Upload
gheadie-mha
View
72
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Sosiologi Pertanian
Citation preview
BAB 1
SEJARAH PERKEMBANGAN PERTANIAN DI
INDONESIA
Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang
menarik, dimana kita dapat mempelajari sesuatu yang
telah ratusan tahun atau bahkan jutaan tahun berlalu.
Sejarah menurut Rasyid (2011) adalah akumulasi
rekaman pengalaman manusia, dengan mempelajari
sejarah kita dapat mengetahui pencapaian-pencapaian apa
yang telah digapai oleh pendahulu kita.
Terdapat salah satu ungkapan yang berbunyi
“Historia Vitae Magistra” yang berarti sejarah adalah
guru kehidupan. Ungkapan ini tak berlebihan adanya,
dengan mempelajari sejarah diharapkan kita mampu
mengukir sejarah yang lebih baik dari kehidupan kita.
Sehingga, mau tidak mau kita wajib mempelajari sejarah.
Khususnya pada buku ini, sejarah pertanian.
Secara etimologi, pertanian—atau dalam Bahasa
Inggris disebut Agriculture—berasal dari Bahasa Latin.
Kata Ager berarti lahan atau tanah, dan Cultus berarti
memelihara atau menggarap1. Jadi pengertian pertanian
berdasarkan etimologi adalah kegiatan manusia untuk
memelihara atau menggarap lahan. Pertanian adalah
kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang
dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan,
bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk
mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan
sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa
difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok
tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta
pembesaran hewan ternak (raising), meskipun
cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan
mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk
lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar
ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau
eksploitasi hutan2.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2007), pertanian merupakan (1) perihal
1 Colin A.M Duncan. The Centrality of Agriculture: Between Human Kind and The Rest of Nature. (Canada: McGill-Queen’s University Press, 1996)
2 Wikipedia, 2013
bertani (mengusahakan tanah dengan tanam-menanam);
(2) segala yg bertalian dengan tanam-menanam
(pengusahaan tanah dan sebagainya).
Manusia pertama kali memperoleh makanan
dengan cara mengumpulkan makanan. Saat itu mereka
akan mencari dan mengambil tumbuhan yang menurut
mereka dapat dimakan. Setelah mengumpulkan makanan,
dikenal cara mendapatkan makanan yang lain, yakni
berburu, dimana manusia memburu hewan-hewan untuk
dijadikan makanan. Dapat kita lihat situasi pada saat
tersebut pada Gambar 1.1. Setelah agak maju, akhirnya
mereka dapat bercocok tanam.
Gambar 1.1 Manusia purba sedang membagi hasil buruannya
(Sumber: Jalil, 2011)
Berdasarkan bukti-bukti peninggalan artefak, para
ahli prasejarah saat ini bersepakat bahwa praktik
pertanian pertama kali berawal di daerah "bulan sabit
yang subur" di Mesopotamia sekitar 8000 SM3. Pertanian
pada awalnya dilakukan secara berpindah-pindah, dengan
sistem slash and burn (tebang dan bakar). Setelah
mengetahui cara pengolahan tanah dan irigasi, pertanian
mulai dilakukan secara menetap.
Pertanian zaman purba di Indonesia
Sejak akhir zaman Mesolithikum dan
Neolithikum, kehidupan manusia purba ditandai dengan
tradisi bercocok tanam dan menghasilkan makanan
sendiri, tradisi seperti ini biasa disebut food producing.4
Dapat kita lihat sampai sekarang tradisi ini terus
berlangsung dalam tingkatan yang lebih maju.
3Wikipedia, 2013
4 Nana Supriatna Dalam Buku Sejarah. (Bandung: PT. Grafindo Media Pratama, 2007)
Pembukaan lahan pertanian pada zaman purba hampir
sama dengan cara pembukaan lahan pada sistem tebang
dan bakar, yakni dengan cara membakar hutan. Penduduk
di hutan hujan tropis menebang dan membakar hutan
untuk menanam tanaman. Ketika tanah sudah tidak
produktif lagi, mereka membuka lahan baru dan
memungkinkan lahan yang lama ditumbuhi kembali, cara
pertanian ini masih dipraktikkan oleh beberapa penduduk
hutan.5 Pada zaman ini, tanaman yang ditanam berasal
dari tumbuhan liar yang tumbuh di hutan ataupun di
sekitar tempat tinggal mereka. Tanaman yang ditanam
merupakan jenis biji-bijian dan umbi-umbian, karena
tanaman ini mempunyai viabilitas yang tinggi. Sehingga
mudah tumbuh dimana saja.
Dalam masyarakat yang hidup menetap dan bercocok
tanam, diperlukan pembagian tugas dan peran yang lebih
rumit. Oleh karena itu, diperlukan sebuah organisasi
sosial yang lebih jelas dan teratur.6. Pada masa ini mulai
5 Philip Stelle, Neil Morris, dan Nicola Barber. Planet yang Bergolak. (Jakarta : Erlangga, 2007)
6 Nana Supriatna Dalam Buku Sejarah. (Bandung: PT. Grafindo Media Pratama, 2007)
dikenal tradisi gotong royong, tradisi ini secara tidak
langsung diakibatkan oleh sistem bercocok tanam yang
membuat petani penggarapnya harus menetap di suatu
daerah sampai tanamannya panen. Sekumpulan manusia
yang tinggal dalam waktu yang cukup lama dapat kita
sebut sebagai komunitas. Komunitas sosial masyarakat
pada zaman purba mempunyai pemimpin yang bertugas
mengatur segala aturan hidup di lingkungan
kelompoknya. Ketua kelompok juga bekerja sama secara
komunal dengan anggota kelompok lainnya. Kegiatan ini
dapat kita lihat sampai sekarang, yang kita kenal dengan
tradisi gotong royong.
Gambar 1.2 Manusia masa bercocok tanam(Sumber: Pustaka Sekolah, 2013)
Pertanian Tradisional
Di Indonesia sendiri, baik pertanian menetap maupun
pertanian berpindah—atau dikenal dengan bercocok
tanam di ladang—merupakan hal yang umum. Menurut
Koentjaraningrat (1984)7 Komunitas desa di Indonesia
dapat kita bagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan
teknologi usaha taninya, menjadi dua golongan:
(1) Desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di ladang,
terletak di sebagian besar Pulau Sumatera, Kali-
mantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian dan
Timor, dengan perkecualian beberapa beberapa
daerah terbatas yang terpencar di Nusa Tenggara dan
Maluku.
(2) Desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di sawah.
Terutama terletak di Jawa, Madura, Bali dan
Lombok.
Bercocok tanam di ladang (pertanian ladang)
7 Koentjaraningrat dalam Masyarakat Desa Di Indonesia. (Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI, 1984)
Teknologi bercocok tanam di ladang suatu komu-
nitas desa berpindah-pindah. Teknologi bercocok
tanam di ladang memerlukan tanah yang luas di
suatu daerah yang masih merupakan hutan rimba
yang sedapat mungkin masih perawan. Proses
bercocok tanam di ladang dimlai dengan
membersihkan belukar bawah di suatu bagian
tertentu dari hutan, kemudian menebang pohon-
pohon besar. Batang-batang, cabang-cabang, dahan-
dahan serta daun-daun dibakar, dan dengan demikian
terbukalah suatu ladang yang kemudian ditanami
dengan bermacam tanaman tanpa pengolahan tanah
yang berarti, yaitu tanpa dicangkul, diberi air atau
pupuk secara khusus. Abu yang berasal dan
pembakaran pohon cukup untuk memberi kesuburan
pada tanaman. Air pun hanya yang berasal dari hujan
saja, tanpa suatu sistem irigasi yang mengaturnya.
Metode penanaman biji tanaman juga sangatlan
sederhana, yaitu hanya dengan menggunakan
tongkat tugal berupa tongkat yang berujung runcing
yang diberati dengan batu, dekat pada ujungnya yang
runcing itu. Dengan tongkat itulah para petani pria
menusuk lubang ke dalam tanah, di mana biji-biji
tanaman dimasukkan, pekerjaan yang dilakukan oleh
wanita. Pekerjaan selanjutnya ialah membersihkan
ladang dari tanaman liar, dan menjaganya terhadap
serangan babi hutan, tikus dan hama lainnya.
Teknik bercocok-tanam seperti itu menyebabkan
adanya sebutan slash and burn agriculture, atau
"bercocok-tanam menebang dan membakar", yang
seringkali diberikan oleh para ahli kepadanya; se-
dangkan sebutan yang lain adalah shifting
cultivation, atau "pertanian berpindah-pindah", yang
menggambarkan keadaan bahwa setiap kali setelah
suatu ladang terpakai sebanyak dua atau tiga kali
panen, tanah yang tak digarap dulu serta tak
disuburkan dengan pupuk dan air secara teratur itu,
lama-lama akan kehabisan zat hara dan tidak akan
menghasilkan lagi. Akibatnya ialah bahwa para
petaninya harus meninggalkannya dan membuka
ladang baru dengan teknik yang sama, yaitu
menebang dan membakar bagian yang baru dari
hutan.
Petani ladang meninggalkan ladangnya setiap dua-
tiga kali panen, dan dalam waktu sepuluh tahun
sudah berpindah tempat sebanyak lima-enam kali.
Dalam waktu itu ladang yang pertama sudah kembali
menjadi hutan, yang kemudian ditempati lagi.
Walaupun demikian kita dapat membayangkan
bahwa rangkaian ladang baru yang dibuka oleh para
petani ladang itu makin jauh letaknya dari komunitas
desa pemukimannya. Oleh karena itu para petani
seringkali mendirikan gubuk-gubuk sementara dekat
ladang yang mereka kerjakan, di mana mereka dapat
tinggal selama musim sibuk dalam lingkaran usaha
tani mereka. Hanya dalam musim-musim tatkala
kesibukan bercocok-tanam mengendur mereka
pulang ke desa induk mereka untuk melakukan
pesta-pesta dan upacara bersama warga komunitas
yang lain.
Tidak jarang terjadi bahwa sekelompok gubuk
tempat mereka itu tinggal sementara pada waktu-
waktu sibuk, menjadi suatu pusat pemukiman baru,
dengan suatu identitas tersendiri, sehingga dapat
memisahkan diri dari desa induknya dan membentuk
suatu desa yang baru.
Bercocok tanam di sawah (pertanian menetap)
Menurut Koentjaraningrat (1984), berdasarkan tipe
penggunaan tanah, ada 3 macam tanah pertanian,
yaitu:
1. Kebun kecil di sekitar rumah petani
2. Tanah pertanian kering yang digarap dengan
menetap, tetapi tanpa irigasi, dan
3. Tanah pertanian basah yang diirigasi
Selain pertanian purba dan pertanian tradisional, di
Indonesia juga dikenal pertanian konvensional dan
pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian ini akan diulas
pada bab-bab selanjutnya.
Periodisasi Pertanian
Berikut ini adalah periodisasi pertanian menurut
Mutowal (2011)8
1. Era abad ke-19
1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh
Raffles telah membawa beberapa persoalan terhadap
kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga
perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah
oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini
telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan.
Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan
Perang Jawa atau perang Diponegoro.
1830-1870: Era Tanam paksa (cultuur stelsel)
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch
mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian
tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor
khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan
dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada
pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak
8 Dalam website Pemerintah Kabupaten Grobogan
memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun
(20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang
menjadi semacam pajak. Pada prakteknya peraturan
itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh
wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor
dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan
Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek
cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang
tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama
setahun penuh di lahan pertanian. Tanam paksa adalah
era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia
Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan
kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada
sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat
dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC
wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus
menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya
dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah.
Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan
besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis
liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat
sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan
negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas
dianugerhi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25
Desember 1839.
1870: Lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang
dalam Agrarische Wet 1870. Dalam aturan ini dijamin
adanya Hak Erfpacht sampai selama 75 tahun, dan
menjamin pemegang hak itu untuk menggunakan Hak
Eigendom, serta memberi peluang kepada mereka
dapat menggunakan tanahnya sebagai agunan kredit.
Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas
desakan kepentingan pemilik modal swasta Belanda
untuk berbisnis perkebunan besar di negeri
jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel,
mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah.
Dampak dari hukum kolonial terhadap rakyat tani
Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam
kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan dan
penindasan.
1890: Dimulainya “Politik Etnik”, yaitu gerakan
oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian
berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–
Hindia juga. Yaitu mulai diterapkan pelayanan
kesehatan umum yang lebih baik, memperluas
kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan
otonomi desa yang lebih besar.
2. Era Sebelum kemerdekaan (1900-1945)
1918: Berdiri Balai Besar Penyelidikan Pertanian
(Algemeen Proefstation voor den Landbouw), yang
kemudian semenjak tahun 1949 menjadi Jawatan
Penyelidikan Pertanian, lalu 1952 menjadi Balai Besar
Penyelidikan Pertanian / General Agriculture
Experiment Station (Algemeen Proefstation voor den
Landbouw). Selanjutnya tahun 1966 menjadi
Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, tahun 1980
berubah lagi menjadi Balai Penelitian Tanaman Bogor
(Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian
Bioteknologi Tanaman Pangan (Balitbio), tahun 2002
menjadi Balai Penelitian Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen), dan
terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen)
3. Era 1945-1967
1960: Lahirnya UU No. 5/1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yaitu tanggal 24
September 1960. Kelahiran UUPA melalui proses
panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari
pembentukan "Panitia Agraria Yogya" (1948),
"Panitia Agraria Jakarta" (1951), "Panitia Soewahjo"
(1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956),
"Rancangan Soenarjo" (1958), "Rancangan Sadjarwo"
(1960), akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang
kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA
mengandung dua makna besar bagi kehidupan bangsa
dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna
sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3)
UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna
sebagai penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan
penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan
realitas susunan kehidupan rakyatnya. Tujuan UUPA
pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi
penyusunan hukum agraria nasional, mengadakan
kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan,
dan meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak
atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata
untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan,
keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani,
dalam menuju masyarakat adil dan makmur.
Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari
tujuan UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran
dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan
kekejaman hukum agraria kolonial.
4. Era Orde Baru (1967-1997)
1974: Dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres
tahun 1974 dan 1979 menetapkan bahwa Badan
Litbang Pertanian sebagai unit Eselon I, membawahi
12 unit Eselon II, yaitu: 1 Sekretariat, 4 Pusat (Pusat
Penyiapan Program, Pusat Pengolahan Data Statistik,
Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian, dan Pusat
Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian (Puslit Tanah
dan Puslit Agro-Ekonomi), serta 5 Pusat Penelitian
Pengembangan (Puslitbang Tanaman Pangan,
Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Kehutanan,
Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan).
1980 : Berdirinya Departemen Koperasi secara
khusus, untuk membantu golongan petani lemah di
luar Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani
berskala lebih besar. Setelah koperasi diterima sebagai
satuan ekonomi yang mendasar dalam
mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar
semua desa membentuk koperasi primer, namun
demikian sejumlah masalah yang dihadapi adalah
kekurangan modal, manajemen lemah, kesulitan
menjangkau pasaran antara lain karena turut pedagang
perantara. Koperasi dirasakan sebagai “paksaan”
sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu
dirubah menjadi BUUD.
1983: Berdasarkan Kepres No. 24 tahun 1983, terjadi
reorganisasi di Badan Litbang Pertanian sehingga
terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data Statistik, Pusat
Perpustakaan Pertanian, Puslit Tanah, Puslit Agro-
Ekonomi, Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang
Tanaman Industri, Puslitbang Hortikultura, Puslitbang
Peternakan, dan Puslitbang Perikanan.
1993: Sesuai dengan Keppres No. 83 tahun 1993
dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian
(LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia.
Selain itu juga terjadi pembentukan 2 unit organisasi
BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Kepulauan Bangka Belitung (Kepmentan
No. 633/Kpts/OT.140/12/2003).
5. Era Reformasi (1998 – Sekarang)
1998: Departemen Pertanian kehilangan arah. Hal ini
dikarenakan pudarnya Pembangunan jangka Panjang
ke 6 yang menjadi ciri khas tahap orientasi
pemerintahan Orde Lama. Pada era ini rakyat sudah
kehilangan kepercayaan kepada pemerintahan, meski
tidak semuanya, tapi mendominasi. Dampak yang
ditimbulkannya sangatlah besar. Kegiatan-kegiatan
penyuluhan dan intensifikasi pertanian melambat.
Dampak yang ditimbulkannya adalah rendahnya
produktivitas pertanian tanaman pangan dan
hortikultura.
2005: Pada tahun ini muncul rencana Pemerintah
dalam melakukan revitalisasi pertanian di Indonesia.
Hal ini ditindak lanjuti dengan UU No.16 Tahun 2006
tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan
Kehutanan. Kemudian ditindaklanjuti dengan
Peraturan Menteri Pertanian No.273 Tahun 2007
terkait tentang penjabaran Penyuluhan Pertanian.
Konsentrasi peningkatan produksi dan produktivitas
komoditas pertanian ini mengantarkan Indonesia
mencapai swa sembada beras ke 2 pada tahun 2008.
Hal ini ditunjang dengan penambahan tanaga
penyuluh pertanian melalui Tenaga Harian Lepas
Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP).
2010: Pertanian di Indonesia mengarah kepada
pertanian organik. Pada awalnya pada tahun ini
dicanangkan program pertanian organik, karena
banyak hal tentang kekurangsiapan para petani di
Indonesia menjadikan rencana pertanian organik
diundur sampai 2014. Akan tetapi pada tahun 2010 ini
penggunaan pupuk kimia sudah mulai dikurangi, dan
pertanian organik mulai digalakkan di beberapa
daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Duncan , Colin A.M. 1996. The Centrality of
Agriculture: Between Human Kind and The Rest of
Nature. Canada: McGill-Queen’s University Press
Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa Di Indonesia.
Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI.
Jalil, Abdul. 2011. Siapakah Penduduk Asli Nusantara? (online). Jalil’s Blog. http://yogadesign.wordpress.com/2011/07/24/siapakah-pribumi-asli-nusantara. Diakses tanggal 31 Mei 2013 pukul 08.27 WIB
Mutowal. 2011. Sejarah Singkat Pertanian Indonesia.
(online). Pemerintah Kabupaten Grobogan.
http://grobogan.go.id/info-daerah/artikel/361-
sejarah-singkat-pertanian-di-indonesia.html.
Diakses tanggal 8 Mei 2013 pukul 15.04 WIB
Pustaka Sekolah. 2013. Masa Bercocok Tanam. (online).
http://www.pustakasekolah.com/masa-bercocok-
tanam.html Diakses tanggal 9 Juni 2013 pukul
10.22 WIB
Rasyid, Maimun. 2011. Manfaat Belajar Sejarah.
(online). Berusahalah Menjadi yang Terbaik.
http://akhimaimun.wordpress.com/. Diakses
tanggal 31 Mei 2013 pukul 14.50 WIB
Supriatna, Nana. 2007. Sejarah. Bandung: PT. Grafindo
Media Pratama
Stelle, P., Neil Morris & Nicola Barber. 2006. Planet
yang Bergolak. Terjemahan oleh Teuku Kemal
Hussein. 2007. Jakarta : Erlangga
Wikipedia, 2013. Pertanian (online).
http://id.wikipedia.org/wiki/pertanian. Diakses
tanggal 8 Mei 2013 pukul 15.11 WIB
Wikipedia, 2013. Sejarah Pertanian (online).
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah-Pertanian.
Diakses tanggal 8 Mei 2013 pukul 15.00
BAB 2
PERTANIAN TRADISIONAL
Kebutuhan manusia pada pangan telah membawa
manusia untuk mulai belajar tentang bertanam meskipun
dengan alat yang sederhana yang menjadi penciri
pertanian tradisional. Kesederhanaan itulah yang
sebenarnya yang membuktikan naluri manuusia untuk
survive atau bertahan hidup dari desakan kehidupan yang
dilaluinya. Karena penggunaan alat yang sederhana,
ditambah dengan bantuan hewan ternak dalam mengelola
lahan inilah maka sesungguhnya pertanian tradisional ini
sangat cocok dengan alam, arif dalam pengelolaan dan
sangat sesuai dengan ekosistem.
Pertanian tradisional menitik beratkan pada
kesetimbangan ekosistem sehingga semua menjadi sangat
natural, alam akan dengan mudah memulihkan diri bila
ada kerusakan. Sesungguhnya dikarenakan pemenuhan
kebutuhan manusia yang selalu saja kurang mendorong
manusia untuk selalu mencari celah upaya agar dapat
memperoleh hasil yang lebih sehingga terkadang kita
lupa berpikir tentang apa yang alam sediakan pada kita
dan sebaliknya apa yang kita berikan pada alam.
Selama ini kita telah mengeruk begitu banyak dari
alam. Dengan alasan apapun takkan pernah cukup bagi
kita untuk mengesampingkan bahwa betapa kita sangat
tergantung pada alam. Alam dengan segala isinya dengan
sangat sempurna mencukupkan segala kebutuhan
manusia. Pertanian Tradisional menggunakan alat-alat
sederhana yang digerakkan oleh tenaga manusia maupun
hewan seperti pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Pengolahan tanah tradisional(Sumber: Ariesta, 2011)
Alat-alat Pertanian Tradisional
Para petani membutuhkan alat-alat pertanian
untuk menjalankan pekerjaannya. Apabila dikerjakan
dengan tenaga sendiri tentu akan sangat sulit
menyelesaikan pekerjaan, melihat waktu dan energi yang
dibutuhkan. Di Indonesia para petani masih banyak
menggunakan alat pertanian tradisional daripada mesin.
Ada beberapa alasan mengapa para petani masih
menggunakan alat-alat yang sederhana. Beberapa alasan
tersebut antara lain, mahalnya harga peralatan modern
sehingga para petani masih belum mampu untuk
membelinya, kebiasaan menggunakan alat tradisional,
tidak bisa mengoperasikan mesin pertanian, dan banyak
alasan lainnya.
Beberapa jenis alat pertanian tradisional yang masih setia
digunakan oleh para petani di Indonesia diantaranya
adalah:
Kampak Pipa
Alat ini berguna untuk memilih kayu. Sebenarnya
kampak ini sama dengan kampak pada umumnya,
namun tetap memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut
terletak pada garan yang digunakan. Garan dari
kampak biasa terbuat dari kayu, sementara garan
kampak pipa terbuat dari besi yang menyatu langsung
dengan mata kampak.
Gambar 2.1 Kampak Pipa(Sumber: HTN Alat Pertanian, 2011)
Nama kampak pipa digunakan karena garan
kampaknya memang terbuat dari pipa. Kualitas
kampak ini bagus, karena terbuat dari besi yang awet.
Lempak
Sebelum menanam, petani selalu membuat garis di
tanah (alur). Alat untuk membuat garis ini disebut
lempak. Garis ini dibuat dengan tujuan agar tanaman
yang ditanam lebih rapi. Alat ini sering digunakan
terutama oleh petani sawah. Sawah yang diberi garis
atau alur ini dapat membuat hasil panen meningkat,
karena distribusi radiasi sinar matahari yang merata,
dan ruang tumbuh yang cukup tersedia.
Gambar 2.3 Lempak(Sumber: HTN Alat Pertanian, 2011)
Lempak biasanya terbuat dari besi, namun ada jga
yang terbuat dari baja. Bentuknya mirip dengan pacul
namun pegangannya pendek dan terbuat dari besi,
sehingga alat pertanian ini tidak berat ketika
digunakan.
Cangkul
Cangkul atau pacul dalam bahasa Sunda digunakan
untuk mengolah tanah pada lahan pertanian. Cangkul
adalah alat paling penting dalam pertanian dan hampir
selalu digunakan. Cangkul sangat berguna untuk lahan
atau ladang yang kering. Bahan pembuat cangkul ini
adalah baja, sehingga daya tahan dan kekuatan
cangkul besar.
Gambar 2.4 Cangkul atau pacul(Sumber: HTN Alat Pertanian, 2011)
Cangkul adalah penggabungan dari bawak dan
cangkul. Bawak adalah kepala dari cangkul. Bagian
depan merupakan bagian yang disebut cangkul. Pada
kepala cangkul terdapat lubang, yang fungsinya untuk
dipasangi garan cangkul yang disebut dengan doran.
Dengan adanya doran, penggunaan cangkul akan lebih
mudah karena kepala cangkul yang besar dan berat.
Arit Babatan
Arit digunakan untuk memanen padi. Bentuk dari arit
tipis sehingga sangat ringan ketika dibawa. Bentk dan
berat itu menjadi kelebihan arit, karena mudah
digunakan untuk memanen padi walau dalam skala
yang besar.
Sementara itu, arit babatan bentuknya berbeda dengan
arit yang lain. Dengan arit babatan para petani bisa
memanen padi dengan lebih mudah dan cepat.
Meskipun bentuknya tipis dan ringan, bahan untuk
membuat arit babatan berasal dari besi baja, sehingga
arit babatan daya tahannya kuat, awet dan kualitasnya
terjamin.
Gambar 2.5 Arit Babatan(Sumber: HTN Alat Pertanian, 2011)
Ani-Ani
Ani-ani atau disebut juga ketam merupakan pisau
kecil untuk memanen padi. Tangkai bulir padi akan
dipotong satu persatu menggunakan alat ini. Oleh
karena itu prosesnya sangat lama dan membutuhkan
kesabaran. Hanya saja ani-ani memiliki kelebihan,
yaitu hanya bulir padi yang sudah “jadi” saja yang
terpotong sehingga bulir yang belum matang tidak ikut
terpotong.
Menurut tradidi masyarakat tradisional Jawa dan
Sunda, memanen padi hanya boleh dilakukan dengan
menggunakan ani-ani. Tidak boleh menggunakan arit
maupun golok untuk memanen. Ani-ani ini bentuknya
kecil, sehingga bisa disembunyikan di telapak tangan.
Gambar 2.6 Ani Ani(Sumber: Widodo, 2012)
Menurut masyarakat Sunda yang masih percaya
dengan keberadaan Dewi Padi, sang dewi akan
ketakutan jika melihat senjata yang tajam serta besar.
Kepercayaan lainnya adalah padi merupakan
perwujudan dari dewi sehingga harus dilakukan
dengan hormat dan lembut. Tidak boleh dibabat
dengan cara kasar dan harus dipotong satu persatu.
Pertanian adalah sektor paling penting bagi kehidupan
rakyat Indonesia. Jika tidak ada, bagaimana kita bisa
makan dan bertahan hidup? Pertanian tradisional harus
dilestarikan sampai kapanpun agar supaya kekhasan
Indonesia tidak hilang terhapus zaman.9
9 Anne Ahira
Jika memperhatikan sistem pertanian di Indonesia,
sebagian besar masih dikerjakan secara tradisional,
dimana posisi petani adalah orang yang paling
berkepentingan terhadap sistem pertanian itu sendiri.
Pertanian Indonesia seakan hanya untuk memenuhi
kebutuhan skala mikro, yaitu petani dan keluarganya
(subsisten). Padahal, seyogyanya Indonesia dengan lahan
pertanian 191.946.000 ha mampu menjadi lumbung
pangan dunia yang pada saat sekarang ini kebutuhan
akan bahan pangan dunia terus meninggi (Kompas, 7
Februari 2011), dan tidak sebaliknya Indonesia justru
memperkeruh kondisi pangan dunia dengan melakukan
kebijakan fiskal dengan peniadaan bea masuk impor
pangan, ini artinya pemerintah sama saja tidak
mengutamakan produktifitas pangan nasional.
Sistem pertanian tradisional semacam ini pasti sangat
sulit untuk berkembang, dan petani (baik pemilik apalagi
penggarap lahan) akan selalu jauh dari kemakmuran.
Bisa dibayangkan bagaimana kondisi ekonomi petani
Indonesia yang mengandalkan pertanian sebagai satu-
satunya gantungan hidup, ketika mereka sedikit saja
keluar dari wilayah makan untuk memenuhi kebutuhan
sekundernya maka hasil pertanian itu sungguh tidak
signifikan.
Pupuk merupakan sarana yang sangat penting bagi para
petani karena berperan menentukan kualitas hasil
pertanian10 Pupuk organik (kompos) sudah tidak asing
lagi bagi petani-petani di Indonesia. Pada era pertanian
tradisional, kompos yang biasanya terbuat dari kotoran
hewan maupun sisa-sisa tumbuhan yang telah membusuk
digunakan sebagai bahan andalan penyubur tanaman.
Seiring dengan maraknya penggunaan pupuk kimia
keberadaan pupuk organik pun mulai ditinggalkan oleh
para petani. Sejarah penggunaan pupuk pada dasarnya
merupakan bagian dari pada sejarah pertanian. Di
Indonesia, pupuk organik sudah lama dikenal para petani.
Penduduk Indonesia sudah mengenal pupuk organik
sebelum diterapkannya revolusi hijau di Indonesia.
Setelah revolusi hijau, kebanyakan petani lebih suka
menggunakan pupuk buatan karena praktis
menggunakannya, jumlahnya jauh lebih sedikit dari
pupuk organik, harganyapun relatif murah, dan mudah 10 Yovita (2001)
diperoleh. Kebanyakan petani sudah sangat tergantung
pada pupuk buatan, sehingga dapat berdampak negatif
terhadap perkembangan produksi pertanian. Tumbuhnya
kesadaran para petani akan dampak negatif penggunaan
pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya
terhadap lingkungan telah membuat mereka beralih dari
pertanian konvensional kepertanian organik.
Begitu-pun dengan perkembangan hama dan penyakit ,
banyak yang menilai hal tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor , seperti ; anomali cuaca dan rusaknya
ekosistem alam. Tetapi meningkatnya hama dan penyakit
tanaman dewasa ini juga tidak menutup kemungkinan
karena berkurangnya musuh alami (predator) di alam
bebas, sehingga terjadi ketidak seimbangan ekosistem.
Contohnya; mewabahnya hama tikus dikarenakan
populasi ular yang sudah langka, mewabahnya wabah
belalang karena menurunnya populasi burung pemakan
belalang, dan lain sebagainya.
Disamping penggunaan musuh alami untuk pengendalian
hama dan penyakit, penggunaan pestisida nabati juga
sangat mungkin untuk diterapkan. Indonesia memiliki
varitas tumbuhan obat untuk penggunaan pestisida
nabati. Penggunaan pestisida nabati ini juga sudah tidak
asing lagi penggunaannya oleh para petani tradisional.
Seperti penggunaan tembakau untuk mengusir hama
wereng dan lain sebagainya. Di era sekarang ini pun
semakin banyak ditemui beberapa ekstrak tanaman untuk
menanggulangi hama dan penyakit, seperti penggunaan
ekstrak lengkuas untuk pengendalian penyakit layu pada
pisang, ekstrak daun sirih untuk mengurangi kebusukan
pada buah salak dan tentunya masih banyak lagi model
pengendalian hama terpadu dengan menggunakan teknik
non kimiawi dengan menggunakan ekstrak tumbuhan
yang berfungsi untuk mengendalikan Hama dan Penyakit
pada tanaman. 11
Petani Tradisional Vs Petani Konvensional
Dahulu petani menanam padi tidak menggunakan pupuk
karena menurut mereka dapat merusak tanaman. Pikiran
petani pada saat itu memang benar adanya karena unsur
hara yang terkandung pada lahan petani memang masih
11 IAAS
melimpah. Akan tetapi, lama kelamaan produksi petani
makin menurun, dan pemerintah memberikan bantuan
pupuk untuk menambah unsur hara tanah. Waktu itu,
dibutuhkan proses yang cukup lama untuk meyakinkan
petani agar memakai pupuk sampai akhirnya petani
berkenan. Dan, hasilnya produksi padi semakin
meningkat sehingga petani baru mempercayai manfaat
dari pupuk tersebut. Sekarang, keinginan pemerintah
berbalik untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia
karena dengan penggunaan pupuk dapat merusak tanah.
Dan, lagi-lagi petani mati-matian untuk tidak ingin
mengurangi penggunaan pupuk kimia bahkan mereka
ingin penyaluran pupuk diperbaiki agar petani
mendapatkan pupuk sesuai jenis dan kebutuhannya.
Padahal sekarang populer "save our earth" dengan
mengurangi penggunaan pupuk kimia dan mengganti
atau mencampur sebahagian dengan pupuk organik.
Pada zaman dulu petani menggunakan pupuk kandang.
Hasilnya sudah bagus, Penyakit tanaman belum seberapa
banyak dan aneh-aneh, Tanah masih gembur dan subur.
Ketika Petani dikenalkan oleh pemerintah, pupuk
kimia/urea pada era pemerintahan orde baru pada tahun
1980an. Semua petani didaerah-daerah dianjurkan untuk
memakai pupuk urea gratis. Namun para petani tak
semudah itu menerima “sesuatu” yang baru. Banyak
petani yang masih ragu dengan pupuk tersebut untuk
dicoba bahkan ada petani yang menukar pupuk gratis
bagiannya dengan beras. Ketika ada salah satu petani
yang mau mencoba, ternyata hasilnya sangat luarbiasa
meningkat pesat. Akhirnya semua petani kita
menggunakan pupuk kimia tersebut sampai sekarang.
Namun petani sekarang sudah banyak yang lupa dan
meninggalkan pupuk kandang ataupun kompos.
Pertanian Indonesia pada waktu itu sampai bisa meng-
ekspor beras dan swasembada pangan. Setelah sekian
waktu, ternyata grafik pertanian kita terlihat seperti huruf
u terbalik, yaitu semakin tahun semakin menurun.
Ternyata setelah diteliti oleh pakar ilmu pertanian,
ternyata lahan pertanian kita mengalami degradasi mutu
lahan ini semua dampak dari penggunaan pupuk kimia
yang berlebihan dan terus menerus.
Dapat kita simpulkan bahwa masyarakat di negeri kita
termasuk golongan Early Majority. Early Majority
adalah kelompok yang lebih moderat dalam menerima
inovasi. Early Majority mengadaptasi inovasi setelah ada
yang mencontohkan.12
Semakin tahun penggunaan pupuk kimia tidak semakin
sedikit tetapi produksi pupuk kimia tetap akibatnya
pupuk sering kehabisan atau langka. Untuk mengatasi
Solusi dari kelangkaan pupuk kimia dan sekaligus
kerusakan tanah Pemerintah melalui Menteri Pertanian
menganjurkan pemakaian pupuk secara berimbang antara
pupuk kimia dan pupuk organik. Untuk mengembalikan
lahan agar kembali subur, diperlukan pupuk kandang
atau kompos 20 sampai 40 ton per hektar atau minimal 5
ton pupuk kandang setiap kali musim tanam. Tetapi
kendala dilapangan ketersedian pupuk kandang sulit.
Kalaupun ada butuh biaya lagi untuk sampai ke lahan.
Pupuk kandang dari kotoran sapi tidak bisa langsung
dipakai, butuh waktu sekitar 3-6 bulan.
12 Leibo, Jefta Drs. SU. 1995. Sosiologi Pedesaan. Andi: Yogyakarta
Pertanian tradisional Indonesia saat ini
Pertanian tradisional sering dilakukan masyarakat
pedesaan. Apalagi pertanian tradisional hanya
menggunakan alat-alat sederhana seadanya yang mereka
miliki. Pupuk dan harga jual hasil pertanian menjadi
alasan banyak petani kembali dengan pertanian
tradisional.
Alasan kesadaran masyarakat kembali ke pertanian
tradisional, selain harga pupuk yang mahal juga
dikarenakan harga jual panen sering merosot. Apalagi
hasil pertanian tradisional sering lebih banyak diminati
pembeli, karena hasil panennya murni tanpa ada bahan-
bahan pestisida.
Selain itu, biaya produksinya pun murah. Cara ini juga
bisa mengembalikan kesuburan lahan yang alami tanpa
mengurangi hasil panen yang diharapkan. Metode
pertanian tradisional sangat efektif melindungi
masyarakat dari dampak krisis global, yang sering kali
dirasakan oleh para petani. Munculnya kembali proses
pertanian tradisional ini dapat digunakan sebagai sarana
untuk melawan sistem pertanian industri. Jenis pertanian
ini merusak lingkungan sekitar lahan pertanian, yang
hingga saat ini masih dilakukan oleh sebagian para
petani.
Namun, kepedulian terhadap tanaman tradisional tidak
begitu saja bisa mendapatkan respons dari para petani
lain. Sebab, masyarakat masih banyak tergantung pada
bahan-bahan kimia. Sangat wajar, karena sudah puluhan
tahun sistem pertanian mereka itu bergantung pada
bahan-bahan kimia yang mampu membuat tanaman cepat
subur dan tampak bagus. Padahal, tumbuhan itu
dipengaruhi oleh bahan-bahan kimia.
Sudah saatnya petani diperbolehkan menanam semua
jenis tanaman lokal, karena banyak sekali manfaat dari
sistem pertanian tradisional ini dibandingkan pertanian
industri. Selain pertanian tradisional ramah lingkungan
dan tidak memerlukan biaya yang sangat besar, hasil
panen yang diperoleh sangat memuaskan juga tidak jauh
berbeda dengan hasil pertanian industri.
Malahan, hasil pertanian tradisional lebih banyak
diminati masyarakat. Sebab, hasil panennya alami dan
tidak terkandung pada bahan-bahan kimia.13
13 Rustami, Syarif Darmawan dan Al Ghazali
DAFTAR PUSTAKA
Ahira, Anne. 2013. Pertanian Tradisional. (Online).
http://www.anneahira.com/pertanian-
tradisional.htm Diakses tanggal 4 Mei 2013 pukul
11.44 WIB
Ariesta, Rezky. 2011. Kearifan Lokal Petani Tradisional
dan Teknologi. (online).
http://blog.umy.ac.id/rezkyariesta/2011/10/14/keari
fan-lokal-petani-tradisional-dan-teknologi/ Diakses
tanggal 31 Mei 2013 pukul 08.27 WIB
HTN Alat Pertanian. 2011. http://htn-
alatpertanian.blogspot.com/ Diakses tanggal 9 Juni
2013 pukul 12.00 WIB
IAAS LC UNS. 2012, Pertanian Organik Solusi
Pertanian Modern. (online).
http://iaaslcuns.blogspot.com/2012/09/pertanian-
organik-solusi-pertanian.html Diakses tanggal 4
Mei 2013 pukul 13.37
Leibo, Jefta Drs. SU. 1995. Sosiologi Pedesaan. Andi:
Yogyakarta
Rustami, Syarif Darmawan dan Al Ghazali. 16 Desember
2012. Pertanian Tradisional Lebih Diminati.
Harian Rakyat Kalbar
Widodo, Winarso D. 2012. Ani Ani. (online). Winarso D. Widodo’s Blog http://wdwidodo.blogspot.com/2012/07/ani-ani.html. Diakses tanggal 9 Juni 2013 pukul 12.00 WIB
Yovita. 2001. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar
Swadaya. Jakarta.