27

Click here to load reader

ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

Presentasi Referat Kepada Yth,Rabu, 23 April 2008 .................................

ASPEK NEUROPSIKIATRI

PADA PENYAKIT PARKINSON

Penyaji : dr. Taufik Mesiano : dr. Dini

: dr. FerdilaModerator : dr. Heriani Sp.KJ (K)

Narasumber : dr. Richard Budiman Sp.KJ (K) Pembahas : 1. dr. Imelda

2. dr. Yenny Sinambela 3. dr. Profitasari

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaRSUPN Cipto Mangunkusumo

Jakarta

Page 2: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

2008

ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

AbstrakManajemen pasien dengan penyakit Parkinson tahap lanjut sangatlah menantang kita dalam penanganannya dilihat dari segi motorik, sering timbul komplikasi gejala psikosis, yang disertai dengan berbagai komorbiditas neuropsikiatri lainnya. Penilaian dan penanganan pasien PD yang disertai gejala neuropsikiatri membutuhkan perhatian yang lebih besar bagi kita untuk lebih memperhatikan lagi berbagai faktor penyebab timbulnya gejala neuropsikiatri. Pengenalan secara dini dari gejala-gejala neuropsikiatri yang timbul hampir menyerupai gejala PD sangatlah penting dalam tatalaksana pasien lebih lanjut. Kata kunci : Penyakit Parkinson, komplikasi neuropsikiatri, manajemen

Pendahuluan

Penyakit Parkinson (PD) pertama kali dideskripsikan secara lengkap gejalanya

oleh seorang dokter dan geologis dari Inggris yaitu James Parkinson sekitar 2 abad yang

lalu (1817) melalui monografnya An Essay on the Shaking Palsy. Atas jasa dari Arvid

Carlsson sebagai pemenang Nobel Prize, saat ini kita mengetahui lebih dalam lagi

mengenai prinsip kelainan penyakit Parkinson yaitu hilangnya fungsi dopamine (DA) dan

pengobatan menggunakan levodopa sebagai metoda pengobatan yang dipakai, setidaknya

saat ini kita telah mencapai suatu tahap pengertian dimana kelainan yang terjadi dan

bagaimana cara memperbaikinya.1

Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurodegenerative progresif yang

disebabkan karena proses degenerasi spesifik neuron-neuron dopaminergik ganglia

basalis terutama di substansia nigra pars kompakta yang disertai inklusi sitoplasmik

eosinofilik (badan lewy). Penyakit Parkinson adalah tipe tersering dari suatu keadaan

Parkinsonism, lebih kurang 80% dari seluruh kasus. Selain itu penyakit Parkinson juga

merupakan penyakit neurodegenerative tersering kedua setelah demensia Alzheimer.2,3

Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit Parkinson tidak diketahui. Pada

umumnya PD muncul pada usia 40-70 tahun, rata-rata diatas usia 55 tahun, lebih sering

ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 3:2. Suatu kepustakaan

menyebutkan prevalensi tertinggi penyakit Parkinson terjadi pada ras Kaukasian di

1

Page 3: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

Amerika Utara dan ras Eropa (0,98 % hingga 1,94%); menengah terdapat pada ras Asia

(0,018 %) dan prevalensi terendah terdapat pada ras kulit hitam di Afrika (0,01 %). 3,4

PD terdapat 4 manifestasi gejala utama motorik : tremor saat istirahat, rigiditas,

bradikinesia (berkurang atau lambatnya suatu gerakan), dan instabilitas postural.1,5 Selain

itu pada PD juga terdapat gejala non motorik yang termasuk didalamnya adalah gangguan

sensoris dan otonom serta gangguan neurobehavioral (neuropsikiatri) seperti depresi,

ansietas, dan psikosis yang akan kita bahas lebih lanjut di dalam tulisan ini.5

Gejala Klinis Penyakit Parkinsons : Hubungannya terhadap Psikopatologi

Gejala Motorik

Penyakit Parkinson ditegakkan diagnosis secara pasti melalui ditemukannya :

degenerasi dan hilangnya sel saraf berpigmen di substansia nigra (pars compacta) dan

badan inklusi (Badan Lewi) intraneuronal di substansia nigra. Penyakit ini dapat

ditegakkan secara klinis yang timbul berupa trias motorik : 1) tremor saat istirahat, 2)

rigiditas, dan 3) bradikinesia/akinesia ( berkurang atau lambatnya suatu gerakan).

Penegakkan diagnosis penyakit Parkinson berdasarkan kombinasi gejala spesifik yang

timbul, namun terdapat heterogenitas pada setiap individu dan tidak ada yang spesifik.

Salah satu klasifikasi yang dipakai untuk penegakkan diagnosis PD secara klinis yaitu

melalui kriteria dari Hughes 5,6:

Possible

Terdapat salah satu dari gejala utama : resting tremor, rigiditas, bradikinesia,

kegagalan refleks postural

Probable

Kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan refleks postural) atau satu dari

tiga gejala pertama yang tidak simetris (dua dari empat tanda motorik)

Definite

Kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala dengan satu gejala lain yang

tidak simetris (tiga tanda kardinal) dan responsif terhadap pengobatan levodopa.

2

Page 4: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

Lebih jauh lagi gejala klinis tidak terjadi pada awal penyakit Parkinson dan dapat

terjadi kesalahan diagnosis dengan menganggapnya sebagai suatu fenomena depresi.

Sebagai salah satu contoh kasus seorang pasien di poliklinik, teman-temannya

menyatakan kepada dokter bahwa sekitar 10 tahun sebelum diagnosis PD ditegakkan,

pasien ini dikatakan tidak pernah tersenyum setiap di foto.

Pada suatu seri penelitian klinis paling akhir menunjukkan bahwa gejala klasik

tremor pada pasien PD terjadi sekitar 70 % pada awal penyakit, dan sekitar 5 % nya

datang dengan depresi atau nervousness. Pada penelitian yang sama, terdapat subgroup

penelitian mengalami gejala somatik yang bervariasi, yaitu terdapatnya muka topeng atau

kelelahan, yang dapat disalah persepsikan sebagai gejala primer depresi dibanding

sebagai PD. 5,6

Gejala-gejala yang terjadi pada pasien berhubungan dengan trias motorik pada

PD, beberapa diantaranya bertumpang tindih dengan terjadinya suatu gangguan mood.

PD dapat dianggap sebagai suatu kelainan primer depresi, dan terjadinya depresi menjadi

tidak dikenali pada pasien PD. Dan setelah dua keadaan klinis tersebut terdeteksi akan

timbul kesulitan dalam menentukan manakah yang menjadi fenomena klinis motor

primer atau patologi primer psikiatrik. (lihat table 1). Sebagai contoh, bradikinesia juga

dikenal sebagai komponen didalam depresi, dan biasa dideskripsikan sebagai retardasi

psikomotor. 5,6

Gejala tremor yang terjadi pada sekitar 80 % pasien dengan penyakit Parkinson,

dapat menjadi suatu komponen yang signifikan pada gejala ansietas. Beberapa pasien

juga melaporkan adanya tremor anggota dalam tubuh yang juga dapat berhubungan

dengan ansietas. Tremor yang timbul pada awal dari PD menjadi sulit dikenali sebagai

suatu gejala PD bila tidak disertai gejala motorik lainnya. Rigiditas ditandai adanya

peningkatan tonus saat pergerakan pasif, dapat juga bermanifestasi dalam bentuk seperti

keram otot ataupun nyeri. Adanya rigiditas meimbulkan suatu kelainan dalam berjalan

dan mengganggu postur tubuh, refleks posisi tubuh yang menghilang, gangguan

keseimbangan bahkan kejadian jatuh pada pasien PD sering terjadi seiring dengan

progresivitas penyakit. Gejala lainnya seperti disartri, gangguan visual dan

genitourinarius, gangguan tidur, kulit berkeringat dan berminyak, edema, konstipasi,

parestesia, kelelahan dan penurunan rasa penciuman juga dapat terjadi pada keadaan PD

3

Page 5: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

tingkat lanjut. Fenomena-fenomena tersebut dapat terjadi sebagai gangguan mood dan

terapi antidepresan. 5,6

TABEL 1. Gejala Umum pada Penyakit Parkinson dan Depresi Mayor

Penyakit Parkinson Depresi Mayor

Motor Bradikinesia Psikomotor

Postur terhenti +/- Postur terhenti

Muka topeng Afek terbatas/depresi

Kognitif Gangguan Memori Gangguan Memori

Gangguan konsentrasi Gangguan konsentrasi

Indecisiveness Indecisiveness

Vegetatif Energi berkurang Energi berkurang

Fatigue Fatigue

Gangguan tidur Gangguan tidur

Nafsu makan berubah Nafsu makan berubah

Somatik Gangguan fisik Gangguan fisik

Gangguan Kognitif

Dalam perkembangan penyakitnya, PD dapat menyebabkan gangguan kognitif

yang bervariasi tingkat keparahannya. Penyebabnya adalah multifaktorial, menyangkut

didalam sistem dopamin di subkortikal – frontal dan sistem ekstrastriatum.Gangguan

kognitif (disfungsi eksekutif, visuospasial, memori, dan atensi) pada pasien PD dapat

menimbulkan hendaya pada pasien dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari ataupun

kegiatan rumah tangga serta dapat membuat pasien menjadi tertekan. Terdapatnya

gangguan mood yang terjadi, menyertai, atau mengikuti perubahan kognitif dapat

mengganggu dalam penilaian gangguan fungsi kognitif yang terjadi dan gangguan yang

terjadi seakan lebih berat daripada kenyataannya. Sekitar 25 % pasien berkembang

menjadi demensia tipe Alzheimer dengan terdapatnya afasia, apraksia, dan defisit

memori. Sementara depresi dapat terjadi bersamaan pada pasien PD dengan demensia,

keluarga dan klinisi yang melihat terjadinya kurangnya sosialisasi pada pasien

4

Page 6: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

menganggapnya sebagai suatu kelainan depresi dibandingkan suatu keadaan hendaya

fungsi kognitif sehingga pasien diberikan obat-obatan antidepresan.

Pengenalan gejala demensia pada PD sangatlah penting bagi klinisi karena pada

pasien-pasien ini sangat rentan dalam pemberian obat-obatan psikoaktif yang dapat

mengakibatkan terjadinya delirium, dan lebih jauh lagi sebagai penyebab nursing home

pada pasien PD.6

Terapi Komplikasi Motorik dan yang berhubungan

Kebanyakan medikasi antiparkinson dapat mengurangi gejala-gejala motorik

melalui peningkatan availabilitas dopamine, dimana saat ini sedang berkembang terapi-

terapi yang baru. Walaupun begitu dengan medikasi obat-obatan tersebut dapat

menyebabkan komplikasi seperti delirium, perubahan mood, dan psikosis. Suatu

prekursor dopamine yaitu levodopa merupakan terapi yang efektif untuk mengkontrol

gejala motorik pada PD. Pemberian levodopa ini biasanya dikombinasikan dengan

pemberian preparat carbidopa, yang merupakan enzim penghambat metabolisme

dopamine di perifer. Bromokriptin, pergolide, dan agen-agen yang baru seperti

pramipexole dan ropinirole merupakan agonis reseptor dopamine, yang cara kerjanya

meningkatan aktifitas dopamine paska sinap. Deprenyl atau selegeline, suatu penghambat

oxidase-B monoamine, dan talcapone, suatu penghambat transferase katecolamin, bekerja

menghambat metabolisme dopamine dan meningkatkan sinaps dopamine. Amantadin dan

agen antikolinergik seperti trihexiphenidyl dan benztropine juga digunakan untuk

mengkontrol gejala motorik.6

Penggunaan obat-obatan tersebut jangka panjang dan kombinasi progresifitas PD

lama kelamaan akan mempengaruhi stabilitas mood. Selain itu perkembangan penyakit

menyebabkan terjadinya fluktuasi periode ‘on’ dan ‘off’ motorik pasien yang

mengakibatkan peningkatan kebutuhan dosis yang lebih tinggi lagi untuk mengatasinya.6

Fluktuatif gejala motorik yang terjadi pengaruhnya sangat bervariasi pada pasien

PD, tergantung kemampuan pasien dalam mentoleransi fluktuasi motorik yang terjadi.

Pada beberapa pasien fluktuatif motorik ini menyebabkan suatu keadaan distress,

disabilitas, disfigur atau memalukan, berbeda-beda antara tiap pasien. Pandangan pasien

terhadap fluktuasi motorik yang terjadi ini dipengaruhi oleh keadaan jiwa dan

5

Page 7: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

kemampuan kognitif seseorang. Emosi dapat mencetuskan suatu keadaan fluktuasi

motorik, walaupun pada beberapa pasien fluktuasi terjadi tanpa suatu pencetus.6

Suatu reaksi psikologis dapat berpengaruh terhadap fluktuasi motorik, perubahan

mood berhubungan erat dengan terjadinya fluktuasi motorik, diperkirakan mekanisme

utama dari dopaminergik. Biasanya, pasien akan mengalami perubahan mood menjadi

depresi atau ansietas pada periode off dan menjadi neutral atau mood meningkat pada

periode on. Pada laporan lainnya mendeskripsikan suatu keadaan iritabel, apatis,

halusinasi, psikosis, berteriak-teriak, dan tumpulnya kognisi saat periode off dan

hiperseksualitas, hipomanik selama periode on. Manajemen pengobatan gangguan mood

yang berhubungan dengan fluktuasi motorik pada pasien PD sangat sulit. Manajemen

pengobatan yang diberikan harus memperhatikan rejimen antiparkinson yang diberikan,

dan penentuan adanya gangguan mood.6

Terapi operatif pada pasien PD telah dimulai lebih kurang 30 tahun yang lalu, dan

sangat membantu dalam mengontrol gejala yang timbul serta komplikasi yang terjadi.

Palidotomi merupakan terapi pilihan pada pasien PD dengan diskinesia dan fluktuasi

motorik. Talamotomi dikerjakan untuk mengatasi tremor pada pasien PD dan kondisi

esensial tremor lainnya atau multiple sclerosis. Beberapa analisis palidotomi dapat

mengurangi kejadian ansietas dan depresi tetapi tidak berhubungan dengan perbaikan

motorik. Terapi mutakhir lainnya yang tidak terlalu invasive yaitu deep brain stimulation

(DBS), semacam pacemaker yang ditanamkan pada otak yang memberi impuls listrik ke

thalamus atau globus palidus yang dapat diatur kebutuhannya dalam mengatasi tremor

yang terjadi.6

Komplikasi Psikiatrik

Selama bertahun-tahun, diperkirakan fenomena psikiatrik yang terjadi pada PD,

seperti perubahan afek, dikatakan berhubungan dengan berkurangnya dopamine dan

gangguan motorik. Setelah ditemukannya penggunaan terapi levodopa pada tahun 1960,

hampir dua pertiga pasien PD mengalami gangguan afektif yang persisten, walaupun

telah diberikan terapi antiparkinson, dan perubahan mood yang terjadi sulit diperbaiki

dengan terapi antidepresan. Jadi dapat dikatakan penyebab utama gangguan psikiatrik

pada PD disebabkan oleh kelainan neurodegeneratif, selain itu reaksi psikologis terhadap

6

Page 8: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

keadaan klinis yang terjadi harus pula dipertimbangkan. Perkembangan PD menjadi suatu

tahap yang lebih lanjut didasari oleh kehilangan saraf-saraf dopaminergik di substansia

nigra dan efek sekunder pada proyeksi pada sistem yang menyangkut nucleus kaudatus,

putamen (striatum), frontal dan bagian dari girus cinguli. Berdasarkan hal tersebut,

bervariasinya gejala motorik dan non motorik pada PD dan hubungan diantara gejala

tersebut merupakan hasil dari terjadinya disfungsi sirkuit kortiko-basal ganglia-

thalamus.6

Selain hilangnya neuron dopaminergik pada PD juga terjadi degenerasi pada

neuron-neuron noradrenergik di lokus seruleus, neuron serotonergik di bagian dorsal dari

raphe, dan saraf kolinergik di nucleus basalis dan sistem proyeksinya.Tingkat kehilangan

saraf pada saraf-saraf tersebut diperkirakan menjadi penyebab dari heterogennya gejala

motorik, kognitif, dan psikiatrik yang terjadi pada pasien PD. Hal ini telah dibuktikan

oleh Paulus dan Jellinger yang menunjukkan terjadinya perbedaan pola neuropatologis

yang terjadi pada pasien PD yang rigid-akinetik dibandingkan dengan PD dengan

dominant tremor.

Pada penelitian serial oleh peneliti yang sama menunjukkan pada pasien PD

dengan demensia terjadi lesi yang sama dengan tipe Alzheimer dan kehilangan sebagian

saraf di daerah medial dari substansia nigra, sedangkan pada pasien dengan depresi

terjadi kehilangan saraf yang besar pada raphe bagian dorsal. Walaupun begitu pada

pasien dengan psikosis tidak terjadi kelainan neuropatologis yang spesifik.6

Hubungan antara fenomena motorik, kognitif, dan psikiatrik pada pasien dengan

PD merupakan tantangan bagi para klinisi untuk melakukan penilaian psikopatologi pada

pasien. Sulitnya penilaian psikopatologi pada PD juga terjadi akibat berfluktuasinya efek

pengobatan psikoaktif ditambah dengan perkembangan progresif dari penyakit. Oleh

karenanya para klinisi harus lebih melakukan anamnesa yang lebih dalam pasien

mengenai kondisi psikiatrik pasien sebelumnya, riwayat keadaan keluarga, temperamen,

mekanisme koping , keadaan sosial dan kejadian penting yang terjadi dalam hidupnya.

Gangguan Mood

Pasien dengan PD idiopatik sekitar 90 % nya mengalami komplikasi psikiatrik,

termasuk didalamnya gangguan mood mayor (depresi mayor, distimia, atau gangguan

7

Page 9: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

bipolar); gangguan penyesuaian; gejala ansietas disabling, perubahan mood yang

dicetuskan oleh obat, rasa sedih patologis, demensia; keadaan apatis; atau delirium.

Gangguan mood yang berfluktuasi (perubahan mood dari mood depresi menjadi

hipomani yang dapat terjadi beberapa kali sehari) diperkirakan terjadi pada 7 % hingga

21 % pasien PD. Perubahan mood ini diasanya terjadi mengikuti fluktuasi motorik, pada

saat pasien mengalami mood yang rendah (bercampur dengan keadaan depresi-ansietas)

terjadi pada saat periode off dan mood yang normal atau meningkat (euphoria dan

hipomanik) terjadi pada periode on. Namun, fluktuasi mood ini juga dapat terjadi tanpa

disertai fluktuasi motorik pada beberapa pasien. 6,7

Depresi

Depresi mayor terjadi hampir 40 % pada pasien dengan PD, angka kejadian

tersebut bervariasi dari tiap studi yang ada yaitu dari 4% hingga 70 %. Depresi mayor

terjadi pada hampir setengahnya pasien dengan depresi, sedangkan lainnya disertai

gangguan penyesuaian, distimia atau kelainan bipolar. Intensitas gejala depresi mayor

secara umum terjadi dari sedang hingga berat dan sering bersamaan dengan gejala

ansietas. Secara umum, studi yang ada tidak menunjukkan hubungan yang jelas antara

onset umur dan lamanya PD, riwayat anggota keluarga dengan gangguan mood, atau

riwayat pasien dengan episode depresi sebelumnya.6,7

Isu yang berkembang saat ini adalah apakah sindrom depresi mayor PD

merupakan reaksi dari disabilitas motorik atau apakah sindrom yang terjadi merupakan

perkembangan intrinsik proses PD. Dari studi yang ada belum ada yang dapat

menjelaskan secara jelas mengenai hubungan keadaan tersebut.7,8

Terlihat dengan jelas hubungan antara mood dan fenomena motorik sangatlah

kompleks. Menariknya adalah perbaikan motorik dengan obat-obatan tidak diikuti

dengan perbaikan mood, tetapi keberhasilan pengobatan depresi berhubungan dengan

perbaikan fungsi motorik. Dalam beberapa studi menunjukkan hubungan antara

perbaikan dari suatu episode depresi dan gangguan kognitif setelah mendapatkan

pengobatan gangguan mood. 6,7,8

Beberapa studi menunjukkan implikasi serotonin terhadap terjadinya depresi pada

PD. Studi neurokimia menunjukkan turunnya jumlah metabolit serotonin (5-HIAA) baik

8

Page 10: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

di perifer dan sentral, yang terjadi perbaikan gejala depresi dengan terapi serotonergik,

dan penurunan pengikatan platelet-imipramin pada pasien PD dengan depresi. Pada studi

neuroimaging pada pasien PD dengan depresi menunjukkan hipometabolisme relatif di

daerah kaudatus dan orbito-frontal inferior dan bagian medial lobus frontal dibandingkan

pasien PD tanpa depresi dan subyek kontrol.9

Apatis

Gejala apatis dapat timbul pada PD dengan gejala depresi mayor. Terdapat dua

studi yang menelaah apatis yang terjadi pada PD. Pada studi sebelumnya, depresi dan

apatis dapat timbul bersamaan pada sekitar 30 % sample, dan 12 % hingga 16 % pasien

hanya mengalami apatis saja. Dibandingkan dengan pasien PD yang eutimik, tidak

terdapat perbedaan bermakna dalam usia, jenis kelamin, lamanya menderita PD, atau

beratnya gangguan motorik tetapi pada pasien dengan sindoma apatis terjadi relative pada

usia lanjut dibandingkan dengan PD yang disertai depresi.6,7

Keadaan apatis merupakan analogi dari aspek PD itu sendiri, seperti keadaan

bradiphrenia dan bradikinesia, diperkirakan beberapa gejala kognitif, behavioral, dan

motorik pada PD saling berhubungan patofisiologinya. Sebagai buktinya yaitu keadaan

bradiphrenia berhubungan dengan hilangnya neuron pada lokus seruleus yang

berimplikasi terjadinya disfungsi noradrenergik.6,7

Emosionalisme

Pada beberapa studi mendapatkan suatu keadaan meningkatnya frekuensi

menangis atau labilnya emosi pada pasien PD disbanding pada subyek kontrol. Keadaan

emosi yang timbul pada PD merupakan suatu keadaan sentimental yang tinggi dan

berlebihan yang tidak sesuai, tidak dimotivasi dan tidak disadari. Biasanya berlangsung

singkat, tetapi sering mereka sampai timbul air mata. Keadaan menangis yang berlebihan

pada PD dapat terjadi sebagai tanda depresi mayor, inkontinensia emosional (dikenal

sebagai tertawa atau menangis patologis), delirium, atau dengan penggunaan

benzodiazepine. Pasien sering mendeskripsikan keadaan emosional yang berlebihan dan

tidak terkontrol biasanya dicetuskan melalui berbagai stimulus positif ataupun negatif,

sebagai contoh adegan di televisi yang membuat sedih, hal-hal pengkhawatiran tentang

9

Page 11: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

masa depan, atau melihat orang sedang berbuat kebaikan. Pada beberapa pasien,

emosionalitas ini membuat suatu keadaan yang sangat memalukan secara sosial, yang

menimbulkan fobia bagi pasien. Dari segi pasien sendiri dan atau keluarganya

menyimpulkan bahwa menangis ini berarti mereka “mengalami depresi” dan hal ini harus

disadari keadaan ini sering terjadi pada PD, bahkan tanpa disertai sindroma depresi

sekalipun. Pemeriksaan yang seksama mengenai keadaan emosional pasien PD

menunjukkan hampir 40 % pasien mengalami peningkatan keadaan menangis sejak onset

PD, dan 11 % nya keadaan emosionalnya lebih pervasif. Tidak ada hubungan yang pasti

antara emosionalitas dan gangguan kognitif atau sindroma depresi mayor.6

Ansietas

Keadaan ansietas merupakan masalah umum terjadi pada pasien PD, tetapi sering

kurang diperhatikan mengenai fenomena ini. Ansietas ini dapat terjadi ‘berdiri sendiri’

atau merupakan suatu gejala depresi, secara klinis keadaan ansietas terjadi pada sekitar

40 % pasien PD. Secara umum gejala yang timbul dapat berupa kelainan umum ansietas,

fobia sosial, dan kelainan panik, yang prevalensinya rata-rata sekitar 25 % pada beberapa

studi. Sindroma tersebut dapat terjadi sebelum atau menyertai sindroma depresi mayor,

dan dapat terjadi setelah keadaan depresi diterapi. Disamping itu semua, kita sebagai

klinisi haruslah memilah apakah keadaan ansietas yang terjadi akibat respon psikologis

yang masih bias ditolerir karena akibat gejala motorik yang timbul atau apakah suatu

keadaan yang lebih personal.Sindroma ini juga dapat terjadi secara independent akibat

kadar levodopa yang berfluktuasi. Disfungsi otonom yang merupakan komplikasi yang

umum pada pasien PD disamping suatu keadaan status psikiatrik, juga dapat berhubungan

dengan keadaan ansietas atau depresi. Berdasarkan hal tersebut, keluhan somatik (flusing,

dizziness, sering berkemih, atau perubahan dari denyut jantung) harus dievaluasi lebih

hati-hati karena dapat terjadi kesalahan diagnosis (dan salah terapi), bila hal tersebut

mewakili dari sindroma afektif.6,7

Sindroma ansietas pada PD tampaknya berhubungan dengan penyakit otak yang

mendasari, dengan implikasi disfungsi noradrenergik. Pada beberapa studi menunjukkan

sindroma ansietas mendahului onset dari gejala motorik, tetapi juga dapat timbul

setelahnya. Studi lain juga memaparkan mengenai hubungan antara gejala panik dan

10

Page 12: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

fluktuasi pengobatan antiparkinson dan gejala motorik, tetapi hubungan yang jelas antara

ansietas dan tingkat disabilitas, gejala motorik, dan pengobatan dengan dopaminergik

belum dipublikasikan.Walaupun begitu, sindroma ansietas pada PD dapat mewakili

perbedaan lokasi patologi pada PD. Pada analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa

kemampuan kognitif pada pasien PD dengan keadaan ansietas relatif lebih baik dibanding

tanpa keadaan ansietas, terutama mengenai pemeriksaan yang berhubungan dengan

proses kognitif lobus frontal.6,7,8

Psikosis

Halusinasi dan delusi terjadi pada 40 % pasien PD dan merupakan penyebab

utama penempatan pasien di tempat perawatan. Gejala halusinasi yang sering timbul

berupa halusinasi visual pada sekitar 15 % hingga 40 % pada suatu studi cross-

sectionally. Prevalensi pada suatu studi komunitas kejadian halusinasi sekitar 9,8%

dengan insight yang baik dan 6% mengalami halusinasi berat atau delusi. Delusi sangat

jarang terjadi biasanya terjadi disertai dengan halusinasi dengan prevalensi yang

bervariasi yaitu sekitar 3 % hingga 30%. Halusinasi auditorik dilaporkan terjadi pada 8 %

hingga 13 % pasien dan dapat tidak terdiagnosis. 6,7

Psikosis yang timbul berhubungan dengan pengobatan dopaminergik, sekitar 20

% pada pasien PD. Psikosis dapat timbul secara spontan atau berhubungan dengan

gangguan kognitif, fluktuasi periode “on” dan “off”, gangguan mood, pengobatan

psikoaktif, dan atau keadaan delirium. Gejala psikosis yang timbul secara umum dapat

dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama terdiri dari gejala halusinasi visual berupa

gambaran ‘binatang’ atau ‘orang’ yang terjadi dengan rasa sensasi yang jelas dan disertai

insight. Tipe yang kedua halusinasi atau delusi yang terjadi menjadi persisten tetapi

dengan hilangnya insight. Pada grup yang ketiga, halusinasi atau delusi terjadi pada

keadaan delirium. 6,7,9

Halusinasi dan delusi juga terjadi sebagai gejala dari depresif mayor atau gejala

manik, hal ini merupakan diagnosis yang harus diperhatikan pada saat pasien dalam

keadaan agitasi. Pada suatu studi pada populasi tentang psikosis menunjukkan adanya

hubungan antara gejala psikotik dan umur, tahap perkembangan, dan subgrup diagnostik

dari PD, beratnya depresi, dan gangguan kognitif, dimana pengobatan antiparkinson tidak

11

Page 13: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

dibedakan diantara pasien PD dengan atau tanpa psikosis. Penemuan ini menunjukkan

patologi pada otak yang dipengaruhi sangatlah luas pada pasien dengan keadaan psikosis

dan menyangkal adanya pendapat mengenai perkembangan psikosis akibat pengobatan

antiparkinson. Adanya defisit kolinergik pada psikosis pasien PD telah menjadi

wacana.6,7,9

Patofisiologi psikosis pada PD tidak diketahui secara pasti (table 2). Laporan

terjadinya psikosis pada pasien PD sering timbul pada penggunaan terapi levodopa.4

Semua agen, termasuk agonis dopamine, amantadin, dan levodopa dapat menyebabkan

psikosis dan mengalami perbaikan dengan penurunan dosis. 4 Hal inilah yang menjadi

pemikiran bahwa psikosis yang terjadi akibat sekunder hipersensitifitas reseptor

dopamine di regio mesokortikal dan mesolimbik yang diakibatkan stimulasi berlebihan

dari pengobatan dopaminergik. Teori lain mengatakan, adanya ketidakseimbangan antara

sistem dopaminergik dan serotonergik akibat pengobatan dengan dopaminergik yang

menurunkan kadar serotonin atau stimulasi yang berlebihan dari reseptor serotonergik

karena terapi dopaminergik. Teori lainnya yaitu psikosis yang berkaitan dengan defisiensi

kolinergik yang biasanya terjadi pada pasien PD dengan gangguan kognitif, dikatakan

defisiensi kolinergik memegang peranan terjadinya psikosis.6,7,9

Tabel 2

Faktor Resiko terjadinya Psikosis pada PD

Faktor Primer

Terapi DopaminergikDopamin agonis (pergolid, bromokriptin, rapinirole, pramipexole), L-dopa Catechol-O-methyltransferase inhibitor (entacapone, tolcapone)Faktor Tambahan

Pengobatan Psikoaktifo Agen antiparkinson : antikolinergik, selegeline, amantadino Agen lain : benzodiazepine, antikolinergik lain, antihistamin, steroid, opiate

Kelainan Medis lainKondisi sistemik, dehidrasi, nyero, trauma intracranial yang tidak terdeteksi atau fraktur, infeksi akut atau subakut (ISK, pneumonia, konstipasi, selulitis)Kondisi Komorbiditas NeuropsikiatrikGejala depresi, sindroma depresi, demensia, penyalahgunaan L-dopaGangguan tidur

12

Page 14: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

Terapi

Suatu petunjuk terapi dari data-data empiris dalam menangani terapi kondisi

psikiatrik pada pasien PD sangat sedikit; data yang ada berupa laporan uji klinis terbuka

atau studi deskriptif. Pada suatu meta-analisis terakhir hanya terdapat 12 uji klinis terapi

depresi pada pasien PD namun kualitas literature ini sangatlah lemah. Lebih jauh lagi,

diantara uji klinis tersebut tidak menggunakan obat-obatan antidepresi yang baru dari

satu dekade terakhir. Hal yang sama terjadi pada terapi psikosis pada pasien PD, kecuali

pada suatu studi yang baru, dengan sample besar, multisenter, buta ganda, dengan kontrol

plasebo yang menunjukkan efikasi dengan menggunakan clozapin dosis kecil (6,25 mg –

50 mg/day). Mengenai terapi behavioral atau obat-obatan pada keadaan ansietas,

emosional, atau apatis pada pasien PD belum dilakukan studi lebih lanjut.5,6,7

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian obat-obatan psikotropik pada

pasien PD untuk mengatasi gejala-gejala psikiatrik adalah penyakit otak yang mendasari

dan usia pasien yang sebagian besar adalah usia lanjut yang mudah timbul efek samping.

Selain itu pengobatan psikiatrik meningkatkan risiko gejala motorik dan gejala gangguan

kognitif. Pada setiap pasien, langkah pertama yang perlu dilakukan termasuk

memperhatikan obat antiparkinson dan terapi medis yang lain, eliminasi polifarmasi yang

tidak penting, dan meminimalisasi fluktuasi pengobatan dan efek samping obat-interaksi

obat.5,6,7

Berdasarkan data ilmiah yang terbatas mengenai penggunaan agen antidepresan

pada pasien PD, pengobatan yang diberikan biasanya berdasarkan efek samping yang

akan muncul. Efikasi parsial ditunjukkan pada pemberian antidepresan trisiklik seperti

nortriptilin, yang menghambat reuptake serotonin-norepinephrin, dan bupropion, yang

menghambat norepinefrin dan reuptake serotonin. Penggunaan terapi electroconvulsive

merupakan salah satu pilihan terapi yang aman dan efektif untuk depresi pada pasien PD. 7,9

Secara umum, penggunaan benzodiazepine kurang baik ditoleransi untuk terapi

ansietas, agitasi, atau gangguan tidur yang berhubungan dengan depresi karena

memberikan efek yang kurang baik pada fungsi kognitif. Penggunaan benzodiazepine

hanya disarankan pada suatu keadaan akut agitasi yang berat membahayakan bagi pasien

dan orang lain; pemberian antipsikotik tidak terlalu efektif walaupun quetiapine dapat

13

Page 15: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

memberi efek yang memuaskan. Pemberian haloperidol tidak direkomendasikan pada

pasien PD karena dapat menginduksi parkinsonisme yang berat. Pemberian odansentron,

merupakan inhibitor serotonin 5-HT3, secara intravena, intrmuskular atau secara oral

dapat membantu keadaan emergensi. 5,6,9

Pengobatan psikosis pada pasien dengan PD secara umum harus memperhatikan

obat-obatan antiparkinson, menentukan masalah yang disertai dengan ansietas dan

gangguan tidur, edukasi pasien dan caregiver, dan bila diperlukan pemberian obat

antipsikosis. Penggunaan agen atipikal (clozapin, olanzapin, quetiapine, dan risperidon)

menunjukkan efektifitasnya pada dosis rendah untuk tatalaksana psikosis. Sayangnya

kebanyakan pasien tidak mentoleransi efek konfusi/delirium, sedasi atau meningkatnya

gejala Parkinson. Penggunaan agen kolinergik (donepezil) dapat menurunkan gejala

psikosis pada PD, yang mengimplikasi mekanisme dopaminergik.7

Penentuan dosis dan lamanya pengobatan dapat mempengaruhi respon terapi dan

efek samping yang timbul. Biasanya pasien respon dengan dosis kecil clozapin 6,25 mg –

12,5 mg perhari malam hari, tetapi beberapa pasien membutuhkan dan standar toleransi

atau dosis yang lebih tinggi. Clozapin merupakan standar emas agen antipsikotik yang

digunakan pada pasien dengan PD. Obat lain yang merupakan pilihan utama yaitu

quetiapin dengan dosis inisial 6,25 – 25 mg, malam hari. Dosis efektif pada pasien

dengan PD yaitu 50-75 mg perhari, tapi pada beberapa pasien membutuhkan dosis hingga

400 mg perhari. 7

Kesimpulan

Manajemen pada pasien dengan PD tahap lanjut sangatlah menantang kita dalam

penanganannya dilihat dari segi motorik, sering timbulnya gejala psikosis, yang disertai

dengan berbagai komorbiditas neuropsikiatri lainnya. Penilaian dan penanganan pasien

PD yang disertai gejala neuropsikiatri membutuhkan perhatian yang lebih besar bagi kita

untuk lebih memperhatikan lagi berbagai faktor penyebab timbulnya gejala

neuropsikiatri. Pengenalan secara dini dari gejala-gejala neuropsikiatri yang timbul

hampir menyerupai gejala PD sangatlah penting dalam tatalaksana pasien lebih lanjut.

14

Page 16: ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

DAFTAR PUSTAKA

1. Zigmond MJ and Burke RE. Pathophysiology of Parkinson’s Disease.

Neuropsychopharmacology: The Fifth Generation of Progress. Ch 123 p 1781-

1793

2. Cheryl HW. Diagnosis and managements Parkinsons Disease 2nd ed.

Professional Communications Inc. 1999

3. Rowland LP. Merrit’s Neurology 11th edition. Philadelphia. Lippincott Williams

& Wilkins.2005: 828-845

4. Tan LCS, Venketasubraniam, Hong CY, et.al. Prevalence of Parkinsons Disease

in Singapore.Neurology 2004; 62; 1999-2004

5. Fahn S and Ford B. Medical Treatment of Parkinson’s Disease and its

Complications in Neurological Therapeutics Principles and Practice vol 2 part 2.

Martin Dunitz. United Kingdom. 2003. p 2447-2482

6. Marsh Laura. Neuropsychiatric aspects of Parkinson’s Disease. Psychosomatics

41:1, January – February 2000.

7. Ferreri F. Agbokou C. Gauthier S. Recognition and management of

neuropsychiatric complications in Parkinson’s disease. CMAJ 2006;

175(12):545-52

8. Hanagasi HA dan Emre M. Management of the Neuropsychiatric and Cognitive

Symptoms in Parkinson’s Disease. Practical Neurology 2002;2;94-102

9. Marsh Laura. Psychosis in Parkinson’s Disease. Primary Psychiatry

2005;12(7):56-62

15