.