8

Click here to load reader

Artikel

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aaa

Citation preview

Page 1: Artikel

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OBESITAS DALAM KEBUDAYAAN SUKU BUGIS PADA MASYARAKAT SUKU BUGIS DI KOTAMADYA BALIKPAPAN, KABUPATEN SOPPENG DAN KABUPATEN

SIDRAP

BUMI ZULHERI HERMAN1, MUH BASIR PALU2, SRI RAMADHANI3

1.Bachelor of Medicine in Hasanuddin University Faculty of Medicine 2. Lecture at Public Health and Community Medicine Departement, Hasanuddin University Faculty of Medicine

3. Lecture and Staff at Public Health and Community Medicine Departement, Hasanuddin University Faculty of Medicine

ABSTRACT

IDENTIFICATION AND ANALYSIS OF RISK FACTORS OF OBESITY IN BUGIS CULTURE. STUDY FROM BALIKPAPAN CITY, SOPPENG REGENCY AND SIDRAP REGENCY

Obesity is a worldwide health problem. A person with obesity tend to have bigger risk suffer from non communicable disease such as hypertension, stroke, diabetes mellitus and eventually death. Epidemic trend show a double increase in obesity prevalence in last two decades. Some of important risks factors have been identified and cultural factor seems involved in increasing tendency of obesity in several ethnic. Sulawesi ethnics consist of Bugis, Makassar, Mandar and Toraja and have different ways of life according to the culture. This research was conducted to identify and analyze cultural factor that might affect the existence of obesity in Buginese. This case control study involved 96 people from 3 different region, Balikpapan(A), Soppeng(B) and Sidrap(C) which represent different characters of buginese, the local buginese and buginese who lived outside sulawesi. Sample were collected using random sampling and classified into obese and non obese group and and asked for several information including food intake, economy costs,job, Perspective of culture including Siri for protecting women (which may cause women have less activities and no possibility to be breadwinner) and Siri of Body (ashame with obesity). Style of house and topography of environment were interpreted by surveyor. Antropometric data also obtained from sample. Corelation analysis was conducted using Spearman and Cooficient Contingency test, and comparative analysis by using Kruskal Wallis test. From three region,there are no correlation between style of house (A p=0,984 B p=0,056 C=0,331), topography (A r=0,727 B r=0,632 C r=0,151), and job (A r=0,706 B r=0,632 C r=0,160) to obesity. Food intake is strongly correlate with obesity (A:p=0,000 r=0,628. B:p=0,000 r=0,633. C:p=0,012 r=0,455). In this study, economy status in Soppeng has a strong correlation with obesity(p=0,001 r=0,537) further analysis revealed that the higher economy status, the house will be more luxurious (p=0,000 r=0,633 – 0,824). So style of house will correlate indirectly to obesity. This might explain style of house is almost correlate with obesity in Soppeng (p=0,056). There are no significant difference between siri that might restrict the participation of women become breadwinner and obesity (A p=0,534 B p=0,529 C p 0,982). And the same with Siri of body (A p=0,417 C p=0,498), except in Soppeng (p=0,014).

Keywords : Obesity, Bugis, Culture. PENDAHULUAN

Overweight dan obesitas merupakan faktor resiko utama untuk timbulnya penyakit kronik meliputi diabetes, penyakit kardiovaskular dan kanker. Awalnya permasalahan ini mengancam negara berkapita tinggi namun saat ini overweight dan obesitas telah meluas ke negara berpendapatan menengah dan rendah terutama di area urban.1

Secara umum angka obesitas meningkat dua kali lipat dari tahun 1980. Pada tahun 2008 lebih dari 1,4 milliar orang dewasa berusia 20 tahun atau lebih telah didiagnosis overweight dan sekitar 200 juta laki-laki dan hampir 300 juta perempuan dinyatakan obesitas. Kenyataan statistik yang perlu diperhatikan adalah 65% populasi dunia tinggal dinegara dimana overweight dan obesitas menjadi penyebab kematian lebih banyak daripada kurang gizi. 1

Gizi lebih dan obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner disamping faktor risiko lainnya, seperti hipertensi, diabetes melitus, merokok, stres, dan kurang olahraga Penelitian Manson dkk. (1990) dalam Suyono (1994) terhadap 115.886 wanita berumur 30-55 tahun, setelah diikuti selama 8 tahun, ternyata risiko relatif (RR) penderita gizi lebih berkisar antara 1,0 sampai 3,3 kali, sedangkan pada indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 29 risiko relatif 3,3 kali terjadinya penyakit jantung koroner. Dengan demikian makin tinggi IMT makin besar resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Risiko relatif ini diperoleh setelah dilakukan penyesuaian terhadap faktor umur dan kebiasaan merokok2.

Hasil penelitian survei Indeks Massa Tubuh (IMT) di 12 Kota di Indonesia tahun 1995 mendapatkan prevalensi gizi lebih sebesar 10,3% dan prevalensi obesitas sebesar 12,2%.3 Prevalensi gizi lebih ini mengalami peningkatan pada tahun 1999 sebesar 14% dan tahun 2000 sebesar 17,4%.4

Melihat betapa besarnya masalah obesitas, maka obesitas menjadi aspek kesehatan yang dibuatkan strategi pemberantasan terdiri oleh WHO. Dalam strategi tersebut, WHO menekankan empat faktor penting yang mempengaruhi obesitas dan dua diantaranya berhubungan dengan perilaku yakni diet dan kurangnya aktivitas.5

Dua hal tersebut sangat berkaitan dengan budaya terutama budaya modern saat ini. Hal ini jelas menggambarkan bahwa budaya dapat mempengaruhi perilaku sehat seseorang, disamping pengetahuan dan tingkat ekonomi.

Page 2: Artikel

Faktor Budaya sebagai Faktor yang Memicu Obesitas

Untuk mendapatkan gambaran mengenai budaya yang dapat mempengaruhi pola diet, Endah Muwarni menggambarkan budaya Eating Out sebagai hasil dari akulturasi budaya modern dalam masyarakat.6

Fenomena yang terjadi pada masyarakat perkotaan, konsumsi makanan tidak hanya sekedar sebagai kebutuhan biologis memenuhi rasa lapar, akan tetapi makan adalah gaya hidup yang akan menandakan identitas, kelas, kelompok, dan sebagainya. Oleh karenanya, makan diluar (eating out) muncul sebagai buah komoditas dalam kehidupan sosial masyarakat urban. Produsen mengemas makan beserta tempat makan dengan menciptakan suasana dan pengalaman yang khas yang dapat dirasakan konsumen. Sebagaimana dinyatakan Bourdieu (1984), tempat makan dan jenis makanan yang dipilih bisa saja menentukan kelas sosial seseorang. Perkotaan dengan beragam pusat perbelanjaan dan tempat makan telah menjadi arena pertarungan, tidak saja bagi produsen dalam mendapatkan konsumen, akan tetapi juga bagi konsumen dalam menunjukkan status dan kelas sosialnya melalui jenis makanan dan tempat makan. Konsumen disajikan berbagai pilihan tempat dan jenis makanan yang beragam.6

Lalu apa yang terjadi dengan fenomena eating out? Restoran yang makanan cepat saji dengan kalori yang tinggi menjadi sasaran paling sederhana dari budaya ini. Dan menurut J Wardle, asupan kalori yang tidak terkontrol sangat berpotensi menimbulkan obesitas7

Penelitian yang dilakukan Yungshen et al pada tahun 2003 mempelihatkan perubahan budaya lainnya pada masyarakat modern seperti melewatkan sarapan ternyata berhubungan dengan peningkatan prevalensi obesitas (odds ratio = 4.5, 95% confidence interval: 1.57,12.90) dan sama besarnya dengan sarapan atau makan malam di luar rumah seperti definisi eating out.8 Garis besarnya adalah pola konsumsi makanan menjadi identitas suatu kelas atau kelompok yang membentuk budaya

Faktor persepsi atau pengetahuan dalam suatu kebudayaan juga berperan dalam obesitas, misalnya etnis Cina yang menganggap obesitas sebagai lambang kekayaan, tidak memiliki kecenderungan untuk berdiet menurut Lee (1991) Namun, globalisasi telah mengubah persepsi budaya tersebut terhadap obesitas yakni pada penelitian oleh Lee pada tahun 2001 yang mendapati sebanyak 3 – 10% perempuan di Hong Kong mengalami gejala gangguan makan disebabkan oleh keinginan untuk menjadi kurus. Penelitian ini disokong oleh penelitian yang dilakukan di Fiji oleh Becker et al di tahun 2002 yang menunjukkan peningkatan secara signifikan gejala gangguan makan di kalangan remaja perempuan setelah tayangan televisi.9 Dalam kebudayaan Bugis belum jelas apakah ada persepsi tertentu yang menganggap bahwa obesitas adalah hal yang sangat dibanggakan atau dibenci. Hal ini juga dapat dipersepsikan sebagai siri, yakni apakah ada rasa malu apabila memiliki tubuh yang gemuk atau sebaliknya.

Pekerjaan Sebagai Faktor Dalam Kebudayaan Yang Mempengaruhi Obesitas Sebagian besar orang bugis bekerja sebagai petani dan nelayan. Sebagai contoh Masyarakat Kecamatan Lilirilau

di Kabupaten Soppeng. Masyarakat tersebut merupakan salah satu masyarakat asli yang mendiami bagian timur wilayah Kabupaten Soppeng. Masyarakat Kecamatan Lilirilau adalah penduduk suku Bugis yang secara turun temurun berdiam dan tinggal di dataran tinggi. Pola kehidupan mereka adalah bercocok tanam, terutama jagung, padi, palawija dan tembakau. Di samping itu, mereka juga bergantung kepada hasil tanaman keras, seperti kelapa dan kakao. Perubahan pola bercocok tanam masyarakat lilirilau merupakan suatu akulturasi budaya yang dibawa dari masyarakatnya yang merantau ke Malaysia. Dulunya mereka menanam padi dan palawija namun, keuntungan besar yang ditawarkan dalam menanam kakao telah membuat perubahan besar pada budaya kehidupan dan status sosial mereka. Hal ini tentunya berbeda dengan suku bugis yang bekerja sebagai nelayan.10

Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan inilah yang menjadi pembeda antara masyarakat nelayan dengan kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya kelautan. 11

Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa penggunaan energi bervariasi pada tingkat aktivitas yang berbeda. Beberapa pekerjaan melibatkan tingginya penggunaan energi, sementara pekerjaan yang lain melibatkan sedikit pengeluaran energi.12

Pekerjaan sebagai unsur demografi memiliki hubungan dengan obesitas. Elya et al (2009) mengemukakan prevalensi obesitas sentral lebih tinggi pada sampel yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan hubungan nyata antara pekerjaan dan kejadian obesitas sentral (p<0,05)13 Hasil yang sama juga ditunjukkan Erem et al. (2004) yang menemukan tingginya prevalensi obesitas pada ibu rumah tangga dan pedagang. Terdapatnya hubungan nyata antara pekerjaan dan kejadian obesitas sentral diduga karena berkaitan dengan aktivitas fisik berat yang melibatkan pengeluaran energi.14

Page 3: Artikel

Topografi Lingkungan dan Bentuk Tempat Tinggal Mempengaruhi Obesitas. Topografi Lingkungan, dan bentuk tempat tinggal sangat mempengaruhi kehidupan orang bugis. Tinggal dirumah

panggung tentu sangat berbeda dibandingkan dengan tinggal dirumah semi permanen sehingga secara teoritis orang orang yang tinggal dirumah panggung akan beraktivitas lebih banyak bila dibandingkan dengan orang-orang yang tinggal dirumah semi permanen.

Secara teori wilayah dataran rendah perkotaan memungkinkan kemudahan akses akan pangan dan gaya hidup seseorang dibandingakan dengan wilayah pantai dan perbukitan. Akses pangan di perkotaan lebih mudah dibandingkan dengan wilayah perdesaan. Akses pangan mempermudah pemenuhan kebutuhan pangan sehingga memungkinkan pemenuhan kalori seseorang. Selain itu, gaya hidup masyarakat perkotaan juga berbeda dengan gaya hidup masyarakat perdesaan. Sehingga unsur budaya seperti lingkungan, pekerjaan, dan tempat tinggal akan memberikan pengaruh terhadap kejadian obesitas.15

Perbedaan lingkungan yakni kehidupan pantai dan dataran tinggi juga akan memberikan pengaruh yang besar terhadap pola aktivitas masyarakat. Sehingga unsur budaya seperti lingkungan, pekerjaan, dan tempat tinggal akan memberikan pengaruh terhadap kejadian obesitas. Dilihat dari pengaruh topografi lingkungan terhadap aktifitas secara teoritis, orang bugis yang tinggal di dataran tinggi akan lebih sedikit obesitas bila dibandingkan dengan nelayan karena perbedaan tingkat energi yang dibutuhkan untuk beraktifitas seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Berjalan di dataran tinggi dan tidak rata akan memakan energi lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tinggal pada medan yang datar. Asupan Makanan Mempengaruhi Obesitas.

Dari aspek kuliner manusia cenderung punya preferensi. Manusia telah diajarkan untuk memilih makanan sejak kecil, membiasakan diri pada rasanya dan tumbuh berkembang dengan pola makan yang diajarkan.16

Secara umum budaya bugis menyajikan makanan yang bersifat manis antara lain beppa puteh, nennu-nennu, palopo, barongko, paloleng, sanggarak, lapisi, cangkueng, badda-baddang dan lain-lain. Menurut kepustakaan yang ada makanan tradisional seperti ini sering disajikan pada acara acara tertentu. Namun untuk diet sehari hari masyrakat suku bugis belum tergambar dengan jelas. Kalkulasi harian asupan nutrisi rata-rata suku bugis tidak banyak ditelusuri lebih jauh. Potensi timbulnya obesitas pada suku bugis ini dapat pula diperkirakan terjadi karena aspek asupan makanan17

Aspek Budaya Siri Terhadap Obesitas.

Pada masyarakat Suku Bugis, menjunjung tinggi adat-istiadat yang disebut dengan siri’ yang berarti segala sesuatu yang menyangkut hal yang paling peka dalam diri masyarakat Bugis, seperti martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata.18

Siri’ merupakan kebanggaan atau keagungan harga diri yang telah diwariskan oleh leluhur untuk menjunjung tinggi adat istiadat yang di dalamnya terpatri pula sendi-sendi tersebut. Seiring dengan perkembangan teknologi saat ini semakin merabah setiap sudut kehidupan, maka perubahan-perubahan akan terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kuatnya siri’ yang dimiliki oleh masyarakat Bugis sangat jelas terlihat jika harkat dan martabatnya dilanggar oleh orang lain, maka orang yang dilanggar harkat dan martabatnya tersebut akan berbuat apa saja untuk membalas dendam dan memperbaiki nama besar keluarganya di tengah-tengah masyarakat.18

Budaya siri tersebut membedakan perilaku yang seharusnya dimiliki oleh laki laki dan perempuan. Perempuan dalam bugis diibaratkan sebagai permata keluarga sehingga adanya pelanggaran yang terjadi pada perempuan akan merusak siri yang ada dalam keluarga. Perempuan harus menjaga perilakunya dan memendam beberapa nafsu. Sedangkan laki laki harus terlihat agresif (marisaliwengngi) dan menjaga perilakunya. Dengan adanya budaya seperti ini membuat perempuan bugis cenderung dipelihara dalam rumah untuk mencegah hal hal yang tidak diinginkan. Dibatasinya aktivitas seperti ini akan berpengaruh pada pola hidup laki laki dan perempuan bugis19

Keterbatasan aktivitas ini akan memicu terjadinya obesitas secara langsung seperti yang dipaparkan oleh WHO sebelumnya. Sehingga secara teori, obesitas pada perempuan bugis dipengaruhi oleh faktor ini.

Saat ini masyarakat sudah meninggalkan sistem stratifikasi sosial tertutup dan siri’ saat ini merujuk kepada beragam kasus tidak hanya menyangkut masalah perempuan. Siri’ saat ini juga menyangkut masalah taraf hidup dan status sosial seseorang dan keluarga dalam masyarakat. Semakin baik standar hidup, semakin baik pula tingkat siri’ seseorang dan keluarga.18

Secara ringkas unsur budaya yang mungkin berpengaruh pada obesitas di kalangan suku bugis adalah, lingkungan, tempat tinggal, pekerjaan, bentuk rumah, asupan makanan serta budaya siri yang berhubungan dengan pembatasan aktivitas fisik dan siri terhadap penampilan. Hal ini mendorong adanya penelitian untuk mengetahui apakah ketujuh unsur budaya dalam suku bugis tersebut berperan dalam menimbulkan terjadinya obesitas dikalangan suku Bugis. BAHAN DAN CARA Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian adalah cross-sectional berskala multisenter bersifat deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner. Kota yang diambil untuk penelitian ini adalah Kotamadya Balikpapan Propinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Sidrap propinsi Sulawesi Selatan.

Page 4: Artikel

Pertimbangan untuk mengambil Kota Balikpapan sebagai sampel yakni Balikpapan merupakan salah satu kota tujuan perantauan suku bugis dan dianggap dapat mewakili kehidupan suku Bugis di luar Sulawesi dan merupakan tempat yang memungkinkan untuk menemukan suku bugis yang bekerja sebagai nelayan. Kabupaten Sidrap diambil untuk penelitian karena hampir sebagian besar penduduknya merupakan suku bugis asli dengan variasi pekerjaan suku bugis yang sangat tipikal dengan kebuayaan bugis yakni petani serta mewakili daerah tempat tinggal suku bugis dengan topografi yang tidak bervariasi sedangkan kabupaten Soppeng diambil sebagai sampel karena topografi yang sangat bervariasi. Pengolahan dan analisis lanjut data dilakukan pada bulan Januari-Februari 2013 di Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Tamalanrea, Makassar Jumlah dan Cara Pengambilan Sampel Cara pengambilan sampel dilakukan simple random sampling dengan setiap kota diambil secara acak minimal 30 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel penelitian ini adalah orang dewasa berumur 25 tahun atau lebih, merupakan suku bugis yang tidak tercampur dengan pernikahan luar minimal dua keturunan, bagi perempuan, tidak sedang menggunakan kontrasepsi, atau tidak hamil, menetap lebih dari 5 tahun didaerah penelitian dan memiliki pekerjaan tipikal bugis yang menetap.Total sampel dalam penelitian ini sebanyak 96 sampel terdiri dari 31 sampel di Kotamadya Balikpapan, 35 sampel di Kabupaten Soppeng dan 30 sampel di Kabupaten Sidrap Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data primer yang diperoleh dengan menggunakan kuisioner yang telah disusun sebelumnya.Data terdiri atas variabel umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, pekerjaan, bentuk rumah, topografi lingkungan, tingkat ekonomi, asupan makanan dan persepektif siri tulang punggung dan penampilan. Pengambilan data dilakukan oleh tim penelitian dengan melakukan wawancara dengan pedoman wawancara. Data antropemtri diambil dengan menggunakan meteran dan spring balance scale. Data asupan makanan dihitung dengan menggunakan rumus harris benedict berdasarkan food recall. Khusus untuk variabel pekerjaan yang ditetapkan sebagai pekerjaan tipikal adalah bertani, berdagang, nelayan dan rumah tangga. Pengolahan dan Analisis Data Data dianalisis menggunakan Microsoft Excell 2010 dan SPSS 17.0 for Windows. Tahap pengolahan data meliputi pemilihan variabel yang akan diteliti, cleaning dan recode variabel menjadi data kategori. Analisis data terdiri atas analisis univariat, danbivariat. Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari berbagai variabel yang diteliti. Analisis bivariat dilakukan untuk memperoleh ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dan terikat dengan menggunakan korelasi Spearman dan Kontingensi. Korelasi Spearman digunakan untuk menguji hubungan variabel data ordinal, sedangkan Kontingensi untuk menguji hubungan variabel data nominal. Untuk nilai siri digunakan uji komparatif untuk mengetahui apakah ada perbedaan bermakna antara nilai siri yang diujikan dengan obesitas. Uji yang digunakan melihat sebaran data yang tidak normal untuk variabel ini adalah uji Kruskal Wallis. Variabel bebas yang diuji adalah variabel bentuk rumah, ekonomi, pekerjaan, asupan makanan, nilai siri penampilan dan siri tulang punggung (kesetaraan) dan topografi wilayah tempat tinggal Sementara variabel terikat adalah obesitas sentral. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Demografi dan Sosioekonomi Sebanyak 56 responden berjenis kelamin perempuan dan 40 orang berjenis kelamin laki-laki Dengan 51 responden berada dalam status obes dan 45 lainya non obes. Secara umum rentang umur responden yakni 28-70 tahun dengan rentang IMT 18,03-34,81 Kg/M2. Bentuk Rumah yang paling banyak adalah rumah permanen satu lantai (31 orang) disusul rumah panggung sebanyak 29 orang, rumah panggung semi permanen sebanyak 21 orang dan 15 orang tinggal di rumah permanen lebih dari satu lantai Pekerjaan responden paling banyak adalah sebagai pedagang (37 orang) rumah tangga(35 orang) bertani 21 orang dan sebagai nelayan 3 orang. Sebanyak 61 orang memiliki konsumsi kalori 90-120% BEE disusul dengan >120% BEE sebanyak 17 orang dan16 orang mengkonsumsi kalori <90% BEE setiap harinya. Sebanyak 64 orang tinggal di dataran rendah perkotaan, 27 orang tinggal di perbukitan dan 5 orang tinggal di kawasan pantai. Sebanyak 52 orang responden berada dalam tingkatan ekonomi menengah, 31 orang dengan ekonomi menengah keatas dan 13 orang lainnya berada dalam kelas ekonomi menengah kebawah. Sebanyak 50 orang menyatakan malu bila memiliki tubuh gemuk dan 46 lainnya tidak, sedangkan dari prinsip kesetaraan 34 responden wanita menyatakan ada batasan dalam melakukan pekerjaan dan 22 responden wanita lainnya menyatakan tidak. Selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 1

Page 5: Artikel

Tabel 1 Prevalensi Obesitas Sentral Berdasarkan Karakteristik Demografi dan Sosio-Ekonomi

Variabel Balikpapan(A) Soppeng(B) Sidrap(C)

Nilai p dan Koefisien Korelasi

(r) terhadap obesitas

Rentang Umur dan umur rata-rata (thn) -

32-70 (49,39) 29-67(46,29) 28-70(47,13)

Jenis kelamin Laki-laki 15 11 14 -

Perempuan 16 24 16

Rentang IMT dan IMT Rata-Rata 18,6-31,80 (27,93)

18,03-34-81 (27,49)

19,14-31,74 (27,44)

Bentuk Rumah Rumah Panggung Rumah Panggung Semi Permanen Rumah Permanen 1 lantai Rumah permanen lebih dari satu lantai

5 8

12

6

12 8

9 6

12 5

10

3

(Balikpapan p=0,984 Sidrap

p=0,331 Soppeng, p=0,056).

Pekerjaan Nelayan 3 0 0 (Balikpapan p=0,706 Sidrap

p=0,160 Soppeng p=0,346)

Petani 1 11 9

Berdagang 16 12 9

Rumah Tangga 11 12 12

Asupan Makanan <90% BEE 6 7 3 (Balikpapan p=0,000 r=0,628. Sidrap

p=0,012 r=0,455. Soppeng p=0.000 r=0.633)

90-120% BEE 20 21 20

>120% BEE 5 7 7

Topografi Pantai 5 0 0 (Balikpapan p=0,727 Sidrap

p=0,151 Soppeng p=0,632)

Dataran Rendah-perkotaan

18 24 22

Perbukitan 8 11 8

Tingkat Ekonomi Dibawah UMR 4 3 6 (Soppeng p=0.001 r=0.537) Sidrap

(p=0.430) Balikpapan (p=0,515)

1-2 Kali lipat UMR 17 22 13

>2 kali lipat UMR 10 10 11

Siri Penampilan Malu 13 24 13 (Balikpapan p=0,534 Sidrap

p=0,982 Soppeng p=0,529)

Tidak 18 11 17

Siri Tulang Punggung Ada 11 12 11 (balikpapan p=0,417 sidrap

p=0,498 soppeng

(p=0,014).

Tidak Ada 5 12 5

Tidak Ditanyakan 15 11 14

Page 6: Artikel

Asupan Makanan dengan Obesitas Dengan uji Spearman, asupan makanan berkorelasi positif dengan IMT (Balikpapan p=0,000 r=0,628. Sidrap

p=0,012 r=0,455. Soppeng p=0.000 r=0.633) Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Erin et al (2003)20 dimana asupan makanan berkorelasi dengan obesitas dan juga oleh Mustamin (2010) dimana asupan makanan berkorelasi dengan obesitas (p=0,022).21

Secara umum bentuk makanan yang dimakan tidak jauh berbeda dengan makanan pada suku lain, yakni nasi. Pola makanan lauk pauk cenderung berbeda antara di Balikpapan dengan di daerah lain. Konsumsi ikan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain terutama Soppeng yang daerahnya tidak berbatasan dengan garis pantai. Konsumsi gula dan makanan manis tergolong tinggi hampir di semua tempat namun peneliti cukup kesulitan dalam mengukur proporsi asupan makanan mana yang tinggi karbohidrat. Perhitungan asupan makanan langsung dikonversi kedalam bentuk Kalori tanpa melihat perincian sumbernya.

Bentuk Rumah Tinggal dengan Obesitas Bentuk rumah telah diinput dalam bentuk kategorial yakni : Rumah panggung adalah rumah yang dibuat dari kayu dan memiliki kemungkinan mobilitas (diangkat) dan tidak memiliki sedikitpun bagian rumah yang permanen. Rumah panggung diberi kode 1. Rumah panggung semi permanen adalah rumah panggung yang memiliki bagian permanen yang terbuat dari batu (diberi kode 2). Rumah permanen satu lantai adalah rumah permanen tanpa lantai yang dibangun dengan tembok batu tidak melebihi satu tingkat (diberi kode 3) dan rumah permanen lebih dari satu lantai adalah rumah permanen lebih dari satu tingkat (kode 4). Dengan uji Spearman, tidak ada korelasi yang bermakna antara bentuk rumah dengan Indeks Massa Tubuh (Balikpapan p=0,984 Sidrap p=0,331) walaupun di kabupaten Soppeng, variabel ini nyaris berkorelasi (p=0,056).

Ada hal yang menarik mengenai unsur bentuk rumah. Dengan Uji spearman, terdapat korelasi positif yang sangat kuat antara tingkat ekonomi dengan bentuk rumah di semua kota (Balikpapan p=0.000 r=0.824. Sidrap p=0.000 r=0.801 dan Soppeng p=0.000 r=0.633) Hal ini memberikan gambaran bahwa bentuk rumah adalah lambang tingkat ekonomi suatu keluarga. Melihat korelasi variabel ekonomi terhadap obesitas, Kabupaten Soppeng menunjukkan korelasi yang kuat terhadap hubungan kedua variabel itu (p=0.001 r=0.537) dibandingkan kedua daerah yang lain yakni Sidrap (p=0.430) dan Balikpapan (p=0,515). Hal ini menunjukkan bahwa bentuk rumah bila dikaitkan dengan obesitas adalah hubungan yang tidak langsung yang diperantarai oleh tingkat ekonomi. Maka tidak mengherankan bahwa nyaris terdapat korelasi antara bentuk rumah responden di Kabupaten Soppeng dengan status obesitas respondennya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor ekonomi mempengaruhi unsur budaya bentuk tempat tinggal pada suku bugis.

Topografi Lingkungan dengan Obesitas

Berdasarkan analisis degan uji kontingensi tidak ada korelasi antara topografi tempat tinggal dengan obesitas pada ketiga daerah (Balikpapan p=0,727 Sidrap p=0,151 dan Soppeng p=0,632) Hal ini berbeda dari penelitian Wardina (2009)15 yang menunjukkan ada korelasi antara lingkungan tempat tinggal dengan obesitas. Hal yang mungkin mempengaruhi adalah sarana transportasi yang sudah merata terutama di kota Balikpapan sehingga akses pangan akan merata terlepas dari topografi daerah yang sangat bervariasi dibandingkan dengan 2 daerah lainnya.

Pekerjaan dengan Obesitas

Hasil analisis dengan uji kontingensi menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara pekerjaan dengan obesitas (Balikpapan p=0,706 Sidrap p=0,160 dan Soppeng p=0,346) Hal ini bertentangan dengan Elya et al (2009) yang mengemukakan bahwa pekerjaan berkorelasi dengan obesitas.13

Hal yang mungkin mendasari adalah mengenai konsistensi waktu pekerjaan itu sendiri. Tidak sepanjang tahun petani akan bekerja menanam padi. Hanya disaat musim tanam atau musim panen, selebihnya tidak ada yang dapat mereka lakukan sehingga banyak dari mereka yang menjalani pekerjaan sampingan atau hanya melakukan pekerjaan rumah tangga. Responden yang bekerja sebagai nelayan pun juga ada yang bekerja sebagai pedagang. Melihat hal ini maka pekerjaan yang paling banyak dilakukan yang dianggap sebagai pekerjaan tipikal responden.

Aspek Budaya Siri dengan Obesitas.

Dari analisis dengan Uji Kruskal Wallis tidak ada perbedaan yang bermakna antara budaya siri yang menekan keseteraan peran perempuan dalam rumah tangga dengan obesitas (Balikpapan p=0,534 Sidrap p=0,982 dan Soppeng p=0,529). Hasil yang sama ditunjukkan pada siri penampilan. Tidak ada perbedaan bermakna antara persepktif malu terhadap obesitas pada kedua kota (balikpapan p=0,417 dan sidrap p=0,498) namun ada perbedaan bermakna antara perspektif siri karena gemuk dengan obesitas di kabupaten soppeng (p=0,014).

Tidak adanya perbedaan bermakna mengenai persepktif budaya siri terhadap wanita sebagai tulang punggung rumah tangga terhadap obesitas menunjukkan bahwa wanita bugis tidak lagi dikekang oleh aturan perempuan “harus menjaga dapur” sehingga mereka dapat melakukan apapun tanpa mengalami keterbatasan aktivitas. Hal inilah yang menjadi dasar kemungkinan obesitas tidak lagi muncul pada wanita bugis bila dilihat dari faktor aktivitas.

Perspektif siri karena gemuk disederhanakan sebagai pertanyaan apakah ada rasa malu bila seseorang itu dianggap gemuk. Tidak ada perbedaan bermakna antara perspektif siri ini dengan obesitas. Hasil yang berbeda yang

Page 7: Artikel

ditunjukkan oleh Kabupaten Soppeng menunjukkan bahwa rasa malu dengan obesitas memiliki perbedaan yang bermakna. Hasil ini menunjukkan kemungkinan bahwa obesitas bukan merupakan suatu hal yang dapat dibanggakan tentunya.

KESIMPULAN

Faktor budaya yang diidentifikasi yakni bentuk rumah, ekonomi, pekerjaan, asupan makanan, nilai siri penampilan dan siri tulang punggung (kesetaraan) dan topografi wilayah tempat tinggal .Hasil analisis korelasi Kontingensi menunjukkan bahwa topografi lingkungan, dan pekerjaan tidak berkorelasi dengan obesitas. Adapun hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa asupan makanan berkorelasi dengan obesitas namun tidak dengan bentuk rumah. Sedangkan analisis komparatif Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara budaya siri yang membatasi kesetaraan terhadap obesitas Dan tidak adaperbedaan bermakna antara budaya siri pada penampilan terhadap obesitas pada suku bugis di Kabupaten Sidrap dan Kotamadya Balikpapan kecuali di Kabupaten Soppeng SARAN Beberapa saran yang perlu dikemukakan yakni penelitian ini mengalami kendala dalam mengumpulkan sampel dengan jumlah sampel yang lebih besar sehingga bila melakukan studi yang sama, pertimbangan mengenai jangka waktu dan tenaga surveyor perlu diperhatikan agar sampel yang diperoleh jauh lebih banyak sehingga memberikan hasil yang lebih spesifik. Identifikasi definisi variabel juga sangat perlu diperhatikan sehingga akan dapat ditarik mengenai kesimpulan yang lebih detail dan rinci. Selanjutnya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama untuk membahas aspek-aspek budaya bugis lainnya terutama aspek budaya bugis asli yang dituturkan diturunkan dalam tulisan sejarah dan tidak hanya mengenai siri semata, misalnya aturan makan dan tata krama makan atau ber aktifitas antara lelaki dan perempuan. Dengan demikian penelitian tersebut akan benar benar berfokus pada nilai budaya dan tidak hanya berpatok pada unsur demografi umum saja. REFERENSI 1. WHO. Obesity and overweight (diperbaharui pada bulan Mei 2012) diunduh dari halaman

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/index.html 2. Suyono, Slamet dan Djauzi S: Penyakit degeneratif dan gizi lebih, Risalah WKNPG V, LIPI, Jakarta. 1994 3. Kodyat, et al: Survei indek massa tubuh (IMT) di 12 kotamadya, indonesia”, Gizi Indonesia, 21: 52-61.1996 4. Departemen Kesehatan RI: Petunjuk teknis pemantauan status gizi orang dewasa dengan indeks massa tubuh

(IMT), Jakarta.2003 5. WHO. 2008-2013 Action plan for the global strategy for the prevention and control of noncommunicable

diseases. Geneva:WHO 2009 6. Endah M. Eating out’ makanan khas daerah : Komoditas gaya hidup masyarakat urban. Jakarta: Universitas

Multimedia Nusantara 2006 7. Wardle J .Eating behaviour and obesity. Obesity reviews (2007) 8 (Suppl. 1) 73–75 8. Yunsheng M, Elizabeth RB, Edward J.S, George WR, James R.H, Nancy LC, Philip AM, Ira SO. Association

between eating patterns and obesity in a free-living US adult population. Am J Epidemiol 2003;158:85–92 9. Hanisah I. Penapisan gejala gangguan makan menggunakan eat-26 pada mahasiswi fakultas kedokteran

universitas sumatera utara 2010. Medan: Universitas Sumatera Utara 10. Muhammadiyah. Perubahan sosial dan budaya masyarakat petani kakao di kecamatan lilirilau kabupaten

soppeng. jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik 2012, Vol 25, 1: 8-14 11. Salipu, Amir. Transformasi pemukiman suku bajo di kelurahan bajoe kota administratif watampone sulawesi

selatan. 2002.Tesis Pascasarjana Arsitektur ITS Surabaya. 12. Kantachuvessiri A et al. Factors associated with obesity among workers in a metropolitan waterworks authority.

Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2005;36:1057-65. 13. Sugiyanti, Elya. Hardiansyah. Afriansyah, Nurfi. Faktor risiko obesitas sentral pada orang dewasa di dki jakarta:

analisis lanjut data riskesdas 2007. Gizi Indon 2009, 32(2):105-116 14. Erem C et al. Prevalence of obesity and associated risk factors in a Turkish population (Trabzon City, Turkey).

Obes Res. 2004;12:1117-27. 15. Humayrah, Wardina. Faktor gaya hidup dalam hubungannya dengan risiko kegemukan orang dewasa di provinsi

sulawesi utara, dki jakarta, dan gorontalo. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. 2009

16 Stanley JU,Hayley L. Obesity in biocultural perspective. Annu. Rev. Anthropol. 2006.35:337–60 17. Muttia AH. Proses dalam tradisi perkawinan masyarakat bugis di desa pakkasalo kecamatan sibulue kabupaten

bone. 2012, Makassar: Universitas Hasanuddin 18. Idrus NI. Siri’, gender, and sexuality among the bugis in south sulawesi. antropologi indonesia Januari 2005, Vol.

29, No. 1

Page 8: Artikel

19. Erik LM, Lars UG, Lauren LO. Food intake patterns and development of obesity Dan Med Bull 2004;51:152. 20 Mustamin. Asupan energi dan aktivitas fisik dengan kejadian obesitas sentral pada ibu rumah tangga di

kelurahan ujung pandang baru kecamatan tallo kota makassar Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2, Juli – Desember 2010