44
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demam Korea mungkin istilah yang sesuai untuk menggambarkan bagaimana produk budaya populer Korea masuk dan menjadi booming di Indonesia. Popularitas produk budaya Korea ini tidak hanya terjadi di kalangan penyuka budaya Korea saja, tapi juga lebih luas dengan dukungan dari media mainstream seperti televisi, surat kabar, tabloid, dan radio. Stasiun televisi nasional seperti Indosiar dan AnTV misalnya secara konsisiten menayangkan drama Korea di spot prime time mereka. 1 Peliputan surat kabar atas produk budaya Korea mungkin tidak terlalu besar, namun untuk majalah dan tabloid yang memiliki segmen pembaca lebih spesifik, produk budaya Korea mendapat tempat dan porsi yang besar. Tabloid ASIAN adalah salah satu tabloid yang menyediakan informasi mengenai drama, film, musik, dan para selebriti dari Cina, Jepang dan Korea. Sejak 2009 lalu, fokus ASIAN yang awalnya pada produk budaya Cina dan Jepangyang lebih dulu populer di Indonesiabergeser pada Korea. Pada 2009 salah satu produk budaya Korea, musik K-Pop, menempati puncak popularitasnya dan sebarannya begitu massif tidak hanya di wilayah Asia Timur, tapi 1 Jadwal tayang drama Korea di Indosiar dan AnTV dapat dilihat di sirus resmi kedua stasiun di http://www.indosiar.com/ dan http://www.an.tv/ . AnTV sendiri sejak trimester kedua tahun 2013 tidak lagi menayangkan drama Korea, namun hal ini memang sering dilakukan AnTV, berhenti sejenak menayangkan untuk beberapa waktu lalu kembali menayangkan. Berbeda dengan Indosiar yang memang secara konsisten menayangkan drama Korea sejak dekade lalu.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Demam Korea mungkin istilah yang sesuai untuk menggambarkan bagaimana

produk budaya populer Korea masuk dan menjadi booming di Indonesia. Popularitas

produk budaya Korea ini tidak hanya terjadi di kalangan penyuka budaya Korea saja,

tapi juga lebih luas dengan dukungan dari media mainstream seperti televisi, surat

kabar, tabloid, dan radio. Stasiun televisi nasional seperti Indosiar dan AnTV

misalnya secara konsisiten menayangkan drama Korea di spot prime time mereka.1

Peliputan surat kabar atas produk budaya Korea mungkin tidak terlalu besar, namun

untuk majalah dan tabloid yang memiliki segmen pembaca lebih spesifik, produk

budaya Korea mendapat tempat dan porsi yang besar. Tabloid ASIAN adalah salah

satu tabloid yang menyediakan informasi mengenai drama, film, musik, dan para

selebriti dari Cina, Jepang dan Korea. Sejak 2009 lalu, fokus ASIAN yang awalnya

pada produk budaya Cina dan Jepang—yang lebih dulu populer di Indonesia—

bergeser pada Korea.

Pada 2009 salah satu produk budaya Korea, musik K-Pop, menempati puncak

popularitasnya dan sebarannya begitu massif tidak hanya di wilayah Asia Timur, tapi

1 Jadwal tayang drama Korea di Indosiar dan AnTV dapat dilihat di sirus resmi kedua stasiun di

http://www.indosiar.com/ dan http://www.an.tv/. AnTV sendiri sejak trimester kedua tahun 2013 tidak lagi menayangkan drama Korea, namun hal ini memang sering dilakukan AnTV, berhenti sejenak menayangkan untuk beberapa waktu lalu kembali menayangkan. Berbeda dengan Indosiar yang memang secara konsisten menayangkan drama Korea sejak dekade lalu.

Page 2: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

2

juga Negara-negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Segera K-Pop menjadi simbol

dari Korean Wave atau Hallyu beserta para penyanyinya dalam bentuk solo atau

grup.2 Di Indonesia, demam Korea mencapai puncaknya pada 2011 lalu. Selain

representasi media atas Korean Wave dan K-Pop yang jauh lebih besar, konser grup-

grup K-Pop juga mulai masuk ke Indonesia. Tercatat dari tahun 2011 hingga akhir

2012 ada sekitar 10 konser besar K-Pop dari grup-grup ternama Korea, di luar dari

mini konser seperti fan meeting. Beberapa promotor besar seperti Showmaxx

Entertainment dan Big Daddy berhasil mendatangkan artis K-Pop seperti Super

Junior dan Bigbang untuk mengadakan konser di Jakarta.

Analisa dari fenomena ini tentu tidak bisa dilepaskan dari analisa tentang fans

K-Pop yang menjadi main audiences. Fans adalah kelompok yang kemudian

melakukan reproduksi atas idola/star dan terus menjadikannya “hidup”. Menguatnya

Korean Wave di Indonesia menjadi alasan lahirnya kantong-kantong fans K-Pop di

Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini setelah

sebelumnya nyaris tidak diketahui orang kebanyakan. Kelompok fans K-Pop pada

dasarnya terbagi ke dalam nama-nama tertentu sesuai dengan penyanyi atau grup

idola. Beberapa grup K-Pop, boy band atau girl band, umumnya memiliki sebutan

2 Popularitas K-Pop yang meroket pasca tahun 2009 dan sebarannya yang melintasi batas Asia Timur,

digunakan oleh Pemerintah Korea sebagai salah satu media memperkenalkan Korea dan budaya Korea ke kancah internasional melalui para artisnya dengan cara mendukung konser-konser bertajuk kerjasama bilateral, menunjuk para artis K-Pop sebagai duta pariwisata, duta makanan, dan lain-lain. Lihat The Korean Wave. 2011. Korean Culture and Information Service; Ministry of Culture, Sport and Tourism.

Page 3: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

3

untuk klub fans mereka, seperti ELF untuk fans Super Junior, Cassiopea untuk fans

DBSK (Dombangsinki), dan VIP untuk fans Bigbang.

Super Junior adalah boy band Korea yang memiliki kelompok fans besar di

Indonesia. Popularitas Super Junior yang tinggi di Indonesia “mengatakan” hal itu.

Fanbase Super Junior di Indonesia tergabung dalam klub “ELF Indonesia” yang

terbentuk sejak tahun 2006 lalu. Kegiatan klub ELF lebih banyak terkonsentrasi di

dunia maya dengan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia. Data resmi dari

www.sujunesia.net, situs resmi ELF Indonesia, menunjukkan jumlah anggota yang

bergabung dalam forum sebanyak 8.024 anggota per September 2013. ELF Indonesia

sendiri terbagi lagi ke dalam ELF-ELF daerah seperti Jogja, Surabaya, Jakarta, dan

Makassar. Tidak semua fans bergabung dalam www.sujunesia.net, seringkali mereka

lebih memilih bergabung dengan ELF daerah. Namun ada lebih banyak lagi fans

Super Junior yang tidak tergabung dalam official fan club ELF Indonesia. Tidak ada

data yang dapat ditampilkan seberapa besar jumlah ELF sebenarnya di Indonesia

karena memang tidak dapat dilacak secara jelas.

Besarnya ELF Indonesia berbanding lurus dengan tingginya popularitas Super

Junior di Indonesia. Beberapa hal menunjukkan hal tersebut, misalnya Super Junior

adalah grup boy band Korea pertama dan satu-satunya yang berhasil menggelar

konser tunggal selama tiga hari berturut-turut dengan jumlah penonton mencapai ±25

ribu orang. Jadwal ini diperpanjang satu hari dari jadwal semula karena permintaan

yang begitu tinggi dari para fans. Berikutnya pemutaran Konser Super Junior “Super

Show 3” di blitzmegaplex dan pemutaran konser Super Junior di Indonesia “Super

Page 4: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

4

Show 4” oleh stasiun televisi SCTV. Keduanya diselenggarakan tentu dengan asumsi

popularitas Super Junior yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan grup boy band

lain dari Korea.

Contoh lainnya adalah inkorporasi industri penerbitan atas fan fiction Super

Junior dengan menerbitkannya menjadi buku dan menjualnya di toko-toko buku.

Seiring dengan menguatnya fenomena K-Pop di Indonesia, hal ini menjadi mungkin

dilakukan. Beberapa fan fiction K-Pop dalam rentang waktu 2011 hingga 2014

(ketika penelitian ini ditulis) banyak diterbitkan dan dengan mudah dapat dijumpai di

toko-toko buku. Dari sekian fan fiction yang diterbitkan, sebagian besar mengambil

grup Super Junior sebagai primary source3. Beberapa contoh fan fiction yang

diterbitkan dengan mengambil (anggota) Super Junior sebagai sumber adalah “My

Love, My Kiss, My Heart”, “Walkin‟ to the Day”, “Mr. Simple”, dan “A Short

Journey”. Masuknya genre fan fiction K-Pop dalam pasar mainstream menunjukkan

beberapa hal, pertama, aktivitas fans (fan cultural production) yang umumnya adalah

kegiatan-kegiatan underground mulai tampak ke permukaan; kedua, ada ceruk atau

target pasar yang definite dari buku-buku fiksi bergenre fan fiction K-Pop, yaitu fans

K-Pop itu sendiri; ketiga, dengan menempatkan fans K-Pop sebagai ceruk pasar baru,

maka asumsinya fans K-Pop secara kuantitatif cukup besar dan potensial untuk terus

meningkat jumlahnya.

3 Yang dimaksud dengan primary source adalah teks atau idola yang menjadi sumber utama dari fan

fiction yang dibuat oleh fans.

Page 5: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

5

Fans dari kacamata kapitalisme adalah captive market yang harus digunakan

untuk memaksimalkan profit. Namun dari perspektif kultural, fans adalah kelompok

yang menciptakan budayanya sendiri (fan culture) yang secara aktif melakukan

produksi dan pertukaran makna. Seluruh klub fans K-Pop pada dasarnya memiliki

budaya fans (fan culture) yang sebagian besar sama, yaitu mengonsumsi teks yang

berkenaan tentang idolanya, seperti lagu, music video, konser, berita, dan lain-lain,

lalu mereproduksinya dalam banyak bentuk seperti fan writing dan fan video-making4

yang merupakan pengejawantahan hasrat dan fantasi fans terhadap idola/star. Tentu

saja ada banyak faktor lain yang turut bermain dalam proses konsumsi dan

(re)produksi tersebut yang kemudian membentuk dan menentukan dinamika fandom.

Pada dasarnya seluruh dinamika yang terjadi dalam fandom menunjukkan relasi yang

terjalin antara fans dengan idola/star, di mana posisi keduanya, baik fans maupun

idola/star—adalah sama, dalam posisi saling mempengaruhi.

Menarik kemudian untuk melihat teks hasil reproduksi fans (fan cultural

production) yang mewujud dalam beragam bentuk. Beberapa di antaranya adalah

yang disebut sebelumnya, yaitu fan writing dan fan video-making. Keduanya dalam

perkembangannya hadir dalam bentuk-bentuk yang variatif. Dalam fan video-making

misalnya ada beberapa jenis video dengan label fancam (fan camera), yaitu video

hasil rekaman idola/star dari fans seperti saat konser, di tengah shooting, atau

4 Fan writing dan fan video-making merujuk pada tulisan Jenkins (1992) tentang produksi yang dilakukan oleh fans. Salah satu contoh dari fan writing yang disampaikan Jenkins adalah fanzine (fan+magazine), dengan jenis tulisan fiksi dan non-fiksi yang merupakan cikal bakal dari fan fiction yang berkembang pesat di era internet.

Page 6: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

6

bandara; dan fanmade adalah label untuk video hasil kreasi atau buatan fans yang

diambil dari banyak materi seperti video musik, foto-foto idola, atau lainnya dan

dibuat sesuai dengan keinginan fans. Sementara untuk fan writing selain seperti yang

dicontohkan Jenkins (1992) fanzine (fan magazine), yang populer pada hari ini adalah

fan fiction atau yang biasa disingkat fanfic/FF. Penelitian ini saya mulai dari

ketertarikan saya terhadap fanfic, yang merupakan kisah fiksi yang ditulis oleh fans

dengan menggunakan idola/star mereka sebagai inspirasi atau primary source.

Melalui fanfic, seorang fans dimungkinkan untuk menulis alur cerita, penokohan,

konflik, dan penyelesaian (ending) sesuai dengan imajinya atas idola/star.

Pada dasarnya fanfic bukanlah hal yang baru dalam dunia fandom. Fans serial

televisi Star Trek misalnya adalah kelompok yang mempopulerkan budaya ini dan

telah menjadi bahan kajian Jenkins di tahun 1988 (dalam Lewis, 1992: 208-236).

Beberapa novel popular seperti Harry Potter dan Twilight juga menjadi sumber

penulisan fanfic bagi para penggemarnya. Fanfic K-Pop hanyalah satu ragam fanfic

yang hadir sedikit berbeda karena dalam fanfic K-Pop yang menjadi primary source-

nya adalah artis K-Pop (perorangan atau grup), bukan pada teks seperti novel atau

film.

Budaya fanfic tumbuh subur di dunia maya (internet), di mana para penulis

dan pembaca saling berinteraksi melalui laman web atau blog. Situs-situs berupa

forum di mana para penulis dan pembaca fanfic dapat saling berbagi tulisan dan

komentar adalah wadah bagi para fans untuk menikmati fan fiction. Di internet, fanfic

benar-benar mendapat tempatnya, sebab semua orang bisa menjadi penulis tanpa ada

Page 7: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

7

aturan, syarat, dan standar seperti yang berlaku dalam sebuah penerbit misalnya.

Semua orang bebas menuliskan cerita mereka sesuai imaji mereka, seliar apapun itu.

Berbagai jenis cerita dapat ditemukan di situ, termasuk cerita tentang idola/star yang

dibingkai dalam relasi sesama jenis (homoseksual). Jenis cerita ini disebut slash

fiction, yaitu pilihan alur cerita untuk merelasikan tokoh secara romantik dengan

sesama jenis.

Fenomena slash fiction sendiri bagi saya cukup unik dan menarik karena ia

menghadirkan cerita yang berbeda dari konsepsi umum tentang orientasi seksual dan

relasi romantik. Genre slash fiction ini juga berkembang dalam tradisi fanfic K-Pop.

ELF (fans Super Junior) misalnya banyak menulis cerita-cerita tentang hubungan

homoseksual antar anggota Super Junior. Salah satu contoh penggalan slash fiction

Super Junior seperti berikut:

“I love you”, Sungmin yelled as he can, tried to combat the voice of thunder.

Rain fall like crazy but he didn‟t care. What he did know right now was the

answer from the other man. Kyuhyun, which was a few step from him, didn‟t

know how to react.

“Hyung, did you know what you are saying?”, Kyuhyun asked the older man.

Both of them drenched in the rain. Their main plan was to spend some time at

the park near to their house, was ruined when suddenly there was a downpour.

They were on their way to save themselves from the rain when suddenly

Sungmin confess to Kyuhyun.5

Bentuk cerita slash fiction seperti di atas menghadirkan kisah yang tidak biasa, yang

keluar dari pakem yang selama ini diterima masyarakat. Ada hasrat tentang relasi

5 Fan fiction ini merupakan potongan dari fan fiction berjudul “Come and Stay with Me Till The End”

yang ditulis dan diunggah oleh luv_prettyboys (ID user). Versi lengkap fan fiction ini dapat dilihat di http://www.asianfanfics.com/story/view/412/come-stay-with-me-till-the-end-kyuhyun-kyumin-superjunior-yaoi

Page 8: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

8

yang tak melulu berbeda jenis dan ada imaji-imaji tentang bagaimana relasi tersebut

dirajut.

Teks slash fiction menghadirkan hasrat dan fantasi yang di luar kebiasaan

melalui representasi relasi homoseksual. Fantasi dalam slash fiction dihadirkan dalam

bentuk yang selama ini dipandang tabu di masyarakat. Menarik untuk melihat

tawaran-tawaran fantasi tersebut yang representasi atasnya tetap membuat slash

fiction menjadi hasil reproduksi teks yang underground. Dan mungkin karena sifat

slash sebagai teks bawah tanah yang kemudian memungkinkan fantasi-fantasi “liar”

bisa muncul dalam sebuah teks.

Alur cerita dalam slash fiction yang mengikat tokohnya dalam sebuah relasi

homoseksual (relasi sesama jenis), menjadi perbedaan paling mendasar dengan genre

fanfic lainnya seperti het fiction dan gen fiction6. Dalam het fiction relasi antar tokoh

dibangun dalam kerangka relasi beda jenis, heteroseksual, laki-laki/perempuan seperti

umumnya kita ketahui dan terima dalam masyarakat. Sementara gen fiction

merupakan cerita-cerita umum yang relasi-relasi antar tokohnya bukan merupakan

relasi romantik, tapi relasi-relasi sosial lain seperti saudara, keluarga, pertemanan,

kolega, dan lain-lain. Dari situ dapat dilihat jika homoseksualitas adalah kata kunci

utama dalam slash fiction. Keseluruhan cerita digambarkan berdasarkan hasrat dan

fantasi-fantasi atas relasi homoseksual.

6 Lihat Karen Hellekson dan Kristina Busse. 2006. Fan Fiction and Fan Communities in The Age of The

Internet. hal. 10

Page 9: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

9

Slash fiction dapat dikatakan hadir sebagai sebuah teks alternatif yang

menawarkan bentuk relasi selain heteroseksual. Slash fiction juga bisa hadir sebagai

alternatif terhadap teks awal primary source. Jika kita menengok tradisi fanfiction,

primary source biasanya berasal dari novel atau film seperti Harry Potter, Twilight,

Star Trek, di mana orientasi seksual para tokohnya jelas. Dalam novel dan film Harry

Potter misalnya, tokoh Harry digambarkan sebagai seorang heteroseksual sebab dia

diceritakan jatuh cinta dan menikah dengan perempuan. Slash fiction Harry Potter

kemudian hadir untuk menjadi alternatif teks yang melawan dan menolak terhadap

teks awal Harry Potter yang menawarkan relasi heteroseksual.

Dalam konteks K-Pop, slash fiction bisa hadir sebagai alternatif dan bisa juga

hadir untuk mendukung teks awal. Hal ini mengacu pada orientasi seksual artis K-

Pop sebagai primary source yang dapat dikatakan tidak jelas. Tidak jelas di sini

dalam artian tidak ada konfirmasi yang betul-betul pernah dilakukan para artis K-Pop

mengenai orientasi seksual mereka. Sehingga yang ada hanya hasil resepsi atau

pemaknaan fans atas teks yang kemudian mereka tarik sebagai sebuah asumsi atas

orientasi seksual idolanya. Misalnya, hasil wawancara dengan artis K-Pop A (laki-

laki) menyajikan jawaban-jawaban dia mengenai perempuan idamannya, lalu oleh

fans ini diartikan bahwa si idola adalah heteroseksual karena memiliki kriteria

perempuan idaman, maka sebenarnya itu adalah asumsi dari hasil resepsi dan

interpretasi fans atas teks, yang sejatinya tidak memberikan kejelasan orientasi

seksual sang idola. Sehingga teks slash fiction K-Pop mungkin saja menjadi alternatif

yang memberikan gambaran lain tentang idola yang sebenarnya heteroseksual

Page 10: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

10

menjadi homoseksual dalam teks fanfic. Tapi mungkin juga slash fiction K-Pop justru

mendukung cerita yang sesungguhnya dari sang idola jika memang benar memiliki

orientasi seksual homo.

Di tengah masyarakat Indonesia, di mana heteronormativitas diterima dan

dilestarikan banyak pihak, homoseksualitas menjadi sesuatu yang tabu dan

problematis. Dalam kondisi dan konteks Indonesia slash fiction dapat disebut sebagai

“teks yang menyimpang” karena menghadirkan kisah romantik homoseksualitas.

Apa-apa yang digambarkan dan dikisahkan dalam teks slash fiction merupakan

penolakan terhadap diskursus dominan-hegemonik heteroseksual sebagai satu-

satunya orientasi seksual dan jenis relasi romantik yang memungkinkan terjalin antar

manusia. Di sini saya kemudian memiliki pertanyaan bagaimana hasrat dan fantasi

homoseksual digambarkan, dihadirkan, dan direpresentasikan dalam sebuah teks

slash fiction yang hadir di tengah masyarakat dengan nalar-nalar heteronormativitas.

Sebuah teks tentu tidak lepas dari konteks sosial budaya masyarakat di mana

ia diproduksi. Dalam masyarakat heteronormatif, mengacu pada asumsi yang

dikemukakan Karen Hellekson dan Kristina Busse (2006), slash fiction menjadi salah

satu gambaran dari hasrat atas relasi dan partner yang equal7 (equal relationship

7 Dalam relasi konvensional (heteroseksual), relasi yang terjalin antara laki-laki dan perempuan secara

umum dapat dikatakan sebagai relasi yang unequal sebab konstruksi dominan yang selalu memposisikan laki-laki superior sementara perempuan inferior. Relasi yang dibangun dalam bingkai patriakhi menempatkan perempuan dalam posisi objek dan pasif. Slash fiction yang menyajikan relasi sesama jenis (seringkali laki-laki/laki-laki) menurut Karen Hellekson dan Kristina Busse kemudian menghadirkan pola relasi yang equal, setara antar pasangan sebab keduanya sama-sama laki-laki, memiliki superioritas yang sama, tidak ada pihak yang mendominasi/didominasi. Hal ini yang dinilai Hellekson dan Busse sebagai alasan mengapa penulis atau pembaca slash menyukai ragam cerita

Page 11: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

11

between equal partners), relasi yang tidak hierarkis pada pasangan. Lalu bagaimana

dengan slash fiction K-Pop yang diproduksi di Indonesia? Bagaimana hasrat dan

fantasi tentang homoseksualitas disajikan? Apakah juga menjanjikan kesetaraan

seperti yang diasumsikan Hellekson dan Busse? Bagaimana kesetaraan itu

digambarkan? Pertanyaan-pertanyaan panjang yang serupa kemudian menjadi dasar

saya untuk melakukan penelitian secara mendalam atas teks slash fiction K-Pop.

Dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, penelitian ini

akan menggunakan teks slash fiction Super Junior yang direproduksi di Indonesia

sebagai objek penelitian. Secara otomatis, dengan menggunakan Super Junior sebagai

batasan primary source, maka slash fiction di sini merujuk pada male-male

relationship. Super Junior sendiri dipilih dengan alasan seperti yang telah

dikemukakan di atas, yakni tingginya popularitas Super Junior di Indonesia yang

sekaligus menunjukkan besarnya fans Super Junior di Indonesia. Teks slash fiction

yang dipilih adalah yang ditulis oleh fans yang berasal dari Indonesia. Seperti yang

telah disampaikan sebelumnya, sebuah teks tidak pernah lepas dari konteks sosial

budaya di mana ia direproduksi. Asumsinya, dengan memilih penulis yang berasal

dari Indonesia, konteks sosial budaya Indonesia-lah yang melandasi proses produksi

teks tersebut, termasuk juga konteks heteronormativitas yang kuat di Indonesia.

Teks slash fiction Super Junior akan dipilih dan diambil dari situs

www.asianfanfics.com. Situs ini merupakan situs terbesar untuk fanfic Asia, J-Pop

slash, khususnya perempuan yang dalam realitas hidupnya sulit untuk mendapatkan relasi yang setara dengan partnernya.

Page 12: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

12

dan K-Pop. Terdapat situs besar lain untuk fanfic, seperti www.fanfiction.net

misalnya, namun ia tidak mengkhususkan pada fanfic dari produk budaya Asia.

Karena itulah saya memilih www.asianfanfics.com di mana seluruh fans yang terlibat

di dalamnya, baik sebagai penulis atau pembaca memiliki kerangka budaya fandom

yang sama.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasar pemaparan fenomena dan permasalahan yang melatari penelitian ini

seperti dipaparkan di atas dan dari beberapa pertanyaan yang ingin dijawab melalui

penelitian ini, dirumuskan dua pertanyaan besar untuk penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana hasrat homoseksual dalam teks slash fiction Super Junior di

www.asianfanfics.com?

2. Bagaimana fantasi homoseksual dalam teks slash fiction Super Junior di

www.asianfanfics.com?

3. Mengapa hasrat dan fantasi homoseksual dalam teks slash fiction Super

Junior di www.asianfanfics.com hadir dalam representasi sebagaimana

terjelaskan dalam jawaban rumusan permasalahan 1 dan 2?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini pada dasarnya adalah untuk menjawab pertanyaan

penelitian dalam rumusan masalah di atas, yaitu:

Page 13: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

13

1. Menganalisis hasrat homoseksual dalam teks slash fiction Super Junior di

www.asianfanfics.com.

2. Menganalisis fantasi homoseksual dalam teks slash fiction Super Junior di

www.asianfanfics.com.

3. Menganalisis alasan mengapa hasrat dan fantasi homoseksual dalam teks

slash fiction Super Junior di www.asianfanfics.com hadir dalam

representasi seperti yang terjelaskan dalam jawaban rumusan

permasalahan 1 dan 2.

1.4 Objek Penelitian

Pada latar belakang penelitian ini telah disampaikan bahwa fokus kajian

penelitian ini adalah teks fanfic Super Junior bergenre slash yang terunggah di

www.asianfanfics.com. Telah disebutkan juga jika teks fanfic yang akan dipilih

sebagai objek penelitian ditulis oleh penulis yang berasal dari Indonesia. Batasan

Indonesia ini dipilih terkait dengan persoalan konteks sosial budaya

heteronormativitas yang kuat dalam masyarakat Indonesia yang akan menentukan

kondisi macam apa yang melatarbelakangi produksi teks.

Berdasar penelusuran yang saya lakukan di www.asianfanfics.com, cukup

sulit untuk mengetahui dari Negara mana seorang penulis fanfic berasal. Sebab tidak

semua penulis fanfic mencantumkan data lengkap di akun miliknya. Sehingga dalam

pencarian penulis slash fiction Super Junior yang berasal dari Indonesia, saya hanya

bisa bergantung pada para penulis fanfic yang mencantumkan Negara dalam biodata

Page 14: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

14

akun miliknya atau bahasa yang digunakan untuk menulis fanfic. Hal ini menjadi

salah satu konsekuensi logis dari internet sebagai media dari mana teks slash fiction

objek penelitian ini diambil. Cairnya identitas di dunia cyber memungkinkan

pengguna internet untuk menyembunyikan atau menyamarkan identitasnya. Karena

itu saya mencoba untuk melakukan klarifikasi dengan mengirim pesan pada akun

masing-masing penulis untuk memastikan mereka benar berasal dari Indonesia.

Namun tentu saja klarifikasi ini tetap memiliki keterbatasan mengingat seluruh

komunikasi juga dilakukan via internet di mana kebenaran atau kejujuran menjadi

begitu cair.

Dari banyak akun penulis fanfic yang berasal dari Indonesia, saya

menyaringnya lagi pada mereka yang menulis slash fiction Super Junior. Dari

beberapa penulis slash fiction Super Junior tersebut, saya kembali melakukan

pemilahan terhadap tulisan-tulisan slash fiction yang ada untuk kemudian menjadi

objek penelitian ini. Beberapa penulis kadang melakukan karakter silang dalam slash

fiction karyanya dengan memasukkan karakter anggota boy band lain di luar Super

Junior, dan demi kepentingan penelitian ini agar pembahasannya fokus saya tidak

mengambil jenis tulisan slash fiction tersebut. Dari sekian banyak teks slash fiction

yang ada dan setelah pemilahan dilakukan, saya mengambil empat tulisan sebagai

objek penelitian ini, yaitu:

1. “Between Kisses” oleh eunhyukjae

2. “Your Eyes Tell Me Everything” oleh iamvaganza

3. “Sweet Pumpkin” oleh _Minki_

Page 15: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

15

4. “Chicken Curry” oleh kyu0306

Empat judul tulisan slash fiction di atas adalah milik empat penulis yang

berbeda. Meski keempat teks tersebut sama-sama menghadirkan kisah romantik antar

laki-laki, namun dibingkai dalam frame yang berbeda. Sebagian teks di atas ada yang

mengisahkan anggota Super Junior sesuai dengan kondisi dan setting yang

sebenarnya, yaitu kehidupan anggota grup boyband. Tapi sebagian lainnya hanya

mengambil karakter anggota Super Junior saja dan mengubah kondisi lainnya sesuai

dengan yang diinginkan penulis, yang hal ini diistilahkan dengan „alternate universe‟.

Pemilihan teks yang memiliki bentuk penulisan berbeda ini saya rasa perlu untuk

melihat seperti apa hasrat dan fantasi yang dihadirkan dalam frame tulisan yang

berbeda. Dari keempat teks tersebut, perlu disebutkan juga tentang bahasa yang

digunakan dalam teks tersebut. Tiga dari empat teks slash fiction yang menjadi objek

penelitian menggunakan bahasa Inggris, sedang satu teks menggunakan bahasa

Indonesia. Dalam kajian Lacan, bahasa merupakan aspek yang signifikan yang

menunjukkan order simbolik subjek. Penggunaan bahasa yang berbeda dalam teks

menunjukkan bagaimana order simbolik bermain di sekitar subjek, karenanya penting

untuk disebutkan di sini bahasa yang digunakan dalam keempat teks objek untuk

nantinya menjadi bagian dari bahasan dan analisis penelitian ini.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini secara umum dapat dikatakan membahas tiga pokok kajian.

Pertama, kajian fans (fan studies) yang membahas seputar budaya fans, relasi antara

Page 16: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

16

fans dengan idola/star (fandom-stardom), konsumsi teks yang dilakukan fans, dan

reproduksi fans. Kedua, kajian tentang Korean popular culture atau lebih luas lagi

East Asian popular culture yang bergerak pada studi produk-produk budaya dari

Negara-negara di Asia Timur, khususnya dalam penelitian ini pada produk budaya

Korea Selatan. Kajian ketiga yaitu studi tentang fan fiction sebagai teks hasil

reproduksi fans. Maka dari itu, tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitan ini

merentang pada tiga kajian pokok tersebut.

Studi-studi tentang fans/fans culture pada dasarnya merupakan kajian yang

cukup menarik bagi kalangan akademisi dan telah cukup banyak dilakukan. Salah

satunya dilakukan oleh Matt Hills (2002) dan terangkum dalam bukunya “Fan

Culture” yang mencoba untuk menghadirkan fenomena-fenomena tentang dunia fans

(fandom). Melalui uraian yang komprehensif, Hills pertama-tama mencoba mengulas

posisi fans dalam dunia akademis, yaitu bagaimana fans umumnya dipandang oleh

para akademisi dengan cenderung meminggirkan dan memandang negatif fans, lalu

bagaimana saat scholar menjadi fans (scholar-fans) atau fans yang kemudian menjadi

scholar (fan-scholars). Di situ, Hills juga menyajikan wacana budaya fans dari

berbagai perspektif, seperti konsumerisme, fans sebagai komunitas, pengetahuan

(knowledge) dan justifikasi, juga antara fans dan fantasi. Melalui tulisannya, Hills

pada dasarnya berangkat dari wacana tentang scholar-fans dan posisi scholar-fans

dalam penelitian.

Studi Hills atas fans dalam bukunya tersebut dapat terbilang bersifat general,

karena Hills mencoba merangkum banyak isu di seputar fans. Berbeda misalnya

Page 17: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

17

dengan studi yang dilakukan Henry Jenkins (1992) dan Stephen Hinerman (1992)

yang telah melakukan telaah atas fans jauh hari sebelum Hills. Henry Jenkins (1992)

menuangkan hasil studinya tentang fans dalam bukunya Textual Poachers: Television

Fans & Participatory Culture. Di situ Jenkins memfokuskan penelitiannya pada

audiens (fans) televisi dalam meresepsi program tertentu, yaitu Beauty and The Beast.

Dalam analisanya, Jenkins menggambarkan bagaimana budaya fans, praktik-praktik

dalam komunitas fans, dan relasi mereka dengan gaya baca dari satu jenis gender

tertentu. Jenkins menemukan bahwa ternyata fans—dalam meresepsi program—juga

melakukan penolakan terhadap teks atau makna yang ditetapkan produser. Akibatnya,

fans membuat jalan lain untuk menyalurkan „kehendak‟ mereka melalui—yang

disebut Jenkins—cultural production within the fan community. Produksi teks yang

dilakukan fans ini berupa fan writing dan fan video-making.

Apa yang ditemukan dan disampaikan Jenkins dalam bukunya tersebut, pada

dasarnya beririsan dengan apa yang akan saya kaji. Irisan tersebut ada pada proses

reproduksi—atau dalam istilah Jenkins produksi kultural fans—sebagai sebuah

konsekuensi logis dari konsumsi teks yang dilakukan fans. Irisan ini sekaligus

menjadi pembeda antara penelitian Jenkins dan penelitian yang sedang saya lakukan.

Perbedaannya terletak tentu saja ada pada fokus kajian. Jika pada penelitian Jenkins

resepsi fans menjadi fokusnya, maka pada penelitian ini pada teks hasil (re)produksi

fans. Pada penelitian Jenkins, teks hasil produksi kultular oleh fans seperti fan writing

dan fan video-making dilihat sebagai jalan alternatif dari resepsi fans yang menolak

makna yang ditetapkan produser. Sementara dalam penelitian ini, teks hasil produksi

Page 18: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

18

kultural fans justru dilihat sebagai sumber dalam melihat dinamika fans dan relasinya

dengan idola/star sekaligus menjadi pintu masuk untuk mengeksplor persoalan hasrat

dan fantasi yang dituangkan oleh fans dalam teks hasil produksi fans yang tidak

menjadi bagian dari studi Jenkins.

Stephen Hinerman (1992) juga melakukan kajian seputar fans yang

difokuskan pada persoalan fantasi. Dalam tulisannya yang diberinya judul “‟I‟ll Be

Here With You‟: Fans, Fantasy and the Figure of Elvis” Hinerman melakukan

penelitiannya pada fans Elvis Presley. Di situ Hinerman mengemukakan bagaimana

pasca Elvis meninggal beberapa dekade silam, fans Elvis masih terus ada dan

aktivitas-aktivitas fans masih berlangsung hingga saat (setidaknya) Hinerman

menuliskan hasil penelitiannya. Elvis masih terus menjadi perbincangan yang tidak

ada habisnya, sering diparodikan hingga sekarang, masih menjadi acuan, dan bahkan

masih berpotensial dalam ranah komersil.

“The writing goes on, the tabloid articles continue, the books are still

published, new combinations of previously released material appear on

CDs, and Graceland continues to play host to apparently unending

battalions of the curious and the ceaselessly devoted. There is a

continuing appetite for what-has-become-Elvis and it shows no sign of

abating”. (Hinerman, 1992: 108)

Fenomena yang berhasil ditangkap oleh Hinerman ini, kemudian

diinterpretasikan olehnya bahwa hal ini terjadi sebab ada fantasi yang bekerja pada

benak fans. Yang kemudian dibahasakan oleh Hinerman sebagai konsep kajiannya

“after-death fantasies of Elvis and his fans”.

Page 19: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

19

“My own interest here is to explore a certain type of fan encounter: the

particularly active fantasies of fans whose interactions with a star are

generated with either memory or secondary material. In this light, I am

interested in what lies behind or within a few of the encounters that fans

have had with Elvis since his death”. (Hinerman, 1992: 109)

Fokus Hinerman pada aspek fantasi fans ini kemudian dia elaborasi dengan

menggunakan perspektif psikoanalisis Freud dan Lacan. Hal ini yang kemudian

membuat kajian Hinerman beririsan dengan penelitian yang akan saya lakukan.

Bedanya adalah, saya lebih memilih untuk menggunakan perspektif Lacanian dalam

penelitian ini, juga fokus pada persoalan hasrat dan fantasi yang ditawarkan oleh teks

alih-alih pada diri penulis (fans).

Penelitian tentang fans di Indonesia, khususnya fans K-Pop pernah dilakukan

Sun Jung (2011) dengan mengambil fokus studi pada penggunaan social media oleh

fans sebagai salah satu alternatif sirkulasi budaya. Sirkulasi budaya dengan

menggunakan social media seperti YouTube, Facebook dan Twitter terjadi dalam tiga

aspek, yaitu immediate transculturations, embodying K-pop, dan building intimacies.

Ketiganya terepresentasi secara bersamaan melalui posting atau reposting yang

dilakukan fans dalam Facebook atau dalam Twitter dilakukan dengan cara retweet.

Khususnya dalam Twitter, Jung mengungkapkan kedekatan antara fans dan idola/star

begitu nampak karena adanya fasilitas tweet, reply, dan retweet, di mana fans dapat

langsung menyampaikan pesan kepada idolanya dengan cara mentioning. Dari

pemaparan panjang Sun Jung, tampak bahwa dia ingin menunjukkan bagaimana

transformasi budaya dalam fandom bergeser salah satunya karena perubahan

Page 20: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

20

teknologi media baru seperti internet—khususnya social media—yang

memungkinkan “…global poop consumers to easily access once unknown and

marginalized popular cultures, such as K-pop8” (Jung, 2011).

Penelitian Jung tersebut sekaligus juga menjadi salah satu penelitian bertema

Korean popular culture di antara beberapa penelitian lain seperti yang dilakukan Jim

Dator dan Yongseok Seo (2004), Chua Beng Huat (2010), Sue Jin Lee (2011), dan

Sooyeon Lee (2012). Jim Dator dan Yongseok Seo (2004) melakukan analisa atas

perkembangan Korean Wave (Hallyu) melalui perspektif ekonomi yang disebut

mereka bahwa Hallyu telah menjadi tonggak pergeseran dari Gross National Product

(GNP) menjadi Gross National Cool sebagai ukuran utama pendapatan Negara.

Popularitas produk-produk budaya Korea seperti film, drama, musik, dan game yang

telah menyebar luas di Negara-negara Asia disadari betul oleh pemerintah Korea

Selatan dan kemudian digunakan dasar pengambilan kebijakan resmi untuk

menjadikan Korea Selatan sebagai a dream society of icons and aesthetic experience.

Lebih jauh Dator dan Seo menjelaskan persoalan dream society of icons and aesthetic

experience sebagai konsekuensi logis dari masyarakat informasi yang merupakan

tahapan setelah masyarakat agraris dan industrial. Pada intinya, tulisan Dator dan Seo

menunjukkan satu sisi dalam melihat perkembangan Korean Wave (Hallyu) dalam

perspektif ekonomi global, posisi Korea dalam himpitan dunia hiburan yang selama

8 Pada dasarnya saya tidak sepakat dengan penggunaan istilah unknown and marginalized popular

cultures untuk merujuk pada produk budaya Korea, termasuk K-pop, karena berdasar tahun tulisan Sun Jung dirilis, yaitu 2011, Korean Wave telah mencapai puncaknya dan bahkan berada pada tahapan ‘second Korean wave’ alih-alih ‘first’. Bukti-bukti popularitas produk budaya Korea, khususnya di daratan Asia, telah cukup untuk menolak istilah yang digunakan Jung tersebut.

Page 21: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

21

ini dikuasai Amerika dan Jepang, dan posisi produk budaya Korea sebagai sumber

pemasukan Negara.

Sementara itu, Chua Beng Huat (2010) dan Sue Jin Lee (2011) dalam tulisan

yang berbeda melakukan analisa terhadap produk-produk budaya Korea itu sendiri,

baik penetrasi serta sebarannya di Negara-negara luar Korea, khususnya Asia, juga

dampak yang ditimbulkannya di Negara-negara tersebut. Chua menitikkan analisanya

pada tiga produk budaya Korea, yaitu film, drama, dan musik pop, melihat persebaran

ketiga produk budaya tersebut serta dampak yang ditimbulkan dengan

membandingkan medium yang dipakai ketiga produk budaya tersebut. Sedangkan

Seo lebih melihat pada bagaimana Korean Wave yang tersebar melalui produk

budayanya seperti drama mampu memberikan dampak pada Negara-negara tetangga

Korea Selatan termasuk pada proses framing dalam ulasan pemberitaan dan respon

publik di Negara-negara tetangga atas Korea Selatan.

Baik Chua maupun Lee dua-duanya memiliki hasil analisis yang cukup serupa

di titik tingginya tingkat penetrasi dan penerimaan produk budaya Korea di Negara-

negara Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara. Keduanya berargumen

bahwa kedekatan kultural antara Negara-negara di Asia membuat produk budaya

Korea dapat diterima dengan lebih mudah.

“South Korean television shows and movies portray themes that Asian

audiences can relate to more easily than those of Western entertainment

because Korean “dramas typically deal with family issues, love and filial

piety in an age of changing technology, and often reinforces traditional

values of Confucianism” (Ryoo, 2007, p. 140)”. (Lee, 2011: 86)

Page 22: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

22

Hal ini juga yang dikatakan oleh Chua, Negara-negara dengan basis audiens etnis

Cina yang tersebar di Asia Timur dan Asia Tenggara, menerima dengan baik teks-

teks porduk budaya Korea karena kedekatan kultural seperti yang disebut Lee di atas.

Dengan lebih tajam dan detail, Chua menyebutkan hal tersebut terjadi karena self-

affirmation yang dilakukan audiens.

“From the point of view of the overwhelming ethnic-Chinese audiences in

East and Southeast Asia, the Korean TV dramas are vehicles for self-

affirmation of being “Asian” by which they mean a reduced version of

Confucianism to “familial” relations. For the majority of women

audience, they are vehicles for gender self-affirmation, being a

combination of intermittently “Asian” and “traditional” in mother-

daughter filial relations and being “modernist” as independent women in

the economy”. (Chua, 2010: 23)

Penelitian yang dilakukan Sooyeon Lee (2012) dalam tulisannya “The

Structure of the Appeal of Korean Wave Texts” terbilang paling dekat dengan

penelitian yang saya lakukan sekarang. Lee menggunakan psikoanalisis Lacan dalam

menganalisis fantasy dan lack yang ditawarkan dalam teks drama Korea dan music

video K-Pop. Dalam hasil analisis yang dipaparkan, Lee membagi dua teks—drama

dan music video—untuk memperjelas perbedaan fantasy dan lack yang ditawarkan

masing-masing teks. Dalam drama Korea Lee menyatakan fantasy yang ditawarkan

umumnya berupa ideal love, ideal relation, dan ideal characters; sedangkan lack

dalam drama Korea menurut Lee seringkali tampil dalam karakter protagonist laki-

laki, seperti latar orang tua yang tidak jelas, seperti tidak tahu ibunya atau tumbuh

besar tanpa ayah. Pada teks music video (MV), Lee melihat bahwa baik fantasy dan

Page 23: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

23

lack yang ditawarkan terekspresi melalui banyak hal, mulai dari musik, tema dan

subjek MV, narasi, dinamika grup, performers, dan seksualitas. Secara umum dari

unsur-unsur tersebut merepresentasi innocent-ness dan youth culture yang sekaligus

menawarkan fantasy dan lack, seperti fantasi tentang kemudaan (youth-ness) yang

juga mengandung lack berupa remaining immature yang berarti juga menolak peran-

peran sosial.

Penelitian tentang fan fiction pada dasarnya telah banyak dilakukan, namun

hingga kini penelitian mengenai fanfic dengan primary source manusia9 sangat

minim penulis temukan, baik di Indonesia maupun di luar. Karen Hellekson dan

Kristina Busse (2006) menyajikan satu kumpulan tulisan komprehesif tentang studi

fan fiction di internet. Bahasan yang disampaikan merentang dari awal kemunculan

fan fiction di internet, ragam genre yang banyak diadopsi penulis fan fiction,

karakteristik dan gaya fan fiction, komunitas fan fiction yang tidak hanya terdiri dari

penulis tapi juga pembaca yang dalam logika internet turut memegang kontrol. Dari

itu semua tidak ada yang membahas tentang fanfic dengan primary source manusia.

Bahasan Hellekson dan kawan-kawan terbatas pada fan fiction yang menjadikan

novel, film, dan serial televisi sebagai primary source-nya. Ini sedikit berbeda dengan

yang menjadi bahasan dari penelitian ini, yaitu fan fiction dengan primary source

9 Sepanjang penelusuran penulis terhadap kajian fan fiction, primary source dari fan fiction berasal

dari teks lain, seperti novel, film, atau serial televisi. Hal ini juga yang menjadi titik bahasan dalam Hellekson dan Busse (2006), yakni fan fiction yang bersumber dari novel, film, ataus serial televisi seperti Pride and Prejudice, Harry Potter, Star Trek, dan Dr. Who. Sementara fan fiction yang bersumber pada manusia seperti band, penyanyi, aktor, dan lain-lain masih menjadi kajian yang minor di tengah kajian tentang fan fiction yang marak.

Page 24: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

24

manusia, tepatnya boy band. Hal yang kemudian dapat dikaitkan dengan penelitian

ini adalah fenomena fan fiction di internet, yang dinyatakan dalam Hellekson bahwa

perpindahan aktivitas fans ke ranah internet merubah pola dan karakter fan fiction itu

sendiri. Beberapa hal seperti genre slash dan porn dalam fan fiction mendapat

tempatnya ketika budaya internet mengemuka. Penelitian ini pun nantinya akan

memfokuskan pada penulis fan fiction yang menggunakan internet sebagai medianya,

di mana hal ini beririsan dengan bahasan Karen Hellekson dan Kristina Busse.

Tesis Irana Astutiningsih (2012) mengkaji wacana maskulinitas dalam fanfic

slash Harry Potter yang ditulis oleh fans perempuan. Penelitian ini dapat dikatakan

kuat bersinggungan dengan penelitian Irana dalam hal slash fiction, namun fokus

penelitian yang dipilih jelas berbeda. Irana memfokuskan pada bagaimana wacana

maskulinitas direpresentasi oleh para penulis perempuan yang diasumsikan

heteroseksual dalam tulisan slash fiction mereka. Argumennya, slash fiction dilihat

sebagai perlawanan simbolik terhadap isu maskulinitas, yang berarti maskulinitas

yang terepresentasi dalam fanfic logisnya mengambil bentuk berbeda dari

maskulinitas dominan-hegemonik. Namun ternyata wacana maskulinitas yang

digambarkan dalam slash fiction oleh para penulis perempuan tetap berada dalam

kerangka patriarkhi.

Page 25: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

25

1.6 Kerangka Pemikiran

1.6.1 Fans dan Reproduksi Teks

Ulasan mengenai definisi fans telah banyak disajikan dalam literatur-literatur

studi audiens dan fans. Fans berbeda dengan audiens yang secara umum dimengerti

sebagai konsumen teks. Fans merupakan kelompok kecil audiens yang menyukai

secara berlebih produk media tertentu, apakah itu acara televisi, film, buku, penyanyi,

aktor/aktris, klub sepakbola, dan lain-lain. Kata „fan‟ sendiri diambil dari kata

„fanatik‟ yang berasal dari bahasa Latin „fanaticus‟. Hal ini seperti menunjukkan

secara konkrit perbedaan fans dengan audiens pada umumnya. Ada level ketertarikan

pada satu produk media yang tinggi dari kelompok fans, yang itu tidak dimiliki oleh

audiens secara umum.

Matt Hills (2002: viii) menyajikan definisi fans yang paling umum dipahami

orang kebanyakan, yaitu “…somebody who is obsessed with a particular star,

celebrity, film, TV programme, band: somebody who can produce reams of

information on their object of fandom, and can quote their favoured lines or lyrics,

chapter and verse”. Dari definisi tersebut saya menggaris bawahi sebutan fans

sebagai “mereka yang terobsesi”, yang konotasinya cenderung bernuansa irasional.

Tak heran, Abercrombie dan Longhurst (1998) menyamakan fans dengan cultists. Joli

Jensen (1992) juga melihat fans sebagai kelompok yang irasional dengan

menggambarkan fans hanya ke dalam dua tipe, yaitu “the obsessed individual” dan

“the hysterical crowd”.

Page 26: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

26

Pemahaman terhadap fans seperti di atas kemudian cenderung menempatkan

fans sebagai efek dari kehadiran selebriti dan media secara mentah. Atau dalam

bahasa Joli Jensen (1992: 10), dikatakannya “the fan is defined as a response to the

star system”. Maka fans di sini diposisikan sebagai kelompok yang pasif, yang

kehadirannya dikontrol dan digerakkan oleh media massa. Pandangan ini semata

melihat fans sebagai konsumen teks. Tapi tentu saja dalam studi-studi yang lebih

komprehensif dan dalam perspektif yang berbeda fans tidak hanya menjadi konsumen

teks terkait hal yang digemarinya, tapi fans juga secara aktif melakukan produksi

teks.

Fred dan Judy Vermorel (1992) misalnya dalam studinya mengkaji surat-surat

yang ditulis fans kepada para idolanya. Melalui surat-surat tersebut fans

mengungkapkan perasaannya, keinginan-keinginannya, juga harapan-harapannya

kepada sang idola. Henry Jenkins (1992) dalam tulisannya “‟Strangers No More, We

Sing‟: Filking and The Social Construction of The Science Fiction Fan Community”

menyebutkan fans memproduksi empat hal, yaitu: makna dan interpretasi; karya seni

(art-works); komunitas; dan identitas alternatif. Bentuk konkritnya berupa apa yang

disebut Jenkins sebagai fan cultural production, seperti fan writing (shrot stories,

novels, poems, fan fiction, fan magazine), fan art (pictures, painting, sculptures,

fashion, costumes), fan songs, fan music-making, dan fan video-making.

Melalui contoh ragam teks yang diproduksi fans di atas, fans pada dasarnya

tidaklah pasif, namun secara aktif melakukan reproduksi atas idolanya. Jenkins

(1992: 213) menyebutkan “so, fans are consumers who also produce, readers who

Page 27: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

27

also write, spectators who also participate”. Pernyataan Jenkins jelas menunjukkan

posisi fans sebagai apa yang saat ini dikenal dengan “procumer”

(producer+consumer). Relasi fans dengan idola kemudian tidak terbangun dalam

pasivitas di pihak fans, tapi fans memiliki dinamika yang aktif bergerak sesuai

dengan mode interpretasi fans terhadap idolanya yang kemudian menciptakan budaya

dalam komunitas fans. Maka dalam penelitian ini, fan fiction merupakan salah satu

bentuk hasil reproduksi fans terhadap idolanya.

1.6.2 Subjek Lacanian

Perbincangan tentang subjek umumnya mengemuka dalam obrolan tentang

diri (self), The „I‟, dan individu, yang kemudian berujung pada persoalan identitas.

Meski dalam perbincangan istilah subjek dan self seringkali dipertukarkan, namun

keduanya pada dasarnya mengindikasikan perbedaan secara epistolomologis.

Mengetahui perbedaan antara self dan subjek berfungsi untuk memahami paradigma

yang digunakan Lacan dalam mengembangkan teorinya. Self merupakan konsep yang

lahir dari rahim Renaissance yang mengagungkan otonomisasi diri/individu. Jargon

terkenal dari filsuf Rene Descartes, “I think, therefore I am” jelas menggambarkan

apa itu self. Lebih sederhananya, Nick Mansfield (2000: 3) merangkum perbedaan

antara self dan subjek sebagai berikut:

“…the word „self‟ does not capture the sense of social and cultural

entanglement that is implicit in the word „subject‟..[..] the subject is

always linked to something outside of it..”

Page 28: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

28

“Epistemologically, to be subject means to be „placed (or even thrown)

under‟. One is always subject to or of something. The word subject,

therefore, proposes that the self is not a separate and isolated entity, but

one that operates at the intersection of general truths and shared

principles.”

Cara pandang tersebut yang kemudian penting untuk dipahami dalam melihat

bagaimana teori psikoanalisis Lacan (1901-1981) dikembangkan, meski subjek

sendiri tidak pernah memiliki definisi tunggal. Sederhananya Lacan bukan berada

pada posisi memercayai otonomisasi individu, tapi “Lacan‟s „subject‟ is the subject

of the unconscious” (Evans, 1996: 198). Di sini posisi Lacan mengadopsi pemikiran

Freud yang menyerang subjek Cartesian dengan mengajukan konsep ketidaksadaran

(unconsciousness) alih-alih menyetujui subjek yang rasional dan bersandar pada akal

murni.

Dalam mengembangkan idenya tentang subjek, Lacan dipengaruhi oleh

banyak teorisi awal seperti Sigmund Freud, Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson,

Ludwig Wittgenstein, dan Martin Heidegger. Karenanya Nick Mansfield (2002) dan

Philip Hill (2002) misalnya mengatakan secara terus terang bahwa karya Lacan

terkenal rumit, sukar dimengerti, dan ambigu. Pengaruh Freud atas Lacan misalnya

adalah reformulasi ide Freud tentang splitting of the subject, yaitu keterbelahan

subjek ke dalam counscious and unconsciousness parts (Ragland-Sullivan, 1986: 2).

Ketidaksadaran ini yang menjadi titik tekan dalam pemikiran Lacan, “the true subject

is the subject of the unconscious”. Keseluruhan eksistensi manusia, menurut Lacan,

dipengaruhi dan dikontrol oleh ketidaksadaran. Proses salah mengenali

Page 29: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

29

(misrecognition) dalam pembentukan subjek yang menentukan seluruh identifikasi

manusia—akan dijelaskan pada bagian berikutnya—adalah awal dari bagaimana

ketidaksadaran menyetir keseluruhan eksistensi diri manusia nantinya.

Ide Lacan yang paling berpengaruh adalah ungkapannya “the

unconsciousness is structured like a language”. Ide Lacan ini mendapat banyak

pengaruh dari strukturalisme dan linguistik Ferdinand de Saussure. Dari Saussure,

Lacan mengadopsi relasi biner antara penanda-petanda juga metafora-metonimi.

Lacan juga mengembangkan pemikiran secara berbeda dengan Saussure misalnya

dalam konsep bahasa di mana Saussure percaya bahwa „kita dapat berdiri di luar

bahasa‟, sementara bagi Lacan „kita tenggelam dan selalui dikuasai bahasa‟. Ide

tentang ketidaksadaran yang terstruktur seperti bahasa akan banyak mendapat tempat

bahasannya saat membicarakan hasrat yang jejaknya bisa dilacak melalui tataran

simbolik (bahasa).

1.6.3 The Real, Imaginary Order dan Symbolic Order

Pada dasarnya pembahasan subjek Lacanian tidak dapat dipisahkan dengan

bahasan tahapan dalam proses pembentukan subjek, yaitu the imaginary, the

symbolic, dan the real. Untuk masuk dalam pembahasan ini, Lacan mengajukan satu

konsep yang enigmatik yaitu mirror-stage (fase cermin). Fase ini merepresentasi

aspek yang sangat mendasar dari struktur subjektivitas. Fase cermin terjadi pada bayi

berumur antara enam hingga delapan belas bulan. Sebelum melewati fase cermin,

bayi merasa bukan sebagai entitas yang terpisah dari entitas lain di luar dirinya, tidak

Page 30: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

30

ada unsur eksternal, juga tidak ada batasan. Di saat yang bersamaan, karena

koordinasi anggota badan yang masih rendah, bayi merasa bahwa dirinya terpisah

(fragmented body). Pada masa pre-Oedipal ini belum ada subjektivitas.

Pada saat fase cermin terjadi, seluruh kondisi tadi berubah. Bayi yang melihat

bayangannya di cermin10

menangkap bahwa image yang dilihatnya di cermin adalah

dirinya yang sesungguhnya (the Ideal-I), refleksi yang menawarkan keutuhan dan

totalitas (unity and totality) yang menggantikan fragmented body yang selama ini

dirasakan bayi. Di titik ini proses identifikasi dimulai dan proses pembentukan subjek

mulai berproses. Pentingnya fase cermin dicatat Lacan sebagai berikut:

“We have to only understand the mirror stage as an identification, in the

full sense that analysis gives to the term: namely, the transformation that

takes place in the subject when he assumes an image—whose

predestination to this phase-effect is sufficiently indicated by the use, in

analytic theory, of the ancient term imago.” (Lacan, 1977: 2)

“Lacan goes on to emphasize just how radical a transformation of the

infant is involved in this identification with the mirror image: the infant is

basically taking herself to be something other than herself; there is thus a

fundamental alienation of infant from self marked by the mirror stage;

and this alienation lies at the foundation of the very notion of human

identity.” (Scott Lee, 1990: 18)

Identifikasi selalu merupakan awal dari seluruh proses pembentukan subjek,

namun fase cermin sendiri dikatakan Lacan selain sebagai proses identifikasi ia juga

menjadi titik balik bagi bayi. Titik balik ini menurut Lacan adalah terjadinya

misrecognition oleh bayi pada saat proses identifikasi ketika melihat bayangannya di

10

Cermin di sini bukan berarti cermin semata-mata, tapi ia metafora yang bisa merujuk pada cermin atau pada pantulan bayangan dari mata orang lain di sekitar bayi seperti ibu atau lainnya.

Page 31: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

31

cermin dan menjadikan bayangan tersebut sebagai the Ideal-I atau ego ideal, sehingga

ego yang dibangun pada dasarnya terbentuk dari sebuah kesalahan identifikasi. Proses

ini di mana semua ditentukan oleh image, sistem ini yang disebut Lacan sebagai the

imaginary order. Image dalam cermin pada dasarnya tidak sesederhana tampaknya.

Seperti dikatakan, saat bayi mengidentifikasi bayangan di cermin sebagai dirinya,

maka terjadi misrecognition, sebab bayangan tersebut meski merefleksikan diri bayi,

tapi dia adalah hal di luar bayi (other). Sederhananya sepertikan dikatakan Mansfield

(2000: 43) “the subject does not define itself. Instead, it is defined by something other

than itself”, yang dalam bahasa Lacan diistilahkan “the subject is the discourse of the

other”.

Ketika bayi mulai melakukan identifikasi dan mampu melakukan pembedaan

dengan liyannya (other) dan bayi mulai mengenal bahasa, maka tataran simbolik (the

symbolic order) dimulai. Dalam syombolic order selain masuk pada tataran bahasa,

subjek juga mulai bersitatap dengan hukum dan budaya (culture) yang disebut Lacan

sebagai “the big Other”. Alan Sheridan (1977: ix) dalam pengantarnya untuk Écrits

menuliskan: “Henceforth it is the symbolic, not the imaginary, that is seen to be the

determining order of the subject, and its effects are radical: the subject, in Lacan‟s

sense, is himself an effect of the symbolic”. Tampaknya subjek memang menempati

tataran simbolik ini mengingat rentang waktu akuisisi bahasa telah lama dimulai

sejak bayi.

Tahap perpindahan bayi dari imaginary order ke symbolic order tidak bisa

dipisahkan dengan apa yang oleh Lacan dikonsepsikan sebagai “the-Name-of-the-

Page 32: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

32

father”. Ia adalah metafora untuk menyebut apa-apa yang memisahkan bayi dari

ibunya. Ayah yang kemudian menegakkan hukum (the law) pada si bayi bahwa ia

tidak boleh menghasrati ibunya (larangan inses), dan dari sini bayi kemudian masuk

dalam tataran simbolik melalui hukum dan wacana-wacana. Name-of-the-father

disebut Lacan sebagai signifier yang secara metaforik bekerja untuk menentukan “apa

yang seharusnya” bagi bayi dalam metafora paternal dalam masa Oedipal (Glowinski,

dkk., 2001: 120).

Tataran berikutnya adalah the real order yang dirumuskan paling akhir oleh

Lacan. Real di sini berbeda dengan konsep realitas yang umum dipahami. The real

yang dimaksud Lacan dapat dikatakan sebagai tataran sebelum imaginary dan

symbolic, yang disebut oleh Sheridan dengan istilah “keadaan mentah” dari

imaginary order dan symbolic order. The real adalah fase pra-bahasa, keadaan yang

utuh, tidak ada keterpisahan, dan kekurangan; kondisi yang dirindukan subjek dan

menjadi tujuan utama dari pemenuhan hasrat. Posisinya yang berada dalam tataran

tanpa bahasa, membuat the real ini menjadi hal yang tidak mungkin. Scott Lee (1990)

dan Sheridan (1977) menyebutnya sebagai “the impossible real” namun sekaligus

yang menjadi sumber dari pemenuhan hasrat, yaitu kembali pada keadaan yang utuh

(unity, totality).

1.6.4 Hasrat dan Fantasi

Hasrat ada sebagai produk dari lack yang secara pasti dimiliki subjek. Proses

identifikasi subjek yang „gagal‟ pada saat mirror stage karena terjadinya

Page 33: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

33

misrecognition menyebabkan timbulnya lack pada subjek. Lack ini yang kemudian

memunculkan hasrat (desire) untuk menutupi kekurangan tersebut.

“At the heart of its very being is a sense of lack. It endlessly seeks to

compensate for this lack, to fill the hole at ists core. This longing for

self-completion is Lacan‟s definition of desire. [..] Each separate thing

we pursue is called a demand.” (Mansfield, 2000: 45-46)

Dylan Evans (1996: 98) menyebutkan bahwa konsep lack pada dasarnya lekat pada

„lack of being‟ (kekurangan menjadi) yang pada akhirnya mengarah pada hasrat

menjadi (desire to be). Lacan membedakan lack of being yang mengarah pada hasrat

dengan lack of having yang nantinya mengacu pada demand (permintaan).

Gambaran diri yang ditemukan subjek pada tahap mirror stage yang komplit

dan utuh menjadi “imaginary ideal self” bagi subjek, sementara subjek merasa

dirinya tidaklah seperti itu, tapi terfragmentasi (fragmented body-image). Dari situ

terjadi mis-recognition yang kemudian memunculkan lack dan melahirkan hasrat

untuk menjadi ideal self yang tampak pada cermin. Karena keterkaitan hasrat dengan

image dalam cermin yang berada “di luar” subjek, maka dikatakan bahwa hasrat

selalu terkait dengan “yang lain” (liyan/other), seperti yang Mark Bracher (1993: 19)

tuliskan: “The key to understanding desire….can be found in Lacan‟s dictum that

desire is the desire of the Other”.

Catatan penting dari konsep hasrat (desire) Lacan, dan ini menunjukkan

besarnya pengaruh Saussure dalam pemikiran Lacan, adalah bahwa hasrat berada

pada ranah publik. Hasrat tidak pernah milik sendiri, karena hasrat selalu

berhubungan dengan the other dan ia membutuhkan bahasa, sementara bahasa adalah

Page 34: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

34

milik bersama, karenanya hasrat dikatakan berada dalam tataran simbolik. The other

yang diistilahkan Lacan merujuk pada the little other („the other‟) dan the big Other

(„the Other‟). The little other merupakan si liyan yang tidak benar-benar orang lain,

melainkan refleksi ego yang tampak di cermin (imaginary ideal self). Ini yang

kemudian diistilahkan Lacan dengan „objet petit a‟ (object of desire). Sementara the

big Other adalah keliyanan (otherness) yang benar-benar berada di luar subjek. Lacan

menyamakannya dengan bahasa, hukum dan wacana, yang disebut olehnya “beyond

one‟s conscious control: they come from another place, outside consciousness, and

hence „the unconscious is the discourse of the Other‟” (Evans, 1996: 136).

Hasrat tidak akan pernah terpuaskan, begitu disampaikan Bruce Fink (2004:

23) “..desire is structurally unsatisfiable. Whereas need can be satisfied, desire

cannot: there is always something left to be desired”. Hasrat utama subjek adalah

kembali pada keutuhan yang hanya dapat dicapai pada tataran the real, sementara the

real is impossible. Maka dari itu, sampai kapan pun hasrat akan terus ada dan

direproduksi. Termasuk ketika membicarakan hasrat homoseksual, pada dasarnya

hasrat tersebut adalah usaha untuk menutupi lack dan mencapai keutuhan (kembali

pada the real).

Dan apa yang membuat hasrat terus ada? Fantasi adalah jawabannya. Fantasi

merupakan penopang atas hasrat, menjaga hasrat tetap ada dan terus berjalan. Lacan

dalam bahasannya mengenai fantasi memberikan penekanan pada fungsi proteksi dari

fantasi. “…fantasy scene is a defence which veils castration” (dalam Evans, 1996:

61). Adanya fantasi menjadi satu bentuk pertahanan untuk menutupi kastrasi atau

Page 35: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

35

kekurangan (lack) pada subjek terhadap the big Other. Kekurangan pada subjek yang

tak akan pernah tertutupi karena the real yang tak mungkin, kemudian terselubung

dengan adanya fantasi yang sekaligus menunjukkan mode of jouissance (moda

penikmatan) si subjek.

“Desire requires the support of the fantasy” (Lacan, 1977: 313, dalam

Glowinski, dkk., 2001: 58). Fantasi disimbolkan oleh Lacan dengan ($◊a) dapat

dibaca secara sederhana sebagai “subjek terbelah (barred subject) melihat melalui

cermin pada liyan (other)”. Dari simbol tersebut tersirat bahwa fantasi merupakan

hasil dari relasi subjek dengan liyan. Fantasi merupakan respon subjek atas

pertanyaan “Che vuoi?” (apa yang orang lain (the Other) inginkan dariku?). Karena

itulah Lacan menyebut fantasi ($◊a) tak lain adalah the object of desire.

“…the question of the Other, which comes back to the subject from the

place from which te expects an oracular rely in some such form as „Che

vuoi?‟, „What do you want?‟, is the one that best leads him to the path of

his own desire — providing he sets out, with the help of the skills of the

partner known as a psychoanalyst, to reformulate it, even without knowing

it, as „What does he want of me?‟”. (Lacan, 1977: 312)

Dari penjelasan Lacan tersebut, fantasi kemudian mencoba menjawab

pertanyaan „Che vuoi?‟ dengan berusaha memenuhi ekspektasi liyan terhadap subjek

(apa yang mereka mau dari saya). Pemenuhan atas ekspektasi liyan (ekspektasi

masyarakat) yang tergambar dalam fantasi subjek ini yang kemudian menjaga hasrat

tetap ada dan beroperasi. Dari situ juga terlihat relasi hasrat dan fantasi dengan liyan

(other) yang karenanya disebutkan bahwa “our desire is never properly our own, but

is created through fantasies that are caught up in cultural ideologies rather than

Page 36: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

36

material sexuality”.11

Dari sini dapat dipahami bahwa fantasi kemudian merupakan

satu pengejawantahan dari wacana-wacana kultural terkait relasinya dengan liyan

tadi.

Dalam bahasannya tentang fantasi, Lacan mengambil analogi dengan image

yang diam dalam satu potongan sinema. Hal ini untuk menunjukkan kerja fantasi

yang berupa gambaran-gambaran atau bayangan-bayangan. Namun Lacan kemudian

juga menegaskan bahwa dengan begitu fantasi tidak berarti berada pada level

imaginary. “…any temptation to reduce it [fantasy] to the imagination, …is a

permanent misconception. [...] However, once it is defined as an image set to work in

the signifying structure, the notion of the unconscious phantasy no longer presents

any difficulty” (Lacan, 1977: 272).

1.6.5 Homoseksualitas

Homoseksualitas adalah kata yang merujuk pada orientasi seksual seseorang

yang memiliki ketertarikan secara seksual pada sesama jenis. Kata ini dioposisikan

secara biner dengan heteroseksualitas yang mewakili orientasi seksual pada lawan

jenis. Gambaran ini tentu sederhana untuk dimengerti dan bisa dengan mudah

diterapkan untuk melakukan kategorisasi pada orang-orang sekeliling apakah ia

termasuk homoseksual atau heteroseksual. Namun sayangnya „homoseksualitas‟ tidak

sesederhana penjelasan definisi di atas. Pada „homoseksualitas‟ melekat tabu, represi,

11

Dalam “Introduction to Jacques Lacan, Module on Desire” di http://www.cla.purdue.edu/english/theory/psychoanalysis/lacandesire.html

Page 37: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

37

diskriminasi, penyimpangan, abnormalitas, dosa, negatif, pelanggaran, dan sederet

kata lain yang senada. Ia pun kemudian dihindari dan sebisa mungkin tidak disentuh

dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak saja dihindari, tapi juga dihujat, terutama

dalam masyarakat di mana heteronormativitas berlaku secara dominan hegemonik.

Homoseksualitas menjadi problematis karena relasi yang ajeg diterima dalam

masyarakat adalah relasi heteroseksual, yakni relasi beda jenis kelamin (laki-laki dan

perempuan). Keberterimaan terhadap heteroseksualitas tidak saja telah berlangsung

lama, tapi juga didukung oleh institusi agama, Negara, adat, dan budaya, yang

mengakibatkan dikesampingkannya—bahkan seolah dikuburkannya—

homoseksualitas. Sebuah keberterimaan yang menurut Dédé Oetomo (2003) di

Indonesia baru muncul setelah modernitas hadir seiring kolonialisme yang masuk dan

menguasai wilayah Nusantara.

Barat melalui dominasi institusi gereja mengharamkan perbuatan homoseks

dengan landasan agama yang memahami seks hanya untuk prokreasi yang hanya bisa

dicapai melalui senggama antar penis dan vagina (heteroseks). Memasuki abad 19,

ilmu pengetahuan yang berganti menancapkan pengaruhnya pada peradaban Barat

dan manusia secara umum. Dengan perkembangan ilmu kedokteran, psikiatri dan

psikologi, homoseksualitas yang sebelumnya dilabeli sebagai dosa dan hal yang

terkutuk kemudian dianggap sebagai kelainan, penyimpangan seksual, penyakit

gangguan jiwa, abnormalitas. Hingga homoseksualitas dipandang sebagai sesuatu

yang harus “disembuhkan”, “ditanggulangi”, dan “dikembalikan pada kondisi

normal”.

Page 38: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

38

Pergeseran wacana homoseksualitas dari dominasi gereja (agama) hingga

ilmu pengetahuan (modernitas)—yang pada dasarnya tetap menempatkan

homoseksualitas dalam kerangka negatif—yang terjadi di Barat tersebut yang

kemudian masuk dan berkembang kuat di Indonesia dan menghilangkan fenomen

pelembagaan homoseksualitas yang kaya dimiliki budaya-budaya Nusantara.12

Tak

pelak di Indonesia kini sikap terhadap homoseksualitas cenderung negatif, baik yang

direpresentasi oleh institusi agama maupun budaya masyarakat Indonesia modern.

Keberterimaan terhadap homoseksualitas pun sangat rendah dan secara sistematik

menempatkan kelompok homoseksual ke dalam lingkarang marginalisasi.

Konseskuensinya kemudian homoseksualitas menjadi hal yang sembunyi-

sembunyi, ditutup-tutupi, bergerak bawah tanah, dan hadir dengan representasi yang

tak utuh juga penuh stereotipe. Segala hal yang berbau homoseksual, kemudian

menjadi cibiran, ejekan dan target hinaan. Tak jarang menjadi bahan gurauan di

media-media mainstream seperti televisi, tapi pada kenyataannya toh penerimaan

terhadap homoseksualitas hanya sebatas itu saja. Tidak ada keterbukaan dan

keberterimaan secara publik oleh dan terhadap kaum homoseksual. Akhirnya

homoseksualitas tetap terjerat di desas-desus, gosip-gosip, rahasia antar teman, dan

praktiknya terus bergerak secara underground.

12

Pergeseran wacana homoseksualitas dari masyarakat tradisional Nusantara yang cenderung menerima dan tidak mempermasalahkannya karena praktik-praktik homoseksual saat itu terlembagakan dalam beragam bentuk ke masyarakat Indonesia modern yang cenderung menolak dan bahkan mengalami homophobia akibat pengaruh dari Barat dijelaskan secara lebih terperinci dan detail oleh Dédé Oetomo (2003) dalam Memberi Suara yang Bisu, bab “Homoseksualitas di Barat dan di Indonesia” (hal. 5-21) dan “Homoseksualitas di Indonesia” (hal.23-47).

Page 39: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

39

Dalam studi homoseksualitas (dan seksualitas secara umum) terdapat dua

pandangan utama yang menentukan arus pikir para pengkaji dan aktivis gerakan

homoseksualitas. Dua pandangan tersebut adalah pandangan esensialisme

(essentialism) dan sosial konstruksionisme (social constructionism). Pandangan

esensialisme memahami homoseksualitas sebagai bagian hakiki (esensial) dari

struktur kepribadian manusia yang merupakan bawaan dari lahir (innate) (Oetomo,

2003: 28). Pandangan ini lahir dari tradisi medis-biologis seperti psikologi/psikiatri,

misalnya Fruedian. Sementara pandangan kedua, sosial konstruksionisme hadir

sebagai oposisi dari pandangan pertama. Tim Edwards (1994: 7) dalam menjelaskan

sosial konstruksionisme dalam studi seksualitas menyatakan:

The theory at its simplest states that sexuality, far from being

„inevitable‟, „biological‟, or „natural‟, is in fact a deeply socially

conditioned and dynamic phenomenon that is indeed „socially

constructed‟ as it does not in itself constitute any kind of separate

entity. The theory developed primarily out of political opposition to

Freudian and Darwinian „hydraulic‟ or „essentialist‟ models of

sexuality as an innate and overwhelming drive necessarily controlled

or repressed in society.

Intinya pandangan kedua ini melihat homoseksualitas sebagai produk dari konstruksi

sosial, dibentuk oleh masyarakat. Pandangan kedua ini banyak dipengaruhi oleh ide

Michel Foucault. Meski terdapat perbedaan secara teoritik, baik essensialisme

maupun sosial konstruksionisme pada dasarnya mencoba untuk meletakkan

homoseksualitas pada posisi yang “tepat” dengan caranya masing-masing.

Ketidakberterimaan terhadap homoseksualitas jika ditinjau dari perspektif

Lacanian merupakan hasil dari relasi subjek terhadap liyan (the big Other). Dalam

Page 40: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

40

masyarakat Indonesia, heteronormativitas menjadi hukum (law) yang diterapkan oleh

berbagai pihak. Di sini metaphor the-Name-of-the-father bekerja. Ayah—yang bisa

berupa sekolah, lingkungan, media—menyajikan heteronormativitas sebagai satu-

satunya hukum yang mengatur relasi antar manusia. Maka homoseksualitas

merupakan bentuk ketakpatuhan subjek atas hukum ayah. Hasratnya kemudian hasrat

yang ditentang dan ditolak oleh ayah.

Ketidakpuasan subjek terhadap jawaban Other atas pertanyaan-pertanyaan

yang diajukan subjek (ingat bahasan „Che vuoi?‟) membuat subjek ingin keluar dari

wacana yang ditawarkan Other dan mencari jalan keluar dari situ. Maka hasrat subjek

turut berganti. Dalam konteks homoseksualitas di Indonesia, subjek mempertanyakan

heteroseksualitas yang selama ini mendominasi wacana dalam masyarakat. Apakah

ini bentuk relasi satu-satunya? Apakah ini yang diinginkan masyarakat dariku?

Jawaban atas pertanyaan tersebut yang tidak mampu memuaskan subjek kemudian

membuat subjek mencari jawaban sendiri dengan mengingkari master signifier the-

Name-of-the-father yang menerapkan hukum heteronormativitas dan mengalihkannya

pada homoseksualitas.

1.7 Metodologi Penelitian

1.7.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

psikoanalisis Lacanian. Psikoanalisis sendiri merupakan teori yang dikembangkan

oleh Sigmund Freud melalui penemuannya atas „ketidaksadaran (the unconscious)‟.

Page 41: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

41

Lacan dengan banyak terpengaruh oleh Freud mengembangkan sendiri teori

psikoanalisis dengan menjelaskan posisi subjek melalui tiga tahapan yang disebut

Lacan pasti dilalui subjek, real order, imaginary order, dan symbolic order; juga

mengetengahkan signifikansi bahasa dalam psikoanalisis melalui ungkapannya yang

terkenal “the unconscious is structured like a language”.

Pada Freud, psikoanalisis selain dikembangkan sebagai teori, juga sebagai

metode untuk menginvestigasi proses mental tak sadar dan metode untuk terapi

neurotic disorders. Tradisi ini juga dilanjutkan oleh Lacan dengan memperlakukan

psikoanalisis sebagai teori dan sekaligus metode. Agak berbeda dari Freud, Lacan

memasukkan teks ke dalam bahan analisanya. Lacan misalnya membedah hasrat

dalam teks Hamlet karya William Shakespeare, alih-alih pada penulisnya dalam

“Desire and the Interpretation Desire in Hamlet” (1977). Bruce Fink (2004: 42-43)

berdasarkan pembacaannya yang cermat atas Écrits karya Lacan menyebutkan:

“Psychoanalysis, according to Lacan, is a method of reading texts, whether those

texts be oral—the analysand‟s discourse—or written. […] Lacan even says that

“[c]ommenting on a text is like doing an analysis” (Seminar I, 87/73)”.

Pijakan analisis Lacanian atas teks inilah yang membedakan Lacan dengan

pendahulunya, Freud. E. Ann Kaplan (1990) mencoba merinci perbedaan antara

Lacan dan Freud dalam dua hal mendasar:

“Lacan‟s psychoanalytic apparatus is different from Freud‟s in

important way that make his work on a text less of a violation in New

Critical terms. First, Lacan does not move back from the text to the

author; where the Freudian method is ultimately biographical, Lacan‟s

Page 42: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

42

textual. In this sense, Lacan may be aligned with structuralist literary

and anthropological scholars. Second, the centrality of language, and

particularly the devices of metaphor and metonomy, in Lacan‟s system

bring him closer to the specifically “literary” qualities of the texts he

handles. Thus in Lacan literature is not subjugated to psychoanalysis

as an institution, as it arguably is in the neo-Freudian readings”.

Jelas kemudian, dalam kepentingan penelitian ini, psikoanalisis Lacanian yang

kemudian dapat menjawab kebutuhan untuk mendapatkan data dan analisisnya.

Pijakan Lacan atas analisa teks ini menjadikan mungkin untuk mengeksplorasi dan

membedah hasrat yang terkandung dalam slash fiction Super Junior. Bahasa tentu

kemudian akan menjadi pokok yang menghantarkan pada pengumpulan data dan

bahan analisis nantinya.

1.7.2 Pengumpulan Data

Mengingat penelitian ini adalah penelitian atas teks, maka data yang

dibutuhkan dalam penelitian ini seluruhnya bersumber dari teks yang akan digunakan

sebagai objek penelitian. Teks yang akan diteliti seluruhnya diperoleh dari laman

www.asianfanfics.com. Berikut keempat teks yang menjadi objek dalam penelitian

ini dan laman sumbernya:

1. “Between Kisses” oleh eunhyukjae, di

http://www.asianfanfics.com/story/view/357211/1/between-kisses-donghae-

eunhyuk-kyuhyuk-kyuhyun-superjunior

2. “Your Eyes Tell Me Everything” oleh iamvaganza, di

https://www.asianfanfics.com/story/view/208796/your-eyes-tell-me-

everything-oneshot-angst-donghae-drama-sihae-siwon-superjunior

Page 43: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

43

3. “Sweet Pumpkin” oleh _Minki_, di

http://www.asianfanfics.com/story/view/422807/sweet-pumpkin-indonesian-

kyumin-superjunior

4. “Chicken Curry” by kyu0306, di

http://www.asianfanfics.com/story/view/505187/chicken-curry-kyuhyun-

siwon-wonkyu

Data yang akan menjadi bahan analisa adalah tuturan (speech) dalam keempat teks

fanfic tersebut. Dari tuturan tersebut nantinya akan dianalisis bagaimana hasrat

homoseksual yang dihadirkan dalam teks slash fiction tersebut.

1.7.3 Analisis Data

Teks slash fiction akan dianalisis dengan menggunakan teori psikoanalisis

Lacanian sebagai pisau analisis. Dalam menganalisa hasrat dalam teks slash fiction,

konsep Lacan tentang hasrat akan menjadi pijakan utama. Mengacu pada pernyataan

Lacan bahwa “desire is the metonymy of the want-to-be” (Lacan, 1977: 259), maka

analisa hasrat dalam penelitian ini merujuk pada „hasrat menjadi‟ („to be‟, „want-to-

be‟, „want of being‟). Homoseksualitas dilihat sebagai dinamika lack of being/desire

to be.

Rumusan Lacan (1977: 264) tentang hasrat yang hampir selalu disebutkannya

“man‟s desire is the desire of the Other” menjadi kacamata dalam menganalisa

hasrat subjek dalam teks fanfic. Hasrat dilihat sebagai produk sosial dan bukan urusan

privat seseorang, melainkan selalu terbentuk melalui relasi dialektis dengan hasrat

yang dimiliki liyan. Begitu juga dengan fantasi ($◊a) sebagai penopang hasrat yang

Page 44: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84974/potongan/S2-2015...Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini

44

merepresentasi jawaban subjek atas apa yang diekspektasikan oleh Other. Konsep

pertanyaan „Che vuoi?‟ membantu untuk melihat jejak fantasi pada subjek dalam teks

slash fiction.

Subjek dalam teks mengacu pada karakter-karakter dalam cerita yang saling

berelasi berdasar alur cerita yang terbentuk. Relasi subjek (karakter)—dalam empat

slash fiction terpilih—dengan liyan akan menjadi jejak untuk menganalisa hasrat dan

fantasi subjek. Konteks cerita akan menentukan master signifier (the-Name-of-the-

Father) yang dihadirkan dalam teks yang berfungsi untuk melihat hukum (law) atau

wacana apa yang disisipkan dalam teks.