Upload
fitri-wafina-leathershop
View
92
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
audit forensik pembahasan
Citation preview
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Audit Forensik
Audit Forensik terdiri dari dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah
tindakan untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara
forensik adalah segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum / pengadilan.
Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), forensic
accounting/auditing merujuk kepada fraud examination. Dengan kata lain keduanya
merupakan hal yang sama, yaitu:
“Forensic accounting is the application of accounting, auditing, and investigative
skills to provide quantitative financial information about matters before the
courts.”
Menurut D. Larry Crumbley, Editor-In-Chief dari Journal of Forensic
Accounting (JFA) “Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk
tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan
selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administratif”.
Dengan demikian, audit forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan
menganalisa dan membandingkan antara kondisi di lapangan dengan kriteria, yang
6
berupa kecurangan termasuk error, irregularity, dan fraud, untuk menghasilkan
informasi atau bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan.
Karena sifat dasar dari audit forensik yang berfungsi untuk memberikan bukti
di muka pengadilan, maka fungsi utama dari audit forensik adalah untuk melakukan
audit investigasi terhadap tindak kriminal dan untuk memberikan keterangan saksi
ahli (litigation support) di pengadilan.
Audit Forensik dapat bersifat proaktif maupun reaktif. Proaktif artinya audit
forensik digunakan untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan risiko terjadinya
fraud atau kecurangan. Sementara itu, reaktif artinya audit akan dilakukan ketika ada
indikasi (bukti) awal terjadinya fraud. Audit tersebut akan menghasilkan “red flag”
atau sinyal atas ketidakberesan. Dalam hal ini, audit forensik yang lebih mendalam
dan investigatif akan dilakukan.
2.2 Perbedaan Audit Umum dengan Audit Forensik
Perbandingan antara Audit Forensik dengan Audit Umum (Keuangan):
Keterangan Audit Umum Audit Forensik
Waktu Berulang Tidak berulang
Lingkup Laporan Keuangan secara umum Spesifik
Hasil Opini Membuktikan fraud
(kecurangan)
Hubungan Non-Adversarial Adversarial (Perseteruan
7
hukum)
Metodologi Teknik Audit Eksaminasi
Standar Standar Audit Standar Audit dan Hukum
Positif
Praduga Professional Scepticism Bukti awal
Perbedaan yang paling teknis antara Audit Forensik dan Audit Umum adalah
pada masalah metodologi. Dalam Audit Umum, mungkin dikenal ada beberapa teknik
audit yang digunakan. Teknik-teknik tersebut antara lain adalah prosedur analitis,
analisa dokumen, observasi fisik, konfirmasi, review, dan sebagainya. Namun, dalam
Audit Forensik, teknik yang digunakan sangatlah kompleks.
Teknik-teknik yang digunakan dalam audit forensik sudah menjurus secara
spesifik untuk menemukan adanya fraud. Teknik-teknik tersebut banyak yang bersifat
mendeteksi fraud secara lebih mendalam dan bahkan hingga ke level mencari tahu
siapa pelaku fraud. Oleh karena itu jangan heran bila teknik audit forensik mirip
teknik yang digunakan detektif untuk menemukan pelaku tindak kriminal. Teknik-
teknik yang digunakan antara lain adalah metode kekayaan bersih, penelusuran jejak
uang/aset, deteksi pencucian uang, analisa tanda tangan, analisa kamera tersembunyi
(surveillance), wawancara mendalam, digital forensic, dan sebagainya.
2.3 Kompetensi yang harus dimiliki oleh Auditor Forensik
8
Dalam rangka meningkatkan kinerja seorang auditor forensik dalam
mengungkap kecurangan yang ada diperlukan kompetensi-kompetensi khusus.
Kompetensi yang dimiliki seorang auditor forensik ini penting untuk meningkatkan
keyakinan masyarakat akan sebuah laporan keuangan yang andal dan relevan,
terutama dari pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder). Pihak-pihak yang
berkepentingan yang dimaksud disini meliputi akademisi, akuntan forensik, dan ahli
hukum.
Dalam sebuah literatur asing berjudul “Forensic Accounting”, diungkap
mengenai kompetensi-kompetensi khusus yang harus dimiliki oleh seorang auditor
forensik meliputi :
1. Keterampilan auditing.
2. Pengetahuan dan keterampilan menginvestigasi.
3. Kriminologi yang secara khusus mempelajari psikologi kriminalitas.
4. Pengetahuan akuntansi secara umum.
5. Pengetahuan mengenai hukum.
6. Pengetahuan dan keterampilan mengenai teknologi informasi (TI).
7. Keterampilan berkomunikasi.
Ketujuh kompetensi tersebut diambil berdasarkan opini-opini dari pihak-pihak
yang berkepentingan. Selain itu, dari penelitian sebelumnya, ketujuh kompetensi dari
berbagai opini dari pihak yang berkepentingan tersebut telah diuji secara empiris oleh
seorang peneliti dari Amerika, James A. Digabrielle di Amerika. Hasil penelitiannya
9
membuktikan bahwa terdapat perbedaan pandangan antara ketiga pihak yang
berkepentingan tersebut, walaupun tidak terlalu signifikan.
Dalam blog internet yang penulis temukan, terdapat sebuah pembahasan yang
menarik sehubungan dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang auditor
forensik menurut pandangan BPK dan Ahli hukum. Kompetensi-kompetensi yang
harus dimiliki oleh seorang akuntan forensik menurut BPK dalam blog tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara adil, tidak
memihak, sahih, akurat.
2. Kemampuan melaporkan fakta secara lengkap.
3. Memiliki pengetahuan dasar akuntansi dan audit yang kuat.
4. Mengenal perilaku manusia.
5. Pengetahuan tentang aspek yang mendorong terjadinya kecurangan.
6. Pengetahuan tentang hukum dan peraturan.
7. Pengetahuan tentang kriminologi dan viktimologi.
8. Pemahaman tentang pengendalian internal.
9. Kemampuan berpikir seperti pencuri (think like a theft).
Sedangkan menurut Kumalahadi dari IAI, sebagai auditor forensik harus
memiliki pengetahuan mengenalisa accounting, auditing, dan investigative skills
ketika melakukan investigasi. Hal yang penting menurut beliau adalah kemampuan
untuk menanggapi segera dan mengkomunikasikan informasi keuangan secara jelas
10
dan ringkas di sidang pengadilan. Selain itu, auditor forensik yang terpercaya harus
memiliki karakteristik psikologis seperti curiosity, persistence, creativity, discretion,
organization, confidencesound profesional judgement.
Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Sudarmadji, Staff Ahli
Akuntansi Forensik dari KAP Herry Susanto sekarang KAP Henry Sugeng. Beliau
berpendapat bahwa seorang auditor forensik harus memiliki kemampuan teknis,
psikologis, dan integritas. Oleh karena itu, menurut beliau pengetahuan mengenai
psikologi audit diperlukan dalam pengungkapan kecurangan.
Ahli hukum berpandangan bahwa seorang auditor forensik yang terpenting
adalah harus mampu membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam
sengketa, perumusan penghitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak
pemutusan atau pelanggaran kontrak.
Kemudian penulis juga menemukan sebuah blog yang meresensi isi buku
yang ditulis oleh seorang ahli forensik sekaligus seorang dosen di suatu universitas,
M. Tuanakotta. Dalam resensi tersebut dikatakan bahwa kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang auditor forensik adalah :
1. Pengetahuan yang mendetail mengenai prosedur akuntansi, standar akuntansi,
peraturan perpajakan, perbankan, asuransi, dan praktek bisnis yang aktual.
2. Memiliki karakteristik khusus yaitu pengetahuan yang luas, intuisi yang tajam
sekaligus rasa ingin tahu yang besar.
11
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis didapatkan bahwa masing-
masing pihak yang berkepentingan dalam akuntansi forensik ini, memiliki pandangan
yang berbeda satu dengan yang lain mengenai kompetensi yang penting dimiliki oleh
seorang auditor forensik. Namun pada dasarnya, kompetensi yang harus dimiliki
seorang auditor adalah kompetensi-kompetensi khusus yang berbeda dengan
kompetensi yang dimiliki auditor laporan keuangan.
2.4 Strategi dan Prosedur Audit Forensik
2.4.1 Strategi Audit Forensik
Strategi yang digunakan auditor forensik untuk memberantas kecurangan
tergantung dari kasus yang dilakukan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
strategi yang digunakan dalam memberantas korupsi karena kasus kejahatan yang
marak di Indonesia saat ini adalah korupsi.
Menurut Exellent Lawyer (April 2010) dalam hal korupsi, auditor forensik
mempergunakan standar audit yang berlaku. Standar audit lapangan yang kedua harus
dilaksanakan dengan patuh sebagai langkah awal. Standar tersebut mengatakan :
“Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus
diperoleh untuk merencanakan audit dan untuk menentukan sifat, saat, dan luas
pengujian yang akan dilakukan”.
12
Perkembangan konsep pengendalian intern yang mutakhir harus dicermati
oleh auditor forensik karena peranannya terbukti sangat besar dalam setiap audit.
Auditor forensik harus mempelajari dan menakuni secara sungguh-sungguh konsep
tersebut, khususnya yang menyangkut dengan lingkungan pengendalian (control
environment) yang salah satu komponennya adalah komite audit yang sangat
mempengaruhi hasil suatu audit. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa, modus
operandi korupsi yang paling umum adalah mark-up pembelian atau pengeluaran,
mark-down penjualan atau pemasukan, dan ditambah dengan pengambilan komisi
yang dilakukan pada BUMN/BUMD, dan proyek atau lembaga pemerintah
merupakan praktek yang merupakan bukan rahasia umum lagi. Hampir semua
praktek dilakukan dengan sengaja dengan memanfaatkan kelemahan struktur
pengendalian intern dan juga memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki dan dilakukan
secara kolusi (collusion) dengan melibatkan beberapa pihak seperti pimpinan atau
pejabat teras sehingga sulit untuk dilacak walaupun terlacak masalahnya langsung
terkotakkan. Audit keuangan yang dilakukan oleh auditor forensik dapat saja
menemukan praktek ini jika ia diberi kewenangan yang cukup ditambah dalam
melaksanakan pekerjaannya, ia melakukannya secara taat standar audit. Undang-
undang yang menyangkut tindak korupsi di Indonesia (yaitu UU No. 31 tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi), kita akan menjumpai bahwa undang-
undang ini selain memberi ganjaran terhadap pelakunya, juga menguraikan cara
pelaksanaan dan bagaimana mengungkapkannya. Hanya saja untuk pembuktian
13
korupsi yang dilakukan melalui proses atau meminta bantuan auditor forensik sebagai
orang yang ahli. Audit keuangan yang lazim mengharuskan auditor untuk menilai
apakah laporan keuangan mengandung salah saji material sebagai akibat dari
penyimpangan yang disengaja (irregularities) maupun yang tidak disengaja (errors).
Standar audit yang umum pada dasarnya mampu mengetahui adanya kesalahan yang
disengaja maupun yang tidak disengaja kecuali apabila dilakukan secara cepat dan
dengan cara kolusi seperti dijelaskan di atas. Jika audit yang akan dilakukan untuk
mengetahui penyimpangan dan kecurangan seperti korupsi, maka program audit
harus diutamakan untuk maksud tersebut. Kemudian pengetahuan mengenai standar
harga barang atau jasa dan pengetahuan pasarnya merupakan hal yang juga penting
dikuasai oleh auditor forensik.
2.4.2 Prosedur Audit Forensik
Prosedur audit forensik antara lain:
1. Identifikasi Masalah
Dalam tahap ini, auditor melakukan pemahaman awal terhadap kasus
yang hendak diungkap. Pemahaman awal ini berguna untuk
mempertajam analisa dan spesifikasi ruang lingkup sehingga audit bisa
dilakukan secara tepat sasaran.
14
2. Pembicaraan dengan Klien
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pembahasan bersama klien
terkait lingkup, kriteria, metodologi audit, limitasi, jangka waktu, dan
sebagainya. Hal ini dilakukan untuk membangun kesepahaman antara
auditor dan klien terhadap penugasan audit.
3. Pemeriksaan Pendahuluan
Dalam tahap ini, auditor melakukan pengumpulan data awal dan
menganalisanya. Hasil pemeriksaan pendahulusan bisa dituangkan
menggunakan matriks 5W + 2H (who, what, where, when, why, how,
and how much). Investigasi dilakukan apabila sudah terpenuhi minimal
4W + 1H (who, what, where, when, and how much). Intinya, dalam
proses ini auditor akan menentukan apakah investigasi lebih lanjut
diperlukan atau tidak.
4. Pengembangan Rencana Pemeriksaan
Dalam tahap ini, auditor akan menyusun dokumentasi kasus yang
dihadapi, tujuan audit, prosedur pelaksanaan audit, serta tugas setiap
individu dalam tim. Setelah diadministrasikan, maka akan dihasilkan
konsep temuan. Konsep temuan ini kemudian akan dikomunikasikan
bersama tim audit serta klien.
5. Pemeriksaan Lanjutan
15
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pengumpulan bukti serta
melakukan analisa atasnya. Dalam tahap ini lah audit sebenarnya
dijalankan. Auditor akan menjalankan teknik-teknik auditnya guna
mengidentifikasi secara meyakinkan adanya fraud dan pelaku fraud
tersebut.
6. Penyusunan Laporan
Pada tahap akhir ini, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit
forensik. Dalam laporan ini setidaknya ada 3 poin yang harus
diungkapkan. Poin-poin tersebut antara lain adalah:
1. Kondisi, yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan.
2. Kriteria, yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan
kegiatan. Oleh karena itu, jika kondisi tidak sesuai dengan kriteria
maka hal tersebut disebut sebagai temuan.
3. Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan.
Biasanya mencakup sebab fraud, kondisi fraud, serta penjelasan
detail mengenai fraud tersebut.
16
2.5 Praktek dan Kendala Audit Forensik di Indonesia
2.5.1 Praktek Audit Forensik di Indonesia
Dalam praktik di Indonesia, audit forensik hanya dilakukan oleh auditor BPK,
BPKP, dan KPK (yang merupakan lembaga pemerintah) yang memiliki sertifikat
CFE (Certified Fraud Examiners). Sebab, hingga saat ini belum ada sertifikat legal
untuk audit forensik dalam lingkungan publik. Oleh karena itu, ilmu audit forensik
dalam penerapannya di Indonesia hanya digunakan untuk deteksi dan investigasi
fraud, deteksi kerugian keuangan, serta untuk menjadi saksi ahli di pengadilan.
Sementara itu, penggunaan ilmu audit forensik dalam mendeteksi risiko fraud dan uji
tuntas dalam perusahaan swasta, belum dipraktikan di Indonesia.
Penggunaan audit forensik oleh BPK maupun KPK ini ternyata terbukti
memberi hasil yang luar biasa positif. Terbukti banyaknya kasus korupsi yang
terungkap oleh BPK maupun KPK. Tentunya kita masih ingat kasus BLBI yang
diungkap BPK. BPK mampu mengungkap penyimpangan BLBI sebesar Rp 84,8
Trilyun atau 59% dari total BLBI sebesar Rp144,5 Trilyun. Temuan tersebut
berimbas pada diadilinya beberapa mantan petinggi bank swasta nasional. Selain itu
juga ada audit investigatif dan forensik terhadap bail out Bank Century yang
dilakukan BPK meskipun memberikan hasil yang kurang maksimal karena faktor
politis yang sedemikian kental dalam kasus tersebut.
17
2.5.2 Kendala-Kendala Audit Forensik di Indonesia
Seperti dijelaskan sebelumnya, Indonesia merupakan negara yang paling
parah penyakit korupsinya. Penyakit ini tidak hanya di monopoli oleh lembaga
pemerintah, tetapi keberadaan penyakit ini di lembaga pemerintah harus disoroti
sejalan dengan keinginan untuk untuk menciptakan sistem pemerintahan yang bersih
(Good Government Governance). Sebenarnya Indonesia mempunyai lembaga-
lembaga sebagai perangkat pengawas keuangan mulai dari tertinggi seperti badan
pemeriksa keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP), dan berbagai tingkat Inspektorat Sektoral dan Lintas Sektoral serta Kantor
Akuntan Pulik yang dapat diminta untuk melaksanakan audit jika dirasakan ada
indikasi tindak pidana korupsi. Namun yang terjadi sampai detik ini kasus korupsi
baik kecil maupun besar masih saja sulit diberantas, bahkan cenderung meningkat.
Penyebab utama yang mungkin adalah karena kelemahan audit pemerintahan
Indonesia. Mardiasmo (2000 dalam Exellent Lawyer, April 2010) menjelaskan bahwa
terdapat beberapa kelemahan dalam audit forensik di Indonesia, yaitu:
Pertama, tidak tersedianya performance indicator yang memadai sebagai
dasar untuk mengukur kinerja pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun daerah.
Hal tersebut umum dialami oleh organisasi publik karena output yang dihasilkannya
berupa pelayanan publik yang tidak mudah diukur. Kelemahan pertama ini bersifat
inheren.
18
Kedua, terkait dengan masalah struktur lembaga audit terhadap pemerintah
pusat dan daerah di Indonesia. Permasalahannya adalah banyaknya lembaga
pemeriksa fungsional yang overlapping satu dengan lainnya yang menyebabkan
ketidakefisienan dan ketidakefektifan pelaksanaan pengauditan. Untuk menciptakan
lembaga audit yang efisien dan efektif, maka diperlukan reposisi lembaga audit yang
ada, yaitu pemisahan fungsi dan tugas yang jelas dari lembaga-lembaga pemeriksa
pemerintah tersebut, apakah sebagai internal auditor atau eksternal auditor.
Berdasarkan kedudukannya kedudukannya terhadap pemerintah kita mengenal
adanya audit internal maupun audit eksternal. Audit internal dilaksanakan oleh
Inspektorat Jendral Departemen, Satuan Pengawas Interen (SPI) di lingkungan
lembaga Negara/BUMN/BUMD, Inspektorat Wilayah Propinsi (Itwilprop),
Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota (Itwilkab/ Itwilko), dan BPKP. Sedangkan audit
eksternal dilaksanakan oleh BPK sebagai unit pemeriksa yang independen karena
berada di luar organisasi yang diperiksa. Selanjutnya, Saefuddin (1997 dalam
Exellent Lawyer, April 2010) menguraikan hal-hal yang menyebabkan mengapa
korupsi di Indonesia sulit diberantas yaitu:
1. Mental pegawai yang keropos, yang menyababkan mereka tidak ambil pusing
untuk mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya. Mereka tak peduli untuk
menyalahgunakan jabatan atau posisinya demi untuk kepentingan pribadi.
19
2. Adanya ketidakrelaan menerima gaji yang relative terbatas dibandingkan dengan
tingkat kebutuhan yang layak. Hal ini menggiring mereka untuk mengejar
pendapatan cepat tanpa memperhatikan proporsi.
3. Hampir seluruh jenjang berlomba mencari peluang untuk menggapai pendapatan
sampingan, yang nilainya jauh lebih besar. Praktik korupsi terstruktur ini
terkristalisai sejalan dengan struktur “ABS (Asal Bapak Senang)”. Implikasinya,
banyak pimpinan yang “tutup mata” ketika disodori amplop. Implikasi lebih
lanjut adalah siapa yang menolak amplop terima kasih dinilai menentang
pimpinan, minimal menentang kemauan bersama.
Tambahan lagi, menurut Baswir (2000 dalam Exellent Lawyer, April 2010)
dijelaskan bahwa skandal-skandal yang terjadi di Indonesia (Bulog Gate misalnya)
adalah disebabkan karena kekacauan manajemen keuangan publik di Indonesia yang
meliputi :
a. Penyelenggaraan sejumlah kegiatan kegiatan publik di luar mekanisme APBN.
b. Dipeliharanya sejumlah dana publik diluar APBN.
c. Kehadiran sejumlah lembaga semipublik-semiprivat dalam lingkungan
pemerintahan.
Dalam situasi manajemen keuangan publik yang kacau itu, praktik korupsi
terus merajalela dalam tubuh pemerintahan. Praktik korupsi di Indonesia tidak lagi
dapat diisolir sebagai ekspresi niat jahat seseorang atau sekelompok orang untuk
memperkaya diri mereka sendiri, melainkan telah menjadi bagian yang integral dari
20
sistem penyelenggaraan negara yang telah dijalankan oleh pemerintah. Situasi
korupsi seperti ini disebut sebagai korupsi sistemik. Artinya, tingkat perkembangan
praktik korupsi di Indonesia sangat jauh melampaui tingkat korupsi personal dan
korupsi institusional. Praktik korupsi di Indonesia tidak dilakukan hanya oleh
beberapa orang atau oleh beberapa lembaga pemerintahan tertentu, melainkan
langsung dipelihara oleh negara.
Adanya diskriminasi penindakan terhadap pidana korupsi. Hanya kelas teri
yang terjaring pasal pidana korupsi, sementara koruptor kelas kakap di dera dengan
mutasi, maksimal diberhentikan dengan tidak tidak terhormat.
Selain itu, kurangnya sumber daya manusia atau auditor forensik di Indonesia
membuat pemberantasan korupsi berjalan dengan lambat. Namun demikian, kendala
ini senantiasa diatasi dengan adanya pelatihan-pelatihan terhadap para auditor
maupun calon auditor di Indonesia secara kontinu.
2.6 Kasus Audit Forensik
2.6.1 Deskripsi Kasus
Kasus PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) bermuara pada perbedaan
pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Komisaris yang merangkap
sebagai Ketua Komite Audit dimana Komisaris tersebut menolak menyetujui dan
menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan
21
Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat
disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada.
Perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris bersumber pada
perbedaan pendapat atas 4 hal, yaitu :
1. Masalah Piutang PPN.
Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp. 95,2 Milyar, menurut Komite
Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan
kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh
auditor. Manajemen menganggap bahwa pemberian jasa yang dilakukannya tidak
kena PPN, namun karena Dirjen Pajak menagih PPN atau jasa tersebut, PT KAI
menagih PPN tersebut kepada pelanggan.
2. Masalah Beban ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan.
Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 Milyar yang
merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2005 yang belum diamortisasi,
menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai
beban usaha.
3. Masalah Persediaan Dalam Perjalanan.
Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp. 1,4 Milyar yang
dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT KAI yang
belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit
seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.
22
4. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS) dan
Penyertaan Modal Negara (PMN).
BPYBDS sebesar Rp. 674,5 Milyar dan PMN sebesar Rp. 70 Milyar yang dalam
laporan Audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka
panjang, menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas
dalam neraca tahun buku 2005.
Pertanyaan mendasar yang menjadi fokus perhatian bersama adalah apakah
auditor eksternal telah menjalankan tugasnya sesuai standar-standar yang berlaku
(PSAK dan SPAP) dan berkomunikasi dengan Komite Audit ?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang perlu
diklarifikasi mengenai peran dan tanggung jawab Komisaris, beserta organnya
Komite Audit dalam proses good corporate governance di perusahaan, baik BUMN
maupun swasta.
Menurut teori dan best practices dalam good corporate governance, Dewan
Komisaris dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya memiliki 3 fungsi,
yaitu:
1. Advising
Memberi nasehat bagaimana seharusnya Direksi bersikap. Oleh sebab itu
sebaiknya Dewan Komisaris terdiri dari beberapa latar belakang.
2. Protecting
Melindungi perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan.
23
Misalnya memberikan argumentasi dan pendapat independen yang kuat atas
sesuatu yang dapat merugikan perusahaan dan tidak sejalan dengan prinsip-
prinsip GCG.
3. Supervising
Mengawasi pengelolaan perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan agar
mampu menciptakan value yang optimal bagi stakeholders.
Peran vital yang dijalankan oleh Komite Audit adalah membantu Dewan
Komisaris dalam 3 hal tersebut diatas, yaitu advising, supervising dan protecting
(dengan cara memberikan analisis bagaimana memproteksi perusahaan). Hal
terpenting yang harus dipahami adalah bahwa Komite Audit tidak memiliki suara
untuk mengatasnamakan perusahaan sehingga tidak diperkenankan berbicara di luar
perusahaan. Karena Komite Audit merupakan tools Dewan Komisaris dengan
demikian yang berhak untuk berbicara adalah Dewan Komisaris.
Khusus dalam proses audit, Komite Audit memainkan peranan yang sangat
penting dalam :
1. Mereview audit plan
2. Mendiskusikan penunjukan auditor eksternal. Pada saat proses lelang, Komite
Audit harus sudah ikut untuk melihat apakah auditor eksternal layak dipilih dan
melihat fairness proses pemilihan. Yang akan bicara kepada Direksi adalah
Dewan Komisaris, bukan Komite Audit. Jangan sampai Komite Audit over duties
(berlebih-lebihan).
24
3. Mereview transaksi-transaksi besar untuk dilaporkan kepada Dewan Komisaris,
kemudian Dewan Komisaris berkomunikasi dengan Direksi.
Agar pengawasan Dewan Komisaris dapat berjalan dengan baik, Komite
Audit dapat membantu Dewan Komisaris untuk memberikan nasehat dengan cara :
1. Mereview internal control system, ada pemisahan fungsi atau tidak (internal
control setting) bagus atau tidak. Hal ini dilaporkan kepada Dewan Komisaris.
2. Komunikasi antara Komite Audit, Dewan Komisaris dan manajemen. Seharusnya
Komite Audit membantu Dewan Komisaris dalam menelaah/mereview laporan
manajemen karena tidak selalu 100 % laporan keuangan dipahami oleh Dewan
Komisaris, terutama karena latar belakang yang bukan keuangan. Jadi fungsi
Komite Audit adalah mentransformasikan angka-angka kedalam suatu bentuk
usulan kepada Dewan Komisaris agar Dewan Komisaris dapat memberikan
advise kepada Direksi.
Kasus PT KAI menarik untuk dicermati karena kasus ini dapat terjadi di
perusahaan lainnya. Apapun permasalahan yang terjadi apabila diantara Direksi dan
Komisaris terjadi perbedaan pendapat yang rugi adalah perusahaan, dimana social
and political cost-nya sangat tinggi. Selain itu masing-masing pihak yang sedang
berselisih pendapat (yaitu Direksi maupun Komisaris) akan dimanfaatkan oleh pihak-
pihak tertentu sehingga akan sangat merugikan perusahaan, yang pada akhirnya akan
mengganggu keberlangsungan (sustainability) perusahaan.
25
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT KAI adalah karena
rumitnya laporan keuangan PT KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan
depo dan gudang yang seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah,
sehingga yang berpotensi menyebabkan masalah maupun perbedaan pendapat di
kemudian hari. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baru sebagian kecil
proses akuntansi dilaksanakan dengan komputer. Sebenarnya sistem akuntansi PT
KAI cukup modern untuk penyusunan laporan keuangan dan informasi manajemen,
namun karena kedua hal tersebut diatas maka sistem akuntansi tersebut tidak dapat
berfungsi dengan baik.
Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi juga merupakan
masalah yang rumit karena sistem otorisasi anggaran yang kompleks. Kenyataan lain
yang turut mendorong terjadinya kasus laporan keuangan PT KAI adalah bahwa
proses akuntansi dan laporan keuangan adalah hanya urusan bagian akuntansi, unit
lain kurang terlibat dan tidak memiliki sense of belonging, sehingga hal ini jelas
menyulitkan bagi bagian akuntansi.
Selain beberapa hal teknis tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi
turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT KAI adalah:
1. Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya
Auditor Eksternal.
2. Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan auditor sehingga tidak terlibat
dalam proses audit.
26
3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada Komite Audit
dan Komite Audit juga tidak menanyakannya.
4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun,
sehingga ketika Komite Audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak
yakin.
Beberapa aktifitas bisnis PT KAI yang juga berpotensi menimbulkan masalah
di kemudian hari adalah :
1. Adanya transaksi antara PT KAI dan Negara yang kebijakan dan sistem
perhitungannya belum dipahami dan disepakati dengan baik (PSO : Public
Service Obligation, IMO : Infrastructure Maintenance and Operation, TAC :
Track Access Charges).
2. Transaksi masa sebelumnya yang masih belum terselesaikan (BPYBDS,
perubahan status perusahaan).
3. Perubahan peraturan pemerintah (termasuk peraturan perpajakan).
4. Penyelesaian Past Service Liability /PSL Pensiun Pegawai.
5. RUU Perkeretaapian dengan kemungkinan “Unbundling” dari aktifitas
perusahaan dan keikutsertaan swasta.
2.6.2 Solusi dan Rekomendasi
Dengan pembahasan kasus audit umum PT KAI, beberapa pelajaran berharga
dapat dipetik dari kasus tersebut, diantaranya adalah :
27
1. Perselisahan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan
dengan cara yang lebih elegan. Apabila Dewan Komisaris merasa Direksi tidak
capable memimpin perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengusulkan kepada
pemegang saham untuk mengganti Direksi. Hal ini akan jauh lebih baik dan
tentunya mampu menghindarkan perusahaan dari social cost yang tidak perlu.
Social cost seringkali timbul karena public judgement yang sudah terlanjur
dijatuhkan dan seringkali public judgement ini tidak fair bagi perusahaan.
2. Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila
Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan
seluruh Dewan Komisaris sehingga Dewan Komisaris memiliki satu suara.
Namun demikian bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan pendapat
dalam Dewan Komisaris. Perbedaan pendapat diakomodir dengan jelas dalam
dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah rapat. Untuk itulah perlunya
kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk memilah-milah
informasi apa saja yang merupakan public domain dan informasi yang merupakan
private domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan prinsip GCG yaitu
transparansi, karena transparansi bukan berarti memberikan seluruh informasi
perusahaan kepada semua orang, namun harus tepat sasaran dan memberikan nilai
tambah bagi perusahaan.
3. Sesuai dengan SA 380, Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit
merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan.
28
Kasus PT KAI merupakan cerminan bahwa komunikasi yang intens antara
Auditor Eksternal dengan Komite Audit sangat diperlukan. Kendala komunikasi
yang dihadapi pada kasus PT KAI salah satunya dipicu oleh adanya pergantian
anggota Komite Audit pada saat pelaksanaan audit. Auditor eksternal mengalami
hambatan karena terdapat kekosongan beberapa bulan sebelum anggota Komite
Audit yang baru diangkat.
4. Komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta
dengan baik merupakan salah satu faktor yang turut memiliki andil dalam
memicu kasus ini. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Komite Audit sangat
mengandalkan Internal Auditor dalam menjalankan tugasnya untuk mengetahui
berbagai hal yang terjadi dalam operasional perusahaan. Sebagai ilustrasi
mengenai kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan Auditor Internal, sejak
Komite Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum pernah satu
kalipun terjadi komunikasi antara Komite Audit dengan Auditor Internal untuk
proses audit tahun buku 2006.
5. Terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu
ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada
pengetahuan dan prinsip akuntansi yang berlaku. Dengan demikian bukan berarti
kebijakan akuntansi yang telah dilakukan tahun lalu akan dianggap konsisten
apabila tahun ini tetap dilakukan.
29
6. Beberapa hal teknis yang perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah
PSAK yang khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO
(Infrastructure Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges) dan
BPYBDS serta komputerisasi akuntansi dan penyederhanaan chart of account
atau penyederhanaan sistem akuntansi.
Khusus untuk PT KAI, beberapa masukan yang dapat diterapkan untuk
memperbaiki kondisi yang telah terjadi saat ini adalah :
1. Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal,
karena opini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.
2. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena
konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan. Kesalahan-kesalahan sudah
terakumulasi dari tahun-tahun sebelumnya sehingga terdapat dua alternatif, yaitu
di restatement atau dikoreksi. Keputusan mengenai opsi yang dipilih sepenuhnya
tergantung dari Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP), karena kasus
PT KAI sedang diproses disana.
3. Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit
adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit
harus disampaikan kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak
setuju dengan Komite Audit namun Komite Audit tetap pada pendiriannya,
Komite Audit dapat mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang
terdapat dalam laporan tahunan perusahaan.
30
4. Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk
membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi,
sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan
individu dalam organisasi.
5. Komite Audit berperan aktif dalam melakukan risk mapping, mengkoordinasikan
seluruh tahapan proses auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program,
mengevaluasi dan memberikan hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang
akan mengkomunikasikannya kepada Direksi.
6. Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full
disclosure.
7. Komite Audit menjembatani agar semua pihak di perusahaan terlibat aktif dalam
pengawasan. Kunci untuk merekatkan semua pihak dijalankan oleh Auditor
Internal yang berkomunikasi intens dengan Komite Audit.
Pembelajaran menarik dalam aspek public governance pada kasus ini adalah
mengenai Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS).
Sebagai perwakilan pemegang saham (yaitu Pemerintah), departemen teknis terkait
dan Kementerian BUMN seharusnya tegas dalam menentukan BPYBDS ini, apakah
merupakan penyertaan modal atau hutang. Fakta yang terjadi saat ini adalah
BPYBDS statusnya tetap dibiarkan tidak jelas sampai bertahun-tahun sehingga
nilainya di beberapa BUMN mencapai triliunan rupiah. Hal ini jelas akan berpotensi
menimbulkan masalah di masa yang akan datang, karena akan menyulitkan
31
perusahaan dalam mengelompokkannya, apakah termasuk aset atau kewajiban
(liability).
Terlepas dari kasus audit umum PT KAI, concern yang mengemuka terkait
dengan Auditor Eksternal adalah merebaknya praktek penipuan dan manipulasi yang
dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan mengatasnamakan
Kantor Akuntan Publik yang ada atau memalsukan/membuat nama Kantor Akuntan
Publik yang sebenarnya tidak terdaftar sebagai akuntan publik.
Secara prinsip Komite Audit sangat tergantung pada akuntan publik. Terkait
dengan praktek penipuan tersebut, untuk meningkatkan citra profesi IAI
Kompartemen Akuntan Publik telah membentuk Dewan Review Mutu untuk
mereview mutu pekerjaan akuntan publik. Untuk itu peran aktif pengguna jasa
akuntan publik sangat dibutuhkan karena hanya dengan pengaduan suatu tindakan
penipuan atau manipulasi dapat ditindaklanjuti oleh IAI.
32