2
Atribut Otoritas (attribute of authority) Menurut Leopold J. Pospisil, hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Dalam rangka untuk membedakan suatu aktivitas itu dari aktivitas kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam masyarakat, seorang peneliti harus mencari akan adanya empat ciri dari hukum atau atribut hukum. Atribut yang pertama disebut atribut of authority atau atribut otoritas. Atribut otoritas pada dasarnya adalah adanya kekuasaan untuk menentukan apakah perbuatan itu melanggar hukum atau tidak, dimana otoritas atau wewenang ini merupakan kekuasaan yang diakui sehingga keputusan - keputusan yang dihasilkan oleh pihak yang berwenang diikuti oleh pihak- pihak lainnya. Atribut otoritas menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah melalui suatu mekanisme yang diberi kuasa dan pengaruh dalam masyarakat. Keputusan – keputusan yang dihasilkan oleh pemegang otoritas itu memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena adanya; (1) serangan-serangan terhadap diri individu, (2) serangan-serangan terhadap hak orang, (3) serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa, (4) serangan-serangan terhadap keamanan umum. Contoh adanya atribut otoritas misalnya pada penelitian lapangan yang dilakukan oleh L. Pospisil sendiri (1953-1955) terhadap suku bangsa Kapauku di Lembah Kamu di daerah Enarotali,Papua. Dalam penelitian itu, ia mencatat 121 aturan adat yang hidup dalam ingatan orang Kapauku (mereka tidak mengenal tulisan). Kemudian ia mencocokkan ke-121 aturan abstrak tadi dengan 176 kasus konflik yang nyata terjadi dalam masyarakat desa orang Kapauku. Ternyata di antara 176 Kasus tersebut, hanya 87 buah yang diputuskan menurut salah satu dari ke-121 aturan tadi; sedangkan lebih dari separohnya diputuskan menurut kebijaksanaan tokoh-tokoh masyarakat yang diserahi otoritas. Hasil analisa tadi menimbulkan dalam pikiran L.Pospisil suatu pengertian yang sangat amat penting, yaitu bahwa aturan adat yang abstrak itu walaupun ada dan diketahui oleh warga masyarakat, toh rupa-rupanya tidak selalu dapat melakukan pengawasan sosial terhadap gerak-gerik masyarakat. Sebaliknya keputusan-

Atribut Otoritas.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Atribut Otoritas.docx

Atribut Otoritas (attribute of authority)

Menurut Leopold J. Pospisil, hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu

kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Dalam rangka untuk membedakan

suatu aktivitas itu dari aktivitas kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam

masyarakat, seorang peneliti harus mencari akan adanya empat ciri dari hukum atau atribut

hukum. Atribut yang pertama disebut atribut of authority atau atribut otoritas. Atribut

otoritas pada dasarnya adalah adanya kekuasaan untuk menentukan apakah perbuatan itu

melanggar hukum atau tidak, dimana otoritas atau wewenang ini merupakan kekuasaan

yang diakui sehingga keputusan - keputusan yang dihasilkan oleh pihak yang berwenang

diikuti oleh pihak- pihak lainnya. Atribut otoritas menentukan bahwa aktivitas kebudayaan

yang disebut hukum itu adalah melalui suatu mekanisme yang diberi kuasa dan pengaruh

dalam masyarakat. Keputusan – keputusan yang dihasilkan oleh pemegang otoritas itu

memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena adanya; (1)

serangan-serangan terhadap diri individu, (2) serangan-serangan terhadap hak orang, (3)

serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa, (4) serangan-serangan terhadap

keamanan umum.

Contoh adanya atribut otoritas misalnya pada penelitian lapangan yang dilakukan oleh

L. Pospisil sendiri (1953-1955) terhadap suku bangsa Kapauku di Lembah Kamu di daerah

Enarotali,Papua. Dalam penelitian itu, ia mencatat 121 aturan adat yang hidup dalam

ingatan orang Kapauku (mereka tidak mengenal tulisan). Kemudian ia mencocokkan ke-121

aturan abstrak tadi dengan 176 kasus konflik yang nyata terjadi dalam masyarakat desa

orang Kapauku. Ternyata di antara 176 Kasus tersebut, hanya 87 buah yang diputuskan

menurut salah satu dari ke-121 aturan tadi; sedangkan lebih dari separohnya diputuskan

menurut kebijaksanaan tokoh-tokoh masyarakat yang diserahi otoritas. Hasil analisa tadi

menimbulkan dalam pikiran L.Pospisil suatu pengertian yang sangat amat penting, yaitu

bahwa aturan adat yang abstrak itu walaupun ada dan diketahui oleh warga masyarakat,

toh rupa-rupanya tidak selalu dapat melakukan pengawasan sosial terhadap gerak-gerik

masyarakat. Sebaliknya keputusan-keputusan dari tokoh-tokoh yang diberi otoritaslah yang

memegang peranan yang penting.

Contoh lain dari adanya atribut otoritas misalnya sistem sanksi adat pada masyarakat

Suku Dayak yang mengatur masalah perselisihan antar warga masyarakat dari yang ringan

seperti masalah yang dianggap menyinggung perasaan orang lain sampai dengan

perkelahian dan pembunuhan yang disebut pertailan. Pertailan ini berasal dari kata “tail”

yang merupakan sistem ukuran besar-kecilnya sanksi adat yang dibebankan kepada orang

yang dianggap bersalah. Berat ringannya sanksi hukum yang dijatuhkan kepada pelanggar

Page 2: Atribut Otoritas.docx

adat diputuskan oleh fungsionaris adat yang dari tergantung besar kecilnya pelanggaran

yang dilakukan. Sebagai contoh misalnya ; sanksi adat sampai dengan 3 tail diputuskan oleh

kebayan yaitu seorang yang menjabat sebagai pembantu kepala kampung yang menangani

urusan pelanggaran adat, kemudian sanksi adat antara 3 sampai dengan 6 tail diputuskan

oleh kepala kampung, sedangkan denda adat antara 7 sampai dengan 9 tail diputuskan oleh

kepala adat atau domong. Sedangkan otoritas tertinggi dalam sistem hukum adat berada di

tangan tumenggung yang berwenang memutuskan perkara hukum adat dengan sanksi lebih

dari 9 tail.

Jadi sangat jelas sekali bahwa peran pemegang otoritas dalam hal ini fungsionaris adat

adalah sangat besar artinya dalam melakukan pengendalian sosial lewat keputusan-

keputusannya dalam memecahkan suatu perkara dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena

keputusan-keputusan tersebut dikeluarkan oleh seseorang/lebih yang mempunyai otoritas

atau wewenang untuk menentukan benar atau salah tindakan orang lain sehingga

keputusan-keputusan itu menjadi sebuah aturan atau hukum yang bersifat mengikat dan

memaksa bagi para anggotanya.