21
5 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Modal Sosial Modal sosial (social capital) dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok dan organisasi (Coleman, 1999). Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinsikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Fukuyama (1995) mendifinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai- nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Adapun Cox (1995) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Sejalan dengan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan - hubungan yang tercipta dan norma- norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00127-MN Bab2001.pdfsebagai perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok

  • Upload
    lehanh

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

5

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Modal Sosial

Modal sosial (social capital) dapat didefinisikan sebagai kemampuan

masyarakat untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam

berbagai kelompok dan organisasi (Coleman, 1999).

Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinsikan, modal sosial adalah

kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan

selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan

ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain.

Fukuyama (1995) mendifinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-

nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu

kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Adapun Cox

(1995) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar

manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang

memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan

dan kebajikan bersama.

Sejalan dengan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (1999)

mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan - hubungan yang tercipta dan norma-

norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial

6

dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social

glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur

yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-

nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong

kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk

menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.

Adapun menurut Cohen dan Prusak L. (2001), modal sosial adalah sebagai

setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), saling

pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang

mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat

dilakukan secara efisien dan efektif. Senada dengan Cohen dan Prusak L., Hasbullah

(2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan

kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih

baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur unsur utamanya sepetri

trust (rasa saling mempercayai), ketimbalbalikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu

masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.

2.1.2 Dimensi Modal Sosial

Modal sosial (social capital) berbeda definisi dan terminologinya dengan

human capital (Fukuyama, 1995). Bentuk human capital adalah ‘pengetahuan’ dan

‘ketrampilan’ manusia. Ivestasi human capital kovensional adalah dalam bentuk

seperti halnya pendidikan universitas, pelatihan menjadi seorang mekanik atau

programmer computer, atau menyelenggarakan pendidikan yang tepat lainnya.

Sedangkan modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di

dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat

7

dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan

juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya Negara (bangsa).

Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme - mekanisme kultural seperti

agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial dibutuhkan

untuk menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam

kasus bentukbentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan

terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus

mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan dependability.

Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum.

Bank Dunia meyakini modal sosial adalah sebagai sesuatu yang merujuk ke

dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang

membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial

bukanlah sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok yang menopang

(underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas. Yaitu

sebagai perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara

bersama-sama.

Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didalamnya

berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan

keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000). Oleh karena itu Adler dan

Kwon (2000) menyatakan, dimensi modal sosial adalah merupakan gambaran dari

keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan

keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika sosial yang terjadi di dalam

masyarakat.

Dimensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat

masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta

8

didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi

(Dasgupta dan Serageldin, 1999). Dimensi modal sosial inheren dalam struktur relasi

sosial dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai

ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran

informasi, dan menetapkan norma-norma, serta sangsi-sangsi sosial bagi para

anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999).

Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) dengan tegas menyatakan, belum

tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap,

bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi

hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan

(trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan,

kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas

masyarakat yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh para

anggotanya. Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan pernyataan yang berkisar

pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan.

Setidaknya dengan mendasarkan pada konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka

dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi dari modal sosial adalah memberikan

penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki

kualitas hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara

terus menerus. Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut,

masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani

sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku, serta berhubungan atau

membangun jaringan dengan pihak lain.

Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain:

sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan

9

menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-

norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah

kemauan masyarakat untuk secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahakan

nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide

baru. Inilah jati diri modal sosial yang sebenarnya.

Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), dimensi inti telaah dari modal

sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama

membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut

diwarnai oleh suatu pola inter relasi yang timbal balik dan saling menguntungkan

serta dibangun diatas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai

sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh

semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip sikap yang

partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling

percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang

mendukungnya.

Definisi modal sosial, bersama dengan peran dan kegiatan social

entrepreneur, telah menjadi subyek perdebatan. Klarifikasi dimensi modal sosial

merupakan penelitian dengan prioritas tinggi (Putnam 1995a). Nahapiet dan Ghoshal,

misalnya, membuat perbedaan yang berguna antara tiga dimensi modal sosial yaitu

dimensi struktural (konfigurasi jaringan sosial), dimensi kognitif (sistem berbagi

makna, narasi, bahasa), dan dimensi relasional (norma, kepercayaan, kewajiban).

Pandangan struktural kami, kewirausahaan sosial menekankan dimensi pertama,

menjelajahi struktur dasar modal sosial (lubang struktural terhadap kohesivitas

sosial), strategi yang berhubungan dengan kewirausahaan (perpecahan vs serikat)

dan hubungan antara konteks kelembagaan dan strategi. Perbedaan kita, seperti yang

10

kita menguraikan bawah, membantu untuk memperjelas perdebatan dan

menyelesaikan beberapa kebingungan tentang pendekatan struktural untuk modal

sosial dan kewirausahaan sosial. Meskipun kami menekankan dimensi struktural

modal sosial, kami mengakui pentingnya dimensi kognitif dan relasional.

2.1.3 Tipologi Modal Sosial

Mereka yang memiliki perhatian terhadap modal sosial pada umumnya

tertarik untuk mengkaji kerekatan hubungan sosial dimana masyarakat terlibat

didalamnya, terutama kaitannya dengan pola-pola interaksi sosial atau hubungan

sosial antar anggota masyarakat atau kelompok dalam suatu kegiatan sosial.

Bagaimana keanggotaan dan aktivitas mereka dalam suatu asosiasi sosial merupakan

hal yang selalu menarik untuk dikaji.

Dimensi lain yang juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan

dengan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut

konsekuensinya antara modal sosial yang berbentuk bonding/exclusive atau bridging

atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda pada hasil-hasil yang

dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam proses kehidupan

dan pembangunan masyarakat.

(a) Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital)

Modal sosial terikat adalah cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006).

Apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus

sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, adalah lebih

berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar

(outward looking). Ragam masyarakat yang menjadi anggota kelompok ini pada

umumnya homogenius (cenderung homogen).

11

Di dalam bahasa lain bonding social capital ini dikenal pula sebagai ciri

sacred society. Menurut Putman (1993), pada masyarakat sacred society dogma

tertentu mendominasi dan mempertahankan struktur masyarakat yang totalitarian,

hierarchical, dan tertutup. Di dalam pola interaksi sosial sehari-hari selalu dituntun

oleh nilai-nilai dan norma norma yang menguntungkan level hierarki tertentu dan

feodal.

Hasbullah (2006) menyatakan, pada mayarakat yang bonded atau inward

looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat

kohesifitas yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat

tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat. Kekuatan yang

tumbuh sekedar dalam batas kelompok dalam keadaan tertentu, setruktur hierarki

feodal, kohesivitas yang bersifat bonding.

Secara umum pola yang demikian ini akan lebih banyak membawa pengaruh

negatif dibandingkan dengan pengaruh positifnya. Kekuatan interaksi sosial

terkadang berkecenderungan untuk menjauhi, menghindar, bahkan pada situasi yang

ekstrim mengidap kebencian terhadap masyarakat lain di luar kelompok, group,

asosiasi dan sukunya. Oleh karena itu di dalam keikatannya dengan upaya

pembangunan masyarakat di negara-negara berkembang saat ini, mengidentifikasi

dan mengetahui secara seksama tentang kecenderungan dan konfigurasi modal sosial

di masing-masing daerah menjadi salah satu kebutuhan utama.

Dapat ditarik suatu benang merah bahwa, adalah keliru jika pada masyarakat

tradisional yang socially inward looking kelompok-kelompok masyarakat yang

terbentuk dikatakan tidak memiliki modal sosial. Modal sosial itu ada, akan tetapi

kekuatannya terbatas pada satu dimensi saja, yaitu dimensi kohesivitas kelompok.

Kohesivitas kelompok yang terbentuk karena faktor keeratan hubungan emosional

12

kedalam yang sangat kuat. Keeratan tersebut juga disebabkan oleh pola nilai yang

melekat dalam setiap proses interaksi yang juga berpola tradisional.

Mereka juga miskin dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat modern

yang mengutamakan efisiensi produktivitas dan kompetisi yang dibangun atas

prinsip pergaulan yang egaliter dan bebas. Konsekuensi lain dari sifat dan tipologi

ketertutupan sosial ini adalah sulitnya mengembangkan ide baru, orientasi baru, dan

nilai-nilai serta norma baru yang memperkaya nilai-nilai dan norma yang telah ada.

Kelompok bonding social capital yang terbentuk pada akhirnya memiliki resistensi

kuat terhadap perubahan. Pada situasi tertentu, kelompok masyakakat yang demikian

bahkan akan menghambat hubungan yang kreatif dengan negara, dengan kelomok

masyarakat lain, serta menghambat pembangunan masyarakat itu sendiri secara

keseluruhan.

Dampak negatif lain yang sangat menonjol di era modern ini adalah masih

kuatnya dominasi kelompok masyarakat bonding social capital yang mewarnai

kehidupan masyarakat atau bangsa (Putman, Leonardi, Nanetti, 1993). Konsekuensi

akan kuat pula tingkat akamodasi masyarakat terhadap berbagai perilaku

penyimpangan yang dilakukan oleh anggota kelompok terhadap kelompok lain atau

negara, yang berada di luar kelompok mereka.

Demikian pula sudah merupakan fakta umum, bahwa sering sekali

sekelompok ilmuwan ekonomi, para perencana dan para praktisi pembangunan

dibuat kaget dan gelisah mengamati hasil-hasil pembangunan yang dicapai. Antar

daerah di suatu negara stimulus pembangunan yang dicapai cenderung sama, akan

tetapi hasilnya jauh berbeda. Selama ini kajian-kajian penyebab terjadinya disparsitas

tersebut diarahkan pada varian human capital yang ada di suatu wilayah atau daerah

13

dan beberapa faktor lainnya, akan tetapi mengabaikan adanya varian kultural yang

direfleksikan oleh adanya variasi-variasi konfigurasi dan tipologi modal sosial.

(b) Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital)

Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini

biasa juga disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi, atau

masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip-

prinsip universal tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, serta (c) nilai-nilai

kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri).

Prinsip persamaan, artinya setiap anggota dalam suatu kelompok masyarakat

memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Setiap keputusan kelompok

berdasarkan kesepakatan yang egaliter dari setiap anggota kelompok. Pimpinan

kelompok masyarakat hanya menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang telah

ditentukan oleh para anggota kelompok. Prinsip kebebasan, artinya setiap anggota

kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat

mengembangkan kelompok tersebut. Iklim kebebasan yang tercipta memungkinkan

ide-ide kreatif muncul dari dalam (kelompok), yaitu dari beragam pikiran anggotanya

yang kelak akan memperkaya ide-ide kolektif yang tumbuh dalam kelompok

tersebut.

Prinsip kemajemukan dan humanitarian, artinya nilai-nilai kemanusiaan,

penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain yang merupakan

prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok, atau suatu

masyarakat. Kehendak kuat untuk membantu orang lain, merasakan penderitaan

orang lain, berempati terhadap situasi yang dihadapi orang lain, adalah merupakan

dasar-dasar ide humanitarian.

14

Sebagai konsekuensinya, masyarakat,yang menyandarkan pada bridging

social capital biasanya hiterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya

dan suku. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat

jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan,

dan kebebasan yang dimiliki. Bridging social capital akan membuka jalan untuk

lebih cepat berkembang dengan kemampuan menciptakan networking yang kuat,

menggerakkan identitas yang lebih luas dan reciprocity yang lebih variatif, serta

akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsip-

prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal.

Mengikuti Coleman (1999), tipologi masyarakat bridging social capital

dalam gerakannya lebih memberikan tekanan pada demensi fight for (berjuang

untuk). Yaitu yang mengarah kepada pencarian jawaban bersama untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok (pada situasi tertentu,

termasuk problem di dalam kelompok atau problem yang terjadi di luar kelompok

tersebut). Pada keadaan tertentu jiwa gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight

againts yang bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan

runtuhnya simbul-simbul dan kepercayaan-kepercayaan tradisional yang dianut oleh

kelompok masyarakat. Pada kelompok masyarakat yang demikian ini, perilaku

kelompok yang dominan adalah sekedar sense of solidarity (solidarity making).

Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging capital social) umumnya

mampu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan

masyarakat. Hasil-hasil kajian di banyak negara menunjukkan bahwa dengan

tumbuhnya bentuk modal sosial yang menjembatani ini memungkinan

perkembangan di banyak dimensi kehidupan, terkontrolnya korupsi, semakin

efisiennya pekerjaan-pekerjaan pemerintah, mempercepat keberhasilan upaya

15

penanggulangan kemiskinan, kualitas hidup manusia akan meningkatkan dan bangsa

menjadi jauh lebih kuat.

Persoalannya menurut Hasbullah (2006), fakta yang ada di negara-negara

berkembang menunjukkan kecenderungan bahwa dampak positif modal sosial dari

mekanisme outward looking tidak berjalan seperti yang diidealkan. Walaupun

asosiasi yang dibangun oleh masyarakat dengan keaggotaannya yang hiterogen dan

dibentuk dengan focus dan jiwa untuk mengatasi problem sosial ekonomi masyarakat

(problem solving oriented), akan tetapi tidak mampu bekerja secara optimal.

Tabel 2.1 Modal Sosial Terikat dan Modal Sosial Menjembatani

Bonding Social Capital Bridging Social Capital

• Terikat/ketat, raingan yang

eksklusif.

• Perbedaan yang kuat antara ‘orang

kami’ Dn ‘orang luar’.

• Hanya ada satu alternative jawaban.

• Sulit menerima arus perubahan.

• Kurang akomodatif terhadap pihak

luar.

• Mengutamakan kepentingan

kelompok.

• Mengutamakan solidaritas

kelompok.

• Terbuka

• Memiliki jaringan yang lebih

fleksibel.

• Toleran.

• Memungkinkan untuk memiliki

banyak alternative jawaban dan

penyelesaian masalah.

• Akomodatif untuk menerima

perubahan.

• Cenderung memiliki sikap yang

altruistic, humanitaristik, dan

universal.

Sumber: Hasbullah (2006)

16

2.1.4 Orientasi Kewirausahaan

Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar,

kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa literatur

manajemen memberikan tiga landasan dimensi-dimensi dari kecenderungan

organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, yakni kemampuan inovasi,

kemampuan mengambil risiko, dan sifat proaktif (Weerawardeena, 2003; Matsuno,

Mentzer dan Ozsomer, 2002).

Kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja

perusahaan. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai

mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan.

Kewirausahaan disebut-sebut sebagai spearhead (pelopor) untuk mewujudkan

pertumbuhan ekonomi perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.

Membangun kewirausahaan dinyatakan sebagai satu dari empat pilar dalam

memperkuat lapangan pekerjaan. Sedangkan Wirausaha sendiri berarti suatu kegiatan

manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai /

menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata lain,

wirausaha berarti manusia utama (unggul) dalam menghasilkan suatu pekerjaan bagi

dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha dinamakan

wirausahawan. Bentuk dari aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan dapat

diindikasikan dengan orientasi kewirausahaan dengan indikasi kemampuan inovasi,

proatifitas, dan kemampuan mengambil resiko (Looy et al. 2003).

Kemampuan inovasi berhubungan dengan persepsi dan aktivitas terhadap

aktivitas-aktivitas bisnis yang baru dan unik. Kemampuan berinovasi adalah titik

penting dari kewirausahaan dan esensi dari karakteristik kewirausahaan. Beberapa

hasil penelitian dan literature kewirausahaan menunjukkan bahwa orientasi

17

kewirausahaan lebih signifikan mempunyai kemampuan inovasi daripada yang tidak

memiliki kemampuan dalam kewirausahaan.

Proaktifitas seseorang untuk berusaha berprestasi merupakan petunjuk lain

dari aplikasi atas orientasi kewirausahaan secara pribadi. Demikian pula bila suatu

perusahaan menekankan proaktifitas dalam kegiatan bisnisnya, maka perusahaan

tersebut telah melakukan aktifitas kewirausahaan yang akan secara otomatis

mendorong tinginya kinerja (Weerawardena, 2003). Perusahaan dengan aktifitas

kewirausahaan yang tinggi berarti tampak dari tingginya semangat yang tidak pernah

padam karena hambatan, rintangan, dan tantangan. Sikap aktif dan dinamis adalah

kata kuncinya.

Seseorang yang berani mengambil risiko dapat didefinisikan sebagai

seseorang yang berorientasi pada peluang dalam ketidakpastian konteks pengambilan

keputusan. Hambatan risiko merupakan faktor kunci yang membedakan perusahaan

dengan jiwa wirausaha dan tidak. Fungsi utama dari tingginya orientasi

kewirausahaan adalah bagaimana melibatkan pengukuran risiko dan pengambilan

risiko secara optimal (Looy et al. 2003).

Penelitian ini mengadopsi indikator variabel orientasi kewirausahaan, yaitu:

kemampuan berinovasi, proaktitas, dan keberanian dalam mengambil risiko seperti

yang telah digunakan dalam penelitian Weerawardena (2003).

Orientasi Wirausaha, atau beberapa dimensinya, telah dikaitkan dengan efek

positif terkait dengan kinerja (Chow 2006; Coulthard 2007; De Clerq & Ruis 2007;

Jantunen, Puumalainen, Saarenketo & Kylaheiko 2005) atau dengan hubungan

negatif (Naldi, Nordqvist, Sjöberg & Wiklund 2007). Dimensi Komponen lima EO -

yaitu, inovasi, otonomi, proactiveness, agresivitas kompetitif dan pengambilan

resiko, seperti yang disarankan oleh Lumpkin dan Dess (1996).

18

Inovasi

Schumpeter (2002), "jenis murni genus pengusaha " adalah " pengusaha yang

membatasi dirinya secara ketat dengan fungsi karakteristik kewirausahaan,

pelaksanaan dari kombinasi baru ", dalam kata: 'inovasi'. Menurut Lumpkin dan Dess

(1996), inovasi mencerminkan kecenderungan perusahaan "Untuk terlibat dan

mendukung ide-ide baru, kebaruan, eksperimentasi, dan proses kreatif yang dapat

mengakibatkan produk baru, jasa, atau proses teknologi ". Inovasi adalah sarana

penting mengejar peluang dan sebagainya merupakan komponen penting dari

orientasi kewirausahaan (Lumpkin & Dess, 1996).

Otonomi

Lumpkin dan Dess (1996) percaya bahwa "jiwa independen" diperlukan

untuk kewirausahaan, dan otonomi mengacu pada tindakan independen dalam hal

"membawa ide atau visi hingga tujuan tercapai ", termasuk konsep

tindakan bebas dan independen serta pengambilan keputusan. "Sebuah

kecenderungan independen dan tindakan otonom "adalah komponen kunci dari

orientasi kewirausahaan, karena intensionalitas harus dilakukan.

Proactiveness

Proactiveness berkaitan dengan inisiatif dan keuntungan first mover, dan

untuk "mengambil inisiatif dengan mengantisipasi dan mengejar peluang baru

"(Lumpkin & Dess 1996). Proactiveness dikaitkan dengan kepemimpinan, dan tidak

mengikuti, sebagai proaktif perusahaan "memiliki kemauan dan keinginan untuk

menangkap peluang baru, bahkan jika bukan kita yang selalu menjadi orang pertama

untuk melakukannya ", menurut Lumpkin dan Dess (1996). Proactiveness dianggap

berbeda dari agresivitas kompetitif, yang berkaitan dengan peluang pasar dalam

19

kewirausahaan dengan "merebut inisiatif dan bertindak oportunis untuk membentuk

lingkungan "(Lumpkin & Dess 1996).

Kompetitif Agresivitas

Kompetitif Agresivitas menurut Lumpkin dan Dess (1996), "mengacu pada

kecenderungan perusahaan untuk secara langsung dan intens menantang pesaingnya

untuk mencapai entri atau meningkatkan posisi "dan ditandai oleh tanggap dalam hal

konfrontasi atau tindakan reaktif. Berbeda dengan proactiveness, yang berkaitan

dengan peluang pasar, kompetitif agresivitas (Lumpkin & Dess 1996) mengacu pada

bagaimana perusahaan "Berhubungan dengan pesaing" dan "menanggapi tren dan

permintaan yang sudah ada di pasar ".

Mengambil Resiko

Metode atau gaya manajemen yang berhubungan dengan pengambilan risiko

merupakan indikasi orientasi kewirausahaan. Namun, dalam konteks yang berbeda,

efek dimensi orientasi kewirausahaan termasuk pengambilan risiko yang diharapkan

berbeda dalam hal pengaruhnya terhadap kinerja sesuai dengan konteks spesifik

(Lumpkin & Dess 1996). Setelah membahas berbagai dimensi Orientasi

kewirausahaan, perlu untuk merefleksikan pengertian kinerja kewirausahaan dan

bagaimana Orientasi kewirausahaan diambil sebagai indikator kinerja

kewirausahaan.

2.1.5 Kinerja Kewirausahaan

Pada umumnya, kisah tentang wirausaha sering menceritakan alasan- alasan

yang menyebabkan keberhasilan dan kesuksesan mereka, namun jarang mereka

menceritakan alasan- alasan kegagalan mereka. Pada kenyataanya terdapat juga

wirausaha yang gagal. Berikut ini penyebab kegagalan wirausaha.

20

1) Kurangnya pengalaman manajemen

Banyak wirausaha yang tidak sepenuhnya memahami sulitnya

mengoperasikan sebuah perusahaan. Ada beberapa wirausaha yang akan

memasuki dunia bisnis, tetapi mereka tidak tahu cara mengelolanya.

Pada waktu persoalan bisnis muncul, mereka tidak mampu

mengatasinya. Misalnya seorang wirausaha dengan latar belakang pendidikan

teknik mungkin mempunyai kecakapan dalam desain produk. Tetapi dia tidak

memahami akuntansi, keuangan, pemasaran, penjualan, dan manajemen SDM

(Sumber Daya Manusia). Apabila disiplin bisnis ini diabaikan maka dapat

menyebabkan kegagalan bisnis.

2) Kurang Mampu membuat perencanaan keuangan

Wirausaha yang berpikir bahwa mereka akan mendapat modal yang

cukup pada tahun – tahun pertama usaha mereka akan kehabisan modal

sebelum akhir tahun pertama. Penyusunan anggaran yang kurang seimbang

akan mengakibatkan defisit keuangan. Sehingga dalam menggunakan modal

harus memerhatikan penggunaan untuk masa sekarang dan masa yang akan

datang.

3) Kurang mampu menganalisa lokasi

Diantara para wirausaha berusaha menghemat biaya dengan

menempati lokasi yang kurang menguntungkan. Penempatan lokasi seperti itu

akan merugikan wirausaha itu sendiri, karena pelanggan tidak teertarik untuk

datang ke lokasi tersebut. Pemilihan lokasi yang benar merupakan salah satu

faktor penting dalam mendirikan sebuah usaha.

21

4) Bersifat boros

Ada beberapa wirausaha yang lebih mengutamakan modal tetap

daripada modal lancar. Misalnya mereka lebih memilih membeli mebel dan

perlengkapan kantor baru dari pada yang bekas. Ini menyebabkan modal

kerja yang sedianya untuk mengoperasikan perusahaan menjadi terbatas,

sehingga akan menyebabkan timbulnya persoalan lain.

5) Kurang bersedia untuk berkorban

Wirausaha harus berani berkorban dengan bekerja keras, terutama

pada tahun – tahun yang merupakan masa pertumbuhan bisnis mereka.

Mereka bersedia bekerja dengan jam kerja melebihi jam kerja rata-rata yang

dilakukan oleh ornag lain. Mereka harus menghadapi kesulitan sehingga

perusahaan menjadi kuat.

Sejalan dengan pertimbangan kami bahwa kewirausahaan adalah sebuah

mesin penting bagi generasi-mencakup kegiatan usaha, kami menganggap bahwa

kinerja kewirausahaan merupakan salah satu ukuran kinerja kunci untuk penelitian

kami. Menurut Lumpkin and Dess (1996), Kinerja Wirausaha didefinisikan sebagai

jumlah inovasi organisasi, pembaharuan, dan upaya bertualang di mana inovasi

melibatkan menciptakan dan memperkenalkan produk, proses produksi dan sistem

organisasi.

Pembaruan berarti revitalisasi operasi perusahaan dengan mengubah ruang

lingkup bisnisnya, pendekatan kompetitif, dan memperoleh kemampuan baru dan

kemudian secara kreatif memanfaatkan mereka untuk menambah nilai bagi

pemegang saham. Mengawali berarti bahwa organisasi akan memasuki bisnis baru

dengan memperluas operasi di pasar yang sudah ada atau yang baru.

Pandangan kewirausahaan terhadap kinerja menganggap bahwa keunggulan

22

kinerja perusahaan relatif lebih kompetitif, sebagai sarjana manajemen strategis teru,

Bukan merupakan ukuran yang cukup untuk kinerja kewirausahaan, hal ini terkait

wawasan bahwa keunggulan kinerja mungkin tidak cukup untuk mengimbangi biaya

kesempatan alternatif lain, premi likuiditas untuk waktu dan modal dan premi untuk

bantalan ketidakpastian. Kewirausahaan peneliti lebih mempertimbangkan kinerja

sebagai sejauh mana peluang berharga (sebagai contoh, entri baru) dieksploitasi, ada

dengan menciptakan rente kewirausahaan.

Definisi di atas kinerja kewirausahaan sebagai 'jumlah inovasi organisasi,

pembaharuan, dan upaya bertualang' mungkin membuat kebingungan dengan ukuran

orientasi kewirausahaan, Orientasi kewirausahaan didefinisikan sebagai indikasi

sikap kewirausahaan dan praktek pada tingkat perusahaan, dengan demikian,

Orientasi kewirausahaan menentukan kecenderungan perusahaan untuk menjadi

wirausaha, dan merupakan ukuran dari sikap perusahaan untuk melakukan upaya

kewirausahaan.

Untuk menghindari kebingungan antara dua istilah, kita melihat kinerja

kewirausahaan sebagai inisiatif kewirausahaan yang sebenarnya dalam hal inovasi,

pembaharuan, dan bertualang dan karenanya sebagai manifestasi dari sikap

kewirausahaan usaha. Bahkan melalui mungkin ada korelasi positif yang tinggi

antara Orientasi kewirausahaan dan kinerja kewirausahaan kita melihat mereka

sebagai berbeda dan terpisah membangun , misalnya, perusahaan dapat menampilkan

rendahnya tingkat kinerja kewirausahaan meskipun tingkat tinggi dari Orientasi

kewirausahaan sejak organisasi tidak mampu untuk mengubahnya kewirausahaan

postur menjadi kinerja aktual kewirausahaan (misalnya: produk baru) atau karena

jarak temporal antara perilaku kewirausahaan dan kinerja wirausaha yang

sebenarnya.

23

Mengingat perbedaan antara kewirausahaan dalam konteks perusahaan

mapan sebagai lawan organisasi yang baru didirikan, misalnya, dalam hal saham

sumber daya, kami berharap dapat menemukan pola-pola yang berbeda dari kinerja

kewirausahaan. Sedangkan untuk perusahaan yang baru didirikan menciptakan

produk baru dan memperkenalkan mereka ke pasar baru adalah kunci untuk

mengatasi kewajiban kebaruan, dalam konteks perusahaan mapan panjang berbagai

jenis kegiatan inovasi mungkin menjadi penting untuk kelangsungan hidup dan

kemakmuran. Sebagai contoh, sebuah produk penjualan atas yang memiliki basis

pelanggan setia tidak harus diciptakan kembali atau diganti dengan produk baru,

bahkan jika itu adalah 'tua' lebih, panjang barang atau jasa yang sukses jangka perlu

diremajakan dan tidak perlu menjadi diganti untuk memuaskan hari ini pelanggan.

sesuai kami berharap perusahaan mapan jangka panjang untuk menampilkan

berbagai jenis kinerja kewirausahaan, dengan tingkat yang lebih rendah mungkin

inovasi dalam hal produk baru atau pasar, tetapi tingkat yang lebih tinggi dari

pembaharuan. Dengan demikian kita melihat kinerja kewirausahaan bukan sebagai

manifestasi dari kebutuhan perusahaan untuk mengatasi kewajiban kebaruan.

Tapi untuk mengatasi 'kewajiban ketuaan', Ditetapkan sebagai kewajiban

yang dihadapi oleh perusahaan mapan untuk bersaing dengan perubahan dalam

pengaturan lingkungan dan organisasi. Dalam cara yang sama, kita mungkin

menemukan bahwa perusahaan mapan ditantang lebih dengan menyusut portofolio

produk yang telah menjadi berlebihan diversifikasi selama bertahun-tahun. Berbeda

dengan perspektif kewirausahaan tradisional, kita melihat langkah tersebut sama-

sama kewirausahaan yang menambahkan produk baru.

24

2.2 Kerangka Pemikiran

T1

T3

T2

Sumber : Data Peneliti , 2012

2.3 Hipotesis

• H0 = Modal Social tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kineja

Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta

Ha= Modal Social memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kineja

Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta

• H0 = Orientasi Kewirausahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta

Ha = Orientasi Kewirausahaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta

Gambar 2. 2 Kerangka Teoritis

MODAL SOSIAL

Dimensi Struktural

Dimensi Kognitif

Dimensi Relasional

ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN

Otonomi

Proaktif

Mengambil Resiko

Inovasi

Kompetitif Agresivitas

KINERJA KEWIRAUSAHAAN

Jumlah Inovasi Organisasi

Pembaharuan

Upaya Bertualang

25

• H0 = Modal Social dan Orientasi Kewirausahaan tidak memiliki pengaruh

secara simultan dan signifikan terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT.

Mentari Esa Cipta

Ha = Modal Social dan Orientasi Kewirausahaan memiliki pengaruh secara

simultan dan signifikan terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari

Esa Cipta