71
BAB 1 SEJARAH PERKEMBANGAN PERTANIAN DI INDONESIA Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang menarik, dimana kita dapat mempelajari sesuatu yang telah ratusan tahun atau bahkan jutaan tahun berlalu. Sejarah menurut Rasyid (2011) adalah akumulasi rekaman pengalaman manusia, dengan mempelajari sejarah kita dapat mengetahui pencapaian- pencapaian apa yang telah digapai oleh pendahulu kita. Terdapat salah satu ungkapan yang berbunyi “Historia Vitae Magistra” yang berarti sejarah adalah guru kehidupan.

BAB 1 dan 2 FIX

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sosiologi Pertanian

Citation preview

Page 1: BAB 1 dan 2 FIX

BAB 1

SEJARAH PERKEMBANGAN PERTANIAN DI

INDONESIA

Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang

menarik, dimana kita dapat mempelajari sesuatu yang

telah ratusan tahun atau bahkan jutaan tahun berlalu.

Sejarah menurut Rasyid (2011) adalah akumulasi

rekaman pengalaman manusia, dengan mempelajari

sejarah kita dapat mengetahui pencapaian-pencapaian apa

yang telah digapai oleh pendahulu kita.

Terdapat salah satu ungkapan yang berbunyi

“Historia Vitae Magistra” yang berarti sejarah adalah

guru kehidupan. Ungkapan ini tak berlebihan adanya,

dengan mempelajari sejarah diharapkan kita mampu

mengukir sejarah yang lebih baik dari kehidupan kita.

Sehingga, mau tidak mau kita wajib mempelajari sejarah.

Khususnya pada buku ini, sejarah pertanian.

Secara etimologi, pertanian—atau dalam Bahasa

Inggris disebut Agriculture—berasal dari Bahasa Latin.

Kata Ager berarti lahan atau tanah, dan Cultus berarti

Page 2: BAB 1 dan 2 FIX

memelihara atau menggarap1. Jadi pengertian pertanian

berdasarkan etimologi adalah kegiatan manusia untuk

memelihara atau menggarap lahan. Pertanian adalah

kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang

dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan,

bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk

mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan

sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa

difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok

tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta

pembesaran hewan ternak (raising), meskipun

cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan

mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk

lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar

ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau

eksploitasi hutan2.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2007), pertanian merupakan (1) perihal

1 Colin A.M Duncan. The Centrality of Agriculture: Between Human Kind and The Rest of Nature. (Canada: McGill-Queen’s University Press, 1996)

2 Wikipedia, 2013

Page 3: BAB 1 dan 2 FIX

bertani (mengusahakan tanah dengan tanam-menanam);

(2) segala yg bertalian dengan tanam-menanam

(pengusahaan tanah dan sebagainya).

Manusia pertama kali memperoleh makanan

dengan cara mengumpulkan makanan. Saat itu mereka

akan mencari dan mengambil tumbuhan yang menurut

mereka dapat dimakan. Setelah mengumpulkan makanan,

dikenal cara mendapatkan makanan yang lain, yakni

berburu, dimana manusia memburu hewan-hewan untuk

dijadikan makanan. Dapat kita lihat situasi pada saat

tersebut pada Gambar 1.1. Setelah agak maju, akhirnya

mereka dapat bercocok tanam.

Gambar 1.1 Manusia purba sedang membagi hasil buruannya

Page 4: BAB 1 dan 2 FIX

(Sumber: Jalil, 2011)

Berdasarkan bukti-bukti peninggalan artefak, para

ahli prasejarah saat ini bersepakat bahwa praktik

pertanian pertama kali berawal di daerah "bulan sabit

yang subur" di Mesopotamia sekitar 8000 SM3. Pertanian

pada awalnya dilakukan secara berpindah-pindah, dengan

sistem slash and burn (tebang dan bakar). Setelah

mengetahui cara pengolahan tanah dan irigasi, pertanian

mulai dilakukan secara menetap.

Pertanian zaman purba di Indonesia

Sejak akhir zaman Mesolithikum dan

Neolithikum, kehidupan manusia purba ditandai dengan

tradisi bercocok tanam dan menghasilkan makanan

sendiri, tradisi seperti ini biasa disebut food producing.4

Dapat kita lihat sampai sekarang tradisi ini terus

berlangsung dalam tingkatan yang lebih maju.

3Wikipedia, 2013

4 Nana Supriatna Dalam Buku Sejarah. (Bandung: PT. Grafindo Media Pratama, 2007)

Page 5: BAB 1 dan 2 FIX

Pembukaan lahan pertanian pada zaman purba hampir

sama dengan cara pembukaan lahan pada sistem tebang

dan bakar, yakni dengan cara membakar hutan. Penduduk

di hutan hujan tropis menebang dan membakar hutan

untuk menanam tanaman. Ketika tanah sudah tidak

produktif lagi, mereka membuka lahan baru dan

memungkinkan lahan yang lama ditumbuhi kembali, cara

pertanian ini masih dipraktikkan oleh beberapa penduduk

hutan.5 Pada zaman ini, tanaman yang ditanam berasal

dari tumbuhan liar yang tumbuh di hutan ataupun di

sekitar tempat tinggal mereka. Tanaman yang ditanam

merupakan jenis biji-bijian dan umbi-umbian, karena

tanaman ini mempunyai viabilitas yang tinggi. Sehingga

mudah tumbuh dimana saja.

Dalam masyarakat yang hidup menetap dan bercocok

tanam, diperlukan pembagian tugas dan peran yang lebih

rumit. Oleh karena itu, diperlukan sebuah organisasi

sosial yang lebih jelas dan teratur.6. Pada masa ini mulai

5 Philip Stelle, Neil Morris, dan Nicola Barber. Planet yang Bergolak. (Jakarta : Erlangga, 2007)

6 Nana Supriatna Dalam Buku Sejarah. (Bandung: PT. Grafindo Media Pratama, 2007)

Page 6: BAB 1 dan 2 FIX

dikenal tradisi gotong royong, tradisi ini secara tidak

langsung diakibatkan oleh sistem bercocok tanam yang

membuat petani penggarapnya harus menetap di suatu

daerah sampai tanamannya panen. Sekumpulan manusia

yang tinggal dalam waktu yang cukup lama dapat kita

sebut sebagai komunitas. Komunitas sosial masyarakat

pada zaman purba mempunyai pemimpin yang bertugas

mengatur segala aturan hidup di lingkungan

kelompoknya. Ketua kelompok juga bekerja sama secara

komunal dengan anggota kelompok lainnya. Kegiatan ini

dapat kita lihat sampai sekarang, yang kita kenal dengan

tradisi gotong royong.

Gambar 1.2 Manusia masa bercocok tanam(Sumber: Pustaka Sekolah, 2013)

Page 7: BAB 1 dan 2 FIX

Pertanian Tradisional

Di Indonesia sendiri, baik pertanian menetap maupun

pertanian berpindah—atau dikenal dengan bercocok

tanam di ladang—merupakan hal yang umum. Menurut

Koentjaraningrat (1984)7 Komunitas desa di Indonesia

dapat kita bagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan

teknologi usaha taninya, menjadi dua golongan:

(1) Desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di ladang,

terletak di sebagian besar Pulau Sumatera, Kali-

mantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian dan

Timor, dengan perkecualian beberapa beberapa

daerah terbatas yang terpencar di Nusa Tenggara dan

Maluku.

(2) Desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di sawah.

Terutama terletak di Jawa, Madura, Bali dan

Lombok.

Bercocok tanam di ladang (pertanian ladang)

7 Koentjaraningrat dalam Masyarakat Desa Di Indonesia. (Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI, 1984)

Page 8: BAB 1 dan 2 FIX

Teknologi bercocok tanam di ladang suatu komu-

nitas desa berpindah-pindah. Teknologi bercocok

tanam di ladang memerlukan tanah yang luas di

suatu daerah yang masih merupakan hutan rimba

yang sedapat mungkin masih perawan. Proses

bercocok tanam di ladang dimlai dengan

membersihkan belukar bawah di suatu bagian

tertentu dari hutan, kemudian menebang pohon-

pohon besar. Batang-batang, cabang-cabang, dahan-

dahan serta daun-daun dibakar, dan dengan demikian

terbukalah suatu ladang yang kemudian ditanami

dengan bermacam tanaman tanpa pengolahan tanah

yang berarti, yaitu tanpa dicangkul, diberi air atau

pupuk secara khusus. Abu yang berasal dan

pembakaran pohon cukup untuk memberi kesuburan

pada tanaman. Air pun hanya yang berasal dari hujan

saja, tanpa suatu sistem irigasi yang mengaturnya.

Metode penanaman biji tanaman juga sangatlan

sederhana, yaitu hanya dengan menggunakan

tongkat tugal berupa tongkat yang berujung runcing

yang diberati dengan batu, dekat pada ujungnya yang

runcing itu. Dengan tongkat itulah para petani pria

Page 9: BAB 1 dan 2 FIX

menusuk lubang ke dalam tanah, di mana biji-biji

tanaman dimasukkan, pekerjaan yang dilakukan oleh

wanita. Pekerjaan selanjutnya ialah membersihkan

ladang dari tanaman liar, dan menjaganya terhadap

serangan babi hutan, tikus dan hama lainnya.

Teknik bercocok-tanam seperti itu menyebabkan

adanya sebutan slash and burn agriculture, atau

"bercocok-tanam menebang dan membakar", yang

seringkali diberikan oleh para ahli kepadanya; se-

dangkan sebutan yang lain adalah shifting

cultivation, atau "pertanian berpindah-pindah", yang

menggambarkan keadaan bahwa setiap kali setelah

suatu ladang terpakai sebanyak dua atau tiga kali

panen, tanah yang tak digarap dulu serta tak

disuburkan dengan pupuk dan air secara teratur itu,

lama-lama akan kehabisan zat hara dan tidak akan

menghasilkan lagi. Akibatnya ialah bahwa para

petaninya harus meninggalkannya dan membuka

ladang baru dengan teknik yang sama, yaitu

menebang dan membakar bagian yang baru dari

hutan.

Page 10: BAB 1 dan 2 FIX

Petani ladang meninggalkan ladangnya setiap dua-

tiga kali panen, dan dalam waktu sepuluh tahun

sudah berpindah tempat sebanyak lima-enam kali.

Dalam waktu itu ladang yang pertama sudah kembali

menjadi hutan, yang kemudian ditempati lagi.

Walaupun demikian kita dapat membayangkan

bahwa rangkaian ladang baru yang dibuka oleh para

petani ladang itu makin jauh letaknya dari komunitas

desa pemukimannya. Oleh karena itu para petani

seringkali mendirikan gubuk-gubuk sementara dekat

ladang yang mereka kerjakan, di mana mereka dapat

tinggal selama musim sibuk dalam lingkaran usaha

tani mereka. Hanya dalam musim-musim tatkala

kesibukan bercocok-tanam mengendur mereka

pulang ke desa induk mereka untuk melakukan

pesta-pesta dan upacara bersama warga komunitas

yang lain.

Tidak jarang terjadi bahwa sekelompok gubuk

tempat mereka itu tinggal sementara pada waktu-

waktu sibuk, menjadi suatu pusat pemukiman baru,

dengan suatu identitas tersendiri, sehingga dapat

Page 11: BAB 1 dan 2 FIX

memisahkan diri dari desa induknya dan membentuk

suatu desa yang baru.

Bercocok tanam di sawah (pertanian menetap)

Menurut Koentjaraningrat (1984), berdasarkan tipe

penggunaan tanah, ada 3 macam tanah pertanian,

yaitu:

1. Kebun kecil di sekitar rumah petani

2. Tanah pertanian kering yang digarap dengan

menetap, tetapi tanpa irigasi, dan

3. Tanah pertanian basah yang diirigasi

Selain pertanian purba dan pertanian tradisional, di

Indonesia juga dikenal pertanian konvensional dan

pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian ini akan diulas

pada bab-bab selanjutnya.

Periodisasi Pertanian

Page 12: BAB 1 dan 2 FIX

Berikut ini adalah periodisasi pertanian menurut

Mutowal (2011)8

1. Era abad ke-19

1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh

Raffles telah membawa beberapa persoalan terhadap

kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga

perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah

oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini

telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan.

Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan

Perang Jawa atau perang Diponegoro.

1830-1870: Era Tanam paksa (cultuur stelsel)

Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch

mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian

tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor

khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan

dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang

sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada

pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak

8 Dalam website Pemerintah Kabupaten Grobogan

Page 13: BAB 1 dan 2 FIX

memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun

(20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang

menjadi semacam pajak. Pada prakteknya peraturan

itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh

wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor

dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan

Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek

cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang

tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama

setahun penuh di lahan pertanian. Tanam paksa adalah

era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia

Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan

kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada

sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat

dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC

wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus

menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya

dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah.

Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan

besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis

liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat

sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan

Page 14: BAB 1 dan 2 FIX

negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas

dianugerhi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25

Desember 1839.

1870: Lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang

dalam Agrarische Wet 1870. Dalam aturan ini dijamin

adanya Hak Erfpacht sampai selama 75 tahun, dan

menjamin pemegang hak itu untuk menggunakan Hak

Eigendom, serta memberi peluang kepada mereka

dapat menggunakan tanahnya sebagai agunan kredit.

Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas

desakan kepentingan pemilik modal swasta Belanda

untuk berbisnis perkebunan besar di negeri

jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel,

mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah.

Dampak dari hukum kolonial terhadap rakyat tani

Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam

kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan dan

penindasan.

1890: Dimulainya “Politik Etnik”, yaitu gerakan

oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian

Page 15: BAB 1 dan 2 FIX

berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–

Hindia juga. Yaitu mulai diterapkan pelayanan

kesehatan umum yang lebih baik, memperluas

kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan

otonomi desa yang lebih besar.

2. Era Sebelum kemerdekaan (1900-1945)

1918: Berdiri Balai Besar Penyelidikan Pertanian

(Algemeen Proefstation voor den Landbouw), yang

kemudian semenjak tahun 1949 menjadi Jawatan

Penyelidikan Pertanian, lalu 1952 menjadi Balai Besar

Penyelidikan Pertanian / General Agriculture

Experiment Station (Algemeen Proefstation voor den

Landbouw). Selanjutnya tahun 1966 menjadi

Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, tahun 1980

berubah lagi menjadi Balai Penelitian Tanaman Bogor

(Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian

Bioteknologi Tanaman Pangan (Balitbio), tahun 2002

menjadi Balai Penelitian Bioteknologi dan

Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen), dan

terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi Balai

Page 16: BAB 1 dan 2 FIX

Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan

Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen)

3. Era 1945-1967

1960: Lahirnya UU No. 5/1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yaitu tanggal 24

September 1960. Kelahiran UUPA melalui proses

panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari

pembentukan "Panitia Agraria Yogya" (1948),

"Panitia Agraria Jakarta" (1951), "Panitia Soewahjo"

(1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956),

"Rancangan Soenarjo" (1958), "Rancangan Sadjarwo"

(1960), akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang

kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA

mengandung dua makna besar bagi kehidupan bangsa

dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna

sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3)

UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar

Page 17: BAB 1 dan 2 FIX

kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna

sebagai penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan

penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan

realitas susunan kehidupan rakyatnya. Tujuan UUPA

pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi

penyusunan hukum agraria nasional, mengadakan

kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan,

dan meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak

atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata

untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan,

keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani,

dalam menuju masyarakat adil dan makmur.

Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari

tujuan UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran

dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan

kekejaman hukum agraria kolonial.

4. Era Orde Baru (1967-1997)

1974: Dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres

tahun 1974 dan 1979 menetapkan bahwa Badan

Litbang Pertanian sebagai unit Eselon I, membawahi

Page 18: BAB 1 dan 2 FIX

12 unit Eselon II, yaitu: 1 Sekretariat, 4 Pusat (Pusat

Penyiapan Program, Pusat Pengolahan Data Statistik,

Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian, dan Pusat

Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian (Puslit Tanah

dan Puslit Agro-Ekonomi), serta 5 Pusat Penelitian

Pengembangan (Puslitbang Tanaman Pangan,

Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Kehutanan,

Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan).

1980 : Berdirinya Departemen Koperasi secara

khusus, untuk membantu golongan petani lemah di

luar Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani

berskala lebih besar. Setelah koperasi diterima sebagai

satuan ekonomi yang mendasar dalam

mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar

semua desa membentuk koperasi primer, namun

demikian sejumlah masalah yang dihadapi adalah

kekurangan modal, manajemen lemah, kesulitan

menjangkau pasaran antara lain karena turut pedagang

perantara. Koperasi dirasakan sebagai “paksaan”

sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu

dirubah menjadi BUUD.

Page 19: BAB 1 dan 2 FIX

1983: Berdasarkan Kepres No. 24 tahun 1983, terjadi

reorganisasi di Badan Litbang Pertanian sehingga

terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data Statistik, Pusat

Perpustakaan Pertanian, Puslit Tanah, Puslit Agro-

Ekonomi, Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang

Tanaman Industri, Puslitbang Hortikultura, Puslitbang

Peternakan, dan Puslitbang Perikanan.

1993: Sesuai dengan Keppres No. 83 tahun 1993

dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

(BPTP) dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian

(LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia.

Selain itu juga terjadi pembentukan 2 unit organisasi

BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Kepulauan Bangka Belitung (Kepmentan

No. 633/Kpts/OT.140/12/2003).

5. Era Reformasi (1998 – Sekarang)

1998: Departemen Pertanian kehilangan arah. Hal ini

dikarenakan pudarnya Pembangunan jangka Panjang

ke 6 yang menjadi ciri khas tahap orientasi

Page 20: BAB 1 dan 2 FIX

pemerintahan Orde Lama. Pada era ini rakyat sudah

kehilangan kepercayaan kepada pemerintahan, meski

tidak semuanya, tapi mendominasi. Dampak yang

ditimbulkannya sangatlah besar. Kegiatan-kegiatan

penyuluhan dan intensifikasi pertanian melambat.

Dampak yang ditimbulkannya adalah rendahnya

produktivitas pertanian tanaman pangan dan

hortikultura.

2005: Pada tahun ini muncul rencana Pemerintah

dalam melakukan revitalisasi pertanian di Indonesia.

Hal ini ditindak lanjuti dengan UU No.16 Tahun 2006

tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan

Kehutanan. Kemudian ditindaklanjuti dengan

Peraturan Menteri Pertanian No.273 Tahun 2007

terkait tentang penjabaran Penyuluhan Pertanian.

Konsentrasi peningkatan produksi dan produktivitas

komoditas pertanian ini mengantarkan Indonesia

mencapai swa sembada beras ke 2 pada tahun 2008.

Hal ini ditunjang dengan penambahan tanaga

penyuluh pertanian melalui Tenaga Harian Lepas

Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP).

Page 21: BAB 1 dan 2 FIX

2010: Pertanian di Indonesia mengarah kepada

pertanian organik. Pada awalnya pada tahun ini

dicanangkan program pertanian organik, karena

banyak hal tentang kekurangsiapan para petani di

Indonesia menjadikan rencana pertanian organik

diundur sampai 2014. Akan tetapi pada tahun 2010 ini

penggunaan pupuk kimia sudah mulai dikurangi, dan

pertanian organik mulai digalakkan di beberapa

daerah.

Page 22: BAB 1 dan 2 FIX

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka

Duncan , Colin A.M. 1996. The Centrality of

Agriculture: Between Human Kind and The Rest of

Nature. Canada: McGill-Queen’s University Press

Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa Di Indonesia.

Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI.

Jalil, Abdul. 2011. Siapakah Penduduk Asli Nusantara? (online). Jalil’s Blog. http://yogadesign.wordpress.com/2011/07/24/siapakah-pribumi-asli-nusantara. Diakses tanggal 31 Mei 2013 pukul 08.27 WIB

Mutowal. 2011. Sejarah Singkat Pertanian Indonesia.

(online). Pemerintah Kabupaten Grobogan.

http://grobogan.go.id/info-daerah/artikel/361-

sejarah-singkat-pertanian-di-indonesia.html.

Diakses tanggal 8 Mei 2013 pukul 15.04 WIB

Pustaka Sekolah. 2013. Masa Bercocok Tanam. (online).

http://www.pustakasekolah.com/masa-bercocok-

Page 23: BAB 1 dan 2 FIX

tanam.html Diakses tanggal 9 Juni 2013 pukul

10.22 WIB

Rasyid, Maimun. 2011. Manfaat Belajar Sejarah.

(online). Berusahalah Menjadi yang Terbaik.

http://akhimaimun.wordpress.com/. Diakses

tanggal 31 Mei 2013 pukul 14.50 WIB

Supriatna, Nana. 2007. Sejarah. Bandung: PT. Grafindo

Media Pratama

Stelle, P., Neil Morris & Nicola Barber. 2006. Planet

yang Bergolak. Terjemahan oleh Teuku Kemal

Hussein. 2007. Jakarta : Erlangga

Wikipedia, 2013. Pertanian (online).

http://id.wikipedia.org/wiki/pertanian. Diakses

tanggal 8 Mei 2013 pukul 15.11 WIB

Wikipedia, 2013. Sejarah Pertanian (online).

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah-Pertanian.

Diakses tanggal 8 Mei 2013 pukul 15.00

Page 24: BAB 1 dan 2 FIX

BAB 2

PERTANIAN TRADISIONAL

Kebutuhan manusia pada pangan telah membawa

manusia untuk mulai belajar tentang bertanam meskipun

dengan alat yang sederhana yang menjadi penciri

pertanian tradisional. Kesederhanaan itulah yang

sebenarnya yang membuktikan naluri manuusia untuk

survive atau bertahan hidup dari desakan kehidupan yang

dilaluinya. Karena penggunaan alat yang sederhana,

ditambah dengan bantuan hewan ternak dalam mengelola

lahan inilah maka sesungguhnya pertanian tradisional ini

sangat cocok dengan alam, arif dalam pengelolaan dan

sangat sesuai dengan ekosistem.

Pertanian tradisional menitik beratkan pada

kesetimbangan ekosistem sehingga semua menjadi sangat

natural, alam akan dengan mudah memulihkan diri bila

ada kerusakan. Sesungguhnya dikarenakan pemenuhan

kebutuhan manusia yang selalu saja kurang mendorong

manusia untuk selalu mencari celah upaya agar dapat

Page 25: BAB 1 dan 2 FIX

memperoleh hasil yang lebih sehingga terkadang kita

lupa berpikir tentang apa yang alam sediakan pada kita

dan sebaliknya apa yang kita berikan pada alam.

Selama ini kita telah mengeruk begitu banyak dari

alam. Dengan alasan apapun takkan pernah cukup bagi

kita untuk mengesampingkan bahwa betapa kita sangat

tergantung pada alam. Alam dengan segala isinya dengan

sangat sempurna mencukupkan segala kebutuhan

manusia. Pertanian Tradisional menggunakan alat-alat

sederhana yang digerakkan oleh tenaga manusia maupun

hewan seperti pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Pengolahan tanah tradisional(Sumber: Ariesta, 2011)

Page 26: BAB 1 dan 2 FIX

Alat-alat Pertanian Tradisional

Para petani membutuhkan alat-alat pertanian

untuk menjalankan pekerjaannya. Apabila dikerjakan

dengan tenaga sendiri tentu akan sangat sulit

menyelesaikan pekerjaan, melihat waktu dan energi yang

dibutuhkan. Di Indonesia para petani masih banyak

menggunakan alat pertanian tradisional daripada mesin.

Ada beberapa alasan mengapa para petani masih

menggunakan alat-alat yang sederhana. Beberapa alasan

tersebut antara lain, mahalnya harga peralatan modern

sehingga para petani masih belum mampu untuk

membelinya, kebiasaan menggunakan alat tradisional,

tidak bisa mengoperasikan mesin pertanian, dan banyak

alasan lainnya.

Beberapa jenis alat pertanian tradisional yang masih setia

digunakan oleh para petani di Indonesia diantaranya

adalah:

Kampak Pipa

Page 27: BAB 1 dan 2 FIX

Alat ini berguna untuk memilih kayu. Sebenarnya

kampak ini sama dengan kampak pada umumnya,

namun tetap memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut

terletak pada garan yang digunakan. Garan dari

kampak biasa terbuat dari kayu, sementara garan

kampak pipa terbuat dari besi yang menyatu langsung

dengan mata kampak.

Gambar 2.1 Kampak Pipa(Sumber: HTN Alat Pertanian, 2011)

Nama kampak pipa digunakan karena garan

kampaknya memang terbuat dari pipa. Kualitas

kampak ini bagus, karena terbuat dari besi yang awet.

Page 28: BAB 1 dan 2 FIX

Lempak

Sebelum menanam, petani selalu membuat garis di

tanah (alur). Alat untuk membuat garis ini disebut

lempak. Garis ini dibuat dengan tujuan agar tanaman

yang ditanam lebih rapi. Alat ini sering digunakan

terutama oleh petani sawah. Sawah yang diberi garis

atau alur ini dapat membuat hasil panen meningkat,

karena distribusi radiasi sinar matahari yang merata,

dan ruang tumbuh yang cukup tersedia.

Gambar 2.3 Lempak(Sumber: HTN Alat Pertanian, 2011)

Page 29: BAB 1 dan 2 FIX

Lempak biasanya terbuat dari besi, namun ada jga

yang terbuat dari baja. Bentuknya mirip dengan pacul

namun pegangannya pendek dan terbuat dari besi,

sehingga alat pertanian ini tidak berat ketika

digunakan.

Cangkul

Cangkul atau pacul dalam bahasa Sunda digunakan

untuk mengolah tanah pada lahan pertanian. Cangkul

adalah alat paling penting dalam pertanian dan hampir

selalu digunakan. Cangkul sangat berguna untuk lahan

atau ladang yang kering. Bahan pembuat cangkul ini

adalah baja, sehingga daya tahan dan kekuatan

cangkul besar.

Page 30: BAB 1 dan 2 FIX

Gambar 2.4 Cangkul atau pacul(Sumber: HTN Alat Pertanian, 2011)

Cangkul adalah penggabungan dari bawak dan

cangkul. Bawak adalah kepala dari cangkul. Bagian

depan merupakan bagian yang disebut cangkul. Pada

kepala cangkul terdapat lubang, yang fungsinya untuk

dipasangi garan cangkul yang disebut dengan doran.

Dengan adanya doran, penggunaan cangkul akan lebih

mudah karena kepala cangkul yang besar dan berat.

Arit Babatan

Arit digunakan untuk memanen padi. Bentuk dari arit

tipis sehingga sangat ringan ketika dibawa. Bentk dan

Page 31: BAB 1 dan 2 FIX

berat itu menjadi kelebihan arit, karena mudah

digunakan untuk memanen padi walau dalam skala

yang besar.

Sementara itu, arit babatan bentuknya berbeda dengan

arit yang lain. Dengan arit babatan para petani bisa

memanen padi dengan lebih mudah dan cepat.

Meskipun bentuknya tipis dan ringan, bahan untuk

membuat arit babatan berasal dari besi baja, sehingga

arit babatan daya tahannya kuat, awet dan kualitasnya

terjamin.

Gambar 2.5 Arit Babatan(Sumber: HTN Alat Pertanian, 2011)

Page 32: BAB 1 dan 2 FIX

Ani-Ani

Ani-ani atau disebut juga ketam merupakan pisau

kecil untuk memanen padi. Tangkai bulir padi akan

dipotong satu persatu menggunakan alat ini. Oleh

karena itu prosesnya sangat lama dan membutuhkan

kesabaran. Hanya saja ani-ani memiliki kelebihan,

yaitu hanya bulir padi yang sudah “jadi” saja yang

terpotong sehingga bulir yang belum matang tidak ikut

terpotong.

Menurut tradidi masyarakat tradisional Jawa dan

Sunda, memanen padi hanya boleh dilakukan dengan

menggunakan ani-ani. Tidak boleh menggunakan arit

maupun golok untuk memanen. Ani-ani ini bentuknya

kecil, sehingga bisa disembunyikan di telapak tangan.

Page 33: BAB 1 dan 2 FIX

Gambar 2.6 Ani Ani(Sumber: Widodo, 2012)

Menurut masyarakat Sunda yang masih percaya

dengan keberadaan Dewi Padi, sang dewi akan

ketakutan jika melihat senjata yang tajam serta besar.

Kepercayaan lainnya adalah padi merupakan

perwujudan dari dewi sehingga harus dilakukan

dengan hormat dan lembut. Tidak boleh dibabat

dengan cara kasar dan harus dipotong satu persatu.

Pertanian adalah sektor paling penting bagi kehidupan

rakyat Indonesia. Jika tidak ada, bagaimana kita bisa

makan dan bertahan hidup? Pertanian tradisional harus

dilestarikan sampai kapanpun agar supaya kekhasan

Indonesia tidak hilang terhapus zaman.9

9 Anne Ahira

Page 34: BAB 1 dan 2 FIX

Jika memperhatikan sistem pertanian di Indonesia,

sebagian besar masih dikerjakan secara tradisional,

dimana posisi petani adalah orang yang paling

berkepentingan terhadap sistem pertanian itu sendiri.

Pertanian Indonesia seakan hanya untuk memenuhi

kebutuhan skala mikro, yaitu petani dan keluarganya

(subsisten). Padahal, seyogyanya Indonesia dengan lahan

pertanian 191.946.000 ha mampu menjadi lumbung

pangan dunia yang pada saat sekarang ini kebutuhan

akan bahan pangan dunia terus meninggi (Kompas, 7

Februari 2011), dan tidak sebaliknya Indonesia justru

memperkeruh kondisi pangan dunia dengan melakukan

kebijakan fiskal dengan peniadaan bea masuk impor

pangan, ini artinya pemerintah sama saja tidak

mengutamakan produktifitas pangan nasional.

Sistem pertanian tradisional semacam ini pasti sangat

sulit untuk berkembang, dan petani (baik pemilik apalagi

penggarap lahan) akan selalu jauh dari kemakmuran.

Bisa dibayangkan bagaimana kondisi ekonomi petani

Indonesia yang mengandalkan pertanian sebagai satu-

satunya gantungan hidup, ketika mereka sedikit saja

Page 35: BAB 1 dan 2 FIX

keluar dari wilayah makan untuk memenuhi kebutuhan

sekundernya maka hasil pertanian itu sungguh tidak

signifikan.

Pupuk merupakan sarana yang sangat penting bagi para

petani karena berperan menentukan kualitas hasil

pertanian10 Pupuk organik (kompos) sudah tidak asing

lagi bagi petani-petani di Indonesia. Pada era pertanian

tradisional, kompos yang biasanya terbuat dari kotoran

hewan maupun sisa-sisa tumbuhan yang telah membusuk

digunakan sebagai bahan andalan penyubur tanaman.

Seiring dengan maraknya penggunaan pupuk kimia

keberadaan pupuk organik pun mulai ditinggalkan oleh

para petani. Sejarah penggunaan pupuk pada dasarnya

merupakan bagian dari pada sejarah pertanian. Di

Indonesia, pupuk organik sudah lama dikenal para petani.

Penduduk Indonesia sudah mengenal pupuk organik

sebelum diterapkannya revolusi hijau di Indonesia.

Setelah revolusi hijau, kebanyakan petani lebih suka

menggunakan pupuk buatan karena praktis

menggunakannya, jumlahnya jauh lebih sedikit dari

pupuk organik, harganyapun relatif murah, dan mudah 10 Yovita (2001)

Page 36: BAB 1 dan 2 FIX

diperoleh. Kebanyakan petani sudah sangat tergantung

pada pupuk buatan, sehingga dapat berdampak negatif

terhadap perkembangan produksi pertanian. Tumbuhnya

kesadaran para petani akan dampak negatif penggunaan

pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya

terhadap lingkungan telah membuat mereka beralih dari

pertanian konvensional kepertanian organik.

Begitu-pun dengan perkembangan hama dan penyakit ,

banyak yang menilai hal tersebut disebabkan oleh

beberapa faktor , seperti ; anomali cuaca dan rusaknya

ekosistem alam. Tetapi meningkatnya hama dan penyakit

tanaman dewasa ini juga tidak menutup kemungkinan

karena berkurangnya musuh alami (predator) di alam

bebas, sehingga terjadi ketidak seimbangan ekosistem.

Contohnya; mewabahnya hama tikus dikarenakan

populasi ular yang sudah langka, mewabahnya wabah

belalang karena menurunnya populasi burung pemakan

belalang, dan lain sebagainya.

Disamping penggunaan musuh alami untuk pengendalian

hama dan penyakit, penggunaan pestisida nabati juga

sangat mungkin untuk diterapkan. Indonesia memiliki

Page 37: BAB 1 dan 2 FIX

varitas tumbuhan obat untuk penggunaan pestisida

nabati. Penggunaan pestisida nabati ini juga sudah tidak

asing lagi penggunaannya oleh para petani tradisional.

Seperti penggunaan tembakau untuk mengusir hama

wereng dan lain sebagainya. Di era sekarang ini pun

semakin banyak ditemui beberapa ekstrak tanaman untuk

menanggulangi hama dan penyakit, seperti penggunaan

ekstrak lengkuas untuk pengendalian penyakit layu pada

pisang, ekstrak daun sirih untuk mengurangi kebusukan

pada buah salak dan tentunya masih banyak lagi model

pengendalian hama terpadu dengan menggunakan teknik

non kimiawi dengan menggunakan ekstrak tumbuhan

yang berfungsi untuk mengendalikan Hama dan Penyakit

pada tanaman. 11

Petani Tradisional Vs Petani Konvensional

Dahulu petani menanam padi tidak menggunakan pupuk

karena menurut mereka dapat merusak tanaman. Pikiran

petani pada saat itu memang benar adanya karena unsur

hara yang terkandung pada lahan petani memang masih

11 IAAS

Page 38: BAB 1 dan 2 FIX

melimpah. Akan tetapi, lama kelamaan produksi petani

makin menurun, dan pemerintah memberikan bantuan

pupuk untuk menambah unsur hara tanah. Waktu itu,

dibutuhkan proses yang cukup lama untuk meyakinkan

petani agar memakai pupuk sampai akhirnya petani

berkenan. Dan, hasilnya produksi padi semakin

meningkat sehingga petani baru mempercayai manfaat

dari pupuk tersebut. Sekarang, keinginan pemerintah

berbalik untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia

karena dengan penggunaan pupuk dapat merusak tanah.

Dan, lagi-lagi petani mati-matian untuk tidak ingin

mengurangi penggunaan pupuk kimia bahkan mereka

ingin penyaluran pupuk diperbaiki agar petani

mendapatkan pupuk sesuai jenis dan kebutuhannya.

Padahal sekarang populer "save our earth" dengan

mengurangi penggunaan pupuk kimia dan mengganti

atau mencampur sebahagian dengan pupuk organik.

Pada zaman dulu petani menggunakan pupuk kandang.

Hasilnya sudah bagus, Penyakit tanaman belum seberapa

banyak dan aneh-aneh, Tanah masih gembur dan subur.

Ketika Petani dikenalkan oleh pemerintah, pupuk

Page 39: BAB 1 dan 2 FIX

kimia/urea pada era pemerintahan orde baru pada tahun

1980an. Semua petani didaerah-daerah dianjurkan untuk

memakai pupuk urea gratis. Namun para petani tak

semudah itu menerima “sesuatu” yang baru. Banyak

petani yang masih ragu dengan pupuk tersebut untuk

dicoba bahkan ada petani yang menukar pupuk gratis

bagiannya dengan beras. Ketika ada salah satu petani

yang mau mencoba, ternyata hasilnya sangat luarbiasa

meningkat pesat. Akhirnya semua petani kita

menggunakan pupuk kimia tersebut sampai sekarang.

Namun petani sekarang sudah banyak yang lupa dan

meninggalkan pupuk kandang ataupun kompos.

Pertanian Indonesia pada waktu itu sampai bisa meng-

ekspor beras dan swasembada pangan. Setelah sekian

waktu, ternyata grafik pertanian kita terlihat seperti huruf

u terbalik, yaitu semakin tahun semakin menurun.

Ternyata setelah diteliti oleh pakar ilmu pertanian,

ternyata lahan pertanian kita mengalami degradasi mutu

lahan ini semua dampak dari penggunaan pupuk kimia

yang berlebihan dan terus menerus.

Page 40: BAB 1 dan 2 FIX

Dapat kita simpulkan bahwa masyarakat di negeri kita

termasuk golongan Early Majority. Early Majority

adalah kelompok yang lebih moderat dalam menerima

inovasi. Early Majority mengadaptasi inovasi setelah ada

yang mencontohkan.12

Semakin tahun penggunaan pupuk kimia tidak semakin

sedikit tetapi produksi pupuk kimia tetap akibatnya

pupuk sering kehabisan atau langka. Untuk mengatasi

Solusi dari kelangkaan pupuk kimia dan sekaligus

kerusakan tanah Pemerintah melalui Menteri Pertanian

menganjurkan pemakaian pupuk secara berimbang antara

pupuk kimia dan pupuk organik. Untuk mengembalikan

lahan agar kembali subur, diperlukan pupuk kandang

atau kompos 20 sampai 40 ton per hektar atau minimal 5

ton pupuk kandang setiap kali musim tanam. Tetapi

kendala dilapangan ketersedian pupuk kandang sulit.

Kalaupun ada butuh biaya lagi untuk sampai ke lahan.

Pupuk kandang dari kotoran sapi tidak bisa langsung

dipakai, butuh waktu sekitar 3-6 bulan.

12 Leibo, Jefta Drs. SU. 1995. Sosiologi Pedesaan. Andi: Yogyakarta

Page 41: BAB 1 dan 2 FIX

Pertanian tradisional Indonesia saat ini

Pertanian tradisional sering dilakukan masyarakat

pedesaan. Apalagi pertanian tradisional hanya

menggunakan alat-alat sederhana seadanya yang mereka

miliki. Pupuk dan harga jual hasil pertanian menjadi

alasan banyak petani kembali dengan pertanian

tradisional.

Alasan kesadaran masyarakat kembali ke pertanian

tradisional, selain harga pupuk yang mahal juga

dikarenakan harga jual panen sering merosot. Apalagi

hasil pertanian tradisional sering lebih banyak diminati

pembeli, karena hasil panennya murni tanpa ada bahan-

bahan pestisida.

Selain itu, biaya produksinya pun murah. Cara ini juga

bisa mengembalikan kesuburan lahan yang alami tanpa

mengurangi hasil panen yang diharapkan. Metode

pertanian tradisional sangat efektif melindungi

masyarakat dari dampak krisis global, yang sering kali

Page 42: BAB 1 dan 2 FIX

dirasakan oleh para petani. Munculnya kembali proses

pertanian tradisional ini dapat digunakan sebagai sarana

untuk melawan sistem pertanian industri. Jenis pertanian

ini merusak lingkungan sekitar lahan pertanian, yang

hingga saat ini masih dilakukan oleh sebagian para

petani.

Namun, kepedulian terhadap tanaman tradisional tidak

begitu saja bisa mendapatkan respons dari para petani

lain. Sebab, masyarakat masih banyak tergantung pada

bahan-bahan kimia. Sangat wajar, karena sudah puluhan

tahun sistem pertanian mereka itu bergantung pada

bahan-bahan kimia yang mampu membuat tanaman cepat

subur dan tampak bagus. Padahal, tumbuhan itu

dipengaruhi oleh bahan-bahan kimia.

Sudah saatnya petani diperbolehkan menanam semua

jenis tanaman lokal, karena banyak sekali manfaat dari

sistem pertanian tradisional ini dibandingkan pertanian

industri. Selain pertanian tradisional ramah lingkungan

dan tidak memerlukan biaya yang sangat besar, hasil

Page 43: BAB 1 dan 2 FIX

panen yang diperoleh sangat memuaskan juga tidak jauh

berbeda dengan hasil pertanian industri.

Malahan, hasil pertanian tradisional lebih banyak

diminati masyarakat. Sebab, hasil panennya alami dan

tidak terkandung pada bahan-bahan kimia.13

13 Rustami, Syarif Darmawan dan Al Ghazali

Page 44: BAB 1 dan 2 FIX

DAFTAR PUSTAKA

Ahira, Anne. 2013. Pertanian Tradisional. (Online).

http://www.anneahira.com/pertanian-

tradisional.htm Diakses tanggal 4 Mei 2013 pukul

11.44 WIB

Ariesta, Rezky. 2011. Kearifan Lokal Petani Tradisional

dan Teknologi. (online).

http://blog.umy.ac.id/rezkyariesta/2011/10/14/keari

fan-lokal-petani-tradisional-dan-teknologi/ Diakses

tanggal 31 Mei 2013 pukul 08.27 WIB

HTN Alat Pertanian. 2011. http://htn-

alatpertanian.blogspot.com/ Diakses tanggal 9 Juni

2013 pukul 12.00 WIB

IAAS LC UNS. 2012, Pertanian Organik Solusi

Pertanian Modern. (online).

http://iaaslcuns.blogspot.com/2012/09/pertanian-

organik-solusi-pertanian.html Diakses tanggal 4

Mei 2013 pukul 13.37

Page 45: BAB 1 dan 2 FIX

Leibo, Jefta Drs. SU. 1995. Sosiologi Pedesaan. Andi:

Yogyakarta

Rustami, Syarif Darmawan dan Al Ghazali. 16 Desember

2012. Pertanian Tradisional Lebih Diminati.

Harian Rakyat Kalbar

Widodo, Winarso D. 2012. Ani Ani. (online). Winarso D. Widodo’s Blog http://wdwidodo.blogspot.com/2012/07/ani-ani.html. Diakses tanggal 9 Juni 2013 pukul 12.00 WIB

Yovita. 2001. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar

Swadaya. Jakarta.