42
BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Audit Forensik Audit Forensik terdiri dari dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum / pengadilan. Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), forensic accounting/auditing merujuk kepada fraud examination. Dengan kata lain keduanya merupakan hal yang sama, yaitu: “Forensic accounting is the application of accounting, auditing, and investigative skills to provide quantitative financial information about matters before the courts.” Menurut D. Larry Crumbley, Editor-In-Chief dari Journal of Forensic Accounting (JFA) “Akuntansi forensik adalah 6

BAB 2 Pembahasan Kelompok 5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

audit forensik pembahasan

Citation preview

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Audit Forensik

Audit Forensik terdiri dari dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah

tindakan untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara

forensik adalah segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum / pengadilan.

Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), forensic

accounting/auditing merujuk kepada fraud examination. Dengan kata lain keduanya

merupakan hal yang sama, yaitu:

“Forensic accounting is the application of accounting, auditing, and investigative

skills to provide quantitative  financial information about matters before the

courts.”

Menurut D. Larry Crumbley, Editor-In-Chief dari Journal of Forensic

Accounting (JFA) “Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk

tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan

selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administratif”.

Dengan demikian, audit forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan

menganalisa dan membandingkan antara kondisi di lapangan dengan kriteria, yang

6

berupa kecurangan termasuk error, irregularity, dan fraud, untuk menghasilkan

informasi atau bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan.

Karena sifat dasar dari audit forensik yang berfungsi untuk memberikan bukti

di muka pengadilan, maka fungsi utama dari audit forensik adalah untuk melakukan

audit investigasi terhadap tindak kriminal dan untuk memberikan keterangan saksi

ahli (litigation support) di pengadilan.

Audit Forensik dapat bersifat proaktif maupun reaktif. Proaktif artinya audit

forensik digunakan untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan risiko terjadinya

fraud atau kecurangan. Sementara itu, reaktif artinya audit akan dilakukan ketika ada

indikasi (bukti) awal terjadinya fraud. Audit tersebut akan menghasilkan “red flag”

atau sinyal atas ketidakberesan. Dalam hal ini, audit forensik yang lebih mendalam

dan investigatif akan dilakukan.

2.2 Perbedaan Audit Umum dengan Audit Forensik

Perbandingan antara Audit Forensik dengan Audit Umum (Keuangan):

Keterangan Audit Umum Audit Forensik

Waktu Berulang Tidak berulang

Lingkup Laporan Keuangan secara umum Spesifik

Hasil Opini Membuktikan fraud

(kecurangan)

Hubungan Non-Adversarial Adversarial (Perseteruan

7

hukum)

Metodologi Teknik Audit Eksaminasi

Standar Standar Audit Standar Audit dan Hukum

Positif

Praduga Professional Scepticism Bukti awal

Perbedaan yang paling teknis antara Audit Forensik dan Audit Umum adalah

pada masalah metodologi. Dalam Audit Umum, mungkin dikenal ada beberapa teknik

audit yang digunakan. Teknik-teknik tersebut antara lain adalah prosedur analitis,

analisa dokumen, observasi fisik, konfirmasi, review, dan sebagainya. Namun, dalam

Audit Forensik, teknik yang digunakan sangatlah kompleks.

Teknik-teknik yang digunakan dalam audit forensik sudah menjurus secara

spesifik untuk menemukan adanya fraud. Teknik-teknik tersebut banyak yang bersifat

mendeteksi fraud secara lebih mendalam dan bahkan hingga ke level mencari tahu

siapa pelaku fraud. Oleh karena itu jangan heran bila teknik audit forensik mirip

teknik yang digunakan detektif untuk menemukan pelaku tindak kriminal. Teknik-

teknik yang digunakan antara lain adalah metode kekayaan bersih, penelusuran jejak

uang/aset, deteksi pencucian uang, analisa tanda tangan, analisa kamera tersembunyi

(surveillance), wawancara mendalam, digital forensic, dan sebagainya.

2.3 Kompetensi yang harus dimiliki oleh Auditor Forensik

8

Dalam rangka meningkatkan kinerja seorang auditor forensik dalam

mengungkap kecurangan yang ada diperlukan kompetensi-kompetensi khusus.

Kompetensi yang dimiliki seorang auditor forensik ini penting untuk meningkatkan

keyakinan masyarakat akan sebuah laporan keuangan yang andal dan relevan,

terutama dari pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder). Pihak-pihak yang

berkepentingan yang dimaksud disini meliputi akademisi, akuntan forensik, dan ahli

hukum.

Dalam sebuah literatur asing berjudul “Forensic Accounting”, diungkap

mengenai kompetensi-kompetensi khusus yang harus dimiliki oleh seorang auditor

forensik meliputi :

1. Keterampilan auditing.

2. Pengetahuan dan keterampilan menginvestigasi.

3. Kriminologi yang secara khusus mempelajari psikologi kriminalitas.

4. Pengetahuan akuntansi secara umum.

5. Pengetahuan mengenai hukum.

6. Pengetahuan dan keterampilan mengenai teknologi informasi (TI).

7. Keterampilan berkomunikasi.

Ketujuh kompetensi tersebut diambil berdasarkan opini-opini dari pihak-pihak

yang berkepentingan. Selain itu, dari penelitian sebelumnya, ketujuh kompetensi dari

berbagai opini dari pihak yang berkepentingan tersebut telah diuji secara empiris oleh

seorang peneliti dari Amerika, James A. Digabrielle di Amerika. Hasil penelitiannya

9

membuktikan bahwa terdapat perbedaan pandangan antara ketiga pihak yang

berkepentingan tersebut, walaupun tidak terlalu signifikan.

Dalam blog internet yang penulis temukan, terdapat sebuah pembahasan yang

menarik sehubungan dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang auditor

forensik menurut pandangan BPK dan Ahli hukum. Kompetensi-kompetensi yang

harus dimiliki oleh seorang akuntan forensik menurut BPK dalam blog tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara adil, tidak

memihak, sahih, akurat.

2. Kemampuan melaporkan fakta secara lengkap.

3. Memiliki pengetahuan dasar akuntansi dan audit yang kuat.

4. Mengenal perilaku manusia.

5. Pengetahuan tentang aspek yang mendorong terjadinya kecurangan.

6. Pengetahuan tentang hukum dan peraturan.

7. Pengetahuan tentang kriminologi dan viktimologi.

8. Pemahaman tentang pengendalian internal.

9. Kemampuan berpikir seperti pencuri (think like a theft).

Sedangkan menurut Kumalahadi dari IAI, sebagai auditor forensik harus

memiliki pengetahuan mengenalisa accounting, auditing, dan investigative skills

ketika melakukan investigasi. Hal yang penting menurut beliau adalah kemampuan

untuk menanggapi segera dan mengkomunikasikan informasi keuangan secara jelas

10

dan ringkas di sidang pengadilan. Selain itu, auditor forensik yang terpercaya harus

memiliki karakteristik psikologis seperti curiosity, persistence, creativity, discretion,

organization, confidencesound profesional judgement. 

Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Sudarmadji, Staff Ahli

Akuntansi Forensik dari KAP Herry Susanto sekarang KAP Henry Sugeng. Beliau

berpendapat bahwa seorang auditor forensik harus memiliki kemampuan teknis,

psikologis, dan integritas. Oleh karena itu, menurut beliau pengetahuan mengenai

psikologi audit diperlukan dalam pengungkapan kecurangan.

Ahli hukum berpandangan bahwa seorang auditor forensik yang terpenting

adalah harus mampu membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam

sengketa, perumusan penghitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak

pemutusan atau pelanggaran kontrak.

Kemudian penulis juga menemukan sebuah blog yang meresensi isi buku

yang ditulis oleh seorang ahli forensik sekaligus seorang dosen di suatu universitas,

M. Tuanakotta. Dalam resensi tersebut dikatakan bahwa kompetensi yang harus

dimiliki oleh seorang auditor forensik adalah :

1. Pengetahuan yang mendetail mengenai prosedur akuntansi, standar akuntansi,

peraturan perpajakan, perbankan, asuransi, dan praktek bisnis yang aktual.

2. Memiliki karakteristik khusus yaitu pengetahuan yang luas, intuisi yang tajam

sekaligus rasa ingin tahu yang besar.

11

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis didapatkan bahwa masing-

masing pihak yang berkepentingan dalam akuntansi forensik ini, memiliki pandangan

yang berbeda satu dengan yang lain mengenai kompetensi yang penting dimiliki oleh

seorang auditor forensik. Namun pada dasarnya, kompetensi yang harus dimiliki

seorang auditor adalah kompetensi-kompetensi khusus yang berbeda dengan

kompetensi yang dimiliki auditor laporan keuangan.

2.4 Strategi dan Prosedur Audit Forensik

2.4.1 Strategi Audit Forensik

Strategi yang digunakan auditor forensik untuk memberantas kecurangan

tergantung dari kasus yang dilakukan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai

strategi yang digunakan dalam memberantas korupsi karena kasus kejahatan yang

marak di Indonesia saat ini adalah korupsi.

Menurut Exellent Lawyer (April 2010) dalam hal korupsi, auditor forensik

mempergunakan standar audit yang berlaku. Standar audit lapangan yang kedua harus

dilaksanakan dengan patuh sebagai langkah awal. Standar tersebut mengatakan :

“Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus

diperoleh untuk merencanakan audit dan untuk menentukan sifat, saat, dan luas

pengujian yang akan dilakukan”.

12

Perkembangan konsep pengendalian intern yang mutakhir harus dicermati

oleh auditor forensik karena peranannya terbukti sangat besar dalam setiap audit.

Auditor forensik harus mempelajari dan menakuni secara sungguh-sungguh konsep

tersebut, khususnya yang menyangkut dengan lingkungan pengendalian (control

environment) yang salah satu komponennya adalah komite audit yang sangat

mempengaruhi hasil suatu audit. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa, modus

operandi korupsi yang paling umum adalah mark-up pembelian atau pengeluaran,

mark-down penjualan atau pemasukan, dan ditambah dengan pengambilan komisi

yang dilakukan pada BUMN/BUMD, dan proyek atau lembaga pemerintah

merupakan praktek yang merupakan bukan rahasia umum lagi. Hampir semua

praktek dilakukan dengan sengaja dengan memanfaatkan kelemahan struktur

pengendalian intern dan juga memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki dan dilakukan

secara kolusi (collusion) dengan melibatkan beberapa pihak seperti pimpinan atau

pejabat teras sehingga sulit untuk dilacak walaupun terlacak masalahnya langsung

terkotakkan. Audit keuangan yang dilakukan oleh auditor forensik dapat saja

menemukan praktek ini jika ia diberi kewenangan yang cukup ditambah dalam

melaksanakan pekerjaannya, ia melakukannya secara taat standar audit. Undang-

undang yang menyangkut tindak korupsi di Indonesia (yaitu UU No. 31 tahun 1999

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi), kita akan menjumpai bahwa undang-

undang ini selain memberi ganjaran terhadap pelakunya, juga menguraikan cara

pelaksanaan dan bagaimana mengungkapkannya. Hanya saja untuk pembuktian

13

korupsi yang dilakukan melalui proses atau meminta bantuan auditor forensik sebagai

orang yang ahli. Audit keuangan yang lazim mengharuskan auditor untuk menilai

apakah laporan keuangan mengandung salah saji material sebagai akibat dari

penyimpangan yang disengaja (irregularities) maupun yang tidak disengaja (errors).

Standar audit yang umum pada dasarnya mampu mengetahui adanya kesalahan yang

disengaja maupun yang tidak disengaja kecuali apabila dilakukan secara cepat dan

dengan cara kolusi seperti dijelaskan di atas. Jika audit yang akan dilakukan untuk

mengetahui penyimpangan dan kecurangan seperti korupsi, maka program audit

harus diutamakan untuk maksud tersebut. Kemudian pengetahuan mengenai standar

harga barang atau jasa dan pengetahuan pasarnya merupakan hal yang juga penting

dikuasai oleh auditor forensik.

2.4.2 Prosedur Audit Forensik

Prosedur audit forensik antara lain:

1. Identifikasi Masalah

Dalam tahap ini, auditor melakukan pemahaman awal terhadap kasus

yang hendak diungkap. Pemahaman awal ini berguna untuk

mempertajam analisa dan spesifikasi ruang lingkup sehingga audit bisa

dilakukan secara tepat sasaran.

14

2. Pembicaraan dengan Klien

Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pembahasan bersama klien

terkait lingkup, kriteria, metodologi audit, limitasi, jangka waktu, dan

sebagainya. Hal ini dilakukan untuk membangun kesepahaman antara

auditor dan klien terhadap penugasan audit.

3. Pemeriksaan Pendahuluan

Dalam tahap ini, auditor melakukan pengumpulan data awal dan

menganalisanya. Hasil pemeriksaan pendahulusan bisa dituangkan

menggunakan matriks 5W + 2H (who, what, where, when, why, how,

and how much). Investigasi dilakukan apabila sudah terpenuhi minimal

4W + 1H (who, what, where, when, and how much). Intinya, dalam

proses ini auditor akan menentukan apakah investigasi lebih lanjut

diperlukan atau tidak.

4. Pengembangan Rencana Pemeriksaan

Dalam tahap ini, auditor akan menyusun dokumentasi kasus yang

dihadapi, tujuan audit, prosedur pelaksanaan audit, serta tugas setiap

individu dalam tim. Setelah diadministrasikan, maka akan dihasilkan

konsep temuan. Konsep temuan ini kemudian akan dikomunikasikan

bersama tim audit serta klien.

5. Pemeriksaan Lanjutan

15

Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pengumpulan bukti serta

melakukan analisa atasnya. Dalam tahap ini lah audit sebenarnya

dijalankan. Auditor akan menjalankan teknik-teknik auditnya guna

mengidentifikasi secara meyakinkan adanya fraud dan pelaku fraud

tersebut.

6. Penyusunan Laporan

Pada tahap akhir ini, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit

forensik. Dalam laporan ini setidaknya ada 3 poin yang harus

diungkapkan. Poin-poin tersebut antara lain adalah:

1. Kondisi, yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan.

2. Kriteria, yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan

kegiatan. Oleh karena itu, jika kondisi tidak sesuai dengan kriteria

maka hal tersebut disebut sebagai temuan.

3. Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan.

Biasanya mencakup sebab fraud, kondisi fraud, serta penjelasan

detail mengenai fraud tersebut.

16

2.5 Praktek dan Kendala Audit Forensik di Indonesia

2.5.1 Praktek Audit Forensik di Indonesia

Dalam praktik di Indonesia, audit forensik hanya dilakukan oleh auditor BPK,

BPKP, dan KPK (yang merupakan lembaga pemerintah) yang memiliki sertifikat

CFE (Certified Fraud Examiners). Sebab, hingga saat ini belum ada sertifikat legal

untuk audit forensik dalam lingkungan publik. Oleh karena itu, ilmu audit forensik

dalam penerapannya di Indonesia hanya digunakan untuk deteksi dan investigasi

fraud, deteksi kerugian keuangan, serta untuk menjadi saksi ahli di pengadilan.

Sementara itu, penggunaan ilmu audit forensik dalam mendeteksi risiko fraud dan uji

tuntas dalam perusahaan swasta, belum dipraktikan di Indonesia.

Penggunaan audit forensik oleh BPK maupun KPK ini ternyata terbukti

memberi hasil yang luar biasa positif. Terbukti banyaknya kasus korupsi yang

terungkap oleh BPK maupun KPK. Tentunya kita masih ingat kasus BLBI yang

diungkap BPK. BPK mampu mengungkap penyimpangan BLBI sebesar Rp 84,8

Trilyun atau 59% dari total BLBI sebesar Rp144,5 Trilyun. Temuan tersebut

berimbas pada diadilinya beberapa mantan petinggi bank swasta nasional. Selain itu

juga ada audit investigatif dan forensik terhadap bail out Bank Century yang

dilakukan BPK meskipun memberikan hasil yang kurang maksimal karena faktor

politis yang sedemikian kental dalam kasus tersebut.

17

2.5.2 Kendala-Kendala Audit Forensik di Indonesia

Seperti dijelaskan sebelumnya, Indonesia merupakan negara yang paling

parah penyakit korupsinya. Penyakit ini tidak hanya di monopoli oleh lembaga

pemerintah, tetapi keberadaan penyakit ini di lembaga pemerintah harus disoroti

sejalan dengan keinginan untuk untuk menciptakan sistem pemerintahan yang bersih

(Good Government Governance). Sebenarnya Indonesia mempunyai lembaga-

lembaga sebagai perangkat pengawas keuangan mulai dari tertinggi seperti badan

pemeriksa keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

(BPKP), dan berbagai tingkat Inspektorat Sektoral dan Lintas Sektoral serta Kantor

Akuntan Pulik yang dapat diminta untuk melaksanakan audit jika dirasakan ada

indikasi tindak pidana korupsi. Namun yang terjadi sampai detik ini kasus korupsi

baik kecil maupun besar masih saja sulit diberantas, bahkan cenderung meningkat.

Penyebab utama yang mungkin adalah karena kelemahan audit pemerintahan

Indonesia. Mardiasmo (2000 dalam Exellent Lawyer, April 2010) menjelaskan bahwa

terdapat beberapa kelemahan dalam audit forensik di Indonesia, yaitu:

Pertama, tidak tersedianya performance indicator yang memadai sebagai

dasar untuk mengukur kinerja pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun daerah.

Hal tersebut umum dialami oleh organisasi publik karena output yang dihasilkannya

berupa pelayanan publik yang tidak mudah diukur. Kelemahan pertama ini bersifat

inheren.

18

Kedua, terkait dengan masalah struktur lembaga audit terhadap pemerintah

pusat dan daerah di Indonesia. Permasalahannya adalah banyaknya lembaga

pemeriksa fungsional yang overlapping satu dengan lainnya yang menyebabkan

ketidakefisienan dan ketidakefektifan pelaksanaan pengauditan. Untuk menciptakan

lembaga audit yang efisien dan efektif, maka diperlukan reposisi lembaga audit yang

ada, yaitu pemisahan fungsi dan tugas yang jelas dari lembaga-lembaga pemeriksa

pemerintah tersebut, apakah sebagai internal auditor atau eksternal auditor.

Berdasarkan kedudukannya kedudukannya terhadap pemerintah kita mengenal

adanya audit internal maupun audit eksternal. Audit internal dilaksanakan oleh

Inspektorat Jendral Departemen, Satuan Pengawas Interen (SPI) di lingkungan

lembaga Negara/BUMN/BUMD, Inspektorat Wilayah Propinsi (Itwilprop),

Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota (Itwilkab/ Itwilko), dan BPKP. Sedangkan audit

eksternal dilaksanakan oleh BPK sebagai unit pemeriksa yang independen karena

berada di luar organisasi yang diperiksa. Selanjutnya, Saefuddin (1997 dalam

Exellent Lawyer, April 2010) menguraikan hal-hal yang menyebabkan mengapa

korupsi di Indonesia sulit diberantas yaitu:

1. Mental pegawai yang keropos, yang menyababkan mereka tidak ambil pusing

untuk mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya. Mereka tak peduli untuk

menyalahgunakan jabatan atau posisinya demi untuk kepentingan pribadi.

19

2. Adanya ketidakrelaan menerima gaji yang relative terbatas dibandingkan dengan

tingkat kebutuhan yang layak. Hal ini menggiring mereka untuk mengejar

pendapatan cepat tanpa memperhatikan proporsi.

3. Hampir seluruh jenjang berlomba mencari peluang untuk menggapai pendapatan

sampingan, yang nilainya jauh lebih besar. Praktik korupsi terstruktur ini

terkristalisai sejalan dengan struktur “ABS (Asal Bapak Senang)”. Implikasinya,

banyak pimpinan yang “tutup mata” ketika disodori amplop. Implikasi lebih

lanjut adalah siapa yang menolak amplop terima kasih dinilai menentang

pimpinan, minimal menentang kemauan bersama.

Tambahan lagi, menurut Baswir (2000 dalam Exellent Lawyer, April 2010)

dijelaskan bahwa skandal-skandal yang terjadi di Indonesia (Bulog Gate misalnya)

adalah disebabkan karena kekacauan manajemen keuangan publik di Indonesia yang

meliputi :

a. Penyelenggaraan sejumlah kegiatan kegiatan publik di luar mekanisme APBN.

b. Dipeliharanya sejumlah dana publik diluar APBN.

c. Kehadiran sejumlah lembaga semipublik-semiprivat dalam lingkungan

pemerintahan.

Dalam situasi manajemen keuangan publik yang kacau itu, praktik korupsi

terus merajalela dalam tubuh pemerintahan. Praktik korupsi di Indonesia tidak lagi

dapat diisolir sebagai ekspresi niat jahat seseorang atau sekelompok orang untuk

memperkaya diri mereka sendiri, melainkan telah menjadi bagian yang integral dari

20

sistem penyelenggaraan negara yang telah dijalankan oleh pemerintah. Situasi

korupsi seperti ini disebut sebagai korupsi sistemik. Artinya, tingkat perkembangan

praktik korupsi di Indonesia sangat jauh melampaui tingkat korupsi personal dan

korupsi institusional. Praktik korupsi di Indonesia tidak dilakukan hanya oleh

beberapa orang atau oleh beberapa lembaga pemerintahan tertentu, melainkan

langsung dipelihara oleh negara.

Adanya diskriminasi penindakan terhadap pidana korupsi. Hanya kelas teri

yang terjaring pasal pidana korupsi, sementara koruptor kelas kakap di dera dengan

mutasi, maksimal diberhentikan dengan tidak tidak terhormat.

Selain itu, kurangnya sumber daya manusia atau auditor forensik di Indonesia

membuat pemberantasan korupsi berjalan dengan lambat. Namun demikian, kendala

ini senantiasa diatasi dengan adanya pelatihan-pelatihan terhadap para auditor

maupun calon auditor di Indonesia secara kontinu.

2.6 Kasus Audit Forensik

2.6.1 Deskripsi Kasus

Kasus PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) bermuara pada perbedaan

pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Komisaris yang merangkap

sebagai Ketua Komite Audit dimana Komisaris tersebut menolak menyetujui dan

menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan

21

Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat

disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada.

Perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris bersumber pada

perbedaan pendapat atas 4 hal, yaitu :

1. Masalah Piutang PPN.

Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp. 95,2 Milyar, menurut Komite

Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan

kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh

auditor. Manajemen menganggap bahwa pemberian jasa yang dilakukannya tidak

kena PPN, namun karena Dirjen Pajak menagih PPN atau jasa tersebut, PT KAI

menagih PPN tersebut kepada pelanggan.

2. Masalah Beban ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan.

Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 Milyar yang

merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2005 yang belum diamortisasi,

menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai

beban usaha.

3. Masalah Persediaan Dalam Perjalanan.

Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp. 1,4 Milyar yang

dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT KAI yang

belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit

seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.

22

4. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS) dan

Penyertaan Modal Negara (PMN).

BPYBDS sebesar Rp. 674,5 Milyar dan PMN sebesar Rp. 70 Milyar yang dalam

laporan Audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka

panjang, menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas

dalam neraca tahun buku 2005.

Pertanyaan mendasar yang menjadi fokus perhatian bersama adalah apakah

auditor eksternal telah menjalankan tugasnya sesuai standar-standar yang berlaku

(PSAK dan SPAP) dan berkomunikasi dengan Komite Audit ?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang perlu

diklarifikasi mengenai peran dan tanggung jawab Komisaris, beserta organnya

Komite Audit dalam proses good corporate governance di perusahaan, baik BUMN

maupun swasta.

Menurut teori dan best practices dalam good corporate governance, Dewan

Komisaris dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya memiliki 3 fungsi,

yaitu:

1. Advising

Memberi nasehat bagaimana seharusnya Direksi bersikap. Oleh sebab itu

sebaiknya Dewan Komisaris terdiri dari beberapa latar belakang.

2. Protecting

Melindungi perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan.

23

Misalnya memberikan argumentasi dan pendapat independen yang kuat atas

sesuatu yang dapat merugikan perusahaan dan tidak sejalan dengan prinsip-

prinsip GCG.

3. Supervising

Mengawasi pengelolaan perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan agar

mampu menciptakan value yang optimal bagi stakeholders.

Peran vital yang dijalankan oleh Komite Audit adalah membantu Dewan

Komisaris dalam 3 hal tersebut diatas, yaitu advising, supervising dan protecting

(dengan cara memberikan analisis bagaimana memproteksi perusahaan). Hal

terpenting yang harus dipahami adalah bahwa Komite Audit tidak memiliki suara

untuk mengatasnamakan perusahaan sehingga tidak diperkenankan berbicara di luar

perusahaan. Karena Komite Audit merupakan tools Dewan Komisaris dengan

demikian yang berhak untuk berbicara adalah Dewan Komisaris.

Khusus dalam proses audit, Komite Audit memainkan peranan yang sangat

penting dalam :

1. Mereview audit plan

2. Mendiskusikan penunjukan auditor eksternal. Pada saat proses lelang, Komite

Audit harus sudah ikut untuk melihat apakah auditor eksternal layak dipilih dan

melihat fairness proses pemilihan. Yang akan bicara kepada Direksi adalah

Dewan Komisaris, bukan Komite Audit. Jangan sampai Komite Audit over duties

(berlebih-lebihan).

24

3. Mereview transaksi-transaksi besar untuk dilaporkan kepada Dewan Komisaris,

kemudian Dewan Komisaris berkomunikasi dengan Direksi.

Agar pengawasan Dewan Komisaris dapat berjalan dengan baik, Komite

Audit dapat membantu Dewan Komisaris untuk memberikan nasehat dengan cara :

1. Mereview internal control system, ada pemisahan fungsi atau tidak (internal

control setting) bagus atau tidak. Hal ini dilaporkan kepada Dewan Komisaris.

2. Komunikasi antara Komite Audit, Dewan Komisaris dan manajemen. Seharusnya

Komite Audit membantu Dewan Komisaris dalam menelaah/mereview laporan

manajemen karena tidak selalu 100 % laporan keuangan dipahami oleh Dewan

Komisaris, terutama karena latar belakang yang bukan keuangan. Jadi fungsi

Komite Audit adalah mentransformasikan angka-angka kedalam suatu bentuk

usulan kepada Dewan Komisaris agar Dewan Komisaris dapat memberikan

advise kepada Direksi.

Kasus PT KAI menarik untuk dicermati karena kasus ini dapat terjadi di

perusahaan lainnya. Apapun permasalahan yang terjadi apabila diantara Direksi dan

Komisaris terjadi perbedaan pendapat yang rugi adalah perusahaan, dimana social

and political cost-nya sangat tinggi. Selain itu masing-masing pihak yang sedang

berselisih pendapat (yaitu Direksi maupun Komisaris) akan dimanfaatkan oleh pihak-

pihak tertentu sehingga akan sangat merugikan perusahaan, yang pada akhirnya akan

mengganggu keberlangsungan (sustainability) perusahaan.

25

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT KAI adalah karena

rumitnya laporan keuangan PT KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan

depo dan gudang yang seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah,

sehingga yang berpotensi menyebabkan masalah maupun perbedaan pendapat di

kemudian hari. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baru sebagian kecil

proses akuntansi dilaksanakan dengan komputer. Sebenarnya sistem akuntansi PT

KAI cukup modern untuk penyusunan laporan keuangan dan informasi manajemen,

namun karena kedua hal tersebut diatas maka sistem akuntansi tersebut tidak dapat

berfungsi dengan baik.

Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi juga merupakan

masalah yang rumit karena sistem otorisasi anggaran yang kompleks. Kenyataan lain

yang turut mendorong terjadinya kasus laporan keuangan PT KAI adalah bahwa

proses akuntansi dan laporan keuangan adalah hanya urusan bagian akuntansi, unit

lain kurang terlibat dan tidak memiliki sense of belonging, sehingga hal ini jelas

menyulitkan bagi bagian akuntansi.

Selain beberapa hal teknis tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi

turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT KAI adalah:

1. Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya

Auditor Eksternal.

2. Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan auditor sehingga tidak terlibat

dalam proses audit.

26

3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada Komite Audit

dan Komite Audit juga tidak menanyakannya.

4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun,

sehingga ketika Komite Audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak

yakin.

Beberapa aktifitas bisnis PT KAI yang juga berpotensi menimbulkan masalah

di kemudian hari adalah :

1. Adanya transaksi antara PT KAI dan Negara yang kebijakan dan sistem

perhitungannya belum dipahami dan disepakati dengan baik (PSO : Public

Service Obligation, IMO : Infrastructure Maintenance and Operation, TAC :

Track Access Charges).

2. Transaksi masa sebelumnya yang masih belum terselesaikan (BPYBDS,

perubahan status perusahaan).

3. Perubahan peraturan pemerintah (termasuk peraturan perpajakan).

4. Penyelesaian Past Service Liability /PSL Pensiun Pegawai.

5. RUU Perkeretaapian dengan kemungkinan “Unbundling” dari aktifitas

perusahaan dan keikutsertaan swasta.

2.6.2 Solusi dan Rekomendasi

Dengan pembahasan kasus audit umum PT KAI, beberapa pelajaran berharga

dapat dipetik dari kasus tersebut, diantaranya adalah :

27

1. Perselisahan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan

dengan cara yang lebih elegan. Apabila Dewan Komisaris merasa Direksi tidak

capable memimpin perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengusulkan kepada

pemegang saham untuk mengganti Direksi. Hal ini akan jauh lebih baik dan

tentunya mampu menghindarkan perusahaan dari social cost yang tidak perlu.

Social cost seringkali timbul karena public judgement yang sudah terlanjur

dijatuhkan dan seringkali public judgement ini tidak fair bagi perusahaan.

2. Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila

Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan

seluruh Dewan Komisaris sehingga Dewan Komisaris memiliki satu suara.

Namun demikian bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan pendapat

dalam Dewan Komisaris. Perbedaan pendapat diakomodir dengan jelas dalam

dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah rapat. Untuk itulah perlunya

kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk memilah-milah

informasi apa saja yang merupakan public domain dan informasi yang merupakan

private domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan prinsip GCG yaitu

transparansi, karena transparansi bukan berarti memberikan seluruh informasi

perusahaan kepada semua orang, namun harus tepat sasaran dan memberikan nilai

tambah bagi perusahaan.

3. Sesuai dengan SA 380, Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit

merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan.

28

Kasus PT KAI merupakan cerminan bahwa komunikasi yang intens antara

Auditor Eksternal dengan Komite Audit sangat diperlukan. Kendala komunikasi

yang dihadapi pada kasus PT KAI salah satunya dipicu oleh adanya pergantian

anggota Komite Audit pada saat pelaksanaan audit. Auditor eksternal mengalami

hambatan karena terdapat kekosongan beberapa bulan sebelum anggota Komite

Audit yang baru diangkat.

4. Komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta

dengan baik merupakan salah satu faktor yang turut memiliki andil dalam

memicu kasus ini. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Komite Audit sangat

mengandalkan Internal Auditor dalam menjalankan tugasnya untuk mengetahui

berbagai hal yang terjadi dalam operasional perusahaan. Sebagai ilustrasi

mengenai kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan Auditor Internal, sejak

Komite Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum pernah satu

kalipun terjadi komunikasi antara Komite Audit dengan Auditor Internal untuk

proses audit tahun buku 2006.

5. Terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu

ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada

pengetahuan dan prinsip akuntansi yang berlaku. Dengan demikian bukan berarti

kebijakan akuntansi yang telah dilakukan tahun lalu akan dianggap konsisten

apabila tahun ini tetap dilakukan.

29

6. Beberapa hal teknis yang perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah

PSAK yang khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO

(Infrastructure Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges) dan

BPYBDS serta komputerisasi akuntansi dan penyederhanaan chart of account

atau penyederhanaan sistem akuntansi.

Khusus untuk PT KAI, beberapa masukan yang dapat diterapkan untuk

memperbaiki kondisi yang telah terjadi saat ini adalah :

1. Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal,

karena opini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.

2. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena

konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan. Kesalahan-kesalahan sudah

terakumulasi dari tahun-tahun sebelumnya sehingga terdapat dua alternatif, yaitu

di restatement atau dikoreksi. Keputusan mengenai opsi yang dipilih sepenuhnya

tergantung dari Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP), karena kasus

PT KAI sedang diproses disana.

3. Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit

adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit

harus disampaikan kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak

setuju dengan Komite Audit namun Komite Audit tetap pada pendiriannya,

Komite Audit dapat mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang

terdapat dalam laporan tahunan perusahaan.

30

4. Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk

membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi,

sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan

individu dalam organisasi.

5. Komite Audit berperan aktif dalam melakukan risk mapping, mengkoordinasikan

seluruh tahapan proses auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program,

mengevaluasi dan memberikan hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang

akan mengkomunikasikannya kepada Direksi.

6. Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full

disclosure.

7. Komite Audit menjembatani agar semua pihak di perusahaan terlibat aktif dalam

pengawasan. Kunci untuk merekatkan semua pihak dijalankan oleh Auditor

Internal yang berkomunikasi intens dengan Komite Audit.

Pembelajaran menarik dalam aspek public governance pada kasus ini adalah

mengenai Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS).

Sebagai perwakilan pemegang saham (yaitu Pemerintah), departemen teknis terkait

dan Kementerian BUMN seharusnya tegas dalam menentukan BPYBDS ini, apakah

merupakan penyertaan modal atau hutang. Fakta yang terjadi saat ini adalah

BPYBDS statusnya tetap dibiarkan tidak jelas sampai bertahun-tahun sehingga

nilainya di beberapa BUMN mencapai triliunan rupiah. Hal ini jelas akan berpotensi

menimbulkan masalah di masa yang akan datang, karena akan menyulitkan

31

perusahaan dalam mengelompokkannya, apakah termasuk aset atau kewajiban

(liability).

Terlepas dari kasus audit umum PT KAI, concern yang mengemuka terkait

dengan Auditor Eksternal adalah merebaknya praktek penipuan dan manipulasi yang

dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan mengatasnamakan

Kantor Akuntan Publik yang ada atau memalsukan/membuat nama Kantor Akuntan

Publik yang sebenarnya tidak terdaftar sebagai akuntan publik.

Secara prinsip Komite Audit sangat tergantung pada akuntan publik. Terkait

dengan praktek penipuan tersebut, untuk meningkatkan citra profesi IAI

Kompartemen Akuntan Publik telah membentuk Dewan Review Mutu untuk

mereview mutu pekerjaan akuntan publik. Untuk itu peran aktif pengguna jasa

akuntan publik sangat dibutuhkan karena hanya dengan pengaduan suatu tindakan

penipuan atau manipulasi dapat ditindaklanjuti oleh IAI.

32