1
Integrasi Pasar Keuangan dan Fenomena Contagion Effect L ebih dari satu dekade yang lalu, ASEAN telah setahap demi setahap menjadi kawasan ekonomi yang semakin terintegrasi. Puncaknya, seluruh negara anggota ASEAN sepakat untuk mulai tahun 2015 mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN Economic Community (AEC) yang imple- mentasinya mengacu pada AEC Blueprint. Dalam kerangka ini, ASEAN akan menjadi pasar tunggal yang tidak hanya berbasis produksi tunggal dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas, namun juga arus modal yang lebih bebas diantara negara ASEAN. Dalam upaya menciptakan arus modal yang lebih bebas, cetak biru AEC memuat 2 (dua) inisiatif bagi negara-negara ASEAN yaitu (i) memperkuat pengembangan dan integrasi pasar modal ASEAN, dan (ii) meningkatkan arus modal di kawasan melalui proses liberalisasi. Liberalisasi arus modal di ASEAN didasari oleh keyakinan bahwa dengan lebih bebasnya aliran modal, akan mendorong arus investasi dan perdagangan internasional, penempatan modal yang lebih efisien, dan perkembangan pasar keuangan. Disamping manfaat yang diharapkan dari proses liberali- sasi ini, terdapat potensi risiko yang mengancam kestabilan kondisi perekonomian suatu negara. Dalam era pasar yang terintegrasi dan keterbukaan arus modal, interdependensi antar pasar keuangan menjadi semakin meningkat, dampak- nya, pasar keuangan di suatu negara akan memiliki keren- tanan yang lebih tinggi terhadap goncangan yang terjadi di pasar keuangan negara lain. Dalam situasi demikian, upaya- upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik atas transmisi internasional dalam shock dan volatilitas antar pasar menjadi penting adanya terutama menyertai proses integrasi ekonomi dan keuangan yang intensitasnya semakin meningkat. Ini tentu saja dalam kerangka menjaga stabilitas sistem keuangan dalam perekonomian suatu negara. Krisis ekonomi global 2008 yang bermula dari market crash AS yang diakibatkan oleh subprime mortgage, dalam waktu cepat menjalar ke sebagian besar belahan dunia terutama negara-negara maju yang secara ekonomi dan keuangan sangat terintegrasi dengan AS. Di Asia, banyak negara yang terkena dampak negatif krisis tersebut walaupun derajat dampaknya bervariasi antar negara. Saat itu, pada Oktober 2008 bursa saham Indonesia di-suspend untuk beberapa hari dikarenakan IHSG turun lebih dari 10%. Otoritas pasar modal pada saat itu menyatakan bahwa investor mengalami kepanikan dan tidak lagi bertindak rasional. Pada tahun 2008 IHSG tercatat mengalami penurunan sebesar 50,64%. Tidak mengherankan jika statistik variance return yang me- rupakan ukuran volatilitas meningkat tajam menjadi sekitar 0,07% dari sekitar 0,02% pada tahun sebelumnya. Banyak kajian empirik yang menunjukkan bahwa integrasi pasar keuangan yang semakin berkembang menyebabkan pergerakan indikator kunci stock market di suatu negara dengan mudah dan segera dapat tertransmisikan ke stock market di negara lain. Penjelasan untuk ini adalah contagion yang dalam prakteknya sering digunakan merujuk pada adanya transmisi dari keadaaan ekonomi suatu negara ke negara lain, dan contagion menjadi sangat penting ketika suatu negara mengalami krisis keuangan. Secara konseptu- al, penyebab contagion dapat dibedakan dalam dua faktor. Faktor pertama terkait dengan konsep rational channel, adanya ketergantungan normal antar perekonomian yang berdampak munculnya spillover effect. Ketergantungan ini menyebabkan goncangan perubahan harga asset pada suatu negara dapat ditrasmisikan ke negara lain melalui hubungan di sektor riil dan keuangan antar negara tersebut. Kejadian ini disebut sebagai fundamentals-based contagion. Faktor kedua, financial panic, terkait dengan penjelasan dari sisi perilaku pelaku pasar. Contagion ini terjadi karena faktor yang sifatnya tidak rasional dan tidak terkait dengan kondisi fundamental suatu negara. Krisis di suatu negara membuat pelaku pasar panik dan menarik investasi mereka termasuk dari negara-negara tetangganya tanpa memperhatikan kon- disi fundamentalnya. Mereka memandang region sebagai suatu entitas tunggal dan menganggap bahwa goncangan yang dihadapi suatu negara dalam sebuah kawasan berarti juga goncangan semua negara yang ada di kawasan itu. Kejatuhan New York Stock Exchange pada Oktober 2007 yang dikenal dengan istilah Black Monday, yang dengan se- gera diikuti oleh berjatuhannya harga-harga saham di nega- ra-negara lain, merupakan contoh dari market contagion. Telah begitu banyaknya studi yang dilakukan untuk meng- kaji bagaimana pergerakan stock market di suatu pasar akan tertransmisikan ke pasar saham negara lainnya. Pada tahun 1982, Robert F. Engle (pemenang Nobel Ekonomi tahun 2003) mengembangkan metode analisis data time series ekonomi yang mempunyai ciri time-varying volatility. Model yang dikembangkannya telah begitu luas diaplikasikan oleh banyak peneliti untuk menginvestigasi volatility spillover pasar keuangan antar negara. Mekanisme transmisi volatilitas antar pasar sendiri bisa terjadi secara asimetrik. Volatilitas meningkat lebih besar setelah shock negatif dibanding setelah shock positif. Volatilitas dari satu pasar ke pasar lain juga tertransmisikan lebih cepat dan kuat selama fase downward market mo- vement. Overreaction terhadap bad news dan underreac- tion terhadap good news seringkali diperkirakan sebagai penyebab asimetrik ini. Datangnya berita baik atau berita buruk ke pasar membawa implikasi yang asimetris terhadap volatilitas. Ketika berita negatif memasuki pasar, harga asset akan cenderung memasuki fase turbulen dan volatilitas me- ningkat, namun jika berita positif masuk ke pasar, volatilitas cenderung menurun dan pasar masuk pada fase tranquil. Proses transmisi yang besifat asimetrik merupakan temuan yang menarik dalam banyak studi. Investigasi atas respon yang bersifat asimetrik penting karena spillover/transmisi yang bersifat asimetrik merupakan sumber dari financial contagion. Dengan mengaplikasikan metode analisis yang dikem- bangkan oleh Engle (1982), investigasi terkait fenomena volatility spillover bursa saham Indonesia dengan Singapura yang dilakukan oleh Saadah (2013), menunjukkan temuan empirik penting yaitu, bahwa shock/volatilitas return yang terjadi di bursa saham Singapura dengan segera tertransmi- sikan ke bursa saham Indonesia, dan pola transmisinya terja- di secara asimetrik. Transmisi shock tersebut terjadi dengan intensitas yang lebih kuat ketika bursa saham Singapura ber- ada dalam fase dan trend yang sedang menurun (bear). Spillover yang bersifat asimetrik yang merupakan sumber dari financial contagion memiliki implikasi kebijakan pen- ting terutama bagi emerging markets. Dalam fase trend pasar naik, pasar di emerging market tampaknya terlepas dari pasar di negara yang lebih maju, namun selama fase pasar turun, emerging market dapat sangat terimbas oleh gelombang yang berasal dari developed market. Oleh karena itu emerging market harus berhati-hati dalam menghadapi risiko financial contagion yang berasal dari pasar negara yang lebih maju. Dalam konteks integrasi pasar ASEAN, tentu kehatian-hatian perlu ditingkatkan ketika negara me- nangkap sinyal penurunan kondisi keuangan global. Data historis menunjukkan bahwa Singapura merupakan negara yang pada awalnya paling terdampak oleh krisis keuangan global 2008. Diperlukan kebijakan makro yang cepat dan responsif ketika pasar eksternal memasuki fase yang menu- run (bear) terkait dengan lebih kuatnya transmisi goncangan eksternal dalam fase badtime ini. Berkembangnya era ekonomi kawasan menyebabkan pasar keuangan di suatu negara akan memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap goncangan-goncangan eksternal. Dalam situasi ini, upaya-upaya untuk menginvestigasi transmisi goncangan beserta pola transmisinya menjadi penting adanya dalam kerangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Dr. Siti Saadah Pengajar pada Prodi Ekonomi Keuangan dan Perbankan Unika Atma Jaya Atmasphere

Atmasphere 20 Juni 2016

Embed Size (px)

Citation preview

Integrasi Pasar Keuangan dan Fenomena Contagion Effect

Lebih dari satu dekade yang lalu, ASEAN telah setahap demi setahap menjadi kawasan ekonomi yang semakin terintegrasi. Puncaknya, seluruh negara anggota ASEAN

sepakat untuk mulai tahun 2015 mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN Economic Community (AEC) yang imple-mentasinya mengacu pada AEC Blueprint. Dalam kerangka ini, ASEAN akan menjadi pasar tunggal yang tidak hanya berbasis produksi tunggal dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas, namun juga arus modal yang lebih bebas diantara negara ASEAN. Dalam upaya menciptakan arus modal yang lebih bebas, cetak biru AEC memuat 2 (dua) inisiatif bagi negara-negara ASEAN yaitu (i) memperkuat pengembangan dan integrasi pasar modal ASEAN, dan (ii) meningkatkan arus modal di kawasan melalui proses liberalisasi. Liberalisasi arus modal di ASEAN didasari oleh keyakinan bahwa dengan lebih bebasnya aliran modal, akan mendorong arus investasi dan perdagangan internasional, penempatan modal yang lebih efisien, dan perkembangan pasar keuangan.

Disamping manfaat yang diharapkan dari proses liberali-sasi ini, terdapat potensi risiko yang mengancam kestabilan kondisi perekonomian suatu negara. Dalam era pasar yang terintegrasi dan keterbukaan arus modal, interdependensi antar pasar keuangan menjadi semakin meningkat, dampak-nya, pasar keuangan di suatu negara akan memiliki keren-tanan yang lebih tinggi terhadap goncangan yang terjadi di pasar keuangan negara lain. Dalam situasi demikian, upaya-upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik atas transmisi internasional dalam shock dan volatilitas antar pasar menjadi penting adanya terutama menyertai proses integrasi ekonomi dan keuangan yang intensitasnya semakin meningkat. Ini tentu saja dalam kerangka menjaga stabilitas sistem keuangan dalam perekonomian suatu negara.

Krisis ekonomi global 2008 yang bermula dari market crash AS yang diakibatkan oleh subprime mortgage, dalam waktu cepat menjalar ke sebagian besar belahan dunia terutama negara-negara maju yang secara ekonomi dan keuangan sangat terintegrasi dengan AS. Di Asia, banyak negara yang terkena dampak negatif krisis tersebut walaupun derajat dampaknya bervariasi antar negara. Saat itu, pada Oktober 2008 bursa saham Indonesia di-suspend untuk beberapa hari dikarenakan IHSG turun lebih dari 10%. Otoritas pasar modal pada saat itu menyatakan bahwa investor mengalami kepanikan dan tidak lagi bertindak rasional. Pada tahun 2008 IHSG tercatat mengalami penurunan sebesar 50,64%. Tidak mengherankan jika statistik variance return yang me-rupakan ukuran volatilitas meningkat tajam menjadi sekitar 0,07% dari sekitar 0,02% pada tahun sebelumnya.

Banyak kajian empirik yang menunjukkan bahwa integrasi pasar keuangan yang semakin berkembang menyebabkan pergerakan indikator kunci stock market di suatu negara dengan mudah dan segera dapat tertransmisikan ke stock

market di negara lain. Penjelasan untuk ini adalah contagion yang dalam prakteknya sering digunakan merujuk pada adanya transmisi dari keadaaan ekonomi suatu negara ke negara lain, dan contagion menjadi sangat penting ketika suatu negara mengalami krisis keuangan. Secara konseptu-al, penyebab contagion dapat dibedakan dalam dua faktor. Faktor pertama terkait dengan konsep rational channel, adanya ketergantungan normal antar perekonomian yang berdampak munculnya spillover effect. Ketergantungan ini menyebabkan goncangan perubahan harga asset pada suatu negara dapat ditrasmisikan ke negara lain melalui hubungan di sektor riil dan keuangan antar negara tersebut. Kejadian ini disebut sebagai fundamentals-based contagion. Faktor kedua, financial panic, terkait dengan penjelasan dari sisi perilaku pelaku pasar. Contagion ini terjadi karena faktor yang sifatnya tidak rasional dan tidak terkait dengan kondisi fundamental suatu negara. Krisis di suatu negara membuat pelaku pasar panik dan menarik investasi mereka termasuk dari negara-negara tetangganya tanpa memperhatikan kon-disi fundamentalnya. Mereka memandang region sebagai suatu entitas tunggal dan menganggap bahwa goncangan yang dihadapi suatu negara dalam sebuah kawasan berarti juga goncangan semua negara yang ada di kawasan itu. Kejatuhan New York Stock Exchange pada Oktober 2007 yang dikenal dengan istilah Black Monday, yang dengan se-gera diikuti oleh berjatuhannya harga-harga saham di nega-ra-negara lain, merupakan contoh dari market contagion.

Telah begitu banyaknya studi yang dilakukan untuk meng-kaji bagaimana pergerakan stock market di suatu pasar akan tertransmisikan ke pasar saham negara lainnya. Pada tahun 1982, Robert F. Engle (pemenang Nobel Ekonomi tahun 2003) mengembangkan metode analisis data time series

ekonomi yang mempunyai ciri time-varying volatility. Model yang dikembangkannya telah begitu luas diaplikasikan oleh banyak peneliti untuk menginvestigasi volatility spillover pasar keuangan antar negara.

Mekanisme transmisi volatilitas antar pasar sendiri bisa terjadi secara asimetrik. Volatilitas meningkat lebih besar setelah shock negatif dibanding setelah shock positif. Volatilitas dari satu pasar ke pasar lain juga tertransmisikan lebih cepat dan kuat selama fase downward market mo-vement. Overreaction terhadap bad news dan underreac-tion terhadap good news seringkali diperkirakan sebagai penyebab asimetrik ini. Datangnya berita baik atau berita buruk ke pasar membawa implikasi yang asimetris terhadap volatilitas. Ketika berita negatif memasuki pasar, harga asset akan cenderung memasuki fase turbulen dan volatilitas me-ningkat, namun jika berita positif masuk ke pasar, volatilitas cenderung menurun dan pasar masuk pada fase tranquil. Proses transmisi yang besifat asimetrik merupakan temuan yang menarik dalam banyak studi. Investigasi atas respon yang bersifat asimetrik penting karena spillover/transmisi yang bersifat asimetrik merupakan sumber dari financial contagion.

Dengan mengaplikasikan metode analisis yang dikem-bangkan oleh Engle (1982), investigasi terkait fenomena volatility spillover bursa saham Indonesia dengan Singapura yang dilakukan oleh Saadah (2013), menunjukkan temuan empirik penting yaitu, bahwa shock/volatilitas return yang terjadi di bursa saham Singapura dengan segera tertransmi-sikan ke bursa saham Indonesia, dan pola transmisinya terja-di secara asimetrik. Transmisi shock tersebut terjadi dengan intensitas yang lebih kuat ketika bursa saham Singapura ber-ada dalam fase dan trend yang sedang menurun (bear).

Spillover yang bersifat asimetrik yang merupakan sumber dari financial contagion memiliki implikasi kebijakan pen-ting terutama bagi emerging markets. Dalam fase trend pasar naik, pasar di emerging market tampaknya terlepas dari pasar di negara yang lebih maju, namun selama fase pasar turun, emerging market dapat sangat terimbas oleh gelombang yang berasal dari developed market. Oleh karena itu emerging market harus berhati-hati dalam menghadapi risiko financial contagion yang berasal dari pasar negara yang lebih maju. Dalam konteks integrasi pasar ASEAN, tentu kehatian-hatian perlu ditingkatkan ketika negara me-nangkap sinyal penurunan kondisi keuangan global. Data historis menunjukkan bahwa Singapura merupakan negara yang pada awalnya paling terdampak oleh krisis keuangan global 2008. Diperlukan kebijakan makro yang cepat dan responsif ketika pasar eksternal memasuki fase yang menu-run (bear) terkait dengan lebih kuatnya transmisi goncangan eksternal dalam fase badtime ini.

Berkembangnya era ekonomi kawasan menyebabkan pasar keuangan di suatu negara akan memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap goncangan-goncangan eksternal. Dalam situasi ini, upaya-upaya untuk menginvestigasi transmisi goncangan beserta pola transmisinya menjadi

penting adanya dalam kerangka menjaga stabilitas sistem keuangan.

Dr. Siti Saadah

Pengajar pada Prodi Ekonomi Keuangan dan Perbankan Unika Atma Jaya

Atmasphere