118
BAB 1 PERSALINAN NORMAL 1.1. Definisi Melahirkan merupakan suatu periode dari awal kontraksi uterus reguler sampai pengeluaran plasenta. Proses ini terjadi secara normal dan disebut sebagai labor sebagai istilah dalam konteks obstetrik yang diambil dari beberapa konotasi dalam bahasa inggris yang berarti ”kerja keras”. 1 1.2Identifikasi Permulaan persalinan Beberapa metode digunakan untuk mendefinisikan permulaan persalinan.Salah satunya ketika terjadi kontraksi yang nyeri secara regular, namun hal ini tidak dapat menunjukkan kelahiran sebenarnya karena dapat terjadi selama kehamilan dan dapat berhenti secara spontan.Metode lain mendefinisikan permulaan persalinan berdasarkan kriteria (O’Driscoll and colleagues, 1984) yaitu kontraksi uterus yang nyeri diikuti dengan salah satu berikut ini : (1) rupture membrane, (2) bloody “show”, (3) complete cervical effacement. 1 1

Bab 1 Persalinan Normal 37 d

  • Upload
    dickson

  • View
    20

  • Download
    8

Embed Size (px)

DESCRIPTION

test

Citation preview

BAB 1PERSALINAN NORMAL

1.1. DefinisiMelahirkan merupakan suatu periode dari awal kontraksi uterus reguler sampai pengeluaran plasenta. Proses ini terjadi secara normal dan disebut sebagai labor sebagai istilah dalam konteks obstetrik yang diambil dari beberapa konotasi dalam bahasa inggris yang berarti kerja keras.1

1.2Identifikasi Permulaan persalinanBeberapa metode digunakan untuk mendefinisikan permulaan persalinan.Salah satunya ketika terjadi kontraksi yang nyeri secara regular, namun hal ini tidak dapat menunjukkan kelahiran sebenarnya karena dapat terjadi selama kehamilan dan dapat berhenti secara spontan.Metode lain mendefinisikan permulaan persalinan berdasarkan kriteria (ODriscoll and colleagues, 1984) yaitu kontraksi uterus yang nyeri diikuti dengan salah satu berikut ini : (1) rupture membrane, (2) bloody show, (3) complete cervical effacement.1

Tabel1.1 Karakteristik true dan false labor1

Pada keadaan-keadaan ketika diagnosis persalinan tidak dapat ditegakkan dengan pasti, sebaiknya kita mengobservasi ibu tersebut dalam jangka waktu yang lebih lama. Dari studi Pate dan rekan (2007) memberikan rekomendasi umum kepada wanita hamil bahwa, dengan tidak adanya ruptur membran atau perdarahan, kontraksi uterus 5 menit lebih terpisah selama 1 jam, 12 kontraksi dalam 1 jam mungkin menandakan onset persalinan.11.3 Komponen persalinanKetika persalinan terjadi penting untuk memperhatikan beberapa komponen seperti passage (jalan lahir), passenger (janin) dan power (kekuatan kontraksi)21.3.1 Passage (jalan lahir)Jalan lahir dibagi atas bagian tulang, terdiri atas tulang-tulang panggul dengan persendiannya dan bagian lunak yang terdiri atas otot-otot, jaringan - jaringan dan ligamen-ligamen. Bagian-bagain dari jalan lahir ini akan berpengaruh pada proses persalinan.21.3.2 Passenger (janin)1Orientasi janin terhadap pelvis ibu digambarkan menurut letak, presentasi, sikap dan posisi janin. Hal ini dapat ditentukan secara klinis dengan melakukan palpasi abdomen, pemeriksaan vagina, auskultasi, atau secara teknis dengan menggunakan USG atau sinar x. Pemeriksaan klinis kurang akurat, atau bahkan terkadang tidak mungkin dilakukan dan diinterpretasi pada wanita obesitas.

Letak JaninLetak janin merupakan hubungan antara sumbu panjang janin dengan sumbu panjang ibu, dapat memanjang atau melintang. Sumbu janin dan ibu juga dapat bersilangan membentuk sudut 45 derajat, yang disebut letak oblique. Letak ini tidak stabil dan selalu berubah-ubah menjadi memanjang atau melintang selama proses persalinan. Letak memanjang terjadi pada lebih dari 99 persen persalinan aterm. Faktor predisposisi untuk letak lintang adalah multiparitas, plasenta previa, hidramnion, dan anomali uterus.

Presentasi JaninPresentasi janin merupakan bagian tubuh janin terbawah yang berada paling dekat dengan jalan lahir. Bagian bawah janin dapat diraba melalui serviks pada pemeriksaan vagina. Pada letak memanjang, presentasi janin adalah kepala atau bokong. Sedangkan jika letak janin melintang, maka presentasi janin adalah bahu.

Tabel 1.2 Tabel Presentasi Janin

a) Presentasi KepalaPresentasi ini diklasifikasikan menurut hubungan antara kepala dan badan janin. Biasanya kepala mengalami fleksi maksimal sehingga dagu menempel pada dada. Pada keaadaan ini, fontanela oksipitalis (ubun-ubun kecil) merupakan bagian terbawah janin dan disebut presentasi puncak kepala (vertex) atau oksiput. Leher fetus juga dapat ekstensi maksimal sehingga oksiput menempel punggung dan muka merupakan bagian terdekat dengan jalan lahir disebut presentasi muka. Kepala janin dapat mengambil posisi diantara kedua keadaan ini, mengalami fleksi parsial dengan bagian terbawah fontanela anterior (ubun-ubun besar) atau bregma disebut presentasi sinsiput, atau ekstensi parsial pada kasus lainnya disebut presentasi dahi. Presentasi sinsiput dan dahi biasanya bersifat sementara karena ketika proses persalinan kedua presentasi ini hampir selalu berubah menjadi presentasi vertex atau muka karena adanya fleksi atau ekstensi. Kegagalan pada perubahan ini dapat mengakibatkan distosia.

Gambar 1.1 Letak janin memanjang, presentasi kepala, sikap badan janin (A) vertex, (B) sinsiput, (C) dahi, (D) muka

b) Presentasi BokongBila presentasi janin adalah bokong, terdapat tiga konfigurasi umum yang dapat terjadi yaitu frank, complete, dan footling. Jika paha berada dalam posisi fleksi dan tungkai bawah ekstensi di depan badan, hal ini disebut presentasi bokong murni (frank breech). Jika paha fleksi di abdomen dan tungkai bawah terletak di atas paha, keadaan ini disebut presentasi bokong sempurna (complete breech). Jika salah satu atau kedua lutut, merupakan bagian terbawah, hal ini disebut presentasi bokong tidak sempurna (incomplete breech), atau presentasi bokong kaki (footling breech).

Sikap Janin atau PosturPada bulan-bulan akhir kehamilan janin menunjukkan portur khas yang disebut attitude atau habitus. Janin akan membentuk suatu massa ovoid yang menyesuaikan bentuk dari rongga uterus.Janin akan melipat diri sehingga punggung tampak konveks, kepala fleksi maksimal sehingga dagu menyentuh dada, paha fleksi dalam abdomen, tungkai bawah fleksi pada lutut, lipatan kaki terletak pada permukaan anterior tungkai. Pada presentasi kepala, biasanya lengan terlipat di depan dada dan saling sejajar, dan korda umbilikalis terletak diantaranya dan ektremitas bawah.

Posisi JaninPosisi janin merupakan hubungan antara bagian yang ditentukan sebagai acuan bagian terbawah janin terhadap sisi kanan atau kiri jalan lahir ibu.Karena itu, pada setiap presentasi terdapat dua posisi, kanan atau kiri. Oksiput, dagu (mentum), dan sakrum janin masing-masing merupakan bagian penentu pada presentasi vertex, muka dan bokong.

Variasi Presentasi dan PosisiUntuk menentukan orientasi yang lebih akurat, hubungan antara bagian terbawah janin dan sisi anterior, transversal, atau porterior panggul ibu harus diperhatikan. Karena terdapat dua posisi, sebagai konsekuensinya terdapat tiga variasi untuk tiap posisi (kanan atau kiri) dan enam variasi untuk tiap presentasi tersebut (tiga kanan dan tiga kiri). Karena bagian terbawah dapat berada pada posisi kanan atau kiri, terdapat oksiput kanan dan kiri, mentum kanan dan kiri, dan sakrum kanan dan kiri, yang masing-masing disingkat LO dan RO, LM dan RM, dan LS dan RS. Jadi pada presentasi oksiput, presentasi, posisi, dan variasinya dapat disingkat dengan membentuk arah jarum jam sebagai berikut:

Gambar 1.2 Variasi presentasi dan posisi janin

Pada presentasi bahu, akromion (skapula) merupakan bagian janin yang dipilih sebagai acuan terhadap panggul ibu.Akromion atau punggung janin dapat mengarah ke posterior, anterior, superior, atau inferior. Istilah lain yang digunakan adalah letak lintang dengan punggung di atas atau di bawah.

Gambar 1.3 (A) Letak memanjang, presentasi vertex (LOA), (B) LOP, (C) ROP, (D) ROT, (E) ROA, (F) Letak memanjang, presentasi bokong (LSP), (G) Letak lintang (RADP)

Gambar 1.4 Letak memanjang, presentasi muka

Diagnosis Presentasi dan Posisi Janin1. Palpasi Abdominal (Leopold Maneuvers)Posisi ibu berbaring terlentang dalam keadaan nyaman dengan bagian abdomen dibiarkan terbuka. Pada tiga manuver pertama, pemeriksa berdiri di samping kanan tempat tidur dan menghadap ke wajah pasien, pemeriksa mengubah posisi ini menghadap ke kaki pasien pada manuver terakhir. Manuver-maneuver ini mungkin sulit atau hampir tidak mungkin dilakukan dan diinterpretasikan bila pasien obesitas atau jika plasenta berimplantasi di anterior.1 Manuver I : setelah memperhatikan kontur uterus and menentukan tinggi fundus uteri, pemeriksa dengan lembut mempalpasi fundus dengan ujung-ujung jari kedua tangan untuk menentukan kutub janin yang berada di fundus. Bokong janin memberikan perabaan masa nodular yang besar, sementara kepala terasa keras dan lebih bebas digerakkan serta melenting. Manuver II : telapak tangan pemeriksa ditempatkan pada kedua sisi abdomen, dan dilakukan penekanan yang lembut tetapi dalam. Di satu sisi teraba struktur yang keras dan resisten, yaitu punggung, dan di sisi yang lain, terdapat bagian-bagian kecil yang tidak teratur dan dapat digerakkan yaitu ekstremitas janin. Manuver III : dengan menggunakan ibu jari dan jari-jari satu tangan, bagian bawah abdomen ibu dipegang tepat di atas simpisis pubis. Bila bagian terbawah janin belum cakap (engaged), akan teraba bagian tubuh yang mudah digerakkan, biasanya kepala janin.Jika bagian terbawah janin belum cakap, yang harus ditetapkan adalah sikap kepala. Namun bila bagian terbawah janin sudah sangat cakap, temuan pada manuver ini hanya menunjukkan bahwa kutub bawah janin terfiksasi di dalam panggul. Manuver IV : Pemeriksa menghadap kaki ibu dan dengan ujung jari telunjuk, jari tengah dan jari manis kedua tangan, menekan dalam-dalam ke arah sumbu pintu atas panggul. Manuver ini bertujuan untuk menentukan seberapa jauh terjadinya penurunan kepala. Pada presentasi bokong, informasi yang diperoleh dari manuver ini kurang tepat.

Gambar 1.5 Leopold Maneuver

2. Pemeriksaan VaginaDiagnosis presentasi dan posisi janin dengan pemeriksaan vagina sering tidak meyakinkan karena bagian terbawah janin harus diraba melalui serviks yang tertutup dan segmen bawah uterus. Dengan terjadinya persalinan dan setelah dilatasi serviks, informasi penting dapat diperoleh1Dalam upaya untuk menentukan presentasi dan posisi dengan pemeriksaan vagina, disarankan untuk melakukan manuver rutin yang pasti, yang terdiri dari empat gerakan:11. Pemeriksa memasukkan dua jari ke dalam vagina dan bagian presentasi ditemukan. Diferensiasi vertex, wajah, dan bokong kemudian dicapai dengan mudah.2. Jika presentasinya vertex, jari-jari mengarah ke posterior dan kemudian menyapu ke depan di atas kepala janin ke arah simfisis ibu. Selama melakukan gerakan ini, jari-jari pemeriksa pasti menyeberangi sutura sagitalis.3. Posisi kedua ubun ubun tersebut kemudian di pastikan. Jari jari pemeriksa di arahkan ke ujung anterior sutura sagitalis, dan ubun ubun yang di temukan disana di periksa dengan teliti dan di identifikasi kemudian dengan gerakan sirkuler, jari jari di lewatkan di sekeliling sisi kepala sampai ubun ubun lain teraba dan dapat di bedakan.4. Stasio, atau sejauh mana janin telah turun ke dalam panggul dapat di tentukan pada saat ini juga.

Gambar 1.6 Pemeriksaan vagina, menemukan sutura sagitalis dan fontanela

3. Ultrasonografi dan RadiografiTeknik sonografi dapat membantu identifikasi posisi janin, terutama pada wanita obesitas atau wanita dengan dinding perut kaku. Pemeriksaan sonografi dapat memberikan informasi untuk memecahkan banyak masalah diagnostik dan menghasilkan pengenalan dini adanya presentasi bokong atau bahu yang mungkin dapat luput dalam pengamatan sampai stadium lanjut persalinan.1

1.3.3 Power (kekuatan kontraksi)Selama persalinan uterus berubah bentuk menjadi dua bagian yang berbeda. Segmen atas yang berkontraksi secara aktif menjadi tebal ketika persalinan berlangsung. Bagian bawah, relaif pasif dibanding dengan segmen atas, dan bagian ini berkembang menjadi jalan lahir yang berdinding tipis. Seandainya seluruh dinding uterus, termasuk segmen bawah uterus dan serviks berkontraksi secra bersamaan dan dengan intensitas yang sama, maka gaya dorong persalinan akan jelas menurun. Selain itu, segmen atas uterus yang aktif ini tidak mengalami relaksasi ke panjangnya semula sehingga menyebabkan dinding uterus pada segmen ini menjadi menebal.3Joewono menjaleskan bahwa His yang sempurna terjadi ketika kontraksi simetris, paling kuat atau adanya dominasi di fundus uterus dan adanya relaksasi.4

1.4 Mekanisme Persalinan dengan Presentasi Oksiput1Janin memasuki panggul dengan posisi oksiput kiri lintang (LOT) pada 40% persalinan, oksiput kanan lintang (ROT) 20%. Pada posisi oksiput anterior (LOA atau ROA) kepala dapat memasuki panggul dengan oksiput berotasi 45 derajat ke anterior dari posisi lintang atau berikutnya baru berputar. Gerakan-gerakan pokok persalinan yang disebut sebagai cardinal movement of labor terdiri dari engagement, desensus (penurunan kepala), fleksi, rotasi interna (putaran paksi dalam), ekstensi, rotasi eksterna (putaran paksi luar), dan ekspulsi. Pada kenyataannya, mekanisme persalinan terdiri dari suatu gabungan gerakan-gerakan yang berlangsung pada saat yang sama. Seiring dengan itu, kontraksi uterus menghasilkan modifikasi penting pada habitus janin, terutama setelah kepala turun ke dalam panggul. Perubahan-perubahan ini terutama terdiri dari pelusuran janin, dengan menghilangkan kecembungan dorsalnya dan semakin mendekatnya ekstremitas dan bagian-bagian kecil ke badan. Akibatnya, bentuk ovoid janin berubah menjadi sebuah silinder dengan potongan melintang sekecil mungkin yang biasanya dapat melewati jalan lahir.

1. EngagementMekanisme yang menggunakan diameter biparietal (diameter terbesar kepala janin pada posisi oksiput) untuk melewati pintu atas panggul disebut sebagai engagement. Fenomena ini dapat terjadi pada minggu-minggu akhir kehamilan atau mungkin tidak terjadi sampai dimulainya persalinan. Pada beberapa kasus, kepala janin dapat bebas bergerak di atas pintu atas panggul pada awal persalinan yang disebut floating. Kepala yang berukuran normal biasanya tidak melakukan engagement dengan sutura sagitalisnya mengarah ke anteroposterior melainkan transversal atau oblique. Meskipun kepala janin cenderung berakomodasi terhadap sumbu lintang pintu atas panggul, sutura sagitalis sambil tetap sejajar dengan sumbu tersebut mungkin tidak terletak tepat di tengah antara simfisis dan promontorium sakrum. Defleksi lateral kepala ke posisi lebih anterior atau posterior di dalam panggul tersebut disebut asinklitismus. Jika sutura sagitalis mendekati promontorium sakrum, akan lebih banyak bagian dari tulang parietal anterior yang teraba oleh jari-jari pemeriksa disebut asinklitismus anterior. Tetapi bila sutura sagitalis terletak dekat simfisis, lebih banyak tulang parietal posterior yang teraba disebut asinklitismus posterior. Pada keadaan asinklitismus posterior yang ekstrem, disebut juga kemiringan Litzmann, telinga posterior dapat diraba dengan mudah.Asinklitismus derajat sedang pasti terjadi pada persalinan normal yang memungkinkan kepala untuk memanfaatkan daerah-daerah paling luas di rongga panggul.

Gambar 1.7 Sinklitismus dan Asinklitismus

2. DesensusHal ini merupakan syarat utama kelahiran bayi. Pada wanita nulipara, engagement dapat terjadi sebelum awal persalinan, dan desensus lebih lanjut mungkin belum terjadi sampai dimulainya persalinan kala dua. Pada wanita multipara, desensus biasanya mulai bersamaan dengan engagement. Desensus terjadi akibat satu atau lebih dari empat gaya: (1) tekanan cairan amnion, (2) tekanan langsung fundus pada bokong dengan kontraksi, (3) upaya mengejan dari otot-otot perut ibu, dan (4 ) ekstensi dan pelurusan badan janin.

3. FleksiBegitu desensus mengalami tahanan, baik dari serviks, dinding panggul, atau dasar panggul, biasanya terjadi fleksi kepala.Pada gerakan ini, dagu mendekat ke dada janin, dan diameter suboksipitobregmatikus yang lebih kecil menggantikan diameter oksipitofrontalis yang lebih besar.

Gambar `1.8 Derajat fleksi kepala (A) sedikit fleksi, (B) fleksi sedang, (C) fleksi lanjut, (D) fleksi lengkap

4. Rotasi InternaGerakan ini merupakan pemutaran kepala sehingga oksiput perlahan-lahan bergerak dari posisi asalnya ke anterior menuju simfisis pubis, atau, yang lebih jarang, ke posterior menuju sakrum.

Gambar 1.9 Mekanisme persalinan pada posisi oksiput kiri anterior

5. Ekstensi Setelah rotasi internal, kepala yang telah terfleksi maksimal mencapai vulva dan mengalami ekstensi. Gerakan ini membawa dasar oksiput berkontak langsung dengan margo inferior simfisis pubis. Karena pintu keluar vulva mengarah ke atas dan ke depan, ekstensi harus terjadi sebelum kepala dapat melewatinya. Kekuatan yang diberikan uterusbekerja lebih ke posterior sedangkan yang ditimbulkan oleh dasar panggul yang resisten dan simfisis bekerja lebih ke anterior. Resultan gayanya mengarah ke muara vulva, dan dengan demikian menyebabkan ekstensi.Dengan bertambahnya distensi perineum dan muara vagina, secara berangsur-angsur akan semakin banyak bagian oksiput yang terlihat. Kepala dilahirkan melalui ekstensi lebih lanjut ketika oksiput, bregma, dahi, hidung, mulut, dan akhirnya dagu berhasil melewati tepi anterior perineum. Segera setelah seluruh kepala lahir, kepala jatuh ke bawah sehingga dagu terletak di atas daerah anus.

6. Rotasi EksternaKepala yang sudah dilahirkan selanjutnya mengalami pemulihan. Gerakan ini akan mengembalikan posisi sebelum rotasi interna terjadi untuk menyesuaikan kedudukan kepala dengan punggung bayi. Bahu melintasi pintu atas panggul dalam keadaan miring. Di dalam rongga panggul bahu akan menyesuaikan diri dengan bentuk panggul yang dilalui sehingga di dasar panggul apabila kepala telah dilahirkan, bahu akan berada dalam posisi depan belakang.

7. EkspulsiHampir segera setelah rotasi eksterna, bahu depan akan tampak di bawah simfisis pubis, dan perineum segera teregang oleh bahu belakang. Setelah kedua bahu tersebut lahir, sisa badan bayi lainnya akan segera terdorong keluar.

1.5.Perubahan Bentuk Kepala Janin1a. Caput SuccedaneumPada presentasi vertex, kepala janin mengalami perubahan bentuk karakteristik yang penting sebagai akibat dari tekanan yang diterimanya selama persalinan. Pada persalinan lama (prolonged labors) sebelum dilatasi serviks lengkap, bagian kulit kepala janin tepat di atas os servikalis menjadi edematosa, membentuk benjolan yang dikenal sebagai caput succedaneum.

Gambar 1.10 Pembentukan Caput Succedaneum

b. Molding/ MoulageMerupakan perubahan bentuk kepala janin akibat gaya komprehensif eksternal. Beberapa moulage timbul sebelum persalinan, kemungkinan berkaitan dengan kontraksi Braxton-Hicks.Moulagedikaitkan dengan pemendekan diameter suboksipito bregmatika dan pemanjangan diameter mentovertikal.Perubahan-perubahan ini memainkan peranan penting pada panggul sempit atau presentasi asinklitismus.

Gambar 1.11 Gambar Molding dan Caput Succedaneum pada Kepala Janin

1.6 Pembagian PartusPartus dibagi menjadi 4 kala. Pada kala I dinamakan kala pembukaan, serviks membuka sampai terjadi pembukaan 10 cm. Kala II disebut pula kala pengeluaran oleh karena berkat kualitas his dan kekuatan ibu mengeden janin didorong keluar sampai lahir. Dalam kala II atau kala uri plasenta terlepas dari dinding uterus dan dilahirkan. Kala IV mulai dari lahirnya plasenta dan lamanya satu jam. Dalam kala ini diamati apakah perdarahan postpartum terjadi atau tidak.6

Kala IMerupakan permulaan partus dan secara klinis dapat dinyatakan bila timbul his dan keluar lendir bersemu darah. Lendir yang bersemu darah ini berasal dari lendir kanalis servicalis karena serviks mulai membuka atau mendatar, sedangkan darahnya berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler yag berada disekitar kanalis servikalis itu pecah karena pergeseran-pergeseran ketika serviks membuka. Ketuban akan pecah sendiri ketika pembukaan hampir atau telah lengkap. Tidak jarang ketuban harus dipecahkan ketika pembukaan hampir lengkap atau telah lengkap. Kala I berakhir apabila pembukaan serviks telah lengkap.6

Gambar 1.13 Pembagian persaliana

Berdasarkan gambar diatas, Friedman mengembangkan konsep pembagian persalinan menjadi tiga:11. Persiapan. Selama fase ini, serviks mengalami dilatasi. Meskipun sedikit, tetapi komponen jaringan ikatnya berubah secara signifikan. Sedasi dan konduksi analgesia dapat menghambat fase ini.2. Dilatasi.Dilatasi berlangsung sangat cepat, tidak dipengaruhi sedasi atau konduksi analgesia.3. PelvicSaat ini berlangsung bersamaan dengan fase deselerasi dilatasi serviks. Mekanisme persalinan yang melibatkan gerakan janin yang penting pada presentasi kepalaengagement, fleksi, descent, rotasi internal, ekstensi, dan rotasi eksternalterjadi pada fase ini.Dilatasi serviks dibagi menjadi dua fase, fase laten yang sama seperti fase persiapan, dan fase aktif yang sama seperti fase dilatasi. Friedman membagi fase aktif menjadi fase akselerasi, fase dilatasi maksimal, dan fase deselerasi.1

Gambar 1.14 fase pada kala IFase LatenOnset persalinan laten ditandai dengan ibu merasakan kontraksi yang teratur. Fase laten bagi sebagian besar ibu berakhir antara dilatasi 3 sampai 5 cm.Fase Laten MemanjangDidefinisikan sebagai fase laten yang melebihi 20 jam pada nullipara dan 14 jam pada multipara. Faktor yang mempengaruhi lamanya fase laten antara lain sedasi yang berlebihan atau analgesia epidural, kondisi serviks yang tidak baik, yaitu tebal, tidak menipis, atau tidak mengalami dilatasi dan persalinan palsu.

Fase aktifDlatasi dari serviks sebesar 3 sampai 5 cm atau lebih, dengan adanya kontraksi uterus. Persalinan fase aktif secara bersamaan menggambarkan kecepatan penurunan janin dan dilatasi serviks. Penurunan dimulai pada fase akhir dilatasi aktif yaitu pada pembukaan 7 sampai 8 cm pada nullipara dan menjadi sangat cepat setelah 8 cm.Kelainan Fase AktifKelainan pada fase ini umum terjadi. Friedman membagi masalah-masalah dalam fase aktif menjadi kelainan protraksi dan arrest disorder. Protraksi didefinisikan sebagai kecepatan dilatasi serviks atau penurunan yang lambat, pada nullipara dilatasi kurang dari 1,2 cm per jam atau penurunan kurang dari 1 cm per jam, untuk multipara, dilatasi kurang dari 1,5 cm per jam atau penurunan kurang dari 2 cm per jam. Arrest of dilatationyaitu berhentinya dilatasi atau penurunan. Arrest pada dilatasi didefinisikan sebagai 2 jam tanpa perubahan serviks, dan arrest of descent pada penurunan yaitu 1 jam tanpa penurunan janin.Faktor-faktor yang menyebabkan protraksi dan arrest disorder antara lain sedasi berlebihan, analgesia epidural, dan kelainan letak/posisi janin. Pada kedua kelainan ini dianjurkan untuk dilakukan evaluasi dan identifikasi dari disproporsi sefalopelvix.

Kala IIFase ini dimulai ketika dilatasi serviks sudah lengkap dan berakhir dengan lahirnya bayi.1 His menjadi lebih lebih kuat dan cepat, kira-kira 2-3 menit sekali.2 Durasi rata-rata sekitar 50 menit pada nullipara dan sekitar 20 menit pada multipara, tetapi hal ini sangat bervariasi. Pada ibu dengan paritas yang lebih tinggi dengan vagina dan perineum yang sudah mengalami dilatasi sebelumnya, dua atau tiga kali mengejan setelah dilatasi serviks lengkap cukup untuk melahirkan bayi. Sebaliknya, pada ibu dengan kontraktur pelvis, bayi besar, atau dengan tenaga mengejan yang terganggu akibat konduksi analgesia atau sedasi, kala dua dapat memanjang.1Karena biasanya dalam hal ini kepala janin sudah masuk di ruang panggul, maka his dirasakan tekanan pada otot-otot dasar panggul, yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengeden.6

Kala IIIKala tiga persalinan dimulai setelah kelahiran janin dan melibatkan pelepasan dan ekspulsi plasenta. Setelah kelahiran plasenta dan selaput janin, persalinan aktif selesai. Karena bayi sudah lahir, uterus secara spontan berkontraksi keras dengan isis yang sudah kosong. Pemisahan plasenta biasnya terjadi dalam beberapa menit setelah kelahiran.3

Kala IVKala IV mulai dari lahirnya plasenta dan lamanya satu jam. Dalam kala ini diamati apakah perdarahan postpartum terjadi atau tidak.61.7 Manajemen Persalinan NormalDalam penanganan persalinan kita perlu menentukan dua hal. Pertama kelahiran harus diketahui sebagai proses kelahiran yang fisiologis atau normal yang dialami sebagian besar wanita tanpa adanya komplikasi. Kedua, komplikasi pada intrapartum sering meningkat secara cepat dan tidak diduga harus diantisipasi. Penilaian yang dapat dilakukan antara lain :Tanda vital dan tinjauan ulang catatan kehamilanTekanan darah, suhu, denyut nadi, dan frekuensi napas ibu diperiksa untuk mencari adanya kelainan dan hasilnya dicatat. Pengujian secara elektronik waktu masukUjii nonstres (NST) atau uji stres kontraksi (CST).Surveilans janin seperti ini dalam kenyataannya adalah suatu penilaian ada atau tidaknya akselerasi denyut jantung janin dengan gerakan janin (NST); atau suatu penilaian frekuensi denyut jantung janin sebelum, selama dan setelah kontraksi uterus jika pasien telah inpartu (CST) (Freeman, dkk. 1991).Pemeriksaan vaginaPemeriksaan vagina paling sering dilakukan, kecuali jika sudah ada perdarahan bloody show yang berlebihan. Kekerapan pemeriksaan vagina selama masa persalinan berhubungan dengan morbiditas infeksi, khususnya pada kasus ketuban pecah dini.Deteksi pecahnya selaput ketubanPecahnya selaput ketuban merupakan hal yang signifikan karena tiga alasan. Pertama, bila bagian terbawa janin tidak terfiksasi di panggul, kemungkinan terjadinya prolaps dan kompresi tali pusat sangat meningkat. Kedua, persalinan kemungkinan akan segera terjadi jika kehamilannya telah atau mendekati aterm. Ketiga, bila kelahiran ditunda selama 24 jam atau lebih setelah pecahnya selaput ketuban, terdapat peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi intrauterin yang serius.Suatu diagnosis pasti pecahnya selaput ketuban dibuat apabila cairan amnion terlihat berada di forniks posterior atau cairan jernih mengalir dari kanalis servisis. pH secret vagina normalnya berkisar antara 4.5 dan 5.5, sementara cairan amnion biasanya 7,0 sampai 7,5. Penggunaan indikator nitrazin untuk diagnosis pecahnya selaput ketuban, pertama kali disarankan oleh Baptisi (1938). Metode ini menggunakan swab steril untuk mengumpulkan cairan dari fornix posterior dan mengujinya dengan kertas nitrazin (phenaphthazine). Jika cairan tersebut merupakan cairan amnion maka kertas nitrazin akan berubah menjadi biru, yang menunjukkan pH alkalis (7,0-7,25). Hasil uji positif palsu terjadi bila terdapat darah, semen, atau vaginosis bakterialis. Hasil negatif palsu terjadi bila hanya terdapat sedikit cairan (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2000).

Gamba 1.15 Alat Nitrazine

Uji lain telah digunakan sebagai indikator pecahnya selaput ketuban. Arborisasi atau ferning (pembentukan pola daun pakis) pada cairan vagina menandakan adanya cairan amnion daripada cairan serviks. Cairan dari fornix posterior diletakkan pada slide dan keringkan pada udara kering. Cairan amnion akan berubah menjadi bentuk bekuan dari kristalisasi. Gambaran ferning ini terjadi karena kristalisasi elektrolit terutama NaCl dalam cairan amnion karena pengaruh dari hormon estrogen.Hasil false positif dapat terjadi bila sampel terkontaminasi dengan semen dan mucus cervical.

Gambar 1.16 Hasil tes Ferning dengan bentuk bekuan kristalisasi

Pemeriksaan serviksDerajat pendataran serviks biasanya dinyatakan dengan panjang kanalis servisis berbanding dengan panjang yang belum mendatar. Ketika panjang serviks berkurang separuh, dikatakan 50 persen mendatar, bila serviks menjadi setipis segmen uterus bawah di dekatnya, serviks dikatakan telah mendatar penuh atau 100 persen.Dilatasi serviks ditentukan dengan memperkirakan diameter rata-rata bukaan serviks di satu sisi ke sisi yang berlawanan, dan diameter yang dilintasi dinyatakan dalam sentimeter. Serviks dinyatakan membuka penuh bila diameternya 10 cm, karena bagian terbawah ukuran bayi aterm biasanya dapat melewati serviks yang membuka lebar.Posisi serviks ditentukan dengan menentukan hubungan antara os serviks dengan kepala janin dikategorikan sebagai posterior, posisi tengah, atau anterior. Posisi posterior mengesankan persalinan preterm.Ketinggian bagian terbawah janin di jalan lahir digambarkan dalam hubungannya dengan spina ischiadica yang terletak di tengah-tengah antara pintu atas panggul dan pintu bawah panggul. Jika bagian terbawah janin terletak setinggi spina ischiadica, keadaan ini disebut sebagai station nol (0). Dahulu, sumbu panjang jalan lahir di atas spina ischiadica dibagi menjadi tiga. Pada tahun 1988, American College of Obstetricians and Gynecologists mulai menggunakan suatu klasifikasi station yang membagi panggul di atas dan di bawah spina menjadi lima bagian. Pembagian ini menggambarkan ukuran (cm) di atas dan di bawah spina. Jadi saat bagian terbawah janin turun dari pintu atas panggul menuju spina ischiadica, disebut sebagai station +1, +2, +3, +4, dan +5 untuk lahir. Station +5 cm setara dengan kepala janin yang terlihat di introitus. Jika bagian terbawah kepala janin berada di station 0 atau lebih ke bawah lagi, engangement kepala sering kali terjadi, yaitu bidang biparietal kepala janin telah melewati pintu atas panggul. Jika kepala mengalami moulage berat, atau jika terjadi pembentukan kaput yang besar, atau keduanya, engangement mungkin belum terjadi walaupun kepala tampaknya sudah berada di station 0.

Pemeriksaan laboratoriumKetika sorang wanita dirawat di rumah sakit untuk bersalin, seringkali pemeriksaan hematokrit dan kadar haemoglobin harus diulang. Pasien yang tidak menjalani perawatan prenatal harus dianggap mempunyai risiko untuk sifilis, hepatitis B dan HIV (American Academy of Pediatrics and the American College of Obstetricians and Gynecologists, 1997). Pada pasien yang tidak terdaftar, pemeriksaan laboratorium tersebut juga harus dilakukan begitu pula pemeriksaan golongan darah, Rh, dan penapisan antibodi untuk antibodi atipikal. Beberapa negara bagian, misalnya Texas, sekarang melakukan pemeriksaan rutin untuk sifilis, hepatitis B, dan HIV pada semua wanita yang masuk ke unit persalinan dan kelahiran.

1.7.1 Penatalaksanaan partus kala IDari hasil pemeriksaan diatas, dokter dapat membuat kesimpulan tentang normalnya kehamilan.Sebuah rencana yang rasional untuk memantau persalinan kemudian dapat ditegakkan berdasarkan kepentingan janin dan ibunya.Meskipun durasi rata-rata persalinan kala satu pada wanita nulipara adalah sekitar 7 jam dan wanita para sekitar 4 jam, terdapat variasi individual yang besar. Oleh karena itu, pernyataan pasti lamanya persalinan tidaklah bijaksana.

1. Pemantauan kesejahteraan janin selama persalinanAmerican Academy of Pediatrics and the American College of Obstetricians and Gynecologists (1997) merekomendasikan bahwa selama persalinan kala I, bila tidak ditemukan adanya kelaianan, jantung janin harus diperiksa segera setelah kontraksi setidaknya setiap 30 menit, kemudian setiap 15 menit pada persalinan kala II. Jika digunakan pemantauan elektronik kontinyu, grafik dinilai sekurangnya setiap 30 menit selama persalinan kala I dan setidaknya setiap 15 menit selama persalinan kala II. Untuk ibu hamil yang berisiko, auskultasi dilakukan setiap 15 menit selama persalinan kala I dan setiap 5 menit selama persalinan kala II. Pemantauan elektronik kontinyu dapat digunakan dengan penilaian grafik setiap 15 menit selama persalinan kala I dan setiap 5 menit selama persalinan kala II.

2. Kontraksi uterusDengan melakukan penekanan ringan oleh telapak tangan di atas uterus, pemeriksa dapat menentukan waktu dimulainya kontraksi. Intensitas kontraksi diukur berdasarkan derajat ketegangan yang dicapai uterus. Selanjutnya, dicatat waktu ketika kontraksi uterus. Yang paling baik adalah mengukur kontraksi uterus dengan menyebut derajat ketegangan atau resistensi terhadap indentasi.

3. Pemantauan dan penatalaksanaan ibu selama persalinanSuhu, denyut nadi, tekanan darah ibu dievaluasi setidaknya setiap 4 jam. Jika selaput ketuban telah pecah lama sebelum awitan persalinan, atau jika terjadi kenaikan suhu ambang, suhu diperiksa tiap jam. Selain itu, bila terjadi pecah ketuban yang lama, lebih dari 18 jam, disarankan untuk memberikan antibiotik profilaksis terhadap infeksi streptokokkus grup B (American College of Obstetricians and Gynecologists, 1996).

4. Pemeriksaan vagina selanjutnyaPada persalinan kala I, perlunya pemeriksaan vagina selanjutnya untuk mengetahui status serviks dan station serta posisi bagian terbawah akan sangat bervariasi. Bila selaput ketuban pecah pemeriksaan hendaknya diulang secara cepat jika pada pemeriksaan sebelumnya kepala janin belum cakap (engaged). Frekuensi denyut jantung janin harus diperiksa segera dan pada kontraksi uterus berikutnya untuk mendeteksi kompresi tali pusat yang tidak diketahui. Di Parkland Hospital, pemeriksaan panggul sering dilakukan secara periodik dengan interval 2-3 jam untuk menilai kemajuan persalinan.

5. Asupan oralMakanan harus ditunda pemberiannya selama proses persalinan aktif. Waktu pengosongan lambung memanjang secara nyata saat proses persalinan berlangsung dan diberikan obat analgesik. Sebagai akibatnya makanan dan sebagian besar obat yang dimakan tetap berada di lambung dan tidak diabsorbsi, melainkan dapat dimuntahkan dan teraspirasi.Terdapat kecenderungan memberikan cairan dengan jumlah yang terbatas untuk wanita in partu. Guyton dan Gibbs (1994) mengadakan suatu penelitian mengenai pemberian cairan sebanyak 150 ml per oral per 2 jam sebelum pembedahan elektif. Insiden aspirasi tidak terpengaruh.Belum jelas apakah penelitian ini dapat diterapkan pada wanita in partu, yang beresiko menjalani seksio sesarea segera setiap saat.

6. Cairan intravenaMeskipun telah menjadi kebiasaan di banyak rumah sakit untuk memasang sistem infus intravena secara rutin pada awal persalinan, jarang ada ibu hamil normal yang benar-benar memerlukannya, setidaknya sampai analgesia diberikan.Sistem infus intravena menguntungkan selama masa nifas dini untuk memberikan oksitosin profilaksis dan seringkali bersifat terapeutik ketika terjadi atonia uteri. Selain itu dengan persalinan yang lebih lama, pemberian glukosa, natrium, dan air untuk wanita yang sedang berpuasa dengan kecepatan 60 sampai 120 ml per jam, efektif untuk mencegah dehidrasi dan asidosis.

7. Posisi ibu selama persalinanIbu yang dalam proses bersalin tidak perlu terus berbaring di tempat tidur pada awal persalinan. Sebuah kursi yang nyaman mungkin lebih bermanfaat secara psikologis dan mungkin juga secara fisologis.Di tempat tidur, ibu hendaknya diperbolehkan mengambil posisi yang dirasanya enak, paling sering adalah berbaring miring.Ibu tidak harus ditahan pada posisi terlentang. Bloom dkk (1998) melakukan percobaan acak untuk berjalan selama persalinan pada 1000 wanita dengan kehamilan risiko rendah. Mereka menemukan bahwa berjalan tidak mempercepat atau mengganggu persalinan aktif dan tidak berbahaya.Analgesi paling sering mulai diberikan berdasarkan rasa nyeri pada wanita yang bersangkutan.Jenis analgesia, jumlahnya dan frekuensi pemberian hendaknya didasarkan pada kebutuhan untuk menghilangkan nyeri di satu pihak, dan kemungkinan melahirkan bayi yang sakit di lain pihak.

8. AmniotomiBila selaput ketuban masih utuh, ada dorongan yang besar, bahkan pada persalinan normal sekalipun, untuk melakukan amniotomi.Manfaat yang diperkirakan adalah persalinan bertambah cepat, deteksi dini kasus pencemaran mekonium pada cairan amnion, dan kesempatan untuk memasang elektroda ke janin serta memasukkan pressure catheter ke dalam rongga uterus.Jika amniotomi dilakukan, yang harus diupayakan menggunakan teknik aseptik. Yang penting, kepala janin harus tetap berada di serviks dan tidak dikeluarkan dari panggul selama prosedur, karena tindakan seperti itu akanmenyebabkan prolaps tali pusat.

9. Fungsi kandung kemihDistensi kandung kemih harus dihindarkan karena dapat mengakibatkan persalinan macet dan selanjutnya menimbulkan hipotonia serta infeksi kandung kemih.Setiap melakukan pemeriksaan abdomen, daerah suprapubik hendaknya diinspeksi dan dipalpasi untuk mendeteksi pengisian kandung kemih.Jika kandung kemih dengan mudah dapat dilihat dan dipalpasi di atas simpisi, wanita tersebut dianjurkan untuk berkemih.Sewaktu-waktu ibu boleh diperbolehkan untuk berjalan dengan bantuan ke toilet dan berhasil berkemih, sekalipun ibu tidak dapat berkemih di tempat tidur.Jika kandung kencing terdistensi dan tidak dapat berkemih, diindikasikan kateterisasi intermiten.

1.7.2 Penatalaksanaan partus kala IISetelah dilatasi serviks lengkap, yang menandai awitan persalinan kala dua, ibu akan mulai mengejan, dan seiring dengan turunnya bagian terbawah janin, timbul keinginan ibu untuk berdefekasi. Kontraksi uterus dan daya dorong yang menyertainya dapat berlangsung selama 1 menit dan terjadi kembali setelah suatu fase istirahat miometrium yang lamanya tidak lebih dari semenit.

1. Daya ekspulsif ibu. Tungkai sebaiknya berada posisi setengah fleksi sehingga ibu dapat menolakkan kakinya pada alas.Hendaknya diinstruksikan untuk mengambil nafas dalam segera setelah kontraksi uterus berikutnya dimulai dan sambil menahan napas, mengejan kuat ke bawah persis seperti ketika ibu sedang mengeluarkan tinja.Ibu sebaiknya tidak dianjurkan untuk mendorong setelah kontraksi uterus selesai.Sebaliknya ibu dan janin seharusnya dibiarkan beristirahat dan memulihkan diri dari efek-efek gabungan kontraksi uterus, menahan nafas dan upaya fisik yang besar.Gardosi, dkk (1989) telah merekomendasikan suatu posisi jongkok atau setengah jongkok dengan menggunakan bantal khusus. Mereka mengatakan dengan cara ini dapat mempersingkat waktu persalinan kala dua melalui peningkatan daya ekspulsif dan diameter pintu bawah panggul. Eason, dkk (2000) melakukan suatu tinjauan yang ekstensif terhadap posisi dan efeknya pada insiden trauma perineum.Mereka menemukan bahwa posisi tegak dengan menopang tidak mempunyai kelebihan dibandingkan posisi berbaring.Biasanya, mengejan menyebabkan penonjolan perineum, yaitu akibat semakin turunnya kepala janin.Ketika kepala menuruni panggul, ibu sering mengeluarkan feses. Saat kepala turun lebih jauh, perenium mulai menonjol dan kulit yang menutupinya menjadi tegang dan mengkilat. Sekarang kepala janin dapat terlihat melalui lubang vulva. Pada saat ini yaitu saat tahanan perineum terhadap dorongan sudah rendah, wanita tersebut dan janinnya dipersiapkan untuk persalinan.

2. Persiapan persalinanKelahiran janin sebenarnya dapat diselesaikan dengan ibu berada dengan berbagai posisi. Yang paling banyak digunakan dan dan paling sering memuaskan adalah posisi litotomi dorsal yang dimaksudkan untuk meningkatkan diameter pintu bawah panggul. Di sebagian besar kamar bersalin, persalinan dilakukan dengan membaringkan si ibu secara rata di tempat tidur. Untuk mendapatkan lapang pandang pandang yang baik, digunakan penyangga kaki. Saat meletakkan kaki ke penyangga, juga menjadi berhati-hatilah untuk tidak merenggangkan kaki terlalu lebar atau meletakkan satu kaki lebih tinggi dari yang lainnya karena hal tersebut akan meningkatkan daya dorong pada perineum yang secara mudah mungkin dapat menimbulkan robekan spontan Region poplitea hendaknya disandarkan dengan nyaman di bagian proksimal dan tumit berada di bagian distal penyangga kaki. Tungkai tidak boleh dipaksa untuk menyesuaikan dengan setelan yang sudah ada. Tungkai tidak diikat ke penyangga, dengan demikian apabila terjadi distosia bahu, paha dapat difleksikan secara tepat ke arah abdomen. Kram kaki dapat terjadi pada persalinan kala dua sebagian karena tekanan oleh kepala janin pada saraf-saraf panggul. Kram semacam itu dapat dihilangkan dengan mengubah posisi tungkai atau dengan pijatan singkat, tetapi kram tungkai hendaknya jangan pernah diabaikan.Persiapan untuk kelahiran memerlukan pembersihan vulva dan perineum. Jika diinginkan, penutup steril dapat diletakkan di sekitar daerah vulva. Di masa lalu, alasan utama untuk menggosok, memakai penutup dan memakai sarung tangan adalah melindungi ibu dalam persalinan dari infeksi agen infeksius.

3. Kelahiran spontana. Kelahiran kepalaPada setiap kontraksi, perineum menonjol semakin besar dan bukaan vulvovagina menjadi semakin lebar oleh kepala janin, perlahan-lahan berbentuk oval dan akhirnya berbentuk hampir melingkar.Setiap kontraksi berhenti, bukaan tersebut menjadi lebih kecil karena kepala mundur. Ketika kepala menjadi semakin terlihat, bukaan vagina dan vulva teregang lebih jauh sampai akhirnya melingkari diameter terbesar kepala bayi. Diameter terbesar kepala janin yang dilingkari oleh cincin vulva ini dikenal sebagai crowning.Kecuali kalau episiotomi sudah dilakukan, perineum sekarang menjadi sangat tipis, dan khususnya pada wanita nulipara, dapat mengalami laserasi spontan. Pada saat yang bersamaan anus menjadi sangat teregang dan menonjol, serta dinding anterior rektum dengan mudah terlihat melalui lubang anus. Selama beberapa tahun telah terjadi perdebatan sengit mengenai episiotomi harus dilakukan. Kami menyarankan untuk individualisasi dan jangan melakukan episiotomi secara rutin. Sekarang telah diketahui secara jelas bahwa episiotomi meningkatkan risiko robek spingter anus eksternus dan/atau rektum. Sebaliknya, robekan anterior yang mengenai urethra dan labia kerap terjadi pada wanita yang tidak diepisiotomi.

Gambar 1.17 Kelahiran kepalaManuver RitgenPada waktu kepala meregangkan vulva dan perineum (selama kontraksi) sehingga cukup untuk membuka introitus vagina hingga diameter sekitar 5 cm, tangan yang menggunakan sarung tangan serta terbungkus handuk dapat digunakan untuk memberikan penekanan ke depan pada dagu janin melalui perineum tepat di depan koksigis. Pada saat yang bersamaan, tangan lainnya memberikan penekanan ke atas pada oksiput. Meskipun manuver ini lebih sederhana daripada yang diuraikan pertama kali oleh Ritgen (1855), biasanya manuver ini disebut sebagai manuver Ritgen, atau modifikasi Ritgen. Manuver ini memungkinkan dokter mengendalikan kelahiran kepala dan juga membantu ekstensi sehingga kepala dilahirkan dengan diameter terkecilnya melewati introitus dan perineum. Kepala dilahirkan secara perlahan dengan basis oksiput berputar di tepi bawah simfisis pubis sebagai titik tumpu, sementara bregma (fontanela anterior), dahi dan wajah berturut terlihat di perineum.

Gambar 1.18 Manuver Ritgenb. Kelahiran bahuSetelah lahir, kepala jatuh ke posterior, sehingga wajah hampir menempel ke anus. Oksiput segera memutar ke arah salah satu paha ibunya sehingga kepala mengambil posisi melintang. Gerakan-gerakan selanjutnya (rotasi eksterna) menunjukkan bahwa diameter biakromion (diameter transversal dada) telah memutar menyesuaikan dengan diameter anteroposterior panggul.

Gambar 1.19 Kelahiran bahuPaling sering, bahu terlihat di vulva tepat setelah rotasi eksternal dan lahir spontan.Kadangkala, terjadi perlambatan dan tampaknya perlu dianjurkan ekstraksi segera.Pada keadaan tersebut, sisi kepala dipegang dengan kedua tangan dan dilakukan traksi ke arah bawah secara perlahan, dilakukan sampai bahu anterior terlihat di bawah arkus pubis.Beberapa praktisi lebih memilih melahirkan bahu anterior sebelum menghisap nasofaring atau memeriksa tali pusat untuk menghindari distosisa bahu.Lalu dengan gerakan ke atas, bahu posterior dilahirkan.Sisa badan hampir selalu mengikuti bahu tanpa kesulitan, tetapi pada kasus persalinan yang berkepanjangan, kelahiran badan dapat dipercepat dengan tarikan sedang pada kepala dan tekanan sedang pada fundus uteri. Mengaitkan jari-jari di aksila hendaknya dihindari, karena akan mencederai saraf ekstremitas superior sehingga menimbulkan paralisis sementara atau mungkin permanen. Selanjutnya, traksi hendaknya hanya dikerjakan searah sumbu panjang bayi karena kalau ditarik miring dapat menyebabkan tertekuknya leher dan peregangan berlebihan pleksus brakialis.Segera setelah lahirnya bayi, biasanya ada semburan cairan amnion, yang sering berwarna darah, tetapi tidak seluruhnya mengandung darah.

4. Membersihkan nasofaringUntuk meminimalisir kemungkinan aspirasi debris cairan amnion dan darah yang mungkin terjadi setelah dada lahir dan bayi dapat menarik nafas, wajah cepat-cepat diusap dan lubang hidung serta mulut bayi diaspirasi.

5. Lilitan tali pusat di leherSetelah bahu anterior lahir, jari harus dimasukkan menuju leher janin untuk memastikan apakah lilitan tali pusat sekali atau lebih. Lilitan terjadi pada sekitar 25 persen kasus dan biasanya tidak berbahaya. Kalau dirasakan ada lilitan, lilitan hendaknya ditarik di antara jari-jari dan kalau cukup longgar, dilepaskan dari kepala bayi. Kalau lilitan mencengkik erat di leher sehingga susah dilepaskan dari kepala, hendaknya dipotong di antara dua klem dan bayi dilahirkan secara cepat.

Gambar 1.20 Identifikasi tali pusat yang melingkari leher

5. Pemotongan tali pusatTali pusat dipotong di antara dua klem seperti yang dipasang 4 atau 5 cm dari abdomen janin, dan kemudian satu klem tali pusat dipasang 2 atau 3 cm dari abdomen janin.

6. Saat yang tepat mengklem tali pusatJika setelah lahir, bayi ditempatkan setinggi introitus vagina atau di bawahnya selama 3 menit dan sirkulasi fetoplasental tidak segera disumbat dengan klem tali pusat, sekitar 80 mL darah dapat berpindah dari plasenta ke janin (Yao dan Lind, 1974). Satu keuntungan dari transfuse plasenta tersebut adalah fakta bahwa hemoglobin pada 80 mL darah palsenta yang berpindah ke bayi tersebut memberikan 50 mg besi sebagai simpanan bayi dan tentu saja mengurangi frekuensi anemia defisiensi besi pada masa bayi. Pada percepatan perusakan eritrosit, seperti yang terjadi pada alloimunisasi ibu, bilirubin yang terbentuk dari eritrosit tambahan tersebut ikut mempererat bahaya hiperbilirubinemia.Meskipun secara teori resiko beban sirkulasi yang berlebihan akibat hipervolemia berat mengkhawatirkan, terutama pada bayi prematur dan pertumbuhan terhambat, tambahan darah plasenta ke dalam sirkulasi bayi tersebut biasanya tidak menimbulkan kesulitan.Kebijaksanaan kami adalah mengklem tali pusat setelah pembersihan saluran nafas bayi pertama kali selesai yang biasanya memerlukan waktu sekitar 30 detik.Bayi tidak dinaikkan di atas introitus pada persalinan pervaginam, juga tidak terlalu tinggi di atas dinding abdomen ibu pada seksio sesaria.

1.7.3 Penatalaksanaan persalinan kala IIISegera setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan pada fundus uteri untuk menentukan ukuran dan konsistensinya. Jika uterus tetap teraba keras dan tidak ada perdarahan abnormal, ditunggu hingga plasenta lepas. Massase tidak selalu dilakukan, tetapi fundus harus sering dipalpasi untuk memastikan tidak terjadi atonia dan terisi darah dari terlepasnya plasenta.

1. Tanda-tanda pelepasan plasentaUsaha untuk mengeluarkan plasenta sebelum waktunya dapat menjadi berbahaya, sehingga klinisi harus mewaspadai tanda-tanda lepasnya plasenta, yaitu:1. Uterus menjadi bulat dan lebih keras2. Sering disertai keluarnya darah secara tiba-tiba3. Uterus naik ke abdomen karena plasenta yang sudah terlepas, turun ke segmen bawah rahim dan vagina, sehingga mendorong uterus ke atas4. Tali pusat menonjol keluar dari vagina, menandakan bahwa plasenta sudah turunTanda-tanda tersebut kadang muncul 1-5 menit setelah bayi lahir. Saat plasenta sudah terlepas, uterus harus dipastikan tetap berkontraksi. Ibu dapat diminta untuk mengejan, dan tekanan intraabdomen cukup untuk mengeluarkan plasenta. Jika tidak berhasil atau jika pengeluaran spontan tidak memungkinkan karena anestesia, setelah memastikan uterus berkontraksi, fundus diberi tekanan dengan tangan untuk mendorong plasenta yang sudah terlepas ke vagina. Tindakan ini disebut dengan manajemen fisiologis kala tiga.

Gambar 1. 21 Pengeluaran plasenta. Tangan tidak mendorong fundus uteri melalui jalan lahir. Saat plasenta melewati uterus dan masuk ke vagina, uterus didorong ke atas dengan tangan pada perut ibu dan tali pusat ditahan pada posisinya. Ibu dapat membantu pengeluaran plasenta dengan mengejan. Saat plasenta mencapai perineum, tali pusat diangkat sehingga plasenta keluar dari vagina.

2. Pengeluaran plasentaPengeluaran plasenta secara paksa tidak boleh dilakukan sebelum plasenta terlepas agar tidak terjadi inversio uteri.Penarikan tali pusat tidak boleh dilakukan untuk menarik plasenta keluar dari uterus.Inversio uteri merupakan salah satu komplikasi yang berbahaya berkaitan dengan persalinan, dan memerlukan perhatian segera.Tekanan pada corpus uteri menyebabkan tali pusat tetap menegang.Uterus kemudian didorong ke atas dengan tangan yang berada pada perut ibu.Manuver ini diulang hingga plasenta mencapai introitus.Saat plasenta melewati introitus, tekanan pada uterus dihentikan. Plasenta kemudian diangkat perlahan menjauhi introitus. Hal ini dilakukan untuk mencegah robeknya selaput dan tertinggal di dalam. Jika robek, selaput ditahan dengan klem dan dikeluarkan perlahan. Permukaan maternal plasenta diperiksa untuk memastikan tidak ada fragmen plasenta tertinggal di dalam uterus.

Gambar 1.21: Kiri: Plasenta dikeluarkan dari vagina dengan mengangkat tali pusat. Kanan: Selaput yang melekat pada lapisan uterus dilepaskan perlahan dengan forsep.

3. Pengeluaran plasenta manualKadang-kadang, plasenta tidak terlepas sekaligus. Hal ini terutama terjadi pada kasus persalinan prematur. Jika terdapat risiko perdarahan dan plasenta tidak bisa dikeluarkan dengan cara seperti di atas, diindikasikan untuk dilakukan pengeluaran plasenta secara manual. Jika induksi analgesia masih utuh, beberapa dokter obstetri melakukan pengeluaran manual plasenta yang masih belum terlepas spontan setelah selesai melahirkan bayi dan melakukan perawatan tali pusat. Manfaat dari tindakan ini masih belum terbukti dan sebagian besar dokter obstetri menunggu lepasnya plasenta secara spontan kecuali terjadi perdarahan yang berlebihan.

1.7.3 Penatalaksanaan aktif kala IIIMassase uterus yang diikuti dengan pengeluaran plasenta direkomendasikan untuk mencegah perdarahan post partum. Oksitosin, ergonovin, dan metilergonovin digunakan pada kala tiga persalinan normal, tapi waktu pemberiannya berbeda-beda pada berbagai institusi. Oksitosin, dan terutama ergonovin, yang diberikan sebelum lahirnya plasenta akan menurunkan kehilangan darah. Jika diberikan sebelum lahirnya plasenta, dapat menahan bayi kembar kedua yang belum terdiagnosa dan belum lahir.

1. OksitosinTiap mililiter injeksi oksitosin mengandung 10 unit. Waktu paruh oksitosin infus intravena sekitar 3 menit. Sebelum persalinan, uterus biasanya sensitif terhadap oksitosin dan dosis biasanya dititrasi untuk mendapatkan kontraksi yang adekuat. Setelah bayi lahir, efek ini menghilang dan dosis yang tetap dapat diberikan.

2. Efek kardiovaskulerLebih dari 30 tahun lalu, dilaporkan bahwa pada ibu yang sehat, pemberian 10 unit oksitosin bolus intravena menyebabkan penurunan tekanan darah dan peningkatan cardiac output. Perubahan hemodinamik ini dapat berbahaya bagi ibu dengan hipovolemia karena perdarahan atau yang mempunyai penyakit jantung. Sehingga oksitosin tidak boleh diberikan secara bolus intravena. Sebaiknya diberikan sebagai larutan dengan infus intravena atau injeksi IM dengan dosis 10 unit. Pada kasus perdarahan post partum, injeksi langsung ke dalam uterus, baik transvaginal maupun transabdominal, setelah persalinan pervaginam atau SC terbukti efektif.Stimulasi papila mammae pada kala tiga persalinan juga menunjukkan peningkatan tekanan uterus dan mengurangi durasi kala tiga dan kehilangan darah. Hasil yang serupa juga diperoleh dengan menggunakan kombinasi oksitosin (5 unit) dan ergometrin (0,5 mg).

Intoksikasi airEfek antidiuretik oksitosin dapat menyebabkan intoksikasi air. Oksitosin dosis tinggi memungkinkan untuk menyebabkan intoksikasi air jika diberikan dalam sejumlah besar larutan dekstrosa.

3. Ergonovin dan MetilergonovinMerupakan alkaloid ergot dengan kadar aktivitas yang sama di miometrium. Metilergonovin juga disebut ergometrin dan ergostetrin. Diberikan intravena, intramuskular ataupun per oral, kedua bahan ini merupakan stimulan poten untuk kontraksi miometrium, yang efeknya bertahan selama berjam-jam. Pada ibu hamil, dosis intravena 0,1 mg atau per oral 0,25 mg menyebabkan kontraksi uterus yang sifatnya tetanik. Efek terlihat segera setelah injeksi intravena dan dalam beberapa menit setelah pemberian secara intramuskular atau oral. Respon dipertahankan dengan sedikit kecenderungan relaksasi, sehingga berbahaya bagi fetus dan ibu sebelum persalinan.Pemberian alkaloid ergot secara parenteral, terutama intravena, kadang menyebabkan hipertensi. Hal ini dapat menjadi lebih berat pada ibu dengan hipertensi gestasional atau yang mudah mengalami hipertensi. Juga ditemukan adanya vasokonstriksi karena pemberian obat ini secara intravena sehingga semua nadi perifer menghilang dan diperlukan natrium nitroprusside untuk mengembalikan perfusi. Tetapi ibu tetap mengalami jejas akibat iskemia hipoksia otak.

Studi tentang Oksitosin dan Alkaloid ErgotChoy dkk pada tahun 2002 secara acak memberikan oksitosin secara intravena atau syntometrine secara intramuskular pada 991 ibu untuk mencegah perdarahan kala tiga. Syntometrine merupakan kombinasi oksitosin dan ergonovin. Hasilnya, oksitosin lebih disukai karena syntometrine menyebabkan hipertensi pada 3 persen ibu. Pada penelitian yang sama oleh Orji dkk tahun 2008 pada 600 ibu juga melaporkan tidak ada perbedaan kecuali peningkatan mual, muntah dan hipertensi pada kelompok syntometrine.Munn dkk pada tahun 2001 membandingkan dua regimen dosis oksitosin untuk pencegahan atonia uteri pada persalinan SC. 10 unit dan 80 unit oksitosin dalam 500 mL cairan infus RL diberikan selama 30 menit setelah bayi lahir. Tingkat atonia uteri lebih rendah pada kelompok regimen dosis tinggi dibandingkan dengan kelompok dosis rendah (19 dan 39 persen).

4. ProstaglandinAnalog prostaglandin tidak digunakan secara rutin untuk manajemen persalinan kala tiga. Villar dkk pada tahun 2002 mengamati penggunaan profilaktik misoprostol untuk mencegah perdarahan post partum dan menyimpulkan bahwa sediaan oksitosin atau oksitosin-ergot lebih efektif. Prostaglandin lain seperti 15-metil prostaglandin F2 digunakan untuk penanganan atonia uteri dengan perdarahan.

1.7.4 Kala Empat PersalinanPlasenta, selaput, dan tali pusat harus diperiksa lengkap atau tidak, dan apakah terdapat kelainan atau tidak. Setelah melahirkan merupakan waktu yang kritis, dan disebut kala empat persalinan. Meskipun oksitosin telah diberikan, perdarahan post partum karena atonia uteri lebih mungkin terjadi pada masa ini. Sehingga, uterus dan perineum harus sering dievaluasi. American Academy of Pediatrics dan American College of Obstetricians and Gynecologists pada tahun 2007 merekomendasikan tekanan darah dan nadi ibu diperiksa segera setelah melahirkan dan tiap 15 menit pada satu jam pertama.

1.8 Protokol Manajemen Persalinan1Manajemen Aktif PersalinanPersalinan didiagnosa ketika kontraksi yang terasa nyeri disertai dengan penipisan serviks lengkap, keluarnya lendir darah, atau pecahnya selaput ketuban. Ibu dengan tanda-tanda tersebut diperkirakan akan melahirkan dalam 12 jam. Pemeriksaan panggul dilakukan tiap jam selama 3 jam berikutnya, dan selang 2 jam setelahnya. Jika dilatasi tidak bertambah paling sedikit 1 cm/jam, dilakukan amniotomi. Kemajuan dinilai lagi pada 2 jam dan infus oksitosin dosis tinggi dimulai kecuali dilatasi paling sedikit 1 cm/jam.Jika selaput ketuban pecah sebelum masuk rumah sakit, oksitosin dimulai jika tidak ada kemajuan dalam waktu 1 jam. Larutan mengandung 10 unit oksitosin dalam 1 L dekstrosa. Dosis total tidak boleh melebihi 10 unit, dan kecepatan infus tidak boleh melebihi 30 sampai 40 mU/menit.

Partogram WHOPartogram WHO dipakai di negara-negara berkembang. Persalinan dibagi menjadi fase laten, yang tidak boleh melebihi 8 jam, dan fase aktif. Fase aktif dimulai saat dilatasi 3 cm, dan kemajuan tidak boleh kurang dari 1 cm/jam. Ketika fase aktif lambat, direkomendasikan menunggu 4 jam sebelum intervensi.

BAB 2INTRAPARTUM ASSESSMENT

Sejak tahun 1958, telah dikembangkan pemantauan denyut jantung janin secara elektronik dan kontinyu (continuous electronic fetal monitoring/ EFM) dan pertama kali diperkenalkan di dunia obstetri pada tahun 1960. Sebelum tahun-tahun tersebut, pemantauan surveilans intrapartum janin dan dugaan terhadap adanya fetal distress dinilai dengan auskultasi janin periodik dengan fetoskop. Kini persepsi tentang gawat janin tidak lagi terbatas dari bunyi jantung, melainkan adanya gambaran kontinyu frekuensi denyut jantung yang terpampang di kertas grafik juga memiliki potensi diagnostik untuk menilai proses-proses patofisiologis yang mempengaruhi janin. Saat itu sangat diharapkan:1. Pemantauan frekuensi denyut jantung janin secara elektronik memberikan informasi yang akurat2. Informasinya bermanfaat untuk mendiagnosis gawat janin3. Dapat dilakukan intervensi untuk mencegah kematian atau morbiditas janin4. Pemantauan frekuensi denyut jantung janin secara elektronik lebih superior daripada metode-metode intermitenMetode EFM pertama kali digunakan untuk kehamilan dengan komplikasi, namun kini hampir digunakan pada semua kehamilan. Di Amerika, pada tahun 1978, EFM digunakan pada hampir dua pertiga ibu hamil, dan meningkat pada tahun 2002 hingga hampir 85% dari total jumlah kelahiran hidup. Kini, pemantuan janin merupakan prosedur obstetrik yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat.

2.1. Electronic Fetal Monitoring2.1.1. Internal Electronic MonitoringFrekuensi denyut jantung janin dapat diukur dengan menempelkan sebuah elektrode spiral bipolar langsung ke janin. Elektrode kawat tersebut menembus kulit kepala janin dan kutub kedua adalah lempeng logam pada elektrode. Cairan vagina menciptakan suatu jembatan larutan salin listrik yang melengkapi sirkuit dan memungkinkan kita mengukur perbedaan tegangan (voltase) antara kedua kutub. Sinyal listrik jantung janin gelombang P, kompleks QRS, dan gelombang T mengalami penguatan dan dimasukkan ke dalam suatu kardiotakometer (cardiotachometer) untuk menghitung frekuensi denyut jantung janin. Kedua kawat elektrode bipolar disambungkan ke suatu elektrode rujukan di paha ibu untuk menghilangkan interferensi listrik. Voltase puncak gelombang R adalah bagian elektrokardiogram janin yang paling mudah dideteksi.

Gambar Internal heart monitoring

Waktu (t) dalam milidetik dihitung antara kedua gelombang R, dimasukkan ke dalam suatu kardiotakometer, dengan terciptanya setiap frekuensi denyut jantung janin yang baru seiring datangnya gelombang R yang baru. Pada kontraksi atrial prematur (premature atrial contraction/PAC), terjadi akselerasi frekuensi denyut jantung karena interval (t2) lebih singkat daripada interval sebelumnya (t1). Fenomena komputasi denyut jantung janin gelombang R ke gelombang R yang kontinyu dikenal sebagai variabilitas denyut-demi-denyut (beat-to-beat variability). Namun, peristiwa fisiologis yang digambarkan bukanlah peristiwa mekanis yang selaras dengan denyut jantung, tetapi lebih merupakan suatu peristiwa elektris.

Gambaran premature atrial contraction

Kompleks listrik jantung yang terdeteksi oleh elektrode mencakup kompleks yang dihasilkan oleh ibu. Walaupun sinyal elektrokardiogram (EKG) ibu sekitar lima kali lebih kuat daripada EKG janin, namun amplitudo sinyal tersebut menurun saat direkam melalui elektrode kulit kepala janin. Pada janin hidup, sinyal EKG ibu yang rendah ini akan terdeteksi tetapi tertutupi oleh EKG janin. Apabila janin meninggal, sinyal ibu yang lebih lemah akan mengalami penguatan oleh kumpulan sirkuit pengendali otomatis di monitor janin dan diperlihatkan sebagai frekuensi denyut jantung janin. Apabila janin meninggal, gelombang R ibu tetap terdeteksi oleh elektrode kulit kepala dan dihitung oleh kardiotakometer sebagai sinyal terbaik berikutnya.

Gambar Rekaman denyut jantung ibu (m=maternal) yang terdeteksi pada kertas grafik

2.1.2. External (Indirect) Electronic MonitoringPemecahan selaput ketuban dan melakukan invasi ke uterus dapat dihindari dengan menggunakan detektor eksternal untuk memantau kerja jantung janin dan aktivitas uterus. Namun ketepatan pengukuran frekuensi denyut jantung atau kuantifikasi tekanan uterus yang dihasilkan tidak sebaik yang dihasilkan pemantauan internal.Frekuensi denyut jantung janin dideteksi melalui dinding perut ibu dengan memanfaatkan prinsip ultrasonik Doppler. Gelombang ultrasonik mengalami pergeseran frekuensi sewaktu dipantulkkan oleh katup-katup jantung janin yang bergerak, dan oleh darah yang disemprotkan sewaktu sistole.

Gambar Ultrasound Doppler

Alatnya terdiri atas sebuah transuder yang mengeluarkan gelombang ultrasonik dan sebuah sensor untuk mendeteksi pergeseran frekuensi gelombang suara yang dipantulkan. Transuder diletakkan di perut ibu di tempat kerja jantung janin paling jelas terdeteksi. Gel harus dioleskan di tempat penempelan karena udara kurang dapat menghantarkan gelombang ultrasonik. Alat dilekatkan di tempatnya dengan bantuan sabuk. Perlu diperhatikan bahwa denyut aorta ibu jangan dikacaukan dengan gerakan jantung janin. Sinyal ultrasonik Doppler diedit secara elektronis sebelum data frekuensi denyut jantung janin tercetak di kertas rekaman monitor. Sinyal ultrasonik yang dipantulkan oleh katub-katub jantung janin yang bergerak dimasukkan ke suatu mikroprosesor yang membandingkan sinyal datang dengan sinyal sebelumnya yang paling akhir. Proses ini disebut auto-korelasi, didasarkan pada anggapan bahwa frekuensi denyut jantung janin memiliki keteraturan sedangkan kebisingan bersifat acak dan tanpa keteraturan. Beberapa gerakan jantung janin harus dianggap layak secara elektronis oleh mikroprosesor sebelum frekuensi denyut jantung janin dicetak. Pengeditan secara elektronis ini sangat meningkatkan kualitas rekaman frekuensi denyut jantung janin yang dipantau secara eksternal.

2.1.3. Pola frekuensi denyut jantung janinInterpretasi pola frekuensi denyut jantung janin dapat menimbulkan masalah akibat tidak adanya kesepakatan mengenai definisi dan tata namanya. Berdasarkan Fetal Monitoring Workshop yang diselenggarakan oleh National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) pada tahun 1997, telah diajukan beberapa definisi-definisi standar yang tidak membingungkan guna interpretasi pola frekuensi denyut jantung janin selama persalinan. Perlu diketahui bahwa interpretasi data frekuensi denyut jantung janin yang dipantau secara elektronik didasarkan pada pola visual frekuensi denyut jantung seperti terekam pada kertas grafik. Dengan demikian, pemilihan skala vertikal dan horizontal sangat mempengaruhi tampilan frekuensi denyut jantung janin. Faktor skala yang dianjurkan berdasarkan workshop tersebut adalah 30 dpm per cm vertikal (antara 30 sampai 240 dpm) dan kecepatan kertas rekaman adalah 3 cm/ menit. Variasi frekuensi denyut jantung janin palsu akan tampak apabila kecepatan kertas rekaman hanya 1 cm/menit dibandingkan dengan gambaran rekaman basal yang tampak mulus pada kecepatan 3 cm/ menit.

2.1.3.1. Aktivitas basal jantung janinAktivitas basal jantung janin (baseline fetal heart activity) yang dimaksud adalah karakteristik modus yang menonjol selain akselerasi dan deselerasi periodik yang menyertai kontraksi uterus. Karakteristik deskriptif aktivitas jantung janin mencakup kecepatan, variabilitas, denyut-demi-denyut, aritmia janin, dan pola-pola tersendiri, misalnya frekuensi denyut jantung janin sinusoid atau saltatorik.

2.1.3.2. KecepatanSemakin matang janin, frekuensi denyut jantung akan semakin menurun. Hal ini berlangsung hingga setelah lahir sehingga kecepatan rata-rata pada anak usia 8 tahun adalah 90 denyut per menit. Pillai dan James mempelajari karakteristik frekuensi denyut jantung janin secara longitudinal pada 43 kehamilan normal. Frekuensi denyut jantung basal janin menurun rata-rata 24 dpm antara minggu ke 16 hingga masa aterm, atau sekitar 1 dpm/minggu. Pada usia 16 minggu, kecepatan basal rata-rata adalah 160 dpm, yang menurun menjadi 150 dpm pada usia 40 minggu. Dibuatlah suatu dalil yang menyatakan bahwa perlambatan normal bertahap frekuensi denyut jantung janin ini sesuai dengan pematangan pengendalian jantung oleh sistem parasimpatis.Frekuensi denyut jantung basal janin merupakan hasil dari rerata yang dibulatkan dalam interval 5 dpm selama 10 menit segmen perekaman. Dalam setiap rentang 10 menit, durasi denyut basal yang dapat diinterpretasi haruslah paling sedikit 2 menit. Frekuensi denyut jantung basal janin yang kurang dari 110 dpm disebut bradikardi dan yang lebih dari 160 dpm disebut takikardia. Frekuensi denyut jantung dipengaruhi oleh sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis menimbulkan pengaruh akselerator, sedangkan sistem parasimpatis adalah faktor deselerator yang diperantarai melalui saraf vagus dan menyebabkan frekuensi denyut jantung melambat.Frekuensi denyut jantung juga dipengaruhi oleh kemoreseptor arteri sedemikian sehingga hipoksia dan hiperkapnia dapat memodulasi kecepatan. Hipoksia yang parah dan berkepanjangan, disertai meningkatnya kadar laktat darah dan asidemia metabolik berat menimbulkan penurunan frekuensi denyut jantung yang berkepanjangan akibat efek langusng pada miokardium.BRADIKARDIA. Selama trimester ketiga, rerata frekuensi denyut jantung basal janin yang dianggap normal adalah 120 hingga 160 dpm. Batas normal bawah masih diperdebatkan karena sebagian peneliti menganjurkan 110 dpm. Secara pragmatis, kecepatan antara 100 dan 119 dpm, tanpa adanya perubahan lain biasanya tidak dianggap sebagai gambaran gangguan janin. Frekuensi denyut jantung janin yang lambat tetapi secara potensial normal juga diperkirakan disebabkan oleh penekanan kepala akibat posisi melintang atau oksiput posterior, terutama pada kala dua persalinan.Bradikardia ringan didefinisikan sebagai frekuensi denyut jantung janin antara 100-110 dpm. Bradikardia sedang didefinisikan sebagai frekuensi 80 sampai 100 dpm, dan bradikardia berat adalah kurang dari 80 dpm, selama 3 menit atau lebih.Kausa lain bradikardia janin antara lain blok jantung kongenital, solusio plasenta, hipotermia dan pielonefritis berat pada ibu.

TAKIKARDIA. Takikardia oleh sebagian besar penulis dianggap ringan apabila frekuensi denyut jantung basal adalah antara 161 hingga 180 dpm serta dianggap berat apabila 181 atau lebih. Penyebab takikardia janin tersering adalah demam ibu akibat amionisitis walaupun demam oleh sebab apapun dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung basal janin. Takikardia yang disebabkan oleh infeksi ibu biasanya tidak disertai gangguan janin, kecuali apabila terjadi perubahan frekuensi denyut jantung janin berkala atau sepsis janin.Kausa lain antara lain gangguan janin, aritmia jantung, dan pemberian obat parasimpatis (atropin) atau simpatomimetik (terbutalin) kepada ibu. Gambaran kunci untuk membedakan gangguan janin yang disertai takikardia adalah terjadinya deselerasi frekuensi denyut jantung secara bersamaan. Hilangnya penyebab secara segera, misalnya koreksi hipotensi pada ibu akibat analgesia epidural, dapat menyebabkan pulihnya janin.

2.1.3.3. Variabilitas denyut demi denyutVariabilitas basal merupakan indeks penting untuk fungsi kardiovaskular dan tampaknya dikendalikan terutama oleh sistem saraf otonom. Yaitu melalui nodus sinoatrial yang memperantarai osilasi saat-demi-saat atau denyut-demi-denyut frekuensi denyut jantung basal. Iregularitas frekuensi dneyut jantung ini disebut sebagai variabilitas basal, yang dibagi menjadi jangka pendek dan jangka panjang.Variabilitas jangka pendek mencerminkan perubahan mendadak frekuensi denyut jantung janin dari satu denyutan (gelombang R) ke denyutan selanjutnya. Variabilitas ini merupakan pengukuran interval waktu antara dua sistole jantung. Variabilitas ini dapat dipastikan normal hanya apabila siklus elektrokardiak diukur secara langsung dengan elektrode kulit kepala.Variabilitas jangka panjang digunakan untuk menjelaskan perubahan osilatorik yang terjadi selama 1 menit dan menyebabkan rekaman variabilitas basal membentuk gelombang. Frekuensi normal gelombang ini adalah tiga sampai lima siklus per menit. Analisis kuantitaif yang tepat terhadap variabilitas jangka pendek dan panjang sampai saat ini terkendala faktor teknis dan skala. Berdasarkan NICHD Fetal Monitoring Workshop, variabilitas jangka pendek dan variabilitas jangka panjang tidak dibedakan karena dalam praktik di lapangan keduanya dianggap sebagai satu kesatuan. Namun, wokshop tersebut mendefinisikan sebagai varibilitas basal sebagai fluktuasi basal sebesar dua siklus per menit atau lebih. Variabilitas denyut-demi-denyut jantung dianggap normal antara 6 sampai 25 dpm.Beberapa proses fisiologis dan patologis dapat mempengaruhi atau mengganggu variabilitas denyut-demi-denyut. Dawes dkk melaporkan peningkatan variabilitas selama janin bernafas. Pada bayi sehat, variabilitas jangka pendek disebabkan oleh aritmia sinus respiratorik. Gerakan tubuh janin juga mempengaruhi variabilitas. Pillai dan James melaporkan peningkatan variabilitas basal seiring kemajuan gestasi. Sampai usia 30 minggu, karakteristik basal serupa baik saat janin beristirahat maupun aktif. Setelah minggu ke-30, inaktivitas janin disertai berkurangnya variabilitas basal, dan sebaliknya, variabilitas meningkat selama janin beraktivitas. Jenis kelamin tidak mempengaruhi variabilitas frekuensi denyut jantung janin. Perlu diketahui bahwa frekuensi denyut jantung basal janin menjadi lebih stabil secara fisiologis apabila kecepatan meningkat. Sebaliknya, pada frekuensi denyut jantung yang rendah, instabilitas atau variabilitas basal lebih tinggi. Fenomena ini diperkirakan mencerminkan bahwa seiring dengan meningkatnya frekuensi denyut jantung, penyimpangan kardiovaskular fisiologis yang digambarkan oleh pemendekan interval antar denyut akan berkurang. Berkurangnya variabilitas didefinisikan sebagai penyimpangan sebesar 5 dpm atau kurang dari basal. Berkurangnya variabilitas denyut-demi-denyut dapat menjadi pertanda buruk adanya gangguan serius pada janin. Paul dkk melaporkan bahwa hilangnya variabilitas disertai deselerasi terjadi pada asidemia janin. Hipoksemia juga dapat menyebabkan berkurangnya variabiltas denyut-demi-denyut janin, namun mekanismenya belum sepenuhnya diketahui. Dawes (1985) menyatakan, penurunan variabilitas mungkin disebabkan oleh asidemia metabolik yang menyebabkan depresi batang otak janin atau jantung janin itu sendiri. Dengan demikian, penurunan variabilitas denyut-demi-denyut, apabila merupakan gambaran suatu keadaan janin yang terganggu, lebih besar kemungkinannya mencerminkan asidemia daripada hipoksia.Pemberian obat-obatan juga dapat menyebabkan penurunan variabilitas denyut-demi-denyut. Pemberian obat analgesia selama persalinan, dan berbagai obat depresan juga sering dijumpai menyebabkan penurunan variabilitas denyut-demi-denyut. Obat-obatan tersebut antara lain golongan narkotika, barbiturat, fenotiazin, obat penenang, dan anestesia umum. Secara umum dianggap bahwa penurunan variabilitas frekuensi denyut jantung basal adalah satu-satunya tanda adanya gangguan janin yang paling dapat diandalkan. Smith dkk (1988) mengamati bahwa penurunan variabilitas (4,2 dpm atau kurang) yang menetap selama 1 jam bersifat diagnostik untuk asidemia dan ancaman kematian jainin. Sebagai kesimpulan, variabilitas denyut-demi-denyut dipengaruhi beragam mekanisme patologis dan fisiologis. Variabilitas memiliki arti yang cukup berbeda-beda bergantung pada sitauasi klinis. Penurunan variabilitas tanpa adanya deselerasi kecil kemungkinannya disebabkan oleh hipoksia janin.

Gambar Variabilitas denyut jantung basal janin. (1) tidak ada variabilitas, (2) variabilitas minimal 5 dpm, (3) variabilitas sedang (normal) 6-25 dpm, (4) variabilitas bermakna >25 dpm

2.1.3.4. Aritmia jantungTemuan-temuan pada pemantauan elektronik yang menimbulkan kecurigaan kuat adanya aritmia jantung janin adalah bradikardia basal, takikardia, atau terutama pembentukan gelombang taji basal mendadak (abrupt baseline skiping). Bradikardia basal intermiten sering disebabkan oleh blok jantung kongenital. Sebagian besar aritmia supraventrikel tidak terlalu bermakna selama persalinan, kecuali apabila terdapat juga gagal jantung yang tampak sebagai hidrops fetalis. Banyak aritmia supraventrikel yang menghilang pada periode neonatus dini, walaupun sebagian disertai defek struktural jantung. Obat-obat yang digunakan untuk mengendalikan aritmia janin biasanya berupa digoksin, verapamil, dan fluecalnide. Walaupun sebagian besar aritmia janin kurang bermakna selama persalinan apabila tidak terdapat tanda-tanda hidrops fetalis, aritmia semacam ini mengganggu interpretasi perekaman frekuensi denyut jantung intrapartum. Pemeriksaan ultrasonik terhadap anatomi janin serta ekokardiografi mungkin bermanfaat. Beberapa dokter menggunakan sampel kulit kepala janin sebagai tambahan. Secara umum, tanpa adanya hidrops fetalis, hasil akhir janin tidak secara bermakna meningkat dengan intervensi kehamilan. Di Parkland Hospital, aritmia jantung janin intrapartum dengan air ketuban jernih ditangani secara konservatif.

2.1.3.5. Frekuensi denyut jantung janin sinusoidalPola sinusoidal sejati mungkin dijumpai pada anemia janin yang serius, baik akibat isoimunisasi-D, ruptur vasa previa, perdarahan fetomaternal, maupun transfusi antar janin kembar. Pola sinusoidal yang tidak signifikan pernah dilaporkan setelah pemberian meperidin, morfin, alfaprodin, dan butorfanol, juga pernah dijumpai pada aminonitis, gawat janin, dan oklusi tali pusat. Mondalou dan Freeman (1982), berdasarkan pengkajian mereka yang luas, mengajukan penerapan definisi yang ketat:1. Frekuensi denyut jantung basal yang stabil adalah 120 sampai 160 dpm dengan osilasi reguler.2. Amplitudo 5 sampai 15 dpm (jarang lebih).3. Frekuensi variabilitas jangka panjang 2 sampai 5 siklus/menit.4. Variabilitas jangka pendek tetap atau datar.5. Osilasi bentuk gelombang sinusoid di atas atau di bawah garis basal.6. Tidak adanya akselerasi.Peneliti lain mengajukan suatu klasifikasi untuk pola frekuensi denyut jantung sinusoidal menjadi ringan (amplitudo 5 sampai 15 dpm), sedang (16 sampai 24 dpm) dan mayor (25 dpm atau lebih) untuk menilai risiko janin.Beberapa peneliti mendefinisikan variasi basal mirip gelombang sinus intrapartum disertai periode-periode akselerasi sebagai pseudo-sinusoidal. Pola pseudosinusoidal ringan dilaporkan muncul pada pemakaian meperidin dan analgesia epidural. Pola pseudosinusoidal sedang timbul pada pengisapan oleh janin atau serangan hipoksia janin sesaat akibat penekanan tali pusat. Patofisiologi pola sinusoidal masih belum diketahui jelas, sebagian karena definisinya yang masih beragam. Tampaknya terdapat kesepakatan umum bahwa undulasi basal gelombang sinus anterpatum menandakan bahwa anemia janin yang parah, namun, janin yang mengalami isoimunisasi D hanya sedikit yang memperlihatkan pola ini. Pola sinusoidal dilaporkan timbul atau menghilang setelah transfusi janin. Ikeda dkk (1999) menyatakan, berdasarkan penelitian pada janin domba, bahwa pola sinusoidal frekuensi denyut jantung janin berkaitan dengan gelombang-gelombang tekanan darah arteri, yang mencerminkan osilasi pada mekanisme umpan balik baroreseptor/kemoreseptor untuk mengontrol sirkulasi.

Gambar Denyut jantung janin sinusoidal

2.1.3.6. Frekuensi denyut jantung janin periodikFrekuensi denyut jantung janin periodik (periodic fetal heart rate) merujuk pada penyimpangan dari basal yang menyertai kontraksi uterus. Akselerasi merujuk pada meningkatnya frekuensi denyut jantung janin melebih basal dan deselerasi adalah menurunnya frekuensi denyut jantung janin di bawah basal. Sistem yang paling umum digunakan di Amerika Serikat didasarkan pada waktu deselerasi saat kontraksi, yaitu awitan dini, lambat atau variabel. Pada deselerasi dini dan lambat, kemiringan perubahan frekuensi denyut jantung janin bersifat gradual sehingga membentuk gelombang kurviliner dan uniform atau simetris. Pada deselerasi variabel, kemiringan perubahan frekuensi denyut jantung janin bersifat curam dan tidak beraturan, sehingga bentuk gelombang bergerigi. Telah dinyatakan bahwa deselerasi seyogyanya disebut rekuren apabila terjadi pada 50 persen kontraksi atau lebih pada setiap periode 20 menit.Sistem lain, yang sekarang lebih jarang digunakan untuk menjelaskan deselerasi, didasarkan pada proses patofisiologis yang kemungkinan menyebabkan pola tersebut. Pada sistem ini, deselerasi dini disebut kompresi kepala, deselerasi lambat disebut insufisiensi uteroplasenta, dan deselerasi variabel disebut pola kompresi tali pusat.Akselerasi adalah peningkatan mendadak (didefinisikan sebagai awitan akselerasi yang mencapai puncak dalam 16 mmol/liter). Asidemia macam ini jarang dijumpai, terjadi hanya pada 71 di antara 23.000 kelahiran. Pola tanpa variabilitas basal merupakan pola paling sepesifik, tetapi hanya teridentifikasi pada 17 persen (positif sejati), dan spesifitasnya 98 persen (negatif sejati). Dellinger dkk (2000) secara retrospektif menganalisis pola frekuensi denyut jantung janin intrapartum pada 898 kehamilan dengan menggunakan suatu sistem klasifikasi yang mereka rancang sendiri. Pola frekuensi denyut jantung janin selama persalinan sebelum persalinan diklasifikasikan sebagai normal, stres, atau gawat. Gawat janin didiagnosis pada 8 (1%) rekaman dan 70% diklasifikasikan sebagai normal. Sepertiga pola adalah pola intermediet. Yang digolongkan ke dalam gawat janin antara lain tidak variabilitas plus deselerasi lambat atau deserasi variabel sedang sampai parah atau denyut basal kurang dari 110 dpm selama 5 menit atau lebih. Hasil akhir seperti seksio sesarea, asidemia janin, dan rawat inap di ruang perawatan intensif bermakna dan berkaitan dengan pola frekuensi denyut jantung janin. Para penulis ini menyimpulkan bahwa sistem klasifikasi mereka secara akurat dapat memprediksi hasil akhir normal bagi janin serta membedakan gawat janin yang sesungguhnya.

2.3.2.2. Interpretasi status ritme detak jantung janinSingkatnya lebih 40 tahun pengalaman dengan interpretasi pola frekuensi denyut jantung janin, akhirnya ditemukan bahwa beberapa kombinasi pola frekuensi denyut jantung janin dapat digunakan untuk mengidentifikasi janin normal dan abnormal. Pola gawat janin yang sejati tampaknya berupa tidak adanya variabilitas denyut-demi-denyut disertai deselerasi berat atau perubahan frekuensi basal per sistem atau keduanya. Salah satu penjelasan mengapa manfaat pemantauan frekuensi denyut jantung sulit dibuktikan secara ilmiah adalah gawat janin semacam itu jarang terjadi sehingga sulit dilakukan uji klinis yang sahih (Hornbuckle dkk, 2000).

2.3.3. Mekonium dalam cairan amnionPendidikan obstetri sepanjang abad ini mengajarkan konsep bahwa keluarnya mekonium kemungkinan merupakan peringatan adanya asfiksia janin. J Whitridge Williams mengamati pada tahun 1930 bahwa tanda khas ancaman asfiksia adalah keluarnya mekonium. Ia menyatakan bahwa keluarnya mekonium disebabkan oleh relaksasi otot sfingter ani yang dipicu oleh kurangnya aerasi darah (janin). Namun, para ahli kebidanan juga telah lama menyadari bahwa deteksi mekonium selama persalinan menimbulkan masalah dalam memprediksi asfiksia atau gawat janin. Dalam kajian mereka, Katz dan Bowes (1992) menekankan nilai prognostik mekonium yang bersifat tidak pasti dengan menyebut topik ini sebagai ikhwal yang kelam. Memang, walaupun 12%-22% persalinan pada manusia dipersulit oleh mekonium, hanya sedikit yang mengakibatkan kematian bayi. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini di Parkland Hospital, mekonium terbukti sebagai bahaya obstetrik risiko rendah karena angka kematian perinatal yang disebabkan oleh mekonium adalah 1 kematian per 1000 kelahiran hidup (Nathan, dkk, 1994).Tiga teori diajukan untuk menjelaskan keluarnya mekonium dari janin dan mungkin, sebagian menjelaskan korelasi yang lemah antara deteksi mekonium dan mortalitas bayi. Penjelasan patologis menyatakan bahwa janin mengeluarkan mekonium sebagai respons terhadap hipoksia, dengan demikian mekonium merupakan tanda gangguan janin (Walker, 1953). Penjelasan lain, keluarnya mekonium in utero mungkin merupakan pematangan normal saluran cerna di bawah kontrol saraf (Mathews dan Warshaw, 1979). Ketiga, keluarnya mekonium juga terjadi setelah stimulasi vagus akibat terjepitnya tali pusat yang sering terjadi tetapi berlangsung singkat dan menyebabkan peningkatan peristaltis (Hon et al, 1996). Dengan demikian, pengeluaran mekonium oleh janin juga mungkin mencerminkan proses fisiologis.Ramin dan rekan (1996) mempelajari hampir 8.000 persalinan yang air ketubannya tercemar dengan mekonium di Parkland Hospital. Sindrom aspirasi mekonium secara bermakna berhubungan dengan asidemia janin saat lahir. Hal-hal lain yang secara bermakna berkaitan dengan aspirasi antara lain seksio sesarea, pemakaian forceps untuk mempercepat pelahiran, kelainan frekuensi denyut jantung intrapartum, penurunan skor APGAR, dan perlunya bantuan ventilasi saat lahir. Analisis jenis asidemia janin berdasarkan gas darah tali pusat menunjukkan bahwa gangguan janin yang menyertai sindrom aspirasi mekonium merupakan suatu kejadian yang akut karena sebagian besar janin asidemik lebih memperlihatkan peningkatan abnormal pCO2 daripada asidemia metabolik murni.Yang menarik, hiperkarbia pada janin domba memicu janin tersengal-sengal (gasping) dan menyebabkan peningkatan inhalasi cairan amnion (Dawes dkk, 1972). Jovanovic dan Nguyen (1989) mengamati bahwa mekonium yang terhirup ke dalam paru menyebabkan sindrom aspirasi hanya pada janin hewan yang mengalami asfiksia. Ramin dan rekan (1996) berhipotesis bahwa patofisiologi sindrom aspirasi mekonium melibatkan, tetapi tidak terbatas pada hiperkarbia janin yang merangsang respirasi janin sehingga terjadi aspirasi mekonium ke dalam alveolus, dan kerusakan parenkim paru akibat asidemia yang memicu kerusakan sel alveolus. Dalam skenario patofisiologi ini, mekonium dalam cairan amnion lebih merupakan suatu bahaya potensial yang terdapat di lingkungan janin daripada menjadi penanda sudah terjadinya suatu gangguan. Rangkaian proses patofisiologi yang dihipotesiskan ini tidak bersifat menyeluruh, karena tidak memperhitungkan sekitar separuh kasus sindrom aspirasi mekonium dengan janin yang tidak mengalami asidemia saat lahir. Disimpulkan bahwa tingginya insiden ditemukannya mekonium dalam cairan amnion selama persalinan sering mencerminkan pengeluaran isi saluran cerna janin yang merupakan proses fisiologis normal. Namun, mekonium ini dapat menjadi suatu bahaya potensial lingkungan apabila disertai asidemia janin. Asidemia janin tersebut terjadi secara akut sehingga aspirasi mekonium tidak dapat diperkirakan dan besar kemungkinannya tidak dapat dicegah.

2.3.4. PenatalaksanaanPenatalaksanaan klinis perubahan pola frekuensi denyut jantung janin yang signifikan adalah memperbaiki gangguan pada janin. Mengubah posisi ibu menjadi posisi lateral, memperbaiki hipotensi ibu akibat analgesia regional dan menghentikan oksitosin, berfungsi untuk memperbaiki perfusi uteroplasenta. Pemeriksaan untuk menyingkirkan prolaps tali pusat atau persalinan iminens mungkin bermanfaat.

2.3.4.1. TokolisisSuntikan dosis tunggal 0,25 mg terbutalin sulfat intravena atau subkutan yang diberikan untuk melemaskan uterus dilaporkan dapat digunakan sebagai tindakan sementara dalam penatalaksanaan pola frekuensi denyut jantung janin yang tidak meyakinkan selama persalinan. Alasan tindakan ini adalah bahwa inhibisi kontraksi uterus dapat memperbaiki oksigenasi janin sehingga terjadi resusitasi in utero. Cook dan Spinnato (1994) melaporkan pengalaman mereka dengan tokolisis terbutalin untuk resusitasi janin pada 368 kehamilan selama periode 10 tahun. Tindakan resusitasi ini memperbaiki angka pH darah kulit kepala janin walaupun semua wanita ini melahirkan melalui seksio sesarea. Dalam kajian mereka, para peneliti berkesimpulan bahwa walaupun studi yang ada sedikit dan jarang berupa studi acak, namun sebagian besar melaporkan bahwa tokolisis terbutalin untuk pola yang meragukan memberi hasil baik. Nitrogliserin intravena dalam dosis kecil (60-180 mg) juga dilaporkan bermanfaat (Mercier dkk, 1997).

2.3.5. Pola frekuensi denyut jantung janin dan kerusakan otakUsaha-usaha untuk mengkorelasikan pola frekuensi denyut jantung janin dengan kerusakan otak terutama didasarkan pada berbagai penelitian terhadap bayi yang teridentifikasi sebagai akibat proses medikolegal. Sebagai contoh, Rosen dan Dickinson (1992) menganalisis pola frekuensi denyut jantung janin intrapartum pada 55 kasus semacam itu dan tidak mendapatkan adanya pola khusus yang berkaitan dengan cedera saraf.Shields dan Schifrin (1988) serta Schifrin dan rekan (1994) melaporkan sesuatu yang mereka anggap sebagai pola frekuensi denyut jantung janin yang unik sebagai karakterisktik kerusakan otak janin. Pola ini terdiri atas frekuensi denyut jantung basal yang normal tanpa disertai variabilitas dan terdapat deselerasi variabel ringan disertai over shoot. Pola ini juga sering didapatkan berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai uji non stress reaktif (reactive non stress test). Temuan lain antara lain post maturitas, pencemaran oleh mekonium disertai pertumbuhan janin terhambat, dan berkurangnya cairan ketuban. Mereka menyimpulkan bahwa pola tersebut paling sering mencerminkan penekanan tali pusat yang kronik dan intermitten akibat oligohidramnion serta menyebabkan iskemia berulang susunan saraf pusat antepartum. Studi-studi lanjutan memperlihatkan tingginya insiden retardasi mental, mikrosefalus, dan aktivitas kejang, selain cerebral palsy. Phelan dan Ahn (1994) melaporkan bahwa di antara 48 janin yang kemudian didapatkan mengalami gangguan neurologis, 70% janin sudah memperlihatkan rekaman frekuensi denyut jantung yang non reaktif persisten pada saat ibunya dirawat; mereka menyimpulkan bahwa cedera saraf janin sebagian besar terjadi sebelum pasien tiba di rumah sakit. Saat mereka meneliti secara retrospektif pola frekuensi denyut jantung pada 209 bayi dengan kerusakan otak, hanya separuh yang nonreaktif pada saat datang (Ahn dkk, 1996). Mereka menyimpulkan bahwa tidak terdapat satupun pola khas yang menyertai cedera saraf janin. Westgate, dkk (1999) mendapatkan bahwa lebih dari separuh janin aterm dengan ensefalopati neonatal akibat asidemia janin disebabkan oleh kejadian-kejadian yang berada di luar jangkauan pengendalian dokter kebidanan.

2.3.5.1. Bukti eksperimentalPola kelainan frekuensi denyut jantung janin yang biasa timbul pada kerusakan otak perinatal telah diteliti pada hewan percobaan. Myers (1972) menjelaskan efek asfiksia total dan parsial pada monyet rhesus dalam penelitian tentang kerusakan otak akibat asfiksia perinatal. Asfiksia menyeluruh ditimbulkan oleh oklusi total aliran darah tali pusat menyebabkan terjadinya deselerasi berkepanjangan. pH arteri janin baru mencapai 7.0 setelah 8 menit setelah penghentian total oksigenasi dan aliran darah tali pusat. Diperlukan deselerasi setidaknya selama 10 menit sebelum didapatkan kerusakan otak pada janin yang bertahan hidup.Myers (1972) juga menimbulkan asfiksia parsial pada monyet rhesus dengan menghalangi aliran darah aorta induk. Hal ini menyebabkan terjadinya deselerasi lambat akibat hipoperfusi uterus dan plasenta. Ia mengamati bahwa deselerasi lambat selama beberapa jam tidak merusak otak janin kecuali apabila pH turun di bawah 7.0, Adamsons dan Myers (1977) kemudian melaporkan bahwa deselerasi lambat merupakan penanda asfiksia parsial jauh sebelum terjadinya kerusakan otak.Pada hewan percobaan pola frekuensi denyut jantung janin yang paling sering dijumpai selama persalinan akibat oklusi tali pusat, memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mempengaruhi janin secara bermakna. Watanabe, dkk (1992) memperlihatkan bahwa oklusi tali pusat total sekuensial selama 40 detik diikuti oleh 80 detik pembebasan selama 30 menit pada domba hanya menyebabkan asidemia sedang pada janin. Demikian juga Clapp dkk (1988) menyumbat tali pusat secara parsial selama 1 menit setiap 3 menit pada janin domba dan mengamati terjadinya kerusakan setelah 2 jam. Ikeda dkk (1998, 2000) mempelajari oklusi parsial tali pusat yang menyebabkan pH menjadi kurang dari 6,9 selama 90 menit pada janin domba. Asfiksia yang berat semacam ini menimbulkan kerusakan multiorgan dan kerusakan otak dengan derajat bervariasi. Durasi yang lebih singkat, yaitu oklusi total tali pusat selama 10, 15, atau 20 menit, tidak menimbulkan kerusakan otak pada janin domba (Keunen, dkk. 1997).Dengan menggunakan janin domba, Matsuda, dkk (1999) memperlihatkan bahwa cedera otak serupa terjadi pada perdarahan janin akut. Para peneliti ini mengeluarkan sekitar sepertiga volume darah uteroplasenta secara akut sehingga menumbulkan hipotensi dan kemudian menyebabkan perubahan-perubahan pada substansia alba periventrikel.

Bukti pada manusiaKontribusi proses-proses intrapartum terhadap terjadinya kelainan neurologis di kemudian hari selama ini diperkirakan secara berlebihan. Nelson dan Grether (1998) melakukan sebuah studi populasi terhadap anak dengan cerebral palsy spastik dengan catatan intrapartum anak-anak ini membandingkan dengan kelompok kontrol sepadan. Kelainan frekuensi denyut jantung janin intrapartum tidak menunjukan perbedaan antara anak dengan cerebral palsy dan kontrol normal. Badawi, dkk (1998) juga melakukan studi populasi kasus-kontrol (case control) pada bayi dengan cerebral palsy di Australia Barat. Hanya 5% bayi dengan keusakan otak yang memiliki faktor intrapartum, sehingga mereka menyimpulkan bahwa sebagian besar kasus cerebral palsy tidak berkaitan dengan proses persalinan.Low, dkk (1989) membagi kerusakan otak perinatal menjadi tiga kategori berdasarkan temuan mikroskopik:1. Dari 18 sampai 48 jam nekrosis saraf disertai piknosis atau lisis inti sel dalam sel eosinofilik yang melisut.2. Dari 48 sampai 72 jam nekrosis saraf yang lebih intens disertai respons makrofag.3. Lebih dari 3 hari dua poin di atas ditambah respons astrosit disertai gliosis dan, pada sebagian kavitasi dini.Histopatologi otak yang abnormal tidak dijumpai pada asfiksia akut yang letal. Selain itu, 43% episode kerusakan otak terjadi sebelum persalinan dan 25% dalam masa neonatus. Demikian juga, pada penelitian lain, Low, dkk (1984) memperkirakan bahwa diperlukan lebih dari 1 ja