17
BAB II PEMBAHASAN 2.1DEFINISI Istilah Cutaneous larva migrans atau yang disebut juga dengan creeping eruption digunakan pada kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. 1 . Dalam literatur lain disebutkan juga bahwa cutaneous larva migrans adalah kelainan atau lesi pada kulit akibat dari penetrasi dan migrasi perkutan dari berbagai nematoda yang ditandai dengan eritema, serpiginosa (berkelok-kelok), papul atau lesi vesicular linear yang berhubungan dengan pergerakan dari larva yang ada di dalam kulit. 4 2.2 SINONIM Creeping eruption, dermatosis linearis migrans, sandworm eruption, duck hunter’s itch, plumber’s itch. 1,5 2.3 EPIDEMIOLOGI Cutaneous larva migrans ditemukan di seluruh dunia namun paling sering terjadi di daerah dengan iklim

b. Creeping Eruption

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Creeping Eruption

Citation preview

BAB II

PEMBAHASAN

2.1DEFINISI

Istilah Cutaneous larva migrans atau yang disebut juga dengan

creeping eruption digunakan pada kelainan kulit yang merupakan peradangan

berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan

oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing.1.

Dalam literatur lain disebutkan juga bahwa cutaneous larva migrans adalah

kelainan atau lesi pada kulit akibat dari penetrasi dan migrasi perkutan dari

berbagai nematoda yang ditandai dengan eritema, serpiginosa (berkelok-

kelok), papul atau lesi vesicular linear yang berhubungan dengan pergerakan

dari larva yang ada di dalam kulit.4

2.2 SINONIM

Creeping eruption, dermatosis linearis migrans, sandworm eruption,

duck hunter’s itch, plumber’s itch.1,5

2.3 EPIDEMIOLOGI

Cutaneous larva migrans ditemukan di seluruh dunia namun paling

sering terjadi di daerah dengan iklim tropis atau subtropis yang hangat dan

lembab, misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, terutama Amerika

Serikat bagian tenggara, Karibia, Afrika, Amerika Selatan, Amerika Pusat,

India, dan Asia Tenggara, di Indonesia pun banyak dijumpai.1,6

Pada tahun 2006, dilaporkan adanya outbreak insiden cutaneous larva

migrans di perkemahan anak di Miami, Florida. Terdapat 22 orang (33,7%)

terdiri dari anak-anak dan dewasa, menderita cutaneous larva migrans

setelah 2 minggu berada di perkemahan. Dari analisa didapatkan, 22 orang

tersebut bermain dikotak pasir selama minimal 1 jam per hari, berjemur

matahari 1 jam per hari, 17 dari 22 orang yang terkena ternyata tidak

mengenakan sandal pada saat bermain pasir. Banyak yang mengakui adanya

kucing yang bekeliaran dalam jumlah cukup banyak di sekitar perkemahan.1,6.

Pada penyakit ini, kelompok yang beresiko adalah mereka yang

pekerjaan atau hobinya berkontak dengan tanah berpasir yang lembab dan

hangat antara lain sebagai berikut: 4

1. Orang yang tidak memakai alas kaki di pantai

2. Anak-anak yang bermain pasir 

3. Petani

4. Tukang kebun

5. Pembersih septic tank 

6. Pemburu

7. Tukang kayu

8. Penyemprot serangga

2.4 ETIOLOGI

Cutaneous larva migran ditujukan untuk lesi yang diakibatkan oleh

cacing tambang dengan hospes non manusia. Penyebab utama adalah larva

yang berasal dari cacing tambang binatang anjing dan kucing, yaitu

ancylostoma braziliense dan ancylostoma caninum. Ancylostoma braziliense

adalah penyebab tersering. Di Asia Timur umumnya disebabkan oleh

Gnathostoma babi dan kucing.1 Penyebab yang umum:

1. Ancylostoma braziliense7

Taksonomi

Phyllum : Nemathelminthes

Sub class : Secernentea

Class : Nematoda

Ordo : Strongylida

Family : Ancylostomatidae

Sub Family : Ancylostominae

Genus : Ancylostoma

Spesies : Ancylostoma braziliense

Morfologi

- Cacing jantan memiliki panjang 6-7,75 mm

- Cacing betina memiliki panjang 7-10 mm

- Ukuran A. braziliense lebih kecil daripada A. caninum

Habitat & Inang definitif

Usus halus anjing, kucing, serigala & kadang manusia.

Gambar 1. Ancylostoma braziliense jantan dewasa yang didapat dari usus

halus anjing. Sumber: http://vetpda.ucdavis.edu/parasitolog/Parasite.cfm?ID=32

2. Ancylostoma caninum7

Taksonomi

Phyllum : Nemathelminthes

Sub class : Secernentea

Class : Nematoda

Ordo : Strongylida

Family : Ancylostomatidae

Sub Family : Ancylostominae

Genus : Ancylostoma

Spesies : Ancylostoma caninum

Morfologi

- Cacing jantan memiliki panjang 10-12 mm

- Cacing betina memiliki panjang 14-16 mm

- Cacing tampak kaku, warna abu-abu/kemerahan

Habitat

Usus halus

Inang definitif

- Anjing

- Kucing

- Serigala

- Manusia

Gambar 2. Potongan lateral Ancylostoma caninum dewasa yang didapat dari

usus halus anjing.

Sumber: http://dephicamunis.wordpress.com/2011/06/12/ancylostoma-caninum/

Penyebab yang jarang:

1. Ancylostoma ceylonicum

2. Ancylostoma tubaeforme

3. Necator americanus

4. Strongyloides papillosus

5. Strongyloides westeri

6. Ancylostoma duodenale

2.5 SIKLUS HIDUP

Siklus hidup parasit dimulai saat telur keluar bersama kotoran

binatang ke tanah berpasir yang hangat dan lembab . Pada kondisi

kelembaban dan temperatur yang menguntungkan, telur bisa menetas dalam

waktu 1-2 hari dan tumbuh cepat menjadi larva rhabditiform . Setelah 5-10

hari akan berkembang menjadi stadium infektif larva filariform (L3) .

Larva dalam stadium yang infektif ini dapat bertahan 3-4 minggu dalam

kondisi kelembaban dan temperature yang menguntungkan . Pada hospes

alami binatang, larva mampu penetrasi sampai ke dalam kulit dan ditranspor

melalui sistem limfatik dan vena sampai ke paru-paru. Di usus terjadi

pematangan secara seksual, dan siklus baru dimulai saat telur diekskresikan

. Manusia dapat terinfeksi saat larva filariform melakukan penetrai ke

dalam kulit . Kebanyakan spesies, pada host manusia, larva tidak dapat

menjadi stadium dewasa dan bermigrasi tanpa tujuan dalam epidermis

beberapa centimeter dalam sehari.6

Gambar 3. Siklus hidup (Cutaneous Larva Migrans)

Sumber:  http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/hookworm.htm

2.6 PATOGENESIS

Cutaneous larva migrans disebabkan oleh manusia yang berjalan

tanpa alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva filariform dimana

larva menggunakan enzim proteasenya untuk menembus melalui folikel,

fisura atau kulit intak. Setelah melakukan penetrasi ke dalam stratum

korneum, larva melepas kutikelnya. Biasanya migrasi dimulai dalam waktu

beberapa hari. Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi

beberapa cm per hari, biasanya antara stratum germinativum dan stratum

korneum. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang

dermoepidermal.hal ini menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik setempat.

Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit. Larva bemigrasi

pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus ke

dermis. Manusia merupakan hospes aksidental dan larva tidak mempunyai

enzim kolagenase yang cukup untuk melakukan penetrasi membran basalis

sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim

proteolitik yang disekresi larva menyababkan inflamasi sehingga terjadi rasa

gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk

melengkapi siklus hidup, larva seringkali migrasi ke paru-paru sehingga

terjadi infiltrate paru. Pada pasien dengan keterlibatan paru-paru didapat

larva dan eosinofil pada sputumnya. Kebanyakan larva tidak mampu

menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa

bulan.5

2.7 MANIFESTASI KLINIK 

Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-

mula akan timbul papul,kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi

berbentuk linear atau berkelok-kelok,menimbul dengan diameter 2-3 mm,

dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini

menunjukkan bahwa larva tersebut telah ada di kulit selama beberapa jam

atau hari.7

Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang

berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk

terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal biasanya

lebih hebat pada malam hari. Terjadi rasa gatal pada ujung lesi yang

bertambah panjang karena terdapat larva. Lebar lesi berkisar antara 3 mm

danpanjang bervariasi mencapai 15-20 cm. Lesi bisa tunggal atau multipel,

sangat gatal dan bias juga nyeri.

Tempat predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong,

paha, juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat

larva berada. Sering terjadi ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri.

Larva terbatas hanya pada lapisan epidermis. Penyakit ini self limited dengan

kematian larva dalam waktu sebulan atau dua bulan. Infeksi bakteri sekunder

bisa terjadi akibat garukan pada lesi.7

Tanda dan gejala sistemik (mengi, batuk kering, urtikaria) pernah

dilaporkan pada pasien dengan infeksi ekstensif. Tanda sistemik termasuk

eosinofilia perifer dan peningkatang kadar IgE. Pada kasus creeping eruption

bisa terjadi sindrom loeffler dan miositis namun jarang dijumpai. Larva bisa

bermigrasi ke usus halus dan menyebabkan enteritis eosinofilik.5

2.8 DIAGNOSIS

Diagnosis cutaneous larva migrans ditegakkan berdasarkan riwayat

pajanan epidemiologi dan penemuan lesi karakteristik. Bentuk khas, yakni

terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok,

menimbul, dan terdapat papul atau vesikel di atasnya. Biopsi spesimen

diambil pada ujung jalur yang mungkin mengandung larva.4

Bila infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa eosinofilia

perifer, sindrom loeffler (infiltrat paru yang berpindah-pindah), peningkatan

IgE. Hanya sedikit pasien yang menunjukkan eosinofilia perifer

dan peningkatan IgE.

Untuk menunjang diagnosa bisa dilakukan biopsi kulit. Biopsi kulit

yang diambil tepat di atas lesi menunjukkan larva (tes periodik asam schiff

positif) di terowongan suprabsalar, terowongan pada membran basalis,

spongiosis dengan vesikel intraepidermal, nekrosis keratinosit dan infiltrat

kronis oleh eosinofil pada lapisan epidermis dan dermis bagian atas.4

Gambar 4.

menjalar

Sumber: http://vetpda.ucdavis.edu/parasitolog/Parasite.cfm?ID=32

Gambar 5. Tampak kelainan eritematosa berkelok-kelok seperti

benang dengan papul dan vesikel di atasnya

Sumber: Wisnu. I Made, et al. Penyakit Kulit yang Umum di

Indonesia sebuah panduan bergambar. e-book. PT. Medikal

Multimedia Indonesia. Jakarta. 2005

2.9 DIAGNOSIS BANDING

Dengan melihat adanya terowongan harus dibedakan dengan skabies.

Pada scabies terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti pada

penyakit ini. Bila melihat bentuk yang polisiklis sering dikacaukan dengan

dermatofitosis. Pada permulaan lesi berupa papul, marena itu sering diduga

insect bite. Bila invasi larvayang multipel timbul serentak, papul-papul lesi

dini sering menyerupai herpes zoster stadium permulaan.1 Diagnosis banding

mencakup serkaria atau dermatitis kontak, infeksi bakteri atau jamur, skabies,

myiasis, loiasisdan beberapa parasit migran lainnya.8

 

2.10 PENATALAKSANAAN

Infeksi cacing tambang binatang dicegah dengan menghindari kontak

kulit langsung dengan tanah yang tercemar kotoran binatang. Pengobatan

cacing tambang untuk kucing dan anjing merupakan hal yang utama untuk

mencegah penyakit ini. Kotoran binatang harus dipindahkan secara benar dari

area aktivitas manusia. Cutaneous larva migrans bisa dicegah dengan mudah

dengan memakai alas kaki yang memadai setiap saat. Jika dibiarkan

saja tanpa pengobatan, larva akan mati dan diabsorbsi. Meskipun penyakit ini

self limited, rasa gatal yang hebat dan resiko infeksi sekunder memaksa

seseorang untuk berobat. Untuk kasus yang ringan biasanya tidak

memerlukan pengobatan. Jika perlu dapat diberikan secara topikal.

Pengobatan topikal ditujukan untuk lesi awal yang terlokalisasi. Untuk kasus

yang lebih berat dapat diberikan obat peroral. Pengobatan oral untuk lesi

yang luas atau gagal dengan topikal. Antihistamin membantu mengurangi

rasa gatal. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberikan

antibiotik.5

Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa antihelminthes berspektrum

luas, misalnya tiabendazol ternyata efektif. Dosisnya 50 mg/kgBB/hari, dua

kali sehari, diberikan berturut-turut selama dua hari. Dosis maksimum 3 gr

sehari. Jika belum sembuh dapat diulangi setalahbeberapa hari. Obat ini sukar

didapat. Efek sampingnya mual, pusing dan muntah. Eyster mencoba

pengobatan topikal solusio tiabendazol dalam DMSO dan ternyata efektif.

Demikian pula pengobatan secara oklusi selama 34-48 jam telah dicoba oleh

Davis dan Israel.1

Obat lain ialah albendazol, dosis sehari 400 mg sebagai obat dosis

tunggal, diberikan 3 hari berturut-turut. Namun pengobatan ini mempunyai

efek samping seperti nausea, diare, anoreksia, pusing, sakit kepala,

pembesaran KGB dan reaksi alergi. Keamanan pengobatan ini selama

kehamilan masih belum diketahui.1

Cara terapi ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow

(dry ice) dengan penakanan selama 45 detik sampai 1 menit, 2 hari berturut-

turut. Penggunaan N2 cair juga pernah dicoba. Cara beku dengan

menyemprotkan kloretil sepanjang lesi. Cara tersebut di atas agak sulit karena

kita tidak mengetahui secara oasti di mana larva berada, dan bila terlalu lama

dapat merusak jaringan di sekitarnya. Pengobatan cara lama dan sudah

ditinggalkan adalah dengan preparat antimon. Penggunaan topikal spray etil

klorida, nirtogen cair, fenl, CO2 beku, piperazin sitrat, elektrokauter dan

radiasi tidak behasil karena larva bisa lolos. Kemoterapi dengan klorokuin,

antimon, dan dietilkarbamazin juga tidak berhasil.1

2.11 KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi adalah ekskoriasi dan infeksi sekunder

oleh bakteri akibat garukan. Infeksi umumnya disebabkan oleh streptokokkus

pyogenes. Bisa juga terjadi selulitis dan reaksi alergi.

2.12 PROGNOSIS

Prognosis biasanya baik karena penyakit ini merupakan penyakit yang

self limited. Manusia merupakan hospes aksidental yang dead end di mana

larva akan mati dan lesi membaik dalam waktu 4-8minggu. Dengan

pengobatan progresi lesi danrasa gatal akan hilang dalam waktu 48 jam. Bisa

terjadi reaksi hipersensitivitas. Sering terjadi eosinofilia perifer. Tidak terjadi

imunitasprotektif sehingga bisa terjadi infeksi berulang pada pajanan

berikutnya.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Heukelbach, J. & Feldmieier, H., 2008. Epidemiological And Clinical

Characteristics Of Hookworm-Related Cutaneous Larva Migrans.

Lancet Infect Dis, 8, pp.302-9

2. Thomas, B. et al. Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. Ed.

3rd. The McGraw-Hill. United States of America. 1997.

3. Wolf, Klaus. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Ed. 7 th.

Vol. 2. The McGraw-Hill. United States of America. 2008.

4. Peris,M. Pruritic, serpiginous eruption in a returning traveller. CMAJ

2008;179:51-52. Diunduh dari: 

http//:www.cmaj.ca/cg i/content/full/179/1/51

5. DPDx. Parasites and Health. Hookworm. Diunduh dari:

http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/hookworm.htm

6. Tierney,M, Papadakis.Cutaneous Larva Migran. Terdapat dalam:

Current medical diagnosis & treatment 45th ed[ebook]. San

Francisco:Mc Graw Hill.2003.pg 1520

7. Gerd P,Thomas J.Cutaneous Larva Migran. Terdapat dalam:

Fitzpatrick`s dermatology in general medicine 6th ed[ebook]. New

York:Mc Graw Hill;2003.ch 236