Upload
sandy-rosandy
View
21
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ISSN 1693 - 3261ARTIKEL BENDE EDISI 31Mei 2006RELIGIOSITAS DALAM PENCIPTAAN SENIOleh : Suyadi*
Citation preview
ISSN 1693 - 3261 ARTIKEL BENDE EDISI 31
Mei 2006
RELIGIOSITAS DALAM PENCIPTAAN SENI Oleh : Suyadi*
Abstrak
Perwujudan rasa syukur manusia pada Tuhan sebagai Sang Pencipta, diekspresikan melalui berbagai cara baik secara agama atau pada aliran kepercayaan. Tidak lepas juga dalam hal berkesenian para kreator mengekspresikannya dalam berbagai media melalui syair pada musik, gerak pada tari atau coretan kanvas pada seni rupa dan sebagainya. Sikap tersebut menunjukkan kesadaran manusia bahwa ada kekuatan adi kodrtati di luar manusia. Nilai religius sebagai perwujudan sifat kesolehan mampu memberikan inspirasi dari para pelaku seni untuk berekspresi tentu saja hal ini juga sebagai perwujudan dalam sikap kehidupan sehari-harinya. Dalam media visual pada saat ini banyak dihiasi dengan drama-drama religius yang menunjukkan betapa besar kesadaran manusia akan kebaikan yang selalu mampu melumpuhkan pada tindakan kejahatan. Gambaran ini sebagai pesan verbal (art verbal) untuk dijadikan pandangan bagaimana manusia berperilaku untuk hidup bersama dalam kelompok sosial.
Kata kunci: Religi, Cipta dan Seni
Pendahuluan
Sebelum banyak berbicara pada persoalan nilai religiositas dalam
berkesenian ada baiknya perlu disampaikan arti dari kata kunci (key words) dalam
tulisan ini. Religiositas berasal dari kata religi yang mempunyai arti kepercayaan
terhadap Tuhan, yaitu kepercayaan akan adanya kekuatan adi kodrati di atas
manusia. Sedangkan religiositas mempunyai maksud menunjukkan sifat kesolehan
atau pengabdian terhadap agama (Hasan,2001:943-944). Pengertian agama
merupakan suatu ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang
* Dosen STKW Surabaya
berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya
(Hasan, 2001:12). Istilah penciptaan berasal dari kata cipta yang mempunyai arti
suatu kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru, atau angan-angan
kreatif, dan penciptaan merupakan bentuk dari proses perbuatan menciptakan. Kata
kunci yang ketiga yaitu seni, dalam hal ini penulis mengambil definisi dari Susanne
K. Langer, Philosophical Sketches, 1964, p. 74., yang dikutip oleh The Liang Gie
(1996:14) adalah sebagai berikut:
Any activity thus designedn to transform natural material into objects are useful or beautiful, or both, is arts. The product of this orderly intervention of the human hand and spirit is a work of art. (Sesuatu kegiatan yang demikian dirancang untuk mengubah bahan alami menjadi benda-benda yang berguna atau indah, ataupun kedua-duanya, adalah seni. Hasil campur tangan manusia dan roh manusia yang teratur ini adalah karya seni).
Definisi ini menunjukkan dua pengertian yang tidak terpisahkan yaitu seni dan karya
manusia artinya seni merupakan suatu bentuk kegiatan yang bersumber pada bahan
alami yang diproses menjadi benda-benda yang dapat berfungsi atau indah
(menyenangkan) sedangkan yang dimaksud dengan karya seni adalah hasil dari
proses campur tangan dan roh manusia yang teratur. Pemaknaan dari sebuah karya
seni yang bersumberkan pada benda-benda bersifat alami akan tergantung dari
pengalaman estetik dari si pengamat (interpetatifi). Ketika seorang rupawan
memandang seonggok batu karang di tepi laut dan hamparan pasir yang luas akan
memberikan makna sesuai dengan pengalamannya. Penari atau pemusik akan lain
lagi dalam gaya mengekpresikannya, mereka saling menunjukkan karakternya
sebagai ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Mereka akan mengeksplorasi, menghayati
dan merespon sesuai dengan pengalaman estetiknya sendiri-sendiri.
Mengacu pada ungkapan Soedarso, Sp (1990:5) dalam kesimpulan
sementara tentang pengertian seni (kesimpulan berdasarkan dari beberapa definisi
seni yang telah ada), yaitu:
Seni adalah hasil karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman batinnya, pengalaman batin tersebut disajikan secara indah dan menarik sehingga memberikan atau merangsang timbulnya pengalaman batin pula kepada manusia lain yang menghayatinya. Kelahirannya tidak didorong oleh hasrat untuk memenuhi kebutuhan yang pokok, melainkan merupakan usaha untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat kemanusiannya, memenuhi yang spiritual sifatnya.
Berdasar kesimpulan di atas bagaimana seorang seniman (kreator) dalam
mengekspresikan pengalaman batinnya kedalam sebuah karya seni dan
bagaimanakah aspek rangsangan yang timbul menurut pengalaman batin bagi
orang yang menikmatinya. Selanjutnya pengertian seni yang kelahirannya bukan
sebagai benda untuk memenuhi kebutuhan pokok, menimbulkan persepsi bahwa
seni adalah sesuatu yang tidak penting.
Dalam kehidupan kelompok manusia primitif seluruh aktifitas hidupnya
semata-mata cenderung untuk memenuhi kebutuhan pokok. Makin jauh mereka
terbebas dari usaha mempertahankan hidupnya, semakin terasakan kebutuhan
mereka akan seni. Sedangkan manusia modern tidak lepas dari seni, demi derajat
kemanusiaan yang lebih berbudaya.
Keterkaitan definisi tersebut dengan tema penulisan ini adalah menunjukkan
bahwa dalam penciptaan karya seni seorang seniman mempunyai sumber inspirasi
dari situasi alam dan lingkungan. Di mana lingkungan mempunyai peran dalam
membangun inspirasi untuk mengembangkan kreatifitas bagi seniman (kreator
seni). Utamanya pada lingkungan yang mempengaruhi sikap dan perilaku manusia
hubungannya dengan nilai religi. Jadi pembicaraan ini lebih memfokuskan pada
persoalan penciptaan karya seni yang bersumber pada sifat religius (bersifat
keagamaan atau yang bersangkutan dengan persoalan religi).
Antara Seni dan Religi
Seni dan religi merupakan dua permasalahan yang selalu berdampingan
barangkali susah untuk dipisahkan, bahkan telah berabad-abad lamanya
menunjukkan betapa kuatnya hubungan erat antara seni dan religi (Read, 2003:39).
Pandangan Read antara seni dan religi itu muncul secara bersama-sama dan
timbulnya jurang pemisah di antara keduanya setelah masa Renaisance dengan
ditemukannya seni yang bebas merdeka dan bersifat individualistis dan seni lebih
diutamakan untuk mengekspresikan pribadi si seniman. Akan tetapi Read (2000:40)
memberikan pernyataan bahwa:
Di saat lain terasa sebagai seolah-olah tidak ada seni sama sekali, dan akhirnya kita mulai berpikir bahwa tidak ada seni yang besar atau periode seni yang besar tanpa adanya hubungan yang rapat antara seni dan religi. Bahkan pada saat seniman-seniman besar telah menciptakan seninya yang jelas terlepas dari kepercayaan religius manapun juga, makin teliti kita mengamati kehidupan mereka, makin terasa bahwa kita menangkap kehadiran apa yang dapat kita sebut sebagai kesadaran religius.
Hubungan seni dan religi secara sederhana nampak pada perilaku
kehidupan manusia yang sadar akan lingkungannyaa di mana manusia itu berada
akan menyesuaikan dirinya sesuai dengan alam yang mereka tempati. Sesuai sifat
manusia sebagai manusia ciptaan Tuhan, hidup bersama dengan makhluk yang
lainnya serta lingkungannya. Untuk melacak hubungan yang demikian ini seperti
dikatakan Drijarkara (1961) kita diarahkan untuk melihat kembali pada beberapa
peninggalan dari nenek moyang yang berupa barang-barang seni, seperti candi-
candi, wayang dan seni sastra. Dari beberapa peninggalan tersebut banyak
mengisyaratkan kita akan adanya proses manusia terhadap alam, demikian juga
dengan Sang Pencipta alam sehingga manusia mengekspresikannya dalam perilaku
kehidupan sehari-hari.
Perilaku suku-suku primitif ketika akan melakukan aktivitas berburu misalnya
diawali dengan mengadakan upacara ritual untuk keselamatan dan mendapatkan
buruannya hal ini dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Permohonan keselamatan tentunya ditujukan kepada dewa sebagai penguasa alam,
hal ini menyadari bahwa ada kekuatan di atas kekuatan manusia itu sendiri. Prosesi
penyembuhan ketika ada anggota keluarganya yang sakit, meskipun telah meramu
dedauan sebagai obat namun dalam proses pengobatannya masih diperlukan
perilaku ritual dengan harapan para dewa berkenan menyembuhkannya. Lantuan
nyanyian yang berupa syair-syair merupakan media komunikasi dengan para Dewa
sebagai sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan dan mampu menghantarkan
pada keinginannya. Demikian juga kebiasan dalam kehidupan petani, mereka
mempercayai apa yang akan dilakukan ketika menghadapi musim pengerjaan
sawah mulai dari awal sampai musim panen tiba bahkan sesudah panen. Tahap
demi tahap dalam poengerjaan sawah disertai dengan perilaku ritual yang tujuannya
untuk mendapatkan hasil yang baik serta keselamatan. Mulai dari membajak sawah,
menanam benih padi telah diperhitungkan hari yang tepat dengan menghindari hari
naas yaitu hari kematian bagi orang tuanya karena hari yang demikian ini dianggap
hari yang kurang membawa keuntungan. Banyak hal yang dilakukan untuk
mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Kehadiran dewi Sri (dalam ceritera
legenda) yang menjadi dewi padi diharapkan turun melalui upacara ritual
membawa berkah senantiasa mendatangkan kesuburan bagi masyarakat petani.
Dengan mewarisi kebiasaan-kebiasaan dari para pendahulunya, yang terkadang
secara logika sangat sulit untuk diyakini tetapi itulah suatu keyakinan yang sudah
melekat secara turun temurun. Meskipun lambat laun pemahan demikian ini akan
mengalami pergeseran-pergeseran karena perkembangan pola pikir manusia yang
telah juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran realistis. Selain itu telah
munculnya hasil teknologi membawa dampak pada pemikiran praktis dan
dimungkinkan untuk meninggalkan metode yang lama.
Tradisi pelaksanaan upacara pada masyarakat digolongkan berdasarkan
tujuannya, yaitu: 1) untuk menghormati nenek moyang, menghormati kematian,
memperingati peristiwa tertentu; 2) untuk bersyukur; 3) untuk pengharapan suatu
tertentu (terutama keselamatan dan keharmonisan kosmos) (Hermin, 1997:28).
System yang berujud tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktian terhadap
Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang (makhluk halus), dan dalam usahanya
berkomunikasi dengan subyek kebaktiannya selalu dikombinasikan dengan
beberapa tindakan, seperti berdoa, bersesaji, berkorban, menari dan menyanyi,
berseni drama suci, berpuasa, bersemedi, makan bersama, berprosesi dan
sebagainya. Proses ritual biasanya berlangsung berulang-ulang, serta diadakan
pada tempat-tempat yang memenuhi persyaratan. Peralatan seperti bunyi-bunyian
diharapkan menjadi media komunikasi sakral dan pelaku upacara menggunakan
busana yang memenuhi persyaratan pula (Koentjaraningrat, 1985:44).
Kehadiran kesenian itu tidak terlepas dari kehidupan manusia, di mana seni
itu lahir karena manusia, seni tumbuh karena manusia, seni berkembang karena
manusia dan bahkan seni itu mati karena manusia, sehingga kesenian itu melekat
pada setiap kehidupan manusia. Seni menjadi kebutuhan untuk mengekspresikan
pengalaman batinnya, sehingga dikatakan di mana ada manusia di situ ada
kesenian (Drijarkara, 1998:8). Untuk melihat hubungan yang erat antara manusia
dengan keindahan dapat melihat definisi seni yang dikutip The Liang Gie (1996:13)
dari tulisan S. Graham Brade-Birks, Concise Encyclopedia of General Knowledge,
1965, pp. 49-50, yaitu:
Art, in wide sense, is the exercise of the mind to produce work pleasant to the spirit of man. It includes graphic amaginative expression of object (and thought about object) as in sculpture, painting and drawing. But imagination also find expression in the arts of music, drama, dancing, poerty and archiecture, and the list of subjects could extended. (Seni, dalam suatu makna luas, adalah penggunaan budi pikiran untuk menghasilakn karya yang menyenangkan bagi roh manusia. Ini meliputi pengungkapan khayali yang jelas mengenai benda-benda (atau pikiran tentang benda-benda) seperti dalam pahatan, lukisan dan gambar. Tetapi khayalan juga memperoleh pengungkapan dalam seni-seni musik, drama, tari, sajak dan arsitektur, dan daftar hal itu dapat diperpanjang).
Brade-Birks melihat bahwa dalam membuat karya untuk menghasilkan
produk keindahan lebih cenderung menggunakan budi pikiran. Kecenderungan
karya ini lebih bersifat kerohanian untuk menyenangkan manusia, bentuk ungkapan
ini terakomodir dalam benda-benda atau pikiran tentang benda-benda. Tetapi juga
dalam bentuk lain yaitu dalam seni musik, drama, tari sajak dan arsitektur dan
sebagainya.
Kesenian dan religi mempunyai pengertian yang berbeda, kesenian lebih
berbicara pada masalah pengalaman keindahan yang merupakan penjelmaan dari
nilai estetik, ia ingin mewujudkan estetiknya dalam bentuk suara, arca, dan
bahasa, (Drijarkara, 1985:5) dan sebagainya. Sehingga manusia terdorong untuk
mempertahankannya dalam mencapai kebahagiaan seperti diungkapkan Drijarkara
sebagai berikut:
Manusia ingin terus menikmati saat estetik itu, dia ingin terus menerus hidup dalam keluluhan dengan keindahan. Akan tetapi moment tetap moment, djadi melandjut, melampau. Akan tetapi manusia tidak mau melepaskanja. Maka dia mentjoba mempertahankannja untuk merasa bahagia. Sedangkan yang membedakan dengan religi atau agama dalam kehidupan
manusia adalah terletak pada moral atau kesusilaan sebagai pandangan hidup
manusia itu sendiri untuk menuju ke arah kesempurnaan yang diibaratkan seperti
kuncup harus menjadi bunga. Seperti telah disampaikan di depan bahwa inti dari
agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan
kepada Tuhan serta tata kaidah yang berhubungan pergaulan manusia dengan
manusia serta dengan lingkungannya. Agama apapun juga memberikan ajaran
bagaimana manusia sesama manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis,
juga kepada makhluk lain demikian juga kecintaannya pada alam sekitarnya.
Untuk menjaga keseimbangan antara estetik dan religi diperlukan adanya
pendidikan baik pendidikan estetik ataupun pendidikan religi, karena dengan
mengembangkan kepekaan estetik dikembangkan pula kepekaan terhadap gejala-
gejala yang mengisyaratkan kehadiran Tuhan. Dalam mengungkapkan pengalaman
religius manusia menangkap atau menggunakan lambang-lambang, misalnya
bahasa dalam melantunkan kitab suci, sikap dan perilaku ketika menjalankan doa,
bentuk dan dekorasi tempat ibadah dan sebagainya. Setiap orang yang peka
terhadap bahasa lambang, maka setiap pengalaman dalam hidup sehari-hari dapat
bermuara menjadi pengalaman religius, setip profan dapat menjadi peristiwa sakral
(Hartoko, 1982:52). Kesadaran religius bagi setiap umat beragama nampak pada
perilaku dalam menjalankan kehidupannya misalkan bagaimana rutinitas seorang
Kristiani selalu pergi ke gereja, umat Islam ke Masjid dan bagaimana perilaku umat
Hindhu yang selalu datang ke kuil dan sebagainya.
Kesadaran Religius dalam Penciptaan Karya Seni Begitu lekatnya antara hubungan religi dan seni maka dalam proses
penciptaan seni tidak mengherankan apabila religiositas sangat berpengaruh pada
proses berkesenian. Penciptaan seni merupakan perbuatan dalam menghasilkan
karya seni melalui proses.
Penulis sependapat dengan pernyataan read (2000:42) untuk meyakinkan
manakah kesenian yang religius dengan individualistis ataupun non religius. Sebab
lambat atau cepat masyarakat akan menghakimi seni, oleh karenanya tergantung
sejauh mana para seniman mampu merangsang perasaan orang banyak. Bagi yang
ingin memisahkan antara seni dan religi tentu saja seniman dalam karyanya harus
mampu merangsang perasaan masyarakat sehingga memberikan keyakinan tentang
penilaian pada seni non-religius.
Penciptaan karya seni merupakan proses seniman atau masyarakat kreator
dalam menciptakan kekaryaannya sebagai ungkapan perasaan estetiknya.
Dorongan proses kekaryaan ini bisa datangnya dari diri sendiri (hati nurani) atau
mungkin karena orang lain. Dorongan karya seni yang datangnya dari luar
(pesanan) seniman tidak lagi mampu berekspresi secara total karena harus
mempertimbangkan dari kepentingan orang lain (pemesan) misalnya untuk iringan
tari, wayang, teater, prosesi upacara, festival dan sebagianya. Pemesan itu bisa
datang dari perseorangan, instansi, kelompok masyarakat atau yang lainnya. Dalam
hal ini seniman bisa berangkat karena profid bukan karena naluri kesenimanannya.
Bagi seseorang yang khusuk dalam menjalankan ibadahnya atau sesuai
dengan kehidupan sehari-harinya maka agama akan selalu melatarbelakangi setiap
kekaryaannya. Dalam proses mencipta seniman dapat berangkat dari barang yang
sudah ada misalnya dengan revitalisasi yaitu sesuatu usaha untuk menghidupkan
kembali sesuatu yang eksistensinya masih berarti dalam kehidupan masyarakatnya
untuk dijaga dan dikembangkan (Soedarso Sp. 2002:3). Kepentingan semacam ini
lebih sering dimanfaatkan atau dikaitkan pada kepentingan-kepentingan tertentu
misalnya peningkatan sektor pariwisata, pengembangan potensi seni daerah atau
dalam rangka ... dan sebagainya yang hubungannya dengan performent arts.
Bentuk pengembangan seni pertunjukan dikemas sedemikian rupa sebagai suatu
pertunjukan yang singkat padat dan penuh variasi (Soedarsono, 1986:9) yang
kemudian dikenal dengan budaya miniatur.
Sebagai karya seni yang lain yaitu adanya proses pemadatan atau ringkasan
pada seni pertunjukan hal ini dilakukan dengan menghilangkan pada sebagian
komposisi tanpa mengubah makna dalam seni pertunjukan tersebut. Upaya
pengemasan ini juga disebut sebagai upaya untuk pemadatan atau peringkasan,
terutama yang berkaitan dengan rasionalisasi bentuk seni pertunjukan, dengan
menghilangkan pada bagian isi yang dirasa tidak menambah kekuatan ungkap tetapi
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan publik yang tidak mempunyai banyak waktu
(Mardimin Johanes, 1994:104). Dalam kekaryaan seniman memberikan makna
melalui nama atau judul karya seni, pada seni karawitan banyak nama-nama
gending yang mempunyai makna dari gending (nama sebuah komposisi lagu pada
karawitan), selain nama gending makna juga dapat terkandung dalam syair lagu.
Dalam bentuk pergelaran ataupun latihan pada seni karawitan selalu diawali dengan
membunyikan gending ladrang Sriwilujeng ada yang menyebut ladrang Slamet,
kedua-duanya secara harafiah mempunyai arti keselamatan. Gending tersebut
bukan hanya sebagai peristiwa musikal tetapi juga sebagai media dalam
mentransformasikan gending menjadi ucapan selamat datang kepada para tamu
ataupun pada teman sesama pemain dan juga pengganti doa (Santosa, 2003:127)
kepada Tuhan, agar selama pergelaran atau latihan selalu mendapatkan
keselamatan.
Pandangan bagi masyarakat Jawa khususnya petani menurut
Koentjaraningrat dalam bukunya Javanese Culture, Institute of Southeast Asia
Sudies Oxford University Press, 1985 yang dikutip oleh Santosa, kesadaran akan
adanya Tuhan sangat kuat, dalam setiap akan memulai suatu pekerjaan mereka
mengucapkan bismillah (atas nama Allah). Pengrawit yang juga mempunyai
pandangan tersebut karena didorong oleh kebiasaan yang didapat dari
komunitasnya juga melakukan tindakan serupa sebelum melakukan pertunjukan.
Ladrang Wilujeng yang digunakan sebagai pembuka dalam pertunjukan merupakan
ungkapan estetis sebagai awal dalam melakukan aktivitasnya.
Demikian juga ketika selesai pertunjukan mereka menutup sajian dengan
gending Ayak Pamungkas (artinya sebagai gending penutup). Disajikannya gending
ini untuk menutup dari keseluruhan penyajian dari awal sampai akhir. Makna yang
terkandung dalam gending Ayak Pamungkas dapat dilihat dari ungkapan syair yang
ada pada gending tersebut seperti di bawah ini:
Dhuh Allah mugi-mugi keparenga paring rahmat, Dhuh Allah lestaria, Indonesia merdeka, Wasana wosing pangidung. Tarlen amung memuji, Mugi bangsa Indonesia sepuh anem, kakung putri Tansah manunggal gumolong gelenging kapti
Artinya kurang lebih demikian:
Ya, Allah, semoga berkenan memberikan rahmat-Nya Ya, Allah, lestarilah Indonesia tetap merdeka, Akhirnya inti dari nyanyian tidak lupa hanya berdoa Semoga bangsa Indonesia, tua muda laki perempuan Selalu bersatu pada dalam mewujudkan persatuan dan menyatukan kehendak.
Makna yang tersurat dalam sair tersebut selain menunjukkan hubungan yang
kuat dengan Tuhan tetapi juga bagaimana hubungannya dengan sesama manusia
dan negaranya. Melalui ungkapan estetikn dalam seni karawitan selalu
mendekatkan dirinya dengan Tuhan dan melalui sajian gending, penonton atau
pendengar setidaknya telah dibawa untuk mendapatkan makna dan
mengaktualisasikan imaginasinya ke sebuah perilaku kehidupan manusia. Ketika
penonton paham nama gending maka mereka bisa menghubungkan makna nama
dengan elemen gending, pengalaman sosial dan religius sehingga mereka
mendapatkan makna yang nyata (Santosa, 2003:133).
Bentuk kesenian yang lain juga tidak terlepas dari nuansa religius yaitu seni
Dolalak yang hidup dan berkembang di wilayah Jawa Tengah tepatnya di Kabupaten
Purwarejo. Kesenian ini merupakan ciptaan seniman dalam bentuk seni tari
kelompok yang bernafaskan agama Islam. Pada awalnya kesenian Dolalak
merupakan cerminan dari masyarakat pendukungnya sebagai hiburan yang
disajikan berupa syukur kepada Sang Pencipta semesta, sedangkan eventnya
disesuaikan dengan siklus kehidupan manusia seperti kelahiran, khitanan dan
perkawinan. Juga berfungsi sebagai hiburan pada acara-acara ritual bersih desa
atau saat upacara penyembuhan penyakit. Secara musikal menampakan nafas
Islam terletak pada tekstur lagui yang dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu lagu
upacara dan lagu hiburan. Pada lagu upacara diawali dengan lagu pembuka yang
khusus vokal tanpa iringan dan dinyanyikan oleh pemusik dan penari secara
bersama-sama. Lagu puncak disebut dengan srokal yang berasal dari kata asrokal
badru alaina artinya telah lama muncul purnama bagi kita dan yang dimaksud
purnama adalah Nabi Muhamad SAW., (Nanik, 2003: 78-79).
Contoh syair untuk lagu upacara dengan menggunakan bahasa Arab yang diambil
dari kitab Barjanji.
Syair lagu pambuka: Asslam mungala, Assalam mungalim Laekaya zainal ambiya Artinya: keselamatan atasmu hai penghias Nabi. Syair lagu pada pertengahan pertunjukan (Srokal abu Besar) Allah aleku besar Salam ngalika, Ya Rosul salam ngalika, Alaika abubesar Syair lagu penutup (koliyal Dale) Koliyal dale lam kaherobil, Lam kahe robil Allah ya Maulana. Untuk lagu-lagu hiburan contoh (dalam bahasa Arab): Bangilun hean 2x Angub angub ilatun 2x Alimustofa, Hea an ala mursalim Dalam bahasa Indonesia dan jawa: Ikan cucut jalan dilaut 2x Kena ombak bergoyang buntut2x Andeng-andeng di atas mulut2x Jangan mandeng nanti kepencut 2x (Nanik, 2003:78-79).
Bentuk kesenian yang bernuansa Islam lainnya adalah bentuk kesenian
Kobra Siswa artinya kobra dari bahasa Arab artinya besar (Khobirun yang
mengandung arti kebesaran Tuhan), siswa berarti murid selanjutnya Kobrasiswa
diartikan murid-murid Tuhan. Syair dari lagu-lagu Kobrasiswa bersumber pada ayat-
ayat suci Al Quran juga pada Hadis Nabi yang penciptaannya berisikan nilai-nilai
ajaran bagi umat Islam. Kelahiran kobrasiswa merupakan pengembangan dari
Sholawatan, dan yang membedakannya adalah pada isi syairnya. Dalam
Kobrasiswa berisikan ajaran-ajaran umat Islam sedangkan dalam Sholawatan
mengkisahkan riwayat kelahiran Nabi Muhamad SAW.
Penulis menyadari bahwa masih banyak lagi bentuk kesenian di berbagai
daerah yang ide penciptaannya bersumber pada kekuatan religius. Apabila kita
akan membuat karya baru yang berangkat dari kekuatan religius tergantung sejauh
mana kita bisa memberikan rangsangan kepada masyarakat untuk memberikan
penilaian. Seperti apa yang dikatakan Netll nahwa nilai kepercayaan serta
keagamaan merupakan sumber imajinasi atau gagasan untuk menciptakan suatu
bentuk kesenian. Lahirnya seni musik semula berfungsi sebagai bahasa khas juga
berfungsi sebagai alat komunikasi dengan alam supernatural (Netll, 1956:7).
Kesimpulan Hubungan seni dan religi merupakan satu kesatuan dari dua unsur yang
susah untuk dicari jurang pemisahnya. Meskipun pada masa renaisance telah
muncul gejala pemisahan namun kesadaran religius selalu tetap mewarnai dalam
kehidupan manusia. Sebab manusia mempunyai kesadaran akan adi kodrati yang
tidak dapat dielakkan. Kesenian yang bersifat religi itu akan muncul tergantung dari
diri seniman itu berada dan seberapa kekuatan atau pengalaman religi yang ada
pada seniman atau masyarakat kreator itu sendiri.
Barangkali seorang ulama akan berkarya seni secara spontan akan didasari
oleh sifat agama yang dianutnya, demikian juga kesenian yang lahir dari pondok
pesantren akan juga memperlihatkan ciri-ciri ke Islam- annya. Hal ini juga dapat
berlaku dalam setiap kelompok masyarakat apapun. Lingkungan msyarakatlah yang
akan membentuk dan mewarnai dari budaya lokal sebagai kekuatan estetik.
Sifat religius merupakan sikap penyerahan diri kepada Tuhan yang
menciptakan alam seisinya, namun religius dapat dijadikan inspirasi dalam
kekaryaan. Karya seni yang bersifat religi akan lebih mengutamakan bentuk nilai
estetiknya sebagai perwujudan dari rasa penyerahan diri pada Tuhan.
Daftar Pustaka
Djelantik, A.A.M. 1990 Pengantar Dasar Ilmu Estetika: Estetika Instrumental.
Denpasar : Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar
_________________ 2001 Estetika : Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia
Hartoko, Dick 1984 Manusia dan Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Drijarkara, S.J.,
1961 Kesenian dan Religi, diucapkan pada Upacara Dies Natalis XII Akademi Seni Rupa Indonesia di yogyakarta, tanggal 16 Desember 1961.
_____________,
1989 Dreijarkara Tentang Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Hasan, ALwi., et.al., 2001 Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, balai Pustaka.
Hermin Kusmayati, A.M., 1997 Aspek dan Makna Seni Pertunjukan Dalam Berbagai Rokat
di bangkalan Madura laporan Penelitian untuk Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Bandung: MSPI.
Koentjaraningrat, (ed.),
1985 Ritus Peralihan di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Mardimin, Johanes (ed)., 1994 Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Nebuju
Masyarakat Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Nanik Sri Prihantini
2003 Dolalak: Kesenian Rakyat Unggulan Kabupaten Purwarejo, Jawa Tengah, STSI Denpasar: dalam jurnal Seni Budaya Mudara Volume 11 No. 1 Januari 2003.
Netll, Bruno.
1956 Music in Primitif Culture. Cambridge: Harvard University Press.
Read, Herbert. 2000 Seni: Arti dan Problematika. Terjemahan Soedarso, Sp.,
Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Santosa
2003 Even, dan Imaginasi Dalam Pertunjukan Gamelan, STSI Denpasar: dalam jurnal Seni Budaya Mudara Volume 11 No. 1 Januari 2003.
Soedarso, Sp., 1990 Tijauan Seni:sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni.
Yogyakarta: Saku Dayar Sana
_________________ 2002 Merivitalisasi Seni Kriya Tradisi Menuju aspirasi dan
Kebutuhan Masyarakat Maa Kini dengan Prioritas Daerah Beyond The Sea makalah disampaikan pada Seminar International Seni Rupa, di Kampus PPs ISI Yogyakarta, 21-22 September 2002.
Soedarsono 1986 Dampal Pariwisata terhadap Perkembangan Seni di
Indonesia, pidato ilmiah pada Dies Natalis II ISI Yogyakarata 26 Juli 1986, BP ISI Yogyakarta.
The Liang Gie 1986 Filsafat Seni: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: PUBIB
Biodata Penulis: Suyadi, M.Sn. Lahir di Bantul, Yogyakarta 25 Agustus 1965 menyelesaikan studi SI di ISI Yogyakarta 1993 pada program studi Etnomusikologi, S2 Program Pascasarjana ISI Yogyakarta selesai tahun 2004 dengan Minat utama Pengkajian Musik Nusantara. Mulai tahun 1994 sebagai pengajar pada Jurusan Karawitan di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya. Aktif mengikuti seminar bertaraf Nasional dan Internasional dan banyak terlibat dalam penelitian bidang seni.