24
Asas-asas dalam Hukum Administrasi Negara : - Asas-asas umum pemerintahan yang baik/layak (AAUPB) - Prinsip-prinsip dalam good governance - Asas-asas HAN lainnya Kegunaan asas-asas dan prinsip-prinsip (AAUPB dan Good Governance) bagi HAN ini : - Sebagai dasar dalam pembentukan HAN. - Sebagai pedoman bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugas. - Sebagai dasar bagi kerjasama dan koordinasi diantara badan/pejabat administrasi negara. - Memelihara kewibawaan dan kepercayaan bagi administrasi negara dari masyarakat. Asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) : 1. Asas tidak boleh menyerobot wewenang badan administrasi negara lainnya Setiap badan administrasi negara mempunyai wewenang sendiri-sendiri. 2. Asas persamaan atau non diskriminatif Kesamaan hak bagi setiap warga negara.

Asas Pemerintahan Yang Baik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

qq

Citation preview

Page 1: Asas Pemerintahan Yang Baik

Asas-asas dalam Hukum Administrasi Negara :

-       Asas-asas umum pemerintahan yang baik/layak (AAUPB)

-       Prinsip-prinsip dalam good governance

-       Asas-asas HAN lainnya

Kegunaan asas-asas dan prinsip-prinsip (AAUPB dan Good Governance) bagi HAN ini :

-       Sebagai dasar dalam pembentukan HAN.

-       Sebagai pedoman bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugas.

-       Sebagai dasar bagi kerjasama dan koordinasi diantara badan/pejabat administrasi negara.

-       Memelihara kewibawaan dan kepercayaan bagi administrasi negara dari masyarakat.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) :

1. Asas tidak boleh menyerobot wewenang badan administrasi negara lainnya

Setiap badan administrasi negara mempunyai wewenang sendiri-sendiri.

2. Asas persamaan atau non diskriminatif

Kesamaan hak bagi setiap warga negara.

Perbuatan administrasi negara tidak boleh diskriminatif terhadap warga.

Hal-hal yang sama harus diperlakukan sama.

 Di peradilan asas persamaan jarang dipakai karena keadaan yang konkrit tidak

pernah sepenuhnya sama satu sama lain.

Pemerintah harus dapat memberikan alasan mengapa dalam pelaksanaan yang

sepintas sama akhirnya harus dipandang tidak sama.

3. Asas upaya memaksa

Dalam HAN perlu adanya sanksi sebagai upaya supaya orang taat kepada HAN.

4. Asas kepercayaan

 Harapan-harapan yang ditimbulkan sedapat mungkin harus dipenuhi.

Page 2: Asas Pemerintahan Yang Baik

Menepati janji-janji yang pernah diberikan, bisa dalam bentuk keterangan-

keterangan, aturan-aturan kebijaksanaan dan bentuk-bentuk rencana.

Asas ini menghalangi kebijaksanaan yang berlaku surut, yang merugikan para pihak.

5. Asas legalitas/kepastian hukum

Badan pemerintahan/pejabat pemerintahan untuk tidak menarik kembali suatu

keputusan atau mengubahnya yang menimbulkan kerugian bagi yang

berkepentingan.

Penarikan kembali keputusan atau pengubahan keputusan dapat dilakukan bila terjadi

hal-hal:

a. Karena perubahan keadaan atau pendapat.

b. Adanya kekeliruan, pihak yang berkepentingan mengetahui kekeliruan

tersebut.

c. Pihak yang berkepentingan memberikan keterangan yang tidak benar atau tidak

lengkap, sehingga menyebabkan keputusan yang keliru.

d. Tidak ditaati syarat-syarat yang dikaitkan pada keputusan tersebut.

Asas kepastian hukum dapat memberi kepada yang berkepentingan untuk

mengetahui dengan tepat hak dan kewajiban apa yang dikehendaki dari padanya

(adanya transparansi).

 Asas kepastian hukum menghalangi keputusan yang berlaku surut apabila keputusan

tersebut merugikan pihak yang terkena keputusan.

6. Asas kecermatan

Suatu keputusan harus dipersiapkan dan diambil dengan cermat. Meneliti semua

fakta dan kepentingan yang berhubungan langsung, juga memperhitungkan

kepentingan pihak ketiga yang mungkin terkena akibat dari keputusan tersebut.

Kalau fakta-fakta kurang menduking, dapat minta keterangan/mendengar dari pihak

yang berkepentingan atau pendapat para ahli.

7. Asas pemberian alasan (motivasi)

Suatu keputusan harus dapat didukung oleh alasan-alasan yang dijadikan dasarnya.

Alasan-alasan yang dikemukakan harus meyakinkan, pemberian alasan tidak saja

harus masuk akal, tetapi secara keseluruhan harus sesuai dan memiliki kekuatan

meyakinkan.

Page 3: Asas Pemerintahan Yang Baik

Pemberian alasan sedapat mungkin segera diumumkan atau diberitahukan bersama-

sama dengan keputusan yang telah dikeluarkan.Ciri-cirinya :

a. Adanya penyusunan yang rasional. Pemerintah harus dapat memberi alasan

mengapa pemerintah telah mengambil suatu keputusan tertentu.

b. Keputusan harus memiliki dasar fakta yang kuat.

c. Fakta-fakta yang menjadi titik tolah dari keputusan yang akan dikeluarkan

harus benar.

d. Pemberian alasan harus cukup dapat mendukung.

8. Asas larangan penyalahgunaan wewenang

Suatu wewenang tidak boleh digunakan untuk tujuan lain selain untuk tujuan dimana

wewenang itu diberikan. Bisa menimbulkan detournement de pouvoir.

9. Asas fairplay

Pemerintah di dalam mengeluarkan keputusan harus jujur sesuai dengan yang

diinginkan.

Pada tahu 1950 pemerintah Belanda membentuk komisi yang diketuai oleh Mr. De

Monchy yang bertugas menyelidiki cara-cara perlindungan hukum bagi penduduk/ rakyat.

Komisi ini telah berhasil menyusun asas-asas umum untuk pelaksanaan suatu pemerintahan yang

baik yang diberi nama “ General Principle of Good Government “.

Asas-asas umum menurut Komisi de Monchy adalah :

1. Asas Kepastian Hukum

Artinya didalam pemerintah menjalankan wewenagnya haruslah sesuai dengan aturan-aturan

hukum yang telah ditetapkannya. Pemerintah harus menghormati hak-hak seseoang yang

diperoleh dari pemerintah dan tidak boleh ditarik kembali. Pemerintah harus konsekwen atas

keputusannya demi terciptanya suatu kepastian hukum.

2. Asas Keseimbangan

Yaitu adanya keseimbangan antara pemberian sanksi terhadap suatu kesalahan seseorang

pegawai, janganlah hukuman bagi seseorang berlebihan dibandingkan dengan kesalahannya,

misalnya seorang pegawai baru tidak masuk kerja langsung dipecat, hal ini tidak seimbang

Page 4: Asas Pemerintahan Yang Baik

dengan hukuman yang diberikan kepadanya. Dengan adanya asas ini maka lebih menjamin

terhadap perlindungan bagi pegawai negeri.

3. Asas Kesamaan

Artinya pemerintah dalam menghadapi kasus yang sama/ fakta yang sama, pemerintah harus

bertindak yang sama tidak ada perbedaan, tidak ada pilih kasih dan lain sebagainya.

4. Asas Bertidak Cermat

Artinya pemerintah senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi

warga masyarakat, misalnya kewajiban pemerintah memberi tanda peringatan terhadap jalan

yang sedang diperbaiki, jangan sampai dapat menimbulkan korban akibat jalan diperbaiki.

5. Asas Motivasi

Artinya setiap keputusan pemerintah harus mempunyai alasan atau motivasi yang benar dan adil

dan jelas. Jadi tindakan-tindakan pemerintah disertai alasan-alasan yang tepat dan benar.

6. Asas Jangan Mencampuadukan Kewenangan

Artinya pemerintah jangan menggunakan wewenang untuk tujuan yang lain, selain tujuan yang

sudah ditetapkan untuk wewenang itu.

7. Asas Fair Play

Artinya pemerintah harus memberikan kesempatan yang layak kepada warga masyarakat untuk

mencari kebenaran dan keadilan, misalnya memberi hak banding terhadap keputusan pemerintah

yang tidak diterima.

8. Asas Keadilan dan Kewajaran

Artinya pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-wenang atau menyalahgunakan wewenang

yang diberikan kepadanya untuk kepentingan pribaduinya.

Page 5: Asas Pemerintahan Yang Baik

9. Asas Menanggapi Penghargaan Yang Wajar

Artinya agar tindakan pemerintah dapat menimbulkan harapan-harapan yang wajar bagi yang

berkepentingan, misalnya seorang pegawai negeri minta izin untuk menggunakan kendaraan

pribadi pada waktu dinas, yang kemudian izin yang telah diberikan untuk menggunakan

kendaraan pribadi dicabut, tindakan pemerintah demikian dianggap salah/ tidak wajar.

10. Asas Meniadakan Akibat-Akibat Suatu Keputusan Yang Batal

Asas ini menghendaki jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan, maka yang

bersangkutanharus diberi ganti rugi atau rehabilitasi.

11. Asas Perlindungan Hukum

Artinya bahwa setiap pegawai negeri diberi hak kebebasan untuk mengatur kehidupan

pribadinya sesuai dengan pandangan hidup yang dianutnya atau sesuai dengan nilai-nilai yang

terkandung dalam Pancasila.

12. Asas Kebijaksanaan

Artinya pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan undangundang dan

menyelenggarakan kepentingan umum. Unsur bijaksana harus dimiliki oleh setiap pegawai/

Pemerintah.

13. Asas Penyelenggraan Kepentingan Umum

Artinya tugas pemerintah untuk mendahulukan kepentingan umu daripada kepentingan pribadi.

Pegawai negeri sebagai aparatur Negara, abdi Negara, dan abdi masyarakat dan Pemerintah

menyelenggarakan tugas pemerintah dan pembangunan.

Page 6: Asas Pemerintahan Yang Baik

Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) Menurut UU RI Nomor 28

Tahun 1999.

Dalam Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa

Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma

kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih

dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dalam Bab III Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 menyebutkan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan

Negara meliputi :

1. Asas Kepastian Hukum ;

2. Asas Tertib Penyelenggaran Pemerintahan ;

3. Asas Kepentingan Umum ;

4. Asas Keterbukaan ;

5. Asas Proporsionalitas;

6. Asas Profesionalitas;

7. Asas Akuntabilitas.

Dalam penjelasan dari Pasal 3 dijelaskan yang dimaksud dengan :

1. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan

peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara

Pemerintah.

2. Asas Tertib Penyelenggaran Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan,

keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara.

3. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum, dengan cara

yang aspioratif, akomodatif, dan selektif.

Page 7: Asas Pemerintahan Yang Baik

4. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk

memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan

Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia

Negara.

5. Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan

kewajiban Penyelenggara Negara.

6. Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik

dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari

kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau

rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) Menurut Menurut World

Bank dan UNDP tahun 1997.

Suatu pemerintahan yang baik meliputi :

1. Participation

2. Rule of Law

3. Transparancy

4. Responsiveness

5. Concensus Orientation

6. Equity

7. Effectiveness and Efeciency

8. Acountability

9. Strategy Vision

Page 8: Asas Pemerintahan Yang Baik

Dari uraian-uraian di atas maka cirri-ciri Tata Pemerintahan yang baik antara lain adalah :

1. Mengikutsertakan seluruh masyarakat

2. Transparansi dan bertanggung jawab

3. Adil dan Efektive

4. Menjamin Kepastian Hukum

5. Adanya Konsensus masyarakat dengan Pemerintah dalam segala bidang

6. Memperhatikan kepentingan orang miskin.

Page 9: Asas Pemerintahan Yang Baik

Asas-asas Umum Pemerintahan Yang BaikProf.Dr.BagirManan, Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung Good Governance hindarkan rakyat dari tindakan negara yang merugikanGood Governance berkaitan dengan tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sedangkan pemerintahan dapat diartikan secara sempit dan luas. Dalam arti sempit, penyelenggaraan pemerintahan yang baik bertalian dengan pelaksanaan fungsi administrasi negara. Dalam kaitan ini, di Negeri Belanda (yang juga diikuti oleh ahli Hukum Administrasi Negara Indonesia) dikenal sebagai "Prinsip-prinsip atas asas-asas umum penyelenggaraan administrasi yang baik". Asas ini berisikan pedoman yang harus digunakan oleh administrasi negara dan juga oleh hakim untuk menguji keabsahan (validitas) perbuatan hukum atau perbuatan nyata administrasi negara. Asas ini pun meliputi antara lain: motivasi yang jelas, tujuan yang jelas, tidak sewenang-wenang, kehati-hatian, kepastian hukum, persamaan perlakuan,, tidak menggunakan wewenang yang menyimpang dari tujuan, fairness dan lain-lain.Harus diakui bahwa administrasi negara sebagai penyelenggara negara fungsi pemerintahan (eksekutif), selain memiliki konsentrasi kekuasaan yang makin besar, juga bersentuhan langsung dengan rakyat. Tindakan-tindakan penertiban, perizinan dan berberbagai pelayanan merupakan pekerjaan administrasi negara yang langsung berhubungan dengan rakyat. Setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau cara-cara bertindak yang tidak memenuhi syarat penyelenggaraan administrasi negara yang baik akan langsung dirasakan sebagai perbuatan sewenang-wenang atau merugikan orang tertentu atau pun rakyat banyak. Karena itu, betapa penting pelaksanaan asas-asas diatas untuk mencegah dan menghindari rakyat dari segala tindakan administrasi negara yang dapat merugikan rakyat.Tetapi, cabang-cabang penyelenggara negara yang lain, seperti pembentuk undang-undang (DPR) atau penegak hukum (kekuasaan kehakiman) tidak kurang perannya dalam mewujudkan dan menampakkan pemerintahan yang baik, kurang atau tidak baik. Pembentuk UU dapat membuat UU yang sewenang-wenang. Berbagai UU yang dibuat belum tentu berpihak kepada kepentingan rakyat banyak melainkan untuk kepentingan penguasa atau kepentingan kelompok tertentu yang tentu saja dominan, seperti para konglomerat dan lain-lain. Demikian pula dalam penegakkan hukum, dapat terjadi berbagai tindakan atau putusan yang sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan itu bukan hanya terjadi karena kekuasaan penegak hukum tidak berdaya atau berkolaborasi dengan penyelenggara cabang kekuasaan lain. Kesewenang-wenangan dapat juga terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan kebebasan yang ada pada penegak hukum. Berbagai tindakan hukum—seperti perkara perdata yang dijadikan perkara pidana, putusan hakim yang dirasakan tidak benar dan tidak adil, penundaan eksekusi yang merugikan pencari keadilan—sama sekali tidak terkait dengan ketidakberdayaan atau kolaborasinya dengan kekuasaan, melainkan karean penyalahgunaan kebebasan dalam memutus atau membuat suatu ketetapan.Menyikapi hal diatas, seyogyanya tinjauan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya berkenaan dengan fungsi administrasi

Page 10: Asas Pemerintahan Yang Baik

negara, melainkan juga termasuk pada cabang-cabang kekuasaan negara yang lain seperti pembentukan undang-undang dan penegak hukum.Berbagai ungkapan teoritik sering dilekatkan pada bentuk dan isi penyelenggaraan pemerintahan yang baik seperti: responsible, accountable, controlable, transparancy, limitable dan lain sebagainya.Bagi rakyat banyak, penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian dan bersih dalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-wenang baik atas diri, hak maupun harta bendanya.Dalam kaitan pelayanan dan perlindungan, ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung dengan rakyat yaitu administrasi negara dan juga penegak hukum. Karena itu sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan pada pembaharuan administrasi negara dan pembaharuan penegakkan hukum.Pelayanan yang dipanjang-panjangkan atau bertele-tele (birokratisasi), bukan hanya memperlambat, tetapi menjadi suatu fungsi "komersial", karena melahirkan sistem "uang pelicin", "hadiah" yang tidak lain dari suatu bentuk suap. Hal serupa terjadi pada penegakkan hukum . Keadilan yang ditentukan oleh kemampuan tawar-menawar menurut hukum tawar-menawar.Berdasarkan keadaan diatas, secara praktis usaha mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tidak lain dari pemerintahan yang bersih, memberikan kemudahan dan berbagai jaminan bagi rakyat banyak. Dan mengingat sentuhan langsung kepada masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan yang baik tidak lain dari upaya pembaharuan sistem adminstrasi negara (birokrasi) dan tata cara penegakkan hukum.Penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau pun tidak, tidak semata-mata terjadi karena ketentuan hukum yang tidak jelas, manajemen pemerintahan yang kurang baik atau berbagai faktor tata laksana pemerintahan lainnya.Tatanan politik yang berlaku dapat mempengaruhi bahkan menentukan baik, kurang, atau tidak baik penyelenggaraan pemerintahan. Politisasi birokrasi untuk mendukung regim politik yang berkuasa, menjadi salah satu contoh terjadinya segala bentuk sistem perkoncoan menuju pada korupsi, kolusi dan nepotisme. Lebih lanjut, politisasi birokrasi menyebabkan administrasi tidak berorientasi kepada kepentingan masyarakat, tetapi pada kekuasaan. Birokrasi menjadi tertutup dan tidak dapat terkontrol secara wajar. Faktor lain yang mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah kepastian dalam penegakkan hukum. Di masa Orde Baru ada semacam praktik yang ganjil, apabila seorang pejabat diketahui melakukan tindakan pidana korupsi, maka secara internal ia ditawari untuk mengembalikan hasil-hasil korupsi, namun pejabat korup ini tidak dihukum. Pengembalian hasil korupsi tersebut dianggap meniadakan sifat pidana dengan alasan negara atau pemerintah tidak mengalami kerugian. Perlindungan atas berbagai penyelewengan tersebut dilakukan antara lain demi "menjaga kewibawaan" satuan atau pejabat yang bersangkutan.Faktor manajemen pemerintahan juga ikut menentukan, termasuk sistem sentralisasi

Page 11: Asas Pemerintahan Yang Baik

yang mengabaikan penyelenggaraan pemerintah dalam satu sistem otonomi yang akan memungkinkan daerah dapat ambil bagian secara wajar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sentralisasi yang berjalan terutama 40 tahun terakhir selain melahirkan birokratisasi mahal, juga pada saat ini melahirkan berbagai tuntutan dari berbagai daerah untuk melepaskan diri dari ikatan RI.Tidak Selalu Memiliki KualifikasiTidak kalah penting adalah sumber daya manusia. Mulai dari rekuitmen (untuk sebagian dilakukan dengan dasar koncoisme atau suap) menyebabkan sumber daya manusa tidak selalu memiliki kualifikasi sebagai pengemban penyelenggara pemerintahan yang baik. Selain dasar-dasar hubungan primordial, ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem promosi tidak jarang menjadi hambatan memperoleh tenaga yang masih berpotensi melaksanakan tugasnya dengan baik. Promosi untuk menjadi Hakim Agung yang berasal dari hakim karir, misalnya, harus menempuh masa kerja dan jabatan yang panjang. Seorang mungkin bisa menjadi Hakim Agung hanya untuk masa yang pendek sebelum masa pensiun. Akibatnya yang bersangkutan tidak berkesempatan untuk melaksanakan tugas dalam jangka waktu yang wajar. Berbagai faktor diatas merupakan sebagian kenyataan yang menyebabkan sulitnya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Sebenarnya baik secara ilmiah maupun berbagai bentuk kebijakan telah banyak disusun konsep untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Tetapi tidak terlaksana sebagai mestinya, bila karena faktor-faktor politik maupun kurangnya kemauan dari pengelola pemerintahan.Langkah-langkahDemokrasi dan juga supremasi hukum seyogyanya menjadi pangkal tolak mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Berdasarkan prinsip demokrasi dan supremasi hukum dapat diharapkan unsur-unsur seperti keterbukaan, dapat diawasi, akuntabilitas dan lain sebagainya. Usaha untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dapat dilakukan seperti cara di bawah ini.Pertama, melanjutkan pembaharuan politik. Peraturan perundang-undangan di bidang politik yang menjadi dasar pembentukan pemerintahan baru, dapat diperbaharui. Ketentuan-ketentuan mengenai sistem pemilu, susunan MPR, DPR, dan DPRD, KPU yang independen dan lain-lain perlu ditata kembali.Kedua melanjutkan pembaharuan UUD. Pembahruan ini tidak hanya mengenai jabatan kepresidenan, tetapi perbaikan keseluruhan termasuk menyusun kembali badan perwakilan menuju sistem dua kamar. Demikian pula mengenai lembaga negara lain, disamping ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi dan lain sebagainya.Ketiga, melanjutkan pembaharuan kekuasaan kehakiman seperti sistem pemilihan hakim Agung, pertanggungjawaban hakim yang melanggar hukum, wewenang menguji tindakan pemerintahan dan peraturan perundangan dibawah UUD, masa jabatan haik dan lain sebagainya.Keempat, pembahruan administrasi negara. Melanjutkan pembebasan administrasi negara dari segala pengaruh politik. Penyusunan kembali organisasi administrasi

Page 12: Asas Pemerintahan Yang Baik

negara. Menyiapkan daerah untuk menjalankan tatanan otonomi baru yang meletakkan titik berat penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam kaitan dan pemikiran bentuk negara federal, perlu dibentuk Komisi Nasional untuk menyelidiki masalah federal dan juga otonomi. Usaha merampingkan administrasi negara untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas perlu ditingkatkan tanpa mengurangi asas kehati-hatian dan tidak sewenang-wenang. Memperbesar gaji pegawai dapat lebih memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya.Kelima, ketegasan dalam menjalankan prinsip dan ketentuan hukum untuk menjamin kepastian, ketertiban dan keadilan hukum.Keenam, Melakukan evaluasi terhadap segala produk hukum masa lalu, dalam rangka membangun satu tertib hukum yang utuh dan harmonis satu sama lain. Tugas ini seyogyanya dijalankan Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan mengikutsertakan para ahli dan juga praktisi dari kalangan kampus.Ketujuh, menata kembali pemerintahan desa agar mampu menjalankan pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan rakyat banyak. Penataan ini dapat mencakup kemungkinan penggabungan desa-desa agar lebih managable dan mandiri. 

ArtikelPenyelenggaraan Otonomi Pertanahan; Suatu Pemikiran [ Rizal Anshari ]1. Latar BelakangPelaksanaan otonomi daerah sudah memasuki implementasi tahun kedua, walau banyak kelemahan dan kendala dalam pelaksanaan otonomi daerah, namun kita tidak bisa mundur dan kembali ke belakang. Otonomi daerah mesti kita sikapi dengan bijaksana dan hati-hati agar implementasi dari undang-undang dimaksud dapat berjalan dengan semestinya. Dari sekian banyak persoalan yang harus dibenahi oleh pemerintah pusat dalam pelaksanan otonomi daerah adalah persoalan yang menyangkut masalah kewenangan pertanahan. Sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah/Kabupaten antara lain bidang pertanahan.

Tugas bidang pertanahan menurut undang undang tersebut dilaksanakan oleh dinas daerah atau lembaga teknis lainnya sesuai dengan kebutuhan

Page 13: Asas Pemerintahan Yang Baik

daerah masing-masing, sedangkan menurut PP. 25/2000, Propinsi sebagai derah otonomi tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pertanahan, sehingga pelimpahan dibidang pertanahan di tingkat propinsi sebagai daerah administrasi sangat bergantung pada Pemerintahan Pusat. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan pusat kepada gubernur selaku kepala pemerintahan di tingkat propinsi, maka itu masih dalam kerangka dekonsentrasi.

Sampai saat ini masih terdapat selisih pendapat mengenai pelaksanaan otonomi pertanahan. Hal ini terlihat dari adanya daerah yang membentuk dinas daerah yang melaksanakan tugas-tugas pertanahan dan ada juga yang masih menunggu petunjuk tennis dari pemerintah pusat, bahkan di beberapa daerah seperti Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, telah melantik pejabat-pejabat di lingkungan Dinas Pertanahan dan beberapa kabupaten/kota lain. Perbedaan pendapat dan duplikasi organisasi pertanahan di daerah tentu saja menimbulkan in-efisiensi dan membingungkan masyarakat.

Berdasarkan rapat dengan Tim Keppres tanggal 22 Desember 2000 bahwa ketua tim yang membawahi Badan Pertanahan Nasional mengatakan bahwa BPN tetap melaksanakan tugas-tugas berdasarkan Keppres No. 195/2000, namun demikian dianjurkan untuk meninjau kembali Keppres tersebut untuk disesuaikan dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999.

Tulisan ini dimaksud untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai penyelenggaraan otonomi bidang pertanahan. 

2. Tujuan Pengelolaan Pertanahan dan Otonomi PertanahanPada dasarnya tujuan pengelolaan pertanahan dan otonomi pertanahan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran pemerintahan dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.

Catur tertib pertanahan tersebut merupakan tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional sendiri, tetapi merupakan tugas dan fungsi lintas departemen. Dari keempat tertib pertanahan tersebut diatas salah satu sasaran yang cukup urgen adalah menyangkut Adminstrasi Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional merupakan pelaku utama untuk tercapainya tertib administrasi pertanahan.

Ada beberapa indikator untuk melihat tingkat keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan antara lain : a. diketahuinya siapa yang memiliki/menguasai sesuatu bidang tanah jenis

Page 14: Asas Pemerintahan Yang Baik

penggunaan tanahnya. b. bagaimana hubungan hukum antara bidang tanah dengan yang menguasai bidang tanah. c. berapa luas suatu bidang tanah yang dimiliki oleh orang atau badan hukum. d. dimana letak tanah tersebut yang dapat dipetakan berdasarkan suatu sistem proyeksi peta yang dipilih, sehingga dapat dihindari tumpang tindih sertipikat. e. informasi yang disebutkan pada huruf a, b, c dan d diatas dikelola dalam sistem informasi pertanahan yang memadai. f. penyimpanan dokumen yang tertib, teratur, dan terjamin keamanannya. g. terdapat prosedur tetap yang sederhana, cepat namun akurasinya terjamin. Salah satu cara yang sangat efektif dalam mewujudkan Administrasi pertanahan adalah dengan menyelenggarakan pendaftaran tanah sistematik.

Namun demikian hambatan yang dihadapi pemerintah sekarang dalam pelaksanaan kegiatan ini menyangkut pendanaan. Oleh pemerintah pusat, untuk mengatasi hambatan tersebut pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional melaksanakan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP Tahap I) melalui pinjaman dana yang berasal dari Bank Dunia dan dana pendamping APBN. Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 1994 dan berakhir tahun 2000.

Melihat betapa urgensinya kegiatan pendaftaran tanah sistematik dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia, pemerintah maupun pihak Bank Dunia tengah mengevaluasi kegiatan PAP tahap I. Ada indikasi bahwa pelaksanaan PAP tahap I cukup berhasil walau ada beberapa hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaannya. Diharapkan pada tahap kedua pelaksanaan proyek administrasi pertanahan ini, makin dapat mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia.

Selain untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan, maka Badan Pertanahan Nasional sebagai organisasi publik mempunyai tugas pelayanan kepada masyarakat. Sebagai organisasi publik dan mendorong "good governance" BPN sudah semestinya menciptakan pelayanan yang lebih transparasi, sederhana, murah dan akuntabilitasnya dapat dipertanggung-jawabkan kepada publik. Penyerahan kewenangan bidang pertanahan kepada daerah dalam rangka Otonomi Daerah dimaksudkan agar dapat meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan meringankan beban masyarakat dalam pengurusan pertanahan, yang menurut sebagian orang masih tetap dipusatkan di BPN Pusat.

3. Pelaksanaan Pengelolaan Pertanahan

Page 15: Asas Pemerintahan Yang Baik

Kebijakan pengelolaan pertanahan diatur dalam beberapa undang-undang antara lain; Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-undang Penataan Ruang. UUPA merupakan hukum publik dan hukum perdata, sebagai hukum publik memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan politik pertanahan, dan sebagai hukum perdata antara lain mengatur kewenangan pemegang hak atas tanah dalam menggunakan hak keperdataannya antara lain seperti memanfaatkan tanah, menjual tanah, memberikan hak tanggungan.

Badan Pertanahan Nasional melaksanakan tugasnya berdasarkan UUPA secara umum mengatur beberapa hal mengenai: a. kebijaksanaan pengaturan penguasaan dan hak-hak atas tanah (land tenure dan land rights). b. kebijaksanaan rencana penggunaan tanah (land use planning). c. kebijaksanaan pendaftaran tanah (land registration). Pengaturan ketiga jenis kebijaksanaan pertanahan yang merupakan kewenangan negara tersebut dijabarkan lagi dalam peraturan perundangan berupa Undang-undang sampai tingkat peraturan menteri. Dalam UUPA ditegaskan bahwa kewenangan penyelenggaraan pengelolaan pertanahan yang berkaitan dengan pengaturan penguasaan tanah, hak-hak atas tanah, dan pendaftaran tanah dipegang oleh Pemerintah Pusat dan pelaksanaannya sebagian besar dilaksanakan di propinsi dan di kota/kabupaten, bahkan kewenangan pendaftaran hak atas tanah untuk segala jenis hak maupun penggunaannya dilaksanakan di kota/kabupaten dalam rangka dekonsentrasi. Sedangkan rencana penataan ruang (termasuk penggunaan tanah daerah) menurut pasal 14 ayat (2) UUPA dan pasal 27 dan pasal 28 Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang kepada daerah diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas hak dan batas tanah pasal 19 UUPA menugaskan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah yang sangat penting artinya untuk mendapat ketenangan dan kepercayaan diri bagi masyarakat yang mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah pertama kali yang meliputi kegiatan pengukuran dan pemetaan, pembukuan tanah, ajudikasi, pembukuan hak atas tanah dan penerbitan sertipikat memerlukan biaya yang relatif tinggi, sehingga percepatan kegiatan tersebut Pemerintah mendapat pinjaman dari Bank Dunia.

Penyelenggaraan pendaftaran tanah pada saat ini melalui 2 (dua) pendekatan: 

Pertama melalui pendekatan sistematik : Proyek uji coba pendekatan sistematik dilaksanakan tahun 1995 di Kota Depok, yang biayanya mendapat

Page 16: Asas Pemerintahan Yang Baik

bantuan Bank Dunia. Biaya yang dipungut masyarakat untuk tanah hak lama antara Rp. 3.000 - Rp. 45.00, sedangkan untuk tanah-tanah yang berasal dari tanah negara berkisar antara lain Rp. 10.500 - Rp. 18.000. dengan diberlakukannya PMNA No. 4 tahun 1998 yang antara lain menghapuskan biaya administrasi dan PMNA/KBPN No. 7 tahun 1999 yang antara lain membebaskan biaya pendaftaran tanah, untuk tanah-tanah hak lama masyarakat hanya dipungut biaya blanko sertipikat. Sedangkan untuk tanah negara yang diberikan kepada masyarakat dengan sesuatu hak atas hanya dipungut biaya blanko sertipikat dan untuk tanah-tanah yang nilainya diatas Rp. 30 juta dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB). Berdasarkan pengalaman dalam Proyek Administrasi Pertanahan, pendaftaran tanah sistematik sangat diharapkan oleh masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah.

Kedua melalui pendekatan sporadik : sebagian besar penyelenggaraan pendaftaran tanah sekarang ini melalui pendekatan sporadik yang berdasarkan permohonan masyarakat, hal ini disebabkan kemampuan pemerintah untuk menyelenggaraan pendekatan sistematik terbatas. Biaya yang dipungut dari masyarakat dalam pendekatan sporadik adalah untuk pengukuran dan biaya panitia A, sedangkan untuk pendaftaran hak atas tanah tidak dipungut biaya. Untuk tanah negara yang diberikan kepada masyarakat dengan sesuatu hak atas tanah dipungut BPHTB (nilai tanah diatas Rp. 30 juta) dan uang pemasukan ke Kas Negara yang besarnya tergantung dari jenis hak atas tanah dan luas tanahnya dan untuk luas tanahnya tidak lebih dari 200 meter persegi tidak dikenakan uang pemasukan.

Proses penyelenggaraan pendaftaran tanah berfungsi sebagai peradilan pertanahan, sehingga dalam tahapan pekerjaan terdapat proses ajudikasi yaitu suatu proses yang menetapkan bagaimana status hukum bidang tanah, siapa yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah tersebut dan bagaimana hubungan hukumnya. Oleh karena itulah di sebagian besar negara Eropa, pelaksanaan pendaftaraan tanah diselenggarakan oleh siapapun. Begitu juga di Indonesia sampai tahun 1947 penyelenggaraan pendaftaran hak atas tanah dilakukan oleh pegawai balik nama yang berada di pengadilan dan dalam pertengahan tahun 1950 an kewenangan pendaftaran hak atas tanah menjadi tanggung jawab Jawatan Pendaftaran Tanah yang berada di lingkungan Kementerian Kehakiman.

Realitas lain, dalam pelayanan yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional menyangkut masalah pelayanan yang lintas batas dan berwawasan nasional. Pelayanan pertanahan yang lintas kabupaten/kota maupun propinsi, antara lain; Pembebanan tanggungan yang dapat di bebankan pada beberapa bidang tanah yang letaknya di beberapa propinsi dimana bisa saja pembuatan akte

Page 17: Asas Pemerintahan Yang Baik

tanggungannya dibuat oleh PPAT dalam satu akta, pemasangan Jaringan Kerangka Dasar Kadastral Nasional yang melintasi batas propinsi, pembagian lembar peta dasar pendaftaran yang melintasi batas propinsi. Sehingga melihat realitas pelayanan seperti diatas, maka kewenangan yang berskala nasional pelaksanaannya akan lebih efesien kalau di selenggarakan secara nasional, oleh karena itu menurut PP No. 25 tahun 2000 tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.

Kondisi saat ini kegiatan pelayanan pertanahan untuk kepentingan masyarakat sebagian besar dilaksanakan di kota/kabupaten dan propinsi, sedangkan yang dilaksanakan di pusat hanya sebagian kecil yaitu : a. Pemberiah hak pengelolaan atas tanah negara kepada pemerintah daerah, instansi pemerintah, BUMN dan BUMD. b. Pemberian hak guna usaha atas negara yang luasnya lebih dari 200 Ha. c. Pemberiah hak milik non pertanian atas tanah negara yang luasnya lebih dari 5.000 meter persegi.d. Pemberian hak guna bangunan tanah non pertanian atas tanah negara yang luasnya lebih dari 15 Ha. e. Pemberian hak pakai tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 15 Ha. f. Menetapkan pemberian hak atas tanah secara umum. g. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang dikeluarkan Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya. h. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan Kepala BPN yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya maupun untuk melaksanakan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. i. Penegasan obyek landreform. j. Pengukuran batas tanah yang luasnya lebish dari 1.000 Ha. k. Pengukuran kerangka dasar kadastral nasional orde 1 dan orde 2. l. Pembuatan peta dasar pendaftaran nasional. m. Penetapan lokasi pendaftaran tanah sistematik. n. Pemberian hak atas tanah berdasarkan UU No. 3 1960 (P3MB/Prk 5). 4. Prakiraan Permasalahan Otonomi PertanahanUndang Undang Nomor 22 tahun 1999 diklasifikasikan sebagai hukum publik yang secara langsung tidak dapat diberlakukan dalam bidang pertanahan, karena bidang pertanahan tidak hanya menyangkut hukum publik tetapi juga menyangkug hukum perdata (UUPA yang merupakan pengganti Buku II KUH Perdata yang berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa). Dengan demikian perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat harus berdasarkan UUPA dan peraturan pelaksanaan lainnya, sehingga produk hukum yang dihasilkan tidak mengandung cacat hukum. Oleh karena itu kalau otonomi pertanahan dilaksanakan apakah produk hukumnya tidak mengandung cacat hukum.

Page 18: Asas Pemerintahan Yang Baik

Penyelenggaraan pendaftaran tanah selain berskala nasional juga berfungsi sebagai lembaga peradilan yang berkaitan dengan penetapan status hukum bidang tanah, batas tanah, siapa yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah tersebut dan bagaimana hubungan hukum tersebut. Dengan demikian seharusnya dalam melakukan tugasnya harus benar-benar obyektif, independen dan bebas dari pengaruh siapapun. Kalau kewenangan ini diserahkan kepada daerah, dikhawatirkan kepentingan Pemerintah Daerah diutamakan dengan mengabaikan keadilan dan kebenaran menurut hukum.

Pelayanan yang bersifat lintas propinsi seperti pembuatan akta hak tanggungan yang dibuat oleh seorang PPAT yang wilayah kerjanya meliputi satu kota/kabupaten akan menimbulkan permasalahan mengenai siapa yang berhak untuk memberikan izin kepada PPAT tersebut untuk membuat akta di luar wilayah kerjanya, apabila pendaftaran dilaksanakan di wilayah otonomi yang lain.

Permasalahan yang krusial sejak dilaksanakannya Otonomi Daerah berdasarkan UU No. 22 1999, terjadi perpindahan besar-besaran Sumberdaya Manusia terutama sarjana dalam skala besar baik yang berada ditingkat Kantor Wilayah BPN maupun Kantor Pertanahan di luar Pulau Jawa ke Pulau Jawa. Perpindahan tentu saja menimbulkan penurunan kualitas pekerjaan dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai contoh; eksodus puluhan bahkan ratusan sarjana Geodesi ke Jawa menimbulkan ketidakmampuan daerah dalam pembuatan peta pendaftaran dalam sistem TM-3 derajat. Sebagai contoh, pada bulan Desember 2000 Kepala Seksi Pengukuran dan Pemetaan pada beberapa Kantor Wilayah BPN di Kaltim, Kalsel dan beberapa propinsi lain, memberikan implikasi lain, memberikan implikasi daerah yang bersangkutan tidak mampu melakukan pekerjaan merapatkan titik kadastral Nasional Orde 2 dalam sistem TM-3 derajat. Bagaimanapun juga titik dasar teknis orde 2 dan orde 3 adalah titik awal kegiatan kadastral dalam sistem nasional.

Penyelenggaraan Otonomi Daerah, juga menimbulkan kecenderungan daerah untuk menambah pendapatan asli daerah. Bidang pertanahan merupakan salah satu potensi untuk menambah pendapatan daerah. Sebagai contoh pemerintah kota Samarinda saat ini telah mengeluarkan keputusan bahwa masyarakat dipungut biaya untuk mendaftarkan tanahnya, yang selama ini tidak dipungut biaya. Pemerintah kota Tarakan meminta kepada Kepala Kantor Pertanahan agar 80% dari uang pemasukan ke Kas Negara dalam rangka pemberian hak atas tanah negara disetorkan ke kas Kota Tarakan. Keadaan-keadaan demikian sangat potensial di contoh oleh kabupaten/kota lain, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesan otonomi pertanahan akan memberatkan masyarakat.

Page 19: Asas Pemerintahan Yang Baik

Menurut pasal 19 UUPA penyelenggaraan pendaftaraan tanah adalah kewajiban Pemerintah, namun melihat kecenderungan daerah disatu sisi dan kondisi kondisi sebagian besar rakyat Indonesia berada pada level masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak mampu untuk membiayai persertipikatan tanahnya, jika tidak mampu digantikan oleh peranannya oleh Pemerintah Daerah, penyelenggaraan pendaftaran tanah sistematik dan pendaftaran tanah massal lain disinyalir akan memberatkan masyarakat dan menghambat terwujudnya tertib administrasi pertanahan.

Berdasarkan hasil pengamatan kami ke beberapa daerah pada tahun 1999, penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh beberapa Kantor Pertanahan belum sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yo.PMNA/KBPN No. 3 1997, sehingga tidak mempunyai ciri sebagai pendaftaran modern yang mengharuskan adanya peta pendaftaran. Seorang reseach fellow dari University of Tokyo dalam Seminar Internasional ke 6 tentang Konsolidasi Tanah dan Pembangunan Perkotaan menyatakan bahwa "land registration in Indonesia is unclear". Pada umumnya yang menjadi kelemahan pelaksanaan pendaftaran tanah sekarang ini adalah jenis kegiatan manajemen dokumentasi pertanahaan (land records management) dan pengukuran pemetaan.

Dalam manajemen dokumentasi pertanahan pada umumnya Kantor Pertanahan tidak membuat daftar tanah yang mencatat semua bidang tanah yang telah diukur, begitu juga distribusi Jaringan Kerangka Dasar Kadastral Nasional Orde 1 dan 2 tidak dipetakan dalam peta Kabupaten/Kota sehingga mengakibatkan tumpang tindih Jaringan Kerangka Dasar Kadastral Nasional yang pembuatannya melalui proyek-proyek yang berbeda. Sedangkan dalam bidang pengukuran dan pemetaan, kelemahan mendasar adalah penerbitan sertipikat tidak diikuti dengan pembuatan peta pendaftaran. Kelemahan dalam bidang pengukuran dan pemetaan ini, kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai prosedur kerja pembuatan peta pendaftaran sebagaimana yang dimaksud dalam PMNA No. 3 tahun 1997, ataukah disebabkan oleh hal lain ? Perlu diteliti lebih jauh.

Kedua kegiatan kurang mendapatkan perhatian serius padahal sebenarnya kegiatan inilah inti dari pendaftaran tanah dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan, karena tanpa memperhatikan kedua kegiatan ini akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti timbulnya tumpang tindih sertipikat, kesulitan mencari dokumen pada waktu diperlukan. Selain itu tanpa memperhatikan kedua jenis kegiatan tersebut, maka pembangunan Sistem Informasi Pertanahan akan mengalami kesulitan besar.

Sebagai kontrol penerbitan surat keputusan pemberian hak, Kepala BPN

Page 20: Asas Pemerintahan Yang Baik

mempunyai kewenangan membatalkan surat keputusan pemberian hak tanah yang dalam penerbitannya oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi mengandung cacat hukum. Apabila semua kewenangan pemberian hak tanah dan pembatalannya berada disatu tangan, fungsi kontrol dalam penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah negara yang mengandung cacat hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, sedangkan tugas lain Instansi Pertanahan adalah menyelesaikan permasalahan pertanahan. Permasalahannya adalah apabila dalam suatu sengketa tanah yang strategis, lintas sektoral dan berdampak nasional serta melibatkan Pemerintah Daerah, akan sulit bagi Pemerintah Daerah untuk menyelesaikannya secara obyektif. Sebagai contoh adalah permasalahan tanah timbul di Segara Anak Propinsi Jawa Tengah yang sekarang ini diakui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap, Departemen Kehutanan, Departemen Kehakiman dan HAM, menurut pendapat kami seharusnya ditangani oleh Pemerintah Pusat.5. Kesimpulan1. Walaupun dikatakan dalam pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 bahwa bidang pertanahan merupakan bidang yang wajib dilaksanakan di Daerah, namun melihat sebagian fungsi pertanahan bersifat pekerjaan yang menuntut objektifitas dan kemandirian dalam pendaftaran tanah (dibandingkan dengan Kantor Imigrasi yang mengeluarkan paspor dan Kantor Pendaftaran Fidusia yang mendaftarkan fidusia masih tetap merupakan kewenangan Pemerintah Pusat), penyelesaian masalah pertanahan yang strategis dan bersifat nasional serta kegiatan yang bersifat lintas propinsi seperti pembebanan hak tanggungan, maka kewenangan Pemerintah Pusat dalam bidan pertanahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 perlu diperluas. 2. Dengan mengingat hal-hal yang kami kemukakan dalam bahasan sebelumnya, kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana disebutkan PP. 25 tahun 2000 perlu diperluas dengan memasukan kewenangan BPN yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 dan ditambah beberapa hal, antara lain; penyelenggaraan pendaftaran tanah, pemberian hal pengelolaan dan pemberian hak pakai Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah negara yang dikeluarkan daerah yang dalam penerbitannya mengandung cacat hukum, penyelesaian masalah pertanahan yang strategis dan bersifat nasional misalnya sengketa tanah yang melibatkan Pemerintah Pusat,dan Pemerintah Daerah. 3. Kelemahan yang mendasar pada Kantor pertanahan adalah bidang Manajemen Dokumen Pertanahan serta Bidang Pengukuran dan Pemetaan yang sangat mempengaruhi kinerja Kantor Pertanahan. Kondisi ini disebabkan antara lain kurangnya sarana dan prasarana, biaya dan terutama tingkat profesionalisme staf yang belum memadai. Untuk meningkatkan profesionalisme sumberdaya manusia dibidang pertanahan perlu dipikirkan menghidupkan kembali kursus- kursus profesional setingkat DI, DII dan DIII agar benar-benar dapat menghasilkan tenaga-tenaga yang profesional

Page 21: Asas Pemerintahan Yang Baik

khususnya bidang pendaftaran tanah dan pengukuran dan pemetaan yang selama ini ketrampilannya tidak sebagaimana yang diharapkan. 4. Walaupun penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat, tetapi untuk kelancaran pelayanan masyarakat tetap dilaksanakan di daerah, dan untuk hal tersebut perlu dibuat kantor untuk melaksanakannya seperti Kantor Pendaftaran Fidusia, Kantor Imigrasi. 5. Terwujudnya tertib administrasi pertanahan sangat ditentukan oleh penyelenggaraan pendaftaran tanah. Berdasarkan fakta selama ini pendaftaran tanah melalui pendekatan sporadik banyak menimbulkan masalah antara lain timbulnya tumpang tindih sertipikat, bidang tanah yang terdaftar tidak diketahui tempatnya, karena itu pendaftaran tanah melalui pendekatan sistematik perlu ditingkatkan. 

» Ir. Rizal Anzhari: penulis adalah Inspektur Utama Utama Badan Pertanahan Nasional.http://www.bpn.go.id/html/artikel/artikel002.html?print=yes