Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RI PADANG
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRAKTUR TERBUKA
EKSTREMITAS BAWAH DENGAN GANGGUAN CITRA TUBUH
DI RUANG TRAUMA CENTER RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG
KARYA TULIS ILMIAH
DWIRA MAYORIN
153110205
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN PADANG
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2018
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RI PADANG
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRAKTUR TERBUKA
EKSTREMITAS BAWAH DENGAN GANGGUAN CITRA TUBUH
DI RUANG TRAUMA CENTER RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar ahli madya
DWIRA MAYORIN
153110205
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN PADANG
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2018
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Dwira Mayorin
NIM : 153110205
Tempat Tanggal Lahir : Bukittinggi, 19 Agustus 1997
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Suku : Minang
Alamat : Jl. Setia Budi no. 9 Bukittinggi
Nama Ayah : Yunaldi
Nama Ibu : Mahdaleni
Riwayat Pendidikan
No Jenis Pendidikan Tempat Pendidikan Tahun
1 TK TK Negeri Pertiwi Bukittinggi 2002-2003
2 SD SD Negeri 01 Benteng Bukittinggi 2003-2006
SD Negeri 02 Percontohan Bukittinggi 2006-2009
3 SMP SMP Negeri 4 Bukittinggi 2009-2012
4 SMA SMA Negeri 3 Teladan Bukittinggi 2012-2015
5 DIII Keperawatan Poltekkes Kemenkes RI Padang 2015-2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Fraktur Terbuka Ekstremitas Bawah dengan
Gangguan Citra Tubuh di Ruang Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang
Tahun 2018”. Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar ahli madya pada Program Studi D III
Keperawatan Padang Poltekkes Kemenkes Padang. Saya menyadari bahwa tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada
penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
Karya Tulis Ilmiah ini.
Selama proses penyusunan proposal ini, penulis tidak terlepas dari dukungan berbagai
pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu dan membimbing dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Renidayati, S.Kp, M.Kep, Sp.Jiwa selaku pembimbing satu dan Bapak N.
Rachmadanur, S.Kp, MKM selaku pembimbing dua yang telah menyediakan
waktu, tenaga dan masukan untuk mengarahkan saya dalam penyusunan Karya
Tulis Ilmiah ini.
2. Bapak H. Sunardi, SKM., M.Kes selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Padang
3. Bapak Dr. H. Yusyirwan Yusuf, Sp. BA. MARS selaku Direktur Utama RSUP
Dr. M. Djamil Padang
4. Ibu Hj. Murniati Muchtar, SKM. M.Biomed selaku Ketua Jurusan
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Padang
5. Ibu Ns. Idrawati Bahar, S.Kep., M.Kep selaku Ketua Prodi D III Keperawatan
Padang Poltekkes Kemenkes Padang
6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Keperawatan Poltekkes Kemenkes Padang
yang telah memberikan bekal ilmu untuk bekal penulis
7. Orangtua dan keluarga penulis yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
8. Teman-teman yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
Karya Tulis Ilmiah ini.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan.
Padang, Juni 2018
Penulis
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN PADANG
Karya Tulis Ilmiah, Juni 2018
Dwira Mayorin
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur Terbuka Ekstremitas Bawah dengan
Gangguan Citra Tubuh di Ruang Trauma Center RSUP Dr. M.Djamil Padang”
Isi : xi + 73 Halaman, 2 Gambar, 1 Tabel, 13 Lampiran
ABSTRAK
Fraktur yaitu terputusnya kontinuitas tulang yang menimbulkan perubahan fisik
maupun psikologis yang menyebabkan perubahan pada aspek psikososial. Penyebab
terjadinya masalah psikososial gangguan citra tubuh salah satunya akibat seperti
fraktur ekstremitas bawah. Hasil penelitian Hamdani terdapat 24 orang (57%) dari 42
orang pasien fraktur ekstremitas bawah mengalami gangguan citra tubuh. Tujuan
penelitian untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien fraktur ekstremitas
bawah dengan gangguan citra tubuh di ruang Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Desain penelitian deskriptif berupa studi kasus. Penelitian dilakukan dari
Oktober 2017 sampai Juni 2018. Pengambilan sampel penelitian menggunakan metode
purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan dengan melakukan screening
terhadap 7 pasien lalu mengambil 2 pasien sesuai dengan kriteria. Pengumpulan data
menggunakan teknik wawancara, pemeriksaan fisik dan dokumentasi. Hasil penelitian
pada kedua pasien didapatkan diagnosa gangguan citra tubuh, risiko harga diri rendah
situasional, ketidakefektifan peforma peran dan ansietas. Intervensi dan implementasi
pada kedua pasien pada diagnosa gangguan citra tubuh dan risiko harga diri rendah
situasional sama, sedangkan pada pasien 1 dengan diagnosa ketidakefektifan peforma
peran dan diagnosa ansietas pada pasien 2 dilakukan implementasi sesuai dengan
rencana. Evaluasi keperawatan yaitu pasien sudah dapat menerima keadaan dan
kondisi tubuhnya saat ini, memahami perannya pada saat sakit, tidak cemas dan
mengalami peningkatan harga diri. Melalui direktur RSUP Dr.M.Djamil Padang
diharapkan perawat pelaksana dapat memberikan asuhan keperawatan masalah
psikososial gangguan citra tubuh pasien fraktur dengan pendekatan keperawatan jiwa
secara komprehensif. Dan bagi institusi pendidikan diharapkan agar dijadikan
kepustakaan dan pada peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian tentang
gangguan citra tubuh pada pasien fraktur.
Kata Kunci : Gangguan Citra Tubuh, Konsep Diri, Fraktur Ekstremitas Bawah
Daftar Pustaka : 36 (2007 – 2017)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ iv
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. v
ABSTRAK ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 7
C. Tujuan .................................................................................................. 7
D. Manfaat ................................................................................................ 8
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Fraktur .................................................................................................. 9
1. Definisi Fraktur ............................................................................. 9
2. Etiologi Fraktur ............................................................................. 9
3. Tipe Fraktur ................................................................................... 9
4. Tanda dan Gejala Klinis Fraktur .................................................... 10
5. Penatalaksanaan Fraktur ................................................................ 11
6. Dampak Psikososial Fraktur .......................................................... 12
B. Gangguan Citra Tubuh ......................................................................... 13
1. Konsep Diri .................................................................................... 13
2. Konsep Gangguan Citra Tubuh ..................................................... 15
3. Etiologi Gangguan Citra Tubuh .................................................... 16
4. Tanda dan Gejala Gangguan Citra Tubuh .................................... 17
5. Psikodinamika Gangguan Citra Tubuh ......................................... 19
C. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur dengan Gangguan
Citra Tubuh .......................................................................................... 20
1. Pengkajian Keperawatan ................................................................ 20
2. Diagnosa Keperawatan .................................................................. 28
3. Intervensi Keperawatan ................................................................. 29
4. Implementasi Keperawatan ............................................................ 34
5. Evaluasi Keperawatan .................................................................... 34
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 35
A. Desain Penelitian ................................................................................. 35
B. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 35
C. Populasi dan Sampel ............................................................................ 35
D. Alat dan Instrumen Pengumpulan Data ............................................... 37
E. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data .......................................... 37
F. Prosedur Penelitian .............................................................................. 39
G. Analisis Data ....................................................................................... 40
BAB IV PEMBAHASAN
A. Deskripsi Kasus
1. Pengkajian Keperawatan ............................................................... 41
2. Diagnosa Keperawatan ................................................................. 49
3. Intervensi Keperawatan ................................................................ 51
4. Implementasi Keperawatan ........................................................... 53
5. Evaluasi Keperawatan ................................................................... 54
B. Pembahasan
1. Pengkajian Keperawatan .............................................................. 56
2. Diagnosa Keperawatan ................................................................ 62
3. Intervensi Keperawatan ................................................................ 65
4. Implementasi Keperawatan .......................................................... 67
5. Evaluasi Keperawatan .................................................................. 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 72
B. Saran ................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Psikodinamika Gangguan Citra Tubuh ..................................... 19
Gambar 2.2 Pohon Masalah Gangguan Citra Tubuh .................................... 28
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan Berdasarkan NOC dan NIC ...................... 30
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Ganchart Penelitian
Lampiran 2. Inform Consent
Lampiran 3. Format Screening Gangguan Citra Tubuh
Lampiran 4. Format Pengkajian Keperawatan Partisipan 1
Lampiran 5. Format Pengkajian Keperawatan Partisipan 2
Lampiran 6. Surat Izin Pengambilan Data
Lampiran 7. Surat Izin Penelitian
Lampiran 8. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian
Lampiran 9. Lembar Konsultasi Proposal KTI Pembimbing I
Lampiran 10. Lembar Konsultasi Proposal KTI Pembimbing II
Lampiran 11. Lembar Konsultasi KTI Pembimbing I
Lampiran 12. Lembar Konsultasi KTI Pembimbing II
Lampiran 13. Daftar Hadir Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Undang Undang No.18 tahun 2014 kesehatan jiwa adalah kondisi dimana
seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial
sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi
tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya. Kesehatan jiwa yang baik bagi individu merupakan kondisi
individu tersebut terbebas dari segala jenis gangguan jiwa, dan kondisi individu
dapat berfungsi secara normal dalam menjalankan hidupnya khususnya dalam
menyesuaikan diri untuk menghadapi masalah-masalah yang mungkin ditemui
sepanjang hidupnya.
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan
di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO tahun 2017, terdapat sekitar
300 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena
skizofrenia, serta 47,5 juta orang terkena demensia. Menurut data Riskesdas
(2013), prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia yaitu 1,7 per mil dan
prevalensi ganggunan mental emosional dengan gejala depresi dan kecemasan
untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah
penduduk Indonesia.
Masalah kesehatan jiwa dapat diakibatkan oleh berbagai hal, misalnya karena
masalah fisik seperti karena kecelakaan, fraktur, amputasi, kerusakan penampilan
wajah, ulkus, serta kehilangan fungsi bagian tubuh (Keliat,2013). Hasil penelitian
Putri (2012) diketahui bahwa adanya hubungan antara kesehatan jiwa dan fisik,
dimana pada individu yang sakit secara fisik menunjukkan adanya masalah psikis
hingga gangguan jiwa. Sebaliknya, individu dengan gangguan jiwa juga
menunjukkan adanya gangguan fungsi fisiknya.
Masalah kesehatan jiwa salah satunya yaitu masalah psikososial. Masalah
psikososial merupakan masalah yang bersifat psikologis atau sosial yang timbul
karena adanya tekanan, masalah dan perubahan dalam diri individu yang
memberikan pengaruh timbal balik dan dianggap berpotensi sebagai faktor
penyebab gangguan jiwa (Kemenkes, 2012).
Penyebab terjadinya masalah psikososial salah satunya akibat masalah fisik seperti
fraktur ekstremitas bawah. WHO (2011), mencatat kejadian fraktur ekstremitas
akibat kecelakaan lalu lintas tahun 2011 sebanyak 1,3 juta jiwa. Sebanyak 67%
merupakan penduduk usia produktif. Estimasi kecelakaan lalu lintas di Indonesia
per 100.000 populasi mencapai 17,7%. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,
tercatat sebanyak 4.888 jiwa (5,8%) mengalami fraktur. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa masalah kesehatan akibat fraktur masih cukup besar.
Menurut Kemenkes RI (2011), dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia,
fraktur pada ekstremitas bawah memiliki prevalensi yang paling tinggi
diantaranya sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan fraktur ekstremitas bawah
akibat kecelakaan, 16.629 orang mengalami fraktur femur, 14.027 orang
mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang
mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil dikaki dan 336 orang mengalami
fraktur fibula.
Tanda dan gejala pada pasien yang mengalami fraktur terbuka ekstremitas bawah
yaitu adanya nyeri, deformitas, hematoma yang jelas, edema berat, terganggunya
integritas integumen yang akan berisiko terjadinya infeksi dan waktu
penyembuhannya lebih lama daripada fraktur tertutup. Pada pasien fraktur terbuka
atau kominutif dapat ditangani dengan pemasangan traksi (fiksator) internal atau
eksternal. Dengan adanya pemasangan alat, adanya keterbatasan gerak pada pasien
fraktur, perawatan yang mengharuskan pasien tirah baring dalam waktu lama,
kelemahan fisik, adanya luka akan dapat menimbulkan terjadinya perubahan pada
konsep diri pasien salah satunya citra tubuh, walaupun tidak semua pasien fraktur
terbuka ekstremitas bawah akan mengalami gangguan konsep diri (Brunner,
2017).
Konsep diri terdiri dari harga diri, ideal diri, peran diri, identitas diri dan citra
tubuh. Citra tubuh merupakan sekumpulan dari sikap individu yang disadari dan
tidak disadari terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta
perasaan tentang struktur, bentuk dan fungsi tubuh (Suhron, 2017).
Gangguan citra tubuh merupakan suatu perubahan persepsi tentang tubuh yang
diakibatkan oleh perubahan ukuran, bentuk, struktur, fungsi, makna, objek yang
sering kontak dengan tubuh. Gangguan tersebut diakibatkan kegagalan dalam
penerimaan diri akibat adanya persepsi yang negatif terhadap tubuhnya secara
fisik (Muhith, 2015).
Tanda dan gejala gangguan citra tubuh seperti adanya perubahan dan kehilangan
anggota tubuh, baik struktur, bentuk, maupun fungsi tubuh, pasien
mengungkapkan penolakan terhadap perubahan anggota tubuh saat ini, tidak ingin
melihat perubahan pada tubuh, merasa syok, marah, kehilangan, ketakutan, tidak
berdaya, tidak berharga, keputusasaan, dan aktivitas sosial berkurang. Dan jika
gangguan citra tubuh tersebut tidak segera diatasi, maka masalah ini dapat
menimbulkan masalah psikososial yang lebih berat seperti harga diri rendah,
isolasi sosial dan resiko bunuh diri bahkan gangguan jiwa berat (Keliat,2013).
Hasil penelitian Hariana, Sugi dan Yessi Ariani (2007), tentang respon adaptasi
klien dengan fraktur ekstremitas bawah selama masa rawatan di RSUP H. Adam
Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan dari 12 orang responden, terdapat
50% responden merasa kurang percaya diri bila berhadapan dengan orang lain,
33,4% responden merasa sesuatu yang buruk akan terjadi pada kakinya yang
patah, dan 41,7% responden mudah tersinggung dan murah marah.
Hasil penelitian Hamdani (2014), tentang gambaran citra tubuh pasien paska
operasi fraktur ekstremitas bawah di Rumah Sakit TK II Putri Hijau Medan
menunjukkan bahwa dari 42 orang responden terdapat 24 orang (57%) yang
mengalami gangguan citra tubuh dan 18 orang (43%) yang tidak mengalami
gangguan citra tubuh.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dibutuhkan peran perawat dengan
melakukan pengkajian secara psikologis (respon emosi) pasien selain melakukan
pengkajian kondisi fisik pasien dengan kemungkinan adanya perasaan cemas dan
malu melalui penilaian pasien terhadap kondisi tubuhnya. Perawat melakukan
pengkajian pada gambaran diri pasien dengan memperhatikan tingkat persepsi
pasien terhadap dirinya, menilai gambaran citra tubuh dan ideal diri pasien, serta
adanya gangguan penampilan peran dan gangguan identitas dengan meninjau
persepsi pasien terhadap perilaku pasien (Nurhalimah, 2016).
Menurut Keliat (2013) tindakan keperawatan yang sesuai dengan standar asuhan
keperawatan jiwa mencakup tindakan psikoterapeutik yang dilakukan kepada
pasien dengan menggunakan teknik komunikasi terapeutik dalam membina
hubungan dengan pasien dan keluarga agar pasien tidak lagi mempunyai gangguan
citra tubuh. Standar pelaksanaan yang diberikan untuk pasien yaitu membina
hubungan saling percaya, mendiskusikan tentang citra tubuh, dan cara
meningkatkan citra tubuh serta melatih interaksi secara bertahap. Sedangkan
strategi pelaksanaan untuk keluarga yaitu mendiskusikan tentang gangguan citra
tubuh, melatih keluarga cara merawat pasien dan menyusun rencana tindakan
untuk pasien.
RSUP Dr.M. Djamil Padang merupakan Rumah Sakit paripurna yang lulus
akreditasi dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dan telah memenuhi
syarat menjadi Rumah Sakit negri tipe A milik Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. RSUP Dr.M.Djamil Padang merupakan rumah sakit rujukan untuk
wilayah Sumatera Barat dan juga merupakan salah satu rumah sakit pendidikan di
Kota Padang.
Data Rekam Medis RSUP Dr.M.Djamil Padang pada tahun 2015 didapatkan
jumlah fraktur tibia fibula 55 pasien dan jumlah fraktur femur 44 pasien. Pada
tahun 2016 didapatkan jumlah fraktur tibia fibula 211 pasien dan fraktur femur
245 pasien. Jadi terjadi peningkatan angka kejadian fraktur tahun 2015 dan 2016
di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Angka kejadian gangguan citra tubuh di RSUP
Dr. M. Djamil Padang tahun 2017 tidak diketahui karena gangguan citra tubuh
tidak masuk dalam catatan rekam medis.
RSUP Dr. M. Djamil Padang memiliki Instalasi Rawat Inap Non Bedah dan
Instalasi Rawat Inap Bedah. Salah satu bagian dari Instalasi Rawat Inap Bedah di
RSUP Dr. M. Djamil Padang yaitu ruang Trauma Center. Ruang Trauma Center
merupakan ruangan bedah dengan jumlah rawatan pasien fraktur tertinggi di
RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada tanggal 29 November
2017 pukul 15.00 WIB, data di ruang Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil
Padang pada pasien fraktur ekstremitas bawah selama 3 bulan terakhir sebanyak
52 pasien, pada bulan September sebanyak 23 pasien, pada bulan Oktober
sebanyak 13 pasien sedangkan pada bulan November sebanyak 16 pasien.
Sedangkan data mengenai pasien fraktur ekstremitas bawah yang mengalami
gangguan citra tubuh belum terdata di ruang Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil
Padang.
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 1 Desember 2017 pukul 11.00 WIB
dengan 2 orang pasien post ORIF femur, 1 pasien mengatakan ia malu dengan
kondisinya saat ini dan malu jika teman dan orang lain berkunjung, serta ia tidak
mau orang lain melihat kondisi kakinya. Sedangkan 1 pasien lainnya mengatakan
ia merasa cemas dengan keadaan kakinya saat ini dan takut kakinya tidak bisa
berfungsi seperti dulu lagi. Hasil wawancara dengan 1 orang pasien fraktur femur
sinistra + fraktur digiti 2 distal tarsalia sinistra + fraktur humerus sinistra + fraktur
digiti 4,5 distal carpalia sinistra mengatakan ia takut melihat kondisi kaki dan
tangannya. Wawancara dengan keluarga pasien, ada keluarga pasien yang
memotivasi agar pasien tidak merasa malu dan bersabar dengan keadaan pasien
saat ini serta keluarga mengatakan perawat hanya memberikan perawatan fisik
seperti memberikan terapi obat. Dan hasil wawancara dengan 2 orang perawat,
perawat mengatakan pengkajian dan tindakan keperawatan masalah psikologis
yang dilakukan belum optimal.
Hasil observasi pendokumentasian asuhan keperawatan di ruangan, sudah ada
format pengkajian mengenai masalah psikologis, tetapi pengkajian dan
pendokumentasian mengenai masalah psikologis belum dilakukan perawat secara
optimal. Berdasarkan observasi dan wawancara di ruangan Trauma Center RSUP
Dr. M. Djamil Padang, gangguan citra tubuh lebih banyak terjadi dari pada
gangguan jiwa lainnya pada pasien fraktur.
Berdasarkan pengalaman penulis pada saat praktek lapangan di ruang Trauma
Center RSUP Dr. M. Djamil Padang pada bulan Agustus 2016, perawat di ruangan
kurang memberikan perhatian terhadap masalah psikososial pasien fraktur karena
perawat lebih mengutamakan memberikan perawatan fisik pasien dan terapi medis
pada pasien fraktur. Jika masalah psikososial seperti gangguan citra tubuh pada
pasien fraktur tidak teratasi dengan baik, maka hal tersebut dapat menimbulkan
masalah psikologis lain seperti harga diri rendah, ansietas, dan depresi serta juga
dapat menyebabkan timbulnya gangguan jiwa seperti isolasi sosial, halusinasi dan
risiko perilaku kekerasan.
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan diatas, maka penulis telah
melakukan penelitian tentang asuhan keperawatan pada pasien fraktur dengan
gangguan citra tubuh di ruang Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun
2018.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian adalah “Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien
fraktur terbuka ekstremitas bawah dengan gangguan citra tubuh di ruang Trauma
Center RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2018?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien fraktur terbuka ekstremitas
bawah dengan gangguan citra tubuh di ruang Trauma Center RSUP Dr. M.
Djamil Padang tahun 2018.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan pengkajian keperawatan pada pasien fraktur terbuka
ekstremitas bawah dengan gangguan citra tubuh di ruang Trauma Center
RSUP Dr. M.Djamil Padang.
b. Mendeskripsikan diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada
pasien fraktur terbuka ekstremitas bawah dengan gangguan citra tubuh di
ruang Trauma Center RSUP Dr. M.Djamil Padang.
c. Mendeskripsikan intervensi keperawatan pada pasien fraktur terbuka
ekstremitas bawah dengan gangguan citra tubuh di ruang Trauma Center
RSUP Dr. M.Djamil Padang.
d. Mendeskripsikan implementasi keperawatan pada pasien fraktur terbuka
ekstremitas bawah dengan gangguan citra tubuh di ruang Trauma Center
RSUP Dr. M.Djamil Padang.
e. Mendeskripsikan evaluasi keperawatan pada pasien fraktur terbuka
ekstremitas bawah dengan gangguan citra tubuh di ruang Trauma Center
RSUP Dr. M.Djamil Padang
f. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien fraktur terbuka
ekstremitas bawah dengan gangguan citra tubuh di ruang Trauma Center
RSUP Dr. M.Djamil Padang
D. Manfaat
1. Bagi Peneliti
Karya Tulis Ilmiah ini dapat menambah wawasan, ilmu pengetahuan dan
pengalaman serta mengetahui asuhan keperawatan pada pasien fraktur terbuka
ekstremitas bawah dengan gangguan citra tubuh.
2. Bagi Rumah Sakit
Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan masukan
bagi perawat dalam meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien fraktur
terbuka ekstremitas bawah dengan gangguan citra tubuh pada pasien fraktur.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan untuk
pembaharuan praktik keperawatan dan pemecahan masalah keperawatan pada
pasien fraktur terbuka ekstremitas bawah dengan gangguan citra tubuh.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Fraktur
1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah gangguan komplet atau tak komplet kontinuitas struktur tulang
sesuai dengan jenis dan keluasannya. Fraktur terjadi ketika tulang menjadi
subjek tekanan yang lebih besar dari yang dapat ditahannya (Brunner dan
Suddart, 2017). Menurut Bararah dan Jauhar, 2013 fraktur adalah patahnya
kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi menahan
tekanan yang diberikan kepadanya.
2. Etiologi Fraktur
Penyebab terjadinya fraktur yaitu adanya hantaman langsung, kekuatan yang
meremukkan, gerakan memuntir, gerakan memuntir mendadak, atau karena
kontraksi otot yang ekstrem. Ketika tulang patah, struktur disekitarnya akan
terganggu yang menyebabkan edema jaringan lunak, hemoragi ke otot dan
sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, gangguan saraf dan kerusakan pembuluh
darah. Organ tubuh dapat terluka akibat gaya yang disebabkan fraktur atau
fragmen fraktur (Brunner dan Suddart, 2017).
3. Tipe Fraktur
Tipe – tipe fraktur menurut Brunner dan Suddart, 2017 yaitu sebagai berikut :
a. Fraktur komplet : patah diseluruh penampang lintang tulang yang sering kali
tergeser.
b. Fraktur inkomplet atau disebut juga fraktur greenstick : patah hanya terjadi
pada sebagian penampang lintang tulang.
c. Fraktur remuk (comminuted) : patah dengan beberapa fragmen tulang.
d. Fraktur tertutup atau fraktur sederhana : patah yang tidak menyebabkan
robekan di kulit.
e. Fraktur terbuka atau fraktur campuran atau kompleks : patah dengan luka
pada kulit atau pada membran mukosa meluas ke tulang yang fraktur.
Derajat luka fraktur terbuka yaitu :
1) Derajat I : luka bersih sepanjang kurang dari 1cm
2) Derajat II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas
3) Derajat III : luka sangat terkontaminasi dan menyebabkan kerusakan
jaringan lunak yang luas.
f. Fraktur intra-artikular : patah tulang yang meluas ke permukaan sendi
tulang.
4. Tanda dan Gejala Klinis Fraktur
Manisfestasi klinis fraktur menurut Lukman, 2012 yaitu :
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi.
b. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
c. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya
tetap rigid seperti normal. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang
bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang normal.
d. Saat ekstremitas bagian yang fraktur diperiksa dengan tangan, teraba adanya
derik tulang dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fregmen
satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur
5. Penatalaksanaan Medis Fraktur
a. Segera setelah cedera, imobilisasi bagian tubuh sebelum pasien
dipindahkan.
b. Bebat fraktur termasuk sendi yang berada dekat fraktur untuk mencegah
pergerakan fragmen fraktur.
c. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat dilakukan dengan
membebat kedua tungkai bersama ekstremitas yang tidak cedera
berguna untuk membebat ekstremitas yang fraktur.
d. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebat ke dada atau lengan
bawah dan yang cedera dapat digendong dengan mitela.
e. Kaji status neurovaskular di sisi distal area cedera sebelum dan setelah
pembebatan untuk menentukan keadekuatan perfusi jaringan perfusi.
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Prinsip
penanganan fraktur dengan 4 R menurut Price dalam Wijaya dan Yessi,
2013 yaitu :
a. Rekognisi adalah menyangkut diagnosis fraktur pada tempat
kejadian dan kemudian di rumah sakit.
b. Reduksi adalah tindakan memanipulasi fragmen-fragmen tulang
yang patah agar dapat kembali seperti letak asalnya.
c. Retensi adalah aturan umum dalam pemasangan gips. Gips dipasang
untuk mempertahankan reduksi harus melewati sendi diatas fraktur
dan dibawah fraktur.
d. Rehabilitasi adalah pengobatan dan penyembuhan fraktur.
Penatalaksanaan keperawatan fraktur menurut Brunner dan Suddart
(2017), yaitu sebagai berikut :
a. Penatalaksanaan Fraktur Tertutup
1) Informasikan pasien mengenai metode pengontrolan edema dan
nyeri yang tepat misalnya meninggikan ekstremitas setinggi
jantung, memberikan analgesik sesuai resep dokter.
2) Ajarkan latihan untuk mempertahankan kekuatan otot pada
ekstremitas yang tidak terganggu dan memperkuat otot yang
digunakan untuk berpindah tempat dan menggunakan alat bantu
misalnya tongkat, walker.
3) Ajarkan pasien menggunakan alat bantu dengan benar.
4) Berikan pendidikan kesehatan pada pasien mengenai perawatan
diri, informasi, medikasi, pemantauan kemungkinan komplikasi
dan perlu supervisi layanan kesehatan yang berkelanjutan.
b. Penatalaksanaan Fraktur Terbuka
1) Sasaran penatalaksanaan ialah untuk mencegah infeksi luka,
jaringan lunak dan tulang serta untuk meningkatkan pemulihan.
Pada kasus fraktur terbuka, terdapat resiko osteomielitis, tetanus
dan gangren.
2) Berikan antibiotik IV dan tetanus toksoid jika diperlukan.
3) Lakukan irigasi luka dan debridement.
4) Tinggikan ekstremitas untuk meminimalkan edema.
5) Kaji status neurovaskular.
6) Ukur suhu tubuh pasien dalam interval teratur dan pantau tanda-
tanda infeksi.
6. Dampak Psikososial Fraktur
Pada pasien fraktur, periode penyembuhan fraktur serta bekas luka setelah
pelepasan dan pemasangan alat dapat menimbulkan dampak psikologis,
sosial, dan spiritual. Sejumlah masalah psikologis yang ditemui pada
pasien fraktur yaitu depresi, gangguan emosional, gangguan konsep diri
seperti harga diri rendah, perubahan peran, dan citra tubuh
(Prasetyo,2014).
Pada pasien fraktur terbuka atau kominutif dapat ditangani dengan
pemasangan traksi (fiksator) internal atau eksternal. Dengan adanya
pemasangan alat, adanya keterbatasan gerak pada pasien fraktur,
perawatan yang mengharuskan pasien tirah baring dalam waktu lama,
kelemahan fisik, adanya luka akan dapat menimbulkan terjadinya
perubahan pada konsep diri pasien salah satunya citra tubuh, walaupun
tidak semua pasien fraktur terbuka ekstremitas bawah akan mengalami
gangguan konsep diri (Brunner dan Suddart, 2017).
Oleh karena itu perawat perlu mengkaji masalah psikososial seperti konsep
diri gangguan citra tubuh yang timbul karena penyakit atau karena adanya
fraktur atau trauma (Brunner dan Suddart, 2017).
B. Gangguan Citra Tubuh
1. Konsep Diri
Konsep diri adalah pengetahuan individu tentang dirinya sendiri, merupakan
gambaran tentang diri dan gabungan kompleks dari perasaan,sikap dan persepsi
baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Konse diri merupakan
representasi psikis individu yang dikelilingi dengan semua persepsi dan
pengalaman yang terorganisir (Potter dan Perry, 2005 dalam Dermawan dan
Deden, 2013).
Menurut Suhron (2017), menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan
gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan,
keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya.
Konsep diri terbagi menjadi 5 yaitu :
a. Identitas diri
Merupakan kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan
penilaian yang merupakan sintesis dari semua aspek konsep diri sebagai
suatu kesatuan yang utuh.
b. Harga diri
Merupakan penilaian terhadap hasil yang dicapai dengan analisis, sejauh
mana perilaku memenuhi ideal diri.
c. Ideal diri
Merupakan persepsi individu tentang bagaimana ia harus berprilaku sesuai
dengan standar perilaku.
d. Peran diri
Merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial
yang berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial.
e. Citra tubuh
Merupakan sekumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari
terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan
tentang struktur, bentuk dan fungsi tubuh.
Citra tubuh adalah jumlah dari sikap sadar dan bawah sadar seseorang terhadap
tubuh sendiri. Hal ini termasuk persepsi sekarang dan masa lalu serta perasaan
tentang ukuran, fungsi, bentuk/penampilan, dan potensi. Citra tubuh terus
berubah saat persepsi dan pengalaman baru terjadi dalam kehidupan. Eksistensi
tubuh menjadi penting dalam mengembangkan citra tubuh seseorang.
(Stuart,2013).
Individu yang stabil, realistis, dan konsisten terhadap gambaran dirinya akan
memperlihatkan kemampuan yang baik terhadap realisasi yang akan memacu
sukses dalam kehidupan. Pandangan individu yang realistis terhadap dirinya
dengan menerima segala hal dari dirinya akan membuat individu tersebut
terhindar dari rasa cemas sehingga dapat meningkatkan harga dirinya. Sikap
individu terhadap tubuhnya mencerminkan aspek penting dalam dirinya
misalnya perasaan menarik atau tidak, gemuk atau tidak, dan sebagainya
(Yusuf, dkk, 2015).
Citra tubuh terbagi menjadi dua macam yaitu :
a. Citra tubuh positif
Citra tubuh yang positif merupakan suatu persepsi individu yang benar
mengenai bentuk tubuh individu tersebut. Individu tersebut melihat dirinya
sendiri sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan menghargai tubuhnya
apa adanya. Dan individu tersebut memahami bahwa tubuh atau penampilan
fisik seseorang itu hanya berperan kecil, sehingga ia menerima bentuk
tubuhnya yang memiliki keunikan tersendiri dan tidak membuang waktu
untuk memikirkan bentuk tubuhnya dan merasa nyaman dengan bentuk
tubuhnya walaupun individu tersebut mempunyai kekurangan dalam segi
fisik (Dewi, 2009).
b. Citra tubuh negatif
Citra tubuh yang negatif yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan
merasa tidak mampu untuk mencapai sesuatu yang berharga, sehingga
menuntun diri kearah kelemahan dan emosional yang dapat menimbulkan
keegoisan yang menciptakan suatu penghancuran diri Contohnya, pada
pasien yang mengalami fraktur terbuka akan tampak jelas bentuk luka
tersebut sehingga dapat menyebabkan pasien tersebut merasa malu dan
cemas yang menandakan citra tubuh pasien negatif (Suhron, 2017).
2. Konsep Gangguan Citra Tubuh
Gangguan citra tubuh adalah perubahan persepsi tentang tubuh yang
diakibatkan oleh perubahan ukuran, bentuk, struktur, fungsi, makna, objek yang
sering kontak dengan tubuh. Gangguan tersebut diakibatkan kegagalan dalam
penerimaan diri akibat adanya persepsi yang negatif terhadap tubuhnya secara
fisik (Muhith, 2015).
Pada pasien yang mengalami ganggguan citra tubuh, ia akan mempersepsikan
tubuhnya tersebut memiliki kekurangan dan ia tidak dapat menjaga integritas
tubuhnya sehingga ketika berhubungan dengan lingkungan sosial ia akan
merasa rendah diri. Misalnya pada pasien yang dirawat dirumah sakit umum,
perubahan citra tubuh sangat mungkin terjadi karena terjadinya perubahan
struktur tubuh karena tindakan invasif, penyuntikan, pemasangan alat kesehatan
dan lainnya (Muhith 2015).
3. Etiologi Gangguan Citra Tubuh
a. Faktor Predisposisi
1) Biologi
Harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai
karena dirawat atau sakit. Stresor fisik atau jasmani yang lain seperti suhu
dingin atau panas, rasa nyeri atau sakit, kelelahan fisik, lingkungan yang
tidak memadai.
2) Psikologi
Penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan
yang berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis. Stressor
lainnya adalah konflik, tekanan, krisis dan kegagalan.
3) Sosio kultural
Faktor sosio kultural yang mempengaruhi seperti peran, gender, tuntutan
peran kerja, harapan peran budaya, tekanan dari kelompok sebaya dan
perubahan struktur sosial.
4) Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh.
5) Proses patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktur maupun
fungsi tubuh.
6) Prosedur pengobatan seperi radiasi, transplantasi, kemoterapi
7) Faktor predisposisi gangguan harga diri
8) Penolakan dari orang lain.
9) Kurang penghargaan.
10) Pola asuh yang salah
11) Kesalahan dan kegagalan yang berulang.
12) Tidak mampu mencapai standar yang ditentukan (Stuart,2013).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat disebabkan oleh faktor dari dalam atau faktor dari
luar individu terdiri dari :
1) Operasi seperti mastektomi, amputasi, luka operasi
2) Ketegangan peran adalah perasaan frustasi ketika individu merasa tidak
adekuat melakukan peran atau melakukan peran yang bertentangan
dengan hatinya atau tidak merasa cocok dalam melakukan perannya.
3) Perubahan ukuran dan bentuk, penampilan atau fungsi tubuh.
4) Perubahan fisik yang berkaitan dengan tumbuh kembang normal.
5) Prosedur medis dan perawatan (Stuart,2013).
4. Tanda dan Gejala Gangguan Citra Tubuh
Berikut tanda dan gejala gangguan citra tubuh menurut Keliat, 2013 yaitu :
a. Data Objektif
Data objektif yang dapat diobservasi dari pasien gangguan citra tubuh yaitu :
1) Perubahan dan kehilangan anggota tubuh, baik struktur, bentuk, maupun
fungsi
2) Pasien menyembunyikan bagian tubuh yang terganggu.
3) Pasien menolak melihat bagian tubuh.
4) Pasien menolak menyentuh bagian tubuh.
5) Aktivitas sosial pasien berkurang.
b. Data Subjektif
Data subjektif didapatkan dari hasil wawancara, pasien dengan gangguan
citra tubuh biasanya mengungkapkan :
1) Pasien mengungkapkan penolakan terhadap perubahan anggota tubuh
saat ini, misalnya tidak puas dengan hasil operasi, ada anggota tubuh
yang tidak berfungsi, dan menolak berinteraksi dengan orang lain.
2) Pasien mengungkapkan perasaan tidak berdaya,malu, tidak berharga,
dan keputusasaan.
3) Pasien mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi terhadap bagian
tubuh yang terganggu.
4) Pasien sering mengungkapkan kehilangan.
5) Pasien merasa asing terhadap bagian tubuh yang hilang.
Beberapa gangguan pada citra tubuh tersebut dapat menunjukkan tanda dan
gejala sebagai berikut (Muhith, 2015) yaitu :
a. Respon pasien adaptif
1) Syok psikologis
Merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan dan dapat
terjadi pada saat pertama tindakan. Informasi yang banyak dan
kenyataan perubahan tubuh membuat pasien menggunakan mekasnisme
pertahanan diri seperti mengingkari, menolak dan proyeksi untuk
mempertahankan keseimbangan diri.
2) Menarik diri
Pasien menjadi sadar pada kenyataan, tetapi karena ingin lari dari
kenyataan maka pasien akan menghindar secara emosional. Hal tersebut
menyebabkan pasien menjadi pasif, tergantung pada orang lain, tidak
ada motivasi dalam perawatan dirinya sendiri.
3) Penerimaan atau pengakuan secara bertahap
Setelah pasien sadar akan kenyataan, maka respon kehilangan atau
berduka akan muncul. Dan setelah fase ini pasien akan mulai
melakukan reintegrasi terhadap gambaran dirinya yang baru.
b. Respon pasien maladaptif
1) Menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang berubah.
2) Tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh.
3) Mengurangi kontak sosial sehingga bisa terjadi isolasi sosial.
4) Perasaan atau pandangan negatif terhadap tubuhnya
5) Mengungkapkan keputusasaan
6) Mengungkapkan ketakutan akan ditolak
7) Menolak penjelasan mengenai perubahan citra tubuhnya
5. Psikodinamika Gangguan Citra Tubuh
Cenderung mengikuti
halusinasi Sering menghayal Melakukan ancaman,
menghardik, memukul
Pengalaman sensori
berlanjut Halusinasi Risiko Perilaku
Kekerasan
Aktivitas sosial Tidak mau
berkomunikasi
Mengungkapkan
perasaan tidak berdaya,
tidak berharga
Harga Diri
Rendah
Acuh tak acuh,
mengurung diri
Isolasi Sosial
Perubahan ukuran, bentuk,
dan fungsi tubuh
Koping Maladaptif
Penyakit Prosedur medis
Gangguan
Citra Tubuh
Cenderung berpikiran
negatif terhadap
tubuhnya
C. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur dengan Gangguan Citra Tubuh
Standar asuhan keperawatan atau standar praktik keperawatan mengacu pada
standar praktik profesional dan standar kerja profesional. Standar praktik
profesional tersebut juga mengacu pada proses keperawatan jiwa yang terdiri dari
lima tahap standar, yaitu pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi, dan
evaluasi (NANDA, 2016).
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan
dan merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data (Muhith,
2015). Menurut Stuart dan Laraia dalam Prabowo (2014), data yang
dikumpulkan pada tahap pengkajian meliputi data biologis, psikologis,
sosial dan spiritual. Cara pengkajian lain berfokus pada lima dimensi yaitu
fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual.
Isi dari pengkajian meliputi :
a. Identitas Pasien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, pendidikan, status perkawinan, tanggal masuk RS, asuransi,
nomor rekam medis, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
b. Identitas Penanggung Jawab
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat dan
hubungan dengan pasien.
c. Alasan Masuk
Yang menyebabkan pasien masuk Rumah Sakit dan dirawat Biasanya
pasien masuk karena kecelakaan, fraktur, luka bakar, mengalami
penganiayaan fisik.
d. Riwayat Penyakit Sekarang dan Faktor Presipitasi
Biasanya pasien mengalami perubahan kondisi fisik, seperti adanya
fraktur, amputasi, luka bakar yang dapat menimbulkan masalah
psikologis pada pasien.
e. Faktor Predisposisi
Biasanya pasien mempunyai riwayat gangguan jiwa, pernah melakukan
atau mengalami penganiayaan fisik atau seksual, kekerasan dalam
keluarga.
f. Pemeriksaan Fisik
Meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan dan
keluhan fisik yang dirasakan pasien seperti adanya fraktur.
g. Pengkajian Psikososial
1) Genogram
Genogram menggambarkan mengenai silsilah dan riwayat penyakit
pasien dan keluarga.
2) Konsep Diri
a) Citra tubuh
Kaji mengenai persepsi pasien terhadap tubuhnya, bagian tubuh
yang disukai dan bagian tubuh yang tidak disukai. Persepsi pasien
terhadap citra tubuhnya dapat positif maupun negatif. Biasanya
pasien yang mengalami gangguan citra tubuh akan memiliki citra
tubuh yang negatif.
b) Identitas diri
Kaji mengenai status dan posisi pasien sebelum dirawat, kepuasan
pasien terhadap status dan posisinya serta keunikan yang
dimilikinya sesuai dengan jenis kelamin dan posisinya.
c) Harga diri
Kaji mengenai hubungan pasien dengan orang lain sesuai dengan
kondisi, dampak pada pasien dalam berhubungan dengan orang
lain, ideal diri tidak sesuai harapan, dan penilaian pasien terhadap
pandangan atau penghargaan orang lain terhadap dirinya.
d) Ideal diri
Kaji mengenai harapan pasien terhadap keadaan tubuh yang ideal,
tugas, pekerjaan, lingkungan serta peran pasien dalam keluarga.
Dan harapan pasien terhadap penyakitnya serta adanya kesesuaian
antara harapan dan kenyataan.
e) Peran diri
Kaji mengenai tugas atau peran pasien dalam keluarga, pekerjaan,
kelompok masyarakat, kemampuan pasien dalam melaksanakan
fungsi dan perannya, perubahan yang terjadi saat pasien dirawat
serta perasaan pasien terhadap perubahan tersebut.
3) Hubungan Sosial
Kaji mengenai orang penting bagi pasien, upaya yang dilakukan
pasien dalam menghadapi masalah, adanya hambatan dalam
berhubungan dengan orang lain, keterlibatan pasien mengikuti dalam
kegiatan kelompok atau masyarakat.
4) Spiritual
Kaji mengenai nilai dan keyakinan, kegiatan ibadah serta kepuasan
pasien dalam menjalankan ibadah.
h. Status Mental
1) Penampilan
Melihat penampilan pasien dan cara pasien menggunakan pakaian
yang sesuai dan seperti biasanya, nilai ketidakmampuan pasien
dalam berpenampilan terhadap status psikologis pasien.
2) Pembicaraan
Amati cara pasien dalam berbicara apakah cepat, keras, gagap,
sering terhenti, lambat, membisu, menghindar, tidak mampu
memulai pembicaraaan.
3) Aktivitas motorik
Amati aktivitas motorik pasien apakah lesu, tegang, gelisah, agitasi
atau pun tremor.
4) Afek dan Emosi
a) Afek
Kaji afek pasien meliputi :
1) Adekuat merupakan perubahan roman muka yang sesuai
dengan stimulus eksternal.
2) Datar merupakan tidak adanya perubahan roman muka saat
ada stimulus yang menyenangkan maupun menyedihkan.
3) Tumpul merupakan reaksi yang timbul ketika ada stimulus
emosi yang sangat kuat
4) Labil merupakan emosi pasien yang cepat berubah-rubah.
5) Tidak sesuai merupakan emosi yang bertentangan atau
berlawanan dengan stimulus.
b) Emosi
Kaji mengenai perasaan kesepian, apatis, marah, anhedonia,
eforia, depresi, sedih dan cemas yang dirasakan oleh pasien.
5) Interaksi selama wawancara
a) Kooperatif : pasien berespon dengan baik terhadap
pewawancara
b) Tidak kooperatif : pasien tidak dapat menjawab pertanyaan
pewawancara dengan spontan
c) Mudah tersinggung
d) Bermusuhan : pasien berkata atau berpandangan yang tidak
baik, tidak bersahabat atau tidak ramah.
e) Kontak kurang : pasien tidak mau menatap lawan bicara.
f) Curiga : pasien menunjukkan sikap atau peran tidak percaya
kepada pewawancara atau orang lain.
6) Persepsi sensori
a) Halusinasi
Kaji apakah pasien mengalami gangguan persepsi halusinasi
pendengaran, penglihatan, perabaan, pengecapan, dan
penciuman.
b) Ilusi
c) Depersonalisasi
d) Derealisasi
7) Proses pikir
a) Bentuk pikir
1) Otistik : pasien hidup dalam dirinya sendiri dan cenderung
tidak memperdulikan lingkungannya.
2) Dereistik : proses mental pasien tidak diikuti dengan
kenyataan, logika dan pengalaman.
3) Non realistik : pikiran pasien tidak sesuai kenyataan.
b) Arus pikir
1) Sirkumstansial : pasien berbicara berbelit-belit tapi sampai
pada tujuan
2) Tangensial : pasien berbicara berbelit-belit tapi tidak sampai
pada tujuan
3) Kehilangan dan asosiasi : tidak ada hubungan antara satu
kalimat dengan kalimat lainnya dalam pembicaraan pasien.
4) Flight of ideas : cara bicara pasien meloncat dari satu topik
ke topik lainnya.
5) Bloking : cara bicara pasien terhenti tiba-tiba tanpa ada
gangguan dari luar kemudian dilanjutkan kembali
6) Perseferasi : dalam berbicara pasien menggunakan kata-kata
yang diulang berkali-kali
7) Perbigerasi : dalam berbicara pasien menggunakan kalimat
yang diulang berkali-kali.
c) Isi pikir
1) Obsesi merupakan pikiran yang selalu muncul walaupun
pasien berusaha menghilangkannya.
2) Phobia merupakan ketakutan yang patologis atau tidak logis
terhadap objek atau situasi tertentu.
3) Hipokondria merupakan keyakinan terhadap gangguan
organ tubuh yang sebenarnya tidak ada
4) Depersonalisasi merupakan perasaan pasien yang asing
terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan
5) Ide yang terkait merupakan keyakinan pasien terhadap
kejadian yang terjadi dilingkungan yang bermakna dan
terkait dengan diri pasien
6) Pikiran magis merupakan keyakinan pasien tentang
kemampuannya dalam melakukan hal yang mustahil atau
diluar kemampuannya.
7) Waham
(a) Agama, keyakinan pasien terhadap suatu agama yang
berlebihan dan diucapkan berulang-ulang tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan
(b) Somatik merupakan keyakinan pasien terhadap
tubuhnya dan diucapkan berulang-ulang tetapi tidak
sesuai dengan keyakinan.
(c) Kebesaran merupakan keyakinan pasien yang berlebihan
terhadap kemampuannya dan diucapkan secara
berulang-ulang tapi tidak sesuai kenyataan
(d) Curiga merupakan keyakinan pasien bahwa ada orang
yang berusaha merugikan, mencederai dirinya yang
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
8) Tingkat kesadaran
a) Bingung : pasien tampak bingung dan kacau atau perilaku
pasien tidak mengarah pada tujuan
b) Sedasi : pasien mengatakan merasa melayang-layang antara
sadar dan tidak sadar
c) Stupor : terjadinya gangguan motorik seperti ketakutan, ada
gerakan yang diulang-ulang tetapi pasien mengerti semua hal
yang terjadi diligkungannya.
9) Orientasi
Meliputi orientasi terhadap waktu, tempat dan orang.
10) Memori
a) Gangguan mengingat jangka panjang yaitu tidak dapat
mengingat kejadian lebih dari satu bulan.
b) Gangguan mengingat jangka pendek yaitu tidak dapat
mengingat kejadian dalam minggu terakhir.
c) Gangguan mengingat saat ini yaitu tidak dapat mengingat
kejadian yang baru saja terjadi.
d) Konfabulasi yaitu hal yang dibicarakan pasien tidak sesuai
dengan kenyataan dengan memasukkan cerita yang tidak benar
untuk menutupi gangguan daya ingatnya.
11) Tingkat konsentrasi
a) Mudah beralih : perhatian pasien mudah berganti dari satu
objek ke objek lainnya
b) Tidak mampu berkonsentrasi : pasien selalu meminta agar
pertanyaan yang diajukan diulang karena tidak dapat
menangkap apa yang ditanyakan.
c) Tidak mampu berhitung : pasien tidak dapat melakukan
penambahan atau pengurangan pada benda yang nyata.
12) Kemampuan penilaian
Kaji mengenai kemampuan pasien dalam menilai situasi, kemudian
bandingkan dengan yang seharusnya
13) Daya tilik diri
a) Pasien mengingkari penyakit yang dideritanya, yaitu pasien
tidak menyadari gejala penyakit serta perubahan fisik dan emosi
pada dirinya dan merasa tidak butuh bantuan orang lain.
b) Pasien menyalahkan hal-hal diluar dirinya dengan menyalahkan
orang lain atau lingkungan yang menyebabkan timbulnya
penyakit atau masalah.
i. Kebutuhan Persiapan Pulang
Kaji mengenai pola makan, pola eliminasi, mandi, berpakaian, istirahat
dan tidur, penggunaan obat, pemeliharaan kesehatan, aktivitas di dalam
rumah serta aktivitas di luar rumah.
j. Mekanisme Koping
Data didapatkan melalui wawancara dengan pasien dan keluarganya.
Mekanisme koping terbagi dua yaitu :
1) Mekanisme koping jangka pendek
a) Memberikan pelarian sementara dari krisis identitas
b) Memberikan identitas pengganti sementara
c) Sementara memperkuat atau meningkatkan rasa membaur
dengan diri (Stuart, 2013).
2) Mekanisme koping jangka panjang
a) Menutup identitas
b) Identitas negatif, yaitu asumsi yang bertentangan dengan nilai
dan harapan masyarakat.
k. Masalah Psikososial dan Lingkungan
Kaji mengenai masalah yang berhubungan dengan pendidikan,
pekerjaan, ekonomi, pelayanan kesehatan dan lingkungan.
l. Tingkat Pengetahuan
Kaji mengenai masalah yang berkaitan dengan tingkat pendidikan
pasien misalnya tentang penyakit fisik, gangguan jiwa, faktor
predisposisi dan faktor presipitasi, mekanisme koping serta obat-obatan.
m. Aspek Medis
Merupakan diagnosa medis yang menyangkut masalah psikososial,
obat-obatan pasien saat ini baik obat fisik, psikofarmaka dan terapi
lainnya.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu cara mengidentifikasi, memfokuskan
dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respon terhadap masalah
aktual maupun risiko (Prabowo, 2014).
Diagnosa keperawatan gangguan citra tubuh dapat ditegakkan karena
terjadinya penurunan atau perubahan bentuk, fungsi, penampilan tubuh
serta kehilangan struktur tubuh tertentu pada pasien. Jika masalah
psikososial gangguan citra tubuh tidak diatasi dengan benar, maka akan
mengakibatkan pasien mengalami harga diri rendah.
Berikut pohon masalah dari gangguan citra tubuh yaitu sebagai berikut:
Pohon Masalah
Harga Diri Rendah
Gangguan Citra Tubuh
Kehilangan atau penurunan
bentuk dan fungsi tubuh
Akibat
Core Problem
Etiologi
Gambar 2.2
Pohon Masalah Gangguan Citra Tubuh (Nurhalimah, 2016)
Berdasarkan pohon masalah gangguan citra tubuh diatas, dapat ditegakkan
diagnosa keperawatan sebagai berikut :
a. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan cedera
b. Risiko harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan
citra tubuh
c. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan penampilan fisik
(NANDA, 2016).
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan disesuaikan dengan standar asuhan keperawatan
masalah psikososial yang mencakup tindakan psikoterapeutik yaitu
penggunaan berbagai teknik komunikasi terapeutik dalam membina
hubungan dengan pasien dan keluarga.
Intervensi keperawatan pada pasien fraktur dengan gangguan citra tubuh
menggunakan dua acuan yaitu berdasarkan strategi pelaksanaan pasien dan
keluarga serta intervensi keperawatan berdasarkan standar NOC (Nursing
Outcomes Classification) dan NIC (Nursing Interventions Classification).
Menurut Keliat (2013), Strategi Pelaksanaan (SP) pasien dan Strategi
Pelaksanaan (SP) keluarga pada pasien dengan gangguan citra tubuh yaitu
sebagai berikut :
a. Strategi Pelaksanaan Pasien
1) SP 1
a) Membina hubungan saling percaya antara perawat dan pasien
b) Mendiskusikan tentang gangguan citra tubuh
c) Mendiskusikan penerimaan terhadap gangguan citra tubuh
d) Mendiskusikan tentang aspek positif pada diri pasien
e) Mendiskusikan cara meningkatkan citra tubuh
2) SP 2
a) Mengevaluasi kegiatan yang sudah dilakukan
b) Mengidentifikasi dan melakukan cara meningkatkan citra tubuh
c) Melatih pasien berinteraksi secara bertahap
b. Strategi Pelaksanaan Keluarga
1) SP 1
a) Mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga
b) Menjelaskan mengenai gangguan citra tubuh
c) Menjelaskan cara mengatasi gangguan citra tubuh
2) SP 2
a) Mengevaluasi mengenai kegiatan sebelumnya
b) Menyusun rencana keperawatan bersama keluarga pasien yang
mengalami gangguan citra tubuh
c) Melatih keluarga cara merawat pasien gangguan citra tubuh
Tabel 2.1
Intervensi keperawatan berdasarkan standar NOC (Nursing Outcomes Classification)
dan NIC (Nursing Interventions Classification)
No Diagnosa NOC NIC
1. Gangguan citra
tubuh berhubungan
dengan cedera
Citra Tubuh
Indikator :
a. Kesesuaian antara
realitas tubuh dan
ideal tubuh dengan
penampilan tubuh
b. Deskripsi bagian
tubuh yang terkena
dampak
c. Sikap terhadap
menyentuh bagian
tubuh yang terkena
dampak
d. Kepuasan dengan
penampilan tubuh.
e. Penyesuaian
terhadap perubahan
tampilan fisik
f. Penyesuaian
terhadap perubahan
Peningkatan Citra Tubuh
Aktivitas :
a. Tentukan jika terdapat perasaan
tidak suka terhadap karakteristik
fisik khusus yang menciptakan
fungsi paralisis sosial untuk
remaja dan kelompok dengan
risiko tinggi lain
b. Tentukan perubahan fisik saat
ini apakah berkontribusi pada
citra tubuh pasien
c. Bantu pasien memisahkan
penampilan fisik dari perasaan
berharga secara pribadi, dengan
cara yang tepat
d. Bantu pasien mendiskusikan
stressor yang mempengaruhi
citra tubuh terkait dengan
kondisi kongenital, cedera,
penyakit atau pembedahan
fungsi tubuh
g. Penyesuaian
terhadap perubahan
status kesehatan
h. Penyesuaian
terhadap perubahan
tubuh akibat cedera
i. Penyesuaian
terhadap perubahan
tubuh akibat
pembedahan
e. Identifikasi dampak dari budaya
pasien, agama, ras, jenis
kelamin terkait dengan citra
tubuh
f. Monitor frekuensi dari
pernyataan mengkritis diri
g. Monitor apakah pasien bisa
melihat bagian tubuh mana yang
berubah
h. Tentukan persepsi pasien dan
keluarga terkait dengan
perubahan citra tubuh
i. Tentukan apakah perubahan
citra tubuh berkontribusi pada
peningkatan isolasi sosial
j. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi bagian
tubuhnya yang memiliki
persepsi positif terkait dengan
tubuhnya
k. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi tindakan yang
akan meningkatkan penampilan
2. Risiko harga diri
rendah situasional
berhubungan
dengan gangguan
citra tubuh
Harga Diri
Indikator :
a. Verbalisasi
penerimaan diri
b. Mempertahankan
kontak mata
c. Gambaran diri
d. Komunikasi terbuka
e. Tingkat kepercayaan
diri
f. Penerimaan
terhadap pujian dari
orang lain
g. Penerimaan
terhadap kritik yang
membangun
h. Gambaran tentang
bangga pada diri
sendiri
i. Perasaan tentang
nilai diri
Peningkatan Harga Diri
Aktivitas :
a. Monitor pernyataan pasien
mengenai harga diri
b. Tentukan kepercayaan diri
pasien dalam hal penilaian diri
c. Bantu pasien untuk menemukan
penerimaan diri
d. Dukung pasien melakukan
kontak mata pada saat
berkomunikasi dengan orang
lain
e. Dukung pasien untuk terlibat
dalam memberikan afirmasi
positif melalui pembicaraan
pada diri sendiri dan secara
verbal terhadap diri setiap hari
f. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi respon positif
dari orang lain
g. Jangan mengkritisi pasien
secara negatif
h. Bantu untuk mengatur tujuan
yang realistik dalam rangka
mencapai harga diri yang lebih
tinggi
i. Eksplorasi keberhasilan
sebelumnya
j. Berikan hadiah atau pujian
terkait dengan kemajuan pasien
dalam mencapai tujuan
k. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi dampak
budaya, agama, ras, jenis
kelamin, dan usia terhadap
harga diri
l. Instruksikan orangtua mengenai
pentingnya minat dan dukungan
mereka dalam pengembangan
konsep diri positif anak-anak
m. Monitor tingkat harga diri dari
waktu ke waktu dengan tepat
n. Buat pernyataan positif
mengenai pasien
3. Isolasi sosial
berhubungan
dengan perubahan
penampilan fisik
Dukungan Sosial
Indikator :
a. Kemauan untuk
menghubungi orang
lain untuk meminta
bantuan
b. Dukungan emosi
yang disediakan
oleh orang lain
c. Hubungan teman
karib
d. Koneksi dukungan
sosial
e. Jaringan sosial yang
stabil
Peningkatan Sosialisasi
Aktivitas :
a. Anjurkan kesabaran dalam
pengembangan hubungan
b. Berikan umpan balik mengenai
perbaikan dalam perawatan
penampilan pribadi atau
kegiatan lainnya
c. Anjurkan kejujuran dalam
mempresentasikan diri sendiri
ke orang lain
d. Tingkatkan berbagai masalah
umum dengan orang lain
e. Fasilitasi masukan pasien dan
perencanaan kegiatan di masa
depan
f. Anjurkan perencanaan
kelompok kecil untuk kegiatan
khusus
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan intervensi keperawatan.
Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu
memvalidasi kembali apakah rencana tindakan masih sesuai dan
dibutuhkan pasien saat ini (Prabowo, 2014)
5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Prabowo (2014), evaluasi keperawatan mengharuskan perawat
melakukan pemeriksaan secara kritikal dan menyatakan respon pasien
terhadap intervensi yang telah diberikan. Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan SOAP yaitu sebagai berikut :
a. S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dan dapat diukur misalnya dengan menanyakan “bagaimana
perasaan ibu setelah kita mendiskusikan aspek positif dalam diri ibu?”
b. O : respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dan dapat diukur dengan mengobservasi perilaku pasien pada
saat komunikasi dan tindakan dilakukan.
c. A : Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
masalah tersebut masih muncul atau muncul masalah baru atau ada data
yang kontradiksi dengan masalah yang ada.
d. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respons
pasien yang terdiri dari tindakan lanjut pasien dan tindakan lanjut oleh
perawat.
Pasien dan keluarga perlu dilibatkan dalam evaluasi agar perawat dapat melihat
perubahan yang terjadi pada pasien. Pada tahap evaluasi sangat diperlukan
adanya reinforcement untuk menguatkan perubahan yang positif. Pasien dan
keluarga juga harus diberikan motivasi untuk melakukan self reinforcement
(Prabowo, 2014).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang
dilakukan dengan tujuan untuk membuat gambaran atau mendeskripsikan
tentang suatu keadaan secara objektif dengan pendekatan studi kasus Nursalam,
2013). Hasil yang diharapkan oleh peneliti adalah mengetahui asuhan
keperawatan pada pasien fraktur terbuka ekstremitas bawah dengan gangguan
citra tubuh di ruang Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2018.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Ruang Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil
Padang dari bulan Oktober 2017 sampai bulan Juni 2018. Waktu pelaksanaan
asuhan keperawatan dilakukan selama 6 hari dimulai tanggal 17 Maret sampai
dengan 22 Maret 2018.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari objek yang dapat diteliti atau subjek yang
diteliti (Notoadmodjo, 2012). Populasi dari penelitian ini adalah
keseluruhan pasien fraktur terbuka ekstremitas bawah di Ruang Trauma
Center RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jumlah pasien fraktur terbuka
ekstremitas bawah di Ruang Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang
selama sebulan terakhir pada bulan Maret 2018 yaitu 7 pasien.
2. Sampel
Sampel terdiri dari bagian populasi yang dapat digunakan sebagai subjek
penelitian melalui sampling. Teknik sampling merupakan cara yang
digunakan dalam pengambilan sampel, dan agar memperoleh sampel yang
sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2013).
Sampel dalam penelitian ini diambil dari 7 pasien fraktur terbuka
ekstremitas bawah di ruang Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Guna untuk menjaring pasien fraktur terbuka ekstremitas bawah yang
mengalami gangguan citra tubuh, maka dilakukan screening terhadap
seluruh pasien fraktur terbuka ekstremitas bawah dengan format screening
gangguan citra tubuh terlampir. Setelah dilakukan screening pada pasien
fraktur terbuka ekstremitas bawah maka terjaring 3 orang pasien yang
mengalami gangguan citra tubuh. Oleh karena itu untuk memilih 2 orang
responden maka penulis memilih responden dengan teknik purposive
sampling dengan kriteria yang telah ditetapkan sebagai berikut :
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien bersedia menjadi responden dalam penelitian
b. Pasien bersedia diberikan asuhan keperawatan
c. Pasien fraktur terbuka ekstremitas bawah yang mengalami masalah
gangguan citra tubuh
d. Pasien kooperatif dan mampu berkomunikasi verbal dengan baik
dan benar
e. Keluarga pasien bersedia pasien menjadi responden dan
berpartisipasi dalam penelitian
2. Kriteria Eklusi
a. Pasien yang pindah ruang rawatan
b. Pasien yang mengalami penyakit lain seperti cedera kepala berat
Berdasarkan kriteria diatas, maka terdapat sebayak 3 orang responden yang
sesuai dengan kriteria. Dan untuk memilih 2 orang responden, maka penulis
menggunakan teknik simple random sampling. Setelah dilakukan teknik
simple random sampling maka didapatkan 2 orang responden.
D. Alat dan Instrumen Pengumpulan Data
Alat yang digunakan untuk pemeriksaan fisik seperti tensi meter, stetoskop,
termometer dan instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah format
screening gangguan citra tubuh yang terdiri dari 10 pertanyaan ya dan tidak.
Jika pasien menjawab pertanyaan ya selain pada pertanyaan no 1 maka pasien
tersebut mengalami gangguan citra tubuh. Pengumpulan data dilakukan dengan
cara anamnesa, pemeriksaan fisik, observasi dan studi dokumentasi.
1) Format pengkajian masalah psikososial terdiri dari : identitas pasien, faktor
predisposisi, pemeriksaan fisik, psikososial, genogram, lingkungan,
pengetahuan, konsep diri, dan program pengobatan.
2) Format analisa data terdiri dari : nama pasien, data, masalah, dan etiologi
(pohon masalah).
3) Format diagnosa keperawatan terdiri dari : nama, diagnosa keperawatan,
tanggal dan paraf ditemukannya masalah, serta tanggal dan paraf teratasinya
masalah.
4) Format rencana asuhan keperawatan terdiri dari : nama, diagnosa
keperawatan dan intervensi keperawatan.
5) Format implementasi keperawatan terdiri dari : nama, hari dan tanggal,
diagnosa keperawatan, implementasi keperawatan dan paraf yang
melakukan implementasi keperawatan.
6) Format evaluasi keperawatan terdiri dari : nama, hari dan tanggal, diagnosa
keperawatan, evaluasi keperawatan dan paraf yang melakukan evaluasi
keperawatan.
E. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
1) Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti langsung dari
sumber data atau responden (Saryono dan Anggraeni, 2013). Data tersebut
berdasarkan format pengkajian asuhan keperawatan masalah psikososial,
meliputi: identitas pasien, riwayat kesehatan pasien, pola aktifitas sehari-
hari dirumah, dan pemeriksaan fisik terhadap pasien.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang telah tersedia dari hasil pengumpulan data
untuk keperluan tertentu yang dapat digunakan sebagian atau seluruhnya
sebagai sumber data penelitian (Saryono dan Anggraeni, 2013). Data
sekunder merupakan data pasien fraktur ekstremitas bawah dari rekam
medis RSUP Dr. M. Djamil Padang, dan data ruangan Trauma Center
RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Teknik pengumpulan data menggunakan multi sumber bukti yang artinya
teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik
data dan sumber data yang telah ada. Dalam teknik ini, berarti peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda. Peneliti akan
menggunakan observasi, pengukuran, wawancara mendalam, dan dokumentasi
untuk sumber data yang sama secara serempak (Sugiyono, 2014).
Teknik pengumpulan data yaitu sebagai berikut :
a. Wawancara
Peneliti melakukan wawancara dengan kedua responden menggunakan
format pengkajian yang telah disediakan mulai dari identitas, aspek
psikologis, dan aspek medis.
b. Pemeriksaan fisik
Dalam melakukan pemeriksaan fisik peneliti mengobservasi atau melihat
kondisi dari pasien seperti keadaan umum pasien, ekspresi pasien saat
berkomunikasi. tanda-tanda vital, berat badan, tinggi badan pasien.
c. Dokumentasi
Peneliti mendokumentasikan asuhan keperawatan yang telah dilakukan
oleh peneliti.
F. Prosedur Penelitian
Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara screening, wawancara,
observasi, pemeriksaan fisik dan anamnesa. Pengambilan data menggunakan
format screening gangguan citra tubuh dan format pengkajian masalah
psikososial.
Adapun langkah-langkah pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti
adalah :
a. Peneliti meminta surat rekomendasi pengambilan data dan surat izin
penelitian dari institusi pendidikan Poltekkes Kemenkes RI Padang
b. Peneliti meminta izin ke RSUP Dr M Djamil Padang dan menyerahkan surat
penelitian dari institusi untuk mendapatkan surat rekomendasi ke RSUP Dr
M Djamil Padang
c. Peneliti meminta data Rekam Medis pasien fraktur selama 2 tahun terakhir
d. Peneliti meminta data pasien fraktur di ruang Trauma Center RSUP Dr M
Djamil Padang selama 3 bulan terakhir
e. Peneliti memilih responden dengan menggunakan format screening
gangguan citra tubuh
f. Responden diberi penjelasan mengenai tujuan penelitian
g. Responden diberi kesempatan untuk bertanya
h. Responden menandatangani inform consent
i. Peneliti melakukan pengkajian menggunakan format pengkajian masalah
psikososial
j. Peneliti melakukan pemeriksaan fisik
k. Peneliti melakukan asuhan keperawatan pada responden dan selanjutnya
melakukan terminasi.
G. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah menganalisis semua
temuan pada tahapan proses keperawatan dengan menggunakan konsep dan
teori keperawatan pada pasien fraktur ekstremitas bawah dengan gangguan
citra tubuh. Data yang telah didapat dari hasil melakukan asuhan keperawatan
mulai dari pengkajian, penegakan diagnosa, merencanakan tindakan,
melakukan tindakan sampai mengevaluasi hasil tindakan akan dinarasikan dan
dibandingkan dengan teori asuhan keperawatan masalah psikososial dengan
gangguan citra tubuh. Analisa yang dilakukan adalah untuk membandingkan
antara teori yang ada dengan kondisi pasien.
BAB IV
DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN KASUS
A. Deskripsi Kasus
Penulisan asuhan keperawatan pada pasien fraktur terbuka ekstremitas bawah
yang mengalami gangguan citra tubuh telah dilakukan selama 6 hari dari tanggal
17 Maret 2018 sampai dengan 22 Maret 2018 dengan proses keperawatan yang
dimulai dari pengkajian, analisa data, menegakkan diagnosa keperawatan,
intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi keperawatan.
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Pasien
Hasil dari pengkajian identitas pada kedua pasien yaitu pasien 1 berjenis
kelamin laki-laki berusia 61 tahun, status menikah dengan lima orang
anak, agama islam, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan petani. Pasien
masuk RS pada tanggal 14 Maret 2018, no MR 01.00.99.84 dan sumber
informasi dari pasien dan keluarga. Sedangkan pasien 2 berjenis kelamin
perempuan berusia 19 tahun, status belum menikah, agama islam,
pendidikan terakhir SMA, pekerjaan mahasiswa. Pasien masuk RS pada
tanggal 18 Maret 2018, no MR 01.01.04.13 dan sumber informasi dari
pasien dan keluarga.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama pada pasien 1 yaitu keadaan umum pasien sedang dan
pasien mengalami fraktur terbuka distal femur dan proksimal tibia fibula
sinistra dengan terpasang fiksator eksternal, pasien mengatakan ia merasa
asing, malu, takut, ia ingin menutupi bagian kakinya yang fraktur,
menolak melihat kakinya yang fraktur, pasien juga mengatakan ia merasa
kurang percaya diri, merasa tidak berguna, tidak bisa menjalankan
perannya sebagai orangtua. Pada saat diobservasi, pasien tampak ingin
menutupi bagian kakinya yang fraktur, menolak melihat kakinya yang
fraktur kontak mata kurang, tampak sedih, sering melamun dan aktivitas
sosial pasien berkurang.
Saat dilakukan pengkajian, keluhan utama pada pasien 2 yaitu pasien
tampak mengalami fraktur terbuka tibia fibula pada kaki kirinya yang
tertutup dengan perban dan terpasang fiksator eksternal (OREF) dan pada
kaki kanan pasien terdapat luka lecet yang tertutup perban. Pasien
mengatakan ia merasa asing, malu, sedih, takut, cemas, tidak mau
menyentuh kakinya, merasa tidak percaya diri, dan merasa tidak berguna.
Dan pada saat diobservasi pasien tampak banyak menunduk, menolak
menyentuh kakinya, tampak cemas, sedih, lesu, sering menunduk, kontak
mata pasien kurang saat berkomunikasi dan aktivitas sosial pasien
berkurang.
c. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi pada pasien 1 tidak ada anggota keluarga pasien yang
mengalami gangguan jiwa, pasien tidak ada mengalami trauma pada
kepala, harapan pasien terhadap tubuhnya tidak tercapai karena
mengalami fraktur dan tuntutan peran kerja pasien. Sedangkan faktor
predisposisi pada pasien 2 yaitu tidak ada anggota keluarga pasien yang
mengalami gangguan jiwa, pasien tidak ada mengalami trauma pada
kepala, kaki ayah pasien diamputasi karena kecelakaan kerja yang
menyebabkan pasien takut jika kaki nya juga akan diamputasi.
d. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi pada pasien 1 adanya transisi peran sehat-sakit
disebabkan karena adanya perubahan pada fisik pasien yaitu fraktur
terbuka pada ekstremitas kiri bawah pasien. Dan juga terjadi perubahan
fungsi pada kaki pasien yang mengalami fraktur yang mengakibatkan
kaki kiri pasien tidak berfungsi seperti saat sehat dulu.
Faktor presipitasi pada pasien 2 karena adanya transisi peran sehat-sakit
disebabkan karena terjadinya perubahan bentuk tubuh pasien seperti
mengalami fraktur terbuka pada kaki kirinya, luka pada kaki kanan, pipi
dan dagu pasien serta terjadinya penurunan fungsi pada kaki kiri pasien
yang mengalami fraktur.
e. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien 1 didapatkan tanda-tanda vital yaitu
tekanan darah 90/70 mmHg, nadi 80x/menit, frekuensi pernapasan
24x/menit, suhu 36,30C, berat badan 55 kg, dan tinggi badan 158 cm.
Pasien mengalami fraktur terbuka proksimal tibia fibula dan tampak jari
jempol kaki kiri pasien sedikit menghitam dan berbau. Pada kaki kiri
pasien terbalut dengan perban dan terpasang fiksator eksternal (OREF).
Dan pasien tampak pucat dan kaki tidak bisa digerakkan.
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien 2 didapatkan tanda-tanda vital yaitu
tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 106x/menit, frekuensi pernapasan
20x/menit, suhu 36,50C, berat badan 60 kg, tinggi badan 160 cm. Pasien
mengalami fraktur terbuka grade III c tibia fibula sinistra yang terpasang
fiksator eksternal (OREF) dengan luas luka kira-kira 20cm x 10cm
disertai dengan ruptur otot dan tendon, akral teraba dingin, CRT pada
kaki yang fraktur >2 detik. Terdapat luka pada kaki kanan pasien yang
tertutup dengan perban, luka lecet pada bagian pipi dan dagu pasien dan
kaki tidak bisa digerakkan.
f. Psikososial : Identitas diri
Pasien 1 merupakan seorang laki-laki berumur 61 tahun, pasien
merupakan anak pertama dari sembilan bersaudara. Saat ini pasien
memiliki seorang istri dan 5 orang anak. Pasien merupakan kepala
keluarga dan sehari-harinya bekerja sebagai petani. Pasien mengatakan
bisa menerima kodratnya sebagai laki-laki.
Pasien 2 merupakan seorang perempuan berumur 19 tahun, pasien
merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Saat ini pasien merupakan
seorang mahasiswa di salah satu universitas di Kota Padang. Pasien
mengatakan bisa menerima kodratnya sebagai perempuan.
g. Psikososial : Citra Tubuh
Hasil pengkajian citra tubuh pada pasien 1 mengatakan ada perubahan
pada tubuhnya yaitu kaki kirinya mengalami fraktur dan fungsi kaki
kirinya yang belum bisa digerakkan. Pasien mengatakan ia merasa malu,
takut dan cemas terhadap keadaan kakinya saat ini, menolak untuk
melihat kakinya dan ingin menutupi kakinya yang fraktur.. Pasien tampak
sering menunduk, kontak mata kurang, ingin menutupi kakinya yang
fraktur.
Hasil pengkajian citra tubuh pada pasien 2 mengatakan ada perubahan
pada tubuhnya yaitu kaki kirinya mengalami fraktur dan fungsi kaki
kirinya yang belum bisa digerakkan dan pasien hanya bisa menggerakkan
pada bagian jari kakinya. Sedangkan pada kaki kanan pasien juga
tampak lecet dan ditutupi dengan perban dan juga terdapat luka lecet
pada bagian pipi pasien. Oleh karena itu pasien mengatakan ia merasa
malu, kurang percaya diri, tidak berguna dan cemas terhadap keadaan
kakinya saat ini, menolak melihat dan menyentuh kakinya yang fraktur.
Pasien saat berkomunikasi kontak mata tidak ada dan pasien sering
menunduk.
h. Psikososial : Ideal Diri
Hasil pengkajian ideal diri pada kedua pasien yaitu pasien 1 berharap
agar keadaan kakinya bisa cepat sembuh dan bisa cepat pulang. Pasien
berharap agar bisa kembali bekerja sehari-hari serta dapat menafkahi
keluarganya kembali. Sedangkan pasien 2 berharap agar keadaan kakinya
bisa cepat sembuh dan bisa cepat pulang. Pasien berharap agar kakinya
tidak diamputasi karena ia cemas dan takut kalau kakinya akan
diamputasi seperti yang dialami ayahnya yang kaki kanannya diamputasi
karena kecelakaan saat bekerja. Dan pasien juga berharap agar bisa
kembali menjalani aktivitas sehari-harinya sebagai mahasiswa.
i. Psikososial : Harga Diri
Hasil pengkajian harga diri pada kedua pasien yaitu pasien 1 mengatakan
ia merasa kurang percaya diri dengan keadaan kakinya yang patah dan
jarinya yang tidak bisa digerakkan. Pasien tampak sering menunduk,
melamun dan lebih sering tidur. Dan pasien 2 mengatakan ia merasa
kurang percaya diri dengan keadaan kakinya yang patah dan jarinya yang
terpasang alat (OREF) dan merasa tidak berguna. Pasien tampak sering
menunduk, melamun, kontak mata tidak ada dan lebih sering tidur.
j. Psikososial : Peran Diri
Hasil pengkajian peran diri pada kedua pasien yaitu pasien 1 mengatakan
sebelum ia sakit, sehari-harinya ia bekerja sebagai petani bersama dengan
anak pertamanya. Pasien mengatakan saat ia sakit tidak bisa melakukan
perannya sebagai orang tua apalagi ia memiliki anak sedangkan anaknya
paling kecil yang masih berusia 11 bulan. Dan pasien juga tidak bisa
menjalankan perannya sebagai pencari nafkah utuk keluarganya.
Pasien 2 mengatakan sebelum ia sakit, ia dapat melakukan aktivitas
sehari-harinya sebagai mahasiswa dengan belajar, pergi kuliah dan
mengikuti kegiatan organisasi di kampus. Sedangkan saat ia sakit ia tidak
bisa menjalankan perannya sebagai mahasiswa.
k. Hubungan Sosial
Hasil pengkajian hubungan sosial pada kedua pasien yaitu pasien 1
mengatakan orang yang berarti baginya adalah keluarga yaitu istri dan
anaknya. Pasien mengatakan dalam kelompok taninya ia merupakan
ketua kelompok. Pasien mengatakan ia tidak bisa ikut serta dalam
pekerjaan dan kegiatan dari kelompok taninya karena sakit.
Pasien mengatakan hambatan yang dirasakannya dalam berhubungan
dengan orang lain karena keterbatasan fisik yang dialaminya sekarang.
Dan hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat beraktivitas seperti
dulu lagi.
Orang yang berarti bagi pasien 2 merupakan keluarga yaitu ayah, ibu dan
adiknya. Peran serta pasien dalam kegiatan kelompok atau masyarakat
yaitu di universitasnya ia mengikuti sebuah organisasi seni dan ia suka
dan sering berlatih menari bersama temannya dan terkadang juga
mengajarkan adik kelasnya untuk menari. Tetapi semenjak sakit, ia tidak
bisa lagi melakukan kegiatan organisasinya seperti dulu lagi. Dan
hambatan yang dirasakan oleh pasien dalam berhubungan dengan orang
lain karena keterbatasan fisik yang dialaminya sekarang. Dan hal tersebut
menyebabkan pasien tidak dapat beraktivitas seperti dulu lagi.
l. Spiritual
Hasil pengkajian spiritual pada pasien 1 beragama islam, dan pasien
berdoa dan berharap kepada Allah agar ia dapat diberikan kesembuhan.
Pasien mengatakan pada saat sebelum sakit pasien ada melaksananakan
ibadah tetapi pada saat sakit pasien tidak ada melaksanakan ibadah sholat
lima waktu.
Hasil pengkajian spiritual pada pasien 2 beragama islam, dan pasien
berdoa dan berharap kepada Allah agar ia dapat diberikan kesembuhan.
Pada saat sebelum sakit pasien ada melaksananakan ibadah 5 waktu
tetapi pada saat sakit pasien tidak ada melaksanakan ibadah.
m. Status Mental
Hasil pengkajian status mental pasien 1 yaitu penampilan pasien 1
tampak tidak menggunakan pakaian, pasien hanya menggunakan kain
sebagai selimut. Dari hasil observasi selama pengkajian, pasien berbicara
cepat namun kata-kata yang diucapkan pasien kurang jelas dan biasanya
pasien tidak mau untuk memulai pembicaraan dan hanya akan menjawab
pertanyaan yang diajukan saja. Pengkajian aktivitas motorik, pasien
tampak lesu dan tidak bersemangat serta aktivitas motorik pada
ekstremitas bawah yang mengalami fraktur tidak ada. Pengkajian alam
perasaan didapatkan pasien mengatakan ia merasa sedih, takut dan juga
khawatir dengan kondisi kakinya saat ini. Afek pasien pada saat interaksi,
ekspresi wajah pasien saat sedih maupun senang tetap sama dan tidak
terlalu jelas perubahan ekspresi dengan kondisi emosi pasien saat ini.
Pada saat interaksi dengan pasien kontak mata pasien ada, tetapi kontak
mata kurang dan pasien banyak menunduk. Pasien tidak ada mengalami
gangguan persepsi sensori.
Pengkajian proses pikir pasien 1 menjawab pertayaan dengan cara
berbelit belit tapi sampai ke tujuan. Pada pengkajian isi pikir pasien
depersonalisasi yaitu pasien merasa asing terhadao tubuhnya. Tingkat
kesadaran pasien compos mentis cooperatif. Pada saat dilakukan
pengkajian kemampuan dalam penilaian, pasien selalu meminta agar
pertanyaan yang diajukan diulang karena pasien kurang memahaminya
dan daya ingat, pasien sulit untuk mengingat tentang silsilah keluarga
dari istrinya. Pada penilaian daya tilik diri, pasien mengatakan awalnya ia
merasa marah dengan orang yang menabraknya dan kondisinya sekarang.
Hasil pengkajian status mental pasien 2 yaitu penampilan pasien tidak
menggunakan pakaian, pasien hanya menggunakan kain sebagai selimut.
Dari hasil observasi selama pengkajian pada saat wawancara dengan
pasien pasien berbicara lambat dan kadang yang dibicarakan pasien
kurang jelas. Pengkajian aktivitas motorik, pasien tampak lesu, lemah
dan sering mengantuk. Pengkajian alam perasaan didapatkan pasien
mengatakan ia merasa sedih, cemas dan khawatir dengan kondisi kakinya
saat ini. Afek pasien pada saat interaksi, ekspresi wajah pasien saat sedih
maupun senang berbeda, terlihat perubahan ekspresi dengan kondisi
emosi pasien saat ini. Pada saat interaksi kontak mata pasien tidak ada.
Pasien tidak ada mengalami gangguan persepsi sensori. Pada pengkajian
proses pikir dan isi pikir pasien depersonalisasi dimana pasien merasa
asing dengan kondisi tubuhnya. Tingkat kesadaran pasien compos mentis
cooperatif. Pada saat dilakukan pengkajian kemampuan dalam penilaian,
tingkat konsentrasi, daya tilik, dan daya ingat pasien tidak ada masalah.
n. Masalah Psikososial dan Lingkungan
Hasil pengkajian masalah psikosial dan lingkungan pada pasien 1, pasien
mengatakan masalah dalam pekerjaannya yaitu kadang ia sulit
menyelesaikan pekerjaan sesuai waktu yang ditentukan. Dan masalah
pada ekonomi yaitu pasien memiliki lima orang anak sedangkan anak
yang terakhir masih berumur 11 bulan dan memerlukan biaya yang lebih.
Hasil pengkajian masalah psikosial dan lingkungan pada pasien 2, pasien
mengatakan ia tidak ada masalah dalam pendidikan, tetapi karena
sewaktu ia sakit merupakan jadwal untuk ujian tengah semester, pasien
tidak bisa mengikuti ujian tersebut. Dan pasien mengatakan tidak ada
masalah tentang ekonomi dan dengan kelompok.
o. Terapi Medis
Terapi Medis yang diberikan kepada pasien 1 yaitu IVFD RL 20
tetes/menit, drip heparin 3 cc + 50 cc NaCl 0,9% 2,08 tetes/ menit,
ceftriaxon 2x19 g (IV), Ranitidin 2x50 mg (IV), Ketorolac 3x30mg (IV),
Kalnex 3x1 amp (IV),Vit K 3x1 amp (IV), dan Vit C 3x1 tab (PO).
Terapi medis yang diberikan pada pasien 2 yaitu IVFD RL 20
tetes/menit, Ceftriaxone 2x1 g (IV), Ranitidine 2x50 g (IV), Ketorolac
3x30 g (IV), Drip Heparin 3cc dalam 47 cc NaCl 0,9%, dan
Metilprednisolon 3x10 mg.
2. Diagnosa Keperawatan
Hasil pengkajian didapatkan diagnosa keperawatan yang sama pada kedua
pasien yaitu gangguan citra tubuh dan risiko harga diri rendah. Sedangkan
diagnosa keperawatan lainnya pada pasien 1 yaitu ketidakefektifan peforma
peran dan pada pasien 2 yaitu ansietas.
Diagnosa keperawatan 1 pada pasien 1 yaitu gangguan citra tubuh yang
ditandai dengan pasien mengatakan merasa asing dengan keadaan kakinya
saat ini, merasa malu dengan kondisi kakinya saat ini, ingin menutupi bagian
kakinya yang mengalami fraktur, tidak mau menyentuh bagian kakinya yang
fraktur karena ia takut dan pasien mengatakan ia sedikit marah dengan
keadaannya saat ini. Dan pada saat observasi, pasien tampak ingin menutupi
bagian kakinya yang mengalami fraktur serta kontak mata pasien saat
interaksi kurang.
Diagnosa keperawatan 1 pada pasien 2 yaitu gangguan citra tubuh, ansietas
dan risiko harga diri rendah. Pada diagnosa 1 gangguan citra tubuh ditandai
dengan pasien mengatakan ia merasa asing dengan keadaan tubuhnya saat
ini, ia merasa malu dengan kondisi kakinya saat ini, ia takut jika kakinya
tidak bisa sembuh, ia malu jika ada teman yang berkunjung serta tidak mau
menyentuh bagian kakinya yang fraktur. Dan pada saat observasi, pasien
tampak menunduk pada saat wawancara, kontak mata tidak ada serta tampak
pasien tidak banyak berbicara.
Diagnosa keperawatan ke 2 pada pasien 1 yaitu ketidakefektifan peforma
peran yang ditandai dengan pasien mengatakan selama ia dirawat ia tidak
bisa memenuhi kebutuhan istri dan anaknya, ia takut jika anak pertamanya
saja yang harus bekerja, pasien mengatakan selama dirawat ia tidak bisa
menjalankan perannya sebagai orang tua dan pencari nafkah didalam
keluarga karena sakit. Dan pada observasi, pasien tampak sedih karena tidak
bisa menjalankan perannya di dalam keluarga dan tampak sering melamun.
Diagnosa ke 2 pada pasien 2 yaitu ansietas ditandai dengan pasien
mengatakan ia sangat cemas dengan kondisi kakinya saat ini, ia sangat takut
dengan kondisi kakinya saat ini, ia sangat sedih dengan kondisi kakinya saat
ini dan keluarga mengatakan sangat cemas melihat kondisi pasien saat ini.
Pada saat observasi, pasien tampak cemas dengan keadaannya saat ini,
tampak sedih dan lesu dan tampak berkeringat.
Diagnosa ke 3 pada kedua pasien yaitu risiko harga diri rendah situasional
ditandai dengan pasien mengatakan ia merasa kurang percaya diri dengan
kondisinya saat ini, ia merasa kurang berguna bagi keluarganya. Pada saat
observasi, pasien kadang tampak jarang menatap lawan bicaranya saat
interaksi, tampak sering diam dan tampak jarang berkomunikasi dengan
keluarganya.
Pada diagnosa ke 3 risiko harga diri rendah situasional ditandai dengan
pasien mengatakan ia merasa tidak percaya diri dengan keadaannya saat ini
dan ia merasa tidak berguna karena kondisi kakinya saat ini yang
menyebabkan ia tidak bisa lagi menari karena kakinya yang fraktur. Dan
pada observasi, pasien tampak sering menunduk, kontak mata tidak ada serta
tampak jarang berkomunikasi dengan orang lain.
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang akan dilakukan pada kedua pasien dengan
diagnosa keperawatan gangguan citra tubuh berdasarkan NIC (Nursing
Intervention Classification) yaitu sebagai berikut tentukan jika terdapat
perasaan tidak suka terhadap karakteristik fisik khusus yang menciptakan
fungsi paralisis sosial untuk remaja dan kelompok dengan risiko tinggi lain,
tentukan perubahan fisik saat ini apakah berkontribusi pada citra tubuh
pasien, bantu pasien memisahkan penampilan fisik dari perasaan berharga
secara pribadi, dengan cara yang tepat, bantu pasien mendiskusikan stressor
yang mempengaruhi citra tubuh terkait dengan kondisi kongenital, cedera,
penyakit atau pembedahan, identifikasi dampak dari budaya pasien, agama,
ras, jenis kelamin terkait dengan citra tubuh, monitor frekuensi dari
pernyataan mengkritis diri, monitor apakah pasien bisa melihat bagian tubuh
mana yang berubah, tentukan persepsi pasien dan keluarga terkait dengan
perubahan citra tubuh, tentukan apakah perubahan citra tubuh berkontribusi
pada peningkatan isolasi sosial, bantu pasien untuk mengidentifikasi bagian
tubuhnya yang memiliki persepsi positif terkait dengan tubuhnya dan bantu
pasien untuk mengidentifikasi tindakan yang akan meningkatkan
penampilan.
Intervensi keperawatan yang akan dilakukan pada pasien 1 dengan diagnosa
keperawatan ketidakefektifan peforma peran berdasarkan NIC (Nursing
Intervention Classification) yaitu bantu pasien untuk mengidentifikasi
berbagai macam peran dalam siklus kehidupan, bantu pasien untuk
mengidentifikasi peran yang biasanya dalam keluarga, dukung pasien untuk
mengidentifikasi gambaran realistik dari adanya perubahan peran, bantu
pasien untuk mengidentifikasi strategi positif untuk memanajemen perubahan
peran, bantu pasien untuk membayangkan bagaimana situasi khusus mungkin
terjadi dan bagaimana peran yang akan berkembang, fasilitasi diskusi
mengenai harapan diantara pasien dan orang yang penting bagi pasien dalam
hal peran yang bergantung satu sama lain, ajarkan perilaku-perilaku baru
yang diperlukan pasien untuk dapat memenuhi perannya.
Intervensi keperawatan yang akan dilakukan pada pasien 2 dengan diagnosa
keperawatan ansietas berdasarkan NIC (Nursing Intervention Classification)
yaitu dengan teknik relaksasi yang diantaranya pertimbangkan keinginan
individu untuk berpartisipasi, kemampuan berpartisipasi, pilihan dan
pengalaman masa lalu, berikan deskripsi detail terkait intervensi relaksasi
yang dipilih, ciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa distraksi dengan
lampu dan suhu yang nyaman, dorong klien untuk mengambil posisi yang
nyaman, dapatkan perilaku yang menunjukkan terjadinya relaksasi, misalnya
teknik napas dalam, menguap, penapasan perut, tunjukkan dan praktikkan
teknik relaksasi pada klien, dorong klien untuk mengulang praktik teknik
relaksasi, jika memungkinkan, antisipasi kebutuhan teknik relaksasi, dorong
pengulangan teknik praktik tertentu secara berkala, gunakan relaksasi sebagai
strategi tambahan dengan (penggunaan) obat-obatan nyeri atau sejalan
dengan terapi lainnya dengan tepat.
Dan intervensi keperawatan yang akan dilakukan pada kedua pasien dengan
diagnosa keperawatan risiko harga diri rendah situasional berdasarkan NIC
(Nursing Intervention Classification) yaitu sebagai berikut monitor
pernyataan pasien mengenai harga diri, tentukan kepercayaan diri pasien
dalam hal penilaian diri, bantu pasien untuk menemukan penerimaan diri,
dukung pasien melakukan kontak mata pada saat berkomunikasi dengan
orang lain. dukung pasien untuk terlibat dalam memberikan afirmasi positif
melalui pembicaraan pada diri sendiri dan secara verbal terhadap diri setiap
hari, bantu pasien untuk mengidentifikasi respon positif dari orang lain,
jangan mengkritisi pasien secara negatif, bantu untuk mengatur tujuan yang
realistik dalam rangka mencapai harga diri yang lebih tinggi, eksplorasi
keberhasilan sebelumnya, berikan hadiah atau pujian terkait dengan
kemajuan pasien dalam mencapai tujuan, bantu pasien untuk
mengidentifikasi dampak budaya, agama, ras, jenis kelamin, dan usia
terhadap harga diri. instruksikan orangtua mengenai pentingnya minat dan
dukungan mereka dalam pengembangan konsep diri positif anak-anak,
monitor tingkat harga diri dari waktu ke waktu dengan tepat dna buat
pernyataan positif mengenai pasien.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada kedua pasien dengan
diagnosa gangguan citra tubuh yaitu dilakukan dengan membina hubungan
saling percaya, mengidentifikasi perubahan yang terjadi pada tubuh pasien,
mendiskusikan tentang fraktur yang dapat memengaruhi gangguan citra
tubuh, mendiskusikan persepsi pasien terkait perubahan citra tubuh,
mendiskusikan tindakan yang bisa meningkatkan citra tubuh dan
menjelaskan aspek positif yang masih dimiliki pada bagian tubuh pasien.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada pasien 1 dengan diagnosa
ketidakefektifan peforma peran yaitu mendiskusikan mengenai perasaan
yang dirasakan oleh pasien mendukung pasien untuk bisa mengungkapkan
dan menjelaskan perasaannya, mengidentifikasi peran yang biasanya dalam
keluarga, melibatkan keluarga untuk memberikan dukungan dan
mendukung pasien untuk mengidentifikasi gambaran realistik dari adanya
perubahan peran.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada pasien 2 dengan diagnosa
ansietas yaitu dengan membina hubungan saling percaya dengan pasien dan
keluarga, mengidentifikasi persepsi pasien, mempertimbangkan keinginan
individu untuk berpartisipasi, mendiskusikan dengan pasien tentang teknik
relaksasi dan menjelaskan cara teknik relaksasi napas dalam.
Dan implementasi keperawatan yang dilakukan pada kedua pasien dengan
diagnosa risiko harga diri rendah situasional yaitu membina hubungan saling
percaya dengan pasien dan keluarga, mengidentifikasi persepsi pasien
terhadap harga dirinya, memonitor pernyataan pasien mengenai harga diri,
mendiskusikan tentang harga diri rendah dan mendiskusikan aspek positif
pada diri pasien.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan setelah diberikan asuhan keperawatan yang diberikan
pada pasien 1 selama 6 hari yaitu pada diagnosa gangguan citra tubuh,
pasien mengatakan sudah tidak malu dan sudah menerima kondisinya saat
ini, pasien mengatakan ia sudah mengetahui aspek positif yang masih ia
miliki mengenai tubuhnya, pasien mengatakan ia akan berpikiran positif dan
selalu berdoa kepada Allah SWT, pasien mengatakan ia sudah menerima jika
ibu jari kaki kirinya yang akan di amputasi dan keluarga pasien mengatakan
sudah memotivasi pasien untuk tidak cemas. Dan pada saat diobservasi,
pasien tampak sudah tidak ada mengeluh mengenai kondisinya saat ini,
pasien tampak cemas dan takut karena jari kakinya akan di amputasi dan
pasien tampak lebih sering berdoa.
Hasil evaluasi pada diagnosa ketidakefektifan peforma peran yaitu pasien
mengatakan sudah mengetahui peran yang masih bisa dilakukannya dalam
keluarga, dan pasien mengatakan akan tetap berpikiran positif dan selalu
berdoa, dan pada saat observasi pasien tampak tidak ada melamun dan
mengeluh lagi. Dan hasil evaluasi pada diagnosa harga diri rendah situasional
yaitu pasien mengatakan ia sudah mulai percaya diri dengan kondisinya saat
ini, pasien mengatakan ia masih berguna bagi keluarganya, pasien
mengatakan ia mengetahui aspek positif dalam dirinya, pasien mengatakan
ia sudah bisa menerima kondisinya saat ini, dan keluarga mengatakan akan
selalu memotivasi pasien. Dan pada saat observasi tampak ada kontak mata
saat interaksi dan pasien tampak sudah bisa tersenyum.
Sedangkan evaluasi keperawatan setelah diberikan asuhan keperawatan yang
diberikan pada pasien 2 pada diagnosa 1, pasien mengatakan ia sudah tidak
malu lagi dengan kondisinya saat ini, pasien mengatakan masih ada anggota
tubuhnya yang masih baik dan berfungsi, pasien mengatakan ia bersyukur
karena anggota tubuhnya yang lain masih sehat dan berfungsi dengan baik,
pasien mengatakan sudah tidak takut lagi jika menyentuh bagian kakinya
yang fraktur dan jari kakinya sudah mulai bisa digerakkan. Dan pada saat
diobservasi, pasien tampak sudah tidak sering mengeluh mengenai
kondisinya saat ini, pasien tampak sudah menerima keadaannya, kontak mata
ada saat interaksi, pasien sudah mau dan tidak takut jika menyentuh bagian
kakinya yang fraktur.
Hasil evaluasi pada diagnosa 2 yaitu pasien mengatakan sudah tidak cemas,
pasien mengatakan bisa mempraktikkan teknik relaksasi napas dalam dan
keluarga mengatakan sudah tidak terlalu cemas melihat kondisi pasien saat
ini, dan pasien tampak sudah tidak cemas. Dan hasil evaluasi pada diagnosa
ke 3 yaitu pasien mengatakan ia masih merasa kurang percaya diri dengan
kondisinya saat ini, pasien mengatakan ia masih berguna bagi keluarganya,
pasien mengatakan ia sudah mengetahui aspek positif dalam dirinya. Dan
pada saat observasi tampak ada kontak mata saat interaksi, pasien sudah
mengetahui aspek positif dalam dirinya dan tampak pasien sudah dapat
berinteraksi dengan keluarga dan orang lain.
B. Pembahasan Kasus
Pembahasan pada kasus ini penulis akan membahas hubungan antara teori
dengan laporan kasus asuhan keperawatan gangguan citra tubuh pada pasien 1
dan pasien 2 dengan fraktur terbuka ekstremitas bawah yang telah dilakukan
sejak tanggal 17 Maret 2018 – 22 Maret 2018 di Ruang Trauma Center RSUP
Dr. M. Djamil Padang. kegiatan yang dilakukan meliputi pengkajian,
menegakkan diagnosa keperawatan, membuat intervensi keperawatan,
melakukan implementasi keperawatan, dan melakukan evaluasi keperawatan.
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Pasien
Berdasarkan data hasil pengkajian didapatkan data pasien 1 Tn. N
berjenis kelamin laki-laki berusia 61 tahun, status menikah dengan lima
orang anak, agama islam, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan petani,
pasien masuk RS pada tanggal 14 Maret 2018, no MR 01.00.99.84 dan
sumber informasi dari pasien dan keluarga. Dan pasien 2 Nn. A berjenis
kelamin perempuan berusia 19 tahun, status belum menikah, agama
islam, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan mahasiswa, pasien masuk RS
pada tanggal 18 Maret 2018, no MR 01.01.04.13 dan sumber informasi
dari pasien dan keluarga.
Hasil pengkajian tersebut sesuai dengan penelitian Nugraheni dkk (2009)
bahwa perempuan memiliki nilai dibawah rata-rata daripada laki-laki
pada domain akibat dari masalah fisik, masalah emosi dan kesehatan
mental. Oleh karena itu perempuan akan lebih mudah terganggu citra
tubuh yang diakibatkan oleh masalah fisik dibandingkan laki-laki.
b. Keluhan Utama
Pasien 1 mengatakan ia merasa asing, malu, takut, ia ingin menutupi
bagian kakinya yang fraktur, menolak melihat kakinya yang fraktur,
merasa kurang percaya diri, merasa tidak berguna, tidak bisa
menjalankan perannya sebagai orangtua. Pada saat diobservasi, pasien
tampak ingin menutupi bagian kakinya yang fraktur, kontak mata kurang,
tampak sedih dan sering melamun.
Keluhan utama pada pasien 2 mengatakan ia merasa asing, malu, sedih,
takut, cemas, tidak mau menyentuh kakinya, merasa tidak percaya diri,
dan merasa tidak berguna. Dan pada saat diobservasi pasien tampak
banyak menunduk, tampak cemas, sedih, lesu, sering menunduk, dan
kontak mata pasien kurang saat berkomunikasi.
Berdasarkan keluhan dan observasi pada pasien 1 dan 2, sesuai menurut
teori oleh Muhith (2015), gangguan citra tubuh merupakan perubahan
persepsi tentang tubuh yang diakibatkan oleh perubahan ukuran, bentuk,
struktur, fungsi, makna, objek yang sering kontak dengan tubuh.
Gangguan tersebut diakibatkan kegagalan dalam penerimaan diri akibat
adanya persepsi yang negatif terhadap tubuhnya secara fisik.
Berdasarkan analisa penulis, perubahan bentuk dan fungsi tubuh sangat
mempengaruhi citra tubuh individu. Terlihat pada kasus diatas, pasien 1
dan 2 sangat rentan mengalami gangguan citra tubuh yang diakibatkan
karena perubahan bentuk tubuh dan fungsi tubuh diantaranya fraktur
terbuka pada ekstremitas bawah, adanya luka lecet pada wajah,
ekstremitas tidak bisa digerakkan. Perubahan bentuk dan fungsi tubuh
merupakan salah satu akibat dari fraktur yang dialami oleh kedua pasien,
sehingga untuk menghindari masalah psikososial dan kejiwaan, maka
diperlukan penguatan positif dari lingkungan dan pemberian pengetahuan
tentang aspek positif yang masih bisa dilakukan pasien dengan
keadaannya saat ini.
c. Faktor Predisposisi
Pada kasus pasien 1 tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami
gangguan jiwa, pasien tidak ada mengalami trauma kepala, harapan
pasien terhadap tubuhnya tidak tercapai karena mengalami fraktur dan
tuntutan peran kerja pasien. Sedangkan pada pasien 2 tidak ada anggota
keluarga pasien yang mengalami gangguan jiwa, pasien tidak ada
mengalami trauma pada kepala, dan kaki ayah pasien pernah diamputasi
karena kecelakaan kerja yang menyebabkan pasien takut jika kakinya
juga akan diamputasi.
Faktor predisposisi pada kedua pasien sesuai menurut Irman, dkk (2016)
faktor yang mempengaruhi citra tubuh yaitu pertumbuhan kognitif dan
perkembangan fisik. Selain itu, sikap dan nilai kultural dan sosial juga
mempengaruhi citra tubuh. Pandangan pribadi tentang karakteristik,
kemampuan fisik dan oleh persepsi dan pandangan orang lain.
Berdasarkan analisa penulis faktor predisposisi pada ke dua pasien
berbeda, pada pasien 2 disebabkan karena adanya persepsi dari
pengalaman masa lalu orang lain yang membuat pasien menjadi takut dan
berpikiran negatif terhadap perkembangan kesehatannya saat ini.
d. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi pada pasien 1 dan 2, yaitu pasien mengalami gangguan
citra tubuh karena fraktur disebabkan oleh sebuah kecelakaan saat
mengendarai sepeda motor yang menyebabkan pasien terjatuh dari
sepeda motor. Menurut WHO (2011), mencatat kejadian fraktur
ekstremitas akibat kecelakaan lalu lintas tahun 2011 sebanyak 1,3 juta
jiwa. Sebanyak 67% merupakan penduduk usia produktif. Estimasi
kecelakaan lalu lintas di Indonesia per 100.000 populasi mencapai
17,7%.
Berdasarkan analisa penulis faktor presipitasi pada ke dua pasien sama
yaitu disebabkan karena kecelakaan. Dan tingginya angka kejadian
kecelakaan juga menyebabkan tingginya angka kejadian fraktur. Oleh
karena itu, pasien fraktur sangat rentan untuk mengalami gangguan citra
tubuh walaupun semua pasien fraktur belum tentu akan mengalami
gangguan citra tubuh.
e. Konsep Diri
Hasil pengkajian konsep diri yang salah satu citra tubuh pada kasus
pasien 1 yaitu pasien mengatakan ada perubahan pada bentuk dan fungsi
kakinya yang mengakibatkan pasien merasa asing, malu dan takut, ia
ingin menutupi bagian kakinya yang fraktur. Sedangkan pada pasien 2
terjadi perubahan pada bentuk dan fungsi kakinya yang mengakibatkan
pasien merasa asing, malu, cemas, takut dengan kondisi kakinya yang
fraktur dan menolak menyentuh bagian yang fraktur. Hal tersebut sesuai
dengan penulisan Hamdani (2014), tentang gambaran citra tubuh pasien
paska operasi fraktur ekstremitas bawah di Rumah Sakit TK II Putri
Hijau Medan menunjukkan bahwa dari 42 orang responden terdapat 24
orang (57%) yang mengalami gangguan citra tubuh dan 18 orang (43%)
yang tidak mengalami gangguan citra tubuh. Dan masalah tersebut juga
sesuai menurut Kozier (2010), yaitu citra diri dapat terganggu karena
fraktur dimana cacat fisik merupakan keadaan tubuh yang kurang atau
tidak normal.
Berdasarkan analisa penulis, gangguan citra tubuh yang dirasakan oleh
pasien 1 dan pasien 2 terjadi karena fraktur yang menyebabkan
perubahan bentuk dan penurunan fungsi pada kaki pasien. Keadaan yang
dialami oleh pasien 1 dan pasien 2 dapat mengakibatkan kedua pasien
tersebut memiliki citra tubuh negatif. Jadi menurut penulis, gangguan
citra tubuh yang dialami oleh pasien sama dengan teori yang ada.
Hasil pengkajian konsep diri harga diri pada pasien 1 mengatakan ia
merasa kurang percaya diri dengan keadaan kakinya yang patah dan
jarinya yang tidak bisa digerakkan. Pasien tampak sering menunduk,
melamun dan lebih sering tidur. Sedangkan pada pasien 2 mengatakan ia
merasa kurang percaya diri dengan keadaan kakinya yang patah dan
jarinya yang terpasang alat (OREF) dan merasa tidak berguna. Pasien
tampak sering menunduk, melamun, kontak mata tidak ada.
Menurut Wilianto (2017), seorang individu yang memilki pemahaman
terkait sikap, harapan dan penilaian tentang dirinya dengan positif maka
akan memunculkan harga diri atau penilaian tentang diri yang tinggi.
Semakin positif konsep diri yang dimiliki oleh seseorang seperti mampu
menerima kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya cenderung
memiliki harga diri yang tinggi. Sedangkan menurut peneliltian terhadap
efek berpikir positif oleh Herabadi (2007) juga membuktikan adanya
hubungan kebiasaan berpikir secara negatif dengan rendahnya harga diri.
Berdasarkan analisa penulis, persepsi negatif terhadap diri yang dirasakan
oleh kedua pasien disebabkan karena perubahan bentuk serta fungsi
tubuh. Oleh karena itu pasien akan berpersepsi negatif dan penilaian
terhadap tubuh pasien juga negatif. Jadi menurut penulis persepsi negatif
pada kedua pasien sesuai dengan teori.
f. Status Mental
Status mental pada pasien 1 yaitu pasien berbicara cepat namun kata-kata
yang diucapkan pasien kurang jelas dan biasanya pasien tidak mau untuk
memulai pembicaraan, afek datar, proses pikir sirkumstansial, isi pikir
depersonalisasi, memiliki gangguan daya ingat jangka panjang, sulit
berkonsentrasi. Sedangkan pada pasien 2 berbicara lambat, dan isi pikir
depersonalisasi.
Menurut Stuart (2013), perilaku yang berhubungan dengan personalisasi
ialah perasaan asing dengan diri, gangguan citra tubuh, bingung,
gangguan berpikir, gangguan penilaian, afek tumpul dan komunikasi
tidak sesuai. Berdasarkan analisa penulis, perasaan asing terhadap diri,
adanya gangguan pada proses pikir, isi pikir dan gangguan ingatan jangka
panjang yang dialami pasien sesuai dengan teori.
g. Diagnosa Medis
Pasien 1 memiliki diagnosa medis fraktur terbuka proksimal tibia fibula
dan pada pasien 2 dengan diagnosa medis fraktur terbuka grade III c tibia
fibula sinistra. Pada penderita fraktur yang mengalami perubahan yang
tiba-tiba dari sehat menjadi sakit menyebabkan terjadinya perubahan,
baik perubahan fisik maupun perubahan psikologis. Hal tersebut sesuai
menurut Daniel,dkk, (2016)yaitu perubahan fisik dalam tubuh
menyebabkan perubahan citra diri, identitas personal, ideal diri, harga
diri dan performa peran.
Menurut Kozier (2010), citra diri (body image) adalah bagaimana
seseorang memandang ukuran, penampilan serta fungsi tubuh dan
bagian-bagiannya. Citra diri dapat terganggu karena fraktur dimana cacat
fisik merupakan keadaan tubuh yang kurang atau tidak normal. Peran
merupakan sekumpulan harapan mengenai bagaimana individu yang
menempati suatu tertentu berperilaku.
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil yang didapatkan penulis pada pengkajian didapatkan
diagnosa keperawatan pada kedua pasien gangguan citra tubuh,
ketidakefektifan peforma peran, ansietas dan risiko harga diri rendah
situasional. Pada kasus pasien 1 dan 2 didapatkan diagnosa gangguan citra
tubuh, hal ini sejalan dengan penelitian Daniel, dkk (2016), tentang
gambaran konsep diri pasien post op fraktur ekstremitas di ruang inap RSUD
Ulin Banjarmasin tahun 2015 pada penderita fraktur yang mengalami
perubahan yang tiba-tiba dari sehat menjadi sakit mengakibatkan terjadinya
perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan psikologis. Perubahan
fisik dalam tubuh menyebabkan perubahan citra tubuh, identitas personal,
ideal diri, harga diri dan performa peran.
Menurut Brunner (2017), pada pasien fraktur terbuka atau kominutif dapat
ditangani dengan pemasangan traksi (fiksator) internal atau eksternal.
Dengan adanya pemasangan alat, adanya keterbatasan gerak pada pasien
fraktur, perawatan yang mengharuskan pasien tirah baring dalam waktu
lama, kelemahan fisik, adanya luka akan dapat menimbulkan terjadin ya
perubahan pada konsep diri pasien salah satunya citra tubuh, walaupun tidak
semua pasien fraktur terbuka ekstremitas bawah akan mengalami gangguan
konsep diri.
Diagnosa keperawatan kedua pada pasien 1 yaitu ketidakefektifan peforma
peran. Kasus yang terjadi pada pasien tersebut sesuai menurut Nugraheni,
dkk (2009) berdasarkan kelompok umur lebih dari 60 tahun memiliki nilai
dibawah rata-rata pada domain fungsi fisik, domain keterbatasan peran akibat
masalah fisik, domain persepsi kesehatan umum, domain keterbatasan peran
akibat masalah emosi dan domain kesehatan mental. Hal ini menunjukkam
ahwa responden memilki keterbatasan yang banyak dalam melakukan
aktivitas fisik, masalah dalam bekerja atau aktivitas keseharian lainnya
sebagai akibat kesehatan fisik, percaya bahwa kesehatannya akan memburuk,
memilki masalah dalam bekerja atau aktivitas keseharian.
Diagnosa keperawatan ke dua pada pasien 2 yang dapat ditegakkan yaitu
ansietas. Kasus yang terjadi pada pasien tersebut sesuai dengan survey
Depkes RI (2013), 15% penderita fraktur mengalami stres psikologis dalam
bentuk cemas. Dan Thomas dan D’Silva (2012) mencatat 87% dari 60 orang
yang mengalami fraktur ekstremitas bawah dan menjalani operasi terbuka
mengalami kecemasan setelah operasi. Dan hal tersebut juga sesuai dengan
data rekam medik RSUD dr. Soebandi tahun 2007 didapatkan 947 pasien
fraktur yang rawat inap selama tahun 2007 sekitar 79% mengalami
kecemasan dan 30% mengalami gangguan konsep diri. Selain itu, Depkes RI
(2008) juga menjelaskan pada kelompok usia di bawah 30 tahun cenderung
menunjukan respon cemas yang lebih berat dibandingkan kelompok usia di
atasnya karena biasanya pada kelompok usia lebih dari 30 tahun telah
terbentuk mekanisme koping yang baik.
Masalah tersebut juga sesuai menurut Muttaqin (2008), yaitu individu yang
mengalami kecelakaan dan menderita patah tulang atau fraktur, dapat timbul
rasa cemas dan tidak berdaya akibat penyakit tersebut. Selain masalah fisik,
pasien yang telah menjalani pembedahan umumnya akan mengalami masalah
psikologis yaitu kecemasan. Kecemasan yang dialami dapat disebabkan oleh
gejala-gejala yang muncul setelah dilakukan pembedahan, diantaranya yaitu
rasa nyeri dan gangguan mobilisasi.
Berdasarkan analisa penulis, diagnosa keperawatan kedua yang didapatkan
pada kedua pasien berbeda. Pada pasien 1 mengalami ketidakefektifan
peforma peran bisa disebabkan karena faktor usia. Sedangkan pada pasien 2
mengalami ansietas dimana menurut teori pasien yang berusia kurang dari 30
tahun lebih cendrung untuk merasa cemas.
Diagnosa keperawatan risiko harga diri rendah situasional pada kedua pasien
sesuai dengan teori menurut Wilkinson (2009) harga diri rendah situasional
suatu perkembangan persepsi negatif terhadap harga diri individu sebagai
respon terhadap situasi tertentu misalnya akibat menderita suatu penyakit,
kondisi ini dapat disebabkan karena adanya gangguan citra tubuh, kegagalan
dan penolakan, perasaab kurang penghargaan, proses kehilangan, dan
perubahan pada peran sosial yang dimiliki.
Menurut Potter dan Perry (2010) perasaan dasar tentang diri cenderung
bersifat konstan meskipun terkadang situasi krisis mempengaruhi harga diri.
Kemampuan untuk menyeimbangkan tekanan yang ada berkaitan dengan
beberapa faktor yaitu jumlah tekanan, lamanya tekanan dan status kesehatan.
Dapat beradaptasi terhadap tekanan akan menimbulkan harga diri yang
positif. Berdasarkan analisa penulis, diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien 1 dan 2 sesuai dengan teori yang ada.
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang akan dilakukan pada diagnosa keperawatan
gangguan citra tubuh untuk kedua pasien, diantaranya menjalin hubungan
saling percaya, meningkatkan keterbukaan, mengidentifikasi dan
mendiskusikan perubahan yang terjadi pada pasien, mengidentifikasi
persepsi pasien terhadap tubuhya, mendiskusikan persepsi keluarga terkait
citra tubuh, dan membuat pernyataan positif mengenai pasien.
Menurut Wagner, dkk (2013), intervensi yang dilakukan untuk diagnosa
gangguan citra tubuh yaitu bantu pasien untuk mendiskusikan perubahan
yang disebabkan karena penyakit dengan cara yang tepat, bantu pasien
menentukan keberlanjutan dari perubahan aktual dari tubuh atau tingkat
fungsinya, bantu pasien mendiskusikan stressor yang mempengaruhi citra
diri terkait dengan kondisi penyakit, tentukan persepsi pasien dan keluarga
terkait dengan perubahan citra diri dan realita, bantu pasien untuk
mengidentifikasi tindakan yang akan meningkatkan penampilan, bantu
pasien memeiksa persepsi negatif terhadap diri, eksplorasi pencapaian
keberhasilan sebelumnya, memotivasi keluarga untuk memberikan dukungan
pada pasien, dan buat pernyataan positif mengenai pasien.
Intervensi keperawatan pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan peforma
peran pada pasien 1 menurut Wagner, dkk (2013), intervensi memiliki tujuan
yaitu menyatakan penerimaan situasional diri, membuat tujuan yang realistis,
berencana untuk masa depan, bersikap realistik dalam pengobatan, dapat
menjalankan peran kembali, dan dapat menerima terjadinya perubahan peran
secara positif.
Intervensi keperawatan pada diagnosa keperawatan ansietas pada pasien 2
yang akan dilakukan menurut Donsu (2017) tujuannya secara umum yaitu
diharapkan pasien akan menunjukkan mekanisme koping yang adaptif dalam
mengatasi stres. Adapun tujuan rencana keperawatan, yaitu membantu
pasien mengenali ansietas dan mampu menangani melalui teknik relaksasi.
Diharapkan, pasien mampu memperagakan dan menggunakan teknik
relaksasi untuk mengatasi ansietas.
Intervensi keperawatan yang akan dilakukan pada diagnosa keperawatan
risiko harga diri rendah situasional untuk kedua pasien berdasarkan NOC dan
NIC (2015) diantaranya monitor pernyataan pasien mengenai harga diri,
bantu pasien untuk menemukan penerimaan diri, dukung pasien melakukan
kontak mata pada saat berkomunikasi dengan orang lain, memberi pujian
terkait dengan kemajuan pasien dalam mencapai tujuan, instruksikan
orangtua dan keluarga mengenai pentingnya minat dan dukungan mereka
dalam pengembangan konsep diri positif.
Menurut Stuart (2013) intervensi keperawatan perlu dilakukan untuk
mengatasi masalah harga diri rendah situasional dengan menggunakan
pendekatan khusus. Dan intervensi keperawatan yang dilakukan bertujuan
untuk meningkatkan kembali harga diri pasien, sehingga pasien dapat
mencapai aktualisasi diri yang maksimal dan menyadari potensi diri yang
dimiliki.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada pasien 1 dan 2 dengan
diagnosa keperawatan gangguan citra tubuh yaitu penulis telah membina
hubungan saling percaya dengan pasien dengan cara salam dan memberikan
sentuhan terapeutik, bersikap empati dengan pasien, mendengarkan
pembicaraan pasien, bercakap-cakap dengan pasien, memberi kesempatan
pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya terhadap kondisi tubuhnya,
mengidentifikasi penyebab terjadinya perubahan pada tubuh pasien,
mendiskusikan tentang fraktur yang dapat memengaruhi gangguan citra
tubuh, mendiskusikan tindakan yang bisa meningkatkan citra tubuh dan
memberikan informasi tentang kondisi penyakit yang diderita pasien saat ini.
Tindakan yang dilakukan penulis sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Tarwoto dan Wartonah (2015) yaitu membina hubungan saling percaya,
melakukan pendekatan terapeutik, mengkaji penyebab gangguan citra tubuh,
diskusikan hal-hal positif dan beri respon yang positif. Salah satu tindakan
yang dilakukan pada kedua pasien dengan memanfaatkan keluarga yaitu agar
keluarga memotivasi pasien.
Berdasarkan analisa penulis implementasi keperawatan yang dilakukan
penulis sesuai dengan rencana keperawatan yang telah direncanakan.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada pasien agar ada persepsi
pasien menjadi positif terhadap tubuhnya dan citra tubuh pasien positif.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada pasien 1 dengan diagnosa
keperawatan ketidakefektifan peforma peran yaitu mendiskusikan mengenai
perasaan yang dirasakan oleh pasien mendukung pasien untuk bisa
mengungkapkan dan menjelaskan perasaannya, mengidentifikasi peran yang
biasanya dalam keluarga, memberikan reinforcement positif, melibatkan
keluarga untuk memberikan dukungan dan mendukung pasien untuk
mengidentifikasi gambaran realistik dari adanya perubahan peran.
Implementasi keperawatan yang dilakukan sesuai dengan teori Stuart (2013)
ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan
dan individu yang mengalaminya sebagai frustasi.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada pasien 2 dengan diagnosa
keperawatan ansietas yaitu membina hubungan saling percaya dengan pasien
dan keluarga, mengidentifikasi persepsi pasien, mempertimbangkan
keinginan individu untuk berpartisipasi, mendiskusikan dengan pasien
tentang teknik relaksasi dan menjelaskan cara teknik relaksasi napas dalam.
Hal ini sesuai dengan teori menurut Donsu (2017), tindakan keperawatan
yang diberikan kepada pasien dengan ansietas yaitu dengan bina hubungan
saling percaya, bantu pasien dalam mengenal ansietas, bantu pasien untuk
menguraikan perasaannya, mengajak pasien melakukan teknik relaksasi
untuk meningkatkan kontrol dan rasa percaya diri pasien, dan memotivasi
pasien untuk melakukan teknik relaksasi setiap ansietas muncul.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada pasien 1 dan pasien 2
dengan diagnosa keperawatan risiko harga diri rendah situasional dilakukan
dengan membina hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga,
mengidentifikasi persepsi pasien terhadap harga dirinya, memonitor
pernyataan pasien mengenai harga diri, mendiskusikan aspek positif pada diri
pasien, mendiskusikan kegiatan yang bisa dilakukan pasien dan
menganjurkan keluarga untuk selalu memotivasi pasien.
5. Evaluasi Keperawatan
Hasil evaluasi untuk diagnosa keperawatan gangguan citra tubuh pada kedua
pasien yaitu pasien 2 lebih cepat mandiri dan meningkat citra tubuhnya
daripada pasien 1. Berdasarkan kemajuan pasien tersebut, citra tubuh pasien
2 lebih cepat meningkat disebabkan karena pada pasien 2 terdapat faktor
pendukung seperti teman, keluarga, kemampuan diri pasien. Sedangkan pada
pasien 1 faktor pendukung hanya keluarga saja dan tingkat stress pasien 2
lebih tinggi daripada pasien 2, dan pasien 2 mengalami masalah pada daya
ingat yang juga dapat disebabkan karena pengaruh usia pasien.
Hal tersebut sesuai menurut Henggaryadi dan Fakhrurrozin (2008) dalam
Desi (2010) menjelaskan bahwa penilaian seseorang terhadap citra tubuhnya
akan menentukan juga cara seseorang menilai dirinya positif atau negatif.
Apabila seseorang menilai dirinya positif, maka ia akan yakin akan
kemampuan dirinya. Menurut Muhith (2015) kriteria hasil yang diharapkan
pada pasien dengan gangguan citra tubuh diantaranya pasien dapat
meningkatkan keterbukaan dan hubungan saling percaya, dapat
mengidentifikasi perubahan yang terjadi pada tubuhnya, dapat menerima
realita, dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan, melakukan
tindakan yang sesuai dengan kondisi sakit dan dapat memanfaatkan sistem
pendukung yang ada.
Berdasarkan asumsi penulis, evaluasi yang didapatkan pada pasien tersebut
berpengaruh terhadap pemanfaatan sistem pendukung yang ada pada pasien.
Oleh karena itu evaluasi pada pasien sesuai dengan teori.
Hasil evaluasi untuk diagnosa keperawatan ketidakefektifan peforma peran
pada pasien 1 yaitu pasien mengatakan sudah mengetahui peran yang masih
bisa dilakukannya dalam keluarga, dan pasien mengatakan akan tetap
berpikiran positif dan selalu berdoa, dan pada saat observasi pasien tampak
tidak ada melamun dan mengeluh lagi.
Menurut Swanson, dkk (2013) kriteria hasil yang diharapkan pada pasien
dengan ketidakefektifan peforma peran yaitu penerimaan diri situasional diri,
membuat rencana untuk masa depan, memasukkan perubahan dalam konsep
diri tanpa peran negatif, pasien dapat bersikap realistis dalam pengobatan,
pasien dapat menjalankan perannya kembali, dapat menerima perubahan
peran secara positif. Sedangkan menurut Yusuf, dkk (2015) hal yang
mempengaruhi penyesuaaian individu terhadap peran antara lain ialah
kejelasan prilaku yang sesuai dengan peran dan pengetahuannya terhadap
peran yang diharapkan, respon yang konsisten dari orang yang berarti
terhadap perannya, kesesuaian norma, budaya serta perbedaan situasi yang
dapat menimbulkan peran yang tidak sesuai.
Berdasarkan asumsi penulis, evaluasi pada pasien 1 sesuai dengan teori
karena pasien mengetahui adanya perubahan peran pada pasien, memiliki
keinginan dan harapan untuk mampu melaksanakan perannya kembali. Dan
perubahan peran yang dirasakan oleh pasien disebabkan karena transisi
kondisi sehat sakit pada pasien sehingga pasien tidak dapat menjalankan
perannya.
Hasil evaluasi untuk diagnosa keperawatan ansietas pada pasien 2 yaitu tidak
cemas, tidak gelisah, pasien telah mampu mempraktikkan teknik relaksasi
napas dalam dan keluarga mengatakan sudah tidak terlalu cemas melihat
kondisi pasien saat ini dan selalu mendukung pasien. Hal tersebut sesuai
dengan kriteria hasil menurut NOC (Nursing Outcomes Classification) yaitu
pasien dapat beristirahat, tidak gelisah, tidak ada rasa takut yang disampaikan
secara lisan, tidak ada rasa cemas yang disampaikan secara lisan, tidak ada
berkeringat dingin, tidak ada perubahan pola makan, dan tidak menarik diri.
Hasil evaluasi untuk diagnosa keperawatan risiko harga diri rendah
situasional pada pasien 1 yaitu ia sudah mulai percaya diri dengan
kondisinya saat ini, pasien mengatakan ia masih berguna bagi keluarganya,
pasien mengatakan ia mengetahui aspek positif dalam dirinya, pasien
mengatakan ia sudah bisa menerima kondisinya saat ini, dan keluarga
mengatakan akan selalu memotivasi pasien. Dan pada saat observasi tampak
ada kontak mata saat interaksi dan pasien tampak sudah bisa tersenyum.
Sedangkan pada pasien 2 mengatakan ia masih merasa kurang percaya diri
dengan kondisinya saat ini, pasien mengatakan ia masih berguna bagi
keluarganya, pasien mengatakan ia sudah mengetahui aspek positif dalam
dirinya. Dan pada saat observasi tampak ada kontak mata saat interaksi,
pasien sudah mengetahui aspek positif dalam dirinya dan tampak pasien
sudah dapat berinteraksi dengan keluarga dan orang lain.
Evaluasi keperawatan yang didapatkan dari kedua pasien dengan dignosa
risiko harga diri rendah situasional yaitu pada pasien 2 lebih cepat
mengalami peningkatan harga diri daripada pasien 1. Berdasarkan kemajuan
pasien tersebut, pasien lebih cepat mengalami peningkatan harga diri karena
adanya dukungan dari orang tua, keluarga dan teman sebaya serta
kemampuan diri pasien. Hal tersebut sesuai menurut Davidson dan McCabe
dalam Desi (2010) yaitu hubungan antara remaja dengan teman sebaya dan
keluarga dapat membantu dalam memandang dirinya. Dan juga hal tersebut
sesuai menurut Brockner (2011) dalam Desi (2010) keyakinan kemampuan
diri adalah hal yang spesifik dari harga diri. Kepercayaan diri adalah salah
satu aspek kepribadian yang penting pada seseorang. Tanpa adanya
kepercayaan diri akan banyak menimbulkan masalah pada diri seseorang.
Dikarenakan dengan kepercayaan diri, seseorang mampu mengaktualisasikan
segala potensi dirinya.
BAB V
PENUTUP
Penulis sudah melakukan asuhan keperawatan pada pasien 1 dan pasien 2 dengan
gangguan citra tubuh. Berdasarkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan yang
dilakukan pada kedua pasien dengan gangguan citra tubuh maka dapat disimpulkan.
A. Kesimpulan
1. Pengkajian Keperawatan
Pada pengkajian keperawatan pasien 1 dan 2 ditemukan terjadinya persepsi
negatif terhadap diri sendiri yang diakibatkan karena fraktur yang diantaranya
pasien 2 lebih terganggu citra tubuh dan harga dirinya daripada pasien 1.
Sedangkan pasien 1 lebih mengalami gangguan peran daripada pasien 2. Dan
pasien 2 lebih mengalami ansietas daripada pasien 1.
2. Diagnosa Keperawatan
Saat pengumpulan data dan menegakkan diagnosa keperawatan penulis
menemukan sedikit hambatan dalam berkomunikasi dengan pasien karena
kedua pasien kurang mau untuk berinteraksi dengan orang lain. Diagnosa yang
ditemukan pada kedua pasien ada perbedaan pada diagnosa kedua, yaitu pada
pasien 1 didapatkan diagnosa ketidakefektifan peforma peran sedangkan pada
pasien 2 didapatkan diagnosa ansietas. Dan pada diagnosa 1 dan 3 pada kedua
pasien sama, yaitu gangguan citra tubuh dan risiko harga diri rendah
situasional.
3. Intervensi Keperawatan
Pada perencanaan dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang ditemukan.
Penulis telah membuat perencaan sesuai teoritis. Pada perencanaan
keperawatan penulis menerapkan berdasarkan NOC dan NIC dan disesuaikan
dengan strategi pelaksanaan keperawatan.
4. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan yang dilakukan kepada kedua pasien telah sesuai
dengan perencanaan yang telah direncanakan. Tindakan keperawatan
dilaksanakan dan disesuaikan dengan keinginan dan partisipasi pasien.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan pada kedua pasien sudah teratasi. Dan faktor pendukung
bagi penulis dalam melakukan evaluasi pada pasien 1 dan pasien 2 yaitu kedua
pasien dan keluarga kooperatif dalam memberi informasi yang dibutuhkan
penulis untuk kelengkapan data. Dan dari evaluasi keperawatan masalah pada
pasien 2 lebih cepat teratasi daripada pasien 1.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Direktur RSUP Dr.M.Djamil Padang
Melalui direktur RSUP Dr.M.Djamil Padang diharapkan agar perawat
pelaksana juga fokus terhadap masalah psikososial yang dialami pasien
daripada masalah fisik pasien. Dan dapat melaksanakan asuhan keperawatan
masalah psikososial pada pasien fraktur terutama gangguan citra tubuh secara
komprehensif.
2. Institusi Pendidikan
Diharapkan bagi institusi pendidikan Karya Tulis Ilmiah ini dapat dijadikan
sebagai bahan bacaan dan jadi kepustakaan di institusi pendidikan.
3. Peneliti Selanjutnya
Diharapkan agar peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian tentang
masalah psikososial pada pasien fraktur.
DAFTAR PUSTAKA
Bararah dan Jauhar. 2013. Asuhan Keperawatan : Panduan Lengkap Menjadi Perawat
Profesional Jilid 2. Jakarta : Prestasi Pustaka Jakarta.
Brunner dan Suddart. 2017. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta : EGC.
Bulecheck, Gloria M, dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC).
Singapore : Elsevier.
Dermawan, Deden dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa; Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :
Nuha Medika.
Donsu, Jenitta Doli Tine. 2017. Psikologi Keperawatan. Yogyakarta : Pustaka Baru
Press.
Hamdani, Laura Sri. 2014. Gambaran Citra Tubuh Pasien Paska Operasi Fraktur
Ekstremitas Bawah di Rumah Sakit TK II Putri Hijau Medan. Universitas
Sumatera Utara.
Hariana, Sugi dan Yessi Ariani. 2007. Jurnal Keperawatan Vol.2 No.2 tentang
Respons Adaptasi Klien Dengan Fraktur Ekstremitas Bawah Selama Masa
Rawatan di RSUP H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan.
Medan : Universitas Sumatera Utara
http://www.scribd.com/document/210730603/Jurnal-Adaptasi-Pasien-Fraktur
diakses tanggal 27 Desember 2017 pukul 19.15
Herdman, T. Heather. 2016. Diangnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-
2017 Edisi 10. Jakarta : EGC.
Irman,Violina, dkk. 2016. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Jiwa 1. Padang : UNP Press.
Keliat, Budi Anna, dkk. 2013. Manajemen Keperawatan Psikososial dan Kader
Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Kemenkes RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta: Kemenkes RI.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/HasilRiskesdas2013.pdf,
diakses tanggal 20 Oktober 2017 pukul 20.10
Kemenkes. 2015. Modul Pelatihan Keperawatan Kesehatan Jiwa Masyarakat.
Jakarta : Badan PPSDM Kesehatan.
Lukman dan Nurna Ningsih. 2012. Asuhan Pada Klien dengan Gangguan
Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.
Maisyaroh, Seviya Gani, dkk. 2015. Jurnal tentang Tingkat Kecemasan Pasien Post
Operasi yang Mengalami Fraktur Ekstremitas : Universitas Padjajaran.
http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/view/103 diakses tanggal 29
Mei 2018 pada pukul 20.00 WIB.
Moorehead, Sue, dkk. 2016. Nursing Outcomes Interventions Classification (NOC).
Singapore : Elsevier.
Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi. Yogyakarta :
ANDI.
Mukhlis, Ahmad. 2013. Jurnal Psikologi tentang Berpikir Positif Pada Ketidakpuasan
Terhadap Citra Tubuh : Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik
Ibrahim Malang. http://psikologi.uin-malang.ac.id/wp-
content/uploads/2014/03/1-BERPIKIR-POSITIF-PADA-KETIDAKPUASAN-
TERHADAP-CITRA-TUBUH-Ahmad-Mukhlis.pdf diakses tanggal 19 Mei
2018 pada pukul 11.30 WIB.
Muttaqin, A., 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuluskeletal. Jakarta: EGC.
Notoadmojo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka
Cipta.
Nugraheni, Diah Husna dkk. 2009. Jurnal tentang Kualitas Hidup Pasien Post Fraktur
Pasca Gempa di Kecamatan Jetis Bantul Yogyakarta : Universitas Gajah
Mada.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=407842&val=5015&title=
Kualitas%20Hidup%20Pasien%20Post%20Fraktur%20Pasca%20Gempa%20D
i%20Kecamatan%20Jetis%20Bantul%20Yogyakarta diakses pada tanggal 19
Mei 2018 pada pukul 11.40 WIB.
Nurhalimah. 2016. Keperawatan Jiwa. Jakarta : PPSDM.
Nursalam, 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis, Edisi
3. Jakarta : Salemba Medika.
Prabowo, Eko. 2014. Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :
Numed.
Prasetyo, Budi. 2014. Jurnal tentang Kesiapan Meningkatkan Koping Pasien Fraktur
dengan Perubahan Harga Diri dan Performa Peran di RSO.Prof. Dr R
Seoharso Surakarta. Politeknik Surakarta : Kesehatan Majapahit
http://ejurnalp2m.poltekkesmajapahit.ac.id/index.php/HM/article/download/15/
148+&cd=1&hl=en&ct=clnk&gl=id diakses tanggal 25 Oktober 2017.
Putri, dkk. 2012. Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia (Pengetahuan dan
Keterbukaan Masyarakat Terhadap Kesehatan Mental). Universitas Padjajaran.
[diakses tanggal 13 November 2017 pukul 20.15]
Saryono dan Angraeni D.M. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika.
Stuart, G.W. 2013. Prinsip dan Praktek Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Ed 1. St
Louis, Missouri : Mosby Elsevier.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung :
Alfabeta.
Suhron. 2017. Asuhan Keperawatan Jiwa Konsep Self Esteem. Jakarta : Mitra Wacana
Media.
Undang Undang nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Tambahan Lembaran
Negara RI Tahun 2014, No.5571. Sekretariat Negara. Jakarta diakses tanggal 8
September 2017 pukul 19.30
Wagner, Cheryl M, dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi
Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Indonesia : CV. Mocomedia.
WHO. 2017. Mental Disorder http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs396/en/
diakses pada tanggal 20 Desember 2017
Wilkinson, J.M dan Ahern, N.R. 2009. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9.
Jakarta : EGC.
Willianto, Dian Anggraini. 2017. Hubungan Antara Konsep Diri dan Citra Tubuh
Pada Perempuan Dewasa Awal.
https://repository.usd.ac.id/10079/2/129114031_full.pdf diakses pada tanggal
6 Mei 2018 pada pukul 06.30 WIB
Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.